Anda di halaman 1dari 25

SEMINAR KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Maulidiya Nurrahmah 30902100136


Muhammad Ibrahim Jawa J. 30902100142
Naning Setyo Wati 30902100157
Nurul Lathifah 30902100173
Perwita Rameka Dewi 30902100175
Putri Latifa Aslam 30902100183
Sally Angelina Darmadeta 30902100208
Salwa Alya Azzahra 30902100210
Selvy Saputri Damayanti 30902100212
Silvia Nur Uliasari 30902100226
Via Widyaningrum 30902100242

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal ginjal merupakan suatu kondisi medis yang menyebabkan gangguan
ekskresi sisa metabolisme sehingga dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit serta asam dan basa dalam tubuh penderita (Apriliani, 2023). Gagal ginjal
kronik adalah penurunan fungsi ginjal dalam jangka panjang yang menyebabkan
kerusakan jaringan progresif (Diahastuti, 2021). Penyakit ginjal kronik merupakan
masalah kesehatan masyarakat global yang prevalensi dan insidensinya terus
meningkat sehingga menimbulkan risiko serius dan memerlukan biaya pengobatan
yang besar (Damayanti, 2021).

World Health Organization (WHO) menyebutkan prevalensi penyakit ginjal di


seluruh dunia adalah sekitar 65% dari seluruh kasus diabetes dan mayoritas adalah
kanker. Diperkirakan 5 hingga 10 juta orang meninggal lebih awal akibat penyakit ginjal
(WHO, 2018). Prevalensi global penyakit ginjal kronik adalah >10% dari populasi
dunia, dengan sekitar 843,6 juta orang penderita (Kovesdy, 2022).

Penyakit ginjal kronik (PGK) termasuk dalam 10 besar penyakit tidak menular di
Indonesia dengan prevalensi 0,2% (Nurrohman, 2022). Data hasil Riset Kesehatan
Dasar (Mardhatillah et all., 2020) menunjukkan angka penderita penyakit ginjal kronik
pada umur 34 sampai 44 tahun sebesar 0,3%, umur 45 sampai 54 tahun sebesar
0,4%, untuk usia 55 hingga 74 tahun adalah 0,5%, serta usia di atas 75 tahun
merupakan 0,6% kasus (Apriliani, 2023). Menurut Kajian Kesehatan Nasional Provinsi
Jawa Tengah tahun 2018, prevalensi penyakit ginjal kronik sebesar 0,5% (96.974
kasus) (Nurrohman, 2022).

Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat ke-9 dengan angka 0,29% (75.490 jiwa)
menderita penyakit ginjal kronik dan 23,14% (224 jiwa) memerlukan hemodialisis.
Angka kejadian penyakit ginjal kronik semakin meningkat dengan puncak kejadian
sebesar 0,67% pada penduduk berusia 75 tahun ke atas (Riskesdas Jatim, 2018). RS
Panti Waluya Sawahan Malang merupakan salah satu rumah sakit di kota Malang
yang mempunyai unit hemodialisis dengan angka kejadian gagal ginjal kronik pada
bulan Desember 2022 sampai dengan Januari 2023, dengan jumlah pasien gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis kronik sebanyak 137 orang (Apriliani, 2023).
Gagal ginjal dapat disebabkan oleh beberapa faktor, khususnya gangguan
metabolisme seperti diabetes, hipertensi, gangguan saluran kemih (batu ginjal), yang
dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Selain itu, penggunaan obat pereda
nyeri yang berlebihan, baik yang dijual bebas maupun diresepkan oleh dokter, selama
bertahun-tahun dapat menyebabkan risiko nekrosis papiler dan gagal ginjal kronik.
Kebiasaan merokok dan minuman berenergi juga dapat menyebabkan gagal ginjal
(Damayanti, 2021).

Gangguan fungsi ginjal dapat menyebabkan hipertrofi struktural dan fungsional


nefron sebagai upaya kompensasi, menyebabkan peningkatan hemofiltrasi, diikuti
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Secara bertahap, seseorang
akan mengamati penurunan fungsi nefron secara progresif, ditandai dengan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum (Meita, 2020). Tanda dan gejala
penyakit ginjal kronik antara lain hipertensi, edema ekstremitas, dilatasi vena jugularis,
dispnea, kulit kering, bersisik, asites abdominal, CRT > 3 detik, anemia, peningkatan
kalium darah, diabetes, hipoalbuminemia, hipoksia, penyakit kuning pada kulit
(Damayanti, 2021).

Pelaksanaan asuhan pasien berfokus pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Di
sini diperlukan peran perawat sebagai edukasi dan fasilitator dalam pekerjaan
perawatan segera secara mandiri dan kolaboratif, dengan memperhatikan kebutuhan
dasar seseorang, gejala yang ditemukan dan informasi tentang penyebab gagal ginjal
kronik, untuk mencegah dan mengurangi jumlah penderita yang menderita gagal ginjal
kronik.

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan antara lain menjaga tekanan darah,
menjaga asupan cairan, dan menjalani diet rendah protein, natrium, dan kalium untuk
mengurangi beban pada ginjal. Terapi penggantian ginjal atau hemodialisis juga dapat
dilakukan untuk menjaga fungsi ginjal hingga mencegah kematian, namun hal ini tidak
dapat menyembuhkan fungsi ginjal sepenuhnya. Berdasarkan penjelasan di atas,
penulis berharap mendapatkan gambaran pelaksanaan terhadap ”Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik”.
B. Tujuan Penulisan Makalah
a. Tujuan Umum
Mengetahui/menjelaskan konsep gagal ginjal kronik dan asuhan keperawatan
pada pasien gagal ginjal kronik.
b. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan konsep gagal ginjal kronik (pengertian, etiologi, manifestasi klinis,
dan patofisiologi).
b. Menjelaskan konsep gagal ginjal kronik terminal (pengertian, perawatan pada
pasien, dan epidemiologi).
c. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik (pengkajian,
diagnosa, dan intervensi, implementasi, dan evaluasi).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gagal Ginjal Kronik


1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik (CKD) adalah suatu kondisi dimana ginjal mengalami
kelainan struktural atau penurunan fungsi yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan
bersifat progresif serta tidak dapat disembuhkan (Anggraini and Fadila, 2023).

2. Etiologi Gagal Ginjal Kronik


Beberapa penyakit dapat menyebabkan gagal ginjal kronik, termasuk penyakit
ginjal diabetik (nefropati diabetik), penyakit ginjal polikistik (cystic ginjal disease) dan
gangguan tubulointerstitial (penyakit tubulointerstitial) (Surya, 2021). Faktor risiko
penyakit ginjal kronik adalah riwayat penyakit ginjal dalam keluarga, hipertensi,
diabetes, penyakit autoimun, usia lanjut, stadium akhir, penyakit ginjal akut serta
kerusakan struktural ginjal, baik GFR normal maupun meningkat (Hidayat, 2018).

a. Glomerulonefritis tergantung dari penyebab penyakitnya, yaitu glomerulonefritis


primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer disebabkan oleh penyakit primer
timbul dari ginjal itu sendiri, sedangkan glomerulonefritis sekunder terjadi karena
kelainan ginjal yang terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes mellitus,
lupus eritematosus sistemik (SLE), multiple myeloma atau amiloidosis (Surya,
2021).
b. Hipertensi disebabkan oleh tekanan darah sistolik, yang peningkatannya
bergantung pada usia individu atau apakah pasien sedang mengonsumsi obat
antihipertensi. Hipertensi dibedakan menjadi hipertensi ringan (95-104), sedang
(105-114) dan berat (>115) (Ramayani, 2020).
c. Diabetes melitus merupakan kelainan metabolisme gula darah kronik yang
ditandai dengan peningkatan kadar gula darah karena berkurangnya pelepasan
insulin, resistensi insulin atau keduanya (Surya, 2021).
d. Ginjal polikistik merupakan rongga yang memiliki dinding epitel dan berisi cairan
atau bahan semi padat. Polikistik artinya kista. Dalam situasi ini, hal itu mungkin
terjadi kista ditemukan tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun medula.
Selain kelainan genetik, kista juga bisa disebabkan oleh berbagai kondisi atau
penyakit. Oleh karena itu, ginjal polikistik adalah suatu penyakit keturunan yang
paling umum. Nama lain digunakan sebelumnya adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa karena kebanyakan baru muncul ketika usianya sudah di atas 30 tahun
(Ramayani, 2020).
3. Manifestasi Klinik Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik tidak memiliki gejala atau tanda penurunan fungsi yang
spesifik, namun gejala mulai muncul ketika fungsi nefron mulai menurun secara terus-
menerus. Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan ketergantungan terhadap fungsi
organ lain dalam tubuh. Gangguan fungsi ginjal jika tidak ditangani dengan baik dapat
berakibat serius dan berujung pada kematian (Sari, 2022).

Beberapa tanda dan gejala gagal ginjal kronik sebagai berikut (faisal, 2018).

a. Gangguan Sistem Gastrointestinal


1) Anoreksia, mual dan muntah berhubungan dengan gangguan metabolisme
protein usus, pembentukan zat beracun oleh metabolisme bakteri usus
seperti amonia dan logam gaunidine dan pembengkakan selaput lendir.
2) Kotoran urea disebabkan oleh kelebihan urea dalam air liur yang diubah
menjadi amonia oleh bakteri di mulut sehingga menyebabkan napas berbau
amonia.
b. Gangguan Pada Sistem Hematologi dan Kulit
1) Anemia karena kurangnya produksi eritropoietin.
2) Kulit pucat dan kekuningan akibat anemia dan akumulasi urokrom.
3) Gatal karena uremia.
4) Trombositopenia (berkurangnya jumlah trombosit dalam darah).
5) Gangguan fungsi kulit (berkurangnya fagositosis dan ketosis).
c. Sistem Saraf dan Otot
1) Sindrom kaki gelisah (Klien mengalami nyeri kaki sehingga harus selalu
bergerak).
2) Burning foot syndrome (klien merasa kesemutan dan terbakar terutama pada
telapak kaki).
3) Ensefalopati metabolik, yaitu Klien tampak lemas, tidak bisa tidur, sulit
konsentrasi, gemetar, mioklonus, dan kejang.
4) Klien tampak mengalami kelemahan dan atrofi otot, terutama otot
ekstremitas.
d. Sistem kardiovaskular
1) Tekanan darah tinggi akibat penumpukan cairan dan garam.
2) Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit
arteri koroner akibat aterosklerosis dini, dan gagal jantung akibat retensi
cairan.
3) Aritmia akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit dan klasifikasi
metastasis.
4) Edema akibat penumpukan cairan.
e. Sistem Endokrin
1) Disfungsi seksual/libido (kesuburan dan disfungsi seksual pada pria dan
gangguan menstruasi pada wanita).
2) Gangguan metabolisme glukosa, retensi insulin dan sekresi insulin (Firdaus,
2022).

Menurut Harmilah (2020), beberapa tanda dan gejala penderita penyakit ginjal
kronik antara lain:

a. Perlu buang air kecil lebih sering, terutama pada malam hari.
b. Kulit yang gatal, kram otot.
c. Darah atau protein dalam urin terdeteksi selama urinalisis.
d. Berat badan menurun.
e. Kehilangan nafsu makan atau penurunan nafsu makan.
f. Penumpukan cairan menyebabkan pembengkakan pada pergelangan kaki dan
tangan.
g. Nyeri dada disebabkan oleh penumpukan cairan di sekitar jantung.
h. Kontraksi otot, mengalami masalah pernapasan atau kesulitan bernapas, mual
dan muntah, insomnia.
i. Disfungsi ereksi terjadi pada pria (Sari, 2023).

4. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik


Patofisiologi Gagal ginjal kronik terjadi karena 2 sebab mekanisme, khususnya
pemicu awal dan mekanisme yang sedang berlangsung. Iritasi awal mungkin
merupakan masalah ginjal yang mendasarinya (perkembangan abnormal atau
penyumbatan di sepanjang parenkim ginjal), peradangan yang disebabkan oleh
autoimun, atau nefrotoksisitas. Kerusakan ginjal ini berlanjut dengan hiperfiltrasi dan
hipertrofi nefron yang tersisa. Mekanisme ini berlanjut dengan produksi beberapa
hormon seperti sistem renin-aldosteron, sitokin dan faktor pertumbuhan. Proses ini
meningkatkan tekanan pengisian arteri pada nefron, sehingga menyebabkan
perubahan permeabilitas pembuluh darah dan struktur glomerulus serta perubahan
deposisi yang akhirnya merusak sistem filtrasi glomerulus. Pada akhirnya, proses yang
berkelanjutan ini menyebabkan sklerosis nefron dan semakin memburuknya fungsi
ginjal (Sari, 2023).

Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berkurangnya massa fungsional ginjal akibat
hipertrofi ginjal untuk mengkompensasi penurunan jumlah dan fungsi nefron normal.
Hal ini dipicu oleh peningkatan molekul vasoaktif, sitokin, faktor pertumbuhan dan
ultrafiltrat. karena peningkatan tekanan dan aliran di kapiler glomerulus. Beberapa
sitokin dan faktor pertumbuhan memainkan peran penting dalam perkembangan
kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi dapat meningkatkan aktivitas renin-angiotensin,
menyebabkan pembesaran ginjal dan sklerosis (Hidayat, 2018).

Peningkatan aktivitas sumbu renin-angiotensin-aldosteron internal juga


berkontribusi terhadap terjadinya hipervolemia, sklerosis dan perkembangannya.
Aktivitas jangka panjang dari sumbu renin-angiotensin-aldosteron, dimediasi oleh
transformasi faktor pertumbuhan (TGF). Beberapa faktor juga berperan dalam
perkembangan gagal ginjal kronik, antara lain albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dan dislipidemia. Terdapat perbedaan antarindividu dalam terjadinya sklerosis dan
sklerosis glomerulo dan tubulointerstitial. Pada tahap awal penyakit ginjal kronik,
terdapat cadangan ginjal, sehingga GFR basal tetap normal atau bahkan meningkat.
Lalu perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron secara bertahap yang
ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum (Surya, 2021).

Diabetes dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik melalui 3 mekanisme utama.


Pertama, hiperglikemia saja menyebabkan peningkatan faktor pertumbuhan,
angiotensin II, endotelium dan produk akhir glikasi lanjut, semua ini berkontribusi
terhadap efek ultrafiltrasi. Kedua, ultrafiltrasi tekanan kapiler meningkat, akhirnya
menyebabkan perubahan pada pembuluh darah, termasuk penebalan membran
basal, pelebaran mesangial, peningkatan matriks ekstraseluler dan akhirnya fibrosis.
Saat terjadi perubahan ini, menyebabkan albuminuria meningkat sehingga faktor risiko
untuk penyakit kardiovaskular bertambah (Sari, 2023).

Hipertensi yang berhubungan dengan gagal ginjal disebabkan oleh mekanisme


yang sedikit berbeda. Ginjal kehilangan kemampuan pengaturan diri normal dari
arteriol aferen, sehingga menyebabkan peningkatan filtrasi sehingga arteriol aferen
mengalami perubahan vaskular. Ketika ultrafiltrasi berlanjut, kerusakan dan degradasi
terus terjadi dan hipertensi memburuk, baik pada tingkat sistemik, glomerulus, serta
ginjal terus melalui siklus ini dan terluka. Dampaknya adalah glomerulosklerosis diikuti
oleh atrofi dan/atau nekrosis (Sari, 2023).

Glomerulonefritis menggunakan mekanisme lain untuk mencapai hal ini hingga


menyebabkan penyakit ginjal kronik. Kerusakan dimulai dengan pengendapan
kompleks imun dalam tubuh di membran basal, memicu pelepasan kemokinin yang
diinginkan neutrofil, sel T, dan makrofag yang berbeda. Sel-sel kekebalan ini aktif
kemudian muncul serangkaian kemokinin dan sitokinin tambahan sehingga terjadi
peradangan dan kerusakan. Selain itu, protease, produk tambahan, dan oksidan dapat
muncul dan menyebabkan kerusakan langsung pada struktur glomerulus. Pada
akhirnya, nefritis interstisial berkembang, menyebabkan hilangnya kemampuan
penyaringan dan konsentrasi, menyebabkan proteinuria, induksi beberapa mediator
inflamasi, dan aktivasi sistem renin-angiotensin. Proses ini kemudian menyebabkan
peningkatan tekanan darah (hipertensi) dan iskemia, dan tubulus yang rusak
mengaktifkan faktor pertumbuhan tambahan yang pada akhirnya menyebabkan
fibrosis dan jaringan parut (Novi, 2023).

B. Konsep Gagal Ginjal Kronik Terminal


1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik Terminal
Penyakit ginjal kronik tahap akhir (terminal) adalah ketika fungsi ginjal berada di
bawah 10-15% dan tidak dapat lagi diobati dengan obat-obatan atau diet. Pada titik
ini, ginjal tidak lagi mampu beradaptasi/mengkompensasi fungsi yang perlu dijalankan.
Ginjal sangat diperlukan bagi tubuh sehingga memerlukan terapi atau pengobatan
untuk menggantikan fungsinya yang disebut dengan terapi pengganti ginjal. Terapi
pengganti ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan cuci darah atau transplantasi
ginjal. Ada 2 jenis metode dialysis, yaitu hemodialisis (hematosentesis atau disingkat
HD) dan lavage lambung (dialisis peritoneal, disingkat PD) (Eka et al., 2019).

2. Perawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Terminal


Perawatan yang umum digunakan dalam penanganan penyakit ginjal kronik
stadium akhir adalah pengaturan pola makan, cuci darah, dan transplantasi ginjal.
Manajemen diet diberikan kepada pasien dari tahap awal hingga akhir.

a. Manajemen pola makan (diet)


Tujuan penatalaksanaan gizi adalah mempertahankan status gizi optimal,
mencegah faktor-faktor yang memberatkan, memperlambat penurunan fungsi
ginjal, mengurangi dan menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu, serta
mengatur keseimbangan elektrolit.
b. Cuci darah (dialisis)
Cuci darah merupakan tindakan keperawatan yang harus dilakukan oleh
pasien gagal ginjal akut maupun kronik. Saat ini, cuci darah hanya menghilangkan
48-52% racun urin. Oleh karena itu, pasien tetap memerlukan pembatasan ketat
terhadap asupan makanan dan minuman, serta intervensi obat untuk
mengendalikan aspek lain dari gagal ginjal dan mencegah akumulasi sisa
metabolisme saat cuci darah.
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan upaya terakhir untuk mengobati pasien
penyakit ginjal. Hal ini terutama dilakukan ketika fungsi ginjal sangat buruk atau
sudah tidak ada lagi. Prinsip utamanya adalah mengganti ginjal yang rusak
dengan ginjal yang sehat melalui pembedahan (Eka et al., 2019).

3. Epidemiologi Gagal Ginjal Kronik Terminal


Penyakit gagal ginjal kronik menjadi salah satu masalah kesehatan utama di
masyarakat yang merupakan penyakit kronik. Penyakit ginjal kronik merupakan
penyakit persisten yang dapat menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (ESRF).
Penyakit ginjal stadium akhir merupakan penyakit dimana ginjal sudah tidak dapat
berfungsi secara normal dan penderita memerlukan terapi penggantian ginjal (KRT),
seperti cuci darah atau transplantasi ginjal. Epidemiologi global ESRF mencerminkan
karakteristik genetik, lingkungan, gaya hidup, dan sosio-demografis yang unik di setiap
negara. Penyakit ginjal kronik sudah menjadi epidemi, jumlah kasus baru terus
meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan kasus lama masih ditangani dengan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi (Eka et al., 2019).

C. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik


1. Pengkajian

Menurut Doenges, Moorhouse, & Murr (2018), pengkajian keperawatan pada klien
dengan gagal ginjal kronik adalah:

a. Pemeriksaan fisik yang meliputi aktivitas/istirahat, sirkulasi, integritas ego,


eliminasi, makanan/ cairan, neurosensori, nyeri/kenyamanan, pernapasan,
keamanan, seksualitas, interaksi sosial, penyuluhan/pembelajaran.
b. Pemeriksaan diagnostik yang meliputi pemeriksaan urine, pemeriksaan darah,
osmolalitas serum, KUB foto, pielogram retrograde, arteriogram ginjal,
sistouretrogram berkemih, ultrasono ginjal, biopsi ginjal, endoskopi ginjal,
nefroskopi, EKG, foto kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipervolemia (D.0023).
b. Gangguan pertukaran gas (D.0003).
c. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009).
d. Resiko penurunan curah jantung (D.0011).
e. Defisit nutrisi (D.0019).
f. Intoleransi aktivitas (D.0056).
g. Nausea (D.0076).
h. Nyeri akut (D.0077).
i. Gangguan integritas kulit/jaringan (D.0129).
j. Ansietas (D.0080).

3. Rencana Keperawatan

Setelah kita melakukan pengkajian data hingga pendiagnosaan, maka langkah


selanjutnya ialah melakukan intervensi kepada klien. Intervensi yang bisa dilakukan
oleh seorang perawat harus sesuai dengan penyebab dan diagnosa. Berikut intervensi
sesuai dengan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI 2018):

a. Hipervolemia
Manajemen Hipervolemia (I.03114)
Observasi
a) Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis. Ortopnea, dispnea, edema,
JVP/CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, suara npas tambahan).
b) Identifikasi penyebab hipervolemia.
c) Monitor status hemodinamik (mis. Frekuensi jantung, tekanan darah, MAP,
CVP, PAP, PCWP, CO, CI), jika tersedia.
d) Monitor keceptan infus secara ketat.
e) Monitor efek samping diuretik (mis. Hipotensi ortostatik, hipovolemia,
hipokalemia, hiponatremia).
Terapeutik
a) Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama.
b) Batasi asupan cairan dan garam.
c) Tinggikan kepala tempat tidur 30 40°.
Edukasi
a) Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5,mL/kg/jam dalam 6 jam.
b) Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian diuretik.
b) Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretik.
b. Gangguan Pertukaran Gas
1) Pemantauan Respirasi (I.01014)
Observasi
a) Monitor frekuensi, irama kedalaman dan upaya napas.
b) Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,
Cheyne Stokes, Biot, ataksik).
c) Monitor kemampuan batuk efektif.
d) Monitor adanya produksi sputum.
e) Monitor adanya sumbatan jalan napas.
f) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru.
g) Auskultasi bunyi napas.
h) Monitor saturasi oksigen.
i) Monitor nilai AGD.
j) Monitor hasil x-ray toraks.
Terapeutik
a) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien.
b) Dokumentasikan hasil pemantauan.
Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan.
b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

2) Terapi Oksigen (I.01026)


Observasi
a) Monitor kecepatan aliran oksigen.
b) Monitor posisi alat terapi oksigen.
c) Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan fraksi yang diberikan
cukup.
d) Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan.
e) Monitor tanda-tanda hipoventilasi.
f) Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelaktasis.
g) Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen.
h) Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen.
Terapeutik
a) Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu.
b) Pertahankan kepatenan jalan napas.
c) Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen.
d) Berikan oksigen tambahan, jika perlu.
e) Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi.
f) Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat mobilitas pasien.
Edukasi
a) Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen di rumah.
Kolaborasi
a) Kolaborasi penentuan dosis oksigen.

c. Perfusi Perifer Tidak Efektif


1) Perawatan Sirkulasi (I.02079)
Observasi
a) Periksa sirkulasi periver (mis. Nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna,
suhu, ankle brachial index).
b) Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi ( mis. Diabetes, perokok, orang tua
hipertensi dan kadar kolestrol tinggi).
c) Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak pada ekstermitas.
Teraupetik
a) Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di daerah keterbatasan
perfusi.
b) Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstermitas dengan keterbatasan
perfusi.
c) Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area yang cidera.
d) Lakukan pencegahan infeksi.
e) Lakukan perawatan kaki dan kuku
Edukasi
a) Anjurkan berhenti merokok.
b) Anjurkan berolah raga rutin.
c) Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar.
d) Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah, antikoagulan, dan penurun
kolestrol, jika perlu.
e) Anjurkan minum obat pengontrl tekanan darah secara teratur.
f) Anjurkan menggunakan obat penyekat beta.
g) Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi ( mis. Rendah lemak jenuh,
minyak ikan omega.

2) Manajemen Sensasi Perifer (I.06195)


Observasi
a) Identifikasi penyebab perubahan sensasi.
b) Identifikasi penggunaan alat pengikat, prosthesis, sepatu, dan pakaian.
c) Periksa perbedaan sensasi tajam dan tumpul.
d) Periksa perbedaan sensasi panas dan dingin.
e) Periksa kemampuan mengidentifikasi lokasi dan tekstur benda.
f) Monitor perubahan kulit.
g) Monitor adanya tromboflebitis dan tromboemboli vena.
Teraupetik
a) Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan suhunya (terlalu panas atau
dingin).
Edukasi
a) Anjurkan penggunaan thermometer untuk menguji suhu air.
b) Anjurkan penggunaan sarung tangan termal saat memasak.
c) Anjurkan memakai sepatu lembut dan bertumit rendah.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu.
b) Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu.

d. Risiko Penurunan Curah Jantung


1) Perawatan Jantung (I.02075)
Observasi
a) Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung (meliputi dispnea,
kelelahan, edema, ortopnea, paroxymal nocturnal dyspnea, peningkatan CVP).
b) Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung (meliputi
peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena.
c) Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik, jika perlu.
d) Monitor intake dan output cairan.
e) Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama.
f) Monitor saturasi oksigen.
g) Monitor keluhan nyeri dada (mis. Intensitas, lokasi , radiasi, durasi, presivitasi
yang mengurangi nyeri).
h) Monitor fungsi alat pacu jantung.
i) Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan sesudah aktivitas.
j) Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian obat (mis. Beta
blocker, ACE inhibitor, calcium channel blocker, digoksin).
Terapuetik
a) Posisikan pasien semifowler atau fowler dengan kaki ke bawah atau posisi
nyaman.
b) Berikan diet jantung yang sesuai (mis Batasi asupan kefein, natrium, kolestrol,
dan makanan tinggi lemak).
Edukasi
a) Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi.
b) Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap.
c) Anjurkan berhenti merokok.
d) Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian.
e) Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan harian.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu.
b) Rujuk ke program rehabilitasi jantung.

e. Defisit Nutrisi
1) Manajemen Nutrisi (I.03119)
Observasi
a) Identifikasi status nutrisi.
b) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan.
c) Identifikasi makanan yang disukai.
d) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien.
e) Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik.
f) Monitor asupan makanan.
g) Monitor berat badan.
h) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium.
Terapeutik
a) Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu.
b) Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida makanan).
c) Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai.
d) Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi.
e) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein.
f) Berikan suplemen makanan, jika perlu.
g) Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogatrik jika asupan oral dapat
ditoleransi.
Edukasi
a) Anjurkan posisi duduk, jika mampu.
b) Ajarkan diet yang diprogramkan.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu.
b) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan, jika perlu.

2) Promosi Berat Badan (I.03136)


Observasi
a) Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang.
b) Monitor adanya mual dan muntah.
c) Monitor jumlah kalori yang dikonsumsi sehari-hari.
d) Monitor berat badan.
e) Monitor albumin, limfosit, dan elektrolit, serum.
Terapeutik
a) Berikan perawatan mulut sebelum memberikan makan, jika perlu.
b) Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien (mis. makanan dengan
tekstur halus, makanan yang diblender, makanan cair yang diberikan melalui
NGT atau gastrostomi, total parenteral nutrition sesuai indikasi).
c) Hidangkan makanan secara menarik.
d) Berikan suplemen, jika perlu.
e) Berikan pujian pada pasien/keluarga untuk peningkatan yang dicapai.
Edukasi
a) Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi, namun tetap terjangkau.
b) Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan.

f. Intoleransi Aktivitas
1) Manajemen Energi (I.05178)
Observasi
a) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan.
b) Monitor kelelahan fisik dan fungsional.
c) Monitor pola dan jam tidur.
d) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selamam melakukan aktivitas.
Terapeutik
a) Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara,
kunjungan).
b) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif.
c) Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan.
d) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan.
Edukasi
a) Anjurkan tirah baring.
b) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap.
c) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang.
d) Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan.
Kolaborasi
a) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan.

2) Terapi Aktivitas (I.05186)


Observasi
a) Identifikasi defisit tingkat aktivitas.
b) Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu.
c) Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang diinginkan.
d) Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam aktivitas.
e) Identifikasi makna aktivitas rutin (mis. bekerja) dan waktu luang.
f) Monitor respons emosional, fisik, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas.
Terapeutik
a) Fasilitasi fokus pada kemampuan, bukan defisit yang dialami.
b) Sepakati komitmen untuk meningkatkan frekuensi dan rentang aktivitas.
c) Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan tujuan aktivitas yang konsisten sesuai
kemampuan fisik, psikologis, dan sosial.
d) Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai usia.
e) Fasilitasi makna aktivitas yang dipilih.
f) Fasilitasi transportasi untuk menghadiri aktivitas, jika sesuai.
g) Fasilitasi pasien dan keluarga dalam menyesuaikan lingkungan untuk
mengakomodasi aktivitas yang dipilih.
h) Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis. ambulasi, mobilisasi, dan perawatan diri)
sesuai kebutuhan.
i) Fasilitasi aktivitas pengganti saat mengalami keterbatasan waktu, energi, atau
gerak.
j) Fasilitasi aktivitas motorik kasar untuk pasien hiperaktif.
k) Tingkatkan aktivitas fisik untuk memelihara berat badan, jika sesuai.
l) Fasilitasi aktivitas motorik untuk merelaksasi otot.
m) Fasilitasi aktivitas dengan komponen memori implisit dan emosional (mis.
kegiatan keagamaan khusus) untuk pasien demensia, jika sesuai.
n) Libatkan dalam permainan kelompok yang tidak kompetitif, terstuktur, dan aktif.
o) Tingkatkan keterlibatan dalam aktivitas rekreasi dan diversifikasi untuk
menurunkan kecemasan (mis. vocal group, bola voli, tenis meja, jogging,
berenang, tugas sederhana, permainan sederhana, tugas rutin, tugas rumah
tangga, perawatan diri, dan teka-teki dan kartu).
p) Libatkan keluarga dalam aktivitas, jika perlu.
q) Fasilitasi mengembangkan motivasi dan penguatan diri.
r) Fasilitasi pasien dan keluarga memantau kemajuannya sendiri untuk mencapai
tujuan.
s) Jadwalkan aktivitas dalam rutinitas sehari-hari.
t) Berikan penguatan positif atas partisipasi dalam aktivitas.
Edukasi
a) Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari, jika perlu.
b) Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih.
c) Anjurkan melakukan aktivitas fisik, sosial, spiritual, dan kognitif dakam menjaga
fungsi dan kesehatan.
d) Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok atau terapi, jika sesuai.
e) Anjurkan keluarga untuk memberi penguatan positif atas partisipasi dalam
aktivitas.
Kolaborasi
a) Kolaborasi dengan terapis okupasi dalam merencanakan dan memonitor
program aktivitas, jika sesuai.
b) Rujuk pada pusat atau program komunitas, jika perlu.

g. Nausea
1) Manajemen Mual (I.03117)
Observasi
a) Identifikasi pengalaman mual.
b) Identifikasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan (mis. bayi, anak-anak, dan
mereka yang tidak dapat berkomunikasi secaara efektif).
c) Identifikasi dampak mual terhadap kualitas hidup (mis. nafsu makan, aktivitas,
kinerja, tanggung jawab peran, dan tidur).
d) Identifikasi penyebab faktor mual (mis. pengobatan dan prosedur).
e) Identifikasi antiemetik untuk mencegah mual (kecuali mual pada kehamilan).
f) Monitor mual (mis. frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan).
g) Monitor asupan nutrisi dan kalori.
Terapeutik
a) Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual (mis. bau tak sedap, suara, dan
rangsangan visual yang tidak menyenangkan).
b) Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual (mis. kecemasan, ketakutan,
kelelahan).
c) Berikan jumlah makanan dalam jumlah kecil dan menarik.
d) Berikan makanan dingin, cairan bening, tidak berbau dan tidak berwarna, jika
perlu.
Edukasi
a) Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup.
b) Anjurkan sering membersihkan mulut, kecuali jika merangsang mual.
c) Anjurkan makanan tinggi karbohidrat dan rendah lemak.
d) Anjurkan penggunaan teknik nonfarmakologis untuk mengatasi mual (mis.
biofeedback, hipnosis, relaksasi, terapi musik, akupresur).
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu.

2) Manajemen Muntah (I.03118)


Observasi
a) Identifikasi karakteristik muntah (mis. warna, konsistensi, adanya darah, waktu,
frekuansi dan durasi).
b) Periksa volume muntah.
c) Identifikasi riwayat diet (mis, makanan yang disuka, tidak disuka, dan budaya).
d) Identifikasi faktor penyebab muntah (mis. pengobatan dan prosedur).
e) Identifikasi kerusakan esofagus dan faring posterior jika muntah terlalu lama.
f) Monitor efek manajemen muntah secara menyeluruh.
g) Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit.
Terapeutik
a) Kontrol faktor lingkungan penyebab muntah (mis. bau tak sedap, suara, dan
stimulasi visual yang tidak menyenangkan).
b) Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab muntah (mis. kecemasan,
ketakutan).
c) Atur posisi untuk mencegah aspirasi.
d) Pertahankan kepatenan jalan napas.
e) Bersihkan mulut dan hidung.
f) Berikan dukungan fisik saat muntah (mis. membantu membungkuk atau
menundukkan kepala).
g) Berikan kenyamanan selama muntah (mis. kompres dingin di dahi, atau
sediakan pakaian kering dan bersih).
h) Berikan cairan yang tidak mengandung karbonasi minimal 30 menit setelah
muntah.
Edukasi
a) Anjurkan membawa kantong plastik untuk menampung muntah.
b) Anjurkan memperbanyak istirahat.
c) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis untuk mengelola muntah (mis.
biofeedback, hipnosis, relaksasi, terapi musik, akupresur).
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu.

h. Nyeri Akut
1) Manajemen Nyeri (I.08238)
Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, identitas nyeri.
b) Identifikasi skala nyeri.
c) Identifikasi respon nonverbal.
d) Identifikasi respon yang memperberat dan memperingan nyeri.
e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
f) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
h) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah di berikam.
i) Monitor efek samping penggunaan analgetik.
Terapeutik
a) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri (mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain).
b) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
c) Fasilitasi istirahat dan tidur.
d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri.
Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
e) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.

2) Pemberian Analgesik (I.08243)


Observasi
a) Identifikasi karekteristik nyeri (mis. pencetus, pereda, kualitas, lokasi,
intensitas, frekuensi, durasi).
b) Identifikasi riwayat alergi obat.
c) Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. narkotika, non-narkotik, atau
NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri.
d) Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik.
e) Monitor efektifitas analgesik.
Terapeutik
a) Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika
perlu.
b) Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid untuk
mempertahankan kadar dalam serum.
c) Tetapkan target efektifitas analgesik untuk mengoptimalkan respons pasien.
d) Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek yang tidak
diinginkan.
Edukasi
a) Jelaskan efek terapi dan efek samping obat.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi.

i. Ansietas
1) Reduksi Ansietas (I.09314)
Observasi
a) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis. kondisi, waktu stresor).
b) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan.
c) Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal).
Terapeutik
a) Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepecayaan.
b) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan.
c) Pahami situasi yang membuat ansietas.
d) Dengarkan dengan penuh perhatian.
e) Gunakan pendekatanyang tenang dan meyakinkan.
f) Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan.
g) Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan.
h) Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang.
Edukasi
a) Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin akan dialami.
b) Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis.
c) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu.
d) Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan.
e) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi.
f) Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan.
g) Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat.
h) Latih teknik relaksasi.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu.

2) Terapi Relaksasi (I.09326)


Observasi
a) Identifikasi penurunan tingkat energi, ketidakmampuan berkonsentrasi, atau
gejala lain yang mengganggu kemampuan kognitif.
b) Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan.
c) Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik sebelumnya.
d) Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu sebelum dan
sesudah latihan.
e) Monitor respons terhadap terapi relaksasi.
Terapeutik
a) Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan pencahayaan dan
suhu ruang nyaman, jika memungkinkan.
b) Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur teknik relaksasi.
c) Gunakan pakaian longgar.
d) Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama.
e) Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau tindakan
medis lain, jika sesuai.
Edukasi
a) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis relaksasi yang tersedia (mis.
musik, meditasi, napas dalam, relaksasi otot progresif).
b) Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih.
c) Anjurkan mengambil posisi yang nyaman.
d) Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi.
e) Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih.
f) Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis. napas dalam, peregangan,
atau imajinasi terbimbing).

4. Implementasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan berdasarkan rencana keperawatan


yang ditetapkan berdasarkan tanda dan gejala utama dan dilakukan selama 3x8 jam
(Diahastuti, 2021). Banyak komplikasi ESRD (penyakit ginjal tahap akhir) yang
ditangani berdasarkan protokol medis yang ditentukan untuk menangani masalah
medis khusus ini. Namun penyakit progresif ini akan menimbulkan sejumlah stres bagi
anak dan keluarga, termasuk stres akibat penyakit yang berpotensi mengancam
nyawa. Pemeriksaan kesehatan berulang terus dilakukan, yang sering kali mencakup
prosedur yang menyakitkan, efek samping, dan seringnya rawat inap. Setelah gagal
ginjal didiagnosis, memulai hemodialisis sering kali dianggap sebagai pengalaman
positif. Perawat bertanggung jawab untuk mendidik keluarga tentang arti dan rencana
pengobatan, kemungkinan dampak psikologis dari penyakit, dan aspek teknis dari
prosedur (Seran, 2019).

5. Evaluasi

Setiap pasien gagal ginjal kronik perlu dilakukan evaluasi dan hasil yang
diharapkan setelah dilakukannya intervensi dan implementasi, yaitu

a. Cairan seimbang.
b. Pola nafas efektif.
c. Peningkatan perfusi perifer.
d. Tidak terjadi penurunan curah jantung.
e. Asupan nutrisi terpenuhi.
f. Aktivitas sehari-hari terpenuhi.
g. Tingkat nausea menurun.
h. Tingkat nyeri menurun.
i. Peningkatan integritas kulit/jaringan.
j. Ansietas berkurang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit ginjal kronik (CKD) adalah suatu kondisi dimana ginjal mengalami
kelainan struktural atau penurunan fungsi yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan
bersifat progresif serta tidak dapat disembuhkan. Faktor risiko penyakit ginjal kronik
adalah riwayat penyakit ginjal dalam keluarga, hipertensi, diabetes, penyakit autoimun,
usia lanjut, stadium akhir, penyakit ginjal akut serta kerusakan struktural ginjal, baik
GFR normal maupun meningkat. Gagal ginjal kronik tidak memiliki gejala atau tanda
penurunan fungsi yang spesifik, namun gejala mulai muncul ketika fungsi nefron mulai
menurun secara terus-menerus. Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berkurangnya
massa fungsional ginjal akibat hipertrofi ginjal untuk mengkompensasi penurunan
jumlah dan fungsi nefron normal.

B. Saran

Demikian makalah yang kami buat dapat bermanfaat sebagai pemahaman dan
pengetahuan tentang konsep gagal ginjal kronik dan asuhan keperawatan pada pasien
gagal ginjal kronik. Kami berharap dengan adanya makalah ini bisa
memahami/mengetahui gagal ginjal kronik pada masyarakat baik perempuan maupun
laki-laki, baik individu maupun kelompok. Kami semua sadar bahwa makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan sehingga apabila ada masukan maupun kritik demi
menyempurnakan makalah ini kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, S. and Fadila, Z. (2023) ‘Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Dialisis
Di Asia Tenggara: A Systematic Review’, Hearty, 11(1), pp. 77–83. doi:
10.32832/hearty.v11i1.7947.

Apriliani, E. A. P. (2023) ‘Hubungan Kepatuhan Menjalani Terapi Hemodialisa Dengan


Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Panti Waluya
Sawahan Malang’.

Damayanti, D. P. (2021) ‘Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Pasien Ny. I Dengan


Diagnosa Medis Chronic Kidney Disease (CKD) Stage 5+ Hipertensi Di Ruangan Hemodialisa
RSPAL Dr. Ramelan Surabaya’.

Diahastuti, K. F. (2021) ‘Asuhan Keperawatan Pada Tn. M Dengan Gagal Ginjal Kronis Di
Ruang Baitul Izzah 2 RSI Sultan Agung Semarang‘.

Eka et al. (2019) ‘Asuhan Keperawatan Pada Pasien Illnes (Palliative Care) Gagal Ginjal
Kronis‘.

Firdaus, F. A. (2022) ‘Laporan Studi Kasus Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami
Gagal Ginjal Kronik Dengan Hipervolemia Di RSU Anwar Medika’.

Nurrohman, K. (2022) ‘Analisis Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Dengan Masalah Keperawatan Hipervolemia Di RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo
Purwokerto’.

Ramayani, R. (2020) ‘Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal


Kronik (GGK) Dalam Diet Nutrisi’.

Sari, D. N. (2023) ‘Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Hemodialisa Reguler Dengan Penerapan Manajemen Hipervolemia Di Ruang Mawar Kuning
RSUD Sidoarjo’.

Sari, S. D. K. (2022) ‘Karya Ilmiah Akhir NERS Studi Kasus Asuhan Keperawatan Pola Napas
Tidak Efektif Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di RSAL dr Ramelan Surabaya’.

Seran, R. E. (2019) ‘Asuhan Keperawatan Pada An. A. L. Dengan Gagal Ginjal Kronik Di
Ruangan Kenanga RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang’.

Surya, I. K. Y. A. (2021) ‘Optimisme Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Di RSUD Sanjiwani
Gianyar Tahun 2021’.

Anda mungkin juga menyukai