Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

MASALAH DIAGNOSA MEDIK CKD


TINDAKAN HEMODIALISA
DIRUANG HEMODIALISA RSUD DR.KANUJOSO
DJATIWIBOWO BALIKPAPAN

Disusun Oleh :

Eka Risky Amelia, S.Kep


Nim : P2205122

PROGRAM PROFESI NERS INSTITUT


TEKNOLOGI KESEHATAN & SAINS
WIYATA HUSADA SAMARINDA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Chronic Kidney Disease (CKD) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gagal Ginjal
Kronik (GGK) merupakan merupakan penyakit yang sudah familiar di kalangan masyarakat
Indonesia sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan (Wahyuningsih, 2020). Penyakit
Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal yang ditandai
dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan
atau adanya penanda kerusakan ginjal yang dapat dilihat melalui albuminuria, adanya
abnormalitas sedimen urin, ketidak normalan elektrolit, terdeteksinya abnormalitas ginjal secara
histologi maupun pencitraan (imaging), serta adanya riwayat transplatasi ginjal (Mahesvara,
2020). Faktor-faktor yang berhubungan dengan meningkatnya kejadian gagal ginjal kronik antara
lain merokok, penggunaan obat analgetic, hipertensi, dan minuman suplemen berenergi selain itu
riwayat penyakit seperti diabetes, hipertensi maupun penyakit gangguan metabolik lain yang
dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Restu & Supadmi2, 2016).
Penyakit gagal ginjal kronis berkontribusi pada beban penyakit dunia dengan angka
kematian sebesar 850.000 jiwa per tahun (World Health Organization, 2017 dalam Pongsibidang,
2016). World Health Organization (2017) melaporkan bahwa pasien yang menderita gagal ginjal
kronis meningkat 50% dari tahun sebelumnya, secara global kejadian gagal ginjal kronis lebih
dari 500 juta orang dan yang harusmenjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah
(hemodialisis) adalah 1,5 juta orang. Gagal ginjal kronis termasuk 12 penyebab kematian umum
di dunia, terhitung 1,1 juta kematian akibat gagal ginjal kronis yang telah meningkat sebanyak
31,7% sejak tahun 2010 hingga 2015 (Wahyuningsih, 2020). Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukan bahwa penderita penyakit gagal ginjal di Indonesia
sebesar 3,8 % naik dari 2.0% pada tahun 2013 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
2018).
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative membagi CKD menjadi lima stadium
berdasarkan glomerular filtrate rate (GFR) dimana End Stage Renal Disease (ESRD) merupakan
stadium akhir dari gagal ginjal kronik yang ditandai dengan kerusakan ginjal secara permanen
dan irreversible (Wahyuni et al., 2019). Jika individu sudah mencapai stadium ini maka
membutuhkan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis (Wahyuni et al., 2019). Hemodialisis
adalah suatu bentuk terapi dengan mengunakan mesin dialyzer sebagai bentuk pengganti fungsi
ginja (Kusuma et al., 2020). Tujuan dilakukan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan sisa
metabolism, protein, gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen larutan
dialisat melalui membrane (selaput tipis) semipermiabel yang berfungsi sebagai ginjal buatan
atau biasa disebut dialyzer (Wahyuningsih, 2020). Hemodialisis (HD) dilakukan 2-3
kaliseminggu, dengan rentang waktu tiap tindakan hemodialisis adalah 4-5jam setiap kali
terapi (Relawati et
al., 2016). Terapi hemodialisis akan menimbulkan keluhan tidak nyaman, merasa kelelahan,
merasa kedinginan/ kepanasan, gelisah, mual, muntah, tidak mampu rileks bahkan gatal seluruh
tubuh (PPNI, 2016). Hal ini akan menyebabkan pasien mengalami gangguan kebutuhan dasar
manusia yaitu gangguan rasa nyaman (PPNI, 2016).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
gagal ginjal kronis (GGK) disebut juga sebagai Chronic Kidney Disease (CKD). Gagal
ginjal kronis atau penyakit gagal ginjal stadium akhir adalah gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible dimana kemapuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan serta elektrolit sehingga menyebabkan uremia yaitu retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer & Bare, 2013).
Gagal ginjal kronis merupakan penyakit pada ginjal yang perisisten (berlangsung lebih dari
3 bulan) dengan kerusakan ginjal dan kerusakan Glomerular Fitration Rate (GRF) dengan angka
GRF lebih dari 60 ml/menit/1.73 m2 (Prabowo & Pranata, 2014).

