Anda di halaman 1dari 103

Asuhan Keperawatan

Senin, 04 Maret 2013


ASKEP Penyakit Lupus (Sistem Imun dan Hematologi)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti Anjing hutan, atau Serigala,
merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan terlihat kemerah-
merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah
dan lengan terlihat bercak-bercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh
organ tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan
salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang membuat penampilan
seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari penderita lupus benar-benar
memiliki ruam kupu-kupu, klasik tersebut.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan
kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun
menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit
autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya:
kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan
lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan Sistemik, karena mengenai hampir seluruh
bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena,
maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus
yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak
organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit.
Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka
gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada
kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian
Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah
terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh
manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi
yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE
dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian
janin (Hahn, 2005).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah proses penyakit lupus tersebut ?
2. Bagaimanakah tindakan yang akan dilakukan seorang perawat / mahasiswa calon perawat, bila
menghadapi klien dengan penyakit lupus tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a) Tujuan Umum :
Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit lupus.
b) Tujuan Khusus :
1) Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis penyakit lupus,
patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda dan gejala), prognosis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan serta komplikasi penyakit lupus.
2) Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien yang menderita
penyakit lupus.
2. Manfaat Penulisan
a) Manfaat Teoritis :
1) Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengetahui tentang penyakit
lupus
2) Sebagai bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas.
b) Manfaat Praktis :
Dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususnya seorang perawat maupun
mahasiswa calon perawat dalam mengkaji laporan pendahuluan (defenisi, etiologi, dan lain-lain)
serta dalam menyusun asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang
sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan
autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering
dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama
proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus melibatkan ginjal,
dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan
cuci darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009)
Penyebab penyakit lupus belum diketahui secara pasti, agaknya disebabkan kombinasi
berbagai faktor seperti genetik, hormon, infeksi, dan lingkungan. Terjadi penyimpangan pada
sistem kekebalan yang pada mulanya sistem kekebalan tidak bisa membedakan teman dan
musuh, kemudian teman-teman sendiri (sel-sel tubuh/organ sendiri) dianggap sebagai musuh,
sehingga dibuat zat anti terhadap sel-sel tersebut, kemudian zat anti ini menyerang sel-sel
tubuh.organ sendiri tersebut. Akibatnya serangan ini menimbulkan kerusakan-kerusakan pada
organ tersebut.
Ada berita dari Jerman yang menyatakan sekelompok peneliti mencurigai ada suatu
enzim dalam sel yang bertugas menghancurkan DNA dari sel yang sudah mati, tetapi enzim ini
tidak bekerja normal, sehingga DNA tersebut tidak habis, tetapi sisa-sisa hancuran DNA masih
ada. Tehadap sisa-sisa ini kemudian terbetuk zat anti. Dengan cara penyakit ini mengganggu
kesehatan, maka penyakit ini digolongkan dalam penyakit autoimun. Penyakit ini juga
menyerang beberapa organ lain, yaitu organ saluran pencernaan dan bahkan bisa sampai kelainan
jiwa (psikosis). Penyakit ini terdiagnosis saat organ tubuh telah mengalami kerusakan parah.
Gejala penyakit lupus sistemik amat beragam. Demam merupakan gejala yang sering
timbul. Disamping itu mungkin juga terdapat nyeri sendi, kelainan pada kulit, anemia, gangguan
fungsi ginjal, nyeri kepala sampai kejang. Pada jantung atau paru, bisa terdapat cairan sehingga
timbul sesak napas. Gejala ini tidak semuanya timbul pada seorang penderita lupus. Penderita
lupus mungkin hanya mengalami beberapa gejala saja.
Gejala lainnya adalah perempuan merasa lebih gampang lelah, rambut rontok, sering
demam, sering sariawan, kencing mengandung protein, serta mengalami fotosensitif. Ini
dikemukakan oleh Prof. Handono Kalim selaku Ketua Indonesian Rheumatology Association
(IRA) (Antar News, 2012).
Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi Dhuha), Lupus
adalah sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus.
Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan menderita penyakit Lupus
Erythematosus saat tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri.
Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu
ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu
imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada
Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat
terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan
tubuh sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut sebagai autoimmune disease (penyakit dengan
kekebalan tubuh berlebihan).
Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis (kelompok), yaitu :
1. Penyakit Lupus Diskoid
Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus yang terbatas pada
kulit. Klien dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit yang terbatas pada kulit, ditandai
dengan ruam yang muncul pada wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ
internal.
Penyakit ini biasanya lebih ringan biasanya sekitar 10%-15% yang berkembang menjadi lupus
sistemik.
2. Penyakit Lupus Sistemik
Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berevolusi dan berkembang menjadi lupus
sistemik yang memengaruhi organ internal tubuh seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan
jantung. Lupus jenis ini sering ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan
periode remisi (ketika penyakit ini tidak aktif). Tidak ada cara untuk memperkirakan berapa lama
suar akan berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien lupus sembuh dan tidak pernah
mengalami suar lain, tetapi pada beberapa pasien lain suar datang dan pergi berulang kali selama
bertahun-tahun.
3. Drug Induced Lupus (DIL)
DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini disebabkan oleh
reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala sangat mirip lupus sistemik. Obat
yang paling sering menimbulkan reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia
jantung procainamide, obat TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat
lain. Gejala penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.
Ada juga Lupus neonatal yang jarang terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi yang belum lahir
dan bayi baru lahir dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi lain pada hati dan darahnya karena
serangan antibodi dari ibunya. Ruam yang muncul akan memudar dalam enam bulan pertama
kehidupan anak.
Penyakit lupus ini bermacam-macam. Jika menyerang kulit, kulit kepala akan ngelotok
sehingga rambutpun akan rontok. Jika menyerang tulang, seluruhnya sakit, berbaring posisi apa
pun sakit. Biasanya untuk menghilangkan sakit menggunakan morfin, tapi jika menggunakan
morfin efeknya tidak baik, jadi sering kali penderita berteriak kesakitan, mengerikan memang.
Jika menyerang darah, darahnya akan mengental dan tidak mencapai otak, stroke dan koma.
Lupus itu mirip AIDS bahkan mungkin lebih parah, daya tahan tubuh penderita menurun drastis,
sehingga penyakit-penyakit mudah menyerang tubuh penderita.
Penyakit lupus ini dapat menyerang siapa saja dan para peneliti masih menindak lanjuti
penyebab penyakit ini. Penyakit lupus justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai
usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Menurut perkiraan para ilmuwan
bahwa hormon wanita (hormon estrogen) mungkin ada hubungannya dengan penyebab penyakit
lupus karena dari fakta yang ada diketahui bahwa 9 dari 10 orang penderita penyakit lupus
adalah wanita. Yang memicu penyakit lupus adalah lingkungan, stress, obat-obatan tertentu,
infeksi, dan paparan sinar matahari.
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita penyakit lupus, sering diduga berkaitan
dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi
meninggal saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk
gejala penyakit lupus. Sering dijumpai gejala penyakit lupus muncul sewaktu hamil atau setelah
melahirkan.
Kebanyakan kasus memiliki latar belakang dari riwayat keluarga yang pernah terkena
sebelumnya, namun dalam beberapa kasus tidak ada penyebab yang jelas untuk penyakit ini.
Penyakit lupus telah banyak diteliti dan telah dikaitkan dengan gangguan lain, tetapi hanya
dalam teori, tidak ada yang jelas dinyatakan sebagai fakta.
Sampai saat ini, Lupus masih merupakan penyakit misterius di kalangan medis. Kecuali
lupus yang disebabkan reaksi obat, penyebab pasti penyakit ini tidak diketahui. Perdebatan
bahkan masih berlangsung mengenai apakah lupus adalah satu penyakit atau kombinasi dari
beberapa penyakit yang berhubungan. Sekitar 90% penderita lupus adalah perempuan, yang
mengindikasikan bahwa penyakit ini mungkin terkait hormon-hormon perempuan. Menstruasi,
menopause dan melahirkan dapat memicu timbulnya lupus. Sekitar 80% pasien lupus menderita
penyakit ini di usia antara 15 sampai dengan 45 tahun atau 50 tahun.
Biasanya odipus (orang hidup dengan lupus) akan menghindari hal-hal yang dapat
membuat penyakitnya kambuh dengan :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu. ( sumber wikipedia indonesia)

Saat ini tidak ada tes tunggal yang dapat memastikan apakah seseorang terkena penyakit
lupus. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan komprehensif yang mempertimbangkan
semua gejala dan riwayat penyakit.
Pada tahun 1982 American College of Rheumatology atau American Rheumatism
Association (ARA) menetapkan Sebelas Kriteria Lupus untuk membantu dokter mendiagnosis
lupus dan yang diperbaharui tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%.
Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih
kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau
efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat
memicu ANAsebelumnya
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau
berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan
pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah :
a) anemia hemolitik,
b) Leukosit < 4000/mm,
c) Limfosit<1500/mm, dan
d) Trombosit <100.000/mm
7. Salah satu Kelainan Ginjal :
a) Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,
b) Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah
merah/putih maupun sel tubulus ginjal
8. Salah satu Serositis :
a) Pleuritis,
b) Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis :
a) Konvulsi / kejang,
b) Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi :
a) Sel LE+
b) Anti dsDNA diatas titer normal
c) Anti Sm (Smith) diatas titer normal
d) Tes serologi sifilis positif palsu

B. Pengobatan Tradisional Penyakit Lupus Menggunakan Obat Herbal
Jika sudah terkena Lupus harus segera mendapat penanganan yang serius. Didalam
makalah ini tim penulis juga akan memberikan beberapa saran pengobatan penyakit lupus secara
herbal alami dengan kombinasi produk herbal dari PT UFO BKB Syariah yaitu :
1. XAMthone Plus
2. Madu Cerna
3. Teh Murbei
4. Kapsul MGL Super
Madu Cerna fungsinya menyembuhkan sistim saluran pencernaan yang sudah diserang
sehingga nanti bisa menyerap zat dari XAMthone Plus, Teh Murbei dan Kapsul MGL untuk
menormalkan sistim kekebalan tubuh yang berlebihan tersebut.
Secara spesifik Teh Murbei dan Kapsul MGL Super akan memperbaiki kinerja ginjal
yang sudah rusak yang menyebabkan persendian sakit bahkan tidak bisa digerakkan atau
lumpuh. Perlu diketahui ginjal adalah benteng pertahanan pertama dari tubuh kita karena semua
zat-zat yang masuk ke dalam tubuh akan di saring di ginjal. Sedangkan XAMthone Plus akan
memperbaiki sistem-sistem secara keseluruhan.




BAB III
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Defenisi Penyakit Lupus
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya tubuh
pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ tubuh sendiri,
seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan organ lain. Antibodi
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ
tubuh yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal
dengan autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang
rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang
persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.
SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau imflamasi
multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun (Albar, 2003).

B. Etiologi
Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak
normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan
obat-obatan tertentu memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum
wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar,
walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita
saat ini masih dalam kajian.

C. Patofis (Patofisiologis)
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi
antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa
faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan
menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya
toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud
pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon
seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak
pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non
histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein
dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas
autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral
semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah
ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan
klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurun
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini
akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/
gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus,
kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang
resisten.

D. Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit
lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala
mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap
penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit
yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan
masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi
di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1. Sistem Muskuloskeletal
a) Artralgia
b) artritis (sinovitis)
c) pembengkakan sendi,
d) nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan
e) rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem Integument (Kulit)
a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi, dan
b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
a) Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
a) Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
a) Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
b) eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
a) Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
a) Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

E. Prognosis
Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat bervariasi. Penyakit ini
cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali dengan periode bebas gejala yang dapat
berakhir dalam hitungan tahun. Flare jarang terjadi setelah menopous. Prognosis penyakit ini
semakin membaik dengan bermakna dalam dua dekade terakhir ini. Biasanya, jika inflamasi
awal dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik.
Jika gejala lupus adalah disebabkan oleh penggunaan suatu obat, penghentian obatakan
menyembuhkan lupus, walaupun penyembuhan dapat memakan waktu berbulan-bulan.

F. Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Tes Anti ds-DNA
Batas normal : 70 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita
dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar
rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun
dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari
antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang
menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk
SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit
autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam
perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok
antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk
mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak
spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah
ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah
pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif
maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien
tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring
terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan,
Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-
Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC),
urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.

G. Tinjauan Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang
ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta
memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang
diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan
yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al.,
2000), sebagai berikut :
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE
sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor
lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita
SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung
vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-
4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999).
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat
disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan
beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien
menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
3. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID
yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik
(Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2
inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok
asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang
berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi
lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung,
sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping
penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan
alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti
inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga
50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping
yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan
selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan
tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1
sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah
meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi
NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria
tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
4. Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas
atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme
aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan
enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi
prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor
necrosing factor (TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien
mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon
yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE
teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan
obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3
tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
5. Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa
pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih
menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid
mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang
mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator
inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga
mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek
imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi
sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi
kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan
memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung,
2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator,
menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki
manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi
selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan
menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering
digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (1030 mg/kg BB lebih dari 30
menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang
berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal
(serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10
minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum
menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis,
abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19
hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih
pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah
tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan
penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka
dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu
berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk
menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering
dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya
berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia,
lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan
NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama
penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis
karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi
sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama
penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE.
Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat
menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin
sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien
SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D
(Rahman, 2001).
6. Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan
pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi
dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B,
sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan
penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi.
Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya
neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC,
hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian,
rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan
siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang
refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi
dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia.
Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik.
Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif
dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
7. Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat
masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7
tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien
SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada
penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut
(Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan
pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk
mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui
(FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan
tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster,
Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi
dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama
57 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin,
kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan
sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat
memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi
dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).

H. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon 1000
mg per 24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukan tapering off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan
tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.



BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
a) Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
b) Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi.
b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di
ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP
lainnya.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Uraian Masalah Keperawatan
a) Nyeri
b) Kerusakan intergritas kulit
c) Isolasi sosial
d) Kerusakan mobilitas fisik
e) Keletihan/kelelahan
f) Perubahan Nutrisi
g) Kurang Pengetahuan

Sumber diagnose diatas di ambil dari beberapa sumber buku dan dipadu dalam buku ini.
Yang akan tim penulis ambil didalam makalah ini adalah sebagai berikut :

2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
c) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

C. Intervensi (Rencana Tindakan)
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Gangguan nyeri dapat teratasi
2) Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
b) Kriteria Hasil :
1) Skala Nyeri : 1-10
c) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)
Mandiri :
1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala nyeri 1-10).
R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan
tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.
2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara
terbuka.
R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung
saraf.
3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat.
R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk
mencegah menggigil.
4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada
hidroterapi.
R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan
debridemen.
5) I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme
koping.
6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam,
bimbingan imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control,
yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.
7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.
R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.
Kolaborasi
8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi.
R : membantu mengurangi nyeri.

2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
b) Kriteria Hasil :
1) Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.
c) Rencana Tindakan dan Rasional
Mandiri
1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati
perubahan.
R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan melakukan
intervensi yang tepat.
2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau
krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
3) I : Gunting kuku secara teratur.
R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis,
duoderm, sesuai petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
Kombinasi :
5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi
R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga klien/orang
terdekat (bila tidak ada keluarga).
b) Kriteria Hasil :
1) Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi yang
diberikan
c) Rencana Tindakan dan Rasional
1) I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan
informasi.
2) I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi
pasien/orang lain.
3) I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.
R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
4) I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan
perubahan/individu.
5) I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit sebelumnya/pusat perawatan
tempat tinggal.
R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan dan
kemandirian.


























BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker. Penyakit ini
merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan
sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi diduga
yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet,
obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada kaitannya dengan
hormon estrogen.
3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi justru perlu
untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.

B. Saran
Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran :
1) Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat ditangani dengan baik sejak
awal untuk mempercepat proses penyembuhan dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari
penyebarannya keseluruh organ tubuh.
2) Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan penyakit ini.
3) Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang penyakit ini.


SEKILAS INFO


Fotosensitif adalah kondisi di mana seseorang sangat peka terhadap sinar matahari. Bila terkena
sinar matahari kulit akan menjadi merah, sangat letih, tubuh tidak nyaman dan tidak enak.
Estrogen (atau oestrogen) adalah sekelompok senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai
hormon seks wanita. Walaupun terdapat baik dalam tubuh pria maupun wanita, kandungannya
jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur.
Jadi hormone estrogen ada pada wanita dan pria. Bedanya adalah dikadarnya (kandungannya).
Pria memeliki kadar yang lebih sedikit dibandingkan wanita (terutama pada usia produktif yaitu
wanita usia subur)
Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan
alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang
mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau inflamasi adalah satu
dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi.




DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku Kedokteran
Djaunzi, Samsuridjal. an. Raih Kembali Kesehatan : Mencegah Berbagai Penyakit Hidup Sehat
untuk Keluarga. Jakarta : Kompas
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Gibson J.M, MD. 1996. Mikrologi dan Patologi Modern untuk Perawat. Buku Kedokteran
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara
Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Robins. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi (edisi 4). Buku Kedokteran
Robins., dkk. 1996. Buku Saku Robins : Dasar Patologi Penyakit (edisi 5). Buku Kedokteran
Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart edisi
8 volume 3. Jakarta : EGC

sumber lain :
http://doktersehat.com/lupus-apa-itu-penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 10 Desember 2012,
jam 13.45 WITA
http://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_eritematosus_sistemik , diakses pada tanggal 8 Desember
2012, jam 9.00 WITA
http://infokesehatan101.blogspot.com/2012/07/penyakit-lupus.html , diakses pada tanggal 7
Desember 2012, jam 11. 00 WITA
http://kotasehat.blogspot.com/2012/01/penyakit-lupus-gejala-dan-pengobatannya.html , diakses
pada tanggal 8 Desember 2012 jam 9.30 WITA
http://www.lupusarthritisindonesia.org/id/basicinfo-systemic.php , diakses pada tanggal 10
Desember 2012, jam 14.00 WITA
http://majalahkesehatan.com/penyakit-misterius-bernama-lupus/ , diakses pada tanggal 7
Desember 2012, jam 10.45 WITA
http://mazrie.wordpress.com/2010/01/14/67/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 15.00
WITA
http://niwanasod.net/penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 15. 45 WITA
http://www.antaranews.com/berita/338354/gejala-penyakit-lupus-yang-sering-diabaikan oleh
editor Aditia Maruli, diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 10. 30 WITA
http://www.metris-community.com/penyakit-lupus-gejala-penyebab-lupus-penyakit/ , diakses
pada tanggal 8 Desember 2012, jam 11. 00 WITA
http://www.penyakitlupus.net/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 16.00 WITA






Diposkan oleh Eva Maria Keljombar di 07.51
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook











































Beranda
Jofan Arya Pratama
ASKEP SLE Sistemic Lupus Erithemathosus
Diposkan oleh joe blackhole Jumat, 25 Januari 2013




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Lupus dalam bahasa latin berarti Anjing Hutan. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu
abad lalu. Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus
Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik bermakna menyebar luas ke berbagai
organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir
seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya
eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar).
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi
sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya
bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan
akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari
penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan
jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan
sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia,
nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor
dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun. Pada anak perempuan, awitan LES banyak
ditemukan pada umur 9-15 tahun.
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan
sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok
penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai
banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari
beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai
mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE
adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga
antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam
tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah,
leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu
dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal
terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah
(Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian
Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah
terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh
manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi
yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE
dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian
janin (Hahn, 2005).
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar.
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta
mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi
klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada
masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis
penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-I nflammatory Drugs), obat-obat
antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat
obat-obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi,
monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian
para ilmuwan.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami penjabaran tentang penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
1.2.2 Tujuan Khusus
(1) Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan gejala,
patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, serta komplikasi dari penyakit
Systemic Lupus Erytematosus (SLE).
(2) Mahasiswa dapat menambah wawasan baru mengenai penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan tubuh
(sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh
tissue- binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa
menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan
perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi
disertaioleh terdapatnyaberbagai macam autoantibody dalam tubuh.

Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan
kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun
menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit
autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya:
kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan
lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena mengenai hampir seluruh
bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena,
maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingka Lupus
yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).

Gejala-gejala SLE adalah seperti ruam di wajah, kepala dan anggota-anggota badan,
ruam ini tidak menimbulkan sakit atau gatal, bila sembuh akan meninggalkan parut, ulser di
dalam mulut, keguguran rambut, demam berkepanjangan, dan penderita akan sensitif terhadap
pancaran sinar matahari.


Penyakit LUPUS adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak
sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit
Lupus mencapai 5 juta orang, lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya.

Arti kata lupus sendiri dalam bahasa Latin berarti anjing hutan. Istilah ini mulai dikenal
sekitar satu abad lalu. Awalnya, penderita penyakit ini dikira mempunyai kelainan kulit, berupa
kemerahan di sekitar hidung dan pipi . Bercak-bercak merah di bagian wajah dan lengan, panas
dan rasa lelah berkepanjangan , rambutnya rontok, persendian kerap bengkak dan timbul
sariawan. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh
organ yang ada di dalam tubuh.

Gejala-gejala penyakit dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus.
Eritomatosus artinya kemerahan. sedangkan sistemik bermakna menyebar luas keberbagai organ
tubuh. Istilahnya disebut LES atau Lupus. Gejala-gejala yang umum dijumpai adalah:
1. Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta timbulnya gangguan pencernaan.
2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan, demam dan pegal-
pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada masa aktif, sedangkan pada masa remisi (nonaktif)
menghilang.
3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi, mirip kupu-kupu. Kadang
disebut (butterfly rash). Namun ruam merah menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh
tubuh, menonjol dan kadang-kadang bersisik. Melihat banyaknya gejala penyakit ini, maka
wanita yang sudah terserang dua atau lebih gejala saja, harus dicurigai mengidap Lupus.
4. Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang dihancurkan oleh penyakit LUPUS ini
5. Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan
Dr. Rahmat Gunadi dari Fak. Kedokteran Unpad/RSHS menjelaskan, penyakit lupus
adalah penyakit sistem imunitas di mana jaringan dalam tubuh dianggap benda asing. Reaksi
sistem imunitas bisa mengenai berbagai sistem organ tubuh seperti jaringan kulit, otot, tulang,
ginjal, sistem saraf, sistem kardiovaskuler, paru-paru, lapisan pada paru-paru, hati, sistem
pencernaan, mata, otak, maupun pembuluh darah dan sel-sel darah.
Penyakit ini dapat mengenai semua lapisan masyarakat, 1-5 orang di antara 100.000
penduduk, bersifat genetik, dapat diturunkan. Wanita lebih sering 6-10 kali daripada pria,
terutama pada usia 15-40 tahun. Bangsa Afrika dan Asia lebih rentan dibandingkan kulit putih.
Dan tentu saja, keluarga Odapus. Timbulnya penyakit ini karena adanya faktor kepekaan dan
faktor pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari,
pemakaian pil KB, dan stres, ujarnya. Penyakit ini justru kebanyakaan diderita wanita usia
produktif sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Oleh karena itu
dianggap diduga penyakit ini berhubungan dengan hormon estrogen.
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga berkaitan dengan
kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi meninggal
saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk geja LUPUS.
Sering dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan.
Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun,
dalam penyakit ini kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit Lupus
diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Dalam tubuh seseorang terdapat
antibodi yang berfungsi menyerang sumber penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya,
penyakit Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi
justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas .
Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara yaitu :
Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada sel-
sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan
penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia.
Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan antibodi),
membentuk ikatan yang disebut kompleks imun.Gabungan antibodi dan antigen mengalir
bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan.
Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam
keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang tadi
bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar
kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan
mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini
terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi organ tubuh akan terganggu.
Kesembuhan total dari penyakit ini, tampaknya sulit. Dokter lebih berfokus pada
pengobatan yang sifatnya sementara.Lebih difokuskan untuk mencegah meluasnya penyakit dan
tidak menyerang organ vital tubuh.

2.2 Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 10:1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga
menyerang penderita usia produktif yaitu 1564 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat
terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002).
Prevalensi SLE berbedabeda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai
prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000
populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New
Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000
populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

2.3 Etiologi
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat
anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang efektif,
sehingga SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin
danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupunsecara sistemik melalui
peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum dalam
jangka waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau
DILE). Jenisobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid
Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin
Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini kambuh
setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan
penyakit ini.

2.4 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, Systemic
Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,
lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit
secara menetap (Hahn, 2005).

Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem
imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-
sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

2.5 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit
yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor
yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi
akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali.

2.6 Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru
untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas
96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau
lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau
efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat
memicu ANAsebelumnya
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas, datar, atau
berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan
pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah;
anemia hemolitik,
Leukosit < 4000/mm,
Limfosit<1500/mm,
Trombosit <100.000/mm
7. Salah satu Kelainan Ginjal;
Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,
Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah
merah/putih maupun sel tubulus ginjal
8. Salah satu Serositis :
Pleuritis,
Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis;
Konvulsi / kejang,
Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan

11. Salah satu Kelainan Imunologi
Sel LE+
Anti dsDNA diatas titer normal
Anti Sm (Smith) diatas titer normal
Tes serologi sifilis positif palsu

2.7 Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit
lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala
mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap
penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit
yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan
masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi
di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
Muskuloskleletal
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakanmenderitaar
tr itis. Persendian yang sering terkena adalah persendian padajari tangan, tangan, pergelangan
tangan dan lutut. Kematian jaringan padatulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab
dari nyeri di daerahtersebut.
Integumen
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung.
Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih
tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.
Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel
ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yangmenetap). Pada
akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlumenjalanidialis a atau pencangkokkan
ginjal.
Sistem Neuron
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling seringditemukan
adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainanbisa terjadi pada bagian manapun
dari otak, korda spinalis maupun sistemsaraf. Kejang,ps ikos a, sindroma otak organik dan sakit
kepala merupakanbeberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.
Sistem Hematologi
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di
dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkanstroke danemboli paru. Jumlah trombosit
berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa
menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

Sistem Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, sepertiper ikar ditis,endokar
ditismaupunmiokarditis. Nyeri dada danaritmia bisa terjadi sebagai akibat darikeadaan tersebut.
Sistem Respirasi
Pada lupus bisa terjadipleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura(penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaantersebut sering timbul nyeri dada
dan sesak nafas.

2.8 Pemeriksaan Laboratorium
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan
kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang
lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun
dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe
dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang
menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik
untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada
penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar
dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen
yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana,
2002).
Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif
untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA
tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain.
Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit
tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA
diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE
karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil
tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa
pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus
antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation
Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count
(CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

2.9 Tinjauan Pengobatan SLE

Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang
ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta
memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang
diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan
yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE
sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor
lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita
SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung
vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-
4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999).
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat
disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan
beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien
menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan
analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif
COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta
memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi
termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan
enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk
melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa
lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek
samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit
kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki
efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan
menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE
dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang
digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan
periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi
tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan.
Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau
antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia,
lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa
mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat
pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan
produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor
necrosing factor (TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan
pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan
respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama
beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya
dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per
minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa
pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih
menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid
mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang
mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator
inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga
mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek
imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi
sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi
kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan
memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung,
2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator,
menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki
manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi
selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan
menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering
digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (1030 mg/kg BB lebih dari 30
menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan
yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit
ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10
minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum
menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis,
abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19
hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya
lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi
sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul
dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka
dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu
berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk
menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering
dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya
berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia,
lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan
NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama
penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis
karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau
hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah
selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada
pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena
kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi
kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh
karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen
kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan
pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi
dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B,
sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan
penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi.
Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya
neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC,
hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian,
rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan
siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang
refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi
dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan
alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik.
Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif
dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat
masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7
tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien
SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada
penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut
(Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan
pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk
mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui
(FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan
tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster,
Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi
dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama
57 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin,
kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan
sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat
memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat
diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).

2.10 Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di
ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP
lainnya.

Masalah Keperawatan
1. Nyeri
2. Keletihan
3. Gangguan integritas kulit
4. Kerusakan mobilitas fisik
5. Gangguan citra tubuh

Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot,
rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.
Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :

a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin;
masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi,
aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan
nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik
penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering
membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai
metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang
diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
1. Beri penjelasan tentang keletihan : hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik
relaksasi yang memudahkan tidur)
menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa
nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
Meningkatkan pemakaian alat bantu
Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi

4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang
ditimbulkan enyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan
kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres
hangat yang terlalu panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

BAB 3
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SLE
(Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi
kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang semuanya dianggap ikut
memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan
berbagai autoantibody polispesifik.
Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Tampaknya
semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas asalnya, temuan urine yang abnormal atau
penyakit sendi yang menyamar sebagai arthritis rematoid atau demam rheumatic.

3.2 Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit
SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila dihentikan
maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir
ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila
didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.


Daftar Pustaka

Vians. (2010). Makalah SLE. www.darkcuzer.blogspot.com 09 april 2012. Jam 9:39
Rohayati. (2007). LUPUS.Apa itu lupus. www.doktersehat.com. 09 April 3012. Jam 9:52
...(2010). Pohon Masalah. www.scribd.com. 09 April 2012 jam 10:05
...(2010). Makalah SLE. www.scribd.com. 09 April 2012 jam 10:11
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
0 komentar:
Poskan Komentar
Link ke posting ini
Buat sebuah Link
Posting Lebih Baru Posting Lama
Blog Subscription

Follow me
You can follow my updates on Twitter

Posts RSS
Read my full posts on your favorite feed reader

Facebook
Become a fan of our blog on Facebook
Search this blog

Yang sudah mampir disini
20,500
Assalamualaikum

joe blackhole
dikit dikit patewe, dikit dikit patewe, patewe ko dikit dikit ???
Lihat profil lengkapku
Links
http://medicalnerd.tumblr.com/page/30
http://mahfudalqudsybersholawat.blogspot.com
http://pondokilmu24.blogspot.com
Popular Posts

Asuhan Keperawatan pada Presbiopi (Mata Tua) & Astigmatisma (Mata Silinder) +
Pathway
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Presbiopia adalah kondisi di mana mata
menunjukkan kemampuan yang makin lama mak...

ASKEP Leukemia dan Pathway
A. Definisi Leukimia Leukimia atau biasa disebut dengan kanker darah adalah sebuah
sindrom, dimana sel darah putih yang masih imatu...
Komunikasi dalam Pelayanan Kesehatan
Nama : Jofan Arya Pratama NIP : 2011011193 ...

ASKEP SLE Sistemic Lupus Erithemathosus
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lupus dalam bahasa latin berarti
Anjing Hutan. Istilah ini mulai dikenal se...
Roleplay Psikodrama
TUGAS KELOMPOK PRE-PLANING PSIKODRAMA TRANSKULTURAL
NURSING PSIK 1-A Nama Anggota ...
Pendekatan Holistic Care pada Pasien
Pendekatan Holistic Care pada Pasien Sebagai perawat/ners materi yang sangat penting
dan menentukan...

Apa itu Rhinitis (Radang pada Mukosa Hidung)?
Asuhan Keperawatan RINITIS (Radang pada Mukosa Hidung) BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rongga hidung dilapis...
Jofan Arya Pratama 2012 | Designed by Online Games, in collaboration with Game Coupons,
Combat Trousers and Online Dating

















melati_kalimantan
Minggu, 03 Juli 2011
Askep SLE (Sistemic lupus erythematosus)-MELATIKALIMANTAN
Tugas Asuhan Keperawatan
Pada Pasien Dengan Penyakit SLE
Oleh:
KELOMPOK 4

Nur Agia Ningsih 0910322009
Febrina Muslimah 0910322035
Zuhria Meilita 0910323071
Neni Legawinarni 0910323093
Fitriana 0910323097


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2011


PENDAHULUAN
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia).
Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400 orang per 100.000
penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika
Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.

Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per
10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and
Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang
tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang
hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi,
sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi.

Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000
populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006).

Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama
dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia).
Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama
tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah
osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain.
Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi
penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang
inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita
SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan
keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena
itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE
terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita
maupun keluarganya.

BAB II
PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN

SLE (Sistemic lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

Lupus adalah suatu kondisi yang dikarakteristikkan oleh peradangan kronis dari jaringan-
jaringan tubuh yang disebabkan oleh penyakit autoimun.

Pasien-pasien dengan lupus memproduksi antibodi-antibodi yang abnormal didalam darahnya
yang mentargetkan jaringan-jaringan didalam tubuhnya sendiri dari pada agen-agen menular
asing. Karena antibodi-antibodi dan sel-sel peradangan yang mendampinginya dapat melibatkan
jaringan-jaringan dimana saja didalam tubuh, lupus mempunyai potensi untuk mempengaruhi
beragam area-area tubuh. Kadangkala lupus dapat menyebabkan penyakit kulit, jantung, paru-
paru, ginjal, persendian-persendian, dan/atau sistim syaraf. Ketika hanya kulit yang terlibat,
kondisi ini disebut lupus diskoid (discoid lupus). Ketika organ-organ internal yang terlibat,
kondisi ini disebut lupus sistemik eritematosus (systemic lupus erythematosus, SLE).
(http://www.totalkesehatananda.com/lupus1.html)

B. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus
erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
a. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama,
sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan,
punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan
atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap
(Hahn, 2005).

b. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor
(Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun
berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-
sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

c. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).
Definitely Possible Unlikely
Hidralazin
Prokainamid
Isoniazid
Klorpromazin
Metildopa Antikonvulsan Propitiourasil
Fenitoin Metimazol
Karbamazepin Penisilinamin
Asam valproat Sulfasalazin
Etosuksimid Sulfonamid
-bloker Nitrofurantoin
Propranolol Levodopa
Metoprolol Litium
Labetalol Simetidin
Acebutolol Takrolimus
Kaptropil
Lisinopril
Enalapril
Kontrasepsi oral Griseofulvin
Penisilin
Garam emas
Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah

C. PATOFISOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor
yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi
akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak,
rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di
ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah.
Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan
pula artritis, peuritis dan perikarditis.
Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia
dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak
memastikan diagnosis.

1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid,
secara topikal untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
F. KOMPLIKASI
Gejala klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak
disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala
satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain. Pada tipe menahun
dimana terdapat remisi dan eksaserbasi, remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan
trauma fisik/ psikis.
Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan,
nafsu makan berkurang, berat badan menurun, iritabilitas, yang paling menonjol adalah demam
kadang-kadang disertai menggigil, kerusakan organ internal.

G. PENATALSANAAN MEDIS
a. Tes Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan:
Hematologi: ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia
kelainan imunologis: ditemukan sel LE, antibodi antinuklear, komplemen serum menurun
trioglobulin, faktor reumatoid dan uji terhadap lues yang positif (semu).
Pemeriksaan khusus
Biopsi ginjal
Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal
junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).

b. Terapi
1. Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti ibuprofen (advil & motrin), naproxen,
naprosyn (aleve), clinoril, feldene, voltaren membantu mengurangi peradangan dan sakit pada
otot-otot, sendi-sendi, dan jaringan-jaringan lain.

2. Obat-obatan corticosteroid, seperti prednison, prednisolone, medrol, deltasone, cortison. dapat
mengurangi peradangan dan memugarkan kembali fungsi ketika penyakit aktif. Corticosteroids
terutama berguna ketika organ-organ internal terlibat. Corticosteroids dapat diberikan secara
oral, disuntikkan langsung kedalam sendi-sendi dan jaringan-jaringan lain, atau dimasukkan
melalui urat nadi (intravenously). Sayangnya, corticosteroids mempunyai efek-efek sampingan
yang serius jika diberikan dalam dosis tinggi untuk periode-periode waktu yang panjang,
termasuk penambahan berat badan, penipisan dari tulang-tulang dan kulit, infeksi, diabetes,
muka yang bengkak, katarak, dan kematian (necrosis) dari sendi-sendi besar.

3. Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk persendian yang sakit, luka kulit dan borok di
dalam hidung atau mulut, dan gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti
malaria yang sering diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine). Efek-efek sampingannya
meliputi diare, gangguan perut, dan perubahan-perubahan pigmen mata. Perubahan-perubahan
pigmen mata adalah jarang, namun memerlukan pengawasan (monitoring), dan mengurangi
secara signifikan frekuensi dari gumpalan-gumpalan darah abnormal pada pasien-pasien dengan
SLE sistemik.

4. Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk menyetop over aktifitas sistem kekebalan
dan juga membantu membatasi kerusakan yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ. (lupus
bukan sejenis cancer) disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat peneken imunitas digunakan untuk
merawat pasien-pasien dengan manisfestasi-manifestasi yang lebih berat dari SLE dengan
kerusakan pada organ-organ internal. Contoh-contoh dari obat-obat peneken kekebalan termasuk
methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan),
chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat-obat peneken kekebalan
dapat menekan secara serius jumlah sel darah dan meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan.
Efek-efek sampingan lainnya adalah khas untuk setiap obat. Contohnya, Rheumatrex dapat
menyebabkan keracunan hati, sedangkan Sandimmune dapat menggangu fungsi ginjal.

5. Penelitian baru-baru ini mengindikasikan keuntungan-keuntungan dari rituximab (Rituxan)
dalam merawat lupus. Rituximab adalah suatu antibodi yang diinfus melalui urat nadi yang
menekan suatu sel darah putih yang tertentu, sel B, dengan mengurangi jumlahnya didalam
sirkulasi. Sel-sel B telah ditemukan memainkan suatu peran pusat pada aktivitas lupus, dan
ketika mereka ditekan, penyakitnya cenderung menuju remisi.
6. Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada suatu makalah yang disajikan
menyarankan bahwa tambahan makanan dari minyak ikan omega-3 dalam dosis rendah dapat
membantu pasien-pasien lupus dengan mengurangi aktivitas penyakit dan kemungkinan
mengurangi risiko penyakit jantung.

Obat-obatan yang sebaiknya dihindari penderita lupus
Tidak ada obat yang sangat tepat atau sangat tidak tepat bagi pasien SLE. Harus memperhatikan
faktor alergi terhadap obat-obatan tertentu, dan mempelajari hubungan antara masa kambuh dan
hormon estrogen atau pil KB. Pasien terutama harus berhati-hati pada obat-obatan antibiotik
sulfa(Bactrim, gantrisin, septra) sering diberikan pada orang yang mengalami gangguan infeksi
pada saluran kencing, dan dapat menambah kepekaan penderita lupus terhadap sinar matahari,
mengakibatkan rendahnya jumlah darah merah yang biasanya diikuti kambuhnya penyakit.



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS
Ny. K datang ke RS dengan keluhan nyeri pada sendi, timbulnya kemerahan pada pipi dan kulit.
Demam yang tidak hilang sudah 1 bulan, sering merasa lelah dan lemah, sariawan yang hilang
timbul, tidak nafsu makan, dan dalam 1 bulan terakhir berat badan turun mencapai 5 kg. Hasil tes
ANA ( + ) dan anti ds-DNA 350 Iu/ml, Hb 10 gr/dl, saat ini pesien diberikan obet PCT 3x500
mg. Dexametazon 2x1 tab, dan Piroksikam 3x20 mg, Vit B kompleks 3x1 tab Neorobin 3x1 tab.
a. Buatkan proses perjalanan penyakit dengan WOC beserta konsep
b. Buatlah pengkajian tambahan dengan 11 Fungsional Gordon
c. Buatlah masalah keperawatan yang mungkin timbul !
d. Buatlah 2 buah diagnosa lengkap dengan NOC, NIC yang utama pada NY.K
e. Perbedaan penyakit AIDS dan Lupus Editema Tosus.

A. Pengkajian

1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tanga.

4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.

7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di
ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.

8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.

9. Sistem sarafq
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP
lainnya.

B. PENGKAJIAN 11 FUNGSIONAL GORDON
1. Persepsi Manajemen kesehatan/persepsi kesehatan
Klien mengalami demam selama 1 bulan dan klien tidak mengetahui adanya hubungan penyakit
yang dideritanya dengan gangguan sistem imun tubuh.

2. Nutrisi-metabolik
Klien mengalami sariawan dan tidak nafsu makan sehingga menyebabkan berat badannya turun
5 kg dalam waktu 1 bulan.

3. Eliminasi
Kaji perkemihan klien. Apakah ada mengalami gangguan atau tidak?
Kaji frekuensi BAB klien dan bagaimana konsistensinya?

4. Aktivitas-latihan
Klien merasa lemah dan lelah serta klien juga mengalami nyeri pada sendinya sehingga sulit
untuk beraktivitas.

5. Istirahat- tidur
Bagaimana pola tidur kien, apakah klien mengalami kesulitan tidur?

6. Kognitif-presepsi
Apakah klien mengalami masalah dengan pengecap dan pembau?
Apakah klien mengalami masalah dengan memori, ingatan jangka pendek, ingatan jangka
panjang?
Apakah klien memiliki pengetahuan tentang perawatan diri?

7. Persepsi diri / konsep diri
Bagaimana perasaan tentang diri klien yang sering dirasakan sepanjang waktu?
Klien merasakan demam selama 1 bulan.
bagaimana penyakit ini berpengaruh terhadap hidup klien ?
bagaimana pandangan klien dengan timbulnya bintik-bintik merah pada pipi dank lien? Apakah
klien merasa terganggu dan minder?
bisakah deskripsi dari diri klien?

8. Peran dan hubungan
Bagaimana peran klien dalam keluarga dan didalam masyarakat?
Apakah klien memperoleh dukungan dari keluarga?

9. Seksual reproduksi
Apakah klien memiliki kecemasan terhadap sex?
Apakah klien memiliki masalah menstruasi?
Apakah klien menggunakan alat kontrasepsi?
Bagaimana dengan organ repoduksi klien,apakah mengalami gangguan?

10. Koping toleransi stress
Apakah penyakit yang diderita klien menyebabkan ia stress?
Apakah strategi kooping saat ini ? klien menggunakan obat atau alcohol untuk kooping stress?
Bagaimana tingkat toleransi stress klien?

11. Nilai kepercayaan
Apakah agama penting untuk klien?
Adakah kepercayaan kebudayaan yang berpengaruh dengan kesehatan dan nilai klien?
Adakah keparcayaan spiritual yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan praktek
kesehatan klien?

C. Diagnosa/NANDA, outcome/NOC, dan intervensi/NIC

DIAGNOSA 1.
Gangguan integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi.
Batasan karakteristik:
Anaroxia
Lemah
Ekspreis verbal tentang nyeri
NOC 1.
Control nyeri
Indicator:
Mengakui factor penyebab
Mengetahui nyeri
Menggunakan obat analgesic
Menjelaskan gejala nyeri
Melaporkan control nyeri yang telah dilakukan

NIC 1.
Pain management (Manajemen nyeri)

Aktivitas:
o Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, dan factor presipitasi
o Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
o Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
o Kaji budaya yang mempengaruhi respion nyeri
o Determinasi akibat nyeri terhadap kualitas hidup
o Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
o Control ruangan yang dapat mempengaruhi nyeri
o Kurangi factor presipitasi nyeri
o Pilih dan lakukan penanganan nyeri
o Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri
o Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
o Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
o Evaluasi keefektifan control nyeri
o Tingkatkan istirahat
o Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
o Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

DIAGNOSA 2.
Gangguan integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi.

Batasan karakteristik:
Gangguan lapisan kulit
Gangguan penampilan kulit
Inflasi struktur tubuh
Factor yang berhubungan:
Eksternal: Pengobatan
Internal:
o Perubahan warna kulit
o Ketidakseimbangan nutrisi
o Gangguan status metabolic
o Gangguan sensasi

NOC 1.
Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa

Indicator:
Temperature jaringan dalam batas normal
Sensasi
Pigmentasi
Tekstur
Lesi jaringan
Perfusi jaringan
Keutuhan kulit

NIC 1
Perawatan kulit

Aktivitas:
o Mengobservasi warna, panas, pembengkakan,tekstur, dan edema ekstremitas
o Menginspeksi kulit dan membrane mukosa apakah kemerahan atau panas tinggi
o Memonitoring area kulit yang kemerahan dan mengalami gangguan
o Memonitor kulit dan membrane mukosa terhadap perubahan warna dan memar
o Monitor warna kulit
o Monitor suhu kulit


PERBEDAAN SLE DAN HIV/AIDS

HIV/AIDS SLE
1. Difisiensi imun 1. Autoimun/hiper-respon

2. Menular 2. Tidak menular

3. Etiologi: virus
Etiologi: tidak diketahui secara spesifik, namun beberapa faktor kemungkinan diantaranya
karena genetik, obat-obatan

4. Pria dan wanita memiliki mempunyai kemungkinan yang sama untuk terkena penyakit ini ( 1 :
1 ) 4. Dominan pada wanita (pria : wanita = 1 : 5 )

5. Manifestasi klinis: lebih mengarah kepada infeksi pada tubuh karena kurangnya sistem imun
(tidak ada ruam pada kulit dan tidak sensitif pada sinar matahari)

5. Manifestasi klinis yang khas: sensitif pada sinar matahari (fotosensitif) dan kemerahan pada
batang hidung dan tulang pipi, dikenal dengan nama butterfly rash karena menyerupai kupu-
kupu.

6. Sel darah putih yang diserang: sel T supresor yang berfungsi dalam menghambat replikasi
virus. 6. Sel darah putih yang diserang adalah sel T helper yang berfungsi dalam mengendalikan
benda asing seperti virus dan bakteri.



WOC
Genetic hormonal Lingkungan Obat-obatan

Terganggunya regulasi sitem imun

Fungsi sel T-supresor yang abnormal

Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan

Autoantibody yang berlebihan

SLE

Renal musculoskeletal s.vaskuler kardiak paru

Glomerulonefritis pembgk. Sendi lesi, eritema, perikarditis efusi
MK:Nyeri purpura pleura
Diposkan oleh fitriana herman di 22.53
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Reaksi:
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Link ke posting ini
Buat sebuah Link
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Welcome in my blog...
I hope this blog you can recover about what you want know...

this blog must shortage... I hope you can give comment for improvement it. thank you for visit to
my blog...
came back yaaa....
Entri Populer
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT
(BPH)
Perkembangan Psikoseksual Menurut Freud dan Erikson
komunikasi pada bayi, balita dan anak
askep tonsilitis-amandel
pemeriksaan fisik secara umum
ASKEP Diare
apa yang harus kita lakuin kalau pacar bohong?
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GONORHEA
Askep SLE (Sistemic lupus erythematosus)-MELATIKALIMANTAN
Tarakan, Kalimantan Timur
Mengenai Saya

fitriana herman
mahasiswi ilmu keperawatan, fakultas kedokteran di Universitas Andalas Padang...
Lihat profil lengkapku
waktu
daftar pengunjung


followers
arsip milikku>> silahkan di baca
2011 (38)
o 07/03 - 07/10 (18)
askep tonsilitis-amandel
pemeriksaan fisik secara umum
prespektif keperawatan ank
komunikasi pada bayi, balita dan anak
Mortalitas dan Mobbiditas pada Masa Bayi
Perkembangan Psikoseksual Menurut Freud dan Erikso...
askep asfiksia-melatikalimantan
Askep SLE (Sistemic lupus erythematosus)-MELATIKAL...
keperawatan perioperatif
perawatan kolostomi
askep mastektomi dan 11 fungsional gordonnya- mela...
askep amputasi-melatikalimantan
askep amputasi-melatikalimantan
askep amputasi-melatikalimantan
askep cedera kepala
askep penyakit HIV- Melatikalimantan
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BENIGNA
HIPERTROP...
defenisi anemia dan penyebab serta penanganannya
o 07/10 - 07/17 (2)
o 07/17 - 07/24 (3)
o 08/14 - 08/21 (2)
o 08/21 - 08/28 (1)
o 09/18 - 09/25 (3)
o 09/25 - 10/02 (4)
o 10/02 - 10/09 (1)
o 10/23 - 10/30 (1)
o 12/04 - 12/11 (3)
2012 (2)
Diberdayakan oleh Blogger.








CiciLia BanGeuD


Myspace Fun Flash Comments
Kamis, 19 Mei 2011
ASUHAN KEPERAWATAN SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
Download ASKEP DISINI atau klik download link:
http://www.ziddu.com/download/16469146/askepSLE.docx.html

Download WOC SLE DISINI atau klik download link:
http://www.ziddu.com/download/16469147/WOC.docx.html




BAB I
PENDAHULUAN
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus
Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400 orang per
100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti
bangsa Afrika Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-
kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006).
Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa
Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini
ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE
mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per
100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus
per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels,
2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan
Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo
Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan
keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain.

Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh
manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi
yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE
dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh
karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit
SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita
maupun keluarganya.


BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Definisi
SLE (Systemic Lupus Erythematosus) merupakan penyakit radang atau inflamasi
multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun
dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).

2.2 Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE
juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini
dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002).
Prevalensi SLE berbeda beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai
prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000
populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New
Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000
populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

2.3 Etiologi
a. Genetik
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative)
yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak
gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s,
C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar,
2003) .

b. Lingkungan
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah
tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat
tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing
oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang
benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

c. Makanan
Seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat
mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente,
2002).

d. Infeksi virus dan bakteri
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

2.4 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus
erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
a. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,
lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit
secara menetap (Hahn, 2005).

b. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem
imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-
sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

c. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).
Definitely Possible Unlikely
Hidralazin
Prokainamid
Isoniazid
Klorpromazin
Metildopa
Antikonvulsan Propitiourasil
Fenitoin Metimazol
Karbamazepin Penisilinamin
Asam valproat Sulfasalazin
Etosuksimid Sulfonamid
Griseofulvin
Penisilin
Garam emas
-bloker Nitrofurantoin
Propranolol Levodopa
Metoprolol Litium
Labetalol Simetidin
Acebutolol Takrolimus
Kaptropil
Lisinopril
Enalapril
Kontrasepsi oral
Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah

2.5 Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B
disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-
bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam
yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau
berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs
menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk
autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan
bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi
mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B
untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang
diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated
immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan
ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).

Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan
fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi
menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-
antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun
(Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel
B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan
menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B
terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi
terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998).
Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal
yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B
yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-
CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas
autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan
komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ
secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-
anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang
terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan.
Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan
aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan
berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui
mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan
pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa
(Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga
fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcRIIA dan
FcRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4.
Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun
dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ
sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang.
Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel
keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel
limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat
mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma.
Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis
berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan
komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran
seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor V3, CD36, CD14, lektin,
dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE
yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan
reseptor FcR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang
dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan
oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

WOC

infeksi Hormonal Lingkungan Obat-Obatan
(virus,bakteri) (estrogen) (sinar UV) (klorofromazin,
metildopa,
Estrogen prokainamid)

Perub struk. DNA memperlambat
asetilasi obat

akumulasi obat d tbh

Gg, regulasi sitem imun berikatan dg
protein tbh




Fungsi
sel T-supresor yang abnormal
Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan

Autoantibody
yang berlebihan

SLE







SSP penglihatan paru
kardiak

Kerusakan neuron inflamasi pemb penump cairan inflamasi sal napas lapJantung
rsk
Darah di retina

Mati rasa, lemah skleritis pengembangan paru pleuritis penyemp.
katup
Cemas, depresi
MK: Resiko
cidera efusi plura nyeri dada napas pendek
MK: Gg
kognitif MK: Gg pola napas MK: Gg rasa nyaman (nyeri)


2.6 Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru
untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas
96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau
lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
a. Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.
b. Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan
sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.



c. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari.
d. Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
e. Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau
efusi.
f. Serositis
Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya
efusi pleura.
Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi
perikard.
g. Kelainan ginjal
Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
h. Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
i. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm
3
) atau
limfopenia (kurang dari 1500/mm
3
), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm
3
) tanpa ada
obat penginduksi gejala tersebut.
j. Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid
k. Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau
pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma
lupus (Delafuente, 2002).

2.7 Data laboratorium
a. Anti ds-DNA
Batas normal : 70 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan
kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang
lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun
dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe
dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang
menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk
SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit
autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam
perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and
Pagana, 2002).

b. Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif
untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA
tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain.
Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit
tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA
diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE
karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil
tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa
pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).

c. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus
antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation
Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count
(CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana,
2002).

2.8 Manifestasi klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah,
malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala
muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang
lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).

Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa
eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat,
kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat
timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram
terjadi pada 10% 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema
periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup
jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit
jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan,
dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat
meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi:

Pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk.
Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri
abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang
sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi
usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik
dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul
adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).

Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada
sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat
mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak
memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan
trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi
dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian
gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan
dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).

Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid. Antikoagulan
ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan
penambahan plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap
kardiolipin (aCL) dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah
trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan
penyakit katup jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia,
maka dapat terjadi perdarahan.

Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya
antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi terus-
menerus (Hahn, 2005).

Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan
mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan.
Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan
terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah
penyakitnya (Delafuente, 2002).

Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau
adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut
WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu
kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV
(diffuse proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama perjalanan
penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien
dengan lupus nefritis terutama ras Afrika Amerika dapat terjadi peningkatan serum kreatinin,
penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom nefrotik yang
persisten (Delafuente, 2002).

2.9 Komplikasi
Gejala klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak
disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala
satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain. Pada tipe menahun
dimana terdapat remisi dan eksaserbasi, remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan
sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan
trauma fisik/ psikis.

Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise,
kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, iritabilitas, yang paling menonjol
adalah demam kadang-kadang disertai menggigil, kerusakan organ internal.

2.10 Penatalaksanaan Medis
a. Tes Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan:
Hematologi: ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia
kelainan imunologis: ditemukan sel LE, antibodi antinuklear, komplemen serum menurun
trioglobulin, faktor reumatoid dan uji terhadap lues yang positif (semu).

Pemeriksaan khusus
Biopsi ginjal
Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal
junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).

Evaluasi Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan
dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia sedang
hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang
positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.

b. Terapi
1. Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti ibuprofen (advil & motrin), naproxen,
naprosyn (aleve), clinoril, feldene, voltaren membantu mengurangi peradangan dan sakit pada
otot-otot, sendi-sendi, dan jaringan-jaringan lain.

2. Obat-obatan corticosteroid, seperti prednison, prednisolone, medrol, deltasone, cortison. dapat
mengurangi peradangan dan memugarkan kembali fungsi ketika penyakit aktif. Corticosteroids
terutama berguna ketika organ-organ internal terlibat. Corticosteroids dapat diberikan secara
oral, disuntikkan langsung kedalam sendi-sendi dan jaringan-jaringan lain, atau dimasukkan
melalui urat nadi (intravenously). Sayangnya, corticosteroids mempunyai efek-efek sampingan
yang serius jika diberikan dalam dosis tinggi untuk periode-periode waktu yang panjang,
termasuk penambahan berat badan, penipisan dari tulang-tulang dan kulit, infeksi, diabetes,
muka yang bengkak, katarak, dan kematian (necrosis) dari sendi-sendi besar.

3. Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk persendian yang sakit, luka kulit dan borok di
dalam hidung atau mulut, dan gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti
malaria yang sering diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine). Efek-efek sampingannya
meliputi diare, gangguan perut, dan perubahan-perubahan pigmen mata. Perubahan-perubahan
pigmen mata adalah jarang, namun memerlukan pengawasan (monitoring), dan mengurangi
secara signifikan frekuensi dari gumpalan-gumpalan darah abnormal pada pasien-pasien dengan
SLE sistemik.

4. Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk menyetop over aktifitas sistem kekebalan
dan juga membantu membatasi kerusakan yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ. (lupus
bukan sejenis cancer) disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat peneken imunitas digunakan untuk
merawat pasien-pasien dengan manisfestasi-manifestasi yang lebih berat dari SLE dengan
kerusakan pada organ-organ internal. Contoh-contoh dari obat-obat peneken kekebalan termasuk
methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan),
chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat-obat peneken kekebalan
dapat menekan secara serius jumlah sel darah dan meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan.
Efek-efek sampingan lainnya adalah khas untuk setiap obat. Contohnya, Rheumatrex dapat
menyebabkan keracunan hati, sedangkan Sandimmune dapat menggangu fungsi ginjal.

5. Penelitian baru-baru ini mengindikasikan keuntungan-keuntungan dari rituximab (Rituxan)
dalam merawat lupus. Rituximab adalah suatu antibodi yang diinfus melalui urat nadi yang
menekan suatu sel darah putih yang tertentu, sel B, dengan mengurangi jumlahnya didalam
sirkulasi. Sel-sel B telah ditemukan memainkan suatu peran pusat pada aktivitas lupus, dan
ketika mereka ditekan, penyakitnya cenderung menuju remisi.

6. Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada suatu makalah yang disajikan
menyarankan bahwa tambahan makanan dari minyak ikan omega-3 dalam dosis rendah dapat
membantu pasien-pasien lupus dengan mengurangi aktivitas penyakit dan kemungkinan
mengurangi risiko penyakit jantung.

Obat-obatan yang sebaiknya dihindari penderita lupus
Tidak ada obat yang sangat tepat atau sangat tidak tepat bagi pasien SLE. Harus
memperhatikan faktor alergi terhadap obat-obatan tertentu, dan mempelajari hubungan antara
masa kambuh dan hormon estrogen atau pil KB. Pasien terutama harus berhati-hati pada obat-
obatan antibiotik sulfa(Bactrim, gantrisin, septra) sering diberikan pada orang yang mengalami
gangguan infeksi pada saluran kencing, dan dapat menambah kepekaan penderita lupus terhadap
sinar matahari, mengakibatkan rendahnya jumlah darah merah yang biasanya diikuti kambuhnya
penyakit.

2.11 Asuhan keperawatan
a. Kasus
Ny. K datang ke RS dengan keluhan nyeri pada sendi, timbulnya kemerahan pada pipi dan
kulit. Demam yang tidak hilang sudah 1 bulan, sering merasa lelah dan lemah, sariawan yang
hilang timbul, tidak nafsu makan, dan dalam 1 bulan terakhir berat badan turun mencapai 5 kg.
Hasil tes ANA ( + ) dan anti ds-DNA 350 Iu/ml, Hb 10 gr/dl, saat ini pesien diberikan obet PCT
3x500 mg. Dexametazon 2x1 tab, dan Piroksikam 3x20 mg, Vit B kompleks 3x1 tab Neorobin
3x1 tab.
a. Buatkan proses perjalanan penyakit dengan WOC beserta konsep
b. Buatlah pengkajian tambahan dengan 11 Fungsional Gordon
c. Buatlah masalah keperawatan yang mungkin timbul !
d. Buatlah 2 buah diagnosa lengkap dengan NOC, NIC yang utama pada NY.K
e. Perbedaan penyakit AIDS dan Lupus Editema Tosus.

b. Pengkajian pola fungsional Gordon
1) Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan
Klien baru pergi ke RS setelah demam yang dirasakannya tidak hilang sudah semenjak 1
bulan yang lalu. hal ini bisa terjadi karena klien tdak mengetahui tentang penyakitnya sehingga
klien merasa kalau dia hanya demam biasa dan tidak perlu berobat ke RS.

2) Pola nutrisi metabolic
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya samapi beberapa kg, penyakit ini
diseratai adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan penderita nafsu makannya
menurun.
Pada kasus pasien mengeluh sariawan yang hilang timbul, tidak nafsu makan, dan dalam
1 bulan terakhir berat badan turun mencapai 5 kg

3) Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial, namun secara
klinis penderita ini juga mengalami diare.

4) Pola aktivas latihan
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan sering mengalami nyeri
pada persendian nya.
Pada kasus, klien datang ke RS dengan keluhan nyeri pada sendi, sering merasa lelah dan
lemah sehingga aktivitas klien mengalami gangguan.

5) Pola istirahat tidur
Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri yang dirasakannya.

6) Pola kognitif persepsi
Pada penderita SLE, Daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari jari
tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik. Pada sistem neurologis, penderita
bisa mengalami depresi, psychosis, neuropathies.

7) Pola persepsi diri dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas seperti luka
dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan
adanya lesi kulit yang ada.
Pada kasus, penderita bisa merasa malu karena timbulnya kemerahan pada pipi dan
kulitnya.

8) Pola peran hubugan
Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan atau kegiatan yang biasa dilakukan selama
sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama sakit pasien tidak dapat melakukan perannya
sehari-hari dengan baik.

9) Pola reproduksi dan seksualitas
Biasanya penderita LES tidak mengalami gangguan dalam pola seksual reproduksi.

10) Pola koping dan toleransi stress
Biasanya klien merasa depresi dengan penyakitnya dan juga stress karena nyeri yang
dihadapi. Untuk menghadapi semua ini klien perlu selalu diberi dukungan oleh keluarga dan
tetangganya sehingga klien semangat untuk sembuh.
Klien juga diberi obat-obatan seperti Dexametazon yang berfungsi untuk mengobati
pegal linu, peradangan sendi dan juga memperbaiki imunitas. Klien juga diberi obat Piroksikam
untuk obat anti inflamasi yang dapat mengatasi nyeri karena peradangan.

11) Pola nilai dan kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan
dan nyeri sendi.

c. Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan :
1) Gangguan integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi.
2) Nyeri berhubungan dengan inflamasi

Ganggguan rasa nyaman nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi
Defenisi: ketidaknyamanan pengalaman sensoris dan emosional terhadap gangguan jaringan
actual dan potensial.
Batasan karakteristik:
Anaroxia
Lemah
Ekspreis verbal tentang nyeri

NOC
Control nyeri p. 326
Defenisi: perilaku individu dalam mengontrol nyeri.
Indicator:
Mengakui factor penyebab
Mengetahui nyeri
Menggunakan obat analgesic
Menjelaskan gejala nyeri
Melaporkan control nyeri yang telah dilakukan


NIC
Pain management (Manajemen nyeri) p. 412
Aktivitas:
o Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, dan factor presipitasi
o Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
o Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
o Kaji budaya yang mempengaruhi respion nyeri
o Determinasi akibat nyeri terhadap kualitas hidup
o Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
o Control ruangan yang dapat mempengaruhi nyeri
o Kurangi factor presipitasi nyeri
o Pilih dan lakukan penanganan nyeri
o Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri
o Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
o Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
o Evaluasi keefektifan control nyeri
o Tingkatkan istirahat
o Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
o Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

NANDA
Gangguan integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi.
Defenisi: perubahn epidermis dan dermis
Batasan karakteristik:
Gangguan lapisan kulit
Gangguan penampilan kulit
Inflasi struktur tubuh

Factor yang berhubungan:
Eksternal:
o Pengobatan
Internal
o Perubahan warna kulit
o Ketidakseimbangan nutrisi
o Gangguan status metabolic
o Gangguan sensasi

NOC
Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa p. 427
Defenisi : keutuhan struktur dan fungsi fisiologis normal kulit dan membrane mukosa.
Indicator:
Temperature jaringan dalam batas normal
Sensasi
Pigmentasi
Tekstur
Lesi jaringan
Perfusi jaringan
Keutuhan kulit

NIC
Perawatan kulit p. 512
Defenisi: mengumpulkan dan menganalisis data pasien dalam memelihara integritas kulit dan
membrane mukosa.
Aktivitas:
o Mengobservasi warna, panas, pembengkakan,tekstur, dan edema ekstremitas
o Menginspeksi kulit dan membrane mukosa apakah kemerahan atau panas tinggi
o Memonitoring area kulit yang kemerahan dan mengalami gangguan
o Memonitor kulit dan membrane mukosa terhadap perubahan warna dan memar
o Monitor warna kulit
o Monitor suhu kulit


2.12 Perbedaan Penyakit HIV/AIDS dengan SLE

FAKTOR PEMBEDA HIV/AIDS SLE
Sel yang diserang sel T helper (CD4) Sel T supresor (CD8)
Etiologi Karena virus HIV Tidak disebabkan oleh virus
(autoimun)
Manifestasi klinis Sesak napas, batuk, nyeri
dada, demam, mual, diare
kronis, kandidiasis oral,
enselophati
Letih, lemah, arthritis,
pleuritis, perikarditis, anemia,
trombositopenia, leucopenia
Sifat Dapat menular Tidak menular
Gejala khas Tidak ada sarcoma Adanya sarcoma (rush) atau
kemerahan pada pipi dan
tulang hidung
Prevelansi Dapat terjadi pada siapa saja Dominan pada wanita










BAB III
PENUTUP

Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan
sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok
penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai
banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari
beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai
mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).

Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu
sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh
yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak
sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia
berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).














DAFTAR PUSTAKA
Closkey ,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(1996). Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis
:Mosby Year-Book.
Johnson,Marion, dkk. (2000). Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis :Mosby Year-Book
Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 10.Jakarta:EGC
Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta.
EGC
Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah : Brunner
Suddarth, Vol. 2. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Wiley dan Blacwell. (2009). Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2009-2011,
NANDA.Singapura:Markono print Media Pte Ltd

/
Diposkan oleh Cicilia UzuMaki BanGeuD di 13.32
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Label: ASUHAN KEPERAWATAN, KEPERAWATAN DEWASA 2
Reaksi:
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Tulis Komentnya Disini yaxc!!!!
Link ke posting ini
Buat sebuah Link
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Search Here!!!

welcome


Get Your Own Hi5 Scroller Here
Seuntai Kisah

Cicilia UzuMaki BanGeuD
aQu adalah Sperti Apa yG orG laeN LiHat!!!!!!
Lihat profil lengkapku
Where am i?????
Cicilia UZoemacki Bangerd

Buat Lencana Anda
By TwitterButtons.com
FoLLoWww My BloG...
All about....

Pimp-My-Profile.com - Build a Slideshow
BanGeuD's Time

Virtual Pet Cat for Myspace

cReate yOuR Own Message AnimatiOn

Sosok Yg Kan Slalu dirinDukan

Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat
dan aku penyambung lidah rakyat. [Menggali api Pancasila, hlm. 11] Seringkali aku merasakan
badanku seperti akan lemas, nafasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu
dengan rakyat jelata yang melahirkanku. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 13 ]
Jendela UzuMaKi's BanGeud...





GO...GO...GO...TIMNAS!!


Bambang Pamungkas (official website)
Jakmania 4Ever

SupErB2sTBanG20

2day : Greyson Chance- Waiting Outside The Lines



Gratisan Musik
My Visitors

Daftar Tamu
Label
2PM (1)
ASUHAN KEPERAWATAN (73)
B1A4 (5)
B2ST/BEAST (39)
BIGBANG (23)
C.N BLUE (7)
CERITA LUCU (6)
DAVID ARCHULETA (17)
DISASTER NURSING (8)
DOWNLOAD IMAGES (4)
DOWNLOAD MP3 (38)
EMINEM (4)
FAKTA UNIK DAN AMAZING (4)
GARUDA DI DADAKU (11)
GREEN DAY (7)
HEALTHY (3)
ILMU DASAR KEPERAWATAN 5 (9)
ILMU DASAR KEPERAWATAN 6 (15)
ILMU DASAR KEPERAWATAN 7 (5)
IMAGES : BIGBANG (2)
IMAGES : SUPER JUNIOR (22)
JASON MIRAZ (1)
JESSE MCCARTNEY (3)
KEPERAWATAN ANAK (10)
KEPERAWATAN DEWASA 1 (18)
KEPERAWATAN DEWASA 2 (15)
KEPERAWATAN DEWASA 3 (20)
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT (23)
KEPERAWATAN JIWA (16)
KETERAMPILAN DASAR DALAM KEPERAWATAN (10)
KISAH ABU NAWAS (34)
KISAH HIKMAH (16)
KOLEKSI KOMIK: CANDY-CANDY (3)
KOLEKSI KOMIK: DEATH NOTE (1)
LIRIK (49)
MAHER ZAIN (6)
MANAJEMEN KEPERAWATAN (2)
MY CHEMICAL ROMANCE (15)
NANDA NOC NIC (33)
NARUTO (3)
NURSING CARE PATIENT WITH NAPZA HIV/AIDS (2)
NURSING INFORMATIK (2)
ONE REPUBLICK (1)
OST GOD OF STUDY (2)
OST YOU'RE BEAUTIFUL (7)
PATIENT SAFETY (3)
PENDIDIKAN KESEHATAN (8)
SAINS (2)
SEAMO (1)
SEHAT-SAKIT (1)
SEJARAH HIDUP NABI MUHAMMAD SAW ( Muhammad Husain Haekal) (14)
SUPER JUNIOR (16)
Ada kesalahan di dalam gadget ini
ThaNkZ...
[Tutup]
WasSaLam...
Hope U enJoy My BloG



Template Awesome Inc.. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai