Oleh :
LISMAWATI ANGGRAENI, S.Kep
LAPORAN PENDAHULUAN
Gambar 1.1 Anatomi Ginjal (Chalouhy, C. E., Cheuck, L., Gest, T. R., Hoenig,
2017)
Ginjal terletak dibelakang peritoneum pada bagian belakang rongga abdomen. Ginjal k
anan lebih rendah daripada ginjal kiri karena adanya hati. Setiap ginjala diselubungi oleh kaps
ul fibrosa, lalu dikelilingi oleh lemak perinefrik, kemudian oleh fasia perinefrik yang juga me
nyelebungi kelenjar adrenal. Korteks ginjal merupakan zona luar ginjal dan medulla ginjal me
rupakan zona dalam yang terdiri dari piramida-piramida ginjal. Korteks terdiri dari semua
3
10
glomerolus dan medulla terdiri dari ansa henle, vase rekta, dan bagian akhir dari duktus kolekt
Nefron merupkan unsur dasar ginjal. Setiap ginjal memiliki 400.000-800.000 nefron, walaupu
n jumlah ini berkurung seiring usia. Nefron terdiri dari glomerolus dan tubulus terkait yang m
enuju duktus kolektivus. Urin dibentuk dari filtrasi pada glomerolus, kemudian dimodifikasi d
itubulus melalui proses reabsorbsi dan sekresi. Korteks terdiri dari dua jenis sel yang menyeru
Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai kelainan struktural atau fungsion
al dari ginjal, awalnya tanpa penurunan GFR, yang dari waktu ke waktu dapat menyebabkan p
enurunan GFR <60 mL / min / 1.73m2 ≥ 3 bulan, yang ditandai dengan kelainan patologi dan
adanya pertanda kerusakan ginjal, dapat berupa kelainan laboratorium darah atau urine atau k
elainan radiologi. Bagian ini akan menekankan proteinuria sebagai penanda kerusakan ginjal
(National Kidney Foundation, 2007). Kelainan struktural termasuk albuminuria lebih dari 30
mg / hari, terjadinya hematuria atau adanya sel darah merah dalam endapan urin, elektrolit da
n kelainan lain karena gangguan tubular, kelainan terdeteksi oleh histologi, kelainan struktural
Di Amerika Serikat, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases
(NIDDK) melaporkan bahwa satu dari 10 orang dewasa Amerika memiliki beberapa tingkat p
enyakit ginjal kronis (CKD). Prevalensi CKD di AS meningkat drastis dengan usia (29-39 tah
un sebanyak 4 ; usia 70 tahun 47 ), dan perkembangan paling cepat pada usia 60 tahun atau le
bih tua. Dalam (NHANES), prevalensi CKD stage 3 pada kelompok usia meningkat dari 18,8
4
pada tahun 1988 1994 menjadi 24,5 selama tahun 2003 - 2006. Selama periode yang sama,
prevalensi CKD pada orang berusia 20-39 tahun tetap konsisten di bawah 0,5% (Lerma, V., 2
015).
Sedangkan jumlah penderita gagal ginjal di indonesia saat ini terbilang tinggi, mencap
ai 300.000 orang tetapi belum semua pasien dapat ditangani, artinya terdapat 80% pasien tak t
Berdasarkan dari data survei yang dilakukan oleh pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia)
pada tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%, yang bearti terdap
at 18 juta orang dewasa di indonesia menderita penyakit ginjal kronik (Siallagan, 2012).
Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang mendasariny
a. Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan didapatkan edema, hipertensi
hematuria, dan proteinuria (Rachmadi, D., 2010). Pada umumnya penderita CKD stadium 1-3
tidak mengalami gejala apapun atau tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrol
it, endokrin dan metabolik yang tampak secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak s
ecara klinis biasanya baru terlihat pada CKD stadium 4 dan 5. Beberapa gangguan yang serin
g muncul pada pasien CKD anak adalah: gangguan pertumbuhan, kekurangan gizi dan protein
gangguan elektrolit, asidosis, osteodistrofi ginjal, anemia dan hipertensi (Rachmadi, D., 201
0).
Tahap awal disfungsi ginjal sering tidak diketahui secara klinik, terutama ketika Kondi
si ini hanya terjadi progresif yang lambat dan gejala yang tidak spesifik. Tahap 1 & 2 menunj
ukkan penurunan fungsi ginjal tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit meskipun diperkirakan
GFR kurang dari 120 ml/menit per 1,73 m2 tetapi lebih besar dari 60 ml/menit/1,73m2. Laju
progresivitas dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bisa atau tidak memiliki potensi modifika
si dan bervariasi antara individu yang lain dan dengan penyebab nefropati. Ketika pasien mem
5
asuki Tahap 3 telah kehilangan kurang lebih setengah dari fungsi ginjal mereka. Pada tahun 2
008, U.K Institut Kesehatan Nasional dan Clinical Excellence (NICE) tahap 3 dibagi menjadi
3A dan 3B dengan estimasi GFR sebesar 45 sampai 59 ml/menit/1,73m2 dan 44-30 ml /menit/
1,73 m2 masing- masing. secara umum telah diasumsikan bahwa mayoritas pasien dengan CK
D tahap 3B ke 5 akhirnya maju ke gagal ginjal terminal. Sebuah penelitian di Kanada menunj
ukkan riwayat alami CKD tahap 3 dan 4 menjadi variabel dan mencerminkan profil faktor risi
ko pasien. Tahap 4 bisa datang dengan keluhan hiperkalemia atau masalah dengan retensi gar
am dan air (Gerad Lowder, 2012). Tahap 5 dari gagal ginjal kronis merupakan ketidak mamp
Ginjal dapat menyesuaikan diri dengan perubahan mendadak terhadap natrium, kalium
dan asupan cairan. Sebelum penerimaan terapi pengganti ginjal, nafsu makan pasien dapat me
nurunkan, disertai dengan penurunan berat badan dan penurunan albumin serum. Dalam klini
k CKD, dengan pasien dilihat pada interval yang sering, tujuannya adalah untuk memulai diali
Saat ini etiologi dasar yang lebih sering ditemukan adalah diabetes dan hipertensi. Di
Amerika Serikat, sebagian besar kasus CKD (hingga 80%) disebabkan oleh diabetes atau hipe
rtensi (Arici, Mustafa. Raghavan, R. Eknoyan, 2014). Faktor resiko klinis pada Chronic Kidn
ey Disease yaitu : diabetes, hipertensi ,penyakit glomerular primer, penyakit autoimun, infeksi
sistemik, infeksi saluran kemih, nefrolitiasis, obstruksi saluran kemih bawah, penyakit ginjal k
eturunan (autosomal dominan, penyakit ginjal polikistik, yang alportsindroma), Obat-obat tert
entu (sisplatin, protonpump inhibitor). Pada individu peningkatan risiko Chronic Kidney Dise
ase termasuk mereka yang lebih tua > 55 tahun; antaralain hipertensi atau diabetes; dan kelom
pok suku tertentu, seperti Afrika Amerika, penduduk asli Amerika, Hispanik, Asia, dan Kepul
Berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2014, Urutan peny
ebab PGK baru dari data tahun 2014 masih sama dengan tahun sebelumnya. Penyakit ginjal hi
elonefritis kronik 7 %, Nefropati Lupus 1%, Nefropati Asam Urat 1%, Ginjal Polikistik 1%, T
idak Diketahui 2% (Indonesian Renal Registry, 2014). Penyebab terbanyak adalah penyakit gi
njal hipertensi dengan 34 % , hal ini tidak sesuai dengan data epidemiologi dunia yang mene
mpatkan nefropati diabetika sebagai penyebab terbanyak (Indonesian Renal Registry (IRR), 2
016).
7
1.1.7 Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD)
Pada ginjal yang normal terdapat sekitar 1 juta nefron, yang masing- masing memberik
an kontribusi terhadap total laju filtrasi glomerulus. Dalam kerusakan ginjal (terlepas dari etio
logi), ginjal memiliki kemampuan bawaan untuk mempertahankan laju filtrasi glomerulus, me
skipun terjadi kerusakan progresif nefron, dengan cara hiperfiltrasi dan hipertrofi kompensasi
dari nefron- nefron yang masih sehat. Kemampuan adaptasi ini terus berlangsung sampai ginj
al mengalami kelelahan dan akan tampak peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam plasm
a. Peningkatan kadar kreatinin plasma dari nilai dasar 0,6 mg/dl menjadi 1,2 mg/dl, meskipun
masih dalam rentang normal, sebetulnya hal ini merepresentasikan adanya penurunan fungsi g
injal sebesar 50%. Hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang tersisa, meskipun tampak seba
gai hal yang menguntungkan, namun ternyata diduga sebagai penyebab utama progresifitas di
sfungsi ginjal, karena pada keadaan ini terjadi peningkatan tekanan pada kapiler glomerulus s
Faktor-faktor selain proses penyakit yang mendasarinya dan hipertensi glomerulus yan
g dapat mengakibatkan kerusakan pada ginjal progresif meliputi antaralain; hipertensi sistemi
ya, dari dehidrasi berat atau episode shock), Proteinuria (selain menjadi penanda CKD), hiperl
ipidemia, hyperphosphatemia dengan deposisi kalsium fosfat, merokok, dan diabetes yang tid
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dilakukan dua tahap yaitu dengan terapi kon
servatif dan terapi pengganti ginjal. Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburu
knya faal ginjal secara progresif, dengan pengaturan diet protein yang berfungsi untuk mence
gah atau mengurangi azetomia, diet kalium untuk mencegah terjadinya hiperkalemi yang me
mbahayakan pasien, diet kalori untuk menambah energi pasien gagal ginjal yang sering meng
8
alami malnutrisi dan pengaturan kebutuhan cairan, mineral, dan elektrolit berguna untuk men
gurangi kelebihan beban sirkulasi dan intoksikasi cairan. Jika penanggulangan konservatif tid
ak lagi dapat mempertahankan fungsi ginjal maka dilakukan terapi pengganti ginjal yaitu hem
odialisis yang merupakan penggunan terapi pengganti ginjal terbanyak. (Ika Agustin Putri Har
yanti, 2015).
a. Laboratorium
1) Kadar BUN (normal: 5-25 mg/dL)2, kreatinin serum (normal 0,51,5 mg/dL;
c. Biopsi ginjal
d. EEG
konsentrasi hemoglobin < 13,0 gr/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan
< 12,0 gr/dl pada wanita lainnya (NKF-DOQI, 2002). Sebaliknya, The European
9
Best Practices Guidelines for the Management of Anemia Patients with Chronic Renal mende
didefinisikan sebagai konsentrasi Hb <11,5 g / dl pada wanita, <13,5 g / dl pada pria ≤ 70 tahu
Anemia pada CKD didefinisikan sebagai Hb (hemoglobin) <12 g / dL (wanita) atau <13
5 g / dL (pria), dengan ketersediaan besi yang memadai dengan parameter: TSAT (Transferri
n Saturation) > 20% dan ferritin > 100 ng / mL. Pada CKD Tahap 5, target feritin adalah > 20
0 ng / mL (Besarab, 2011). Anemia pada CKD dapat disebabkan oleh menurunnya produksi e
ritropoeitin atau kekuranagn zat besi (Mahesa dan Rachmadi, 2010). Penyebab lain dari anemi
a pada pasien dengan CKD antara lain defisiensi zat besi, adanya inflamasi, defisiensi asam fo
prevalensi yang meningkat secara bertahap pada saat penuruna eGFR (estimated Glomerular
Filtration Rate) (G Tsagalis, 2011). Pada tahun 2007-2010 sekitar 14,0% dari populasi orang
dewasa AS ditemukan dengan status CKD. umumnya anemia pada populasi dengan CKD dua
kali lipat (15,4%) dari pada populasi anemia tampa CKD (7,6%). Prevalensi anemia meningka
t dengan tahap CKD, dari 8,4% pada stage 1 samapai 53,4% pada stage 5. Sebanyak 22,8% da
ri pasien CKD dengan anemia dilaporkan dirawat karena anemia selama 3 bulan sebelumnya,
14,6% dari pasien pada tahap CKD 1-2 dan 26,4% dari pasien pada tahap 3-4 (Stauffer ME, 2
014).
Anemia sering terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Studi landmark yang
dilakukan oleh Obrador et al, menunjukkan bahwa di antara pasien dialisis, 68% dari pasien d
engan CKD stadium lanjut yang diharuskan terapi pengganti ginjal dengan hematokrit < 30 m
g / dL; di antaranya, 51% dari pasien dengan hematokrit < 28 mg / dL. Selain itu, meskipun a
10
nemia tidak ditemukan pada tahap awal CKD, pasien dengan CKD stage 3 memiliki prevalens
i anemia 5,2%, sedangkan pasien dengan CKD stage 4 memiliki prevalensi anemia 44,1%
(Lerma, 2015).
BC (Red Blood Cell), peningkatan kerusakan RBC, dan kehilangan darah. Anemia penyakit kr
onis dan anemia CKD keduanya dikaitkan dengan kategori penurunan produksi RBC. Ketika
klasifikasi anemia didasarkan pada morfologi sel darah merah, baik anemia penyakit kronis da
n penyakit ginjal kronis biasanya dikaitkan dengan klasifikasi anemia normositik normokrom
(Lerma, 2015).
Anemia pada CKD terutama disebabkan karena defisiensi relatif dari eritropoietin, na
mun ada faktor-faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia, antara lain memende
knya umur sel darah merah, inhibisi sumsum tulang, dan paling sering defisiensi zat besi dan f
olat. Selain itu, kondisi komorbid seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia pada p
2015).
Tabel 2.2 Etiologi Anemia Pada Chronic Kidney Disease (CKD) Ismatullah,
(2015)
Etiologi Penjabaran Etiologi
Penyebab utama Defisiensi relatif dari eritropoietin
Penyebab tambahan 1. Kekurangan zat besi
2. Inflamasi akut dan
3. Kronik Pendeknya masa hidup eritrosit
4. Bleeding diathesis
5. Hiperparatiroidisme/ fibrosis sumsum tulang
Kondisi komorbiditas Hemoglobinopati, hipotiroid, hipertiroid, kehamilan,
HIV, autoimun, obat imunosupresif
11
1.2.4 Patofisologi Anemia Pada Chronic Kidney Disease (CKD)
Sementara anemia pada CKD dihasilkan dari beberapa mekanisme (defisiensi besi, fol
at, vitamin B12; perdarahan gastrointestinal; hiperparatiroidisme parah; inflamasi sistemik; dan
memendeknya umur sel darah merah), penurunan sintesis erythropoietin adalah etiologi yang
paling penting dan spesifik penyebab anemia pada CKD. Erythropoietin adalah glikoprotein y
ang disekresi oleh ginjal fibroblas interstitial dan sangat penting untuk pertumbuhan dan difer
ensiasi sel-sel darah merah pada sumsum tulang. Pada pasien CKD, atrofi tubular menghasilk
an fibrosis tubulointerstitial, yang mengahambat sintetis erythropoietin pada ginjal dan menye
Gambar 2.2 Skema representasi dari mekanisme yang mendasari anemia pada CKD
(Babitt JL, 2012).
*Keterangan: Panah hitam dan abu-abu mewakili kondisi fisiologi normal (hitam untuk besi dan horm
onal fluks, abu-abu untuk proses regulasi). Panah merah mewakili efek tambahan dari CKD (biru untu
k aktivasi, merah untuk inhibitor)
Besi dan erythropoietin sangat penting untuk produksi sel darah merah di dalam
sumsum tulang. Ketersediaan besi dikendalikan oleh hepcidin hormon hati, yang men
gatur penyerapan zat besi dan daur ulang besi dari sel-sel darah merah yang sudah tua
dan dihancurkan oleh makrofag. Ada beberapa umpan balik siklus yang mengontrol k
12
adar hepcidin, termasuk besi dan erythropoietin. Pada pasien CKD (terutama pada pas
ien penyakit ginjal stadium akhir hemodialisis), kadar hepcidin ditemukan sangat ting
gi, diduga karena penurunan klirens ginjal dan induksi akibat inflamasi, yang mengar
ah pada terbatasnya eritropoiesis besi. CKD juga menghambat produksi EPO diginjal,
dan juga dapat menyebabkan inhibitor sirkulasi uremik-diinduksi eritropoiesis) meme
ndeknya umur sel darah merah, dan kehilangan darah (Babitt JL, 2012).
1.2.5 Komplikasi Anemia
Anemia merupakan salah satu temuan laboratorium dan klinis pada penyakit ginjal kro
nis (CKD). Kehadiran anemia pada pasien CKD memiliki berbagai dampak penting secara kli
nis. Anemia berkontribusi terhadap peningkatan cardiac output, pengembangan hipertrofi vent
rikel kiri, angina, dan gagal jantung kongestif. Menurut pengetahuan saat ini, anemia juga ber
kontribusi terhadap perkembangan CKD dan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi t
erhadap morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada pasien CKD (Zadrazil, J. dan
Horak, 2015).
1. Hipoksia
Hipoksia adalah stimulus yang paling ampuh untuk produksi erythropoietin oleh ginjal
Pada Orang yang sehat, erythropoietin membantu meningkatkan produksi sel darah m
Anemia, jika dalam kondisi berat, akan mengarah pada kompensasi hipertrofi ventrike
l kiri. kompensasi LVH (left ventricular hypertrophy) pada akhirnya akan mengarah p
ada gagal jantung kongestif, yang menyebabkan penurunan perfusi darah ke ginjal, ya
tuk setiap 1 g penurunan konsentrasi hemoglobin, ada peningkatan risiko 6% dari Hip
ertrofi ventrikel kiri pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Foley et al, memperkir
akan bahwa seperti 1 g penurunan konsentrasi hemoglobin juga diartikan dalam penin
gkatan 42% pada dilatasi ventrikel kiri pada pasien CKD dengan stadium 5 (V., 2015).
13
3. Penyakit kardiovaskular
Anemia telah terbukti menjadi faktor risiko independen untuk peningkatan morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular. Dalam studi hasil parktek dialisi atau The Dialysis Out
comes Practice Pattern Study (DOPPS) yang melibatkan beberapa negara dan menuju
kan penurunakan konsentrasi Hb kurang < 11g / dL, terjadi peningkatan terkait dalam
tingkat rawat inap dan kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Ofsthun et
al menganalisa database dari Fresenius Medical Care of North America (FMCNA) (sel
eksi dibatasi untuk pasien dalam sensus selama 6 bulan berturut-turut dari tanggal 1 Ju
li 1998, sampai 30 Juni 2000) dan menunjukkan bahwa semakin lama pasien dengan g
agal ginjal kronis stadium 5 dengan konsentrasi hemoglobin yang <11 g / dL , akan le
1.2.6 Data Penunjang Pasien dengan Anemia pada Chronic Kidney Disease
(CKD)
Karena eritropoietin bukan satu-satunya penyebab anemia Pada pasien CKD, evaluasi
awal harus mencakup berbagai tes yang memberikan informasi tentang aktivitas sumsum tula
ng (Tsagalis G, 2011). Tindakan yang digunakan untuk menilai anemia dan penyebabnya meli
puti hemoglobin, hematokrit, dan ketersediaan zat besi (yang diukur secara langsung oleh bio
psi sumsum tulang, atau secara tidak langsung yang diukur dengan serum feritin, tingkat kejen
uhan transferrin, dan persentase sel darah merah hipokromik atau retikulosit) (NKF-
DOQI, 2002).
Jantung adalah organ berupa otot , berbentuk kerucut, berongga, dan dengan basisnya
di atas dan puncaknya di bawah. Apexnya (puncak) miring ke sebelah bawah kiri. Berat jantu
ng kira-kira 300 gram. Agar jantung dapat berfungsi sebagai pompa yang efisien, otot-otot jan
tung di bagian atas dan bawah akan berkontraksi secara bergantian (Rachma, 2014).
kebutuhan tubuh, gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan strukt
ural atau fungsional jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan pengisian ventrikel da
rtahankan curah jantung yang adekuat guna memenuhi kebutuhan metabolic dan kebutuhan o
ksigen pada jaringan meskipun aliran balik vena adekuat (AHA, 2014).
1.3.2 Etiologi
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita penyakit ga
gal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih
dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita pe
kongestif.
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya gaga
gsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposi
si terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung
c. Cardiomiopathy
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan oleh pe
ri beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu
dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini diseb
abkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jar
ingan fibrosis.
16
d. Kelainan katup jantung
Dari beberapa kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan gagal jantung
untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat di distribusi ke seluruh tubuh.
e. Aritmia
Atrial fibrasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu adanya fa
ktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari pasien gagal jantung di
temukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 50% pasien gagal jantung m
dak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis dengan
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial fibrilasi atau
pun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang menyebabkan dilated
h konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek t
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk menyebabkan pen
yakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada wanita belum ada fakta ya
kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme perubaha
n struktur dan fungsi dari miokardium. selain itu, obesitas menyebabkan peningkatan
kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang merupakan penye
Tanda gejala yang muncul pada pasien CHF antara lain dispnea, fatigue, dan gelisah.
Dyspnea merupakan gejala yang paling sering dirasakan oleh penderita CHF yang menyataka
n bahwa dispnea selama menjalankan aktivitas sehari-sehari sering terganggu. CHF mengakib
atkan kegagalan fungsi pulmonal sehingga terjadi penimbunan cairan di alveoli. Hal ini meny
ebabkan jantung tidak dapat berfungsi dengan maksimal dalam memompa darah, dampak lain
yang muncul adalah perubahan yang terjadi pada otot-otot respiratoti. Hal-hal tersebut tergang
1.3.4 Patofisiologi
Menurut (Mariyono & Santoso, 2007) kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kir
i, karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan teka
nan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru, dispnea dapat terjad
i akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Sedangkan menu
rut muttaqin (2012) di jelaskan bahwa mudah lelah dapat terjadi akibat curah jantung yang ku
rang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan s
isa hasil katabolisme, juga terjadi akibat meningkatkan energi yang digunakan untuk bernafas
dan terjadi insomnia akibat distress pernafasan dan batuk. bila ventrikel kanan gagal, yang me
nonjol adalah kongesti viscera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung ti
dak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomod
asikan semua darah secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak
dapat meliputi edema ekstremitas bawah, peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi ven
1.3.5 Pencegahan
Penyebab gagal jantung terutama berasal dari penyakit jantung, maka pencegahan pen
yakit jantung merupakan tahap pertama pencegahan gagal jantung. Pencegahan atau pengobat
an dini penyakit jantung seperti CAD, endokartitis infektif, perikarditis, konstriktif, hipertensi,
18
dan penyakit jantung reumatik adalah sangat penting. Bagaimanapun, penyakit jantung tidak s
elalu dapat dicegah, maka tahap berikutnya adalah menunda serangan mendadak gagal jantun
g. Hal ini meliputi manajemen diet seperti diet rendah garam, rendah lemak, atau diet untuk m
s, kelelahan pada pasien gagal jantung juga disebabkan oleh masalah fisiologis yang terjadi ak
ibat penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan. Gangguan sirkulasi terjadi akibat kegag
a. EKG
kemi, jika meliputi: elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah
sehingga hasil hemodelusi darah dari adanya kelebihan retensi air, K, Na, CI, Ureum,
2013).
b. Echocardiografi
untuk semua pasien gagal jantung. Tes ini membantu menetapkan ukuran ventrikel kir
i, massa, dan fungsi. Kelemahan echocardiogragi adalah relative mahal, hanya ada di r
umah sakit dan tidak tersedia untuk pemeriksaan skrining yang rutin untuk hipertensi
c. Radiologi
Menurut National Clinical Guideline Centre (2010) Foto thorax dapat membantu dala
Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi sistolik kar
1.3.7 Klasifikasi
Klasifikasi menurut (Figueroa & Peters, 2006), Selain menggunakan kriteria framingh
am, terdapat beberapa pembagian kriteria yang dipakai pada gagal jantung, diantaranya klasifi
kasi menurut New York Heart Association (NYHA), dan pembagian stage menurut American
Heart Association. Klasifikasi fungsional yang biasanya dipakai menurut NYHA terbagi klasi
fikasi yaitu: a. Klasifikasi I: tidak ada keterbatasan dalam melakukan aktifitas apapun, tidak m
uncul gejala dalam aktivitas apapun, b. Klasifikasi II: Mulai ada keterbatasan dalam aktivitas,
pasien masih bisa melakukan aktivitas ringan dan keluhan berkurang saat istirahat c. Klasifika
si III: Terdapat keterbatasan dalam melaksanakan berbagai aktivitas, pasien merasa keluhan b
erkurang dengan istirahat. d, Klasifikasi IV: Keluhan muncul dalam berbagai aktivitas, dan tid
ak berkurang meskipun dengan istirahat. Pada tahun 2014, the American College of Cardiolog
y/American heart Association working group membagi kegagalan jantung ini menjadi empat s
tage yang meliputi, 1. Stage A: Memiliki resiko tinggi untuk terkena CHF tapi belum ditemuk
an adanya kelainan struktural pada jantung. 2. Stage B: Sudah terdapat keainan struktural pad
a jantung, akan tetapi belum menimbukan gejala. 3. Stage C: Adanya kelainan struktural pada
jantung, dan sudah muncul manifestasi gejala awal jantung, masih dapat diterapi dengan peng
obatan standard. 4. Stage D: Pasien dengan gejala tahap akhir jantung, dan sulit diterapi denga
1.3.8 Dampak
Dampak masalah potensial menurut yang mungkin terjadi pada CHF ini dapat berupa:
a. Syok kardiogenik
Merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kongstif, terjadi b
ila ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas. Otot jantung kehilangan kekuatan k
20
ontraktilitasnya, menimbulkan penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang
tidak adekuat ke organ vital (jantung, otak, ginjal).pada keadaan syok, hipoperfusi yan
g terjadi pada miokardium dan jaringan perifer akan mendorong terjadinya metabolis
Efusi perikardium mengacu pada masuknya cairan ke dalam kantung perikardium. Sec
ara normal kantong perikardium berisi cairan sebanyak kurang dari 50 ml. Cairan peri
kardium akan terakumulasi secara lambat tanpa menyebabkan gejala yang nyata. Nam
ukuran maksimal dan menyebabkan penurunan curah jantung serta aliran balik vena k
e jantung. Hasil akhir dari proses ini adalah tamponade jantung (Mariyono
1.3.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan gagal jantung pada orang tua ialah untuk mengembalik
an kualitas hidup, mengurangi frekuensi eksaserbasi gagal jantung dan memperpanjang hidup.
Tujuan sekunder ialah memaksimalkan kemandirian serta kapasitas kerja dan mengurangi bia
ya perawatan. Untuk mencapai tujuan ini terapi harus mencapai tujuan ini terapi harus menca
kup penanggulangan etiologi dan faktor pencetus, terapi non farmakologi (nonmedikamentos
(a) edukasi gejala, tanda, dan pengobatan gagal jantung (b) manajemen diet, yaitu mengurangi
jumlah garam, menurunkan berat badan bila dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak, asu
pan kalori adekuat, (c) latihan fisik, penelitian menunjukkan bahwa pembatasan aktivitas fisik
yang berlebih akan menurunkan fungsi kardiovaskular dan muskuloskeletal. Latihan fisik yan
g sesuai akan memperbaiki/kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien gagal jantung (d) d
21
ukungan keluarga untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien gagal jantung di usia tua s
Prinsip dasar terapi farmakologi medikamentosa gagal jantung adalah mencegah remo
delling progresif miokardium serta mengurangi gejala. Gejala dikurangi dengan cara menurun
kan preload (aliran darah balik ke jantung), afterload (tahanan yang dilawan oleh kontraksi ja
ntung), dan memperbaiki kontraktilitas miokardium. prinsip terapi di atas di capai dengan pe
(Imaligy, 2014)
Menurut Andra Saferi Wijaya (2013), Pengkajian pada pasien gagal ginjal kronik
a. Anamnesis
Pengkajian antara lain keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit ter
dahulu
b. Keluhan Utama
Biasanya pasien dengan gagal ginjal kronik mengalami rasa nyeri pada bagian pingga
ng, BAK dalam jumlah sedikit, perut membesar, mual muntah, tidak nafsu makan, gat
al pada kulit.
f. Pemeriksaan Fisik
achyneu), hipertensi/ hipotensi sesuai kondisi fluktuatif (Andi Eka Pranata, Eko Pr
2) B1 (Breathing)
Pada pasien gagal ginjal kronik/ Chronic Kidney Disease (CKD) biasanya mendap
atkan bau napas sering kali dikaitkan dengan rasa logam dalam mulut, dapat terjad
3) B2 (Blood)
Penyakit yang berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik salah satunya ada
lah hipertensi. Tekanan darah yang tinggi diatas ambang kewajaran akan mempen
garuhi volume vaskuler. Stagnasi ini akan memicu retensi natrium dan air sehingg
a akan meningkatkan beban jantung (Andi Eka Pranata, Eko Prabowo, S.Kep, 201
4).
c) Konjungtiva anemis
f) Nyeri dada
4) B3 (Brain)
23
Pengkajian yang dapat dilihat dari aspek ini adalah sakit kepala, penglihatan kabur,
kram otot/ kejang, sindrom kaki gelisah, kebas rasa terbakar pada telapak kaki (ne
uropati perifer) dan kesadaran. Pada pasien gagal ginjal kronik yang didapatkan ke
Manefestasi gagal ginjal kronik/ Chronic Kidney Disease (CKD) terjadi lebih awal
Gejala psikotik, kejang, dan koma dikaitkan dengan ensefalopati uremik lanjut.
5) B4 ( Bladder)
orbsi, dan ekskresi), maka manefestasi yang paling menonjol adalah penurunan uri
ne output ˂400 ml/hari bahkan sampai pada anuria (tidak adanya urine output (An
c) Produksi urine 300 cc/hari, Intake Oral = 2000 ml/hari IWL = 15 x BB = 1275
ml/hari
Balance Cairan = Intake oral – (Urine Output + IWL) = 2000- (300+ 1275)= 4
25
dalam tubuh.
si
6) B5 (Bowel)
24
BB badan mengalami penurunan, anoreksia, mual dan muntah adalah gejala awal
uremia, cegukan biasa dialami, nyeri perut, fetor uremik, bau napas seperti urine s
(LeMone, 2015).
7) B6 (Bone)
Pada pasien gagal ginjal kronik/ Chronic Kidney Disease (CKD) sering terjadi nye
ri pinggul, nyeri otot dan tulang, kelemahan otot, pasien beresiko mengalam fraktu
r spontan.
Gangguan pada kulit yaitu pucat, warna kulit uremik (kuning hijau), kulit kering, t
dividu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan, pada resiko masalah kesehatan atau
pada proses kehidupan. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien Chronic Kidney Dis
4. Resiko perfusi serebral tidak efektif (D.0017 SDKI Tahun 2016 Halaman 51)
Intervensi keperawatan merupakan segala bentuk terapi yang dikerjakan oleh perawat
yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai peningkatan, pencega
han dan pemulihan kesehatan klien individu, keluarga, dan komunitas. Intervensi Keperawata
n pada Tn. A dengan diagnosa medis CKD Anemia + CHF di Ruang ICU RSUD Ajidarmo, y
aitu:
ventilasi perfusi.
b. Kriteria Hasil :
2) PO2 membaik
c. Rencana Tindakan :
Observasi :
Rasional: Untuk mengetahui ada atau tidaknya aliran oksigen yang masuk p
ada pasien
Rasional: Untuk mengetahui apakah posisi alat terapi tidak sesuai dengan pa
sien
3) Monitor efektifitas terapi oksigen (missal oksimetri, analisa gas darah), jika
perlu
26
Rasional: Untuk mengetahui kefektifan oksigen terhadap pasien
Terapeutik :
4) Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu Rasional: Memb
Edukasi :
Kolaborasi :
Rasional: Agar oksigen yang diberikan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
pasien
perifer meningkat
b. Kriteria Hasil :
3) Akral membaik
4) CRT membaik
c. Rencana Keperawatan
27
Observasi :
1) Periksa sirkulasi perifer (missal nadi perifer, edema, pengisian kapiler, war
na, suhu)
dar kolesterol)
sirkulasi
Terapeutik :
usi
7) Lakukan hidrasi
Edukasi :
b. Kriteria Hasil :
2) Edema menurun
c. Rencana Keperawatan
Observasi :
Rasional: Membatasi asupan cairan pasien agar status hidrasi pasien tetap s
eimbang
Rasional: Agar cairan tidak naik ke organ vital seperti paruparu dan dapat
Kolaborasi :
serebral meningkat
b. Kriteria Hasil :
3) Demam menurun
c. Rencana Keperawatan
Observasi :
1) Periksa sirkulasi perifer (missal nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna, s
uhu)
Rasional: Memeriksa sirkulasi perifer untuk mengetahui adanya tanda dan geja
kolesterol)
30
Rasional: Untuk mengetahui factor resiko yang mengganggu
sirkulasi
panas, kemerahan dan nyeri untuk mengetahui tanda dan gejala perfusi perifer t
idak efektif
Terapeutik :
keterbatasan perfusi
7) Lakukan hidrasi
Edukasi :
nutrient
utrisi membaik
2) Kriteria Hasil :
3) Rencana Keperawatan
Observasi :
Terapeutik :
Edukasi :
lebih teratur
Kolaborasi :
6) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient
b. Kriteria Hasil :
1) Elastisitas meningkat
3) Tekstur membaik
32
4) Jaringan parut menurun
c. Rencana Keperawatan
Observasi :
unan mobilitas)
Terapeutik :
2) Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu Rasional: Pemijatan
5) Hindari produk berbahan dasar alcohol pada kulit kering Rasional: Alcohol da
iritasi
Potter & Perry (2009), implementasi merupakan tahap proses keperawatan dimana per
awat memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung pada pasien. Tujuan d
hari
2. Memberikan arahan keperawatan untuk mencapai tujuan yang berpusat pada pasien
3. Mencatat serta melakukan pertukaran informasi yang relevan dengan perawatan keseh
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan dengan cara menilai sejauh mana
1. Evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan terencana tentang keresahan klien d
2. Dalam evaluasi tujuan tersebut terdapat 3 alternatif yaitu tujuan tercapai, tujuan tercap
Preload meningkat
Iritasi lambung
Hipertropi
ventrikel kiri Nausea
Tekanan vena
pulmonalis
Suplai O 2 menurun
Edema Paru