Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWAYAN KELUARGA LANSIA DENGAN DEMENSIA

KELOMPOK 4

PEMBIMBING :
Ns. Nunik Setyowardhani, M.Kep

Disusun Oleh :

Rahmat Hidayat 012041070

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS BINAWAN
JAKARTA 2021
Lattar Belakang

Menurut Constantinides dalam Aspiani (2014), menua (menjadi tua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Menurut UU No. 13 tahun
1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun (Nugroho, 2009).

Data WHO menunjukan pada tahun 2000 usia harapan hidup orang didunia adalah 66
tahun, pada tahun 2012 naik menjadi 70 tahun dan pada tahun 2013 menjadi 71 tahun.
Jumlah proporsi lansia di Indonesia juga bertambah setiap tahunnya. Data WHO pada
tahun 2009 menunjukanlansia berjumlah 7,49% dari total populasi, tahun 2011 menjadi
7,69% dan pada tahun 2013 didapatkan proporsi lansia sebesar 8,1% dari total populasi
(WHO, 2015). Data World Population Prospect the 2015 Revision , pada tahun 2015 ada
901 juta orang berusia 60 tahun atau lebih yang terdiri atas 1 persen dari jumlah populasi
global.

Asia menempati urutan pertama dengan populasi lansia terbesar, dimana pada tahun
2015 berjumlah 508 juta populasi lansia, menyumbang 56% dari total populasi lansia
didunia. Sejak tahun 2000 presentasi penduduk Indonesia melebihi 7% (Kemenkes RI,
2014). Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (2014), populasi lansia mencapai 20,24
juta jiwa, setara dengan 8,03% dari seluruh penduduk Indonesia semakin tinggi dari
tahun ke tahun.

Menurut Katona dalam Dede Nasrullah (2014) Demensia adalah penurunan menyeluruh
dari fungsi mental luhur yang bersifat progesif dan irevesibel dengan kesadaran yang
baik.Demensia merupakan suatu gangguan fungsi daya ingat (kognitif) yang terjadi
perlahan – lahan, dan dapat mengganggu kinerja dan aktivitas kehidupan sehari – hari
orang yang terkena. Gangguan kognitif (proses berpikir) tersebut adalah gangguan
mengingat jangka pendek dan mempelajari hal – hal baru, gangguan kelancaran
berbicara (sulit menyebutkan nama benda dan mencari kata – kata untuk diucapkan),
keliru mengenai tempat - waktu – orang atau benda, sulit hitung menghitung, tidak
mampu lagi membuat rencana, mengatur kegiatan, mengambil keputusan, dan lain –lain.

Angka kejadian demensia di Asia Pasifik sekitar 4,3 juta pada tahun 2005 yang akan
meningkat menjadi 19,7 juta per tahun pada 2050. Jumlah penyandang demensia di
Indonesia hampir satu juta orang pada tahun 2011 (Gitahafas, 2011).Krisis paruh baya
dapat meningkatkan risiko seorang perempuan mengidap penyakit alzheimer.Dalam
sebuah studi, para peneliti Swedia memantau kemajuan 1.415 perempuan antara 1968
dan 2000. Survei pada 1968, 1974, dan 1980 digelar guna mengetahui tingkat stres
psikologis yg dialami perempuan berusia antara 38 dan 60 saat studi dimulai. Dari
penelitian tersebut didapatkan hasil perempuan yg dilaporkan mengalami gejala stres
dan kecemasan berulang pada usia paruh baya berpotensi dua kali lipat lebih berisiko
mengidap demensia (Johansson et al. 2013).

Menurut Sri Hartati, Costrie Ganes Widayantidalam penelitian yang berjudul Clock
Drawing: Asesmen Untuk Demensiapada tahun 2010 di mengatakan bahwa saat ini
penduduk yang berusia lanjut (> 60 tahun) di Indonesia terus meningkat jumlahnya
bahkan pada tahun 2005-2010 diperkirakan akan mencapai sekitar 8,5% dari jumlah
seluruh penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Kondisi ini merupakan suatu tantangan untuk
mempertahankan kesehatan dan kemandirian para lanjut usia agar tidak menjadi beban
bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat. Dari jumlah itu, sekitar 15% diantaranya
mengalami demensia atau pikun, di samping penyakit degeneratif lainnya seperti
penyakit kanker, jantung, reumatik, osteoporosis, katarak (Prodia, 2007). Kira-kira 5%
usia lanjut 65 - 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun
mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus demensia
0.5 -

1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 - 15% atau sekitar 3 -

4 juta orang. Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju
Amerika dan Eropa sekitar 50 - 70%.Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15 -
20% sisanya 15 - 35% disebabkan demensia lainnya.

Keadaandemensia pada usia lanjut terjadi tidak secara tiba-tiba, tetapi secara
berangsur- angsur melalui sebuah rangkaian kesatuan dimulai dari “Senescence”
berkembang menjadi ”senility” yang disebut sebagai kondisi “pre-demensia”
dan selanjutnya baru menjadi “dementia”. Pengenalan demensia masa kini
dipusatkan pada pengenalan dini melalui rangkaian kesatuan tersebut yaitu mulai
dari kondisi “senescence” yang dikenal sebagai “benign senescent forgetfulness
(BSF)”, dan “age-associated memory impairment (AAMI)”, – berlanjut menjadi
kondisi “Senility” yang antara lain dikenal sebagai “cognitively impaired not
demented (CIND)”, dan “mild cognitive impairment ( MCI)”. Akhirnya barulah
disusul fase “dementia” (Kuntjoro, 2007).

Enam puluh persen demensia adalah irreversibel (tidak dapat pulih ke kondisi semula),
25% dapat dikontrol, dan 15% reversibel (dapat pulih kembali).Penyakit penyebab
demensia yang dapat diobati harus dapat diidentifikasi dan dikelola sebaik-
baiknya.Prevalensi demensia pada populasi lanjut usia (> 65 tahun) berkisar 3-
30%.Demensia tipe Alzheimer dilaporkan bertumbuh 2 kali lipat setiap pertambahan
usia 5tahun, yaitu bila prevalensi demensia pada usia 65 tahun 3% maka menjadi 6%
padausia 70 tahun, 12% pada 75 tahun dan 24% pada usia 80 tahun. Di Indonesia pada
tahun 2006 diperkirakan ada 1 juta orang dengan demensia untuk jumlah lanjut usia 20
juta orang. Demensia vaskular merupakan sindrom yang berhubungan dengan
mekanisme vaskular yang berbeda.Baru-baru ini, lesi vaskular diduga telah memainkan
peran dalam penyakit Alzheimer.
A. Konsep Lansia
1. Pengertian Lansia
Lansia menurut WHO (2016), adalah pria dan wanita yang telah mencapai usia 60-74
tahun. Menurut Keliat (1999 dalam Maryam dkk, 2010) usia lanjut merupakan
tahapan akhir dari perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut
Fatimah (2010), lansia merupakan proses penuaan dengan bertambahnya usia individu
yang ditandai dengan penurunan fungsi organ tubuh seperti otak, jantung, hati dan
ginjal serta peningkatan kehilangan jaringan aktif tubuh berupa otot-otot tubuh.

Secara biologis penduduk lansia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan
secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu
semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian.
Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta
sistem organ (Nugroho, 2008). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa lansia
merupakan individu yang beusia diatas 60 tahun, dan telah memasuki tahap akhir
proses perkembangan, sehingga mulai mengalami perubahan dalam struktur dan
fungsi sel, jaringan, serta penurunan fungsi sistem organ sehingga rentan terhadap
penyakit yang dapat menyebabkan kematian.

2. Teori-teori proses menua


Stanley (2007), menyatakan bahwa teori - teori tejadinya penuaan pada lansia
dikelompokkan kedalam dua kelompok besar, yaitu teori biologis dan psikososiologis

a. Teori Biologis
Terjadinya perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan
kematian. Termasuk perubahan molekuler dan seluler dalamsistem organ
utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan
penyakit. Adany beberapa teori yang mendukung teori Biologis yaitu :

1) Genetika
Terdiri dari teori DNA, teori ketepatan dan kesalahan mutasi somatik, dan
teori glikogen proses replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur
karena adanya informasi tidak sesuai yang diberikan dari inti

sel.
2) Wear-And-Tear
Akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis

DNA, sehingga mendorong malfungsi molekoler dan akhirnya


malfungsi organ tubuh.
3) Imunitas
Menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang berhubungan
dengan penuaan, sehingga ketika seseorang betambah tua maka pertahanan
mereka terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka
lebih rentan untuk menderita berbagai

penyakit.
4) Neuroendokrin
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara universal akibat
penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses,
dan bereaksi terhadap perintah.

b. Teori Psikososiologis
1) Kepribadian
Aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan

atau luas spesifik lansia.


