Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ASKEP GADAR ENDOKRINDIGESTIF


Diabetes Militus

Disusun Oleh:
1. Eny Widayanti
2. Monika Helena Palinggi
3. Mulyani Anwar
4. Nana Mariana
5. Ramadani Hari Setiawan

KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
DIPLOMA III KEPERAWATAN
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat TUHAN YME yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini tepat pada
waktunya yang berjudul Sanitasi makanan da minuman
Makalah ini berisikan tentang asuhan keperawatan gawat darurat endokrindigestif
khususnya diabetes militus. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. Amin.

Samarinda, 7 September 2016

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG

Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang menyerang kurang lebih 12 juta
orang. 7 juta dari 12 juta penderita diabetes tersebut sudah terdiagnosis; sisanya tidak
terdiagnosis. Di Amerika Serikat, kurang lebih 650.000 kasus diabetes baru didiagnosis
setiap tahunnya (health people 2000, 1990). Menurut Survey WHO, 8,6% dari jumlah
masyarakat Indonesia telah terdiagnosis Diabetes Melitus, Indonesia menduduki peringkat
ke-4 terbesar setelah India, China, Amerika Serikat. Angka rawat inap bagi penderita
diabetes adalah 2,4 kali lebih besar pada orang dewasa dan 5,3 kali lebih besar pada anak-
anak bila dibandingkan dengan populasi umum. Separuh dari keseluruhan penderita diabetes
yang berusia lebih dari 65 tahun di rawat di rumah sakit setiap tahunnya. Komplikasi yang
serius dan dapat membawa kematian sering turut menyebabkan peningkatan angka rawat
inap bagi para penderita diabetes.
Survei Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) pada tahun 2001 menyebutkan jumlah
penderita DM di Indonesia mencapai 8,6 persen, terjadi peningkatan jumlah DM di Jakarta
dari 1,7 persen pada tahun 1981 menjadi 5,7 persen pada tahun 1993. International Diabetic
Federation (IDF) mengestimasikan bahwa jumlah penduduk Indonesia usia 20 tahun ketas
menderita DM sebanyak 5,6 juta orang pada tahun 2001 dan akan meningkat menjadi 8,2 juta
pada 2020, sedang Survei Depkes 2001 terdapat 7,5 persen penduduk Jawa dan Bali
menderita DM. Data Depkes tersebut menyebutkan jumlah penderita DM menjalani rawat
inap dan jalan menduduki urutan ke-1 di rumah sakit dari keseluruhan pasien penyakit dalam.
Pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat tajam
menjadi 14 juta orang, dimana baru 50 persen yang sadar mengidapnya dan di antara mereka
baru sekitar 30 persen yang datang berobat teratur. Diabetes terutama prevalen diantara kaum
lanjut usia. Diantara individu yang berusia lebih dari 65 tahun, 8,6% menderita diabetes tipe
II, dan angka ini mencangkup 15% populasi pada panti lansia.
B. Tujuan
Penulis menyusun makalah ini untuk mendukung kegiatan belajar mengajar jurusan
keperawatan khususnya di mata kuliah ASKEP GADAR ENDOKRINDIGESTIF.

C. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari Diabetes Militus?
b. Apa saja faktor yang mempengaruhi sanitasi makanan?
c. Apa saja faktor penyebab makanan menjadi berbahaya?
e. Bagaimana pelaksanaan higiene dan sanitasi?
g. Bagaimana pengaruh makanan terhadap kesehatan?
h. Apa saja penyebab penyakit bawaan makanan?
i. prinsip-prinsip dalam sanitasi makanan dan minuman?
j. apa saja masalah sanitasi pangan yang ada di Indonesia dan penanganannya?
BAB II

1. DEFINISI
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa
darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia.
DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. Yang paling sering terjadi
yaitu: diabetes mellitus yang diketahui sewaktu hamil yang disebut DM gestasional dan DM
yang telah terjadi sebelum hamil yang dinamankan DM pragstasi. Diabetes mellitus
merupakan ganguan sistemik pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Diabetes
mellitus ditandai dengan hiperglikemia atau peningkatan glukosa darah yang diakibatkan
produksi insulin yang tidak adekuat atau penggunaan insulin secara tidak efektif pada
tingkat seluler. (Bobak. Lowdermilk, Jensen.2004. Edisi 4 hal 699).

2. Penyebab/Faktor Predisposisi
Diabetes tipe I:
a. Faktor genetic
Diabetes mellitus cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Anggota
keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini
dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli kesehatan
juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin.
Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan kaum perempuan
sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-anaknya.

b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons autoimun yang merupakan respons abnormal dimana sel-sel beta
dihancurkan oleh antibodi karena dianggap sebagai sel asing.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel
beta. Beberapa contoh dari virus dan toksin tersebut, antara lain :
Virus dan Bakteri
Virus penyebab DM adalah rubela, mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui
mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini mengakibatkan destruksi atau
perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi autoimunitas yang
menyebabkan hilangnya autoimun dalam sel beta. Diabetes mellitus akibat bakteri
masih belum bisa dideteksi. Namun, para ahli kesehatan menduga bakteri cukup
berperan menyebabkan DM.
Bahan Toksik atau Beracun
Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah alloxan,
pyrinuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis jamur). Bahan lain
adalah sianida yang berasal dari singkong.

Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetic diperkirakan
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor resiko :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga

Diabetes Gestasional
Diabetes Gestasional terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum
kehamilannya. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi hormon-hormon
plasenta. Setelah melahirkan bayi, kadar glukosa darah akan kembali normal. Disebabkan
oleh gangguan hormonal pada wanita hamil. Diabetes melitus ( gestational diabetes
mellitus, GDM) juga melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan
pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup, sama dengan jenis-jenis kencing manis
lain. Hal ini dikembangkan selama kehamilan dan dapat meningkatkan atau menghilang
setelah persalinan. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan diabetes gestational
dapat mengganggu kesehatan dari janin atau ibu, dan sekitar 20%50% dari wanita-
wanita dengan Diabetes Melitus gestational sewaktu-waktu dapat menjadi penderita.

3. Klasifikasi
1. IDDM ( Insulin Dependent Diabetes Millitus )
Sangat tergantung pada insulin. Disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas karena
reaksi autoimin sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin alami untuk mengontrol
kadar glukosa darah.
2. NIDDM ( Non-Insulin Dependent Diabetes Millitus )
Tidak tergantung insulin. Diabetes ini dsebabkan oleh gangguan metabolisme dan
penurunan fungsi hormon insulin dalam mengontrol kadar glukosa darah dan hal ini bisa
terjadi karena faktor genetik dan juga dipicu oleh pola hidup yang tidak sehat.

4. Komplikasi
Komplikasi dari diabetes ada beberapa yaitu :
1. Jangka pendek (kegawat daruratan)
Hipoglikemia
Ketoasidosis diabetik dan Sindrom hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (HHK)
2. Jangka panjang
Retinopati
Nefropati
Neuropati : polineuropati sensori(neuropati perifer), neuropati cranial, dan neuropati
otonom

5. Gejala Klinis
Gejala yang lazim terjadi, pada diabetes mellitus sebagai berikut :
Pada tahap awal sering ditemukan
a. Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya
serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak
menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.
b. Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena
poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.
c. Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar).
Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak
makan, tetap saja makanan tersebut hanyaakan berada sampai pada pembuluh darah.
d. Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang
Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh
berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein,
karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan
makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga
klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus
e. Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa sarbitol fruktasi) yang
disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa,
sehingga menyebabkan pembentukan katarak.

4. Patofisiologi
Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa
dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh
pankreas, yang bertanggungjawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang normal.
Insulin memasukkan gula ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau disimpan
sebagai cadangan energi.
Pada Diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau
pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini menimbulkan
hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolic akut seperti diabetes
ketoasidosis dan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketonik (HHNK). Hiperglikemia
jangka panjang dapat ikut menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit
ginjal dan mata) dan komplikasi neuropati (penyakit pada saraf). Diabetes juga disertai
dengan peningkatan insiden penyakit makrovaskuler yang mencangkup infark miokardium,
stroke, dan penyakit vaskuler perifer.
Kondisi kegawatan pada Diabetes mellitus yaitu :
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat
penurunan kadar glukosa darah dibawah rentang batas normal.
Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan berat
ringannya ditentukan pula oleh lamanya terjadi penurunan kadar
glukosa darah serta berat ringan gejala yang timbul. Pada pasien DM,
hipoglikemia terutama terjadi akibat pemberian obat-obat golongan
sulfonilurea dan pemakaian insulin. Pengaruh buruk hipoglikemia
terutama akan menyebabkan gangguan fungsi syaraf otak yang bila
berlangsung lama akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Kekawatiran akan terjadinya hipoglikemia dalam penatalaksanaan DM,
terutama pada pasien usia lanjut menimbulkan permasalahan dalam
kendali glukosa darah yang akan meningkatkan risiko komplikasi makro
dan mikrovaskular akibat hiperglikemia
2. Ketoasidosis diabetik dan Sindrom hiperglikemik hiperosmolar
nonketotik (HHK)
Patogenesis :

Kelainan yang mendasari kedua keadaan ini adalah adanya


penurunan kerja insulin yang disertai dengan peningkatan sekresi
counter regulatory hormones seperti glukagon, katekolamin, kortisol dan
Growth Hormone. Perubahan keseimbangan hormonal ini akan
menyebabkan peningkatan produksi glukosa hepar dan penurunan
ambilan glukosa oleh jaringan perifer, yang akan memperberat
hiperglikemi serta perubahan2 osmolalitas cairan ekstraseluler.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan counter-regulatory
hormones pada KAD juga akan merangsang pelepasan asam lemak
bebas dari jaringan lemak kedalam sirkulasi darah serta peningkatan
oksidasi asam lemak hati menjadi ketone bodies (benda2 keton) yaitu b
hydroxybutyrate dan asam asetoasetat yang akan menyebabkan
ketonemia dan asidosis metabolik.

Sebaliknya pada KHH, kadar insulin tidak mencukupi untuk


memfasilitasi pemakaian glukosa oleh jaringan2 perifer namun masih
cukup untuk mencegah lipolisis dan terjadinya ketogenesis
(pembentukan benda2 keton) sehingga jarang terjadi asidosis
metabolik. Baik KAD maupun KHH disertai dengan glikosuria yang akan
menyebabkan diuresis osmotik yang berakibat kehilangan cairan dan
elektrolit.

Faktor pencetus :

Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling utama pada KAD dan
KHH. Disamping itu pemberian insulin dengan dosis yang tidak adekuat,
juga merupakan faktor pencetus untuk terjadinya KAD pada penderita
DM tipe 1. Faktor pencetus lain adalah CVD, penyalahgunaan alkohol,
trauma, emboli paru dan infark miokard. Berbagai jenis obat dapat pula
mengganggu metabolisme karbohidrat, antara lain : kortikosteroid,
pentamidine, obat-obat simpatomimetik, penghambat a dan b
adrenergik serta diuretik , sehingga dapat pula mencetuskan KAD dan
KHH terutama pada penderita usia lanjut. Disamping itu pada penderita
DM tipe 1 onset baru biasanya terdiagnosis pertama kali karena KAD.
KHH juga dapat terjadi pada penderita DM tipe 2 usia lanjut yang tidak
menyadari kondisi hiperglikeminya dan kurang mendapat asupan cairan
yang cukup pada saat diperlukan. Pada penderita DM tipe 1 yang
disertai problem psikologik sehingga terjadi gangguan selera makan
dapat pula menjadi faktor pemicu KAD yang berulang.
Patofisiologi Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik
5. Pemeriksaan diagnostik/ penunjang
Pemeriksaan diagnosis
Glukosa darah: meningkat 100-200 mg/dL, atau lebih.
Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok.
Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330mOsm/l.
Elektrolit:
Natrium: mungkin normal, meningkat atau menurun.
Kalium : normal atau peningkatan semu (perpindahan seluler), selanjutnya akan
menurun.
Fosfor : lebih sering menurun.
Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang
mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir (lama hidup SDM)
dan karenanya sangat bermanfaat dalam membedakan DKA dengan kontrol tidak
adekuat versus DKA yang berhubungan dengan insiden.
Pemeriksaan mikroalbumin : Mendeteksi komplikasi pada ginjal dan kardiovaskular
Nefropati Diabetik. Salah satu komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes
adalah terjadinya nefropati diabetic, yang dapat menyebabkan gagal ginjal terminal
sehingga penderita perlu menjalani cuci darah atau hemodialisis.
Nefropati diabetic ditandai dengan kerusakan glomerolus ginjal yang berfungsi sebagai
alat penyaring.
Gangguan pada glomerulus ginjal dapat menyebabkan lolosnya protein albumin ke dalam
urine
Adanya albumin dalam urin (=albuminoria) merupakan indikasi terjadinya nefropati
diabetic.

Manfaat pemeriksaan Mikroalbumin (MAU)


Diagnosis dini nefropati diabetic
Memperkirakan morbiditas penyakit kardiovaskular dan mortalitas pada pasien DM
HbA1c atau A1C
Merupakan senyawa yang terbentuk dari ikatan antara glukosa dengan hemoglobin
(glycohemoglobin)
Jumlah A1C yang terbentuk, tergantung pada kadar glukosa darah
Ikatan A1c stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan sel darah merah)
Kadar A1C mencerminkan kadarglukosa darah rata-rata dalam jangka waktu 2-3 bulan
sebelum pemriksaan

Manfaat pemeriksaan A1C


Menilai kualitas pengendalian DM
Menilai efek terapi atau perubahan terapi setelah 8-12 minggu dijalankan

Tujuan Pemeriksaan A1C


Mencegah terjadinya komplikasi (kronik) diabetes karena :
A1C dapat memperkirakan risiko berkembangnya komplikasi Diabetes
Komplikasi diabetes dapat muncul jika kadar glukosa darah terus menerus tinggi dalam
jangka panjang
Kadar glukosa darah rata-rata dalam jangka panjang (2-3 bulan) dapat diperkirakan dengan
pemeriksaan A1C
Jadwal pemeriksaan A1C
Untuk evaluasi awal setelah diagnosis DM dipastikan
Secara periodic (sebagai bagian dari pengelolaan DM) yaitu :
Setiap 3 bulan (terutama bila sasaran pengobatan belum tercapai)
Minimal 2 kali dalam setahun.
10. Diagnosis /kriteria diagnosis
Tabel: Kadar glukosa darah sewaktu dan Buka Belum DM
Pasti
puasa dengan metode enzimatik sebagai n DM
DM
patokan penyaring dan diagnosis DM
(mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu:
Plasma vena <110 110 - >200
199
Darah kapiler <90 90 >200
199
Kadar glukosa darah puasa:
Plasma vena <110 110 - >126
125
Darah kapiler <90 90 >110
109
6. Therapy /Tindakan Penanganan
Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olah raga dan diet. Pengaturan diet
sangat penting, biasanya penderita tidak boleh terlalu banyak makan makanan manis dan harus
makan dalam jadwal yang teratur. Penderita diabetes cenderung memiliki kadar kolesterol yang
tinggi, karena itu dianjurkan untuk membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya. Tetapi
cara terbaik untuk menurunkan kadar kolesterol adalah mengontrol kadar gula darah dan berat
badan. Semua penderita hendaknya memahami bagaimana menjalani diet dan olah raga untuk
mengontrol penyakitnya. Mereka harus memahami bagaimana cara menghindari terjadinya
komplikasi. Seseorang yang obesitas dan menderita diabetes tipe 2 tidak akan memerlukan
pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolah raga secara teratur.
Namun, sebagian besar penderita merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan
olah raga yang teratur. Karena itu biasanya diberikan terapi sulih insulin atau obat hipoglikemik
(penurun kadar gula darah) per-oral.
Diabetes tipe 1 hanya bisa diobati dengan insulin tetapi tipe 2 dapat diobati dengan obat oral.
Jika pengendalian berat badan dan berolahraga tidak berhasil maka dokter kemudian
memberikan obat yang dapat diminum (oral = mulut) atau menggunakan insulin.
Berikut ini pembagian terapi farmakologi untuk diabetes, yaitu:
Obat hipoglikemik oral :
1. Golongan sulfonilurea
Seringkali dapat menurunkan kadar gula darah secara adekuat pada penderita diabetes
tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe I. Contohnya adalah glipizid, gliburid,
tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara
merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan efektivitasnya.
2. Obat lainnya, yaitu
a. metformin
Tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap
insulinnya sendiri.
b. Akarbos
Bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam usus. Obat hipoglikemik
per-oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe II jika diet dan oleh raga gagal
menurunkan kadar gula darah dengan cukup.
Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari), meskipun beberapa penderita
memerlukan 2-3 kali pemberian. Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat mengontrol
kadar gula darah dengan baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin.
c. Terapi Sulih Insulin
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga diberikan
insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan, insulin
dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per-oral (ditelan).
Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang dalam penelitian. Pada saat ini,
bentuk insulin yang baru ini belum dapat bekerja dengan baik karena laju
penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya.
Insulin disuntikkan dibawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di lengan, paha atau
dinding perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak terasa terlalu nyeri.
Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan lama
kerja yang berbeda:
1) Insulin kerja cepat
Contohnya adalah insulin regular, yang bekerja paling sebentar. Insulin ini sering
kali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20 menit, mencapai puncaknya
dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam. Insulin kerja cepat seringkali
digunakan oleh penderita yang menjalani beberapa kali suntikan setiap harinya dan
disuntikkan 15-20 menit sebelum makan.

2) Insulin kerja sedang


Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai bekerja
dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimum dalam waktu 6-10 jam dan
bekerja selama 18-26 jam. Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk
memenuhi kebutuhan selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk
memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
3) Insulin kerja lambat
Contohnya adalah insulin suspensi sedang yang telah dikembangkan. Efeknya baru
timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam. Sediaan insulin stabil dalam
suhu ruangan selama berbulan-bulan sehingga bisa dibawa kemana-mana.
Pemilihan insulin yang akan digunakan tergantung kepada:
a) Keinginan penderita untuk mengontrol diabetesnya
b) Keinginan penderita untuk memantau kadar gula darah dan menyesuaikan
dosisnya
c) Aktivitas harian penderita
d) Kecekatan penderita dalam mempelajari dan memahami penyakitnya
e) Kestabilan kadar gula darah sepanjang hari dan dari hari ke hari.

Sediaan yang paling mudah digunakan adalah suntikan sehari sekali dari insulin
kerja sedang. Tetapi sediaan ini memberikan kontrol gula darah yang paling
minimal. Kontrol yang lebih ketat bisa diperoleh dengan menggabungkan 2 jenis
insulin, yaitu insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Suntikan kedua diberikan
pada saat makan malam atau ketika hendak tidur malam.
Kontrol yang paling ketat diperoleh dengan menyuntikkan insulin kerja cepat dan
insulin kerja sedang pada pagi dan malam hari disertai suntikan insulin kerja cepat
tambahan pada siang hari. Beberapa penderita usia lanjut memerlukan sejumlah
insulin yang sama setiap harinya; penderita lainnya perlu menyesuaikan dosis
insulinnya tergantung kepada makanan, olah raga dan pola kadar gula darahnya.
Kebutuhan akan insulin bervariasi sesuai dengan perubahan dalam makanan dan
olah raga. Beberapa penderita mengalami resistensi terhadap insulin. Insulin tidak
sepenuhnya sama dengan insulin yang dihasilkan oleh tubuh, karena itu tubuh bisa
membentuk antibodi terhadap insulin pengganti. Antibodi ini mempengaruhi
aktivitas insulin sehingga penderita dengan resistansi terhadap insulin harus
meningkatkan dosisnya. Penyuntikan insulin dapat mempengaruhi kulit dan
jaringan dibawahnya pada tempat suntikan. Kadang terjadi reaksi alergi yang
menyebabkan nyeri dan rasa terbakar, diikuti kemerahan, gatal dan pembengkakan
disekitar tempat penyuntikan selama beberapa jam. Suntikan sering menyebabkan
terbentuknya endapan lemak (sehingga kulit tampak berbenjol-benjol) atau merusak
lemak (sehingga kulit berlekuk-lekuk). Komplikasi tersebut bisa dicegah dengan
cara mengganti tempat penyuntikan dan mengganti jenis insulin. Pada pemakaian
insulin manusia sintetis jarang terjadi resistensi dan alergi.

Algoritma Penanganan Hipoglikemia

Berikut adalah algoritma penatalaksanaan hipoglikemia pada pasien-pasien yang dirawat di


rumah sakit :
Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Hipoglikemi menurut Lovelace Medical Center
Diabetes Episodes of Care {Dikutip dari : Tomky D. Detection, Prevention, and
Treatment of Hypoglycemia in the Hospital. Diabetes Spectrum 2005;18(1):42.}.

Algoritma Penanganan KAD dan HONK/ KHH

Dibawah ini dicantumkan contoh algoritma penatalaksanaan KAD dan KHH pada orang
dewasa menurut rekomendasi American Diabetes Association
2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1. Keluhan Utama
Takikardi, gemetar, pandangan kabur, pusing, lapar, penurunan kesadaran.
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Hipoglikemi dapat terjadi akibat intake nutrisi yang tidak adekuat, dan olah raga
yang terlalu berat. Namun mekanisme umum dan penting adalah respon terhadap
terapi insulin.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Asupan nutrisi yang tidak adekuat, olahraga terlalu berat, dosis insulin terlalu
berlebih, atau menderita penyakit Diabetes Mellitus.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Anggota keluarga ada yang menderita Diabetes Mellitus.

b. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan fisik berdasarkan prinsip ABCD
A (Airway)
Kaji adanya sumbatan jalan nafas dan tanda-tanda bila terjadi hambatan jalan nafas
B (Breathing)
Kaji pernafasan klien dengan cara Look, Listen and Feel
Look : lihat ada pergerakan dada atau tidak
Listen : dengar jika ada suara nafas tambahan (snoring, gargling, crowing)
Feel : rasakan hembusan nafas klien
C (Circulation)
Pada pemeriksaan fisik circulation data yang diperoleh adalah detak jantung
meningkat serta akral dingin dan pucat
D (Disability)
Kesadaran menurun sampai koma karena otak kekurangan suplai glukosa. Untuk
menilai kesadaran kita juga dapat menggunakan metode AVPU (Alert, Verbal, Pain,
Unresponsive) dengan cara :
A : Korban sadar, jika tidak segera lanjutkan dengan Verbal
V: Coba memanggil klien dengan keras di dekat telinga klien, jika tidak
ada respon lanjut ke Pain
P : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah
adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain
itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan
juga areal diatas mata (supra orbital).
U : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi
maka pasien berada dalam keadaan unresponsive

E (Exposure)
Pada exposure kita melakukan pengkajian secara menyeluruh, hipoglikemia lebih
sering terjadi pada klien dengan riwayat diabetes mellitus kita harus mengkaji
apakah ada luka/infeksi pada tubuh klien

1. System Pernafasan atau Breathing (B1)


Takipnea, RR meningkat.
2. System Kardiovaskuler atau Blood (B2)
Takikardi, penurunan atau peningkatan tekanan darah.
3. System Persyarafan atau Brain (B3)
Pusing, pening, sakit kepala, gangguan penglihatan, mengantuk (somnolen), reflek
menurun, stupor sampai koma.
4. System Perkemihan atau Bladder (B4)
Pada penderita yang tidak sadar sering di jumpai menghilangnya kontrol atas otot-
otot sfingter dengan akibat miksi.
5. System Pencernaan atau Bowel (B5)
Mual muntah, rasa haus, rasa lapar, defekasi yang tidak terkontrol.
6. System Musculoskeletal dan integument atau Bone (B6)
Lemah, penurunan kekuatan otot, kesemutan.
c. Masalah yang Mungkin Muncul
Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Resiko aspirasi b.d penurunan kesadaran
Tujuan : Tidak terjadi aspirasi
Kriteria Hasil : Kesadaran meningkat, toleransi pemberian makanan per
oral tanpa aspirasi
No Intervensi Rasional
.
1 Monitor tingkat kesadaran, reflek Menentukan tindakan
batuk dan kemampuan menelan keperawatan selanjutnya
2 Tempatkan pasien pada posisi Untuk mencegah aspirasi
semi fowler atau posisi kepala
lebih tinggi
3 Hindari pemberian cairan atau Untuk mencegah aspirasi
makanan per oral jika kesadaran
klien rendah
4 Monitor status paru Evaluasi ada aspirasi atau tidak

2. Resiko cidera b.d penurunan kesadaran dan gangguan penglihatan


Tujuan : Tidak terjadi cidera
Kriteria Hasil : Resiko cidera berkurang/hilang
N Intervensi Rasional
o
1 Ciptakan lingkungan Menguangi resiko
yang aman bagi cidera
klien, pidahkan
perabotan yang
dapat
membahayakan
klien
2 Pasang pengaman Mengamankan
pada sisi tempat klien saat berada
tidur klien dan di tempat tidur
turunkan tinggi
tempat tidur klien
3 Berikan penerangan Mengurangi resiko
yang adekuat cidera
4 Bantu klien dalam Mengurangi resiko
ambulasi cidera

3. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume cairan berlebih


Tujuan : Kebutuhan cairan seimbang
Kriteria Hasil : intake-output cairan seimbang, membrane mukosa lembab, turgor
kulit baik, tanda vital stabil
N Intervensi Rasional
o
1 Anjurkan pasien Untuk pemenuhan
mengkonsumsi ciran kebutuhan dasar
sedikitnya cairan dan
2500ml/hari atau menurunkan resiko
disesuaikan dengan dehidrasi
kebutuhan cairan
klien
2 Pantau masukan dan Memberikan
haluaran, pantau informasi
keseimbangan keadekuatan
cairan volume cairan dan
kebutuhan cairan
3 Evaluasi perubahan Indikator langsung
membran mukosa status cairan
dan turgor kulit
4 Monitoring Peningkatn suhu
perubahan tanda- meningkatkan laju
tanda vital metabolik dan
kehilangan cairan
melalui evaporasi.
Dehidrasi juga
ditandai dengan
perubahan suhu dan
tekanan darah
5 Kolaborasi untuk Intake cairan
pemberian cairan parenteral dapat
tambahan melalui memperbaiki
IV sesuai keperluan kekurangan cairan

4. Nyeri akut b.d vasodilatasi pembuluh darah intracranial


Tujuan : Nyeri berkurang/hilang
Kriteria Hasil : Skala nyeri berkurang, nyeri dapat dikontrol

No Intervensi Rasional
.
Istirahatkan klien di Menurunkan
lingkungan yang stimulasi yang
tenang berlebih dapat
mengurangisakit
kepala
Observasi tanda- Menilai derajat
tanda nyeri non- nyeri yang tidak
verbal seperti langsung
ekspresi wajah,
posisi tubuh dan
gelisah
Berikan kompres Meningkatkan
hangat pada kepala sirkulasi dan
memberikan efek
relaksasi
Kolaborasi Analgesik
pemberian analgesik mengurangi nyeri
5. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan
Tujuan : Toleransi aktivitas yang biasa dilakukan
Kriteria Hasil : Peningkatan toleransi aktivitas
N Intervensi Rasional
o
Identifikasi dan Membantu
minimalkan factor- meningkatkan
faktor yang dapat aktivitas
menurunkan
toleransi aktivitas
Ajarkan klien Memberikan
metode bantuan sesuai
penghematan energy kebutuhan akan
untuk aktivitas mendorong
kemandirian dalam
melakukan aktivitas
Berikan bantuan
sesuai kebutuhan
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat


penurunan kadar glukosa darah dibawah rentang batas normal. Bila
kadar glukosa darah turun sampai dibawah 40 mg/dl, akan
memberikan gejala-gejala neurologik yang berat dan irreversibel. Pada
pasien DM, hipoglikemia terutama terjadi akibat pemberian obat-obat
golongan sulfonilurea dan pemakaian insulin. Kekawatiran akan
terjadinya hipoglikemia dalam penatalaksanaan DM, terutama pada
pasien usia lanjut menimbulkan permasalahan dalam kendali glukosa
darah yang akan meningkatkan risiko komplikasi makro dan
mikrovaskular akibat hiperglikemia. Pada kelompok usia lanjut,
manifestasi gejala dan tanda2 hipoglikemia seringkali tidak jelas
dikarenakan adanya neuropati otonom (hypoglycemia unawareness) ,
sehingga terkadang pasien datang ke rumah sakit sudah dalam
keadaan hipoglikemia yang berat. Hipoglikemia dapat memprovokasi
terjadinya gangguan hemodinamik sehingga dapat meningkatkan
angka kejadian stroke, infark miokard, dan aritmia ventrikel serta
sudden death.
Hipoglikemia dapat pula menimbulkan penurunan kesadaran dan
kejang, yang pada usia lanjut akan meningkatkan risiko jatuh dan
fraktur karena adanya komorbiditas seperti osteoporosis. Dalam
pencegahan dan penatalaksanaan hipoglikemia pada pasien DM tipe 2
usia lanjut, edukasi terhadap keluarga memegang peranan yang
sangat penting. Pemberian insulin analog yang bersifat lebih fisiologik
dalam mengendalikan kadar glukosa darah, dapat mengurangi
frekuensi kejadian hipoglikemia.

2. Krisis hiperglikemik yang meliputi Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan


Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik (KHH) merupakan komplikasi akut
yang serius pada penderita diabetes melitus. Berbagai keadaan dapat
mencetuskan terjadinya krisis hiperglikemik dimana infeksi merupakan
faktor pencetus utama. Prinsip penatalaksanaan krisis hiperglikemi
meliputi koreksi terhadap dehidrasi, hiperglikemi dan gangguan
keseimbangan elektrolit, serta pengenalan dan pengobatan terhadap
faktor pencetus. Sebaiknya penderita dirawat di ruang rawat intensif
dengan follow up yang ketat terhadap kemungkinan terjadinya
komplikasi akibat penyakitnya maupun efek samping akibat
penatalaksanaannya. Hal yang paling penting adalah pencegahan
terhadap kemungkinan terjadinya krisis hiperglikemik dengan edukasi
terhadap pasien dan keluarga tentang pengenalan dini tanda-tanda
awal krisis hiperglikemik.

Kebanyakan kasus KAD dan KHH dapat dicegah melalui akses yang
lebih baik terhadap pusat pelayanan kesehatan serta edukasi yang
baik dan komunikasi yang efektif dengan perawat kesehatan.
Penghentian insulin karena alasan keuangan dan kesulitan
mendapatkan insulin merupakan faktor pencetus utama terjadinya KAD
pada pasien-pasien DM tipe 1 yang tinggal didaerah terpencil. Oleh
karena itu diperlukan bantuan pemerintah untuk penyediaan insulin di
Puskesmas2 yang merawat pasien-pasien DM khususnya DM tipe 1. Hal
yang paling penting adalah bahwa pasien hendaklah dinasihati jangan
menghentikan insulin dan segera memeriksakan diri kedokter apabila
mengalami sakit. Keberhasilan penatalaksanaan hari sakit (sick day
management) tergantung dari keterlibatan anggota keluarga. Pasien
dan keluarganya harus bisa melakukan pengukuran kadar glukosa
darah, memeriksa keton urin, penyuntikan insulin, mengukur suhu
tubuh, memeriksa denyut nadi dan frekuensi pernafasan, menimbang
berat badan dan melakukan komunikasi dengan dokter yang merawat.
3. Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan setiap
saat dan memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar
bermanfaat bagi tubuh. Menurut WHO, yang dimaksud makanan
adalah : Food include all substances, whether in a natural state or in a
manufactured or preparedform, wich are part of human diet. Batasan
makanan tersebut tidak termasuk air, obat-obatan dan substansi-
substansi yang diperlukan untuk tujuan pengobatan.
4. Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang
menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk
membebaskan makanan dan minuman dari segala bahaya yang dapat
menganggu atau memasak kesehatan, mulai dari sebelum makanan
diproduksi, selama dalam proses pengolahan, penyimpanan,
pengangkutan, sampai pada saat dimana makanan dan minuman
tersebut siap untuk dikonsumsikan kepada masyarakat atau konsumen.
Sanitasi makanan ini bertujuan untuk menjamin keamanan dan
kemurnian makanan, mencegah konsumen dari penyakit, mencegah
penjualan makanan yang akan merugikan pembeli. mengurangi
kerusakan / pemborosan makanan.

B. SARAN

Makanan yang higienis terkadang kurang menarik tetapi makanan


yang kelihatannya enak belum tentu menyehatkan. Mulai dari sekarang kita
kiatkan hidup sehat dengan memakan masakan yang kita olah sendiri jauh
lebh sehat.

Daftar Pustaka

1. Kitabchi AE, et.al. Management of Hyperglycemic Crises in Patients With


Diabetes, Diab Care. 2001;24(1):131-153.
2. Jean-Louis Chiasson, et. al.Diagnosis and treatment of diabetic
ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar state. CMAJ.2003; 168
(7):859-866.
3. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crises in Diabetes, Diab
Care. 2004; 27(Suppl 1):94-102.
4. Kitabchi AE et.al. Thirty Years of Personal Experience in Hyperglycemic
Crises: Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State, J
Clin Endocrinol Metab. 2008; 93: 15411552.
5. Fowler M. Hyperglycemic Crisis in Adults: Pathophysiology, Presentation,
Pitfalls, and Prevention. Clin Diab.2009; 27(1):19-23. United Kingdom
Prospective Diabetes Study Group: Intensive blood-glucose control with
sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk
of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet
1998; 352:837852.
6. Cryer PE: Hypoglycaemia: the limiting factor in the glycaemic
management of type I and type II diabetes.Diabetologia 2002; 45:937
948.
7. Tomky D. Detection, Prevention, and Treatment of Hypoglycemia in the
Hospital. Diab Spectr. 2005;18(1):42
8. Zammit NN, Frier BM. Hypoglycemia in type 2 diabetes. Diab Care
2005;28(12):2948-2957.
9. Fowler MJ. Hypoglycemia. Clinical Diabetes 2008; 26,(4):170-173
10. Kaukonen KM,Rantala M, Pettila.V, Hynninen M. Severe hypoglycemia
during intensive insulin therapy. Acta Anaesthesiol Scand 2009; 53: 61
65.

Anda mungkin juga menyukai