A. Latar Belakang Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti Anjing hutan, atau Serigala, merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan terlihat kemerah- merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-bercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang membuat penampilan seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari penderita lupus benar-benar memiliki ruam kupu-kupu, klasik tersebut. Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan Sistemik, karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004). Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah proses penyakit lupus tersebut ? 2. Bagaimanakah tindakan yang akan dilakukan seorang perawat / mahasiswa calon perawat, bila menghadapi klien dengan penyakit lupus tersebut ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan a) Tujuan Umum : Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit lupus. b) Tujuan Khusus : 1) Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis penyakit lupus, patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda dan gejala), prognosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan serta komplikasi penyakit lupus. 2) Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus. 2. Manfaat Penulisan a) Manfaat Teoritis : 1) Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengetahui tentang penyakit lupus 2) Sebagai bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas. b) Manfaat Praktis : Dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususnya seorang perawat maupun mahasiswa calon perawat dalam mengkaji laporan pendahuluan (defenisi, etiologi, dan lain-lain) serta dalam menyusun asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009) Penyebab penyakit lupus belum diketahui secara pasti, agaknya disebabkan kombinasi berbagai faktor seperti genetik, hormon, infeksi, dan lingkungan. Terjadi penyimpangan pada sistem kekebalan yang pada mulanya sistem kekebalan tidak bisa membedakan teman dan musuh, kemudian teman-teman sendiri (sel-sel tubuh/organ sendiri) dianggap sebagai musuh, sehingga dibuat zat anti terhadap sel-sel tersebut, kemudian zat anti ini menyerang sel-sel tubuh.organ sendiri tersebut. Akibatnya serangan ini menimbulkan kerusakan-kerusakan pada organ tersebut. Ada berita dari Jerman yang menyatakan sekelompok peneliti mencurigai ada suatu enzim dalam sel yang bertugas menghancurkan DNA dari sel yang sudah mati, tetapi enzim ini tidak bekerja normal, sehingga DNA tersebut tidak habis, tetapi sisa-sisa hancuran DNA masih ada. Tehadap sisa-sisa ini kemudian terbetuk zat anti. Dengan cara penyakit ini mengganggu kesehatan, maka penyakit ini digolongkan dalam penyakit autoimun. Penyakit ini juga menyerang beberapa organ lain, yaitu organ saluran pencernaan dan bahkan bisa sampai kelainan jiwa (psikosis). Penyakit ini terdiagnosis saat organ tubuh telah mengalami kerusakan parah. Gejala penyakit lupus sistemik amat beragam. Demam merupakan gejala yang sering timbul. Disamping itu mungkin juga terdapat nyeri sendi, kelainan pada kulit, anemia, gangguan fungsi ginjal, nyeri kepala sampai kejang. Pada jantung atau paru, bisa terdapat cairan sehingga timbul sesak napas. Gejala ini tidak semuanya timbul pada seorang penderita lupus. Penderita lupus mungkin hanya mengalami beberapa gejala saja. Gejala lainnya adalah perempuan merasa lebih gampang lelah, rambut rontok, sering demam, sering sariawan, kencing mengandung protein, serta mengalami fotosensitif. Ini dikemukakan oleh Prof. Handono Kalim selaku Ketua Indonesian Rheumatology Association (IRA) (Antar News, 2012). Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi Dhuha), Lupus adalah sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus. Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan menderita penyakit Lupus Erythematosus saat tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri. Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut sebagai autoimmune disease (penyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan). Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis (kelompok), yaitu : 1. Penyakit Lupus Diskoid Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus yang terbatas pada kulit. Klien dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit yang terbatas pada kulit, ditandai dengan ruam yang muncul pada wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ internal. Penyakit ini biasanya lebih ringan biasanya sekitar 10%-15% yang berkembang menjadi lupus sistemik. 2. Penyakit Lupus Sistemik Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berevolusi dan berkembang menjadi lupus sistemik yang memengaruhi organ internal tubuh seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan jantung. Lupus jenis ini sering ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan periode remisi (ketika penyakit ini tidak aktif). Tidak ada cara untuk memperkirakan berapa lama suar akan berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien lupus sembuh dan tidak pernah mengalami suar lain, tetapi pada beberapa pasien lain suar datang dan pergi berulang kali selama bertahun-tahun. 3. Drug Induced Lupus (DIL) DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini disebabkan oleh reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling sering menimbulkan reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung procainamide, obat TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat lain. Gejala penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya. Ada juga Lupus neonatal yang jarang terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi yang belum lahir dan bayi baru lahir dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi lain pada hati dan darahnya karena serangan antibodi dari ibunya. Ruam yang muncul akan memudar dalam enam bulan pertama kehidupan anak. Penyakit lupus ini bermacam-macam. Jika menyerang kulit, kulit kepala akan ngelotok sehingga rambutpun akan rontok. Jika menyerang tulang, seluruhnya sakit, berbaring posisi apa pun sakit. Biasanya untuk menghilangkan sakit menggunakan morfin, tapi jika menggunakan morfin efeknya tidak baik, jadi sering kali penderita berteriak kesakitan, mengerikan memang. Jika menyerang darah, darahnya akan mengental dan tidak mencapai otak, stroke dan koma. Lupus itu mirip AIDS bahkan mungkin lebih parah, daya tahan tubuh penderita menurun drastis, sehingga penyakit-penyakit mudah menyerang tubuh penderita. Penyakit lupus ini dapat menyerang siapa saja dan para peneliti masih menindak lanjuti penyebab penyakit ini. Penyakit lupus justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Menurut perkiraan para ilmuwan bahwa hormon wanita (hormon estrogen) mungkin ada hubungannya dengan penyebab penyakit lupus karena dari fakta yang ada diketahui bahwa 9 dari 10 orang penderita penyakit lupus adalah wanita. Yang memicu penyakit lupus adalah lingkungan, stress, obat-obatan tertentu, infeksi, dan paparan sinar matahari. Pada kehamilan dari perempuan yang menderita penyakit lupus, sering diduga berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala penyakit lupus. Sering dijumpai gejala penyakit lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan. Kebanyakan kasus memiliki latar belakang dari riwayat keluarga yang pernah terkena sebelumnya, namun dalam beberapa kasus tidak ada penyebab yang jelas untuk penyakit ini. Penyakit lupus telah banyak diteliti dan telah dikaitkan dengan gangguan lain, tetapi hanya dalam teori, tidak ada yang jelas dinyatakan sebagai fakta. Sampai saat ini, Lupus masih merupakan penyakit misterius di kalangan medis. Kecuali lupus yang disebabkan reaksi obat, penyebab pasti penyakit ini tidak diketahui. Perdebatan bahkan masih berlangsung mengenai apakah lupus adalah satu penyakit atau kombinasi dari beberapa penyakit yang berhubungan. Sekitar 90% penderita lupus adalah perempuan, yang mengindikasikan bahwa penyakit ini mungkin terkait hormon-hormon perempuan. Menstruasi, menopause dan melahirkan dapat memicu timbulnya lupus. Sekitar 80% pasien lupus menderita penyakit ini di usia antara 15 sampai dengan 45 tahun atau 50 tahun. Biasanya odipus (orang hidup dengan lupus) akan menghindari hal-hal yang dapat membuat penyakitnya kambuh dengan : 1. Menghindari stress 2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari 3. mengurangi beban kerja yang berlebihan 4. menghindari pemakaian obat tertentu. ( sumber wikipedia indonesia)
Saat ini tidak ada tes tunggal yang dapat memastikan apakah seseorang terkena penyakit lupus. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan komprehensif yang mempertimbangkan semua gejala dan riwayat penyakit. Pada tahun 1982 American College of Rheumatology atau American Rheumatism Association (ARA) menetapkan Sebelas Kriteria Lupus untuk membantu dokter mendiagnosis lupus dan yang diperbaharui tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu : 1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan 2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANAsebelumnya 3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar) 4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit 5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit 6. Salah satu Kelainan darah : a) anemia hemolitik, b) Leukosit < 4000/mm, c) Limfosit<1500/mm, dan d) Trombosit <100.000/mm 7. Salah satu Kelainan Ginjal : a) Proteinuria > 0,5 g / 24 jam, b) Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal 8. Salah satu Serositis : a) Pleuritis, b) Perikarditis 9. Salah satu kelainan Neurologis : a) Konvulsi / kejang, b) Psikosis 10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan 11. Salah satu Kelainan Imunologi : a) Sel LE+ b) Anti dsDNA diatas titer normal c) Anti Sm (Smith) diatas titer normal d) Tes serologi sifilis positif palsu
B. Pengobatan Tradisional Penyakit Lupus Menggunakan Obat Herbal Jika sudah terkena Lupus harus segera mendapat penanganan yang serius. Didalam makalah ini tim penulis juga akan memberikan beberapa saran pengobatan penyakit lupus secara herbal alami dengan kombinasi produk herbal dari PT UFO BKB Syariah yaitu : 1. XAMthone Plus 2. Madu Cerna 3. Teh Murbei 4. Kapsul MGL Super Madu Cerna fungsinya menyembuhkan sistim saluran pencernaan yang sudah diserang sehingga nanti bisa menyerap zat dari XAMthone Plus, Teh Murbei dan Kapsul MGL untuk menormalkan sistim kekebalan tubuh yang berlebihan tersebut. Secara spesifik Teh Murbei dan Kapsul MGL Super akan memperbaiki kinerja ginjal yang sudah rusak yang menyebabkan persendian sakit bahkan tidak bisa digerakkan atau lumpuh. Perlu diketahui ginjal adalah benteng pertahanan pertama dari tubuh kita karena semua zat-zat yang masuk ke dalam tubuh akan di saring di ginjal. Sedangkan XAMthone Plus akan memperbaiki sistem-sistem secara keseluruhan.
BAB III LAPORAN PENDAHULUAN
A. Defenisi Penyakit Lupus Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan organ lain. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh. Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE). SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh. SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau imflamasi multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun (Albar, 2003).
B. Etiologi Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan. Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
C. Patofis (Patofisiologis) Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. . Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
D. Manifestasi Klinis Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. 1. Sistem Muskuloskeletal a) Artralgia b) artritis (sinovitis) c) pembengkakan sendi, d) nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan e) rasa kaku pada pagi hari. 2. Sistem Integument (Kulit) a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi, dan b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. 3. Sistem kardiak a) Perikarditis merupakan manifestasi kardiak. 4. Sistem pernafasan a) Pleuritis atau efusi pleura. 5. Sistem vaskuler a) Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, b) eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis. 6. Sistem perkemihan a) Glomerulus renal yang biasanya terkena. 7. Sistem saraf a) Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
E. Prognosis Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat bervariasi. Penyakit ini cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali dengan periode bebas gejala yang dapat berakhir dalam hitungan tahun. Flare jarang terjadi setelah menopous. Prognosis penyakit ini semakin membaik dengan bermakna dalam dua dekade terakhir ini. Biasanya, jika inflamasi awal dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik. Jika gejala lupus adalah disebabkan oleh penggunaan suatu obat, penghentian obatakan menyembuhkan lupus, walaupun penyembuhan dapat memakan waktu berbulan-bulan.
F. Evaluasi Diagnostik Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya: 1. Pemeriksaan Laboratorium a) Tes Anti ds-DNA Batas normal : 70 200 IU/mL Negatif : < 70 IU/mL Positif : > 200 IU/mL Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman). Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002). b) Tes Antinuclear antibodies (ANA) Harga normal : nol ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti- ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002). 2. Tes Laboratorium lain Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C- Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002). 3. Pemeriksaan Penunjang a) Ruam kulit atau lesi yang khas. b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis. c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung. d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++. e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah. f) Biopsi ginjal. g) Pemeriksaan saraf.
G. Tinjauan Pengobatan Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000), sebagai berikut : 1. Terapi nonfarmakologi Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL- 4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002). 2. Terapi farmakologi Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien. 3. NSAID Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002). Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000). 4. Antimalaria Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor (TNF- ). Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000). 5. Kortikosteroid Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (1030 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu. Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari. Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000). Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001). 6. Siklofosfamid Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit. Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid. Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000). 7. Terapi hormone Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001). 8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 57 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
H. Penatalaksanaan 1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon 1000 mg per 24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukan tapering off). 2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP). 3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral). 4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian 1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien. 2. Kulit Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher. 3. Kardiovaskuler a) Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. b) Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga. 4. Sistem Muskuloskeletal Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari. 5. Sistem integumen a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. 6. Sistem pernafasan Pleuritis atau efusi pleura. 7. Sistem vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis. 8. Sistem Renal Edema dan hematuria. 9. Sistem saraf Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
B. Diagnosa Keperawatan 1. Uraian Masalah Keperawatan a) Nyeri b) Kerusakan intergritas kulit c) Isolasi sosial d) Kerusakan mobilitas fisik e) Keletihan/kelelahan f) Perubahan Nutrisi g) Kurang Pengetahuan
Sumber diagnose diatas di ambil dari beberapa sumber buku dan dipadu dalam buku ini. Yang akan tim penulis ambil didalam makalah ini adalah sebagai berikut :
2. Diagnosa Keperawatan a) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan. b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit. c) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
C. Intervensi (Rencana Tindakan) 1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan. Tujuan dan Kriteria Hasil : a) Tujuan : 1) Gangguan nyeri dapat teratasi 2) Perbaikan dalam tingkat kenyamanan b) Kriteria Hasil : 1) Skala Nyeri : 1-10 c) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R) Mandiri : 1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala nyeri 1-10). R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen. 2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara terbuka. R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf. 3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat. R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah menggigil. 4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada hidroterapi. R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan debridemen. 5) I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri. R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping. 6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi. R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis. 7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi. R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian. Kolaborasi 8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi. R : membantu mengurangi nyeri.
2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit. Tujuan dan Kriteria Hasil : a) Tujuan : 1) Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit b) Kriteria Hasil : 1) Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik. c) Rencana Tindakan dan Rasional Mandiri 1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati perubahan. R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat. 2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim. R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi. 3) I : Gunting kuku secara teratur. R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal. 4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk. R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan. Kombinasi : 5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.
3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi. Tujuan dan Kriteria Hasil : a) Tujuan : 1) Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga). b) Kriteria Hasil : 1) Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi yang diberikan c) Rencana Tindakan dan Rasional 1) I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan. R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi. 2) I : Tinjau ulang cara penularan penyakit. R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain. 3) I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien. R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera. 4) I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu. 5) I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit sebelumnya/pusat perawatan tempat tinggal. R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan dan kemandirian.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas. 2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen. 3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.
B. Saran Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran : 1) Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat ditangani dengan baik sejak awal untuk mempercepat proses penyembuhan dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari penyebarannya keseluruh organ tubuh. 2) Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan penyakit ini. 3) Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang penyakit ini.
SEKILAS INFO
Fotosensitif adalah kondisi di mana seseorang sangat peka terhadap sinar matahari. Bila terkena sinar matahari kulit akan menjadi merah, sangat letih, tubuh tidak nyaman dan tidak enak. Estrogen (atau oestrogen) adalah sekelompok senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai hormon seks wanita. Walaupun terdapat baik dalam tubuh pria maupun wanita, kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur. Jadi hormone estrogen ada pada wanita dan pria. Bedanya adalah dikadarnya (kandungannya). Pria memeliki kadar yang lebih sedikit dibandingkan wanita (terutama pada usia produktif yaitu wanita usia subur) Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku Kedokteran Djaunzi, Samsuridjal. an. Raih Kembali Kesehatan : Mencegah Berbagai Penyakit Hidup Sehat untuk Keluarga. Jakarta : Kompas Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Gibson J.M, MD. 1996. Mikrologi dan Patologi Modern untuk Perawat. Buku Kedokteran Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Robins. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi (edisi 4). Buku Kedokteran Robins., dkk. 1996. Buku Saku Robins : Dasar Patologi Penyakit (edisi 5). Buku Kedokteran Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart edisi 8 volume 3. Jakarta : EGC
sumber lain : http://doktersehat.com/lupus-apa-itu-penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 10 Desember 2012, jam 13.45 WITA http://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_eritematosus_sistemik , diakses pada tanggal 8 Desember 2012, jam 9.00 WITA http://infokesehatan101.blogspot.com/2012/07/penyakit-lupus.html , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 11. 00 WITA http://kotasehat.blogspot.com/2012/01/penyakit-lupus-gejala-dan-pengobatannya.html , diakses pada tanggal 8 Desember 2012 jam 9.30 WITA http://www.lupusarthritisindonesia.org/id/basicinfo-systemic.php , diakses pada tanggal 10 Desember 2012, jam 14.00 WITA http://majalahkesehatan.com/penyakit-misterius-bernama-lupus/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 10.45 WITA http://mazrie.wordpress.com/2010/01/14/67/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 15.00 WITA http://niwanasod.net/penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 15. 45 WITA http://www.antaranews.com/berita/338354/gejala-penyakit-lupus-yang-sering-diabaikan oleh editor Aditia Maruli, diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 10. 30 WITA http://www.metris-community.com/penyakit-lupus-gejala-penyebab-lupus-penyakit/ , diakses pada tanggal 8 Desember 2012, jam 11. 00 WITA http://www.penyakitlupus.net/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 16.00 WITA
Diposkan oleh Eva Maria Keljombar di 07.51 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Beranda Jofan Arya Pratama ASKEP SLE Sistemic Lupus Erithemathosus Diposkan oleh joe blackhole Jumat, 25 Januari 2013
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Lupus dalam bahasa latin berarti Anjing Hutan. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu abad lalu. Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik bermakna menyebar luas ke berbagai organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar). Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun. Pada anak perempuan, awitan LES banyak ditemukan pada umur 9-15 tahun. Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004). Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005). Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-I nflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obat-obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan.
1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Mahasiswa dapat memahami penjabaran tentang penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE). 1.2.2 Tujuan Khusus (1) Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan gejala, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, serta komplikasi dari penyakit Systemic Lupus Erytematosus (SLE). (2) Mahasiswa dapat menambah wawasan baru mengenai penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Definisi Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue- binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertaioleh terdapatnyaberbagai macam autoantibody dalam tubuh.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
Gejala-gejala SLE adalah seperti ruam di wajah, kepala dan anggota-anggota badan, ruam ini tidak menimbulkan sakit atau gatal, bila sembuh akan meninggalkan parut, ulser di dalam mulut, keguguran rambut, demam berkepanjangan, dan penderita akan sensitif terhadap pancaran sinar matahari.
Penyakit LUPUS adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit Lupus mencapai 5 juta orang, lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya.
Arti kata lupus sendiri dalam bahasa Latin berarti anjing hutan. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu abad lalu. Awalnya, penderita penyakit ini dikira mempunyai kelainan kulit, berupa kemerahan di sekitar hidung dan pipi . Bercak-bercak merah di bagian wajah dan lengan, panas dan rasa lelah berkepanjangan , rambutnya rontok, persendian kerap bengkak dan timbul sariawan. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh.
Gejala-gejala penyakit dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus. Eritomatosus artinya kemerahan. sedangkan sistemik bermakna menyebar luas keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut LES atau Lupus. Gejala-gejala yang umum dijumpai adalah: 1. Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta timbulnya gangguan pencernaan. 2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan, demam dan pegal- pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada masa aktif, sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang. 3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi, mirip kupu-kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam merah menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan kadang-kadang bersisik. Melihat banyaknya gejala penyakit ini, maka wanita yang sudah terserang dua atau lebih gejala saja, harus dicurigai mengidap Lupus. 4. Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang dihancurkan oleh penyakit LUPUS ini 5. Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan Dr. Rahmat Gunadi dari Fak. Kedokteran Unpad/RSHS menjelaskan, penyakit lupus adalah penyakit sistem imunitas di mana jaringan dalam tubuh dianggap benda asing. Reaksi sistem imunitas bisa mengenai berbagai sistem organ tubuh seperti jaringan kulit, otot, tulang, ginjal, sistem saraf, sistem kardiovaskuler, paru-paru, lapisan pada paru-paru, hati, sistem pencernaan, mata, otak, maupun pembuluh darah dan sel-sel darah. Penyakit ini dapat mengenai semua lapisan masyarakat, 1-5 orang di antara 100.000 penduduk, bersifat genetik, dapat diturunkan. Wanita lebih sering 6-10 kali daripada pria, terutama pada usia 15-40 tahun. Bangsa Afrika dan Asia lebih rentan dibandingkan kulit putih. Dan tentu saja, keluarga Odapus. Timbulnya penyakit ini karena adanya faktor kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stres, ujarnya. Penyakit ini justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Oleh karena itu dianggap diduga penyakit ini berhubungan dengan hormon estrogen. Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk geja LUPUS. Sering dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan. Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, dalam penyakit ini kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit Lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang berfungsi menyerang sumber penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas . Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara yaitu : Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada sel- sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia. Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun.Gabungan antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi organ tubuh akan terganggu. Kesembuhan total dari penyakit ini, tampaknya sulit. Dokter lebih berfokus pada pengobatan yang sifatnya sementara.Lebih difokuskan untuk mencegah meluasnya penyakit dan tidak menyerang organ vital tubuh.
2.2 Epidemiologi SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 10:1. Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 1564 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbedabeda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).
2.3 Etiologi Faktor Resiko terjadinya SLE 1. Faktor Genetik Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria dewasa Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut 2. Faktor Resiko Hormon Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini. 3. Sinar UV Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupunsecara sistemik melalui peredaran pebuluh darah 4. Imunitas Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T 5. Obat Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenisobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah : Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin 6. Infeksi Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi 7. Stres Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.
2.4 Klasifikasi Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, Systemic Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. Discoid Lupus Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
Systemic Lupus Erythematosus SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel- sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
Lupus yang diinduksi oleh obat Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
2.5 Patofisiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
2.6 Kriteria SLE Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu : 1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan 2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANAsebelumnya 3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar) 4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit 5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit 6. Salah satu Kelainan darah; anemia hemolitik, Leukosit < 4000/mm, Limfosit<1500/mm, Trombosit <100.000/mm 7. Salah satu Kelainan Ginjal; Proteinuria > 0,5 g / 24 jam, Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal 8. Salah satu Serositis : Pleuritis, Perikarditis 9. Salah satu kelainan Neurologis; Konvulsi / kejang, Psikosis 10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi Sel LE+ Anti dsDNA diatas titer normal Anti Sm (Smith) diatas titer normal Tes serologi sifilis positif palsu
2.7 Manifestasi Klinis Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. Muskuloskleletal Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakanmenderitaar tr itis. Persendian yang sering terkena adalah persendian padajari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan padatulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerahtersebut. Integumen Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari. Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yangmenetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlumenjalanidialis a atau pencangkokkan ginjal. Sistem Neuron Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling seringditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainanbisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistemsaraf. Kejang,ps ikos a, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakanbeberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi. Sistem Hematologi Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkanstroke danemboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
Sistem Kardiovaskuler Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, sepertiper ikar ditis,endokar ditismaupunmiokarditis. Nyeri dada danaritmia bisa terjadi sebagai akibat darikeadaan tersebut. Sistem Respirasi Pada lupus bisa terjadipleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaantersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
2.8 Pemeriksaan Laboratorium Anti ds-DNA Batas normal : 70 200 IU/mL Negatif : < 70 IU/mL Positif : > 200 IU/mL Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman). Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002). Antinuclear antibodies (ANA) Harga normal : nol ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti- ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002). Tes Laboratorium lain Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
2.9 Tinjauan Pengobatan SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000). Terapi nonfarmakologi Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL- 4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002). Terapi farmakologi Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien. NSAID Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002). Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000). Antimalaria Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor (TNF- ). Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000). Kortikosteroid Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (1030 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu. Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari. Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000). Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001). Siklofosfamid Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit. Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid. Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000). Terapi hormon Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001). Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 57 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
2.10 Asuhan Keperawatan Pengkajian 1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien. 2. Kulit Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher. 3. Kardiovaskuler Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga. 4. Sistem Muskuloskeletal Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari. 5. Sistem integumen Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. 6. Sistem pernafasan Pleuritis atau efusi pleura. 7. Sistem vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis. 8. Sistem Renal Edema dan hematuria. 9. Sistem saraf Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
Masalah Keperawatan 1. Nyeri 2. Keletihan 3. Gangguan integritas kulit 4. Kerusakan mobilitas fisik 5. Gangguan citra tubuh
Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan. 2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik. 4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik. 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun. Intervensi 1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan. Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian) b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan. c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri. d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya. e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya. f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya. g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi. Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah. Intervensi : 1. Beri penjelasan tentang keletihan : hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur) menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan. b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat. c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya. d. Rujuk dan dorong program kondisioning. e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik. Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal. Intervensi : a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas. b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi : Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit Meningkatkan pemakaian alat bantu Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman. Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat. c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya. d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan. Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas. Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik. Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan enyakit. Intervensi : a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya. b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya. Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu. Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun. Tujuan : pemeliharaan integritas kulit. Intervensi : a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi b. Hilangkan kelembaban dari kulit c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas. d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya. e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody polispesifik. Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Tampaknya semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas asalnya, temuan urine yang abnormal atau penyakit sendi yang menyamar sebagai arthritis rematoid atau demam rheumatic.
3.2 Saran Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.
Daftar Pustaka
Vians. (2010). Makalah SLE. www.darkcuzer.blogspot.com 09 april 2012. Jam 9:39 Rohayati. (2007). LUPUS.Apa itu lupus. www.doktersehat.com. 09 April 3012. Jam 9:52 ...(2010). Pohon Masalah. www.scribd.com. 09 April 2012 jam 10:05 ...(2010). Makalah SLE. www.scribd.com. 09 April 2012 jam 10:11 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook 0 komentar: Poskan Komentar Link ke posting ini Buat sebuah Link Posting Lebih Baru Posting Lama Blog Subscription
Follow me You can follow my updates on Twitter
Posts RSS Read my full posts on your favorite feed reader
Facebook Become a fan of our blog on Facebook Search this blog
Yang sudah mampir disini 20,500 Assalamualaikum
joe blackhole dikit dikit patewe, dikit dikit patewe, patewe ko dikit dikit ??? Lihat profil lengkapku Links http://medicalnerd.tumblr.com/page/30 http://mahfudalqudsybersholawat.blogspot.com http://pondokilmu24.blogspot.com Popular Posts
Asuhan Keperawatan pada Presbiopi (Mata Tua) & Astigmatisma (Mata Silinder) + Pathway BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Presbiopia adalah kondisi di mana mata menunjukkan kemampuan yang makin lama mak...
ASKEP Leukemia dan Pathway A. Definisi Leukimia Leukimia atau biasa disebut dengan kanker darah adalah sebuah sindrom, dimana sel darah putih yang masih imatu... Komunikasi dalam Pelayanan Kesehatan Nama : Jofan Arya Pratama NIP : 2011011193 ...
ASKEP SLE Sistemic Lupus Erithemathosus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lupus dalam bahasa latin berarti Anjing Hutan. Istilah ini mulai dikenal se... Roleplay Psikodrama TUGAS KELOMPOK PRE-PLANING PSIKODRAMA TRANSKULTURAL NURSING PSIK 1-A Nama Anggota ... Pendekatan Holistic Care pada Pasien Pendekatan Holistic Care pada Pasien Sebagai perawat/ners materi yang sangat penting dan menentukan...
Apa itu Rhinitis (Radang pada Mukosa Hidung)? Asuhan Keperawatan RINITIS (Radang pada Mukosa Hidung) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rongga hidung dilapis... Jofan Arya Pratama 2012 | Designed by Online Games, in collaboration with Game Coupons, Combat Trousers and Online Dating
melati_kalimantan Minggu, 03 Juli 2011 Askep SLE (Sistemic lupus erythematosus)-MELATIKALIMANTAN Tugas Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit SLE Oleh: KELOMPOK 4
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2011
PENDAHULUAN Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.
Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi.
Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006).
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya.
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
SLE (Sistemic lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
Lupus adalah suatu kondisi yang dikarakteristikkan oleh peradangan kronis dari jaringan- jaringan tubuh yang disebabkan oleh penyakit autoimun.
Pasien-pasien dengan lupus memproduksi antibodi-antibodi yang abnormal didalam darahnya yang mentargetkan jaringan-jaringan didalam tubuhnya sendiri dari pada agen-agen menular asing. Karena antibodi-antibodi dan sel-sel peradangan yang mendampinginya dapat melibatkan jaringan-jaringan dimana saja didalam tubuh, lupus mempunyai potensi untuk mempengaruhi beragam area-area tubuh. Kadangkala lupus dapat menyebabkan penyakit kulit, jantung, paru- paru, ginjal, persendian-persendian, dan/atau sistim syaraf. Ketika hanya kulit yang terlibat, kondisi ini disebut lupus diskoid (discoid lupus). Ketika organ-organ internal yang terlibat, kondisi ini disebut lupus sistemik eritematosus (systemic lupus erythematosus, SLE). (http://www.totalkesehatananda.com/lupus1.html)
B. KLASIFIKASI Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. a. Discoid Lupus Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
b. Systemic Lupus Erythematosus SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel- sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
c. Lupus yang diinduksi oleh obat Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000). Definitely Possible Unlikely Hidralazin Prokainamid Isoniazid Klorpromazin Metildopa Antikonvulsan Propitiourasil Fenitoin Metimazol Karbamazepin Penisilinamin Asam valproat Sulfasalazin Etosuksimid Sulfonamid -bloker Nitrofurantoin Propranolol Levodopa Metoprolol Litium Labetalol Simetidin Acebutolol Takrolimus Kaptropil Lisinopril Enalapril Kontrasepsi oral Griseofulvin Penisilin Garam emas Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah
C. PATOFISOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
D. MANIFESTASI KLINIS 1. Sistem Muskuloskeletal Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari. 2. Sistem integumen Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. 3. Sistem kardiak Perikarditis merupakan manifestasi kardiak. 4. Sistem pernafasan Pleuritis atau efusi pleura. 5. Sistem vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis. 6. Sistem perkemihan Glomerulus renal yang biasanya terkena. 7. Sistem saraf Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus. 2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE 3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun. F. KOMPLIKASI Gejala klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain. Pada tipe menahun dimana terdapat remisi dan eksaserbasi, remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisik/ psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, iritabilitas, yang paling menonjol adalah demam kadang-kadang disertai menggigil, kerusakan organ internal.
G. PENATALSANAAN MEDIS a. Tes Diagnostik Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan: Hematologi: ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia kelainan imunologis: ditemukan sel LE, antibodi antinuklear, komplemen serum menurun trioglobulin, faktor reumatoid dan uji terhadap lues yang positif (semu). Pemeriksaan khusus Biopsi ginjal Biopsi kulit Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).
b. Terapi 1. Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti ibuprofen (advil & motrin), naproxen, naprosyn (aleve), clinoril, feldene, voltaren membantu mengurangi peradangan dan sakit pada otot-otot, sendi-sendi, dan jaringan-jaringan lain.
2. Obat-obatan corticosteroid, seperti prednison, prednisolone, medrol, deltasone, cortison. dapat mengurangi peradangan dan memugarkan kembali fungsi ketika penyakit aktif. Corticosteroids terutama berguna ketika organ-organ internal terlibat. Corticosteroids dapat diberikan secara oral, disuntikkan langsung kedalam sendi-sendi dan jaringan-jaringan lain, atau dimasukkan melalui urat nadi (intravenously). Sayangnya, corticosteroids mempunyai efek-efek sampingan yang serius jika diberikan dalam dosis tinggi untuk periode-periode waktu yang panjang, termasuk penambahan berat badan, penipisan dari tulang-tulang dan kulit, infeksi, diabetes, muka yang bengkak, katarak, dan kematian (necrosis) dari sendi-sendi besar.
3. Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk persendian yang sakit, luka kulit dan borok di dalam hidung atau mulut, dan gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti malaria yang sering diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine). Efek-efek sampingannya meliputi diare, gangguan perut, dan perubahan-perubahan pigmen mata. Perubahan-perubahan pigmen mata adalah jarang, namun memerlukan pengawasan (monitoring), dan mengurangi secara signifikan frekuensi dari gumpalan-gumpalan darah abnormal pada pasien-pasien dengan SLE sistemik.
4. Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk menyetop over aktifitas sistem kekebalan dan juga membantu membatasi kerusakan yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ. (lupus bukan sejenis cancer) disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat peneken imunitas digunakan untuk merawat pasien-pasien dengan manisfestasi-manifestasi yang lebih berat dari SLE dengan kerusakan pada organ-organ internal. Contoh-contoh dari obat-obat peneken kekebalan termasuk methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat-obat peneken kekebalan dapat menekan secara serius jumlah sel darah dan meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan. Efek-efek sampingan lainnya adalah khas untuk setiap obat. Contohnya, Rheumatrex dapat menyebabkan keracunan hati, sedangkan Sandimmune dapat menggangu fungsi ginjal.
5. Penelitian baru-baru ini mengindikasikan keuntungan-keuntungan dari rituximab (Rituxan) dalam merawat lupus. Rituximab adalah suatu antibodi yang diinfus melalui urat nadi yang menekan suatu sel darah putih yang tertentu, sel B, dengan mengurangi jumlahnya didalam sirkulasi. Sel-sel B telah ditemukan memainkan suatu peran pusat pada aktivitas lupus, dan ketika mereka ditekan, penyakitnya cenderung menuju remisi. 6. Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada suatu makalah yang disajikan menyarankan bahwa tambahan makanan dari minyak ikan omega-3 dalam dosis rendah dapat membantu pasien-pasien lupus dengan mengurangi aktivitas penyakit dan kemungkinan mengurangi risiko penyakit jantung.
Obat-obatan yang sebaiknya dihindari penderita lupus Tidak ada obat yang sangat tepat atau sangat tidak tepat bagi pasien SLE. Harus memperhatikan faktor alergi terhadap obat-obatan tertentu, dan mempelajari hubungan antara masa kambuh dan hormon estrogen atau pil KB. Pasien terutama harus berhati-hati pada obat-obatan antibiotik sulfa(Bactrim, gantrisin, septra) sering diberikan pada orang yang mengalami gangguan infeksi pada saluran kencing, dan dapat menambah kepekaan penderita lupus terhadap sinar matahari, mengakibatkan rendahnya jumlah darah merah yang biasanya diikuti kambuhnya penyakit.
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS Ny. K datang ke RS dengan keluhan nyeri pada sendi, timbulnya kemerahan pada pipi dan kulit. Demam yang tidak hilang sudah 1 bulan, sering merasa lelah dan lemah, sariawan yang hilang timbul, tidak nafsu makan, dan dalam 1 bulan terakhir berat badan turun mencapai 5 kg. Hasil tes ANA ( + ) dan anti ds-DNA 350 Iu/ml, Hb 10 gr/dl, saat ini pesien diberikan obet PCT 3x500 mg. Dexametazon 2x1 tab, dan Piroksikam 3x20 mg, Vit B kompleks 3x1 tab Neorobin 3x1 tab. a. Buatkan proses perjalanan penyakit dengan WOC beserta konsep b. Buatlah pengkajian tambahan dengan 11 Fungsional Gordon c. Buatlah masalah keperawatan yang mungkin timbul ! d. Buatlah 2 buah diagnosa lengkap dengan NOC, NIC yang utama pada NY.K e. Perbedaan penyakit AIDS dan Lupus Editema Tosus.
A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal Edema dan hematuria.
9. Sistem sarafq Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
B. PENGKAJIAN 11 FUNGSIONAL GORDON 1. Persepsi Manajemen kesehatan/persepsi kesehatan Klien mengalami demam selama 1 bulan dan klien tidak mengetahui adanya hubungan penyakit yang dideritanya dengan gangguan sistem imun tubuh.
2. Nutrisi-metabolik Klien mengalami sariawan dan tidak nafsu makan sehingga menyebabkan berat badannya turun 5 kg dalam waktu 1 bulan.
3. Eliminasi Kaji perkemihan klien. Apakah ada mengalami gangguan atau tidak? Kaji frekuensi BAB klien dan bagaimana konsistensinya?
4. Aktivitas-latihan Klien merasa lemah dan lelah serta klien juga mengalami nyeri pada sendinya sehingga sulit untuk beraktivitas.
5. Istirahat- tidur Bagaimana pola tidur kien, apakah klien mengalami kesulitan tidur?
6. Kognitif-presepsi Apakah klien mengalami masalah dengan pengecap dan pembau? Apakah klien mengalami masalah dengan memori, ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang? Apakah klien memiliki pengetahuan tentang perawatan diri?
7. Persepsi diri / konsep diri Bagaimana perasaan tentang diri klien yang sering dirasakan sepanjang waktu? Klien merasakan demam selama 1 bulan. bagaimana penyakit ini berpengaruh terhadap hidup klien ? bagaimana pandangan klien dengan timbulnya bintik-bintik merah pada pipi dank lien? Apakah klien merasa terganggu dan minder? bisakah deskripsi dari diri klien?
8. Peran dan hubungan Bagaimana peran klien dalam keluarga dan didalam masyarakat? Apakah klien memperoleh dukungan dari keluarga?
9. Seksual reproduksi Apakah klien memiliki kecemasan terhadap sex? Apakah klien memiliki masalah menstruasi? Apakah klien menggunakan alat kontrasepsi? Bagaimana dengan organ repoduksi klien,apakah mengalami gangguan?
10. Koping toleransi stress Apakah penyakit yang diderita klien menyebabkan ia stress? Apakah strategi kooping saat ini ? klien menggunakan obat atau alcohol untuk kooping stress? Bagaimana tingkat toleransi stress klien?
11. Nilai kepercayaan Apakah agama penting untuk klien? Adakah kepercayaan kebudayaan yang berpengaruh dengan kesehatan dan nilai klien? Adakah keparcayaan spiritual yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan praktek kesehatan klien?
C. Diagnosa/NANDA, outcome/NOC, dan intervensi/NIC
DIAGNOSA 1. Gangguan integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi. Batasan karakteristik: Anaroxia Lemah Ekspreis verbal tentang nyeri NOC 1. Control nyeri Indicator: Mengakui factor penyebab Mengetahui nyeri Menggunakan obat analgesic Menjelaskan gejala nyeri Melaporkan control nyeri yang telah dilakukan
NIC 1. Pain management (Manajemen nyeri)
Aktivitas: o Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan factor presipitasi o Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan o Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien o Kaji budaya yang mempengaruhi respion nyeri o Determinasi akibat nyeri terhadap kualitas hidup o Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan o Control ruangan yang dapat mempengaruhi nyeri o Kurangi factor presipitasi nyeri o Pilih dan lakukan penanganan nyeri o Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri o Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi o Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri o Evaluasi keefektifan control nyeri o Tingkatkan istirahat o Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil o Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
DIAGNOSA 2. Gangguan integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi.
Batasan karakteristik: Gangguan lapisan kulit Gangguan penampilan kulit Inflasi struktur tubuh Factor yang berhubungan: Eksternal: Pengobatan Internal: o Perubahan warna kulit o Ketidakseimbangan nutrisi o Gangguan status metabolic o Gangguan sensasi
NOC 1. Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa
Indicator: Temperature jaringan dalam batas normal Sensasi Pigmentasi Tekstur Lesi jaringan Perfusi jaringan Keutuhan kulit
NIC 1 Perawatan kulit
Aktivitas: o Mengobservasi warna, panas, pembengkakan,tekstur, dan edema ekstremitas o Menginspeksi kulit dan membrane mukosa apakah kemerahan atau panas tinggi o Memonitoring area kulit yang kemerahan dan mengalami gangguan o Memonitor kulit dan membrane mukosa terhadap perubahan warna dan memar o Monitor warna kulit o Monitor suhu kulit
3. Etiologi: virus Etiologi: tidak diketahui secara spesifik, namun beberapa faktor kemungkinan diantaranya karena genetik, obat-obatan
4. Pria dan wanita memiliki mempunyai kemungkinan yang sama untuk terkena penyakit ini ( 1 : 1 ) 4. Dominan pada wanita (pria : wanita = 1 : 5 )
5. Manifestasi klinis: lebih mengarah kepada infeksi pada tubuh karena kurangnya sistem imun (tidak ada ruam pada kulit dan tidak sensitif pada sinar matahari)
5. Manifestasi klinis yang khas: sensitif pada sinar matahari (fotosensitif) dan kemerahan pada batang hidung dan tulang pipi, dikenal dengan nama butterfly rash karena menyerupai kupu- kupu.
6. Sel darah putih yang diserang: sel T supresor yang berfungsi dalam menghambat replikasi virus. 6. Sel darah putih yang diserang adalah sel T helper yang berfungsi dalam mengendalikan benda asing seperti virus dan bakteri.
WOC Genetic hormonal Lingkungan Obat-obatan
Terganggunya regulasi sitem imun
Fungsi sel T-supresor yang abnormal
Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan
Autoantibody yang berlebihan
SLE
Renal musculoskeletal s.vaskuler kardiak paru
Glomerulonefritis pembgk. Sendi lesi, eritema, perikarditis efusi MK:Nyeri purpura pleura Diposkan oleh fitriana herman di 22.53 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Reaksi: Tidak ada komentar: Poskan Komentar Link ke posting ini Buat sebuah Link Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom) Welcome in my blog... I hope this blog you can recover about what you want know...
this blog must shortage... I hope you can give comment for improvement it. thank you for visit to my blog... came back yaaa.... Entri Populer ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT (BPH) Perkembangan Psikoseksual Menurut Freud dan Erikson komunikasi pada bayi, balita dan anak askep tonsilitis-amandel pemeriksaan fisik secara umum ASKEP Diare apa yang harus kita lakuin kalau pacar bohong? ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GONORHEA Askep SLE (Sistemic lupus erythematosus)-MELATIKALIMANTAN Tarakan, Kalimantan Timur Mengenai Saya
fitriana herman mahasiswi ilmu keperawatan, fakultas kedokteran di Universitas Andalas Padang... Lihat profil lengkapku waktu daftar pengunjung
followers arsip milikku>> silahkan di baca 2011 (38) o 07/03 - 07/10 (18) askep tonsilitis-amandel pemeriksaan fisik secara umum prespektif keperawatan ank komunikasi pada bayi, balita dan anak Mortalitas dan Mobbiditas pada Masa Bayi Perkembangan Psikoseksual Menurut Freud dan Erikso... askep asfiksia-melatikalimantan Askep SLE (Sistemic lupus erythematosus)-MELATIKAL... keperawatan perioperatif perawatan kolostomi askep mastektomi dan 11 fungsional gordonnya- mela... askep amputasi-melatikalimantan askep amputasi-melatikalimantan askep amputasi-melatikalimantan askep cedera kepala askep penyakit HIV- Melatikalimantan ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BENIGNA HIPERTROP... defenisi anemia dan penyebab serta penanganannya o 07/10 - 07/17 (2) o 07/17 - 07/24 (3) o 08/14 - 08/21 (2) o 08/21 - 08/28 (1) o 09/18 - 09/25 (3) o 09/25 - 10/02 (4) o 10/02 - 10/09 (1) o 10/23 - 10/30 (1) o 12/04 - 12/11 (3) 2012 (2) Diberdayakan oleh Blogger.
CiciLia BanGeuD
Myspace Fun Flash Comments Kamis, 19 Mei 2011 ASUHAN KEPERAWATAN SLE (Systemic Lupus Erythematosus) Download ASKEP DISINI atau klik download link: http://www.ziddu.com/download/16469146/askepSLE.docx.html
Download WOC SLE DISINI atau klik download link: http://www.ziddu.com/download/16469147/WOC.docx.html
BAB I PENDAHULUAN Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira- kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain.
Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi SLE (Systemic Lupus Erythematosus) merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
2.2 Epidemiologi SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).
2.3 Etiologi a. Genetik Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
b. Lingkungan Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
c. Makanan Seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002).
d. Infeksi virus dan bakteri Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
2.4 Klasifikasi Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. a. Discoid Lupus Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
b. Systemic Lupus Erythematosus SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel- sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
c. Lupus yang diinduksi oleh obat Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000). Definitely Possible Unlikely Hidralazin Prokainamid Isoniazid Klorpromazin Metildopa Antikonvulsan Propitiourasil Fenitoin Metimazol Karbamazepin Penisilinamin Asam valproat Sulfasalazin Etosuksimid Sulfonamid Griseofulvin Penisilin Garam emas -bloker Nitrofurantoin Propranolol Levodopa Metoprolol Litium Labetalol Simetidin Acebutolol Takrolimus Kaptropil Lisinopril Enalapril Kontrasepsi oral Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah
2.5 Patofisiologi Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan- bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self- antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4- CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA- anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcRIIA dan FcRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor V3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
Fungsi sel T-supresor yang abnormal Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan
Autoantibody yang berlebihan
SLE
SSP penglihatan paru kardiak
Kerusakan neuron inflamasi pemb penump cairan inflamasi sal napas lapJantung rsk Darah di retina
Mati rasa, lemah skleritis pengembangan paru pleuritis penyemp. katup Cemas, depresi MK: Resiko cidera efusi plura nyeri dada napas pendek MK: Gg kognitif MK: Gg pola napas MK: Gg rasa nyaman (nyeri)
2.6 Kriteria SLE Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu : a. Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi. b. Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
c. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari. d. Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri. e. Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi. f. Serositis Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura. Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard. g. Kelainan ginjal Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+ Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran. h. Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab. i. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm 3 ) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm 3 ), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm 3 ) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut. j. Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid k. Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).
2.7 Data laboratorium a. Anti ds-DNA Batas normal : 70 200 IU/mL Negatif : < 70 IU/mL Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b. Antinuclear antibodies (ANA) Harga normal : nol ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti- ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
c. Tes Laboratorium lain Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
2.8 Manifestasi klinis Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002). Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi:
Pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL) dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia, maka dapat terjadi perdarahan.
Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi terus- menerus (Hahn, 2005).
Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).
Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika Amerika dapat terjadi peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).
2.9 Komplikasi Gejala klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain. Pada tipe menahun dimana terdapat remisi dan eksaserbasi, remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisik/ psikis.
Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, iritabilitas, yang paling menonjol adalah demam kadang-kadang disertai menggigil, kerusakan organ internal.
2.10 Penatalaksanaan Medis a. Tes Diagnostik Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan: Hematologi: ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia kelainan imunologis: ditemukan sel LE, antibodi antinuklear, komplemen serum menurun trioglobulin, faktor reumatoid dan uji terhadap lues yang positif (semu).
Pemeriksaan khusus Biopsi ginjal Biopsi kulit Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).
Evaluasi Diagnostik Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.
b. Terapi 1. Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti ibuprofen (advil & motrin), naproxen, naprosyn (aleve), clinoril, feldene, voltaren membantu mengurangi peradangan dan sakit pada otot-otot, sendi-sendi, dan jaringan-jaringan lain.
2. Obat-obatan corticosteroid, seperti prednison, prednisolone, medrol, deltasone, cortison. dapat mengurangi peradangan dan memugarkan kembali fungsi ketika penyakit aktif. Corticosteroids terutama berguna ketika organ-organ internal terlibat. Corticosteroids dapat diberikan secara oral, disuntikkan langsung kedalam sendi-sendi dan jaringan-jaringan lain, atau dimasukkan melalui urat nadi (intravenously). Sayangnya, corticosteroids mempunyai efek-efek sampingan yang serius jika diberikan dalam dosis tinggi untuk periode-periode waktu yang panjang, termasuk penambahan berat badan, penipisan dari tulang-tulang dan kulit, infeksi, diabetes, muka yang bengkak, katarak, dan kematian (necrosis) dari sendi-sendi besar.
3. Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk persendian yang sakit, luka kulit dan borok di dalam hidung atau mulut, dan gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti malaria yang sering diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine). Efek-efek sampingannya meliputi diare, gangguan perut, dan perubahan-perubahan pigmen mata. Perubahan-perubahan pigmen mata adalah jarang, namun memerlukan pengawasan (monitoring), dan mengurangi secara signifikan frekuensi dari gumpalan-gumpalan darah abnormal pada pasien-pasien dengan SLE sistemik.
4. Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk menyetop over aktifitas sistem kekebalan dan juga membantu membatasi kerusakan yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ. (lupus bukan sejenis cancer) disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat peneken imunitas digunakan untuk merawat pasien-pasien dengan manisfestasi-manifestasi yang lebih berat dari SLE dengan kerusakan pada organ-organ internal. Contoh-contoh dari obat-obat peneken kekebalan termasuk methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat-obat peneken kekebalan dapat menekan secara serius jumlah sel darah dan meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan. Efek-efek sampingan lainnya adalah khas untuk setiap obat. Contohnya, Rheumatrex dapat menyebabkan keracunan hati, sedangkan Sandimmune dapat menggangu fungsi ginjal.
5. Penelitian baru-baru ini mengindikasikan keuntungan-keuntungan dari rituximab (Rituxan) dalam merawat lupus. Rituximab adalah suatu antibodi yang diinfus melalui urat nadi yang menekan suatu sel darah putih yang tertentu, sel B, dengan mengurangi jumlahnya didalam sirkulasi. Sel-sel B telah ditemukan memainkan suatu peran pusat pada aktivitas lupus, dan ketika mereka ditekan, penyakitnya cenderung menuju remisi.
6. Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada suatu makalah yang disajikan menyarankan bahwa tambahan makanan dari minyak ikan omega-3 dalam dosis rendah dapat membantu pasien-pasien lupus dengan mengurangi aktivitas penyakit dan kemungkinan mengurangi risiko penyakit jantung.
Obat-obatan yang sebaiknya dihindari penderita lupus Tidak ada obat yang sangat tepat atau sangat tidak tepat bagi pasien SLE. Harus memperhatikan faktor alergi terhadap obat-obatan tertentu, dan mempelajari hubungan antara masa kambuh dan hormon estrogen atau pil KB. Pasien terutama harus berhati-hati pada obat- obatan antibiotik sulfa(Bactrim, gantrisin, septra) sering diberikan pada orang yang mengalami gangguan infeksi pada saluran kencing, dan dapat menambah kepekaan penderita lupus terhadap sinar matahari, mengakibatkan rendahnya jumlah darah merah yang biasanya diikuti kambuhnya penyakit.
2.11 Asuhan keperawatan a. Kasus Ny. K datang ke RS dengan keluhan nyeri pada sendi, timbulnya kemerahan pada pipi dan kulit. Demam yang tidak hilang sudah 1 bulan, sering merasa lelah dan lemah, sariawan yang hilang timbul, tidak nafsu makan, dan dalam 1 bulan terakhir berat badan turun mencapai 5 kg. Hasil tes ANA ( + ) dan anti ds-DNA 350 Iu/ml, Hb 10 gr/dl, saat ini pesien diberikan obet PCT 3x500 mg. Dexametazon 2x1 tab, dan Piroksikam 3x20 mg, Vit B kompleks 3x1 tab Neorobin 3x1 tab. a. Buatkan proses perjalanan penyakit dengan WOC beserta konsep b. Buatlah pengkajian tambahan dengan 11 Fungsional Gordon c. Buatlah masalah keperawatan yang mungkin timbul ! d. Buatlah 2 buah diagnosa lengkap dengan NOC, NIC yang utama pada NY.K e. Perbedaan penyakit AIDS dan Lupus Editema Tosus.
b. Pengkajian pola fungsional Gordon 1) Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan Klien baru pergi ke RS setelah demam yang dirasakannya tidak hilang sudah semenjak 1 bulan yang lalu. hal ini bisa terjadi karena klien tdak mengetahui tentang penyakitnya sehingga klien merasa kalau dia hanya demam biasa dan tidak perlu berobat ke RS.
2) Pola nutrisi metabolic Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya samapi beberapa kg, penyakit ini diseratai adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun. Pada kasus pasien mengeluh sariawan yang hilang timbul, tidak nafsu makan, dan dalam 1 bulan terakhir berat badan turun mencapai 5 kg
3) Pola eliminasi Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial, namun secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
4) Pola aktivas latihan Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan sering mengalami nyeri pada persendian nya. Pada kasus, klien datang ke RS dengan keluhan nyeri pada sendi, sering merasa lelah dan lemah sehingga aktivitas klien mengalami gangguan.
5) Pola istirahat tidur Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri yang dirasakannya.
6) Pola kognitif persepsi Pada penderita SLE, Daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik. Pada sistem neurologis, penderita bisa mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
7) Pola persepsi diri dan konsep diri Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada. Pada kasus, penderita bisa merasa malu karena timbulnya kemerahan pada pipi dan kulitnya.
8) Pola peran hubugan Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan atau kegiatan yang biasa dilakukan selama sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama sakit pasien tidak dapat melakukan perannya sehari-hari dengan baik.
9) Pola reproduksi dan seksualitas Biasanya penderita LES tidak mengalami gangguan dalam pola seksual reproduksi.
10) Pola koping dan toleransi stress Biasanya klien merasa depresi dengan penyakitnya dan juga stress karena nyeri yang dihadapi. Untuk menghadapi semua ini klien perlu selalu diberi dukungan oleh keluarga dan tetangganya sehingga klien semangat untuk sembuh. Klien juga diberi obat-obatan seperti Dexametazon yang berfungsi untuk mengobati pegal linu, peradangan sendi dan juga memperbaiki imunitas. Klien juga diberi obat Piroksikam untuk obat anti inflamasi yang dapat mengatasi nyeri karena peradangan.
11) Pola nilai dan kepercayaan Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan dan nyeri sendi.
c. Diagnosa keperawatan Masalah keperawatan : 1) Gangguan integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi. 2) Nyeri berhubungan dengan inflamasi
Ganggguan rasa nyaman nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi Defenisi: ketidaknyamanan pengalaman sensoris dan emosional terhadap gangguan jaringan actual dan potensial. Batasan karakteristik: Anaroxia Lemah Ekspreis verbal tentang nyeri
NOC Control nyeri p. 326 Defenisi: perilaku individu dalam mengontrol nyeri. Indicator: Mengakui factor penyebab Mengetahui nyeri Menggunakan obat analgesic Menjelaskan gejala nyeri Melaporkan control nyeri yang telah dilakukan
NIC Pain management (Manajemen nyeri) p. 412 Aktivitas: o Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan factor presipitasi o Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan o Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien o Kaji budaya yang mempengaruhi respion nyeri o Determinasi akibat nyeri terhadap kualitas hidup o Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan o Control ruangan yang dapat mempengaruhi nyeri o Kurangi factor presipitasi nyeri o Pilih dan lakukan penanganan nyeri o Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri o Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi o Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri o Evaluasi keefektifan control nyeri o Tingkatkan istirahat o Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil o Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
NANDA Gangguan integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi. Defenisi: perubahn epidermis dan dermis Batasan karakteristik: Gangguan lapisan kulit Gangguan penampilan kulit Inflasi struktur tubuh
Factor yang berhubungan: Eksternal: o Pengobatan Internal o Perubahan warna kulit o Ketidakseimbangan nutrisi o Gangguan status metabolic o Gangguan sensasi
NOC Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa p. 427 Defenisi : keutuhan struktur dan fungsi fisiologis normal kulit dan membrane mukosa. Indicator: Temperature jaringan dalam batas normal Sensasi Pigmentasi Tekstur Lesi jaringan Perfusi jaringan Keutuhan kulit
NIC Perawatan kulit p. 512 Defenisi: mengumpulkan dan menganalisis data pasien dalam memelihara integritas kulit dan membrane mukosa. Aktivitas: o Mengobservasi warna, panas, pembengkakan,tekstur, dan edema ekstremitas o Menginspeksi kulit dan membrane mukosa apakah kemerahan atau panas tinggi o Memonitoring area kulit yang kemerahan dan mengalami gangguan o Memonitor kulit dan membrane mukosa terhadap perubahan warna dan memar o Monitor warna kulit o Monitor suhu kulit
2.12 Perbedaan Penyakit HIV/AIDS dengan SLE
FAKTOR PEMBEDA HIV/AIDS SLE Sel yang diserang sel T helper (CD4) Sel T supresor (CD8) Etiologi Karena virus HIV Tidak disebabkan oleh virus (autoimun) Manifestasi klinis Sesak napas, batuk, nyeri dada, demam, mual, diare kronis, kandidiasis oral, enselophati Letih, lemah, arthritis, pleuritis, perikarditis, anemia, trombositopenia, leucopenia Sifat Dapat menular Tidak menular Gejala khas Tidak ada sarcoma Adanya sarcoma (rush) atau kemerahan pada pipi dan tulang hidung Prevelansi Dapat terjadi pada siapa saja Dominan pada wanita
BAB III PENUTUP
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
DAFTAR PUSTAKA Closkey ,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(1996). Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis :Mosby Year-Book. Johnson,Marion, dkk. (2000). Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis :Mosby Year-Book Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 10.Jakarta:EGC Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta. Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah : Brunner Suddarth, Vol. 2. EGC : Jakarta. Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta Wiley dan Blacwell. (2009). Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2009-2011, NANDA.Singapura:Markono print Media Pte Ltd
/ Diposkan oleh Cicilia UzuMaki BanGeuD di 13.32 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Label: ASUHAN KEPERAWATAN, KEPERAWATAN DEWASA 2 Reaksi: Tidak ada komentar: Poskan Komentar Tulis Komentnya Disini yaxc!!!! Link ke posting ini Buat sebuah Link Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom) Search Here!!!
welcome
Get Your Own Hi5 Scroller Here Seuntai Kisah
Cicilia UzuMaki BanGeuD aQu adalah Sperti Apa yG orG laeN LiHat!!!!!! Lihat profil lengkapku Where am i????? Cicilia UZoemacki Bangerd
Buat Lencana Anda By TwitterButtons.com FoLLoWww My BloG... All about....
Pimp-My-Profile.com - Build a Slideshow BanGeuD's Time
Virtual Pet Cat for Myspace
cReate yOuR Own Message AnimatiOn
Sosok Yg Kan Slalu dirinDukan
Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat. [Menggali api Pancasila, hlm. 11] Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, nafasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 13 ] Jendela UzuMaKi's BanGeud...
Daftar Tamu Label 2PM (1) ASUHAN KEPERAWATAN (73) B1A4 (5) B2ST/BEAST (39) BIGBANG (23) C.N BLUE (7) CERITA LUCU (6) DAVID ARCHULETA (17) DISASTER NURSING (8) DOWNLOAD IMAGES (4) DOWNLOAD MP3 (38) EMINEM (4) FAKTA UNIK DAN AMAZING (4) GARUDA DI DADAKU (11) GREEN DAY (7) HEALTHY (3) ILMU DASAR KEPERAWATAN 5 (9) ILMU DASAR KEPERAWATAN 6 (15) ILMU DASAR KEPERAWATAN 7 (5) IMAGES : BIGBANG (2) IMAGES : SUPER JUNIOR (22) JASON MIRAZ (1) JESSE MCCARTNEY (3) KEPERAWATAN ANAK (10) KEPERAWATAN DEWASA 1 (18) KEPERAWATAN DEWASA 2 (15) KEPERAWATAN DEWASA 3 (20) KEPERAWATAN GAWAT DARURAT (23) KEPERAWATAN JIWA (16) KETERAMPILAN DASAR DALAM KEPERAWATAN (10) KISAH ABU NAWAS (34) KISAH HIKMAH (16) KOLEKSI KOMIK: CANDY-CANDY (3) KOLEKSI KOMIK: DEATH NOTE (1) LIRIK (49) MAHER ZAIN (6) MANAJEMEN KEPERAWATAN (2) MY CHEMICAL ROMANCE (15) NANDA NOC NIC (33) NARUTO (3) NURSING CARE PATIENT WITH NAPZA HIV/AIDS (2) NURSING INFORMATIK (2) ONE REPUBLICK (1) OST GOD OF STUDY (2) OST YOU'RE BEAUTIFUL (7) PATIENT SAFETY (3) PENDIDIKAN KESEHATAN (8) SAINS (2) SEAMO (1) SEHAT-SAKIT (1) SEJARAH HIDUP NABI MUHAMMAD SAW ( Muhammad Husain Haekal) (14) SUPER JUNIOR (16) Ada kesalahan di dalam gadget ini ThaNkZ... [Tutup] WasSaLam... Hope U enJoy My BloG