2) Tugas Perkembangan
Aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi seseorang pada tahap- tahap
spesifik dalam hidupnya. Mampu melihat kehidupan seseorang

sebagai kehidupan yang dijalani sebagai integritas.


3) Disengagement
Teori ini menggambarkan tentang proses penarikan diri oleh lansia dari

peran bermasyarakat dantanggung jawabnya.


4) Aktivitas
Teori ini berbicara tentang pentingnya tetap aktif secara sosial sebagai alat
untuk penyesuaian diri yang sehat pada lansia.
5) Kontinuitas
Teori ini bericara tentang penekanan koping kepribadian pada individu
lansia.

Menurut Sudoyo (2007), suatu teori mengenai penuaan dapat dikatakan valid apabila ia
dapat memenuhi tiga kriteria umum berikut : teori yang dikemukakan tersebut harus
terjadi secara umum, proses yang dimaksud pada teori itu harus terjadi secara progresif
seiring dengan berjalannya waktu dan proses yang terjadi harus menghasilkan
perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu
organ atau sistem tubuh tertentu.

3. Proses menua
Menurut Constantinides dalam Aspiani (2014), menua (menjadi tua) adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/ mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Menua bukanlah suatu
penyakit tetapi merupakan daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun luar tubuh. Proses menua sudah berlangsung sejak seseorang mencapai
usia dewasa (Aspiani, 2014).

Proses penuaan dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor genetik, yang melibatkan
perbaikan DNA, respons terhadap stres, dan pertahanan terhadap antioksidan. Kedua,
faktor lingkungan, yang meliputi pemasukan kalori, berbagai macam penyakit, dan
stres dari luar, misalnya radiasi atau bahan- bahan kimia. Faktor tersebut akan
mempengaruhi aktivitas metabolisme sel yang akan menyebabkan terjadinya stres
oksidasi sehigga terjadi kerusakan pada sel yang menyebabkan terjadinya proses
penuaan (Sunaryo dkk, 2016).

4. Perubahan yang terjadi pada Lansia


Perubahan – perubahan yang lazim terjadi pada lansia adalah :

a. Perubahan pada kondisi fisik


Menurut Maryam, dkk (2010) dan Stanley (2007), perubahan fisik pada lansia
meliputi, yaitu :

1) Sel
Perubahan sel tubuh pada seseorang yang memasuki usia lanjut antara lain:
Jumlah sel berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, cairan
intraseluler menurun, jumlah sel otak menurun, terganggunya perbaikan sel
dan otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%.

2) Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun
(menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun,
serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah
meningkat. Irama jantung yang tidak sesuai dan koordinasi aktivitas listrik
menjadi distritmik dan tidak terkoordinasi dengan bertaambahnya usia. Sinus
distritmia dan sinus bradikardia adalah hal yang sering terjadi dan dapat
menimbulkan rasa pusing, jatuh, palpitasi atau perubahan status mental.

3) Respirasi
Otot-otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru
menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat,
alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta
terjadi penyempitan pada bronkus. Perubahan struktural, perubahan fungsi
pulmonal dan perubahan sistem imun mengakibatkan suatu kerentanan untuk
mengalami kegagalan respirasi akibat infeksi, kanker paru, emboli pulmonal,
dan penyakit kronis seperti asma dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).

4) Persarafan
Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam
merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress.
Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan
berkurangnya respon motorik dan reflek.
5) Muskuloskletal
Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk
(kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor,
tendon mengerut, dan mengalami sklerosis. Perubahan pada tulang, otot dan
sendi mengakibatkan terjadinya perubahan penampilan, kelemahan, dan
lambatnya pergerakan yang menyertai penuaan.

6) Genitourinaria
Ginjal mengecil, aliran darah keginjal menurun, penyaringan di glomerulus
menurun, fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan mengonsentrasikan
urine ikut menurun. Otot-otot melemah vesikaurinaria melemah, kapasitasnya
menurun, dan retensi urin. Prostat: hipertrofi pada 75% lansia.

7) Pendengaran
Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang-
tulang pendengaran mengalami kekakuan. Perubahan pada fungsi pendengaran
yaitu kehilangan kemampuan pendengaran secara bertahap.

8) Penglihatan
Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun, akomodasi
menurun, lapang pandang menurun dan katarak. Perubahan penglihatan dan
fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk kesukaran
melihat huruf-huruf kecil, penglihatan kabur, penyempitan lapang pandang dan
sensitivitas terhadap cahay menurun.

9) Kulit
Kulit keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut dalam hidung dan
telinga menebal. Elastisitas menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih
(uban), kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh, serta kuku kaki
tumbuh berlebihan seperti tanduk.

10) Endokrin

Produksi hormone menurun, menurunnya aktivitas tiroid, peningkatan kadar


gula darah akibat menurunnya produksi insulin oleh pangkreas, sehingga
lansia cenderung mengalami hiperglikemia.

Menurut Maryam dkk (2010), perubahan sosial pada lansia meliputi:

1) Perubahan peran
Perubahan peran meliputi: post power syndrome, single woman, dan
menjadi orang tua tunggal.
2) Keluarga
Merasakan kesendirian, serta kehampaan.

3) Teman
Ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan kapan akan meninggal.

4) Abuse
Kekerasan berbentuk verbal (dibentak) dan nonverbal (dicubit, tidak
diberi makan).

5) Masalah hukum
Berkaitan dengan perlindungan aset dan kekayaan pribadi yang
dikumpulkan semenjak masih muda.

6) Agama
Melaksanakan ibadah.

7) Panti jompo
Lansia merasa dibuang/diasingkan dan merasa tidak berguna lagi.

B. Konsep
Dasar
Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Menurut Friedman (2010), keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung
karena ikatan tertentu untuk saling berbagi pengalaman dan melakukan pendekatan
emosional, serta mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga.

2. Bentuk Keluarga

Beberapa bentuk keluarga menurut Friedman (2010) dan Sudiharto (2012),


adalah sebagai berikut :
a) Keluarga Inti adalah keluarga yang dibentuk karena ikatan perkawinan
yang direncanakan yang terdiri dari suami dan istri dengan atau tanpa
anak.
b) Keluarga Asuh merupakan suatu unit keluarga dengan anak yang terpisah
dari salah satu atau kedua orang tua kandung untuk menjamin keamanan
dan kesejahteraan fisik serta emosional mereka.
c) Keluarga Besar (Extended family) adalah keluarga dengan pasangan yang
berbagi pengaturan rumah tangga dan pengeluaran keuangan dengan
orang tua, kakak/adik, dan keluarga dekat lainnya. Anak-anak kemudian
dibesarkan oleh beberapa generasi dan memiliki pilihan model pola
perilaku yang akan membentuk pola perilaku mereka.
d) Keluarga orang tua tunggal adalah keluarga dengan ibu atau ayah sebagai
kepala keluarga. Keluarga orang tua tunggal tradisional adalah keluarga
dengan kepala rumah tangga duda/janda yang bercerai, ditelantarkan, atau
berpisah. Keluarga orang tua tungga nontradisional adalah keluarga yang
kepala keluarganya tidak menikah.
e) Keluarga orang tua tiri adalah keluarga yang menikah lagi yang terbentuk
dengan atau tanpa anak dan keluarga yang terbentuk kembali baik melalui
proses perceraian atau kehilangan (kematian salah satu pasangan).
f) Keluarga Berantai (social family) adalah keluarga yang terdiri dari wanita
dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan suatu keluarga
inti.
g) Keluarga komposit (composite family) adalah keluarga dari perkawinan
poligami dan hidup bersama.
h) Keluarga kohabitasi (cohabitation) adalah dua orang menjadi satu
keluarga tanpa pernikahan, bisa memiliki anak atau tidak, Di Indonesia
bentuk keluarga ini tidak lazim dan bertentangan dengan budaya timur.
Namun, lambat laun keluarga kohabitasi ini mulai dapat diterima.
i) Keluarga Inses (inses family) adalah seiring dengan masuknya nilai-nilai
global dan pengaruh informasi yang sangat dahsyat dijumpai bentuk
keluarga yang tidak lazim, misalnya anak perempuan menikah dengan
ayah kandungnya, ibu menikah dengan anak kandung laki-laki, paman menikah
dengan keponakanya, kakak menikah dengan adik dari satu ayah da satu ibu.
Walaupun tidak lazim dan melanggar nilai-nilai budaya, jumlah keluarga inses
semakin hari semakin besar. Hal tersebut dapat kita cermati melalui pemberitaan
dari berbagai media cetak dan elektronik.

