Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di antara penyakit degenerative atau penyakit yang tidak menular yang akan
meningkat jumlahnya dimasa yang akan mendatang, diabetes adalah salah satu di
antaranya. Peningkatan prevalensi diabetes mellitus di beberapa negara berkembang
adalah akibat dari peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan. Peningkatan
pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar,
menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degenerative seperti penyakit jantung
koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, dll. Data epidemiologis Negara
berkembang masih belum banyak, oleh karena itu angka prevalensi yang dapat di telusuri
terutama berasal dari Negara maju.1
WHO
memprediksi

kenaikan

jumlah

penderita

Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan Data Badan Pusat
Statistik,diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah
sebesar113 juta jiwa, dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah
rural sebesar 7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12 juta penyandang diabetes di
daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Diabetes Melitus (DM) jika tidak ditangani
dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh
seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf, dll.2
Gagal ginjal kronik atau cronic kidney disease merupakan salah satu komplikasi berat
yang terjadi pada penderita DM. Menurut data dari WHO, Indonesia termasuk
dalam urutan ke-4 sebagai negara dengan penderita gagal ginjal kronik terbanyak yang
jumlahnya mencapai 16 juta jiwa. Pada gagal ginjal kronik, fungsi ginjal mengalami
penurunan yang signifikan. Sehingga, keadaan ini memerlukan terapi pengganti seperti
cuci darah maupun transplantasi ginjal yang memerlukan biaya besar. Dengan
penatalaksanaan yang cepat dapat mencegah atau menghilangkan komplikasi serta
menghambat prgresifitas sehingga menjadi gagal ginjal.3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Diabetes Melitus Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan
menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema
anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi
insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. 4
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible dan pada suatu derajat memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.5,6,7
Tabel 2.1 Kriteria penyakit ginjal kronik
1.

Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi :

2.

kelainan patologis

terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah

atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)


Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sana atau

lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2 tidak termasuk criteria penyakit ginjal kronik.6,7

2.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus

tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO
memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita
diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita
diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di
Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan
pemeriksaan secara teratuhr. Beberapa dari penderita diabetes juga telah mengalami
komplikasi salah satu komplikasi terbanyak adalah penyakit ginjal konik.3 (ferdi) Di Amerika
Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100
kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya.6
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sebanyak 155 juta penduduk dunia
pada tahun 2002 mengidap penyakit ginjal kronik dan diperkirakan jumlah ini akan terus
meningkat hingga melebihi angka 200 juta pada tahun 2025.7 Survei yang dilakukan oleh
Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) pada tahun 2009 menyatakan prevalensi gagal
ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%.8
2.3 Etiologi dan Klasifikasi
2.3.1 Penyakit Ginjal Kronik
Umumnya gagal ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsik difus dan menahun.
Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan gagal ginjal
kronik. Umumnya penyakit diluar ginjal, misal nefropati obstruktif dapat menyebabkan
kelainan ginjal instrinsik dan berakhir dengan gagal ginjal kronik.6
Glomerulonefritis, hipertensi esensial dan pielonefritis merupakan penyebab paling
sering dari gagal ginjal kronik, kira-kira 60%. Gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan
penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-20%. Glomerulonefritis kronik
merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus, seringkali berakhir dengan gagal
ginjal kronik. Laki-laki lebih sering dari wanita, umur antara 20-40 tahun. Sebagian besar
pasien relatif muda dan merupakan calon utama untuk transplantasi ginjal. Glomerulonefritis
mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit sistem (glomerulonefritis sekunder) seperti
lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus wagener. Glomerulonefritis
(glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang
dijumpai dan dapat berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan
dengan amiloidosis sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti
tuberkulosis, lepra, osteomielitis, artritis reumatoid dan mieloma.6

Penyakit ginjal hipertensi (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu penyebab


gagal ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik
kurang dari 10 %. Pada orang dewasa gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi
saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali
tuberkulosis, abses multipel, nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan yang
adekuat.
Nefritis interstisial menunjukkan kelainan histopatologi berupa fibrosis dan reaksi
inflamasi atau radang dari jaringan interstisial dengan etiologi yang banyak. Kadang dijumpai
juga kelainan-kelainan mengenai glomerulus dan pembuluh darah. Nefropati asam urat
menempati urutan pertama dari etiologi nefritis interstisial.6
Pehimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2012 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, dikelompokan menjadi diantaranya
glomerulopati primer, nefropati diabetika, nefropati lupus/SLE, penyakit ginjal hipertensi,
ginjal polikistik, nefropati asam urat, lain-lain dan penyebab yang tidak diketahui.9
Tabel 2.4 Penyebab Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia8
Penyebab
Penyakit ginjal hipertensi

Insiden
35%

Nefropati diabetika

26%

Glomerulopati primer

12%

Nefropati obstruksi

8%

Pielonefritis kronis

7%

Lain-lain

6%

Tidak diketahui

2%

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, berdasarkan derajat
(stage) penyakit dan berdasarkan diagnosis etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit,
dibuat atas dasar LFG (Laju Filtrasi Glomerulus), yang dihitung dengan menggunakan rumus
Kockkcroft-Gault sebagai berikut6:
LFG

(ml/mnt/1,73m2)

(140 umur) x berat badan *)


72 x kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit6,7
Derajat Penjelasan
LFG (ml/menit/1,73 m2)
1
Kerusakan ginjal dengan FLG normal atau
> 90
2
Kerusakan ginjal dengan FLG ringan
60 - 89
3
Kerusakan ginjal dengan FLG sedang
30 - 59
4
Kerusakan ginjal dengan FLG berat
15 - 29
5
Gagal Ginjal
< 15 atau dialisis
Tabel 2.3 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi5,6
Penyakit ginjal
Diabetes Mellitus tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal
non diabetes

Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pieloneftritis kronik, batuk, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik

Penyakit pada

(ginjal polikstik)
Rejeksi kronik

transplantasi

Keracunan obat (sikloporin/takrolimus)


Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik sebagai berikut :


a

Penurunan cadangan faal ginjal ( LFG = 40 75 %)


Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi masih dapat
dipertahankan normal. Masalah ini sesuai dengan konsep intac nephron hypothesis.
Kelompok pasien ini sering ditemukan kebetulan pada laboratorium rutin.

Insufisiensi renal (LFG = 20 50 %)


Pasien GGk pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal walaupun sudah
memperlihatkan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan retensi azotemia. Pada
pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi, anemia (penurunan HCT) dan hiperurikemia.
Pasien pada tahap ini mudah terjun ke sindrom acute on chronic renal failure artinya
gambaran klinik gagal ginjal akut (GGA) pada seorang pasien gagal ginjal kronik (GGK),

dengan faktor pencetus (triger) yang memperburuk faal ginjal (LFG) Sindrom ini sering
berhubungan dengan faktor-faktor yang memperburuk faal ginjal (LFG).
Sindrom acute on chronic renal failure ditandai dengan oliguria, tandatanda overhidrasi
(bendungan paru, bendungan hepar, kardiomegali), edema perifer (ekstrimitas & otak),
asidosis, hiperkalemi, anemia dan hipertensi berat.
c

Gagal ginjal (LFG = 5 25 %)


Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata yaitu anemia, hipertensi, overhydration
atau dehidrasi, kelainan laboratorium seperti penurunan HCT, hiperurikemia, kenaikan
ureum dan kreatinin serum, hiperfosfatemia, hiponatremia dilusi atau normonatremia,
kalium K+ serum biasanya masih normal.

Sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5 %)


Sindrom azotemia (istilah lama uremia) dengan gambaran klinik sangat komplek dan
melibatkan banyak organ (multi organ).10
2.3.2 Diabetes Melitus
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA),
2005, yaitu11 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat
disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah
cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar
akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan
disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan
diuresis osmotik. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari),
sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya
normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur
hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin
dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme
glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga
terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau
kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.

3. Diabetes Melitus Tipe lain


a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional
KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI
1998
DM TIPE 1:

DM TIPE LAIN :

DM TIPE 2 :
insulin

1. Defek genetik fungsi sel beta :

Defisiensi

Defisiensi

insulin absolut

relatif :

Maturity onset diabetes of the young

akibat destuksi

1, defek sekresi

Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain

sel beta,

insulin lebih

2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis

karena:

dominan daripada

Pankreatektomy

1.autoimun

resistensi insulin.

3.Endokrinopati : akromegali, cushing,

2. idiopatik

2. resistensi insulin

hipertiroidisme

lebih dominan

4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme

daripada defek

5.Akibat virus: CMV, Rubella

sekresi insulin.

6.Imunologi: antibodi anti insulin

DM
GESTASIONAL

7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

2.4 Patofiologi
2.4.1 Penyakit Ginjal Kronik
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya.2 Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
pada nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadi hiperfiltrasi, yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.6,10 Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas sistem RAA
(renin-angiotensin-aldosteron) intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya

hiperfiltrasi, skelrosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksi renin
angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor (TGF-). Beberapa hal
yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, disiplidemia.11 Terdapat variabilitas interinvidual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.6,10,11
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadinya kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang di tandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien
seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan.2,6
Sampai pada LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme, fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15%, akan terjadi komplikasi
yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau tranplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
pada stadium gagal ginjal.6
2.4.2 Diabetes Melitus
Tubuh manusia membutuhkan energi agar dapat berfungsi dengan baik. Energi
tersebut diperoleh dari hasil pengolahan makanan melalui proses pencernaan di usus. Di
dalam saluran pencernaan itu, makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan tersebut.
Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam
lemak. Ketiga zat makanan tersebut akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam
pembuluh darah dan akan diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan sebagai bahan
bakar. Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan sangat penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar.
Pengeluaran insulin tergantung pada kadar glukosa dalam darah. Kadar glukosa darah sebesar
> 70 mg/dl akan menstimulasi sintesa insulin. Insulin yang diterima oleh reseptor pada sel
target, akan mengaktivasi tyrosin kinase dimana akan terjadi aktivasi sintesa protein,

glikogen, lipogenesis dan meningkatkan transport glukosa ke dalam otot skelet dan jaringan
adipose dengan bantuan transporter glukosa (GLUT 4).

Inkretin
Suatu hormone yang diproduksi di usus ( jejunum dan ileum) akibat adanya makanan
dalam usus dan dilepaskan ke darah dengan tujuan respon insulin menjadi lebih intensif.
Respon lebih intensif karena :
Adanya proliferasi dan peningkatan massa sel Pankreas
Menghambat apoptosis sel
Mensupresi pelepasan glukagon sel . 1

Patofisiologi DM tipe 1
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian sel beta pancreas sudah
rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meski rinciannya masih
samar. Pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan
lingkungan biasanya memulai proses ini pada individu dengan kerentanan genetik. Infeksi
virus diyakini merupakan satu mekanisme pemicu tetapi agen non infeksius juga dapat
terlibat. Ketiga, dalam rangkaian respon peradangan pankreas, disebut insulitis. Sel yang
mengifiltrasi sel beta adalah monosit atau makrofag dan limfosit T teraktivasi. Keempat,
adalah perubahan atau transformasi sel beta sehingga tidak dikenali sebagai sel sendiri, tetapi
dilihat oleh sistem imun sebagai sel. Kelima, perkembangan respon imun karena dianggap sel
asing terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja bersama-sama dengan mekanisme imun
seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.
Patofisiologi DM tipe 2
Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 mempunyai dua efek fisiologis. Sekresi insulin
abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran. Ada tiga fase
normalitas. Pertama glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi urin karena
kadar insulin meningkat. Kedua, resistensi insulin cenderung menurun sehingga meskipun
konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa bentuk hiperglikemia.

10

Pada diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin normal, malah mungkin banyak, tetapi
jumlah reseptor pada permukaan sel yang kurang. Dengan demikian, pada DM tipe 2 selain
kadar glukosa yang tinggi, terdapat kadar insulin yang tinggi atau normal. Keadaan ini
disebut sebagai resistensi insulin. Penyebab resistensi insulin sebenarnya tidak begitu jelas,
tetapi faktor berikut ini turut berperan :

Obesitas terutama sentral.


Diet tinggi lemak rendah karbohidrat.
Tubuh yang kurang aktivitas.
Faktor keturunan.

Baik pada DM tipe 1 atau 2, jika kadar glukosa dalam darah melebihi ambang batas
ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urine.
Pada DM tipe II, jumlah insulin normal atau mungkin jumlahnya banyak, tetapi jumlah
reseptor insulin yang terdapat dalam permukaan sel berkurang. Akibatnya glukosa yang
masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat (Suyono, 2002).

DM TIPE II. 11

Gangguan reseptor insulin


Insulin darah tinggi tapi glukosa darah juga tinggi
Gula intrasel rendah

Nafsu makan meningkat

Merangsang sel Pankreas terus berproduksi


Kerusakan sel Pankreas
Insulin darah rendah

11

Failed counter pada glukagon


Glukagon meningkat
Hepato Glucos Production meningkat
Gula darah meningkat

2.5 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik Akibat Diabetes Melitus


Teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti : 12
1. Hiperglikemia
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada penderita DM tipe 1
dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati diabetik. Perbaikan kontrol glukosa
pada penderita DM tipe 2 dapat mencegah kejadian mikroalbuminuria. Keadaan
mikroalbuminuria akan memperberat kejadian nefropati diabetik. Dengan bukti-bukti
ini menunjukan bahwa hubungan antara hiperglikemia dengan nefropati tidak ada
yang meragukan, ini tampak pada kenyataan bahwa nefropati dan komplikasi
mikroangiopati dapat kembali normal bila kadar glukosa darah terkontrol.
2. Glikolisasi Non Enzimatik
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam
amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang akan
menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation Products). Penimbunan AGEs
dalam glomerulus maupun tubulus ginja dalam jangka panjang akan merusak
membrane basalis dan mesangium yang akhirnya akan merusak seluruh glomerulus.
3. Polyolpathyway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose
reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran utama dalam
merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah meningkat maka sorbitol
akan meningkat dalam sel ginjal dan akan mengakibatkan kurangnya kadar
mioinositol, yang akan mengganggu osmoregulase sel sehingga sel itu rusak.

12

4. Glukotoksisitas
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam
perkembangan nefropati diabetik studi tentang sel ginjal dan glomerulus yang disolasi
menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah penimbunan
matriks ekstraselular. Menurut Lorensi, sehingga dapat terjadi nefropati diabetik.
5. Hipertensi
Hipertensi mempunyai peranan paling dalam patogenesis nefropati diabetik
disamping hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan
hipertensi lebih banyak mengalami nefropati dibandingkan penderita diabetes tanpa
hipertensi. Hemodinamik dan hipertropi mendukung adanya hipertensi sebagai
penyebab terjadinya hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dari neuron
yang sehat lambat lain akan menyebabkan sclerosis dari nefron tersebut. Jika
dilakukan penurunan tekanan darah, maka penyakit ini akan reversible.
6. Proteinuria
Proteinuria merupakan predictor independent dan kuat dari penurunan fungsi ginjal
baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya. Adanya
hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi protein, dimana
pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang berlangsung lama dan berlebihan
akan menyebabkan kerusakan tubulo-intertisiel dan progresifitas penyakit. Bila
reabsorbsi tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi akumulasi protein
dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti
endotelin I, osteoponin, dan monocyte chemotractant protein-I (MCP-1). Factor factor
ini akan merubah ekspresi dari pro-inflamatory dan fibritic cytokines dan infiltrasi sel
mononuclear, menyebabkan kerusakan dari tubulointertisiel dan akhirnya terjadi renal
scarring dan insufisiensi.
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan
pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik, dan hemodinamik berpengaruh
terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai bagian dasar
terjadinya nefropati diabetik adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran
basal glomerulus. Gambaran histologi jaringan pada nefropati diabetik memperlihatkan
adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya
menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta fibrosis tubulo
intertitial. Berbagai fakto berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa

13

yang menahun (glukotoksisitasi) pada penderita yang mempunya predisposisi genetik


merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati
diabetik. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur (Bethesda, 2010) :
1) Alur metabolik (metabolik pathway)
Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses
non enzimatik dengan asam amino bebsa menghasilkan AGEs (Advance
Glycosilation End-products) peningkatan AGEs akan menimbulkan kerusakan pada
glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C.
Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat
meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivasi enzim aldose reduktase. Peningkatan
sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan
gangguan osmolaritas membran basal.

14

Gambar 3. Patogenesis Nefropati Diabetik

15

Gambar 4. Mekanisme Polyol Pathyway


Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang merupakan
sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-dependent reduction
dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang
dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta
mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor.
Pada sel, aktivasi aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutachione (GSH) yang
merupakan tambahan stress oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk
mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa menggunakan NAD-sebagai kofaktor.
2) Alur Hemodinamik
Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi akibat
glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor
hemodinamik diawali dengan peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II.
Angiotensin II juga berperan dalam perjalanan nefropati diabetik. Angiotensin II
berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut
antara lain merangsang vasokonstriksi sistemik, meningkatnya tahanan kapiler arteriol
glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks
ekstraselular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini
didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor non Willebrand dan

16

trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endoteol kapiler. Hal ini juga
yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita denga mikroalbuminuria persisten,
terutama pada DM tipe2, lebih banyak terjadi kematian akbiat kardiovaskular dari
pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabettik kidney disease masih
kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana ada penderita ini hipertensi
dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis
mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya
nefropati tetapi mempercepat progresive ke arah GGT pada penderita yang sudah
mengalami diabetik kidney disease.
Dari kedua faktor di atas maka akan terjadinya peningkatan TGF beta yang akan
menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga akan
meningkatkan akumulasi ektraselular matriks yang berperan dalam terjadinya nefropati
diabetik (Bethesda,2010).
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya berbagai
komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan dan
kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik pada DM.
perubahan dasar atau disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel
otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal. Semuanya penyebabkan
perubahan pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel, yang kemudian pada gilirannya
akan menyebabkan komplikasi vaskuler diabetes. Pada nefropati diabetik terjadi peningkatan
glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi
perubahan yang mengarah kepada terjadinya glomerulsklerosis (Sudoyo, 2006).

BAB III

17

KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas,
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Suyono, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV : Diabetes Melitus
Di Indonesia. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. p: 1875.
2. Soegondo, Sidartawan. Soewondo, Pradana. Subekti, Imam. 1995. Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan kelima, 2005. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.
3. Hogg RJ et al. National Kidney Foundations Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in Children and
Adolescents: Evaluation, Classification, and Stratification. Pediatrics 2003;111:14161421.
4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
5. National Kidney Foundation. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. United States: 2002.
Available

https://www.kidney.org/professionals/

kdoqi/guidelines_ckd/p9_approach.html Accessed on August 10, 2014.


6. Suwitra Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4 Jilid ke-2. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2009; p.1035-7.
7. National Kidney Foundation. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. United States: 2002.
Available

at:

https://www.kidney.org/professionals/

kdoqi/guidelines_ckd/p9_approach.html. Accessed on: July 31th 2014.


8. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Annual Meeting 2009 Perhimpunan Nefrologi
Indonesia. Available at: http://www.pernefri-inasn.org/

Accessed on: August 14,

2014.
9. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Program Indonesian Renal Registry. 5 th Report of
Indonesian Renal Registry 2012;5:p.1-40
10. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume
2. In: Brahm U. Pendit, editors. 6th ed. Jakarta: EGC, 2005. p. 931-2.

18

11. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
12. Permanasari, A., Dwiana A., Saleh A., Dharma M. 2010. Nefropati Diabetes.

Anda mungkin juga menyukai