KELOMPOK 4
PEMBIMBING :
Ns. Nunik Setyowardhani, M.Kep
Disusun Oleh :
Menurut Constantinides dalam Aspiani (2014), menua (menjadi tua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Menurut UU No. 13 tahun
1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun (Nugroho, 2009).
Data WHO menunjukan pada tahun 2000 usia harapan hidup orang didunia adalah 66
tahun, pada tahun 2012 naik menjadi 70 tahun dan pada tahun 2013 menjadi 71 tahun.
Jumlah proporsi lansia di Indonesia juga bertambah setiap tahunnya. Data WHO pada
tahun 2009 menunjukanlansia berjumlah 7,49% dari total populasi, tahun 2011 menjadi
7,69% dan pada tahun 2013 didapatkan proporsi lansia sebesar 8,1% dari total populasi
(WHO, 2015). Data World Population Prospect the 2015 Revision , pada tahun 2015 ada
901 juta orang berusia 60 tahun atau lebih yang terdiri atas 1 persen dari jumlah populasi
global.
Asia menempati urutan pertama dengan populasi lansia terbesar, dimana pada tahun
2015 berjumlah 508 juta populasi lansia, menyumbang 56% dari total populasi lansia
didunia. Sejak tahun 2000 presentasi penduduk Indonesia melebihi 7% (Kemenkes RI,
2014). Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (2014), populasi lansia mencapai 20,24
juta jiwa, setara dengan 8,03% dari seluruh penduduk Indonesia semakin tinggi dari
tahun ke tahun.
Menurut Katona dalam Dede Nasrullah (2014) Demensia adalah penurunan menyeluruh
dari fungsi mental luhur yang bersifat progesif dan irevesibel dengan kesadaran yang
baik.Demensia merupakan suatu gangguan fungsi daya ingat (kognitif) yang terjadi
perlahan – lahan, dan dapat mengganggu kinerja dan aktivitas kehidupan sehari – hari
orang yang terkena. Gangguan kognitif (proses berpikir) tersebut adalah gangguan
mengingat jangka pendek dan mempelajari hal – hal baru, gangguan kelancaran
berbicara (sulit menyebutkan nama benda dan mencari kata – kata untuk diucapkan),
keliru mengenai tempat - waktu – orang atau benda, sulit hitung menghitung, tidak
mampu lagi membuat rencana, mengatur kegiatan, mengambil keputusan, dan lain –lain.
Angka kejadian demensia di Asia Pasifik sekitar 4,3 juta pada tahun 2005 yang akan
meningkat menjadi 19,7 juta per tahun pada 2050. Jumlah penyandang demensia di
Indonesia hampir satu juta orang pada tahun 2011 (Gitahafas, 2011).Krisis paruh baya
dapat meningkatkan risiko seorang perempuan mengidap penyakit alzheimer.Dalam
sebuah studi, para peneliti Swedia memantau kemajuan 1.415 perempuan antara 1968
dan 2000. Survei pada 1968, 1974, dan 1980 digelar guna mengetahui tingkat stres
psikologis yg dialami perempuan berusia antara 38 dan 60 saat studi dimulai. Dari
penelitian tersebut didapatkan hasil perempuan yg dilaporkan mengalami gejala stres
dan kecemasan berulang pada usia paruh baya berpotensi dua kali lipat lebih berisiko
mengidap demensia (Johansson et al. 2013).
Menurut Sri Hartati, Costrie Ganes Widayantidalam penelitian yang berjudul Clock
Drawing: Asesmen Untuk Demensiapada tahun 2010 di mengatakan bahwa saat ini
penduduk yang berusia lanjut (> 60 tahun) di Indonesia terus meningkat jumlahnya
bahkan pada tahun 2005-2010 diperkirakan akan mencapai sekitar 8,5% dari jumlah
seluruh penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Kondisi ini merupakan suatu tantangan untuk
mempertahankan kesehatan dan kemandirian para lanjut usia agar tidak menjadi beban
bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat. Dari jumlah itu, sekitar 15% diantaranya
mengalami demensia atau pikun, di samping penyakit degeneratif lainnya seperti
penyakit kanker, jantung, reumatik, osteoporosis, katarak (Prodia, 2007). Kira-kira 5%
usia lanjut 65 - 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun
mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus demensia
0.5 -
1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 - 15% atau sekitar 3 -
4 juta orang. Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju
Amerika dan Eropa sekitar 50 - 70%.Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15 -
20% sisanya 15 - 35% disebabkan demensia lainnya.
Keadaandemensia pada usia lanjut terjadi tidak secara tiba-tiba, tetapi secara
berangsur- angsur melalui sebuah rangkaian kesatuan dimulai dari “Senescence”
berkembang menjadi ”senility” yang disebut sebagai kondisi “pre-demensia”
dan selanjutnya baru menjadi “dementia”. Pengenalan demensia masa kini
dipusatkan pada pengenalan dini melalui rangkaian kesatuan tersebut yaitu mulai
dari kondisi “senescence” yang dikenal sebagai “benign senescent forgetfulness
(BSF)”, dan “age-associated memory impairment (AAMI)”, – berlanjut menjadi
kondisi “Senility” yang antara lain dikenal sebagai “cognitively impaired not
demented (CIND)”, dan “mild cognitive impairment ( MCI)”. Akhirnya barulah
disusul fase “dementia” (Kuntjoro, 2007).
Enam puluh persen demensia adalah irreversibel (tidak dapat pulih ke kondisi semula),
25% dapat dikontrol, dan 15% reversibel (dapat pulih kembali).Penyakit penyebab
demensia yang dapat diobati harus dapat diidentifikasi dan dikelola sebaik-
baiknya.Prevalensi demensia pada populasi lanjut usia (> 65 tahun) berkisar 3-
30%.Demensia tipe Alzheimer dilaporkan bertumbuh 2 kali lipat setiap pertambahan
usia 5tahun, yaitu bila prevalensi demensia pada usia 65 tahun 3% maka menjadi 6%
padausia 70 tahun, 12% pada 75 tahun dan 24% pada usia 80 tahun. Di Indonesia pada
tahun 2006 diperkirakan ada 1 juta orang dengan demensia untuk jumlah lanjut usia 20
juta orang. Demensia vaskular merupakan sindrom yang berhubungan dengan
mekanisme vaskular yang berbeda.Baru-baru ini, lesi vaskular diduga telah memainkan
peran dalam penyakit Alzheimer.
A. Konsep Lansia
1. Pengertian Lansia
Lansia menurut WHO (2016), adalah pria dan wanita yang telah mencapai usia 60-74
tahun. Menurut Keliat (1999 dalam Maryam dkk, 2010) usia lanjut merupakan
tahapan akhir dari perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut
Fatimah (2010), lansia merupakan proses penuaan dengan bertambahnya usia individu
yang ditandai dengan penurunan fungsi organ tubuh seperti otak, jantung, hati dan
ginjal serta peningkatan kehilangan jaringan aktif tubuh berupa otot-otot tubuh.
Secara biologis penduduk lansia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan
secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu
semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian.
Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta
sistem organ (Nugroho, 2008). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa lansia
merupakan individu yang beusia diatas 60 tahun, dan telah memasuki tahap akhir
proses perkembangan, sehingga mulai mengalami perubahan dalam struktur dan
fungsi sel, jaringan, serta penurunan fungsi sistem organ sehingga rentan terhadap
penyakit yang dapat menyebabkan kematian.
a. Teori Biologis
Terjadinya perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan
kematian. Termasuk perubahan molekuler dan seluler dalamsistem organ
utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan
penyakit. Adany beberapa teori yang mendukung teori Biologis yaitu :
1) Genetika
Terdiri dari teori DNA, teori ketepatan dan kesalahan mutasi somatik, dan
teori glikogen proses replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur
karena adanya informasi tidak sesuai yang diberikan dari inti
sel.
2) Wear-And-Tear
Akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis
penyakit.
4) Neuroendokrin
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara universal akibat
penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses,
dan bereaksi terhadap perintah.
b. Teori Psikososiologis
1) Kepribadian
Aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan
Menurut Sudoyo (2007), suatu teori mengenai penuaan dapat dikatakan valid apabila ia
dapat memenuhi tiga kriteria umum berikut : teori yang dikemukakan tersebut harus
terjadi secara umum, proses yang dimaksud pada teori itu harus terjadi secara progresif
seiring dengan berjalannya waktu dan proses yang terjadi harus menghasilkan
perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu
organ atau sistem tubuh tertentu.
3. Proses menua
Menurut Constantinides dalam Aspiani (2014), menua (menjadi tua) adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/ mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Menua bukanlah suatu
penyakit tetapi merupakan daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun luar tubuh. Proses menua sudah berlangsung sejak seseorang mencapai
usia dewasa (Aspiani, 2014).
Proses penuaan dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor genetik, yang melibatkan
perbaikan DNA, respons terhadap stres, dan pertahanan terhadap antioksidan. Kedua,
faktor lingkungan, yang meliputi pemasukan kalori, berbagai macam penyakit, dan
stres dari luar, misalnya radiasi atau bahan- bahan kimia. Faktor tersebut akan
mempengaruhi aktivitas metabolisme sel yang akan menyebabkan terjadinya stres
oksidasi sehigga terjadi kerusakan pada sel yang menyebabkan terjadinya proses
penuaan (Sunaryo dkk, 2016).
1) Sel
Perubahan sel tubuh pada seseorang yang memasuki usia lanjut antara lain:
Jumlah sel berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, cairan
intraseluler menurun, jumlah sel otak menurun, terganggunya perbaikan sel
dan otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%.
2) Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun
(menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun,
serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah
meningkat. Irama jantung yang tidak sesuai dan koordinasi aktivitas listrik
menjadi distritmik dan tidak terkoordinasi dengan bertaambahnya usia. Sinus
distritmia dan sinus bradikardia adalah hal yang sering terjadi dan dapat
menimbulkan rasa pusing, jatuh, palpitasi atau perubahan status mental.
3) Respirasi
Otot-otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru
menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat,
alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta
terjadi penyempitan pada bronkus. Perubahan struktural, perubahan fungsi
pulmonal dan perubahan sistem imun mengakibatkan suatu kerentanan untuk
mengalami kegagalan respirasi akibat infeksi, kanker paru, emboli pulmonal,
dan penyakit kronis seperti asma dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
4) Persarafan
Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam
merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress.
Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan
berkurangnya respon motorik dan reflek.
5) Muskuloskletal
Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk
(kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor,
tendon mengerut, dan mengalami sklerosis. Perubahan pada tulang, otot dan
sendi mengakibatkan terjadinya perubahan penampilan, kelemahan, dan
lambatnya pergerakan yang menyertai penuaan.
6) Genitourinaria
Ginjal mengecil, aliran darah keginjal menurun, penyaringan di glomerulus
menurun, fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan mengonsentrasikan
urine ikut menurun. Otot-otot melemah vesikaurinaria melemah, kapasitasnya
menurun, dan retensi urin. Prostat: hipertrofi pada 75% lansia.
7) Pendengaran
Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang-
tulang pendengaran mengalami kekakuan. Perubahan pada fungsi pendengaran
yaitu kehilangan kemampuan pendengaran secara bertahap.
8) Penglihatan
Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun, akomodasi
menurun, lapang pandang menurun dan katarak. Perubahan penglihatan dan
fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk kesukaran
melihat huruf-huruf kecil, penglihatan kabur, penyempitan lapang pandang dan
sensitivitas terhadap cahay menurun.
9) Kulit
Kulit keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut dalam hidung dan
telinga menebal. Elastisitas menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih
(uban), kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh, serta kuku kaki
tumbuh berlebihan seperti tanduk.
10) Endokrin
1) Perubahan peran
Perubahan peran meliputi: post power syndrome, single woman, dan
menjadi orang tua tunggal.
2) Keluarga
Merasakan kesendirian, serta kehampaan.
3) Teman
Ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan kapan akan meninggal.
4) Abuse
Kekerasan berbentuk verbal (dibentak) dan nonverbal (dicubit, tidak
diberi makan).
5) Masalah hukum
Berkaitan dengan perlindungan aset dan kekayaan pribadi yang
dikumpulkan semenjak masih muda.
6) Agama
Melaksanakan ibadah.
7) Panti jompo
Lansia merasa dibuang/diasingkan dan merasa tidak berguna lagi.
B. Konsep
Dasar
Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Menurut Friedman (2010), keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung
karena ikatan tertentu untuk saling berbagi pengalaman dan melakukan pendekatan
emosional, serta mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
2. Bentuk Keluarga
untuk meberikan tanggung jawab dan kebebasan remaja yang lebih besar dalam
mempersiapkan diri menjadi seorang dewasa muda. Tugas perkembangan
keluarga dengan anak remaja adalah menyeimbangkan kebebasan dengan
tanggung jawab seiring dengan kematangan remaja dan semakin meningkatnya
otonomi (Friedman, 2010).
kedua pasangan, berlanjut sampai salah satu kehilangan pasangan dan berakhir
dengan kematian pasangan lain. Tugas perkembangan keluarga tahap ini adalah
Menurut Friedman (2010), lima fungsi dasar keluarga diantaranya adalah fungsi
afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi dan fungsi perawatan
keluarga.
a) Fungsi Afektif
Fungsi afektif berfokus pada pemenuhan kebutuhan anggota keluarga akan kasih
sayang dan pengertian. Keluarga harus memenuhi kebutuhan kasih sayang
anggota keluarganya karena respon kasih sayang satu anggota keluarga ke
keluarga lainnya memberikan dasar penghargaan pada kehidupan keuarga
(Friedman, 2010). Fungsi afektif, fungsi ini berhubungan dengan persepsi
keluarga dan kepedulian terhadap kebutuhan sosioemosional semua anggota
keluarganya. Hal tersebut termasuk mengurangi ketegangan dan mempertahankan
moral. Adanya perceraian, kenakalan anak, atau masalah lain yang sering timbul
dalam keluarga dikarenakan fungsi afektif yang tidak terpenuhi (Friedman, 2010).
c) Fungsi Reproduksi
Salah satu fungsi dasar keluarga menurut Leslie dan Korman (1989 dalam
Friedman 2010), adalah untuk menjamin kontinuitas antar generasi keluarga dan
masyarakat yaitu menyediakan anggota baru untuk masyarakat. Keluarga
berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber
daya manusia. Dengan adanya program keluarga berencana, maka fungsi ini
sedikit terkontrol. Di sisi lain banyak kelahiran yang tidak diharapkan atau di luar
ikatan perkawinan, sehingga lahirlah keluarga baru dengan satu orang tua
(Friedman, 2010).
d) Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga akan sumber daya yang cukup
meliputi, finansial, ruang dan materi serta alokasinya yang sesuai melalui proses
pengambilan keputusan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti: makanan,
pakaian, dan perumahan, maka keluarga memerlukan sumber keuangan. Fungsi
ini sulit dipenuhi oleh keluarga yang berada di bawah garis kemiakinan, perawat
bertanggung-jawab untuk mencari sumber-sumber di masyarakat yang dapat
digunakan oleh keluarga dalam meningkatkan status kesehatan (Friedman, 2010).
keluarga
a. Sebagai pendidik
Perawat bertanggung jawab memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga,
terutama untuk memandirikan keluarga dalam merawat anggota
f. Sebagi fasilitator
Perawat dapat menjadi tempat bertanya individu, keluarga dan masyarakat
untuk memecahkan masalah kesehatan di keperawatan yang mereka hadapi
sehari-hari serta dapat membantu memberikan jalan keluar
g. Sebagai peneliti
Perawat keluarga melatih keluarga untuk dapat memahami masalah- masalah
kesehatan yang dialami oleh anggota keluarga. Masalah kesehatan yang muncul
didalam keluarga biasanya terjadi menurut siklus atau budaya yang di praktikan
keluarga. Peran sebagai peneliti difokuskan kepada kemampuan keluarga untuk
mengidentifikasi penyebab, menanggulangi, dan melakukan promosi kepada
anggota keluarganya. Selain itu, perawat perlu mengembangkan asuhan
keperawatan keluarga terhadap binaanya.
C. Konsep Demensia
1. DEFINISI
Demensia adalah penurunan menyeluruh dari fungsi mental luhur yang bersifat
progresif dan ireversibel dengan kesadaran yang baik. (Katona, 2012). Demensia
adalah gangguan fungsi intelektual tanpa gangguan fungsi vegetatif atau keadaan
yang terjadi. Memori, pengetahuan umum, pikiran abstrak, penilaian, dan interpretasi
atas komunikasi tertulis dan lisan dapat terganggu.
2.1 KLASIFIKASI
Klasifikasi demensia antara lain :
e) Kehilangan inisiatif.
2) Demensia Vascular
Demensia tipe vascular disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di otak dan
setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat terjadinya demensia.
Depresi bisa disebabkan karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi
darah otak, sehingga depresi dapat diduga sebagai demensia vascular.
1. Gejalanya
Biasanya sesudah umur 60 tahun baru muncul gejala-gejala yang jelas untuk
membuat diagnosa demensia senilis. Penyakit jamaah atau gangguan emosi
yang hebat dapat mempercepat mundurnya mental.
(1) Gangguan ingatan jangka pendek, lupa tentang hal-hal yang terjadi,
merupakan gejala dini, juga kekurangan ide-ide dan pemikiran abstrak.
Yang menjadi egosentrik dan egoistic, mudah tersinggung dan marah-
marah. Kadang-kadang , timbul aktivitas visual yang berlebihan atau
yang tidak pantas, sesuatu tanda berkurang atau usaha untuk
kompensasi psikologis.
(2) Penderita menjadi acuh tak acuh terhadap pakaian dan rupanya. Ia
menyimpan barang-barang yang tidak berguna mungkin ia tidak
paham bahwa ia akan dirampok, akan dirasuki atau ia miskin atau
tidak disukai orang.
(3) Orientasi terganggu dan ia mungkin pergi dari rumah dan tidak
mengetahui jalan pulang. Penilaiannya berkurang sehingga dapat
menyukarkan dan membahayakan lalu lintas dijalan.
(4) Ia mungkin jadi korban penjahat karena ia mudak di ajak dalam hal
penipuan.
(5) Banyak menjadi gelisah di waktu malam, mereka berjalan-jalan
bertujuan dan menjadi destruktif. Mungkin timbul delirium di malam
hari, ini karena penglihatan yang terbatas di waktu gelap dan penderita
denga demensia senilis ditaruh dalam kamar yang gelap, maka timbul
disorientasi.
(6) Ingatan jangka pendek makin lama makin keras terganggu semakin
lama semakin banyak ia lupa, sehingga penderita hidup di alam
pikiran sewaktu ia masih muda atau masih kecil.
(7) Gejala jasmani : kulit menjadi tipis, keriput, dan atrofis, BB
mengurang, artofi pada otot-otot, jalannya menjadi tidak stabil , suara
kasar dan bicara menjadi pelan serta tremor pada tangan dan kepala.
(8) Gejala psikologis : sering hanya terdapat tanda kemunduran mental
umum (demensia simplek). Tetapi tidak jarang juga terjadi
kebingungan dan delirium, atau depresi atau serta agitasi. Ada yang
menjadi paranoid. Pada pesbiofenia terutama dapat gangguan ingatan
serta konvabulasi dan dapat dianggap sebagai salah satu jenis
demensia senilis dan beberapa gejala menonjol dan sedikit lebih cepat.
2. Prognosa
Tidak baik, jalannya progresif, demensia makin lama makin berat sehingga
akhirnya penderita hidup secara vegetatif saja, walaupun demikian penderita
dapat hidup selama 10 tahun atau lebih setelah gejala-gejala menjadi nyata.
1) Demensia Alzheimer
Demensia Alzheimer ini biasanya muncul antara usia 50-60 tahun yang
disebabkan oleh karena adanya degenerasi korteks yang difus pada otak
dilapisan luar, terutama dibagian frontal dan temporal. Atrofi otak ini dapat
pada pneumoensefalogram, sistem ventrikel membesar serta banyak hawa di
ruang subarachnoid. Penyakit ini dimulai pelan sekali, tidak ada ciri yang
khas pada gangguan intelegansi atau kelainan perilaku. Terdapat disorientasi,
gangguan ingatan, emosi yang lebih, kekeliruan dalam berhitung dan
pembicaraan sehari-haridapat terjadi afasi, persevasi (mengulang- ngulang
perkataan, perbuatan tanpa guna), seepintas lalu timbul aproksia. Biasanya
penyakit ini berlangsung selama 5 – 10 tahun.
2) Penyakit Pick
Secara psikologis penyakit ini adalah atrofi dan gliosis di daerah- daerah
motoric, sensorik dan daerah dan daerah proyeksi secara relative dan banyak
berubah. Yang terganggu adalah daerah korteks yang secara filogenetik lebih
mudah dan yang penting buat fungsi asosiasi yang lebih tinggi. Sebab yang
terutama terganggu adalah pembicaraan dan proses bepikir.
Halusinasi Haptic
Meremas-remas
tangan
2.2 ETIOLOGI
Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3
golongan besar :
c. Khorea Huntington
c. Gangguan nutrisi
3. Korea Huntington
4. Penyakit Parkinson
5. Sklerosis multiple
Gangguan sistemik
Gangguan terkait dengan virus imunodefisiensi human ( HIV ) {seperti SIDA dan
Kelompok penyakit terkait dengan SIDA [AIDS – related kompleks (
ARCI ) ] }
1. Degenerasi hepatolentikular*
2. Demensia hidrosefalik*
3. Sarkoidosis*
2.3 PATOLOGI
Para ahli memisahkan demensia yang terjadi sebelum usia 65 tahun ( demensia
prasenilis) dan yang terjadi setelah usia 65 tahun ke atas (demensia senilis).
Perbedaan dari asumsi penyebab berbeda, degenerasi neuronal yang jarang pada orang
muda dan penyakit vaskuler atau keadaan usia lanjut usia pada orang tua. Meskipun
ekspresi penyakit dapat berbeda pada usia yang berbeda, kelainan utama pada pasien
demensia dari semua usia adalah sama dan perbedaan berdasarkan kenyataan.
Sebagian besar penyakit yang menyebabkan demensia adalah degenerasi neuronal yang
luas atau gangguan multifokal. Gejala awal tergantung dimana proses demensia mulai
terjadi, tetapi lokasi dan jumlah neuron yang hilang yang diperlukan untuk menimbulkan
demensia sulit ditetapkan. Bertambahnya usia mengakibatkan hilangnya neuron dan
masa otak secara bertahap, tetapi hal ini tidak disertai penurunan yang signifikan tanpa
adanya penyakit. Sesungguhnya, massa otak adalah petunjuk yang buruk untuk fungsi
intelektual. Pasien dengan demensia degenratif pada dekade ke enam mempunyai masa
otak lebih besar dari pada pasien normal secara intelektual pada dekade delapan.
Akibatnya dokumentasi atrofi yang menyeluruh dengan pemindaian CT bukan indikasi
demensia yang jelas.
Demensia yang terjadi akibat penyakit kortikal (misalnya penyakit Alzheimer atau dari
penyakit struktur subkortikal) seperti basal ganglia, thalamus dan dan substansi alaba
bagian dalam (misalnya penyakit Hungtington atau multiple sklerosis). Demensia
kortikal ditandai dengan hilangnya fungsi kognitif seperti bahasa, persepsi, dan kalkulasi,
sebaliknya demensia subkotikal menunjukan perlambatan kognitif dan proses informasi
(“bradiphrenia”), pendataran afek dan gangguan motivasi, suasana hati dan bangun.
Ingatan terganggu pada kedua jenis. Gambaran demensia subkortikal juga terjadi pada
subkortikal yang mengenai lobus frontalis dan mungkin menunjukan proyeksi yang rusak
dan dari dan ke lobus frontalis.
Pada penyakit Alzheimer, yang merupakan penyebab demensia paling sering, demensia
akibat hilangnya jaringan kortikal terutama pada lobus temporalis, parietalis dan
frontalis. Hal ini menyertai sebagian kasus dengan bertambahnya jarak antara girus dan
pembesaran ventrikel. Tanda histologik adalah adanya beberapa kekacauan
neurofibrinalis dan plak senilis. Plak dan kekacauan ditemukan dalam otak orang tua
yang normal tetapi meningkat jumlahnya pada
DEMENSIA
Perubahan kemampuan tidak mampu mengidentifikasi kehilangan kemampuan rasa bermusuhan kehilangan afasia,
difasia merawat diri bahasa dan lingkungan menyelesaikan masalah kontrol sosial, perilaku tidak tepat
deficit perawatan diri disorientasi, bingung perubahan kemampuan mengawasi rasa bermusuhan, hambatan
komunikasi
gangguan proses pikir pelupa, apatis, loss deep memory hambatan interaksi sosial
g
2.6 MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis demensia berlangsung lama dan bertahap sehingga pasien dengan keluarga
tidak menyadari secara pasti kapan timbulnya penyakit. Gejala klinik dari demensia
Nugroho (2009) menyatakan jika dilihat secara umum tanda dan gejala demensia adalah :
1. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, lupa
menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas yang awalnya mulai dari
gangguan daya ingat jangka pendek.
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan,
tahun, tempat penderita demensia berada.
3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar,
menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata
atau cerita yang sama berkali-kali.
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat
sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan
orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia
kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
5. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah.
6. Keterbatasan dalam ADL (Activities of Daily Living)
Orientasi
Registrasi
3 Nama objek : 1 detik untuk
mengatakan masing-masing.
Kemudian tanyakan klien ketiga
objek setelah anda mengatakannya.
Beri 1 poin untuk setiap jawaban
yang benar.
Kemudian ulangi sampai ia
mempelajari ketiganya.
Jumlahkan percobaan dan catat.
Meminta
Bahasa
Keterangan :
Nilai maksimal 30, nilai 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan kognitif
yang memerlukan penyelidikan lanjut. Kriteria demensia :
a. Ringan : 21 - 30
b. Sedang : 11 - 20
c. Berat : < 10
3) Pemeriksaan Diagnostik
f. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitassehari-
hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003)
Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan
demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsikognitif, minimal yang
mencakup atensi, memori, bahasa,
g. Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah
test yang paling banyak dipakai, tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan
memori ringan. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang
paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup
baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan
memantaupenurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27
dianggapab normal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan
padapenderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003).
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE palingrendah
24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah inimengidentifikasikan
resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pada penelitian
Crum R.M 1993 didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18 -24
tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang
lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22
untuk yang berpendidikan 0-4 tahun.
h. Clinical Dementia Rating
(CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan
dan ini juga merupakan suatu metode yang dapat menilai derajat demensia ke dalam
beberapa tingkatan (Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6
kategoriantara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan,
aktivitassosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang
dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi
kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5,untuk
Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensiaringan, Nilai 2,
menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu
derajat demensia yang berat. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003, Golomb, 2001).
2.8 PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
memperburuk keadaan.
3. Terapi Simptomati
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik,
meliputi :
a. Diet
b. Latihan fisik yang sesuai
c. Terapi rekreasional dan aktifitas
d. Penanganan terhadap masalah-masalah
2.9 PENCEGAHAN
1. Pencegahan Primer
Identifikasi karakteristik individu atau faktor risiko lingkungan untuk penyakit
Alzheimer dapat membantu mengarahkan intervensi preventif untuk penyakit ini.
Hasil epidemiologi yang paling konsisten berkaitan dengan penyakit Alzheimer
adalah meningkatnya prevalensi dan insidensi terkait dengan usia. Individu yang
berusia antara 75 sampai 85 tahun cenderung mengalami demensia tipe Alzheimer
daripada serangan jantung. Angka insidensi cenderung lebih tinggi pada wanita dari
pada pria di semua kelompok usia, meskipun tidak ada penjelasan biologis yang
bertanggung jawab untuk perbedaan jenis kelamin tersebut. Faktor-faktor risiko
lainnya yang memiliki hubungan dengan penyakit Alzheimer adalah agregasi
faimilial dari sindrom down, agregasi familial dari penyakit Parkinson, usia ibu yang
sudah lanjut, trauma kepala, riwayat depresi dan riwayat hipotiroidisme. Tidak ada
perbedaan geografis yang besar dalam hal insidensi maupun prevalensi.
2. pencegahan sekunder
Diagnosis dan penapisan untuk demensia.
Lansia mulai sering merasa khawatir bahwa mereka mulai mengalam tanda-tanda
demensia dan membutuhkan perawat dan professional kesehatan lainnya dengan cara
yang halus berkaitan dengan ketakutan tadi tersebut. Individu yang merasa khawatir
tentang menderita demensia hampir selalu tidak mengalami demensia yang
sebenarnya, tetapi hanya mengalami perubahan memori terkait usia, depresi atau
salah satu penyebab reversibel dari gangguan memori. Perubahan memori terkait
usia antara lai adalah semakin lupa, lenih slit mempelajari informasi baru,
menurunnya kemampuan mengaingat kembali, dan menurunnya kecepatan untuk
membuat kode dan mendapatkan kembali informasi-informasi yang ada.
Perawat harus secara teratur melakukan pengakajian kognisi, perilaku, dan status
fungsional pada lansia yang dicurigai atau dipastikan menderita demensia.
Pengakajian-pengkajian tersebut bermanfaat dalam mengikuti perjalanan penyakit
dan mencocokan intervensi terapeutik dengan tingkat kemampuan. Salah satu kunci
perawatan demensia adalah merencanakan dan mengelola aktivitas yang dapat
dilakukan seseorang untuk menghindari frutasi, penurunan harga diri, dan stres yang
berkaitan dengan respon prilaku. Jika orang tersebut tinggal di rumah pribafi,
keselamatan menjadi kekhawatiran yang lebih besar. Pengakajian keselamatannya di
rumah dapat membantu mengidentifikasi bahaya keselamatan potensial dan
intervensi-intervesi preventif dapat dilakukan.
Pencegahan tersier
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas klien
Identitas klien yang biasa dikaji pada klien dengan demensia adalah usia
karena banyak klien lansia yang mengalami demensia, dan biasanya
pada klien dengan usia di atas 70 tahun ke atas lebih berisiko tinggi
menderita demensia.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukaan pada klien dengan masalah
psikososial pada demensia adalah klien kehilangan ingatan.
6) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Keadaan umum klien lansia yang mengalami masalah
psikososial demensia biasanya lemah.
b) Kesadaran
Kesadaran klien biasanya komposmentis
c) Tanda-tanda vital:
(1) Suhu dalam batas normal (37°)
(2) Nadi normal (60-100x/menit)
(3) Tekanan darah kadang meningkat kadang turun
(4) Pernafasan biasanya normal atau meningkat.
d) Pemeriksaan Review Of System ( ROS) :
(1) Sistem pernafasan (B1 : breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih
dalam batas normal.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan proses pikir berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam mengenal masalah
2) Resiko Cidera berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga
dalam mengenal masalah
3) Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam mengenal masalah
4) Hambatan Komunikasi Verbal berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga dalam mengenal masalah
5) Hambatan Interaksi Sosial berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam mengenal masalah
DAFTAR PUSTAKA
Aspiani, Reny Yuli. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Trans
Info Media.
Nasrullah, Dede. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontilk Jilid 1. Jakarta : Trans
Info
Media.
Sudiharto. 2012. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan
Transtruktual. Jakarta : EGC
Johansson et al (2012) Cognition, Daily Living, and Health Related Quality of Life in 85
year old in Sweden. Journal of Aging, Neuropsychology and Cognition. (19), 3.
Friedman, Marilyn M. 2010. Buku Ajar : Keperawatan Keluarga Riset, Teori &
Praktik. Jakarta : EGC
Maryam, Siti, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan pada Lansia. Jakarta: Trans Info
Media