3. Tahap perkembangan keluarga


Menurut Friedman (2010), terdapat 8 tahap perkembangan keluarga, yaitu:

a. Tahap I ( Keluarga dengan pasangan baru )


Pembentukan pasangan menandakan permulaan suatu keluarga baru dengan
pergerakan dari membentuk keluarga asli sampai kehubungan intim yang
baru.Tahap ini juga disebut sebagai tahap pernikahan. Tugas perkembangan
keluarga tahap I adalah membentuk pernikahan yang memuaskan bagi satu sama
lain, berhubungan secara harmonis dengan jaringan kekerabatan, perencanaan
keluarga (Friedman, 2010).

b. Tahap II (Childbearing family)


Mulai dengan kelahiran anak pertama dan berlanjut samapi berusia 30
bulan.Transisi ke masa menjadi orang tua adalah salah satu kunci menjadi siklus
kehidupan keluarga. Tugas perkembangan tahap II adalah membentuk keluarga
muda sebagai suattu unit yang stabil ( menggabungkan bayi yang
baru kedalam keluarga), memperbaiki hubungan setelah terjadinya konflik
mengenai tugas perkembangan dan kebutuhan berbagai keluarga,
mempertahankan hubungan pernikahan yang memuaskan, memperluas
hubungan dengan hubungan dengan keluarga besar dengan menambah peran
menjadi orang tua dan menjadi kakek/nenek (Friedman, 2010).

c. Tahap III (Keluarga dengan anak prasekolah)


Tahap ketiga siklus kehidupan keluarga dimulai ketika anak pertama berusia 2½
tahun dan diakhiri ketika anak berusia 5 tahun. Keluarga saat ini dapat terdiri
dari tiga sampai lima orang, dengan posisi pasangan suami-ayah, istri-ibu, putra-
saudara laki-laki, dan putri-saudara perempuan.

Tugas perkembangan keluarga tahap III adalah memenuhi kebutuhan anggota


keluarga akan rumah, ruang, privasi dan keamanan yang memadai,
menyosialisasikan anak, mengintegrasi anak kecil sebagai anggota keluarga baru
sementara tetap memenuhi kebutuhan anak lain, mempertahankan hubungan
yang sehat didalam keluarga dan diluar keluarga (Friedman, 2010).

d. Tahap IV (Keluarga dengan anak sekolah)


Tahap ini dimulai ketika anak pertama memasuki sekolah dalam waktu penuh,
biasanya pada usia 5 tahun, dan diakhiri ketika ia mencapai pubertas, sekitar 13
tahun. Keluarga biasanya mencapai jumlah anggota keluarga maksimal dan
hubungan keluarga pada tahap ini juga maksimal.Tugas perkembangan keluarga
pada tahap IV adalah mensosialisasikan anak- anak termasuk meningkatkan
prestasi, mempertahankan hubungan pernikahan yang memuaskan (Friedman,
2010).

e. Tahap V (Keluarga dengan anak remaja)


Ketika anak pertama berusia 13 tahun, tahap kelima dari siklus atau perjalanan
kehidupan keluarga dimulai. Biasanya tahap ini berlangsung selama enam atau
tujuh tahun, walaupun dapat lebih singkat jika anak meninggalkan keluarga lebih
awal atau lebih lama, jika anak tetap tinggal dirumah pada usia lebih dari 19 atau
20 tahun. Tujuan utama pada keluarga pada tahap anak remaja adalah
melonggarkan ikatan keluarga

untuk meberikan tanggung jawab dan kebebasan remaja yang lebih besar dalam
mempersiapkan diri menjadi seorang dewasa muda. Tugas perkembangan
keluarga dengan anak remaja adalah menyeimbangkan kebebasan dengan
tanggung jawab seiring dengan kematangan remaja dan semakin meningkatnya
otonomi (Friedman, 2010).

f. Tahap VI ( keluarga melepaskan anak dewasa muda)


Permulaan fase kehidupan keluarga in ditandai dengan perginya anak pertama
dari rumah orang tua dan berakhir dengan “kosongnya rumah”, ketika anak
terakhir juga telah meninggalkan rumah. Tugas keluarga pada tahap ini adalah
memperluas lingkaran keluarga terhadap anak dewas muda, termasuk
memasukkan anggota keluarga baru yang berasal dari pernikahan anak-anaknya,
melanjutkan untuk memperbarui dan menyesuaikan kembali hubungan
pernikahan, membantu orang tua suami dan istri yang sudah menua dan sakit
(Friedman, 2010).

g. Tahap VII (Orang tua paruh baya)


Merupakan tahap masa pertengahan bagi orang tua, dimulai ketika anak terakhir
meninggalkan rumah dan berakhir dengan pensiun atau kematian salah satu
pasangan.Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini adalah menyediakan
lingkungan yang meningkatkan kesehatan, mempertahankan kepuasan dan
hubungan yang bermakna antara orangtua yang telah menua dan anak mereka,
memperkuat hubungan pernikahan (Friedman, 2010).

h. Tahap VIII (Keluarga lansia dan pensiunan)


Tahap terakhir siklus kehidupan keluarga dimulai dengan pensiun salah satu atau

kedua pasangan, berlanjut sampai salah satu kehilangan pasangan dan berakhir

dengan kematian pasangan lain. Tugas perkembangan keluarga tahap ini adalah

mempertahankan penataan kehidupan yang memuaskan (Friedman, 2010).


4. Struktur dan Fungsi Keluarga
Struktur keluarga menunjukkan cara pengaturan keluarga, cara pengaturan unit-unit,
dan bagaimana unit-unit ini saling mempengaruhi. Struktur keluarga terutama
dievaluasi dengan mengevaluasi seberapa baik keluarga mampu mencapai fungsi
keluarganya. Struktur keluarga berfungsi untuk memfasilitasi pencapaian fungsi
keluarga, karena penghematan dan alokasi sumber daya adlah tugas utama struktur
keluarga. Karena berhubungan penting, struktur ini harus dipandang berurutan dengan
struktur keluarga (Friedman, 2010).

Menurut Friedman (2010), lima fungsi dasar keluarga diantaranya adalah fungsi
afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi dan fungsi perawatan
keluarga.

a) Fungsi Afektif
Fungsi afektif berfokus pada pemenuhan kebutuhan anggota keluarga akan kasih
sayang dan pengertian. Keluarga harus memenuhi kebutuhan kasih sayang
anggota keluarganya karena respon kasih sayang satu anggota keluarga ke
keluarga lainnya memberikan dasar penghargaan pada kehidupan keuarga
(Friedman, 2010). Fungsi afektif, fungsi ini berhubungan dengan persepsi
keluarga dan kepedulian terhadap kebutuhan sosioemosional semua anggota
keluarganya. Hal tersebut termasuk mengurangi ketegangan dan mempertahankan
moral. Adanya perceraian, kenakalan anak, atau masalah lain yang sering timbul
dalam keluarga dikarenakan fungsi afektif yang tidak terpenuhi (Friedman, 2010).

b) Fungsi Sosialisasi dan Status Sosial


Sosialisasi mencakup semua proses dalam sebuah komunitas tertentu atau
kelompok dimana manusia berdasarkan sifat kelenturannya, melalui pengalaman-
pengalaman yang diperoleh selama hidup, mereka memperoleh karakteristik
yang terpola secara sosial. Sosialisasi merujuk pada proses perkembangan atau
perubahan yang dialami oleh seorang individu sebagai hasil dari interaksi sosial
dan pembelajaran peran-peran sosial. Keluarga merupakan tempat individu
melakukan sosialisasi. Pada
setiap tahap perkembangan keluarga dan individu (anggota keluarga) dicapai
melalui interaksi atau hubungan yang diwujudkan dalam sosialisasi. Anggota
keluarga belajar disiplin, norma, budaya, serta perilaku melalui hubungan dan
interaksi dalam keluarga, sehingga individu mampu berperan di masyarakat
(Friedman, 2010).

c) Fungsi Reproduksi
Salah satu fungsi dasar keluarga menurut Leslie dan Korman (1989 dalam
Friedman 2010), adalah untuk menjamin kontinuitas antar generasi keluarga dan
masyarakat yaitu menyediakan anggota baru untuk masyarakat. Keluarga
berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber
daya manusia. Dengan adanya program keluarga berencana, maka fungsi ini
sedikit terkontrol. Di sisi lain banyak kelahiran yang tidak diharapkan atau di luar
ikatan perkawinan, sehingga lahirlah keluarga baru dengan satu orang tua
(Friedman, 2010).

d) Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga akan sumber daya yang cukup
meliputi, finansial, ruang dan materi serta alokasinya yang sesuai melalui proses
pengambilan keputusan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti: makanan,
pakaian, dan perumahan, maka keluarga memerlukan sumber keuangan. Fungsi
ini sulit dipenuhi oleh keluarga yang berada di bawah garis kemiakinan, perawat
bertanggung-jawab untuk mencari sumber-sumber di masyarakat yang dapat
digunakan oleh keluarga dalam meningkatkan status kesehatan (Friedman, 2010).

e) Fungsi Perawatan Keluarga


Fungsi perawatan kesehatan merupakan pertimbangan vital dalam pengkajian
keluarga. Guna menempatkan dalam sebuah perspektif, fungsi ini merupakan
salah satu fungsi keluarga yang menyediakan kebutuhan- kebutuhan fisik, seperti
makan,pakaian, tempat tinggal dan perawatan kesehatan. Jika dilihat dari
perspektif masyarakat, keluarga merupakan
sistem dasar, dimana perilaku sehat dan perawatan kesehatan diatur, dan
diamankan (Friedman, 2010).

Fungsi keluarga dalam perawatan kesehatan dengan melaksanakan praktek asuhan


kesehatan yaitu keluarga mempunyai tugas untuk memelihara kesehatan anggota
keluarganya agar tetap memiliki produktivitas dalam menjalankan perannya
masing-masing. Adapun tugas kesehatan keluarga menurut Friedman (2010),
yaitu:

1) Mengenal masalah atau gangguan kesehatan keluarga


2) Mengambil keputusan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga
3) Merawat anggota keluarga yang sakit
4) Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan

keluarga

5) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat

5. Peran Perawat Keluarga


Adapun peran perawat keluarga menurut (Sudiharto, 2012) adalah sebagai berikut:

a. Sebagai pendidik
Perawat bertanggung jawab memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga,
terutama untuk memandirikan keluarga dalam merawat anggota

keluarga yang memiliki masalah kesehatan.

b. Sebagai pembela (advokat)


Perawat berperan sebagai advokat keluarga utuk melindungi hak-hak keluarga
sebagai klien. Perawat diharapkan mampu mengetahui harapan serta
memodifikasi sistem pada perawatan yang diberikan untuk memenuhi hak dan
kewajiban mereka sebagai klien mempermudah tugas

perawat untuk memandirikan keluarga.

c. Sebagai supervisor pelayanan keperawatan


Perawat melakukan supervisi atau pembinaan terhadap keluarga melalui
kunjungan rumah secara teratur, baik terhadap keluarga berisiko tinggi maupun
yang tidak. Kunjungan rumah tersebut dapat direncanakan

terlebih dahulu atau secara mendadak

d. Sebagai koordinator pelaksana pelayanan keperawatan

Perawat bertanggung jawab memberikan pelayanan keperawatan yang


komprehensif. Pelayan keperawatan yang bersinambungan diberikan untuk
menghindari kesenjangan antara keluarga dan unit pelayanan

kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit).

e. Sebagai pelaksana pelayanan keperawatan


Pelayanan keperawatan dapat diberikan kepada keluarga melalui kontak pertama
dengan anggota keluarga yang sakit yang memiliki masalah kesehatan. Dengan
demikian, anggota keluarga yang sakit dapat menjadi “entry point” bagi
perawat untuk memberikan asuhan keperawatan

keluarga secara komprehensif.

f. Sebagi fasilitator
Perawat dapat menjadi tempat bertanya individu, keluarga dan masyarakat
untuk memecahkan masalah kesehatan di keperawatan yang mereka hadapi
sehari-hari serta dapat membantu memberikan jalan keluar

dalam mengatasi masalah.

g. Sebagai peneliti
Perawat keluarga melatih keluarga untuk dapat memahami masalah- masalah
kesehatan yang dialami oleh anggota keluarga. Masalah kesehatan yang muncul
didalam keluarga biasanya terjadi menurut siklus atau budaya yang di praktikan
keluarga. Peran sebagai peneliti difokuskan kepada kemampuan keluarga untuk
mengidentifikasi penyebab, menanggulangi, dan melakukan promosi kepada
anggota keluarganya. Selain itu, perawat perlu mengembangkan asuhan
keperawatan keluarga terhadap binaanya.

C. Konsep Demensia
1. DEFINISI
Demensia adalah penurunan menyeluruh dari fungsi mental luhur yang bersifat
progresif dan ireversibel dengan kesadaran yang baik. (Katona, 2012). Demensia
adalah gangguan fungsi intelektual tanpa gangguan fungsi vegetatif atau keadaan
yang terjadi. Memori, pengetahuan umum, pikiran abstrak, penilaian, dan interpretasi
atas komunikasi tertulis dan lisan dapat terganggu.

(Elizabeth J. Corwin, 2009). Demensia adalah penurunan fungsi intelektual yang


menyebabkan hilangnya independensi sosial. (William F. Ganong, 2010)

Menurut WHO, demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena


adanya kelainan yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi
luhur multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil
keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif
biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku dan motivasi.
Merosotnya fungsi kognitif ini harus cukup berat sehingga mengganggu fungsi sosial
dan pekerjaan individu. Demensia adalah suatu kondisi klinis yang perlu didiagnosis
dan ditelusurin penyebabnya .

Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa,


melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu
sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku. Demensia adalah satu
penyakit yang melibatkan sel-sel otak yang mati secara abnormal. Hanya satu
terminologi yang digunakan untuk menerangkan penyaki totak degeneratif yang
progresif. Daya ingatan, pemikiran, tingkah laku dan emositerjejas bila mengalami
demensia. Penyakit ini boleh dialami oleh semua orangdari berbagai latarbelakang
pendidikan maupun kebudayaan. Walaupun tidak terdapat sebarang rawatan untuk
demensia, namun rawatan untuk menangani gejala-gejala boleh diperolehi.

2.1 KLASIFIKASI
Klasifikasi demensia antara lain :

1) Demensia karena kerusakan struktur otak


Demensia ini ditandai dengan gejala :
a) Penurunan fungsi kognitif dengan onset bertahap dan progresif,

b) Daya ingat terganggu, ditemukan adanya : afasia, apraksia, agnosia,


gangguan fungsi eksekutif.

c) Tidak mampu mempelajari / mengingat informasi baru,

d) Perubahan kepribadian (depresi, obsesitive, kecurigaan),

e) Kehilangan inisiatif.

2) Demensia Vascular
Demensia tipe vascular disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di otak dan
setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat terjadinya demensia.
Depresi bisa disebabkan karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi
darah otak, sehingga depresi dapat diduga sebagai demensia vascular.

3) Demensia menurut umur:


a. Demensia senilis ( usia > 65 tahun)
Demensia senilis adalah penurunan umum fungsi intelektual yang bisa meliputi
kehilangan ingatan, kemampuan penalaran abstrak, pertimbangan dan bahasa
yang biasanya bersifat progresif dan irreversibel dan bukan merupakan bagian
normal dari penuaan (Smeltzer dan Bare dalam Dede Nasrullah, 2014) .
Demensia senilis merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan
fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran dan sebenarnya adalah penyakit
penuaan (Kaplan dan Sadock, 1997).

Kekurangan peredaran darah ke otak serta pengurangan metabolisme dan O2


yang menyertainya merupakan penyebab kelainan anatomis otak. Pada banyak
orang terdapat kelainan aterosklerosis seperti juga yang terdapat pada demensia
senilis, tetapi tidak dapat ditemukan gejala-gejala di demensia. Otak mengecil
terdapat suatu artrofi umum, terutama pada daerah frontal. Yang penting ialah
jumlah sel berkurang. Kadang-kadang ada kelainan otak yang jelas, tetapi orang
tersebut tidak psikotik, sebaliknya pada orang yang sudah jelas demensia
kadang-kadang ada
sedikit kelainan pada otak, jadi tidak selalu ada kolerasi antara besarnya
kelainan histologi dan beratnya gangguan intelegansi.

1. Gejalanya
Biasanya sesudah umur 60 tahun baru muncul gejala-gejala yang jelas untuk
membuat diagnosa demensia senilis. Penyakit jamaah atau gangguan emosi
yang hebat dapat mempercepat mundurnya mental.

(1) Gangguan ingatan jangka pendek, lupa tentang hal-hal yang terjadi,
merupakan gejala dini, juga kekurangan ide-ide dan pemikiran abstrak.
Yang menjadi egosentrik dan egoistic, mudah tersinggung dan marah-
marah. Kadang-kadang , timbul aktivitas visual yang berlebihan atau
yang tidak pantas, sesuatu tanda berkurang atau usaha untuk
kompensasi psikologis.
(2) Penderita menjadi acuh tak acuh terhadap pakaian dan rupanya. Ia
menyimpan barang-barang yang tidak berguna mungkin ia tidak
paham bahwa ia akan dirampok, akan dirasuki atau ia miskin atau
tidak disukai orang.
(3) Orientasi terganggu dan ia mungkin pergi dari rumah dan tidak
mengetahui jalan pulang. Penilaiannya berkurang sehingga dapat
menyukarkan dan membahayakan lalu lintas dijalan.
(4) Ia mungkin jadi korban penjahat karena ia mudak di ajak dalam hal
penipuan.
(5) Banyak menjadi gelisah di waktu malam, mereka berjalan-jalan
bertujuan dan menjadi destruktif. Mungkin timbul delirium di malam
hari, ini karena penglihatan yang terbatas di waktu gelap dan penderita
denga demensia senilis ditaruh dalam kamar yang gelap, maka timbul
disorientasi.
(6) Ingatan jangka pendek makin lama makin keras terganggu semakin
lama semakin banyak ia lupa, sehingga penderita hidup di alam
pikiran sewaktu ia masih muda atau masih kecil.
(7) Gejala jasmani : kulit menjadi tipis, keriput, dan atrofis, BB
mengurang, artofi pada otot-otot, jalannya menjadi tidak stabil , suara
kasar dan bicara menjadi pelan serta tremor pada tangan dan kepala.
(8) Gejala psikologis : sering hanya terdapat tanda kemunduran mental
umum (demensia simplek). Tetapi tidak jarang juga terjadi
kebingungan dan delirium, atau depresi atau serta agitasi. Ada yang
menjadi paranoid. Pada pesbiofenia terutama dapat gangguan ingatan
serta konvabulasi dan dapat dianggap sebagai salah satu jenis
demensia senilis dan beberapa gejala menonjol dan sedikit lebih cepat.
2. Prognosa
Tidak baik, jalannya progresif, demensia makin lama makin berat sehingga
akhirnya penderita hidup secara vegetatif saja, walaupun demikian penderita
dapat hidup selama 10 tahun atau lebih setelah gejala-gejala menjadi nyata.

3. Pengobatan pertahankan perasaan aman dan harga diri, perhatikanlah


dan cobalah memuaskan rasa kebutuhan kasih saying, rasa masuk
hitungan, tecapainya sesuatu rasa penuh dibenarkan serta dihargai.
Kamarnya jangan gelap gulita dan taruhlah barang-barang yang sudah
ia kenal sejak dulu untuk mempermudah orientasinya.

Klasifikasi Demensia Senilis

(1) Demensia Vaskuler adalah sindrom demensia yang disebabkan


disfungsi otak yang diakibatkan oleh penyakit serebrovaskuler
(Lumbatobing, 1997). Demensia vaskuler adalah gangguan mental
organik yang ditandai dengan penurunan fungsi mental yang tidak
seragam (Smeltzer dan Bare, 2001).
(2) Demensia senilis tipe Alzhaimer adalah penyakit mental organik
kronis yang mempunyai awitan tersembunyi dan membahayakan,
secara umum progresif, menjadi makin buruk. Gambaran khusus
meliputi kehilangan berbagai segi kemampuan intelektual, seperti
memori, penilaian, pikiran abstrak dan perubahan pada kepribadian dan
perilaku (Mary C. Townsend, 1998).

b. Demensia prasenilis (usia < 65 tahun)


Seperti namanya, maka ganggua gejala ini gejala utamanya adalah sepeti
sebelum masa senilis akan dibicarakan 2 macam demensia presenilis yaitu:

1) Demensia Alzheimer
Demensia Alzheimer ini biasanya muncul antara usia 50-60 tahun yang
disebabkan oleh karena adanya degenerasi korteks yang difus pada otak
dilapisan luar, terutama dibagian frontal dan temporal. Atrofi otak ini dapat
pada pneumoensefalogram, sistem ventrikel membesar serta banyak hawa di
ruang subarachnoid. Penyakit ini dimulai pelan sekali, tidak ada ciri yang
khas pada gangguan intelegansi atau kelainan perilaku. Terdapat disorientasi,
gangguan ingatan, emosi yang lebih, kekeliruan dalam berhitung dan
pembicaraan sehari-haridapat terjadi afasi, persevasi (mengulang- ngulang
perkataan, perbuatan tanpa guna), seepintas lalu timbul aproksia. Biasanya
penyakit ini berlangsung selama 5 – 10 tahun.

2) Penyakit Pick
Secara psikologis penyakit ini adalah atrofi dan gliosis di daerah- daerah
motoric, sensorik dan daerah dan daerah proyeksi secara relative dan banyak
berubah. Yang terganggu adalah daerah korteks yang secara filogenetik lebih
mudah dan yang penting buat fungsi asosiasi yang lebih tinggi. Sebab yang
terutama terganggu adalah pembicaraan dan proses bepikir.

Penyakit ini mungkin herediter, diperkirakan terdapat faktor menjadi


pencetus dari sel-sel ganglion tertntu yaitu : yang genetik paling muda.
Lobus frontalis menjadi demikian atofis sehingga kadang keliatan
seperti ditekan oleh suatu lingkaran. Biasanya terjadi pada usia 45-60 tahun,
yang muda yang pernah diberitakan yaitu usia 31 tahun.Penyakit pick
terdapat 2 kali lebih banyak pada kaum wanita dibandingkan kaum pria.
Gejala permukaan : ingatan berkurang, kesukaran dalam pemikiran dan
konsentrasi, kurang spontanitas, emosi menjadi tumpul. Penderita menjadi
acuh tak acuh, kadang- kandang tidak dapat menyesuaikan diri serta tidak
dapat menyelesaikan masalah dalam situasi yang baru.Dalam waktu 1 tahun
sudah terjadi demensia yang jelas ada yang efor, menjadi mudah curiga.
Sering terdapat gejala fokal seperti afasia, aleksia, tetapi gejala ini
diselubungi oleh demensia umum. Yang paling penting yang terjadi pada
penyaki ini adalah terjadinya secara pelan- pelan (tidak mendadak sepeti
pada gangguan pembuluh darah otak) . Tidak jarang adaya acholalia dan
reaksi stereotip.Pada fase lanjut demensia menjadi hebat , terdapat
inkontinensia, kemampuan berbicara hilang dan kekeksia yang berat.
Biasanya penderita meninggal dalam waktu 4-6 tahun karena suatu penyakit
infeksi tambahan. Sampai sekarang belum ada pengobatan terhadap
pengobatan demensia presenilis. Dapat direncakan bantuan yang
simptomatik dalam lingkungan yang memadai. Biar gelisah dapat
dipertimbangkan pemberian obat psikotropik.Demensia dengan gangguan
psikologis
Gangguan psikologis dan perilaku pada penderita demensia adalah sebagai berikut:

Gangguan Psikologis Gangguan Perilaku


Jenis Bentuk Jenis Bentuk
1. Wahana (Delusi) Isi pikiran yang 1. Wandering Mondar-mandir
salah diyakini
kebenarannya
Mencari-cari/
Tidak dpt dikoreksi membututi pengasuh/
melalui bukti-bukti keluarga/ orang lain
yang ada kemana pun pergi
Berjalan mengelilingi
rumah

Keluar rumah /kabur


/keluyuran
2. Halusinasi Halusinasi dengar 2. Restlessness Sangat gelisah sehingga
tidak bisa diam barang
Halusinasi
sejenak
penglihatan

Halusinasi Haptic

3. Misidentifikasi / Merasa bukan 3. Agitasi Aktivitas verbal


Mispersepsi dirinya (bicara) maupun
motorik (fisik) yang
Merasa bahwa
berlebihan dan tidak
istri/suami bukan
selaras. Misalnya
lagi pasangan
marah-marah, ngamuk-
hidupnya
ngamuk, ngomel terus,
dsb.
Tidak dapat
mengidentifikasi
kejadian
Gangguan Psikologis Gangguan Perilaku
Jenis Bentuk Jenis Bentuk
4. Depresi Murung, sedih, 4. Agresivitas Agresivitas fisik seperti
menangis : memukul, menendang,
mendorong, mencakar,
Ingin mengakhiri
menggigit orang atau
hidupnya
menggerayangi barang
orang lain
Uring-uringan dan
Agresivitas Verbal
mudah tersinggung
seperti : menjerit,
berteriak, membuat
suara gaduh, marah
meledak-ledak.
5. Apatis Tak ada minat 5. Disinhibisi Kelakuan yang tidak
terhadap hal-hal sesuai budaya dan
yang biasanya norma-norma sosial
disukai, termasuk yang berlaku karena
kegiatan sehari-hari. terganggunya/hilangnya
fungsi pengendalian
Perawatan diri
diri. Perilakunya
terganggu.
menjadi kurang sopan,
kurang terpuji,
Interaksi sosial
memalukan dan
menjadi sangat
sebagainya.
berkurang.

6. Cemas Menanyakan hal


yang sama berulang-
ulang

Meremas-remas
tangan

Tidak dapat duduk


diam

2.2 ETIOLOGI
Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3

golongan besar :

1. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal


kelainan yaitu : terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada
sistem enzim, atau pada metabolisme

2. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat


diobati, penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :

a. Penyakit degenerasi spino-serebelar.

b. Subakut leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert

c. Khorea Huntington

3. Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam


golongan ini diantaranya :
a. Penyakit cerebro kardiofaskuler

b. penyakit- penyakit metabolik

c. Gangguan nutrisi

d. Akibat intoksikasi menahun


Penyakit yang Menyebabkan Demensia

Penyakit parenkim SSP

1. Penyakit Alzheimer ( demensia degeneratif primer )

2. Penyakit Pick ( demensia degeneratif primer )

3. Korea Huntington

4. Penyakit Parkinson

5. Sklerosis multiple

Gangguan sistemik

1. Gangguan endokrin dan metabolik


Penyakit tiroid

Penyakit paratiroid Gangguan


pituitaria – adrenal

Keadaan pasca – hipoglikemia

Gangguan terkait dengan virus imunodefisiensi human ( HIV ) {seperti SIDA dan
Kelompok penyakit terkait dengan SIDA [AIDS – related kompleks (
ARCI ) ] }

Gangguan aneka ragam

1. Degenerasi hepatolentikular*

2. Demensia hidrosefalik*

3. Sarkoidosis*

4. Hidrosefalus bertekanan normal*


Ket : *keadaan diperlukan untuk pemberian terapeutik spesifik.

2.3 PATOLOGI
Para ahli memisahkan demensia yang terjadi sebelum usia 65 tahun ( demensia
prasenilis) dan yang terjadi setelah usia 65 tahun ke atas (demensia senilis).
Perbedaan dari asumsi penyebab berbeda, degenerasi neuronal yang jarang pada orang
muda dan penyakit vaskuler atau keadaan usia lanjut usia pada orang tua. Meskipun
ekspresi penyakit dapat berbeda pada usia yang berbeda, kelainan utama pada pasien
demensia dari semua usia adalah sama dan perbedaan berdasarkan kenyataan.

Sebagian besar penyakit yang menyebabkan demensia adalah degenerasi neuronal yang
luas atau gangguan multifokal. Gejala awal tergantung dimana proses demensia mulai
terjadi, tetapi lokasi dan jumlah neuron yang hilang yang diperlukan untuk menimbulkan
demensia sulit ditetapkan. Bertambahnya usia mengakibatkan hilangnya neuron dan
masa otak secara bertahap, tetapi hal ini tidak disertai penurunan yang signifikan tanpa
adanya penyakit. Sesungguhnya, massa otak adalah petunjuk yang buruk untuk fungsi
intelektual. Pasien dengan demensia degenratif pada dekade ke enam mempunyai masa
otak lebih besar dari pada pasien normal secara intelektual pada dekade delapan.
Akibatnya dokumentasi atrofi yang menyeluruh dengan pemindaian CT bukan indikasi
demensia yang jelas.

Demensia yang terjadi akibat penyakit kortikal (misalnya penyakit Alzheimer atau dari
penyakit struktur subkortikal) seperti basal ganglia, thalamus dan dan substansi alaba
bagian dalam (misalnya penyakit Hungtington atau multiple sklerosis). Demensia
kortikal ditandai dengan hilangnya fungsi kognitif seperti bahasa, persepsi, dan kalkulasi,
sebaliknya demensia subkotikal menunjukan perlambatan kognitif dan proses informasi
(“bradiphrenia”), pendataran afek dan gangguan motivasi, suasana hati dan bangun.
Ingatan terganggu pada kedua jenis. Gambaran demensia subkortikal juga terjadi pada
subkortikal yang mengenai lobus frontalis dan mungkin menunjukan proyeksi yang rusak
dan dari dan ke lobus frontalis.

Pada penyakit Alzheimer, yang merupakan penyebab demensia paling sering, demensia
akibat hilangnya jaringan kortikal terutama pada lobus temporalis, parietalis dan
frontalis. Hal ini menyertai sebagian kasus dengan bertambahnya jarak antara girus dan
pembesaran ventrikel. Tanda histologik adalah adanya beberapa kekacauan
neurofibrinalis dan plak senilis. Plak dan kekacauan ditemukan dalam otak orang tua
yang normal tetapi meningkat jumlahnya pada

penyakit Alzheimer, terutama dalam hipokampus dan temporalis. Terkenanya


hippocampal mungkin bertanggung terhadap gangguan ingatan, yang mungkin sebagian
diperantarai oleh berkurangnya aktivitas kolinergik. Aktivitas neurotransmiter
intermasuk norepinefrin, serotonin, dopamin dan glutamat, somastatin juga menurun.
Perubahan-perubahan ini disertai dengan berkurangnya aliran darah serebral dan
menurunya metabolisme oksigen dan glukosa.
2.5 PATHWAY “DEMENSIA”
Faktor predisposisi : virus lambat, proses autoimun, keracunan alumunium dan

genetic Penurunan metabolisme dan aliran darah di korteks parietalis superior

Degenerasi neuron kolinergik

Kesulitan neurofibrilar Hilangnya serat saraf kolinergik


di yang difus korteks serebrum

Terjadi plak senilis Kelainan neurotransmiter Penurunan sel neuron kolinergik


yang berproyeksi ke hipokampus
dan amigdala

Asetilkolin menurun pada otak

DEMENSIA

Perubahan kemampuan tidak mampu mengidentifikasi kehilangan kemampuan rasa bermusuhan kehilangan afasia,

difasia merawat diri bahasa dan lingkungan menyelesaikan masalah kontrol sosial, perilaku tidak tepat

deficit perawatan diri disorientasi, bingung perubahan kemampuan mengawasi rasa bermusuhan, hambatan
komunikasi

keadaan komlpeks dan berfikir abstrak, kehilangan control,

resiko cidera emosi labil, sosial, perilaku tidak tepat

gangguan proses pikir pelupa, apatis, loss deep memory hambatan interaksi sosial
g
2.6 MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis demensia berlangsung lama dan bertahap sehingga pasien dengan keluarga
tidak menyadari secara pasti kapan timbulnya penyakit. Gejala klinik dari demensia
Nugroho (2009) menyatakan jika dilihat secara umum tanda dan gejala demensia adalah :

1. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, lupa
menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas yang awalnya mulai dari
gangguan daya ingat jangka pendek.
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan,
tahun, tempat penderita demensia berada.
3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar,
menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata
atau cerita yang sama berkali-kali.
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat
sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan
orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia
kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
5. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah.
6. Keterbatasan dalam ADL (Activities of Daily Living)

2.7 PEMERIKSAAN DEMENSIA


1) Pemeriksaan Fungsi Kognitif dan Fungsi Mental

Nilai Maksimum Score Pertanyaan

Orientasi

5 (tahun) (musim) (tanggal) (hari)


(bulan apa sekarang)
5 Dimana kita : (negara bagian)
(wilayah) (kota) (rumah sakit)
(lantai)

Registrasi
3 Nama objek : 1 detik untuk
mengatakan masing-masing.
Kemudian tanyakan klien ketiga
objek setelah anda mengatakannya.
Beri 1 poin untuk setiap jawaban
yang benar.
Kemudian ulangi sampai ia
mempelajari ketiganya.
Jumlahkan percobaan dan catat.

Perhatian dan Kalkulasi

5 Seri 7’s. 1 poin untuk setiap


kebenaran.
Berhenti setelah 5 jawaban.
Begantian eja kata kebelakang.

Meminta

3 Minta untuk mengulangi ketiga


objek di atas.
Berikan 1 poin untuk setiap
kebenaran.

Bahasa

9 Nama pensil dan melihat (2 poin)


Mengulangi hal berikut: “task jika
ada, dan atau tetapi” (1 poin)

Keterangan :

Nilai maksimal 30, nilai 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan kognitif
yang memerlukan penyelidikan lanjut. Kriteria demensia :
a. Ringan : 21 - 30
b. Sedang : 11 - 20
c. Berat : < 10

2) Pemeriksaan Portabel untuk Status


Mental (PPMS = MMSE Mini mental
state examination)

Daftar Pertanyaan Penilaian


1. Tanggal berapakah hari ini? • 0 – 2 kesalahan = baik
(bulan, tahun) • 3–4 kesalahan= gangguan
2. Hari apakah ini? intelek ringan
3. Apakah nama tempat ini? • 5 – 7 kesalahan = gangguan
4. Berapa nomor telepon intelek sedang.
bapak/ibu? (bila tidak ada • 8–10 kesalahan= gangguan
telepon, dijalan apakah intelek berat.
rumah bapak / ibu)
5. Berapakah umur bapak / ibu? Bila penderita tak pernah
6. Kapan bapak/ibu lahir? sekolah, nilai kesalahan
(tanggal, bulan dan tahun) diperbolehkan +1 dari nilai
7. Siapakah nama gurbernur diatas.
kita ? (walikota / lurah /
camat) Bila penderita sekolah lebih
8. Siapakah nama gadis ibu dari SMA kesalahan yang
anda? diperbolehkan -1 dari nilai
9. Hitung mundur 3 – 1, mulai diatas.
dari 20!

3) Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia


ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada
demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia
Alzheimer dengan hasil laboratorium normal,pemeriksaan laboratorium rutin
sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darahlengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum,
fungsi hati,hormone
tiroid, kadar asam folat.

b. (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi


pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensiawalaupun hasilnya masih
dipertanyakan.

c. Pemeriksaan Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran


spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer
stadium lanjutdapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks
periodik 4.

d. Pemeriksaan cairan otak fungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai


awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, di jumpai
ransangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus
normotensif, tes sifilis(+), penyengatan meningeal pada CT scan.5.

e. Pemeriksaan genetika Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein


pengangkut lipidpolimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3,
dan epsilon 4.setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda.
Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer
tipe awitanlambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian
genotif APOE epsilon4 sebagai penanda semakin meningkat 6.

f. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitassehari-
hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003)
Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan
demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsikognitif, minimal yang
mencakup atensi, memori, bahasa,

konstruksivisuospatial, kalkulasi dan problem solving.

g. Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah
test yang paling banyak dipakai, tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan
memori ringan. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang
paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup
baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan
memantaupenurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27
dianggapab normal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan
padapenderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003).
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE palingrendah
24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah inimengidentifikasikan
resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pada penelitian
Crum R.M 1993 didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18 -24
tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang
lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22
untuk yang berpendidikan 0-4 tahun.
h. Clinical Dementia Rating
(CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan
dan ini juga merupakan suatu metode yang dapat menilai derajat demensia ke dalam
beberapa tingkatan (Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6
kategoriantara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan,
aktivitassosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang
dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi
kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5,untuk
Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensiaringan, Nilai 2,
menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu
derajat demensia yang berat. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003, Golomb, 2001).

2.8 PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi

Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan.

Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat – obatan antikoliesterase seperti


Donepezil, Rivastigmine, Galantamine, Memantineb. Dementia vaskuler membutuhkan
obat -obatan anti platelet sepertiAspirin, Ticlopidine, Clopidogrel untuk melancarkan
aliran darah ke otak sehingga memperbaiki gangguan kognitif. Demensia karena stroke
yang berturut-turut tidak dapat diobati tetapi perkembangannya bisa diperlambat atau
bahkan dihentikandengan mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis
yangberhubungan dengan stroke.Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi,
diberikan obat anti-depresi seperti Sertraline dan Citalopram. Untuk mengendalikan
agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yangbisa menyertai demensia stadium lanjut,
sering digunakan obat anti-psikotik misalnya Haloperidol,QuetiapinedanRisperidone).
Tetapi obat ini kurang efektif dan menimbulkan efek samping yang serius. Obat anti-
psikotik efektif diberikan kepada penderita yang mengalami halusinasi atau paranoid.

2. Dukungan atau Peran Keluarga


Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap
memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding dengan angka-
angka yang besar atau radio juga bisa membantu penderita tetap memiliki orientasi.

a. Menyembunyikan kunci mobil dan memasang detektor pada pintu bisa


membantu mencegah terjadinya kecelekaan pada penderita yang senang
berjalan-jalan.
b. Menjalani kegiatan mandi, makan, tidur dan aktivitas lainnya secara rutin,

bisa memberikan rasa keteraturan kepada penderita.

c. Memarahi atau menghukum penderita tidak akan membantu, bahkan akan

memperburuk keadaan.

d. Meminta bantuan organisasi yang memberikan pelayanan sosial dan


perawatan, akan sangat membantu.

3. Terapi Simptomati
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik,

meliputi :

a. Diet
b. Latihan fisik yang sesuai
c. Terapi rekreasional dan aktifitas
d. Penanganan terhadap masalah-masalah
2.9 PENCEGAHAN

1. Pencegahan Primer
Identifikasi karakteristik individu atau faktor risiko lingkungan untuk penyakit
Alzheimer dapat membantu mengarahkan intervensi preventif untuk penyakit ini.
Hasil epidemiologi yang paling konsisten berkaitan dengan penyakit Alzheimer
adalah meningkatnya prevalensi dan insidensi terkait dengan usia. Individu yang
berusia antara 75 sampai 85 tahun cenderung mengalami demensia tipe Alzheimer
daripada serangan jantung. Angka insidensi cenderung lebih tinggi pada wanita dari
pada pria di semua kelompok usia, meskipun tidak ada penjelasan biologis yang
bertanggung jawab untuk perbedaan jenis kelamin tersebut. Faktor-faktor risiko
lainnya yang memiliki hubungan dengan penyakit Alzheimer adalah agregasi
faimilial dari sindrom down, agregasi familial dari penyakit Parkinson, usia ibu yang
sudah lanjut, trauma kepala, riwayat depresi dan riwayat hipotiroidisme. Tidak ada
perbedaan geografis yang besar dalam hal insidensi maupun prevalensi.

fungsi juga berhubungan dengan hilangnya kemandirian dalam AKS. Individu


dengan skor rendah pada pemeriksaan kognitif juga harus menjalani pengkajian
fungsi fisiknya. Tindakan pencegahan sekunder dan tersier dapat membantu
mempertahankan tingkat kemandirian fisik saat ini. Perawat harus berhati-hati
ketika mendiskusikan tentang masalah keturunan tersebut dengan anggota keluaga
karna defek genetic hanya

terbentuk bagi sekelompok kecil keluarga dengan penyaki Alzheimer autosom


dominan. Semakin dipelajarinya peran genetic dan penyakit Alzheimer, semakin
banyak pertanyaan-pertanyaan etik tentang tes genetik yang akan lebih muncul.

2. pencegahan sekunder
Diagnosis dan penapisan untuk demensia.

Lansia mulai sering merasa khawatir bahwa mereka mulai mengalam tanda-tanda
demensia dan membutuhkan perawat dan professional kesehatan lainnya dengan cara
yang halus berkaitan dengan ketakutan tadi tersebut. Individu yang merasa khawatir
tentang menderita demensia hampir selalu tidak mengalami demensia yang
sebenarnya, tetapi hanya mengalami perubahan memori terkait usia, depresi atau
salah satu penyebab reversibel dari gangguan memori. Perubahan memori terkait
usia antara lai adalah semakin lupa, lenih slit mempelajari informasi baru,
menurunnya kemampuan mengaingat kembali, dan menurunnya kecepatan untuk
membuat kode dan mendapatkan kembali informasi-informasi yang ada.

Riwayat lengkap, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan tes neurofisiologis


diperlukan untuk menetapkan diagnosis demensia irreversibel. Penyakit Alzheimer
masih didiagnosis secara defenitif hanya berdasarkan otopsi, tetapi diagnosis klinis
biasanya juga akurat. Kriteria DSM-IV digunakan untuk membentuk diagnosis
demensia klinis yang mungkin terjadi. Menurut kriteria DSM-IV harus terdapat
penurunan yang cukup signifikan pada dua area kognisi atau lebih untuk
mempengaruhi fungsi pekerjaan dan fungsi sosial. Area-area penurunan tersebut
antara lain mencakup memori, bahasa, persepsi penglihatan-jarak, konstruksi,
kalkulasi, penilaian, abstraksi, dan perubahan-perubahan kepribadian. Pekerjaan
yang menjanjikan sedang dilakukan untuk membentuk tes diagnostic antemortem
defenitif melalui prosedur pemindaian tomografi emisi positif, tes darah, dan
pengukuran biokimia lainnya. CT scan dan

MRI terkadang bermanfaat dalam menggambarkan masalah vascular sebagai faktor


penyebab demensia.

Perawat harus secara teratur melakukan pengakajian kognisi, perilaku, dan status
fungsional pada lansia yang dicurigai atau dipastikan menderita demensia.
Pengakajian-pengkajian tersebut bermanfaat dalam mengikuti perjalanan penyakit
dan mencocokan intervensi terapeutik dengan tingkat kemampuan. Salah satu kunci
perawatan demensia adalah merencanakan dan mengelola aktivitas yang dapat
dilakukan seseorang untuk menghindari frutasi, penurunan harga diri, dan stres yang
berkaitan dengan respon prilaku. Jika orang tersebut tinggal di rumah pribafi,
keselamatan menjadi kekhawatiran yang lebih besar. Pengakajian keselamatannya di
rumah dapat membantu mengidentifikasi bahaya keselamatan potensial dan
intervensi-intervesi preventif dapat dilakukan.

Pencegahan tersier

Keluarga memegang tanggung jawab terbesar untuk merawat individu penderita


demensia tahap awal dan pertengahan. Lebih dari 70% penderita penyakit
Alzheimer dirawat di rumah oleh keluarga. Banyak keluarga yang mengalami
isolasi sosial, keletihan dan masalah keuangan pada saat aktivitas pemberian
perawatan menghabiskan banyak waktu mereka dan anggota keluarga menunjukkan
lebih banyak gangguan mental. Kebanyakan pemberi perawatan dari keluarga
adalah wanita, baik pasangannya maupun anak perempuannya yang memiliki
tuntutan hidupnya sendiri. Lansia sering mengabaikan kebutuhan kesehatannya
sendiri karena pemberian asuhan menjadi lebih menghabiskan waktu. Perawatan di
rumah digambarkan sebagai tanggung jawab 36 jam sehari dengan sedikit
keleluasaan bagi keluarga. Bantuan kesehatan di rumah dapat membantu perawatan
pribadi, tetapi layanan ini terbatas dan tidak mencakup di dalam medicare.
Institusionalisasisering menjadi pilihan terakhir pada saat keluarga telah
menghabiskan sumber-sumber pribadi dan ekonomi.
Konsep Asuhan Keperawatan

Pada Lansia Dengan Demensia

1. Pengkajian Keperawatan

a. Pengkajian
1) Identitas klien
Identitas klien yang biasa dikaji pada klien dengan demensia adalah usia
karena banyak klien lansia yang mengalami demensia, dan biasanya
pada klien dengan usia di atas 70 tahun ke atas lebih berisiko tinggi
menderita demensia.

2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukaan pada klien dengan masalah
psikososial pada demensia adalah klien kehilangan ingatan.

3) Riwayat kesehatan sekarang


Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai keadaan klien saat
dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan sampai saat dilakukan
pengkajian.

4) Riwayat kesehatan dahulu


Riwayat kesehatan dahulu seperti riwayat adanya masalah psikososial
sebelum dan bagaimana penanganan yang telah dilakukan.

5) Riwayat kesehatan keluarga


Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang mengalami gangguan
psikologi seperti yang dialami oleh klien, atau adanya penyakit genetik
yang mempengaruhi psikososial.

6) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Keadaan umum klien lansia yang mengalami masalah
psikososial demensia biasanya lemah.

b) Kesadaran
Kesadaran klien biasanya komposmentis

c) Tanda-tanda vital:
(1) Suhu dalam batas normal (37°)
(2) Nadi normal (60-100x/menit)
(3) Tekanan darah kadang meningkat kadang turun
(4) Pernafasan biasanya normal atau meningkat.
d) Pemeriksaan Review Of System ( ROS) :
(1) Sistem pernafasan (B1 : breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih
dalam batas normal.

(2) Sistem sirkulasi (B2 : Bleeding)


Biasanya tidak ditemukan adanya kelainan,
frekuensi nadi masih dalam batas nomal.

(3) Sistem Persarafan (B3 : Brain)

Klien mengalami gangguan memori, kehilangan ingatan,


gangguan konsentrasi, kurang perhatian, gangguan persepsi
sensori, insomnia.

(4) Sistem perkemihan (B4 : Bleder)


Tidak ada keluhan terkait dengan pola berkemih.

(5) Pola seksual dan reproduksi


Klien mengalami penurunan minat terhadap
pemenuhan kebutuhan seksual.

(6) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping


Klien menggunakan mekanisme koping yang tidak efektif
dalam menangani stress yang dihadapinya.

(7) Pola tat nilai dan kepercayaan


Klien biasanya tidak mengalami gangguan dalam
spiritual.

b. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan proses pikir berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam mengenal masalah
2) Resiko Cidera berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga
dalam mengenal masalah
3) Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam mengenal masalah
4) Hambatan Komunikasi Verbal berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga dalam mengenal masalah
5) Hambatan Interaksi Sosial berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam mengenal masalah
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, Reny Yuli. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Trans
Info Media.

Nasrullah, Dede. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontilk Jilid 1. Jakarta : Trans

Info
Media.
Sudiharto. 2012. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan
Transtruktual. Jakarta : EGC

Johansson et al (2012) Cognition, Daily Living, and Health Related Quality of Life in 85
year old in Sweden. Journal of Aging, Neuropsychology and Cognition. (19), 3.

Friedman, Marilyn M. 2010. Buku Ajar : Keperawatan Keluarga Riset, Teori &
Praktik. Jakarta : EGC

Maryam, Siti, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan pada Lansia. Jakarta: Trans Info
Media

Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Nuha Medika

2013. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Medical Book

Katona, Cornellius. 2012. At a glance Psikiatri. Jakarta : Erlangga

Ganong, William F. 2010. Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran


Klinis Edisi 5. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai