Anda di halaman 1dari 72

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN

KUALITAS TIDUR LANSIA DI DESA GUBUG PADA


SAAT PANDEMI COVID-19

RISET KEPERAWATAN

Oleh
Tri Sulistyohandayani
1.17.140

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


STIKES TELOGOREJO SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunitas (community) adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai
persamaan nilai (values), perhatian (interest) yang merupakan kelompok
khusus dengan batas-batas geografi yang jelas dengan norma dan nilai yang
telah melembaga (Prima, 2019).Timbul masalah kesehatan pada lanjut usia di
masyarakat diberikan intervensi oleh keperawatan komunitas. Keperawatan
komunitas merangkul lansia dengan cara pemberian komunikasi, informasi
dan edukasi (Permenkes RI no 25, 2014).

Manusia akan mengalami proses menua dan menjadi lanjut usia. Lanjut usia
merupakan seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun (enam puluh) tahun
keatas (UU No 13 tahun 1998). Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi
merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan
kumulatif, dan merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh. Proses menua merupakan
proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi
dimulai sejak permulaan kehidupan (Kholifah,2016).

Penduduk lanjut usia terus mengalami peningkatan seiring kemajuan di


bidang kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya angka harapan hidup
dan menurunnya angka kematian (Kholifah,2016). Populasi global penduduk
berusia 60 tahun atau lebih berjumlah 962 juta pada tahun 2017. Jumlah
orang lanjut usia diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050,
dan diproyeksikan mencapai hampir 2,1 miliar (DESAPD,2017). Asia Timur
dan Tenggara adalah rumah bagi populasi lansia terbesar di dunia (260 juta),
diikuti oleh Eropa dan Amerika Utara (lebih dari 200 juta). Selama tiga
dekade ke depan, jumlah lansia global diproyeksikan menjadi lebih dari dua
kali lipat, mencapai lebih dari 1,5 miliar orang pada tahun
2050(DESAPD,2019).

Persentase lansia di Indonesia pada tahun 2019 tercatat terdapat sebanyak


9,6% (25 juta-an) di mana lansia perempuan sekitar satu persen lebih banyak
dibandingkan lansia laki-laki (10,1% banding 9,1%). (BPS
Indonesi,2020)Pada tahun 2019 jumlah lansia di Provinsi Jawa Tengah
berjumlah 4,68 juta jiwa atau sebesar 13,48 % dan menempati urutan kedua
sebagai provinsi yang memiliki struktur penduduk tua (BPS Jawa Tengah,
2020). Populasi lanjut usia Kabupaten Grobogan pada tahun 2019 sebanyak
176.806 orang yang terdiri atas 84.776 lansia laki-laki dan 92.030 orang
lansia perempuan (Grobogan, 2020).

Seiring dengan bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan fungsi tubuh
baik fisiologis maupun psikologis. Masalah psikologi yang sering terjadi pada
lansia adalah depresi, insomnia, paranoid, demensia, dan kecemasan
(Kholifah,2016). Penelitian Rindayat tahun 2020 memaparkan bahwa hampir
setengahnya (44%) dari total lansia yang menjadi responden mengalami
kecemasan (Rindayat,2020). Lestari dalam penelitiannya di tahun 2013
memaparkan hasil yang menunjukan bahwa 60,7% lansia yang terlibat dalam
penelitiannya mengalami kecemasan (Lestari,2013).

Hasil penelitian Dariah dan Okatiranti pada tahun 2015 menunjukan bahwa
66 orang lansia yag terlibat dalam penelitiannya mengalami kecemasan.
Lebih lanjut dalam penelitian lain yang berhasil membuktikan bahwa terdapat
hubungan antara tingkat kecemasan dan kualitas tidur lansia (Dariah dan
Okatiranti,2015), Kecemasan tidak hanya menyebabkan ganguan kualitas
tidur pada lansia namun juga mempengaruhi pola tidur pada lansia. Penelitian
Witriya, dkk tahun 2016 telah membuktikan bahwa terdapat hubungan
dengan kategori sedang antara tingkat kecemasan dengan pola tidur lansia
(Witriya,2016).
Kecemasan adalah adalah emosi, perasaan yang timbul sebagai respon awal
terhadap stress psikis dan ancaman terhadap nilai-nilai yang berarti bagi
individu. Kecemasan sering digambarkan sebagai perasaan yang tidak pasti,
ragu-ragu, tidak berdayaa, gelisah, kekhawatiran, tidak tentram yang sering
disertai keluhan fisik (Azizah,2016) merupkana suatu fenomena yang banyak
dijumpai selama masa pandemi akibat wabah virus corona. Wabah
Coronavirus disease 2019 (Covid-19) yang muncul pada bulan Desember
2019 di Wuhan (China), merupakan spesies baru virus corona penyebab
pneumonia mematikan yang dapat menular dari manusia ke manusia melalui
percikan batuk/bersin (droplet). Virus ini dengan cepat menyebar ke luar
China sehingga World Health Organization(WHO) pada 30 Januari 2020
mendeklarasikan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan
Dunia (KKMMD) dan pada tanggal 11 Maret 2020, WHO sudah menetapkan
COVID-19 sebagai pandemic (Kemenkes,2020; Hardiyanti,2020).

Virus Corona merupakan salah satu ancaman bagi dunia karena kematian
yang disebabkan olehnya terus bertambah setiap harinya.Total kasus
konfirmasi COVID-19 global per tanggal 29 Januari 2021 lebih dari 100,8
juta kasus dengan total kematian lebih dari 2,1 juta kematian sejak
dimulainya pandemi. (KPCDPEN,2020) Secara global dikutip dari
worldometers kasus Covid-19 terbanyak berada pada wilayah Amerika
dengan kasus sebanyak lebih dari 26,3 juta kasus dan lebih 804 ribu
kematiandan wilayah WHO yang paling sedikit memiliki kasus Covid-19
adalah adalah negara Vanuatu dengan jumlah kasus terkonfirmasi tercatat
sebanyak lebih dari 1orang dan pasien tersebut berhasil disembuhkan.
(worldometers,2020)

Di Indonesia kasus terkonfirmasi Covid-19 pertanggal 22 Februari 2021


tercatat lebih dari 1,27 juta kasus terkonfirmasi. Dari toal seluruh lansia di
Indoneis 79,7% terkonfirmasi Covid-19. Provinsi dengan jumlah penderita
paling banyak di Indonesia adalah DKI Jakarta dengan jumlah kasus
terkonfirmasi sebanyak 317.432 kasus dan provinsi dengan kasus
terkonfirmasi Covid-19 paling sedikit adalah Maluku Utara dengan jumlah
3.878 kasus terkonfirmasi. Jawa Tengah sendiri menempati urutan ketiga
dengan kasus terkonfirmasi covid-19 sebanyak 142.318 kasus.
(KPCDPEN,2021) Semarang merupakan salah satu kota di Jawah Tengah
dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak pertanggal 22 Februari 2021
dengan jumlah kasus sebanyak 17.379 kasus terkonfirmasi covid-19. Salatiga
merupakan kota dengan jumlah kasus Covid-19 terendah di Jawa Tengah
dengan jumlah kasus sebanyak 1.363 kasus terkonfirmasi. Kabupaten
Grobogan merupakan kabupaten yang menempati urutan keempat trendah
kasus Covid-19 dengan jumlah kasus sebanyak 1.834 kasus (PemprovJateng,
2021) Di Kabupaten Grobogan, KecematanGubug merupakan salah satu
kecematan dengan kasus Covid-19 terbanyak dan menempati urutan keempat
dari 19 kecamatan dengan jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak 183 orang.
(DinkesGrobogan, 2021)

Wabah virus corona yang tiap harinya terus menimbulkan kematian sangat
berpengaruh besar terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia yang
didalamnya mencakup kesehatan mental. Tekanan selama berlangsungnya
pandemi global menyebabkan beberapa gangguan seperti ketakutan dan
kecemasan yang berlebihan baik pada diri sendiri maupun orang-orang
terdekat, perubahan pola tidur dan pola makan, rasa tertekan dan sulit
berkonsentrasi, bosan dan stress karena terus-menerus berada di rumah,
penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, dan munculnya gangguan
psikomatis (Ilpaj,2020).

Studi literatur yang dilakukan beberapa peneliti telah membuktikan bahwa


pandemic covid-19 memberi dampak negatif kepada masyarakat berupa
kecemasan. Sari dalam jurnal literatur review yang di publikasikan pada
tahun 2020 yang menganalisa 5 jurnal menyimpulkan bahwa masa pandemi
Covid-19 menimbulkan gangguan cemas (Cemas) kepada masyarakat (Sari ,
2020). Lanjut usia sebagai salah satu kelompok rentan akibat proses
degeneratif yang menyebabkan menurunnya imunitas tubuh sehingga lansia
rentan terinfeksi penyakit, termasuk virus corona. Di tengah kondisi pandemi
yang penuh ketidakpastian, lansia mudah dihinggapi perasaan cemas
berlebihan yang kemudian berpengaruh terhadap kondisi kesehatan fisik.
Situasi yang demikian kompleks dan penuh tekanan secara psikologi dari
setiap kelompok usia membutuhkan perhatian dan penanganan yang cepat
sehingga tidak menjadi ganguan jiwa yang lebih serius (Vibriyanti,2020)

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Gubug


didapatkan data jumlah lansia di atas 60 tahun sebanyak 906 lansia di 3
kelurahan. Sebanyak 603 lansia tercatat menderita penyakit kronis yang
dapat meningkatkan berisiko menularkan dan tertular virus Covid-19. Oleh
karena itu social distancing dianggap tepat, namun harus tetap
memperhatikan kebutuhan lansia sesuai tingkat kemandiriannya (Anung,
2020). Pemberitaan media masa tentang Covid-19 yang semakin tidak
tersaring menyebabkan kecemasan yang semakin meningkat (Riyani dan
purqote, 2010) ditambah lagi jumlah orang sakit dan orang meninggal dunia
yang terus meningkat berdampak pada status mental masyarakt salah satunya
adalah gangguan kecemasan (Ilpaj,2020).

Pandangan lansia terhadap pandemi Covid-19 yang terjadi tanpa adanya


persiapan yang menyebabkan kecemasan. Kecemasan ini muncul dalam diri
lansia dikarenakan adanya peningkatan kewaspadaan diri akan adanya
bahaya yang mengancam. Adapun wujud kecemasan yang dialami lansia
terjadi saat lansia diharuskan melakukan social distancing (pembatasan
kontak sosial) yang dilakukan dengan sesama anggota keluarga yang lain
yang tinggal serumah karena diantara keluarga belum tentu semuanya sehat
dan terbebas dari virus. Selain itu itusocial distancing juga pernah dialami
lansia saat ada anggota keluarga yang terpapar Covid-19. Hal ini membuat
ruang gerak lansia semakin terbatas dikarenakan adanya kehawatiran bahaya
covid-19 di tambah lagi pemberitaan media masa tentang Covid-19 yang
semakin tidak tersaring (Anung, 2020; Ilpaj,2020; Riyani dan purqote, 2010).
Mengelola kecemasan pada tingkat proposional, pemilihan informasi yang
diterima selama pandemi adalah kunci untuk mengelola kecemasan (Riyadi,
2020).

Studi pendahuluan yang dilakukan dengan mewawancarai 10 lansia yang


menderita penyakit kronis menggunakan Geriatri Anxiety Inventory (GAI),
didapatkan data bahwa 3 dari 10 lansia (30%) mengalami kecemasan ringan 4
dari 10 (40%) lansia menglaami kecemasan sedang dan 1 dari 10 (10%)
lansia mengalami kecemasan berat. Kedelapan lansia yang diwawancarai
tersebut mengatakan bahwa mereka cemas terhadap dampak dari COVID-19.
Kecemasan merupakan salah satu masalah psikologi yang sering dialami oleh
lanjut usia (Kholifah,2016). Apabila kecemasan tidak ditangani maka akan
mempengaruhi kualitas tidur lansia (Dariah dan Okatiranti,2015;
Witriya,2016).

Penelitian yang dipaparkan di atas menunjukan bahwa pandemi Covid-19


memberi dampak kepada hampir seluruh elemen masyarkat mulai dari
remaja, mahasiswa dan masyarakat secara umum. Hingga saat ini belum ada
peneliti yang melakukan penelitian tentang pengaruh Covid-19 terhadap
tingkat kecemasan lanjut usia dimasa pandemi. Hal ini membuat peneliti
tertarik untuk meneliti tingkat kecemasan lansia dimasa pandemi Covid-19
yang dihubungkan dengan kualitas tidur lansia selama masa pandemi.

B. Rumusan Masalah
Lanjut usia merupakan seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun (enam
puluh) tahun keatas., Masalah psikologi yang sering terjadi Seiring dengan
bertambahnya usia pada lansia adalah depresi, insomnia, paranoid, demensia,
dan kecemasan. Dalam beberapa penelitian menunjukan bahwa kecemasan
dapat menyababkanganguan kualitas tidur dan juga mempengaruhi pola tidur
pada lansia. Kecemasan menjadi suatu fenomena yang banyak dijumpai
selama masa pandemi akibat wabah virus corona. Berdasarkan uraian di atas,
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Apakah ada
hubungan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur lansia di masyarakat desa
Gubug saat pandemi?”

C. TujuanPenelitian
1. TujuanUmum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat
kecemasan terhadap kualitas tidur lansia di desa Gubug pada saat
pandemic COVID-19
2. TujuanKhusus
a. Mengidentifikasi Karakteristik lansia di desa Gubug saat pandemi
Covid-19
b. Mengidentifikasi tingkat kecemasan lansia di desa Gubug saat
pandemi Covid-19
c. Mengidentifikasi kualitas tidur lansia di desa Gubug saat pandemi
Covid-19
d. Menganalisis hubungan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur
lansia di desa Gubug saat pandemi Covid-19

D. ManfaatPenelitian
1. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
hubungan kecemasan lansia dimasa pandemic Covid-19 dengan kualitas
tidur.

2. Bagi Pendidikan Keperawatan


Pembuktian ada tidaknya hubungan antara tingkat kecemasan lansia
selama masa pandemi dengan kualitas tidur lansia yang merupakan hasil
dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber data bagi intitusi
pendidikan bila melakukan pendidikan kesehatan baik kepada mahasiswa
keperawatan maupun kepada masyarakat dilapangan dan juga dapat
digunakan sebagai sumber literatur tambahan dalam pendidikan
keperawatan

3. Bagi Peneliti Selanjutnya


Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi peneliti selanjutnya
tentang hubungnakecemasanterhadap kualitas tidurlanjut usia. Dengan
mengetahui hubungan kecemasa tersebut, diharapkan peneliti selanjutnya
dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai sumber data untuk
penelitian selanjutnya dan juga hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai acuan untuk meneliti hubungan kecemasan terhadap variabel-
variabel lain yang berhubungan dengan pasien lanjut usia.
E. Keaslian Penelitian
Table 1.1. Originalitas Penelitian
No Penulis Judul Metode Hasil
1 CahyanaWitriy Hubungan Desain dpenelitian Sebagian besar (62,3%)
a, Tingkat analitik korelasi tingkat kecemasan responden
Kecemasan dengan pendekatan masuk kategori sangat ringan
Ngesti W. dengan Pola cross sectional. sebanyak 33 orang.
Utami, Tidur Lansia di Sebagian besar (58,5%) pola
Kelurahan Populasi dalam tidur responden masuk
Mia Tlogomas Kota penelitian adalah kategori baik sebanyak 31
Andinawati Malang seluruh lanjut usia orang.
yang mengalami Berdasarkan hasil analisis
kecemasan sehingga Spearman’s rank diketahui
berdampak dengan terdapat hubungan yang
pola tidur. kategori sedang antara tingkat
kecemasan dengan pola tidur
lansia di PosyanduPermadi
Kelurahan Tlogomas Kota
Malang
2 Retno Lestari, Hubungan Penelitian deskripsi Hasil analisis
Tingkat analitik korelasi terdapat hubungan yang
Titin Kecemasan dengan pendekatan signifikan antara tingkat
AndriWihastu Dengan Tingkat “Cross kecemasan dan tingkat
ti, Kemandirian Sectional” kemandirian pada Lansia.
Activities Of Pengambilan sampel
BertyFebrianti Daily Living dilakukan dengan
Rahayu (ADL) pada Purposive Sampling
Lanjut Usia di dengan jumlah sampel
Panti Werdha 84 responden
3 Rindayat, Gambaran Desain pada penelitian Hasil penelitian ini 56% tidak
Abd. Nasir, Kejadian dan ini adalah deskriptif, terjadi kecemasan dan 44%
Tingkat dengan populasi lanjut terjadi kecemasan, dimana
YuniAstriani Kecemasan pada usia sesuai dengan seluruhnya dengan tingkat
Lanjut Usia teknik pengambilan kecemasan ringan
sampel menggunakan
total sampling
dengan sampel
sebanyak 41
responden.
4 Elis Hubungan Penelitian ini 100% responden mengalmi
DetiDariah Kecemasan menggunakan metode kecemasan
dengan Kualitas korelasional, dengan
Okatiranti Tidur Lansia di menggunakan 45,4% responden mengalami
Posbindu Anyelir rancangan survey kualitas tidur yang baik dan
Kecamatan cross sectional, dengan 54,6% responden mengalami
Cisarua menggunakan teknik kualitas tidur yang buruk
Kabupaten accidental sampling.
Bandung Barat adanya hubungan antara
tingkat kecemasan dan
kualitas tidur lansia
5 Erna Tingkat Penelitian ini Hasil penelitian ini
Febriyanti, Kecemasan menggunakan menunjukkan 43,3 %
MahasiswaKeper rancangan deksriptif mahasiswa mengalami
ArtantyMellu, awatandalam kuantitatif dengan kecemasan ringan, 56,7 %
Menghadapi pendekatan cross mahasiswa mengalami
sectional. Sampel kecemasan sedang.
PandemiCovid- dalam penelitian ini
19 di Kota berjumlah 171 orang
Kupang responden yang dipilih
menggunakan
purposive sampling.

F. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Peneliti

Tabel 1.2
Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Peneliti

Analisa Penelitian Terkait Penelitian Peneliti


Persamaan :
Rancangan Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan penelitian ini
penelitian cross sectional menggunakan cross
CahyanaWitriya, Ngesti W. Utami, Mia sectional
Andinawati (2016)
Retno Lestari, Titin AndriWihastuti,
BertyFebrianti Rahayu (2013)
Rindayat, Abd. Nasir, YuniAstriani
(2020)
Elis DetiDariah dan Okatiranti (2015)
Erna Febriyanti, dan ArtantyMellu,
(2020)

Jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian Penelitian ini merupakan


kuantitatif penelitian kuantitatif
CahyanaWitriya, Ngesti W. Utami, Mia
Andinawati (2016)
Retno Lestari, Titin AndriWihastuti,
BertyFebrianti Rahayu (2013)
Rindayat, Abd. Nasir, YuniAstriani
(2020)
Elis DetiDariah dan Okatiranti (2015)
Erna Febriyanti, dan ArtantyMellu,
(2020)
Responden Lanjut Usia Lanjut Usia
CahyanaWitriya, Ngesti W. Utami, Mia
Andinawati (2016)
Retno Lestari, Titin AndriWihastuti,
BertyFebrianti Rahayu (2013)
Rindayat, Abd. Nasir, YuniAstriani
(2020)
Elis DetiDariah dan Okatiranti (2015)
Mahasiswa
Erna Febriyanti, dan ArtantyMellu,
(2020)
Alat ukur Geriatric Anxiety Inventory Geriatric Anxiety Inventory
Kecemasan Retno Lestari, Titin AndriWihastuti,
BertyFebrianti Rahayu (2013)
Pengambilan Purposive sampling Purposive sampling
sampel Retno Lestari, Titin AndriWihastuti,
BertyFebrianti Rahayu (2013)
Erna Febriyanti, dan ArtantyMellu,
(2020)
Perbedaan
Alat ukur Kuisioner (tidak spesifik) Geriatric Anxiety Inventory
Kecemasan CahyanaWitriya, Ngesti W. Utami, Mia
Andinawati (2016)
Elis DetiDariah dan Okatiranti (2015)
Erna Febriyanti, dan ArtantyMellu,
(2020)
Hamilton Anxiety Rating Scale
Rindayat, Abd. Nasir, YuniAstriani
(2020)
Alat ukur Pittsburgh Sleep Quality
Kualitas tidur Index
Pengambilan Total Sampling Purposive sampling
sampel CahyanaWitriya, Ngesti W. Utami, Mia
Andinawati (2016)
Rindayat, Abd. Nasir, YuniAstriani
(2020)
accidental sampling.
Elis DetiDariah dan Okatiranti (2015)
Responden Mahasiswa Lanjut Usia
Erna Febriyanti, dan ArtantyMellu,
(2020)
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Keperawatan Komunitas
1. Pengertian Keperawatan Komunitas
Keperawatan kesehatan komunitas terdiri dari tiga kata yaitu
keperawatan, kesehatan dan komunitas, dimana setiap kata memiliki arti
yang cukup luas. Definisikan ketiga kata tersebut sebagai berikut :
a. Keperawatan adalah ilmu yang mempelajari penyimpangan atau
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang dapat
mempengaruhi perubahan, penyimpangan atau tidak berfungsinya
secara optimal setiap unit yang terdapat dalam sistem hayati tubuh
manusia, balk secara individu, keluarga, ataupun masyarakat dan
ekosistem.
b. Kesehatan adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan
manusia mulai dari tingkat individu sampai tingkat eko¬sistem serta
perbaikan fungsi setiap unit dalam sistem hayati tubuh manusia
mulai dari tingkat sub sampai dengan tingkat sistem tubuh.
c. Komunitas adalah sekelompok manusia yang saling berhubungan
lebih sering dibandingkan dengan manusia lain yang berada
diluarnya serta saling ketergantungan untuk memenuhi keperluan
barang dan jasa yang penting untuk menunjang kehidupan sehari-
hari (Nofalia dan Nurha, 2018)

World Health Organization (1959) dalam Nofaliadan Nurha, (2018),


keperawatan komunitas adalah bidang perawatan khusus yang
merupakan gabungan ketrampilan ilmu keperawatan, ilmu kesehatan
masyarakat dan bantuan sosial, sebagai bagian dari program kesehatan
masyarakat secara keseluruhan guna meningkatkan kesehatan,
penyempumaan kondisi sosial, perbaikan lingkungan fisik, rehabilitasi,
pence-gahan penyakit dan bahaya yang lebih besar, ditujukan kepada
individu, keluarga, yang mempunyai masalah dimana hal itu
mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan.

Keperawatan kesehatan komunitas adalah pelayanan keperawatan


profesional yang ditujukan kepada masyarakat dengan pendekatan pada
kelompok resiko tinggi, dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang
optimal melalui pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan dengan
menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan
melibatkan klien sebagai mitra dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi pelayanan keperawatan (Widagdo, 2016).

Keperawatan kesehatan komunitas menurut American Nurses


Association (1973) adalah suatu sintesa dari praktik kesehatan
masyarakat yang dilakukan untukkesehatan komunitas ini bersifat
menyeluruh dengan tidak membatasi pelayanan yang diberikan kepada
kelompok umur tertentu, berkelanjutan dan melibatkan masyarakat
(Nofaliadan Nurha, 2018)

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perawatan


kesehatan komunitas adalah suatu bidang dalam ilmu keperawatan yang
merupakan keterpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat
dengan dukungan peran serta masyarakat, serta mengutamakan
pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan dengan tanpa
mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif, secara menyeluruh dan
terpadu ditujukan kesatuan yang utuh melalui proses keperawatan untuk
ikut meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal (Widagdo,
2016;Kartiningrum, 2017; Nofaliadan Nurha, 2018).

2. Paradigma Keperawatan Komunitas


Paradigma keperawatan komunitas terdiri dari empat komponen pokok,
yaitu manusia, keperawatan, kesehatan dan lingkungan. Sebagai sasaran
praktik keperawatan klien dapat dibedakan menjadi individu, keluarga
dan masyarakat.
a. Individu Sebagai Klien
Individu adalah anggota keluarga yang unik sebagai kesatuan utuh
dari aspek biologi, psikologi, social dan spiritual. Peran perawat
pada individu sebagai klien, pada dasarnya memenuhi kebutuhan
dasarnya yang mencakup kebutuhan biologi, sosial, psikologi dan
spiritual karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan
pengetahuan, kurangnya kemauan menuju kemandirian pasien/klien.
b. Keluarga Sebagai Klien
Keluarga merupakan sekelompok individu yang berhubungan erat
secara terus menerus dan terjadi interaksi satu sama lain baik secara
perorangan maupun secara bersama-sama, di dalam lingkungannya
sendiri atau masyarakat secara keseluruhan. Keluarga dalam
fungsinya mempengaruhi dan lingkup kebutuhan dasar manusia
yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman dan nyaman, dicintai dan
mencintai, harga diri dan aktualisasi diri. Beberapa alasan yang
menyebabkan keluarga merupakan salah satu fokus pelayanan
keperawatan yaitu:
1) Keluarga adalah unit utama dalam masyarakat dan merupakan
lembaga yang menyangkut kehidupan masyarakat.
2) Keluarga sebagai suatu kelompok dapat menimbulkan,
mencegah, memperbaiki ataupun mengabaikan masalah
kesehatan didalam kelompoknya sendiri.
3) Masalah kesehatan didalam keluarga saling berkaitan. Penyakit
yang diderita salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi
seluruh anggota keluarga tersebut.

c. Masyarakat Sebagai Klien


Masyarakat memiliki cirri-ciri adanya interaksi antar warga, diatur
oleh adat istiadat, norma, hukum dan peraturan yang khas dan
memiliki identitas yang kuat mengikat semua warga. Kesehatan
dalam keperawatan kesehatan komunitas didefenisikan sebagai
kemampuan melaksanakan peran dan fungsi dengan efektif.
Kesehatan adalah proses yang berlangsung mengarah kepada
kreatifitas, konstruktif dan produktif. Menurut Hendrik L. Blum ada
empat faktor yang mempengaruhi kesehatan, yaitu lingkungan,
perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Lingkungan terdiri
dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik yaitu
lingkungan yang berkaitan dengan fisik seperti air, udara, sampah,
tanah, iklim, dan perumahan. Contoh di suatu daerah mengalami
wabah diare dan penyakit kulit akibat kesulitan air bersih.

Keturunan merupakan faktor yang telah ada pada diri manusia yang
dibawanya sejak lahir, misalnya penyakit asma. Keempat faktor
tersebut saling berkaitan dan saling menunjang satu dengan yang
lainnya dalam menentukan derajat kesehatan individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Keperawatan dalam keperawatan
kesehatan komunitas dipandang sebagai bentuk pelayanan esensial
yang diberikan oleh perawat kepada individu, keluarga, dan
kelompok dan masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan
meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative dengan
menggunakan proses keperawatan untuk mencapai tingkat kesehatan
yang optimal.

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional sebagai


bagian integral pelayanan kesehatan dalam bentuk pelayanan
biologi, psikologi, sosial dan spiritual secara komprehensif yang
ditujukan kepada individu keluarga dan masyarakat baik sehat
maupun sakit mencakup siklus hidup manusia. Lingkungan dalam
paradigma keperawatan berfokus pada lingkungan masyarakat,
dimana lingkungan dapat mempengaruhi status kesehatan manusia.
Lingkungan disini meliputi lingkungan fisik, psikologis, sosial dan
budaya dan lingkungan spiritual (Nofalia dan Nurhadi, 2018).

3. Tujuan Keperawatan Kesehatan Komunitas


Keperawatan komunitas merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan
yang dilakukan sebagai upaya dalam pencegahan dan peningkatan derajat
kesehatan masyarakat melalui pelayanan keperawatan langsung
(direction) terhadap individu, keluarga dan kelompok didalam konteks
komunitas serta perhatian lagsung terhadap kesehatan seluruh masyarakat
dan mempertimbangkan masalah atau isu kesehatan masyarakat yang
dapat mempengaruhi individu, keluarga serta masyarakat (Nofalia dan
Nurha, 2018)
a. Tujuan Umum
Meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan masyarakat secara
meyeluruh dalam memelihara kesehatannya untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal secara mandiri (Kartiningrum, 2017; Nofalia
dan Nurha, 2018).
b. Tujuan khusus
1) Dipahaminya pengertian sehat dan sakit oleh masyarakat.
2) Meningkatnya kemampuan individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat untuk melaksanakan upaya perawatan dasar dalam
rangka mengatasi masalah keperawatan.
3) Tertanganinya kelompok keluarga rawan yang memerlu¬kan
pembinaan dan asuhan keperawatan.
4) Tertanganinya kelompok masyarakat khusus/rawan yang
memerlukan pembinaan dan asuhan keperawatan di rumah, di
panti dan di masyarakat.
5) Tertanganinya kasus-kasus yang memerlukan penanganan
tindaklanjut dan asuhan keperawatan di rumah.
6) Terlayaninya kasus-kasus tertentu yang termasuk kelompok
resiko tinggi yang memerlukan penanganan dan asuhan
keperawatan di rumah dan di Puskesmas.
7) Teratasi dan terkendalinya keadaan lingkungan fisik dan sosial
untuk menuju keadaan sehat optimal (Widagdo,
2016;Kartiningrum, 2017; Nofalia dan Nurha, 2018).

4. Sasaran Keperawatan Kesehatan Komunitas


Sasaran keperawatan komunitas adalah seluruh masyarakat termasuk
individu, keluarga, dan kelompok yang beresiko tinggi seperti keluarga
penduduk di daerah kumuh, daerah terisolasi dan daerah yang tidak
terjangkau termasuk kelompok bayi, balita dan ibu hamil. Sasaran
keperawatan komunitas terdiri dari tiga tingkat yaitu :
a. Tingkat Individu.
Perawat memberikan asuhan keperawatan kepada individu yang
mempunyai masalah kesehatan tertentu (misalnya TBC, ibu hamil
dll) yang dijumpai di poliklinik, Puskesmas dengan sasaran dan
pusat perhatian pada masalah kesehatan dan pemecahan masalah
kesehatan individu.
b. Tingkat Keluarga.
Sasaran kegiatan adalah keluarga dimana anggota keluarga yang
mempunyai masalah kesehatan dirawat sebagai bagian dari keluarga
dengan mengukur sejauh mana terpenuhinya tugas kesehatan
keluarga yaitu mengenal masalah kesehatan, mengambil keputusan
untuk mengatasi masalah kesehatan, memberikan perawatan kepada
anggota keluarga, menciptakan lingkungan yang sehat dan
memanfaatkan sumber daya dalam masyarakat untuk meningkatkan
kesehatan keluarga.
Prioritas pelayanan Perawatan Kesehatan Masyarakat difokuskan
pada keluarga rawan yaitu :
1) Keluarga yang belum terjangkau pelayanan kesehatan, yaitu
keluarga dengan: ibu hamil yang belum ANC, ibu nifas yang
persalinannya ditolong oleh dukun dan neo¬natusnya, balita
tertentu, penyakit kronis menular yang tidak bisa diintervensi
oleh program, penyakit endemis, penyakit kronis tidak menular
atau keluarga dengan kecacatan tertentu (mental atau fisik).
2) Keluarga dengan resiko tinggi, yaitu keluarga dengan ibu hamil
yang memiliki masalah gizi, seperti anemia gizi be-rat (HB
kurang dari 8 gr%) ataupun Kurang Energi Kronis (KEK),
keluarga dengan ibu hamil resiko tinggi seperti perdarahan,
infeksi, hipertensi, keluarga dengan balita dengan BGM,
keluarga dengan neonates BBLR, keluarga dengan usia lanjut
jompo atau keluarga dengan kasus percobaan bunuh diri.
3) Keluarga dengan tindak lanjut perawatan
c. Tingkat Komunitas Dilihat sebagai suatu kesatuan dalam komunitas
sebagai klien.
1) Pembinaan kelompok khusus
2) Pembinaan desa atau masyarakat bermasalah (Kartiningrum,
2017; Nofalia dan Nurha, 2018).

5. Ruang Lingkup Keperawatan Komunitas


Keperawatan komunitas mencakup berbagai bentuk upaya pelayanan
kesehatan baik upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, maupun
resosialitatif. Upaya promotif dilakukan untuk meningkatkan kesehatan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan melakukan
kegiatan penyuluhan kesehatan, peningkatan gizi, pemeliharaan
kesehatan perorangan, pemeliharaan kesehatan lingkungan, olahraga
teratur, rekreasi dan pendidikan seks (Nofalia dan Nurhadi, 2018).

Upaya preventif untuk mencegah terjadinya penyakit dan gangguan


kesehatan terhadap individu, keluarga kelompok dan masyarakat melalui
kegiatan imunisasi, pemeriksaan kesehatan berkala melalui posyandu,
puskesmas dan kunjungan rumah, pemberian vitamin A, iodium, ataupun
pemeriksaan dan pemeliharaan kehamilan, nifas dan menyusui (Nofalia
dan Nurhadi, 2018).

Upaya kuratif bertujuan untuk mengobati anggota keluarga yang sakit


atau masalah kesehatan melalui kegiatan perawatan orang sakit dirumah,
perawatan orang sakit sebagai tindaklanjut dari Pukesmas atau rumah
sakit, perawatan ibu hamil dengan kondisi patologis, perawatan buah
dada, ataupun perawatan tali pusat bayi baru lahir (Nofalia dan Nurhadi,
2018).

Upaya rehabilitatif atau pemulihan terhadap pasien yang dirawat dirumah


atau kelompok-kelompok yang menderita penyakit tertentu seperti TBC,
kusta dan cacat fisik lainnya melalui kegiatan latihan fisik pada penderita
kusta, patch tulang dan lain sebagainya, kegiatan fisioterapi pada
penderita stroke, batuk efektif pada penderita TBC, dll. (Nofalia dan
Nurhadi, 2018).

Upaya resosialitatif adalah upaya untuk mengembalikan pen¬derita ke


masyarakat yang karena penyakitnya dikucilkan oleh masyarakat seperti,
penderita AIDS, kusta dan wanita tuna susila (Nofalia dan Nurhadi,
2018).

6. Tatanan Praktik Dalam Keperawatan Kesehatan Komunitas


Perawat kesehatan komunitas melakukan pekerjaan pada berbagai posisi
dengan fokus utama klien individu, keluarga, dan komunitas. Tatanan
praktik dalam keperawatan kesehatan komunitas sangat luas, karena pada
semua tatanan perawat komunitas dapat memberikan pelayanan dengan
penekanan tingkat pencegahan primer, sekunder dan tertier. Perawat
yang bekerja di komunitas dapat bekerja sebagai perawat keluarga,
perawat sekolah, perawat kesehatan kerja atau pegawai gerontology.
a. Perawat Keluarga
Keperawatan kesehatan keluarga adalah tingkat keperawatan tingkat
kesehatan masyarakat yang dipusatkan pada keluarga sebagai satu
kesatuan yang dirawat dengan sehat sebagai tujuan pelayanan dan
perawatan sebagai upaya. Perawat keluarga adalah perawat
terregistrasi dan telah lulus dalam bidang keperawatan yang
dipersiapkan untuk praktik memberikan pelayanan individu dan
keluarga disepanjang rentang sehat sakit. Peran yang dilakukan
perawat keluarga adalah melaksanakan asuhan keperawatan
keluarga, berpartisipasi dan menggunakan hasil riset,
mengembangkan dan melaksanakan kebijakan dibidang kesehatan,
kepemimpinan, pendidikan, case management dan konsultasi
(Kartiningrum, 2017; Nofalia dan Nurha, 2018).
b. Perawat Kesehatan Sekolah
Keperawatan sekolah adalah keperawatan yang difokuskan pada
anak ditatanan pendidikan guna memenuhi kebutuhan anak dengan
mengikut sertakan keluarga maupun masyarakat sekolah dalam
perencanaan pelayanan. Fokus utama perawat kesehatan sekolah
adalah siswa dan lingkungannya dan sasaran penunjang adalah guru
dan kader (Kartiningrum, 2017; Nofalia dan Nurha, 2018).
c. Perawat Kesehatan
Kerja Perawatan kesehatan kerja adalah penerapan prinsip-prinsip
keperawatan dalam memelihara kelestarian kesehatan tenaga kerja
dalam segala bidang pekerjaan. Perawat kesehatan kerja
mengaplikasikan praktik keperawatan dalam upaya memenuhi
kebutuhan unik individu, kelompok dan masyarakat ditatanan
industri, pabrik, tempat kerja, tempat konstruksi, universitas dan
lain-lain (Kartiningrum, 2017; Nofalia dan Nurha, 2018).
d. Perawat Gerontologi
Perawatan gerontologi atau gerontik adalah ilmu yang mempelajari
dan memberikan pelayanan kepada orang lanjut usia yang dapat
terjadi diberbagai tatanan dan membantu orang lanjut usia tersebut
untuk mencapai dan mempertahankan fungsi yang optimal. Lingkup
praktik keperawatan gerontologi adalah memberikan asuhan
keperawatan, melaksanakan advokasi dan bekerja untuk
memaksimalkan kemampuan atau kemandirian lanjut usia,
meningkatkan dan mempertahankan kesehatan, mencegah dan
meminimalkan kecacatan dan menunjang proses kematian yang
bermartabat (Kartiningrum, 2017; Nofalia dan Nurha, 2018).

7. Area praktik keperawatan komunitas


Keperawatan komunitas merupakan praktik upaya promotif dan
proteksi kesehatan pada sekelompok populasi manusia dengan
menggunakan ilmu keperawatan, sosial dan kesehatan masyarakat.
Praktik yang dilakukan berfokus pada populasi dengan tujuan
utama peningkatan kesehatan, mencegah penyakit serta kecacatan
untuk semua kelompok masyarakat melalui kondisi yang diciptakan
dimana orang bisa menjadi sehat dan lebih sehat dari semula. Perawat
kesehatan komunitas bisa bekerja sama dengan komunitas dan
populasi untuk mengurangi risiko angka kesakitan serta meningkatkan,
mempertahankan dan memperbaiki kembali kesehatan (Kartiningrum,
2017).

Perawat kesehatan komunitas melakukan advokasi untuk


merubah suatu sistem dan mengaplikasikan konsep
pengorganisasian dan pengembangan komunitas, koordinasi
perawatan, pendidikan kesehatan, kesehatan lingkungan dan ilmu
kesehatan masyarakat. Perawat kesehatan komunitas bekerja
sama dengan populasi dan berbagai kelompok yang meliputi :
a. Anggota dari tim kesehatan masyarakat seperti epidemiologi,
pekerja social, nutrisionis dan pendidik kesehatan.
b. Organisasi kesehatan pemerintah.
c. Penyedia layanan kesehatan.
d. Organisasi dan koalisi masyarakat.
e. Unit pelayanan komunitas seperti sekolah, lembaga bantuan
hokum dan unit gawat darurat.
f. Industri dan bisnis.
g. Institusi penelitian dan pendidikan (Kartiningrum, 2017).
Menurut Depkes RI (2006), pelayanan keperawatan komunitas
dapat diberikan langsung pada semua tatanan pelayanan kesehatan
seperti:
a. Unit pelayanan kesehatan yang mempunyai pelayanan rawat
jalan dan rawat inap (Rumah Sakit, Puskesmas, dan lain lain)
b. Rumah
Perawat home care memberikan pelayanan pada keluarga
dirumah yang menderita penyakit akut maupun kronis. Peran
home care adalah untuk meningkatkan fungsi keluarga dalam
perawatan anggota keluarga yang sakit ataupun yang
berisiko.
c. Sekolah.
Perawat sekolah dapat melakukan perawat day care, selain itu
dapat juga melakukan pemeriksaan secara keseluruhan
(screening), mempertahankan kesehatan dan memberikan
pendidikan kesehatan.
d. Tempat kerja atau industri.
Perawat melakukan kegiatan perawatan langsung dengan kasus
kesakitan atau kecelakaan minimal ditempat kerja dan industri.
Selain itu perawat juga memberikan pendidikan kesehatan
e. Barak penampungan.
Perawat memberikan tindakan langsung pada kasus prnyakit
akut, kronis serta kecacatan fisik ganda dan mental.
f. Kegiatan Puskesmas Keliling.
Diberikan kepada individu, kelompok masyarakat di pedesaan dan
kelompok terlantar. Bentuk pelayanan seperti pengobatan
sederhana, screening kesehatan, kasus penyakit akut dan
kronis, pengelolaan dan rujukan kasus penyakit
g. Panti atau kelompok khusus lain seperti panti asuhan anak,
panti wreda, panti social, rumah tahanan.
h. Pelayanan pada kelompok resiko tinggi:
1) Kelompok wanita, anak dan lansia yang mendapat
perlakuan kekerasan.
2) Pusat pelayanan kesehatan jiwa dan penyalahgunaan
obat.
3) Tempat penampungan kelompok dengan HIV/AIDS dan
Wanita Tuna Susila (Kartiningrum, 2017).

8. Kegiatan dalam asuhan keperawatan komunitas


Dalam memberikan asuhan keperawatan komunitas, kegiatan yang
ditekankan adalah upaya preventif dan promotif dengan tidak
mengabaikan upaya kuratif, rehabilitatif dan resosialitatif.
a. Upaya Promotif
Upaya promotif dilakukan untuk meningkatkan kesehatan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan jalan
memberikan:
1) Penyuluhan kesehatan masyarakat
2) Peningkatan gizi
3) Pemeliharaan kesehatan perseorangan
4) Pemeliharaan kesehatan lingkungan
5) Olahraga secarateratur
6) Rekreasi
7) Pendidikan seks.
b. Upaya Preventif
Upaya preventif ditujukan untuk mencegah terjadinya penyakit dan
gangguan terhadap kesehatan individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat melalui kegiatan:
1) Imunisasi massal terhadap bayi, balita serta ibu hamil
Pemeriksaan kesehatan secara berkala melalui posyandu,
puskesmas maupun kunjungan rumah
2) Pemberian vitamin A dan yodium melalui posyandu,
puskesmas ataupun di rumah. Pemeriksaan dan
pemeliharaan kehamilan, nifas dan menyusui.
c. Upaya Kuratif
Upaya kuratif ditujukan untuk merawat dan mengobati
anggota-anggota keluarga, kelompok dan masyarakat yang
menderita penyakit atau masalah kesehatan, melalui kegiatan:
1) Perawatan orang sakit di rumah (home nursing)Perawatan
orang sakit sebagai tindak lanjut perawatan dari puskesmas
dan rumah sakit
2) Perawatan ibu hamil dengan kondisi patologis di
rumah, ibu bersalin dan nifas
3) Perawatan payudara
4) Perawatan tali pusat bayi baru lahir.
d. Upaya Rehabilitatif
Upaya rehabilitatif merupakan upaya pemulihan kesehatan bagi
penderita-penderita yang dirawat di rumah, maupun terhadap
kelompok-kelompok tertentu yang menderita penyakit yang
sama, misalnya kusta, TBC, cacat fisik dan lainnya., dilakukan
melalui kegiatan:
Latihan fisik, baik yang mengalami gangguan fisik seperti
penderita kusta, patah tulang maupun kelainan bawaan
Latihan-latihan fisik tertentu bagi penderita-penderita
penyakit tertentu, misalnya TBC, latihan nafas dan batuk,
penderita stroke: fisioterapi manual yang mungkin dilakukan
oleh perawat.
e. Upaya Resosialitatif
Upaya resosialitatif adalah upaya mengembalikan individu, keluarga
dan kelompok khusus ke dalam pergaulan masyarakat,
diantaranya adalah kelompok-kelompok yang diasingkan oleh
masyarakat karena menderita suatu penyakit, misalnya kusta,
AIDS, atau kelompok-kelompok masyarakat khusus seperti
Wanita Tuna Susila (WTS), tuna wisma dan lain-lain. Di
samping itu, upaya resosialisasi meyakinkan masyarakat
untuk dapat menerima kembali kelompok yang mempunyai
masalah kesehatan tersebut dan menjelaskan secarabenar masalah
kesehatan yang mereka derita. Hal ini tentunya membutuhkan
penjelasan dengan pengertian atau batasan-batasan yang jelas
dan dapat dimengerti (Kartiningrum, 2017).

B. Lansia
1. Definisi

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup,
tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa
dan tua (Kholifa,2016). Lanjut Usia adalah seseorang yang mencapai usia
60 tahun ke atas (UU No. 13 tahun 1998)
2. Klasifikasi Lansia
Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang yang sedang mengalami
suatu proses perubahan secara bertahapn dalam jangka waktu tertentu.
Menurut WHO (2013) dalam Kholifa (2016), lansia dikelompokkan
menjadi 4 kelompok yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun
b. Lansia (elderly) : usia 60-74 tahun
c. Lansia tua (old) : usia 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) : usia diatas 90 tahun

Departemen Kesehatan RI 1998 dalam Kholifa (2016) memberikan


batasan lansia sebagai berikut:
Presenilis : masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan kematangan jiwa (usia 45-
59 tahun)
Usia lanjut : kelompok yang mulai memasuki masa
usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,
Lansia beresiko tinggi : yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60
tahun ke atas dengan masalah kesehatan.

3. Teori Penuaan
Teori penuaan secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu
teori biologi dan teori penuaan psikososial:
a. Teori Biologi
1) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu
dan kebanyakan sel–sel tubuh “diprogram” untuk membelah
50 kali. Jika seldari tubuh lansia dibiakkanlaludiobrservasi di
laboratorium terlihat jumlah sel–sel yang akan membelah
sedikit. Pada beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem
musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ
dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang
karena rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut
beresiko akan mengalami proses penuaan dan mempunyai
emampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh
dan memperbaiki diri (Kholifa,2016; Sunarya, 2015).

2) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)


Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya
pada lansia. Proses kehilangan elastisitas ini dihubungkan
dengan adanya perubahan kimia pada komponen protein dalam
jaringan tertentu. Pada lansia beberapa protein (kolagen dan
kartilago, dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan
bentuk dan struktur yang berbeda dari protein yang lebih
muda. Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin
pada kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih
tebal, seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih
mudah dihubungkan dengan perubahan permukaan kulit yang
kehilangan elastisitanya dan cenderung berkerut, juga
terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada system
musculoskeletal (Kholifa,2016; Sunarya, 2015).

3) Keracunan Oksigen
Teori ini tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel
di dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang
mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa
mekanisme pertahanan diri tertentu. Ketidakmampuan
mempertahankan diri dari toksin tersebut membuat struktur
membran sel mengalami perubahan serta terjadi kesalahan
genetik. Membran sel tersebut merupakan alat sel supaya dapat
berkomunikasi dengan lingkungannya dan berfungsi juga
untuk mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses
ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen protein
pada membran sel yang sangat penting bagi proses tersebut,
dipengaruhi oleh rigiditas membran. Konsekuensi dari
kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel
oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua
jaringan dan organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan kerusakan sistem tubuh (Kholifa,2016; Sunarya,
2015).

4) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa
penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem
yang terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih,
juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses
penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca
tranlasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem
imun tubuh mengenali dirinya sendiri (Kholifa,2016).
Jika mutasi isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada
antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat menyebabkan
sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami
perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.
Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa
autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya
pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya
serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel
kanker leluasa membelah-belah (Sunarya, 2015).

5) Teori Menua Akibat Metabolisme


Menurut Mc. Kay et all., (1935) pengurangan “intake”
kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena jumlah
kalori tersebut antara lain disebabkan karena menurunnya
salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi
penurunan pengeluaran hormon yang merangsang pruferasi sel
misalnya insulin dan hormon pertumbuhan (Kholifa,2016;
Sunarya, 2015).

b. Teori Psikologis
1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara
keaktifannya setelah menua.Sense of integrity yang dibangun
dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini
menyatakan bahwa pada lansia yang sukses adalah mereka
yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial
(Kholifa,2016; Sunarya, 2015).

2) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)


Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia.
Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam
memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri
dengan masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan
interpersonal (Kholifa,2016; Sunarya, 2015).

3) Teori Pembebasan (Disengagement Theory)


Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,
seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan
sekitarnya(Kholifa,2016; Sunarya, 2015).

4. Kondisi Kesehatan Lansia


Angka kesakitan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengukur derajat kesehatan penduduk.Angka kesakitan tergolong
sebagai indikator kesehatan negatif.Semakin rendah angka kesakitan,
menunjukkan derajat kesehatan penduduk yang semakin baik. Keluhan
kesehatan tidak selalu mengakibatkan terganggunya akvitas sehari-hari,
namun terjadinya keluhan kesehatan dan jenis keluhan yang dialami oleh
penduduk dapat menggambarkan tingkat/derajat kesehatan secara kasar
(Kemenkes, 2016).
Bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat
proses penuaan sehingga penyakit tidak menular banyak muncul pada
lanjut usia. Lanjut usia mengalami masalah kesehatan. Masalah ini
berawal dari kemunduran sel-sel tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan
tubuh menurun serta faktor resiko terhadap penyakit pun meningkat.
Masalah kesehatan yang sering dialami lanjut usia adalah malnutrisi,
gangguan keseimbangan, kebingungan mendadak, dan lain-lain. Selain
itu, beberapa penyakit yang sering terjadi pada lanjut usia antara lain
hipertensi, gangguan pendengaran dan penglihatan, demensia,
osteoporosis (Kemenkes, 2016).

Masalah-masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda dari


orang dewasa, yang sering disebut dengan sindromageriatri yaitu
kumpulan gejala-gejala mengenai kesehatan yang sering dikeluhkan oleh
para lanjut usia dan atau keluarganya (istilah 14 I), (Safitri, 2018) yaitu :

a. Immobility (kurang bergerak)


1) Keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih.
2) Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidak seimbangan,masalah psikologis, depresi
atau demensia.
3) Komplikasi yang timbul adalah luka di bagian yang mengalami
penekanan terus menerus timbul lecet bahkan infeksi,
kelemahan otot, kontraktur/kekakuan otot dan sendi, infeksi
paru-paru dan saluran kemih, konstipasi dan lain-lain.
4) Penanganan : latihan fisik, perubahan posisi secara teratur,
menggunakan kasur anti dekubitus, monitor asupan cairan dan
makanan yang berserat (Safitri, 2018).

b. Instability (Instabilitas dan Jatuh)


1) Penyebab jatuh misalnya kecelakaan seperti terpeleset,
sinkop/kehilangan kesadaran mendadak, dizzines/vertigo,
hipotensiorthostatik, proses penyakit dan lain-lain.
2) Dipengaruhi oleh faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada
pasien misalnya kekakuan sendi, kelemahan otot, gangguan
pendengaran,penglihatan, gangguan keseimbangan, penyakit
misalnya hipertensi, DM, jantung,dll ) dan faktor risiko
ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan misalnya alas kaki
tidak sesuai, lantai licin, jalan tidak rata, penerangan kurang,
benda-benda dilantai yang membuat terpeleset dll).
3) Akibat yang ditimbulkan akibat jatuh berupa cedera kepala,
cedera jaringan lunak, sampai patah tulang yang bisa
menimbulkan imobilisasi.
4) Prinsip dasar tatalaksanausia lanjut dengan masalah instabilitas
dan riwayat jatuh adalah: mengobati berbagai kondisi yang
mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan
penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat
bantu, sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah
lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup,
pegangan, lantai yang tidak licin (Safitri, 2018).

c. Incontinence Urin dan Alvi (Beser BAB dan BAK)


1) Inkontinensiaurin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang
tidak dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga
menimbulkan masalah sosial dan atau kesehatan.
2) Inkontinensiaurin akut terjadi secara mendadak dapat diobati
bila penyakit yang mendasarinya diatasi misalnya infeksisaluran
kemih, gangguan kesadaran, obat-obatan, masalah psikologik
dan skibala.
3) Inkontinesiaurin yang menetap di bedakan atas: tipe urgensi
yaitu keinginan berkemih yang tidak bisa ditahan penyebanya 
overaktifitas/kerja otot detrusor karena hilangnya kontrol
neurologis, terapi dengan obat-obatan antimuskarinik prognosis
baik, tipe stres kerena kegagalan mekanisme sfingter/katup
saluran kencing untuk menutup ketika ada peningkatan tekanan
intra abdomen mendadak seperti bersin, batuk, tertawa terapi
dengan latihan otot dasar panggul prognosis baik, tipe overflow
yaitu menggelembungnya kandung kemih melebihi volume
normal, post void residu > 100 cc terapi tergantung penyebab
misalnya atasi sumbatan/retensi urin.
4) Inkontinensiaalvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau
ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses
melalui anus, penyebab cedera panggul, operasi anus/rektum,
prolaps rektum, tumor dll.
5) Pada inkontinensiaurinntuk menghindari sering mengompol
pasien sering mengurangi minum yang menyebabkan terjadi
dehidrasi (Safitri, 2018).

d. IntelectualImpairement (Gangguan Intelektual Seperti Demensia


dan Delirium)
1) Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori
didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak
berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran sehingga
mempengaruhi aktifitas kerja dan sosial secara bermakna.
2) Demensia tidak hanya masalah pada memori. Demensia
mencakup berkurangnya kemampuan untuk mengenal, berpikir,
menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu dan juga
kehilangan pola sentuh, pasien menjadi perasa, dan
terganggunya aktivitas.
3) Faktor risiko : hipertensi, DM, gangguan jantung, PPOK dan
obesitas.
4) Sindromaderilium akut adalah sindroma mental organik yang
ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan
kognitif atau gangguan persepsi yang timbul dalam jangka
pendek dan berfluktuasi.
5) Gejalanya: gangguan kognitif global berupa gangguan memori
jangka pendek, gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), gangguan
proses pikir (diorientasi waktu, tempat, orang), komunikasi tidak
relevan, pasien mengomel, ide pembicaraan melompat-lompat,
gangguan siklus tidur (Safitri, 2018).

e. Infection (infeksi)
1) Pada lanjut usia terdapat  beberapa penyakit sekaligus,
menurunnya daya tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya
daya komunikasipada lanjut usia sehingga sulit/jarang
mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini.
2) Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai
dengan meningkatnya temperatur badan, dan hal ini sering tidak
dijumpai pada usia lanjut, malah suhu badan yang rendah lebih
sering dijumpai.
3) Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain
berupa konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu
makan tiba-tiba, badan menjadi lemas, dan adanya perubahan
tingkah laku sering terjadi pada pasien usia lanjut (Safitri, 2018).

f. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan


pendengaran, penglihatandan penciuman)
1) Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada lanjut usia
dan menyebabkan pasien sulit untuk diajak komunikasi
2) Penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran pada geriatri
adalah dengan cara memasangkan alat bantu dengar atau dengan
tindakan bedah berupa implantasikoklea.
3) Gangguan penglihatan bisa disebabkan gangguan refraksi,
katarak atau komplikasi dari penyakit lain misalnya DM, HT dll,
penatalaksanaan dengan memakai alat bantu kacamata atan
dengan operasi pada katarak (Safitri, 2018).

g. Isolation (Depression)
1) Isolation (terisolasi) / depresi, penyebab utama depresi pada
lanjut usia adalah kehilangan seseorang yang disayangi,
pasangan hidup, anak, bahkan binatang peliharaan.
2) Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan,
menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga
yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan
menyebabkan pasien akan merasa hidup sendiri dan menjadi
depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha bunuh diri
akibat depresi yang berkepajangan(Safitri, 2018).

h. Inanition (malnutrisi)
Asupan makanan berkurang  sekitar 25% pada usia 40-70 tahun.
Anoreksia dipengaruhi oleh faktor fisiologis (perubahan rasa kecap,
pembauan, sulit mengunyah, gangguan usus dll), psikologis (depresi
dan demensia) dan sosial (hidup dan makan sendiri) yang
berpengaruh pada nafsu makan dan asupan makanan (Safitri, 2018).

i. Impecunity (Tidak punya penghasilan)


1) Dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan fisik dan
mental akan berkurang secara berlahan-lahan, yang
menyebabkan ketidakmampuan tubuh dalam mengerjakan atau
menyelesaikan pekerjaan sehingga tidak dapat memberikan
penghasilan.
2) Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan
hidup dari tunjangan hari tuanya.
3) Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman
sejawat, berarti interaksi sosial pun berkurang memudahkan
seorang lansia mengalami depresi (Safitri, 2018).

j. Iatrogenic(penyakit karena pemakaian obat-obatan)


1) Lansia sering menderita penyakit lebih dari satu jenis sehingga
membutuhkan obat yang lebih banyak, apalagi sebagian lansia
sering menggunakan obat dalam jangka waktu yang lama tanpa
pengawasan dokter sehingga dapat menimbulkan penyakit.
2) Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari
interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa (Safitri,
2018).

k. Insomnia(Sulit tidur)
1) Dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang
menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu
beberapa penyakit juga dapat menyebabkan insomnia seperti
diabetes melitus dan gangguan kelenjar thyroid, gangguan di
otak juga dapat menyebabkan insomnia. Jam tidur yang sudah
berubah juga dapat menjadi penyebabnya.
2) Berbagai keluhan gangguan tidur yang sering dilaporkan oleh
lansia yaitu sulit untuk masuk kedalam proses tidur, tidurnya
tidak dalam dan mudah terbangun, jika terbangun sulit untuk
tidur kembali, terbangun dini hari, lesu setelah bangun di pagi
hari.
3) Agar bisa tidur :  hindari olahraga 3-4 jam sebelum tidur, santai
mendekati waktu tidur, hindari rokok waktu tidur, hindari
minum minuman berkafein saat sore hari, batasi asupan cairan
setelah jam makan malam ada nokturia, batasi tidur siang 30
menit atau kurang, hindari menggunakan tempat tidur untuk
menonton tv, menulis tagihan dan membaca (Safitri, 2018).

l. Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh)


Daya tahan tubuh menurun bisa disebabkan oleh proses menua
disertai penurunan fungsi organ tubuh,  juga disebabkan penyakit
yang diderita, penggunaan obat-obatan,keadaan gizi yang menurun
(Safitri, 2018).

m. Impotence(Gangguan seksual)
 Impotensi/ ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada usia
lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan
hormon, syaraf, dan pembuluh darah dan juga depresi (Safitri, 2018).

n. Impaction (sulit buang air besar)


1) Faktor yang mempengaruhi: kurangnya gerak fisik, makanan
yang kurang mengandung serat, kurang minum, akibat obat-obat
tertentu dan lain-lain.
2) Akibatnya pengosongan usus menjadi sulit atau isi usus menjadi
tertahan, kotoran dalam usus menjadi keras dan kering dan pada
keadaan yang berat dapat terjadi penyumbatan didalam usus dan
perut menjadi sakit (Safitri, 2018).

C. Kecemasan
1. Pengertian
Kecemasan adalah emosi, perasaan yang timbul sebagai respon awal
terhadap stress psikis dan ancaman terhadap nilai-nilai yang berarti bagi
individu. Kecemasan sering digambarkan sebagai perasaan yang tidak
pasti, ragu-ragu, tidak berdayaa, gelisah, kekhawatiran, tidak tentram
yang sering disertai keluhan fisik (Nurhalimah, 2016).

Banyak ahli mendefinisikan mengenai Cemas. Stuart dan Laraia yang


mengatakan bahwa Cemas memiliki nilai yang positif, karena dengan
ansisetas maka aspek positif individu berkembang karena adanya sikap
konfrontasi (pertentangan), antisipasi yang tinggi, penggunaan
pengetahuan serta sikap terhadap pengalaman mengatasi kecemasan.
Tetapi pada keadaan lanjut perasaan cemas dapat mengganggu kehidupan
seseorang. Menurut Sigmund Freud kecemasan merupakan ketegangan
dalam diri sendiri tanpa objek yang jelas, objek tidak disadari dan
berkaitan dengan kehilangan self image. Menurut kecemasan adalah
perasaan tidak nyaman yang terjadi sebagai respon pada takut terjadi
perlukaan tubuh atas kehilangan sesuatu yang bernilai (Nurhalimah,
2016; Jamil, 2015).

Kecemasan merupakan kekuatan yang mempengaruhi hubungan


interpersonal, suatu respon terhadap bahaya yang tidak diketahui yang
muncul bila ada hambatan dalam upaya memenuhi kebutuhan.
Kecemasan dapat dijadikan sebagai alarm tubuh untuk melindungi diri,
dikomunikasikan secara interpersonal dan merupakan tanda ancaman
yang dapat berhubungan dengan isolasi, kehilangan, gangguan identitas,
hukuman dan hubungan interpersonal (Nurhalimah, 2016).
Definisi lain tentang Cemas adalah suatu perasaan tidak santai yang
samar-samar karena ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu
respons. Seringkali sumber perasaan tidak santai tersebut tidak spesifik
atau tidak diketahui oleh individu. Cemas dapat pula diterjemahkan
sebagai suatu perasaan takut akan terjadi sesuatu yang disebabkan oleh
antisipasi bahaya. Cemas merupakan sinyal yang
menyadarkan/memperingatkan akan adanya bahaya yang akan datang
dan membantu individu untuk bersiap mengambil tindakan untuk
menghadapi ancaman (Vibriyanti, 2020;Jamil, 2015).
2. Rentang Kecemasan
Rentang kecemasan berfluktuasi antara respon adaptif antisipasi atau t
idak cemas hingga maladaptive yaitu panik.

a. Antisipasi
Suatu keadaan yang digambarkan lapangan persepsi menyatu dengan
lingkungan (Nurhalimah, 2016).
b. Cemasan Ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan
persepsinya. Kecemasan menumbuhkan motivasi belajar serta
menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas (Nurhalimah, 2016;
Vibriyanti, 2020). Respon dari kecemasan ringan adalah
1) Respon fisiologis meliputi sesekali nafas pendek, mampu
menerima rangsang yang pendek, muka berkerut dan bibir
bergetar. Pasien mengalami ketegangan otot ringan
2) Respon kognitif meliputi koping persepsi luas, mampu
menerima rangsang yang kompleks, konsentrasi pada masalah,
dan menyelesaikan masalah.
3) Respon perilaku dan emosi meliputi tidak dapat duduk tenang,
tremor halus pada lengan, dan suara kadang meninggi (Jamil,
2015).
c. Cemas Sedang
Memungkinkan seseorang untuk memusatkan perhatian pada hal
yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang
mengalami perhatian yang selektif tetapi dapat melakukan sesuatu
yang lebih terarah (Nurhalimah, 2016; Vibriyanti, 2020). Manifestasi
yang muncul pada cemas sedang antara lain:
1) Respon fisiologis Sering napas pendek, nadi dan tekanan darah
naik, mulut kering, diare atau konstipasi, tidak nafsu makan,
mual, dan berkeringat setempat.
2) Respon kognitif Respon pandang menyempit, rangsangan luas
mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatian dan
bingung.
3) Respon perilaku dan emosi Bicara banyak, lebih cepat, susah
tidur dan tidak aman (Jamil, 2015).
d. Cemas Berat
Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Adanya
kecenderungan untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan
spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku
ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut
memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu
area lain (Nurhalimah, 2016; Vibriyanti, 2020). Manifestasi yang
muncul pada Cemas berat antara lain:
1) Respon fisiologis Napas pendek, nadi dan tekanan darah naik,
berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur, dan ketegangan.
2) Respon kognitif Lapang persepsi sangat sempit, dan tidak
mampu menyelesaikan masalah.
3) Respon perilaku dan emosi Perasaan terancam meningkat,
verbalisasi cepat, dan menarik diri dari hubungan interpersonal
(Jamil, 2015).
e. Tingkat Panik
Cemas berhubungan dengan ketakutan dan merasa diteror, serta
tidak mampu melakukan apapun walaupun dengan pengarahan.
Panik meningkatkan aktivitas motorik, menurunkan kemampuan
berhubungan dengan orang lain, persepsi menyimpang, serta
kehilangan pemikiran rasional (Nurhalimah, 2016; Vibriyanti, 2020).
Manifestasi yang muncul terdiri dari:
1) Respon fisiologis Napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi,
sakit dada, pucat, hipotensi, dan koordinasi motorik rendah.
2) Lapang kognitif Lapang persepsi sangat sempit, dan tidak dapat
berfikir logis.
3) Respon perilaku dan emosi Mengamuk- amuk dan marah-
marah, ketakutan, berteriak- teriak, menarik diri dari hubungan
interpersonal, kehilangan kendali atau kontrol diri dan persepsi
kacau (Jamil, 2015).

3. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan Cemas, di antaranya sebagai berikut.
1) Faktor biologis.
Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine.
Reseptor ini membantu mengatur Cemas. Penghambat asam
gamma-aminobutirat (GABA) juga berperan utama dalam
mekanisme biologis berhubungan dengan Cemas sebagaimana
halnya dengan endorfin. Cemas mungkin disertai dengan
gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang
untuk mengatasi stressor (Vibriyanti, 2020;Jamil, 2015).
2) Faktor psikologis
a) Pandangan psikoanalitik. Cemas adalah konflik emosional
yang terjadi antara antara dua elemen kepribadian dan
superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif,
sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang
dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego
atau aku berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen
yang bertentangan dan fungsi Cemas adalah mengingatkan
ego bahwa ada bahaya.
b) Pandangan interpersonal. Cemas timbul dari perasaan takut
terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan
interpersonal. Cemas berhubungan dengan perkembangan
trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang
menimbulkan kelemahan spesifik. Orang yang mengalami
harga diri rendah terutama mudah mengalami
perkembangan Cemas yang berat.
c) Pandangan perilaku. Cemas merupakan produk frustasi
yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan
seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar
perilaku menganggap sebagai dorongan belajar berdasarkan
keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan.
Individu yang terbiasa dengan kehidupan dini dihadapkan
pada ketakutan berlebihan lebih sering menunjukkan Cemas
dalam kehidupan selanjutnya (Vibriyanti, 2020;Jamil,
2015).
3) Sosial budaya
Cemas merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga. Ada
tumpang tindih dalam gangguan Cemas dan antara gangguan
Cemas dengan depresi. Faktor ekonomi dan latar belakang
pendidikan berpengaruh terhadap terjadinya Cemas (Vibriyanti,
2020;Jamil, 2015).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dibedakan menjadi berikut.
1) Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi
ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya
kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
2) Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan
identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi
seseorang (Vibriyanti, 2020;Jamil, 2015).
4. Mekanisme Koping
Pada pasien yang mengalami Cemas sedang dan berat mekanisme koping
yang digunakan terbagi atas dua jenis mekanisme koping yaitu ;
(Nurhalimah, 2016; Vibriyanti, 2020; Jamil, 2015 ).
a. Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan realistik yang bertujuan untuk
menurunkan situasi stres, misalnya
1) Perilaku menyerang (agresif). Digunakan individu untuk
mengatasi rintangan agar terpenuhinya kebutuhan.
2) Perilaku menarik diri. Dipergunakan untuk menghilangkan
sumber ancaman baik secara fisik maupun secara psikologis.
3) Perilaku kompromi. Dipergunakan untuk mengubah tujuan-
tujuan yang akan dilakukan atau mengorbankan kebutuhan
personal untuk mencapai tujuan (Nurhalimah, 2016; Vibriyanti,
2020; Jamil, 2015 ).
b. Mekanisme pertahanan ego. bertujuan untuk membantu mengatasi
Cemas ringan dan sedang. Mekanisme ini berlangsung secara tidak
sadar, melibatkan penipuan diri, distorsi realitas dan bersifat
maladaptif. Mekanisme pertahanan Ego yang digunakan adalah:
1) Kompensasi adalah proses dimana seseorang memperbaiki
penurunan citra diri dengan secara tegas menonjolkan
keistimewaan/kelebihan yang dimilikinya.
2) Penyangkalan (Denial).Menyatakan ketidaksetujuan terhadap
realitas dengan mengingkari realitas tersebut. Mekanisme
pertahanan ini paling sederhana dan primitif.
3) Pemindahan (Displacemen).Pengalihan emosi yag semula
ditujukan pada seseorang/benda tertentu yang biasanya netral
atau kurang mengancam terhadap dirinya.
4) Disosiasi.Pemisahan dari setiap proses mental atau prilaku dari
kesadaran atau identitasnya.
5) Identifikasi (Identification).Proses dimana seseorang mencoba
menjadi orang yang ia kagumi dengan mengambil/menirukan
pikiran-pikiran,prilaku dan selera orang tersebut.
6) Intelektualisasi (Intelektualization).Penggunaan logika dan
alasan yang berlebihan untuk menghindari pengalaman yang
mengganggu perasaannya.
7) Introjeksi (Intrijection). Mengikuti norma-norma dari luar
sehingga ego tidak lagi terganggu oleh ancaman dari luar
(pembentukan superego) 8
8) Fiksasi. Berhenti pada tingkat perkembangan salah satu aspek
tertentu (emosi atau tingkah laku atau pikiran)s ehingga
perkembangan selanjutnya terhalang.
9) Proyeksi.Pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri sendiri
kepada orang lain terutama keinginan. Perasaan emosional dan
motivasi tidak dapat ditoleransi.
10) Rasionalisasi.Memberi keterangan bahwa sikap/tingkah lakunya
menurut alasan yang seolah-olah rasional,sehingga tidak
menjatuhkan harga diri.
11) Reaksi formasi. Bertingkah laku yang berlebihan yang langsung
bertentangan dengan keinginan-keinginan,perasaan yang
sebenarnya.
12) Regressi. Kembali ketingkat perkembangan terdahulu (tingkah
laku yang primitif), contoh; bila keinginan terhambat menjadi
marah, merusak, melempar barang, meraung, dsb.
13) Represi.Secara tidak sadar mengesampingkan pikiran, impuls,
atau ingatan yang menyakitkan atau bertentangan, merupakan
pertahanan ego yang primer yang cenderung diperkuat oleh
mekanisme ego yang lainnya (Nurhalimah, 2016; Vibriyanti,
2020; Jamil, 2015 ).

5. Dampak dari kecemasan


a. Dampak kecemasan pada fisik diantaranya akan menimbulkan
kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh yang bergetar
atau gemetar, sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi,
kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada, banyak
berkeringat, telapak tangan yang berkeringat, pening atau pingsan,
mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit
bernafas, bernafas pendek, jantung yang berdebar keras atau
berdetak kencang, suara yang bergetar, jari-jari atau anggota tubuh
yang menjadi dingin, pusing, merasa lemas atau mati rasa, sulit
menelan, kerongkongan merasa tersekat, leher atau punggung terasa
kaku, sensasi seperti tercekik atau tertahan, tangan yang dingin dan
lembab, terdapat gangguan sakit perut atau mual, panas dingin,
sering buang air kecil, wajah terasa memerah, diare, dan merasa
sensitif atau “mudah marah” (Anisa dan Ifdil, 2016). Beberapa jurnal
penelitian membuktikan bahwa dampak dari kecemasan adalah
gangguan tidur.(Kazad, 2019; Witriya, 2016; Ritonga, dan Pratiko,
2018)
b. Dampak pada behavioral penderita cemas diantaranya: perilaku
menghindar, perilaku melekat dan dependen, dan perilaku
terguncang (Anisa dan Ifdil, 2016).
c. Dampak kecemasan pada kognitif diantaranya akan menimbulkan
khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan atau
aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, keyakinan
bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada
penjelasan yang jelas, terpaku pada sensasi ketubuhan, sangat
waspada terhadap sensasi ketubuhan, merasa terancam oleh orang
atau peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat
perhatian, ketakutan akan kehilangan kontrol, ketakutan akan
ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir bahwa dunia
mengalami keruntuhan, berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa
dikendalikan, berpikir bahwa semuanya terasa sangat
membingungkan tanpa bisa diatasi, khawatir terhadap hal-hal yang
sepele, berpikir tentang hal mengganggu yang sama secara berulang-
ulang, berpikir bahwa harus bisa kabur dari keramaian, kalau tidak
pasti akan pingsan, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan,
tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu, berpikir
akan segera mati, meskipun dokter tidak menemukan sesuatu yang
salah secara medis, khawatir akan ditinggal sendirian, dan sulit
berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran (Anisa dan Ifdil, 2016).
d. Dampak kecemasan terhadap kualitas tidur lanjut usia. Memasuki
fase lansia akan membuat seseorang mengalami perubahan dalam
hal psikososial. Lansia mudah mengalami kecemasan dan
kekhawatiran berlebih serta depresi yang dapat mengganggu tidur
mereka. Perasaan tidak lagi mampu menikmati kehidupan dan rasa
kesepian merupakan gangguan tidur yang berat. Lansia yang telah
kehilangan pasangan hidupnya cenderung mengalami stress
emosional yang akhirnya mengganggu tidur (Astria,2016)

D. Kualitas Tidur
1. Tidur
Tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi
individu terhadap lingkungan menurun. Tidur dikarakteristikkan dengan
aktifitas fisik yang minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi,
perubahan proses fisiologis tubuh, dan penurunan respon terhadap
stimulus eksternal. Hampir sepertiga dari waktu individu digunakan
untuk tidur. Hal tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa tidur dapat
memulihkan atau mengistirahatkan fisik setelah seharian beraktivitas,
mengurangi stres dan kecemasan, serta dapat meningkatkan kemampuan
dan konsentrasi saat hendak melakukan aktivitas sehari-hari
(Suriah,2017)
2. Kualitas tidur
Kualitas tidur berbeda dengan kuantitas tidur. Kuantitas tidur mengukur
seberapa banyak Anda tidur setiap malam, sedangkan kualitas tidur
mengukur seberapa baik Anda tidur.
Mengukur kuantitas tidur itu sederhana, karena cepat untuk menentukan
apakah Anda mendapatkan jumlah tidur yang disarankan per malam
(biasanya didefinisikan sebagai 7-9 jam untuk orang dewasa). Secara
umum, kualitas tidur yang baik ditentukan oleh karakteristik berikut:
a. Langsung tertidur setelah tidur, dalam waktu 30 menit atau kurang.
b. Biasanya tidur sepanjang malam, dana tau hanya bangun sekali
selama tidur.
c. Dapat tidur sesuai jumlah jam yang disarankan untuk kelompok usia.
d. Tertidur kembali dalam waktu 20 menit jika terbangun.
e. Merasa beristirahat, pulih, dan berenergi setelah bangun di pagi hari
(Rehman, 2020).
3. Faktor yang mempengaruhi Kuliatas Tidur
a. Kebiasaan Tidur yang Buruk
Kebiasaan tidur yang buruk, seperti jadwal tidur yang tidak teratur
atau terlalu banyak mengonsumsi kafein atau alkohol, dapat
mengganggu kualitas tidur Anda. Dalam sebuah penelitian terhadap
mahasiswa keperawatan, merokok dan konsumsi kopi setiap hari
adalah dua faktor terbesar yang terkait dengan kualitas tidur yang
buruk. Alkohol juga mengganggu tidur Anda, meskipun itu dianggap
obat penenang (Rehman, 2020).
Diuretik : menyebabkan nokturia
Anti depresan : menekan REM, menurunkan total waktu REM
Kafein : meningkatkan saraf simpatis/ mencegah orang
tidur
Beta bloker : menimbulkan insomnia, mimpi buruk
Narkotika : mensuspensi REM, meningkatkan kantuk siang
hari.
Alkohol : mengganggu tidur REM, mengganggu tidur
REM, membangunkan seseorang pada malam
hari dan menyebabkan kesulitan untuk kembali
tidur.(Suriah,2017)
b. Stres dan Kecemasan
Kesehatan mental yang buruk, baik dari stres yang meningkat atau
depresi atau gangguan kecemasan, juga berkontribusi pada kualitas
tidur yang buruk. Masalahnya, kurang tidur dan insomnia yang
diakibatkannya memperburuk kondisi ini, menciptakan lingkaran
setan (Rehman, 2020).
c. Kondisi Kesehatan Kronis
Kondisi kesehatan kronis tertentudikaitkan dengan pola tidur yang
buruk dan kurang tidur secara keseluruhan. Ini termasuk penyakit
paru-paru kronis, asma, refluks asam, penyakit ginjal, kanker,
fibromyalgia, dan nyeri kronis. Sayangnya, seperti stres dan
kecemasan, kualitas tidur yang buruk dapat memperburuk gejala dan
ketidaknyamanan yang dirasakan dengan kondisi ini (Rehman,
2020).
d. Apnea Tidur
Penderita apnea tidur mengalami gangguan pernapasan sementara
selama tidur, yang mengakibatkan suara terengah-engah, tersedak,
dan mendengkur. Bahkan jika mereka tidak secara sadar bangun,
otak mereka harus mulai bernapas lagi, mengganggu kualitas tidur.
Kantuk dan kekurangan energy adalah dua keluhan paling umum
dari penderita apnea tidur (Rehman, 2020).
e. Gangguan Tidur Tidak Terdiagnosis
Karena terjadi dalam tidur Anda, beberapa gangguan tidur tidak
terdiagnosis sampai seseorang mencari perawatan untuk gejala lain
seperti kualitas tidur yang buruk, atau pasangan tidur memberi tahu
mereka tentang gejala tersebut. Misalnya, individu dengan gangguan
gerakan tungkai periodik (PLMD) mengalami gerakan menyentak
tak disengaja di kaki mereka saat mereka tidur, yang mengakibatkan
penurunan kualitas tidur, dan kelelahan serta konsentrasi yang buruk
di siang hari. Penderita narkolepsi juga sering menderita kualitas
tidur yang buruk, dan mengalami kelelahan di siang hari (Rehman,
2020).
f. Penyakit
Seseorang yang mengalami sakit memerlukan waktu tidur lebih
banyak dari normal. Namun demikian, keadaan sakit menjadikan
pasien kurang tidur atau tidak dapat tidur. Misalnya pada pasien
dengan gangguan pernafasan seperti asma, bronkitis, penyakit
kardiovaskuler, dan penyakit persarafan.
g. Lingkungan
Pasien yang biasa tidur pada lingkungan yang tenang dan nyaman,
kemudian terjadi perubahan suasana seperti gaduh maka akan
menghambat tidurnya (Suriah,2017)
h. Motivasi
Motivasi dapat memengaruhi tidur dan dapat menimbulkan
keinginan untuk tetap bangun dan waspada menahan kantuk
(Suriah,2017)
i. Kelelahan
Apabila mengalami kelelahan dapat memperpedek periode pertama
dari tahap REM (Suriah,2017)
j. Kecemasan
Pada keadaan cemas seseorang mungkin meningkatkan saraf
simpatis sehingga mengganggu tidurnya (Suriah,2017)
4. Tahap tidur
Sejak adanya alat EEG (Elektro Encephalo Graph), maka aktivitas-
aktivitas di dalam otak dapat direkam dalam suatu garafik. Alat ini juga
dapat memperlihatkan fluktuasi energy (gelombang otak) pada kertas
grafik. Penelitian mengenai mekanisme tidur mengalami kemajuan yang
sangat pesat dalam 10 tahun terakhir, dan bahkan sekarang para ahli telah
berhasil menemukan adanya 2 (dua) pola/macam/tahapan tidur, yaitu :
a. Pola tidur biasa atau NREM
Pola/tipe tidur biasa ini juga disebut NREM (Non Rapid Eye
Movement = Gerakan mata tidak cepat). Pola tidur NREM
merupakan tidur yang nyaman dan dalam tidur gelombang pendek
karena gelombang otak selama NREM lebih lambat daripada
gelombang alpha dan beta pada orang yang sadar atau tidak dalam
keadaan tidur (lihat gambar). Tanda-tanda tidur NREM adalah :
1) Mimpi berkurang
2) Keadaan istirahat (otot mulai berelaksasi)
3) Tekanan darah turun
4) Kecepatan pernafasan turun
5) Metabolisme turun
6) Gerakan mata lambat
Fase NREM atau tidur biasa ini berlangsung ± 1 jam dan pada fase
ini biasanya orang masih bisa mendengarkan suara di sekitarnya,
sehingga dengan demikian akan mudah terbangun dari tidurnya.
Tidur NREM ini mempunyai 4 (empat) tahap yang masingmasing-
masing tahap di tandai dengan pola gelombang otak.
1) Tahap I
Tahap ini merupakan tahap transisi, berlangsung selama 5 menit
yang mana seseorang beralih dari sadar menjadi tidur. Seseorang
merasa kabur dan relaks, mata bergerak ke kanan dan ke kiri,
kecepatan jantung dan pernafasan turun secara jelas. Gelombang
alpha sewaktu seseorang masih sadar diganti dengan gelombang
betha yang lebih lambat. Seseorang yang tidur pada tahap I
dapat di bangunkan dengan mudah. Ketika bangun seseorang
merasa seperti telah melamun.
2) Tahap II
Tahap ini merupakan tahap tidur ringan, dan proses tubuh terus
menurun. Mata masih bergerak-gerak, kecepatan jantung dan
pernafasan turun dengan jelas, suhu tubuh dan metabolisme
menurun. Gelombang otak ditandai dengan “sleep spindles” dan
gelombang K komplek. Tahap II berlangsung pendek dan
berakhir dalam waktu 10 sampai dengan 15 menit. Pada tahap
ini merupakan periodetidur bersuara, kemajuan relaksasi, untuk
bangun relatif mudah.
3) Tahap III
Pada tahap ini meliputi awal dari tidur dalam. Otot-otot dalam
keadaan santai penuh, kecepatan jantung, pernafasan serta
proses tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat dominasi
sistem syarafparasimpatik. Seseorang menjadi lebih sulit
dibangunkan dan jarang bergerak. Gelombang otak menjadi
lebih teratur dan terdapat penambahan gelombang delta yang
lambat. Tahap ini berlangsung 15-30 menit.
4) Tahap IV
Tahap ini merupakan tahap tidur dalam yang ditandai dengan
predominasi gelombang delta yang melambat. Kecepatan
jantung dan pernafasan turun. Seseorang dalam keadaan rileks,
jarang bergerak dan sulit dibangunkan. (mengenai gambar grafik
gelombang dapat dilihat dalam gambar). Siklus tidur sebagian
besar merupakan tidur NREM dan berakhir dengan tidur REM.
Tahap ini berlangsung 15-30 menit. (Suriah,2017)
b. Pola Tidur Paradoksikal atau REM
Pola/tipe tidur paradoksikal ini disebut juga (Rapid Eye Movement =
Gerakan mata cepat). Tidur tipe ini disebut “Paradoksikal” karena
hal ini bersifat “Paradoks”, yaitu seseorang dapat tetap tertidur
walaupun aktivitas otaknya nyata. Ringkasnya, tidur REM /
Paradoks ini merupakan pola/tipe tidur dimana otak benar-benar
dalam keadaan aktif. Namun, aktivitas otak tidak disalurkan ke arah
yang sesuai agar orang itu tanggap penuh terhadap keadaan
sekelilingnya kemudian (Suriah,2017)terbangun.
5. Manfaat Tidur
a. Regenerasi sel-sel tubuh yang rusak menjadi baru.
b. Menambah konsentrasi dan kemampuan fisik.
c. Memperlancar produksi hormon pertumbuhan tubuh.
d. Memelihara fungsi jantung.
e. Mengistirahatkan tubuh yang letih akibat aktivitas seharian.
f. Menyimpan energi.
g. Meningkatkan kekebalan tubuh kita dari serangan penyakit.
h. Menambah konsentrasi dan kemampuan fisik. (Suriah,2017)

6. Pengukuran Kualitas Tidur


Penilaian kualitas tidur diperoleh dari responden yang menjawab
pertanyaan pada kuisionerPittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), yang
terdiri dari 7 (tujuh) komponen, yaitu kualitas tidur subyektif, latensi
tidur, durasi tidur, efisiensi tidur sehari-hari, gangguan tidur, penggunaan
obat tidur, dan disfungsi aktivitas siang hari. Masing-masing komponen
memiliki kisaran nilai 0 – 3 dengan 0 menunjukkan tidak adanya
kesulitan tidur dan 3 menunjukkan kesulitan tidur yang berat. Skor dari
ketujuh komponen tersebut dijumlahkan menjadi 1 (satu) skor global
dengan kisaran nilai 0 – 21. Jumlah skor tersebut disesuaikan dengan
kriteria penilaian yang dikelompokkan sebagai berikut. Kualitas tidur
baik : ≤ 5 Kualitas tidur buruk : > 5 (Astria, 2016)

B. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)


1. Definisi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2
(SARS-CoV 2). SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang
belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Penyakit ini
diawali dengan munculnya kasus pneumonia yang tidak diketahui
etiologinya di Wuhan, China pada akhir Desember 2019 (Kemenkes RI,
2020a).

Virus ini berasal dari famili yang sama dengan virus penyebab SARS dan
MERS. Meskipun berasal dari famili yang sama, namun SARS-CoV-2
lebih menular dibandingkan dengan SARS-CoV dan MERS-CoV.
COVID-19 dapat menular dari manusia ke manusia melalui kontak erat
dan droplet (percikan cairan pada saat bersin dan batuk), tidak melalui
udara. Bentuk COVID-19 jika dilihat melalui mikroskop elektron (cairan
saluran nafas/ swab tenggorokan) dan digambarkan kembali bentuk
COVID-19 seperti virus yang memiliki mahkota (CDC,2020; Kemenkes
RI 2020b).
2. Etiologi
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family
Coronavirus. Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif,
berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada
Coronavirus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran),
glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong
ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronavirus ini dapat
menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia (Kemenkes RI, 2020a).

Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus


betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa
pleomorfik, dan berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik
menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan
coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam,
yaitu Sarbecovirus. Berdasarkan hal tersebut, International Committee on
Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama penyebab COVID-19
sebagai SARS-CoV-2. (CDC,2020a; Kemenkes RI 2020a).
Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan di atas
permukaan, tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus
lainnya. Lamanya coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-
kondisi yang berbeda seperti jenis permukaan, suhu atau kelembapan
lingkungan. SARS-CoV-2 dapat bertahan selama 72 jam pada permukaan
plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan kurang
dari 24 jam pada kardus. SARS-CoV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet
dan panas. SARS-CoV-2 dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid
solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol, disinfektan yang mengandung
klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali khlorheksidin).
(Kemenkes RI, 2020a).

3. Penularan
Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).
SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan
MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber
penularan COVID-19 ini masih belum diketahui. Masa inkubasi COVID-
19 rata-rata 5-6 hari, dengan rata-rata antara 1 sampai dengan 14 hari.
Risiko penularan tertinggi terjadi di hari-hari pertama penyakit timbul
karena disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang
yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam
sebelum onset gejala atau gejala memuncak (presimptomatik) dan sampai
dengan 14 hari setelah onset gejala. Selain itu, terdapat kasus konfirmasi
yang tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko penularan sangat
rendah akan tetapi masih ada kemungkinan kecil untuk terjadi penularan.
(Kemenkes RI, 2020b; WHO, 2020).

Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa


COVID-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik)
ke orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan
partikel berisi air dengan diameter >5-10 µm. Penularan droplet terjadi
ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan
seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin)
sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau
konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan
permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi.
Oleh karena itu, penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan
permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi
(misalnya, stetoskop atau termometer). (Kemenkes RI, 2020a; WHO,
2020; CDC, 2020b).

4. Pencegahan
Pencegahan penularan COVID-19 menurut Center for Disease Control
and Prevention adalah sebagai berikut: (CDC, 2019)
1) Mencuci tangan
Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 40-60 detik.
Namun, apabila sabun tidak tersedia, gunakan hand sanitizer yang
mengandung 60% alcohol.
2) Hindari kontak dengan orang
Hindari kontak dengan orang terutama orang yang diluar rumah.
Tetap menjaga jarak kurang lebih sepanjang 6 kaki atau 2 lengan dari
orang lain.
3) Gunakan masker
Meskipun tidak sakit tetap gunakan masker terutama di ruang publik.
Masker dapat membantu mencegah penyebaran virus dari orang yang
mengenakannya kepada orang lain.
4) Menutup jika batuk dan bersin
Jika batuk dan bersin tutup dengan menggunakan tissue atau bagian
dalam dari siku. Buang tissue ke dalam tempat sampah dan cuci
tangan dengan sabun dan air mengalir atau hand sanitizer.
5) Jaga kebersihan
COVID 19 dapat dicegah dengan selalu membersihkan dan
mendesinfeksi benda-benda yang sering disentuh setiap hari seperti
meja, gagang pintu (handles), telepon genggam, kran, dan lain-lain.
6) Tetap di rumah
Stay at home atau tetap di rumah jika mempunyai gejala seperti
demam, batuk, dan gangguan pernapasan. Tetap di rumah dianjurkan
pula untuk masyarakat yang tidak memiliki gejala untuk mencegah
penyebaran COVID 19.
7) Segera kunjungi pelayanan kesehatan
Cari pelayanan kesehatan jika mengalami beberapa gejala gangguan
pernapasan, nyeri dada, pusing, susah tidur, kebiruan pada mulut dan
wajah. Hal tersebut merupakan tanda bahwa tubuh kekurangan
oksigen dalam darah atau sering disebut sianosis. (CDC, 2019)
C. Kerangkat Teori
Tahap tidur
Mekanisme Koping Pola tidur biasa
Cemas atau NREM
Reaksi yang Pola Tidur
berorientasi pada Paradoksikal atau
tugas REM
Mekanisme
pertahanan ego.
Cemas pada Kualitas
Lansia Tidur
Rentang Kecemasan
Tidak Cemas
Cemas Ringan Faktor yang
Etiologi
Cemas Sedang mempengaruhi Kuliatas
Faktor Predisposisi
Cemas Berat Tidur
Faktor biologis.
Tingkat Panik Kebiasaan Tidur yang
Faktor psikologis
Pandangan Buruk
psikoanalitik. Stres dan Kecemasan
Pandangan Kondisi Kesehatan
interpersonal. Kronis
Pandangan perilaku. Apnea Tidur
Sosial budaya Gangguan Tidur Tidak
Faktor Presipitasi Terdiagnosis
Ancaman terhadap Penyakit
integritas Lingkungan
Ancaman terha-dap Motivasi
sistem diri Kelelahan
Kecemasan

Gambar 2.1 Kerangka Teori

(Anisa dan Ifdil, 2016; Astria, 2016; Jamil, 2015; Kartiningrum, 2017;
Kholifa,2016; Nofaliadan Nurha, 2018; Nurhalimah, 2016; Rehman, 2020;
Sunarya, 2015; Suriah,2017; Vibriyanti, 2020; Widagdo, 2016).
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI
OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan teori yang ada maka dapat dibuat kerangka konsep
penelitian. Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan
antara konsep satu dan yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti
(Sugiyono, 2013). Kerangka konsep penelitian ini dijabarkan pada skema 3.1.

Variable Independent Variabel Dependent

Tingkat kecemasan pada Kualitas tidur


masa Pandemi Covid-19 lanjut usia

Variable
VariablePerancu
Perancu

1. Stres dan Kecemasan


2. Gangguan tidur tidak
terdiagnosis
3. Penyakit
4. Lingkungan
5. Motivasi
6. Kelelahan
7. Kecemasan
Skema 3.1
Kerangka Konsep

B. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian (Sugiyono, 2013). Hipotesis penelitian ini adalah
Ha : Terdapat hubungan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur lansia
di desa gubug pada saat pandemi covid-19
H0 Tidak terdapat hubungan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur
lansia di desa gubug pada saat pandemi covid-19
C. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Pre Experiment
Design, yaitu sebuah desain penelitian yang belum merupakan eksperimen
sungguh-sungguh, karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh
terhadap terbentuknya variabel dependen.Rancangan penelitian ini adalah
One-Shot Case Study yaitu pernelitian hanya pada suatu kelompok, sehigga
tidak ada kelompok kontrol sebagai bandingan dari kelompok eksperimen.
(Sugiyono, 2013). Rancangan penelitian digambarkan sebagai berikut:

X 0

Skema 4.1
Rancangan Penelitian

Keterangan:
X : Pengukuran tingkat kecemasan menggunakan skala Geriatri Anxiety
Inventory (GAI)

0 Pengukuran tingkat kualitas tidur menggunakan skala Pittsburgh sleep


quality index (PSQI)

D. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
Alat ukur
Variable
Definisi operasional dan cara Hasil ukur Skala
penelitian
ukur
Tingkat Suatu perasaan tidak santai Kuesioner Skor 0 = tidak ada Ordinal
kecemasan yang samar-samar,tidak pasti, Geriatri kecemasan
pada masa ragu-ragu, tidak berdayaa, Anxiety Skor 1-5 =
Pandemi gelisah, kekhawatiran, tidak Inventory kecemasan ringan
Covid-19 tentram yang sering disertai (GAI) Skor 6-10 =
keluhan fisik yang kecemasan sedang
merupakan suatu sinyal yang Skor 11-15 =
menyadarkan/ kecemasan berat
memperingatkan akan adanya Skor 16-20= panik
bahaya yang akan datang
Kualitas Kepuasan lanjut usia terhadap Kuesioner <5 = baik Ordinal
tidur lanjut tidur, merasa, pulih, dan Pittsburgh > 5 = buruk
usia berenergi setelah bangun di sleep
pagi hari dan tidak quality
merasakan kelelahan serta index
tidak sering mengantuk. (PSQI)

E. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subyek
yang mempuanyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
(Sugiyono, 2013). Dalam penelitian ini populasinya adalah semua lanjut
usia yang berada di desa Gubug pada tahun 2021 sebanyak 906 orang.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. (Sugiyono, 2013)
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah lanjut usia yang
berada di desa Gubug yang memenuhi syarat kriteria inklusi dan eksklusi
sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi
1) Lanjut usia yang bersedia menjadi responden yang dibuktikan
dengan menandatanganininformed consent
2) Lanjut usia yang mampu melakukan aktivitas secara mandiri
serta mampu membaca dan menulis
3) Lanjut usia dengan kemampuan kognitif baik yang di buktikan
dengan nilai Mini-Mental State Examination (MMSE) dalam
rentang 24-30

b. Kriteria eksklusi
1) Lanjut usia penyintas Covid-19
2) Lanjut usia dengan kondisi kesehatan kronis
3) Lanjut usia dengan masalah apnea tidur dan kebiasaan tidur
yang buruk
3. Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan cara yang ditempuh dalam pengambilan
sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan
keseluruhan subjek. Penelitian ini menggunakan teknik
nonprobabilitysampling menggunakan metode consecutive sampling
yaitu pemilihan sample dengan menetapkan subjek yang memenuhi
kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu
tertentu, sehingga jumlah responden dapat terpenuhi  (Hidayat,2014).
Besar responden pada penelitian ini menurut Slovin (Sugiyono, 2013)
menggunakan rumus sebagai berikut:
N
n=
N . d 2 +1
Keterangan:
n = perkiraan besar sampel
N = jumlah populasi
d2 = tingkat signifikansi (0,1 (10%))

Berdasarkan rumus diatas, didapatkan jumlah sampel dalam satu


kelompok perlakuan sebanyak 90 responden. Dengan uraian sebagai
berikut:

N
n=
N . d 2 +1

906
n= 2
906.(0,1) +1

906 .
n=
9,06+1

906
n=
10,06

n=90,05

n=90responden
F. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat
Penelitian ini dilakukan di Pos Pelayanan Keluarga Berencana -
Kesehatan Terpadu (Posyandu) lanjut usia di desa Gubug.
2. Waktu
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 1 – 30 Mei 2021

G. Etika Penelitian
Masalah etika dalam keperawatan merupakan masalah yang sangat penting
dalam penelitian mengingat penelitian keperawatan akan berhubungan
langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan
karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian, masalah
etika keperawatan menurut Sugiyon (2013) yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut:
1. Kebebasan (Autonomy)
Memberikan penjelasan kepada responden dengan tujuan responden
mengerti maksud dan tujuan penelitian serta mengetahui dampaknya.
Kemudian memberikan lembar persetujuan kepada responden untuk diisi
yang menyatakan bersedia atau menolak menjadi responden dalam
penelitian ini. Jika responden bersedia dibuktikan dengan
penandatanganan lembar persetujuan.
2. Tanpa Nama (Anonimity)
Peneliti memberikan jaminan kepada responden penelitian dengan cara
tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat
ukur, namun hanya menuliskan kode berupa nomor 01, 02, 03 dan
seterusnya sesuai urutan responden yang dilakukan intervensi pada
lembar pengumpulan data.
3. Kerahasian (Confidentiality)
Peneliti menjamin kerahasian dari hasil penelitian. Semua informasi yang
telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu (umur, jenis kelamin, pendidikan, dan skala
nyeri) yang akan dilaporkan pada hasil penelitian ini.
H. Alat Pengumpulan Data
Pada penelitian ini instrumen yang digunakan terdiri dari tiga bagian sebagai
berikut:
1. KuisionerGeriatri Anxiety Inventory (GAI)
Geriatri Anxiety Inventory (GAI) terdiri dari 20 item pertanyaan dengan
hasil intepretasi skor 0-20 dengan detail sebagai berikut: 0= tidak ada
kecemasan 1-5= kecemasan ringan; 6-1= kecemasan sedang; 11-15=
kecemasan berat; dan 16-20= panik. Setiap butir pertanyaan dinilai
berdasarkan Setuju (1) dan tidak Setuju (0).
2. KuisionerPittsburgh sleep quality index (PSQI)
Dalam kuesioner PSQI terdapat tujuh komponen yaitu kualitas tidur
subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur,
penggunaan obat tidur serta disfungsi pada siang hari. Penelitian ini
menggunakan pertanyaan terbuka dan tertutup dengan jumlah pertanyaan
sebanyak 10 pertanyaan yang terdiri dari sub pertanyaan sebanyak 19
poin jawaban. Skor untuk setiap pertanyaan adalah 0-3, setelah semua
skor komponen yang di dapat lalu di jumlahkan, maka akan didapat total
skor. Pasien dikategorikan kualitas tidurnya baik apabila mendapatkan
skor dalam rentang 0-5. Sedangkan jika pasien mendapat total skor > 5-
21, maka pasien dikategorikan memiliki kualitas tidur yang buruk.
Semakin tinggi skor yang di peroleh akan menunjukkan kualitas tidur
yang buruk.
3. Lembar karakteristik responden
Lembar karakteristik responden berisi data karakteristik responden terdiri
dari tanggal pengukuran, inisial, nomor responden, umur, jenis kelamin,
pendidikan.

I. Validitas dan Reliabilitas Instrument


Uji validitas instrumen dilakukan untuk menunjukan keabsahan dari
instrumen yang akan dipakai pada penelitian. Pengertian validitas tersebut
menunjukan ketepatan dan kesesuaian alat ukur yang digunakan untuk
mengukur variabel. Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui ketetapan
suatu instrumen (alat ukur) didalam mengukur gejala yang sama walaupun
dalam waktu yang berbeda. Reabilitas berkenaan dengan derajat konsisten
dan stabilitas data atau temuan. Hasil pengukuran yang memiliki tingkat
reliabilitas yang tinggi akan mampu memberikan hasil yang terpercaya
(Sugiyono,2013).

Pada penelitian ini, uji validitas dan reliabilitas instrument GAI telah diuji
pada penelitian Pachanaet al. (2007) dalam Zulvana (2018) dengan nilai
validitas 0,80 dan reliabilitas 0,91. Uji validitas dan reliabilitas instrument
PSQI telah diuji pada penelitian Cunha et al. (2008) dalam Zulvana (2018)
dengan nilai validitas 0,89 dan reliabilitas 0,88.

J. Prosedur Pengumpulan Data


Prosedur dalam pengumpulan data dilakukan kepada setiap responden yang
memenuhi kriteria, kemudian dilakukan prosedur sebagai berikut:
1. Tahap persiapan
a. Mengurus surat permohonan izin penelitian dari Ketua STIKES
Telogorejo Semarang.
b. Mengajukan surat izin penelitian kepada Kepala Desa Gubug,
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan.
2. Tahap pelaksanaan
a. Melakukan sosialisasi dan menjelaskan tentang prosedur penelitian
serta tujuan penelitian kepada kepala desa Gubug dan warga desa
Gubug
b. Memilih responden yang memenuhi syarat penelitian.
c. Responden diberikan informasi tentang penelitian, meliputi tujuan
dan efek yang mungkin ditimbulkan dari penelitian. Setelah
responden paham, responden diminta untuk menandatangani lembar
Informed consentyang menyatakan bahwa responden bersedia
menjadi responden penelitian.
d. Responden yang telah bersedia menjadi responden penelitian diberi
informasi lagi tentang pengisian kuisioner yang terdiri atas
kusionerGeriatric Anxiety Inventory (GAI)dan kusionerPittsburgh
Sleep Quality Index (PSQI), Untuk menetukan tingkat kecemasan
dan kualitas tidur responden penelitian.
e. Meminta responden untuk mengisiskuisioner online yang telah
disediakan oleh peneliti
f. Melakukan pengolahan data.
g. Data yang sudah diperiksa dan sudah benar diolah dengan
menggunakan program komputer SPSS.

K. Pengolahan dan Analisa Data


1. Pengolahan data
Dalam proses pengumpulan data menurut Sugiyono (2013) terdapat
beberapa langkah yang harus ditempuh yaitu:
a. Editing
Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan terhadap
kelengkapan data, kesinambungan data, dan keseragaman
b. Coding
Pengkodean atau coding yaitu mengubah data berbentuk kalimat
atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Pada variabel variabel
tingkat kecemasan, kode 1 diberikan untuk responden dengan tidak
cemas kode 2 diberikan untuk responden dengan kecemasan ringan,
kode 3 diberikan untuk responden dengan kecemasan sedang, kode
4 diberikan untuk responden dengan kecemasan berat dan kode 5
diberikan untuk responden dengan kecemasan panik. Pada variabel
kualitas tidur kode 1 diberikan untuk responden dengan kualitas tidur
baik dank ode 2 diberikan untuk responden dengan kualitas tidur
buruk.
c. Tabulating
Tabulasi adalah kegiatan memasukkan data-data hasil penelitian ke
dalam tabel sesuai kriteria. Peneliti memasukkan skor skala nyeri
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi beserta data karakteristik
responden ke dalam tabel.
d. Memasukkan data (data entry)
Entry data adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan
kedalam database komputer untuk kemudian diolah menggunakan
Statistical Product and Service Solutions (SPSS versi 21.0).
e. Pembersihan data (cleaning)
Apabila semua data dari setiap responden selesai dimasukan, perlu
dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-
kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian
dilakukan koreksi.

2. Analisa data
a. Analisis univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang
responden dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi dan
persentase. Berdasarkan tabel tersebut variabel-variabel yang diteliti
kemudian dianalisis secara deskriptif dengan menguraikannya secara
rinci. Variabel dalam penelitian ini meliputi karakteristik responden
berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, tingkat kecemasan dan
kualitas tidur lansia

b. Analisis bivariat
Analisa dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel
meliputi variabel bebas dan variabel terikat.Penelitian ini merupakan
penelitian komparatif yang menggunakan data kategorik (Ordinal)
dengan data kategorik (Ordinal).Uji statistik yang digunakan adalah
chi square, uji chi square digunakan untuk menguji hipotesis bila
dalam populasi terdiri atas dua atau lebih kelas dimana datanya
berbentuk kategorik (Sugiyono, 2013). Analisabivariat pada
penelitian ini diuji dengan menggunakan chi-square tabel
5x2,dengan syarat sel yang mempunyai expected kurang dari 5,
maksimal 20% dari jumlah sel dan Tidak ada cell dengan nilai
frekuensi kenyataan atau disebut juga Actual Count (F0) sebesar 0
(Nol). Jika syarat Chi-square tidak terpenuhi maka dipakai uji
alternatif, yaitu menggunakan uji fisher.Perhitungan menggunakan
SPSS versi 21. Kesimpulan Ha diterima jika nilai significancyρ-
value < 0,05 (Dahlan,2014).
Daftar Pustaka
Annisa, Dona Fitri dan Ifdil (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut
Usia (Lansia). Konselor; 5(2): hal. 93-99

Azizah, L.M., Zainuri I., Akbar A. (2016) Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori Dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia Pustaka,

Badan Pusat Statistik. (2020) Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019. Jakarta: Badan
Pusat Statistik;

Centers for Disease Control and Prevention (2019). Coronavirus Disease 2019
(COVID 19) [Internet]. Available from: https://www.cdc.gov/dotw/covid-
19/index.html tanggal 24 Februari 2021.

Centers for Disease Control and Prevention (2020a). About COVID-19


https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/cdcresponse/about-COVID-
19.htmltanggal 24 Februari 2021.

Centers for Disease Control and Prevention (2020b). How COVID-19 Spreads.

Dariah,ElisDeti dan Okatiranti (2015).Hubungan Kecemasan dengan Kualitas


Tidur Lansia di Posbindu Anyelir Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung
Barat. Jurnal Ilmu Keperawatan. 2: 87-104

Department of Economic and Social Affairs Population Division (2019).World


Population Ageing 2019.New York: United Nations;

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (2020). Pedoman Pencegahan dan


Pengendalian Coronavirus Disease (Covid-19). Rev. 4 Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI;

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (2020). Pedoman Pencegahan dan


Pengendalian Coronavirus Disease (Covid-19). Rev. 5 Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI;

Febriyanti, Erna, dan Mellu, Artanty (2020). Tingkat Kecemasan Mahasiswa


Keperawatan dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 di Kota Kupang. Jurnal
Nursing Update. 11(3): 1-6

Fitria, Linda dan IfdilIfdil (2020). Kecemasan remaja pada masa pandemi Covid
-19. Jurnal EDUCATIO (Jurnal Pendidikan Indonesia). 6(1): 1-4

Hardiyanti (2020). Kecemasan saat Pandemi Covid. Gowa: Jariah Publising


Intermedia;
Ilpaj, Salma Matla dan Nurwati, Nunung (2020). Analisis Pengaruh Tingkat
Kematian Akibat Covid-19 Terhadap Kesehatan Mental Masyarakat di
Indonesia. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial. 3(1): 16-28

Jamil (2015). Sebab dan Akibat Stres, Depresi dan Kecemasan Serta
Penanggulangannya. Jurnal al-Amin. 3 (1): 123-138

Kartiningrum, Eka Diah; Alberta,Lembunai Tat; Puspitaningsih, Dwiharini;


Kusuma, Yudha Laga Hadi (2017).Konsep DasarKeperawatan Komunitas.
Mojokerto: STIKesMajapahitMojokerto

Kasad;Azwarni;Hayani, Nora (2019). Dampak kecemasan terhadap pemenuhan


pola istirahat tidur pada pasien pre-operasi di ruang rawat inap RSUD Kota
Langsa. SAGO Gizi dan Kesehatan; 1(1): Hal. 87-91

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2020b) . Hindari Lansia Dari


COVID 19
http://www.padk.kemkes.go.id/article/read/2020/04/23/21/hindari-lansia-
dari-covid-19.htmltanggal 24 Februari 2021.

Kementerian Kesehatan RI (2020a). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian


Corona Virus Disease (Covid-19). Kementrian Kesehat
https://covid19.go.id/storage/app/media/Protokol/REV-
05_Pedoman_P2_COVID-19_13_Juli_2020.pdf tanggal 24 Februari 2021.

Kholifah, Siti Nur (2016). Keperawatan Gerontik. Jakarta: Kementrian Kesehatan


RI;

Komite Penanganan Coronavirus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi


Nasional. Peta Sebaran. [homepage on the Internet] © 2021 [cited 2021 Feb
22] Available from: https://covid19.go.id/peta-sebaran

Lestari Retno, Wihastuti Titin Andri, dan Rahayu BertyFebrianti (2013).


Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Tingkat Kemandirian Activities Of
Daily Living (ADL) Pada Lanjut Usia Di Panti Werdha. Jurnal Ilmu
Keperawatan. 1(2): 128-134

Nofalia, Ifadan Nurhadi (2018). Modul Pembelajaran Keperawatan Komunitas 1.


Jombang: Icme Press

Nurhalimah (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan.Jakarta: KemenKes.


Rehman, Anis (2020). How To Determine Poor Sleep Quality.
https://www.sleepfoundation.org/sleep-hygiene/how-to-determine-poor-
quality-sleep#:~:text=Generally%2C tanggal 24 Februari 2021.
Rindayati, Nasir Abd., dan AstrianiYuni (2020). Gambaran Kejadian dan
Tingkat Kecemasan pada Lanjut Usia. Jurnal Kesehatan Vokasional. 5
(2) : 95-101

Ritonga,Imelda Liana dan Pratiko,Hanapi (2018). Pengaruh Kecemasan Terhadap


Kualitas Tidur pada Pasien Dewasa Pra Operasi di Rumah Sakit Umum
Imelda Pekerja Indonesia Tahun 2018. Jurnal Ilmiah Kebidanan IMELDA;
4(2): Hal. 556-564

Sari, Irda (2020). Analisis Dampak Pandemi Covid- 19 Terhadap Kecemasan


Masyarakat :Literature Review. Bina Generasi; Jurnal Kesehatan. 12 (1):
69-76

Tanggap Covid-19 Provinsi Jawa Tengah.Tabel Sebaran Covid-19 Jawa Tengah.


[homepage on the Internet] © 2021 [cited 2021 Jan 29] Available from:
https://corona.jatengprov.go.id/data

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang


Kesejahteraan Lanjut Usia

Widagdo, Wahyu (2016). Keperatan Keluarga komunitas. Jakarta:


KementrianKesehatna RI

WitriyaCahyana, UtamiNgesti W., Andinawati, Mia (2016). Hubungan Tingkat


Kecemasan Dengan Pola Tidur Lansia Di Kelurahan Tlogomas Kota
Malang.Nursing News Volume. 1(2): 190-203

Witriya, Cahyana; Utami, Ngesti W;Andinawati, Mia (2016) Hubungan Tingkat


Kecemasan dengan Pola Tidur Lansia di Kelurahan Tlogomas Kota Malang.
Nursing News; 1(2) : Hal. 90-203

WORLDOMETERS.COVID-19 CORONAVIRUS PANDEMIC.[homepage on


the Internet] © 2021 [cited 2021 Jan 29] Available from:
https://www.worldometers.info/coronavirus/

Sugiyono (2013). Metodologi Penilitian Manajemen: Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, Kombinasi (Mixed Methods) Penilitian Tindakan (Action
Research), PenilitianEveluasi. Yogyakarta: Alfabeta

Hidayat A aziz A (2014). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknis Analisa Data.
Jakarta: Salemba Medika

Dahlan, M Sopiyudin (2014). Statistik Untuk Kedonteran dan


Kesehatan:Deskripstif, Bivariat, dan Multivariat dilengkapi Aplikasi
Menggunakan SPSS. Jakarta: Epidemiologi Indonesia
Pradana, A. A. , Casman , Nur’aini (2020). Pengaruh Kebijakan Social Distancing
pada Wabah Covid-19 Terhadap Kelompok Rentan di Indonesia. Jurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia. 9(2): Hal. 61-67

Rayani, Dewi dan Purqoti, Dewi Nur Sukma (2020). Kecemasan Keluarga Lansia
Terhadap Berita Hoax Dimasa Pandemi Covid-19. Jurnal Realita. 5(1): hal
906-912

Ilpaj, Salma Matla dan Nurwati, Nunung (2020). Analisis Pengaruh Tingkat
Kematian Akibat Covid-19 Terhadap Kesehatan Mental Masyarakat di
Indonesia. Jurnal Pekerjaan Sosial. 3(1) hal. 16-18

Riyadi, A., Syarifuddin, A.K.A.A., Khumairo, A.A., et all (2020). Dinamika


Pendekatan dalam Penanganan Covid-19. Bojong: Nasya Expanding
Management

Vibriyanti, Deshinta (2020). Society Mental Health: Managing Anxiety During


Pandemic Covid-19. Jurnal Kependudukan Indonesia ‘Edisi Khusus
Demografi dan COVID-19’. Hal. 69-74
Kholifa, Siti Nur (2016). Keperawatan Gerontik. Kementrian Kesehatan RI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang


Kesejahteraan Lanjut Usia

Sunarya, Wijayanti R., Kuhu MM., Sumedi T., Widayanti ED., Sukrillah UA.,
Riyadi S., Kuswati A (2015). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta:
Andi Offset;

KemenKes RI (2016). Situasi Lanjut Usia (LanSia) di Indonesia. Jakarta:


Kementriaan Kesehatan RI;

Safitri, Nedya (2018). Masalah Kesehatan Pada Lansia. [home page on the
internet] Kementerian Kesehatan RI. diambil dari
http://yankes.kemkes.go.id/read-masalah-kesehatan-pada-lansia-4884.html

Astria, Ni Kadek Risa (2016). Gambaran Kualitas Tidur Pada Lansia Di Desa
Adat Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung Tahun 2016.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. Skripsi

Anda mungkin juga menyukai