B. ETIOLOGI
Menurut Prabowo (2014) Gagal Ginjal kronis sering menjadi penyakit komplikasi dari penyakit
lainya, sehingga merupakan penyakit sekunder atau secondary illness. Penyebab yang sering
ditemukan adalah hipertensi dan diabetes militus. Selain itu, ada beberapa penyebab lain gagal
ginjal kronis seperti :
1. Penyakit glomerular kronis (glomerulonephritis)
2. Infeksi kronis (pyelonephritis kronis, tuberculosis)
3. Kelainan kongenital (polikistik ginjal)
4. Peyakit vaskuler (renal nephrosclerosis)
5. Obstruksi saluran kemih (nephrolithiasis)
6. Penyakit kolagen (systemic lupus erythematosus)
7. Obat-obatan nefrotik (aminoglikosida)

C. PATOFISIOLOGI
Kondisi gagal ginjal disebabkan oleh 3 faktor pemicu yaitu pre renal, renal dan post renal.
Pre renal berkaitan dengan kondisi dimana aliran darah ke ginjal mengalami penurunan. Kondisi
ini dipicu oleh hypovolemia, vasokontriksi dan penurunan cardiac output. Dengan adanya
kondisi ini maka GRF (Glomerular Filtation Rate) akan mengalami penurunan dan
meningkatnya reabsorbsi tubular. Untuk faktor renal berkaitan dengan adanya kerusakan pada
jaringan parenkin ginjal. Kerusakan ini dipicu oleh trauma maupun penyakit-penyakit pada ginjal
itu sendiri. Sedangkan faktor post renal berkaitan dengan adanya obstruksi padasaluran kemih,
sehingga akan timbul stagnasi bahkan adanya refluks urine flow pada ginjal. Dengan demikian
beban tahanan/resistensi ginjal akan meningkat dan akhirna mengalami kegagalan (Prabowo &
Pranata, 2014). Gagal ginjal terjadi setelah berbagi macam penyakit yang merusak massa
nefron ginjal
yang mengakibatkan laju filtrasi glomelurus/Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun.
Dimana perjalanan klinis gagal ginjal kronik dibagi dalam tiga stadium. Pertama, menurunnya
cadangan ginjal, Glomerular Filtration Rate (GRF) dapat menurun hingga 25% dari normal.
Kedua, insufisiensi ginjal, pada keadaan ini pasien mengalami poliuria dan nokturia, GFR 10%
sampai 25% dari normal, kadar keratin serum dan BUN sedikit meningkat di atas normal. Ketiga,
penyakit ginjal stadium akhir/End Stage Renal Disease (ESRD) atau sindrom uremik, yang
ditandai dengan GFR kurang dari 5 atau 10 ml/menit, kadar serum keratin dan BUN meningka
tajam. Terjadi kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik
memengaruhi setiap sistem dalam tubuh (Price & Wilson, 2015).

D. MANIFESTASI KLINIS
Karena kemampuan kompensasi ginjal, gejala muncul secara bertahap dan mungkin tidak
menjadi jelas sampai CKD berlanjut. Pada tahap awal (1 hingga 3), pasien mungkin asimtomatik
atau memiliki gejala nonspesifik yang halus berkaitan dengan kondisi lain. Pada saat pasien
mengalami gejala yang jelas (stadium 3 hingga 5), biasanya 80% - 90% fungsi ginjal telah rusak.
(stadium 3 CKD dapat dipertimbangkan secara dini atau terlambat tergantung pada banyak
factor, termasuk hasil test diagnostic dan bagaimana keluhan pasien) (Chicca, 2020). Manifestasi
klinis menurut Webster et al, 2017 adalah sebagai berikut :
1. Perubahan kognitif
CKD meningkatkan resiko gangguan kognitif hingga 65%, kognitif dipengaruhi pada awal
CKD tetepi keterampilan yang berbeda menurun pada tingkat yang berbeda, Bahasa dan
perhatian mungkin sangat terpengaruh.
2. Gejala gastrointestinal
Anoreksia, muntah dan gangguan rasa dapat terjadi dengan CKD lanjut, penyebabnya belum
sepenuhnya dipahami, dan mungkin memiliki komponen genetik. Bau uremik bisa terjadi
pada CKD lanjut yang disebabkan oleh pemecahan urea oleh saliva.
3. Perubahan keluaran urine
Polyuria dimana kemampuan konsentrasi tubular terganggu, oliguria, nocturia sebagai
akibat dari gangguan diuresis atau edema zat terlarut. Urine yang terus menerus berbusa bisa
menandakan proteinuria.
4. Hematuria
Perdarahan glomerulus akibat cedera imun pada dinding kapiler glomerulus. Dibedakan dari
perdarahan saluran bawah dengan mikroskop yang menunjukkan sel darah merah
dysmorphic dan gips.
5. Proteinuria
Kerusakan tubular menyebabkan proteinuria derajat rendah biasanya < 2 g, protein dengan
berat molekul rendah (misalnya, mikroglobulin beta-2). Kerusakan glomerulus
menyebabkan
hilangnya selektivitas filtrasi protein yang sering diperburuk oleh hiperfiltrasi. Kehilangan >
3,5 g dianggap sebagai kisaran nefrotik.
6. Edema perifer
Karena retensi natrium ginjal, diperburuk oleh penurunan gradien onkotik pada sindrom
nefrotik, karena hypoalbuminemia.
7. Hematologi/kardiovaskuler
Kelelahan, nyeri dada, mimisan, kaki dan pergelangan kaki bengkak, sakit kepala, merasa
kedinginan, pusing, kelemahan.
8. Pernafasan
Sesak nafas, nyeri saat batuk, batuk produktif. Hal ini dapat disebabkan oleh salah satu dari :
kelebihan cairan, anemia, kardiomiopati, atau penyakit jantung iskemik yang tersembunyi.
9. Integument
Gatal yang terus-menurus, ruam, memar biasa terjadi pada CKD lanjut, penyebab gatal tidak
sepenuhnya dipahami tetapi mungkin melibatkan deregulasi respons imun dan system
opioid.
10. Musculoskeletal
Nyeri sendi, otot berkedut dan kram. Kram biasanya memburuk di malam hari dan
kemungkinan besar disebabkan oleh iritasi saraf yang disebabkan oleh kelainan biokimia
dari CKD.
E. WOC
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronis menurut Doenges (2000) dalam penelitian
Kardiyudiani & Susanti (2019) adalah sebagai berikut :
1. Urine : Volume, biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada (anuria).
Warna secara abnormal urine keruh disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, pertikel koloid,
fosfat atau urat. Berat jenis urine : kurang dari 1,015, kreatinin menurun. Natrium : lebih
besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium. Protein : derajat
tinggi proteinuria, terdapat oedem 3-4+, secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus.
2. Menurut Bauldoff (2011) pemeriksaan pada :
a. Darah : BUN dan serum kreatinin digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan
menilai perkembangan kerusakan ginjal. Nilai BUN 20-50 mg/dl menandakan azotemia
ringan; level lebih besar dari 100 mg/dl mengindikasikan kerusakan ginjal berat; level
BUN berkisar ≥200 mg/dl menjadi gejala uremia. Nilai serum kreatinin ≥ 4 mg/dl
mengindikasi bahwa teradi kerusakan ginjal serius (Najikhah & Warsono, 2020). Nilai
dan rujukan kadar ureum dan nilai rujukan kadar kreatinin dijelaskan seperti tabel 1 dan
2 sebagai berikut :

Spesimen Nilai rujukan


Plasma atau serum 6-20 mg/dl 2,1-7,1 mmol urea/hari

Urine 24 jam 12-20 g/hari 0,43-0,71 mmolurea/hari

Table 1 : Nilai dan Rujukan Kadar Ureum

Metode
Populasi Sampel Metode Jaffe
Enzimatik

Plasma atau 0,9-1,3 mg/dL 0,6-1,1 mg/dL


Pria dewasa
serum (80-115 µmol/L) (55-96µmol/L)
Plasma atau 0,6-1,1 mg/dL 0,5-0,8 mg/dL
Wanita dewasa (53-97 µmol/L) (40-66µmol/L)
serum
Plasma atau 0,3-0,7 mg/dL 0,0-0,6 mg/dL
Anak
serum (27-62 µmol/L) (0-52µmol/L)
Metode
Populasi Sampel Metode Jaffe
Enzimatik
800-2000 mg/hari
Pria dewasa Urin 24 jam
(7,1-17,7 mmol/hari)
600-1.800 mg/hari
Wanita dewasa Urin 24 jam
(5,3-15,9 mmol/hari)
Tabel 2 : Nilai Rujukan Kadar Kreatinin
b. Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia
c. Sel darah merah, menurun pada defisien eritropoetin seperti azotemia.
d. GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atauhasil akhir
katabolisme prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
e. Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai perpindahan seluler (asidosis)
atau pengeluaran jaringan)
f. Kalsium menurun
g. Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein
melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan atau sintesa karena kurang
asam amino esensial.
h. Osmolaritas serum : lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan penunjang radiologis yang umumnya dilakukan pada pasien gagal ginjal
kronis ialah pemeriksaan ultrasonografi (USG). Ultrasonografisaat ini digunakan sebagai
pemeriksaan pertama secara rutin pada keadaan gagal ginjal untuk memperoleh informasi
tentang parenkim, sistem collecting dan pembuluh darah ginjal. Pemeriksaan USG pada
ginjal untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal, dan mengkaji aliran
urin dalam ginjal.
Ultrasonografi abdomen pada pasien gagal ginjal kronis biasanya ditandai dengan
korteks yang lebih hiperekoik hingga hampir sama dengan sinus renalis. Selain itu dapat
pula ditemukan ukuran ginjal yang mengecil dan batas korteks medula yang tidak jelas.
Pada pemeriksaan USG gambaran hiperekoik pada parenkim ginjal kanan dapat
menimbulkan kecurigaan adanya radang pada ginjal kanan. Normalnya, parenkim ginjal
pada bagian korteks memiliki sonodensitas yang lebih rendah dari pada hepar, sehingga
bersifat hiperekoik. (Gani, Ali, & Paat, 2017)

G. PENATALAKSANAAN
Menurut Price & Watson (2015) dalam penelitian Siregar (2020) menyatakan penatalaksaan pada
pasien penyakit ginjal kronis tergantung pada stadium yang dialaminya, dengan tujuan untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostatisnya penatalaksanaan PGK dibagi menjadi 2
tahapan. Tahap yang pertama adalah untuk mencegah progresivitas penyakit ginjal kronik bisa
dilakukan dengan cara, antara lain pengaturan diit (protein, fosfat, kalium dan glukosa),
penyesuaian dosis obat yang diberikan dan juga pemberian edukasi.. Tahap selanjutnya
dilakukan ketika tahapan pengobatan yang pertama sudah tidak mampu untuk mengatasinya
berupa terapi pengganti ginjal. Pasien yang telah mengalami penyakit ginjal stadium akhir
biasanya ditandai dengan uremia, pada stadium ini harus dilakukan terapi pengganti ginjal.
Terdapat dua terapi
pengganti ginjal yang pertama adalah dialysis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan
yangkedua adalah transplantasi ginjal.
1. Konsep Hemodialisa
Dialisa adalah suatu proses solute dan air mengalami difusi atau perbaruan secara pasif
melalui suatu membrane berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya.
Hemodialisa adalah pergerakan atau pemindahan larutan dan air dari darah melewati
membrane dializer ke dalam dialisat. Pemindahaan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana
tekanan hidrostatik mengakibatkan aliran yang besar dari air plasma melalui membran.
Hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal kronis di
Amerika Serikat. Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan filter khusus yang
disebut dializer atau suatu membran semipermeable) yangdigunakan untuk membersihkan
darah lalu dikeluarkan dari tubuh dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh.
Hemodialisa memerlukan jalan masuk kealiran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan
antara arteri dan vena yang disebut Fistula Arterivenosa melalui pembedahan. (Nuari &
Widayanti, 2017)
2. Indikasi
Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan pasien. Pengobatan
biasanya dimulai apabila pasien dalam kondisi ginjal sudah tidak dapat bekerja, menderita
neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan dilakukan jika
kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 mlpada pria, 4 mg/100 ml pada wanita dan GFR
kurang dari 4 ml/menit. Secara ideallaju filtrasi ginjal (LFG) kurang dari 15 ml/menit,
kurang dari 10 ml/menit dengangejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 ml/menit
walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialysis. Selain indikasi tersebut, hemodialisa
disarankan apabila terdapat komplikasi khusus seperti oedem paru, hyperkalemia, asidosis
metabolik yang berulang dan nefrotik diabetic. Hemodialisa dimulai pada bersihan kreatinin
menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar serum kreatinin 8-10 mg/dL.
(Nuari & Widayanti, 2017)
3. Tujuan Hemodialisa
Tujuan dari hemodialisa menurut Nuari & Widayanti (2017) adalah :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi atau pembuangan sisa-sisa hasil
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa-sisa hasil metabolisme
yang lainnya.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebgai urin saat dalam kondisi sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal seiring dengan pengobatan yang lainnya.
4. Proses Hemodialisa
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi sebagai
mempersiapkan cairan dialisat, mengalirkan dialisat dan aliran darahmelewati suatu
membrane semipermeable, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah
korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat
dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari
pemindahan larutan. Komposisi dialisat,kecepatan aliran darah dan karakteristik serta
ukuran membrane dalam alat dialisa mempengaruhi pemindahan larutan. Dalam proses
hemodialisa diperlukansuatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan
yang disebut dializer, digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum,
kreatinin dan zat-zat sisa metabolism yang tidak diperlukan oleh tubuh. Pelaksanaan
hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke
mesin hemodialisa. (Nuari & Widayanti, 2017) Mesin hemodializer terdiri dari membrane
semipermeabel terdiri dari 2bagian, bagian untuk darah dan untuk dialisat. Darah mengalir
dari arah yang berlawanan dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama dengan arah
aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri
dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian
tengah tabung – tabung kecil, dan cairan dialisat membasahibagian luarnya. Selama
hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah
mesin yang dihubungkan dengan sebuah membrane dializer yang terdiri dari dua ruangan.
Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat sehingga terjadi
difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersih oleh dializer, darah dikembalikan ke
dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). (Nuari & Widayanti,
2017)
Suatu Sistem dialisa terdiri dari dua jalan untuk darah dan untuk cairan dialisa. Darah
mengalir dari pasien melalui tabung plastic (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow
fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa membentuk saluran kedua. Air
kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur
dengan konsentrat dengan perantara pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak
cairan dialisa lalu dimasukan ke dalam dializer, cairan akan mengalir di luar serabut
berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membrane semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi. (Nuari & Widayanti, 2017)
Perbedaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di
dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran
vena, atau dengan meninggalkan efek vakum dalam ruangan dialisat dengan memainkan
pengatur tekanan negatif. Perbedaan tekanan hidrostatik diantara membrane dialisa juga
meningkatkan kecepatan difusi solute. Sebelum dihubungkan dengan pasien sirkuit darah
pada Sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %. Tekanan darah pasien
mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui jalur luar tubuh (ekstrakorporeal), atau
mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan Quick Blood sekitar
200 – 400 ml/menit merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin dimasukkan secara
terus menerus melalui infus lambat pada jalur arteri untuk mencegah pembekuan darah.
(Nuari & Widayanti, 2017)

H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis adalah :
1. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan mengakibatkan dekalsifikasi
matriks tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung
lama akan menyebabkkan fraktur pathologis.
2. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara sistemik berupa hipertensi,
kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan kelainan hemodinamika (hipertropi ventrikel kiri).
3. Anemia
Sekresi eritropoetin yang mengalami defisiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan
hemoglobin.
4. Disfungsi seksual
Akibat gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami penurunan dan terjadi
impotensi pada pria. Pada wanita dapat terjadi hiperprolaktinemia.

I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali
masalah-masalah, kebutuhan kesehatandan keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial
dan lingkungan menurut Effendy (Dermawan, 2014).
a. Identitas Diri
Meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, suku/bangsa,
agama, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, nomor rekam medis,
diagnosis medis dan alamat.
b. Keluhan Utama
Biasanya badan terasa lemah, mual, muntah, dan terdapat edema. Hal yang perlu
dikaji pada penderita gagal ginjal kronis adalah tanda atau gejala seperti pucat,
hiperpigmentasi, hipertensi, kardiomegali, edema, nefropati perifer, mengantuk, bau
nafas uremik. Dilihat dari penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) tanda dan gejala
yang timbul yaitu laju filtrasi glomerulus 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan, namun sudah terjadi peningkatann kadar ureum dan kreatinin. Kemudian
pada LFG sebesar 30%, pasien mulai mengalami nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan (Suwirta, 2013).
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan lain yang menyerta biasanya : gangguan pernapasan, anemia, hiperkalemia,
anoreksia, turgor pada kulit jelek, gatal-gatal pada kulit, asidosis metabolik.
d. Riwayat kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, dan prostattektomi. Kaji adanya riwayat penyakit
batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes
militus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi
penyebab. Penting untuk mengkaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa
lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji didalam keluarga adanya riwayat penyakit vascular hipertensif, penyakit
metabolik, riwayat keluarga mempunyai penyakitgagal ginjal kronis, penyakit
menular seperi TBC, HIV, infeksi saluran kemih, dan penyakit menurun seperti
diabetes militus, asma, dan lain-lain.
f. Aktivitas Sehari-hari
Biasanya pada pasien gagal ginjal kronis terjadi kelelahan ekstrim, kelemahan,
malaise. Kaji adanya kelemahan otot, kehilangan tonus, dan biasanya terjadi
penurunan rentang gerak.
g. Pola Nutrisi
Kaji adakah pantangan dalam makan, kaji peningkatan berat badan (edema),
penurunan berat badan (malnutrisi), kaji adakah rasa mual, muntah, anoreksia, nyeri
ulu hati.
h. Pola Eleminasi
Kaji ada penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen kembung. Kaji adanya
konstipasi atau diare. Kaji adakah perubahan warna urine atau tidak.
i. Pola Aktivitas
Biasanya pada pasien gagal ginjal kronis terjadi kelelahan ekstrim, kelemahan,
malaise. Kaji adanya kelemahan otot, kehilangan tonus, dan biasanya terjadi
penurunan rentang
gerak.
j. Pola Istirahat Tidur
Biasanya pada pasien gagal ginjal kronis mengalami gangguan pola tidur (insomnia/
gelisah/somnolen), gelisah karena adanya nyeri panggul, sakit kepala dan kram otot
kaki.
k. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Apakah pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hematoma atau riwayat
operasi.
2) Mata
Penglihatan adanya kekaburan, akibat adanya gangguan nervus optikus (nervus
II), gangguan dalam mengangkat bola mata (nervus III), gangguan dalam
memutar bola mata (nervus IV) dan gangguan dalam menggerakkan boal mata
kalateral (nervus VI).
3) Hidung
Adanya gangguan pada penciuman karna terganggu pada nervus olfatorius
(nervus I).
4) Mulut
Adanya gangguan pengecapan (lidah) akibat kerusakan nervus vagus adanya
kesulitan dalam menelan.
5) Dada
Inspeksi kesimetrisan bentuk, dan kembang kempis dada, palpasi ada tidaknya
nyeri tekan dan massa, perkusi mendengar bunyi hasil perkusi, auskultasi untuk
mengetahui suara nafas, cepat dan dalam.
6) Abdomen
Inspeksi bentuk, ada tidaknya pembesaran, auskultasi bisingusus, perkusi dengar
bunyi hasil perkusi, palpasi ada tidaknya nyeri tekan pasca operasi.
7) Ekstermitas
- Nilai 0: bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.
- Nilai 1 : Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan padasendi.
- Nilai 2 : Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan gravitasi.
- Nilai 3 : Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat melawantekanan
pemeriksaan.
- Nilai 4 : Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tetapi kekuatanya
berkurang.
- Nilai 5 : bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan kekuatan penuh.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenairespon pasien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual
maupun potensial (PPNI, 2017). Berdasarkan pada semua data pengkajian diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada pasien gagal ginjal kronis, antara lain :
a. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
b. Nyeri akut b.d agen pecedera fisiologis.
c. Hipervolemia b.d kelebihan asupan cairan.
d. Defisit nutrisi b.d kurangnya asupan makanan.
e. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin.
f. Gangguan integritas kulit b.d perubahan sirkulasi.
g. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan.
h. Resiko perdarahan ditandai dengan gangguan gastrointestinal
i. Risiko infeksi ditandai dengan penyakit kronis
No. SDKI SLKI SIKI
1. Gangguan pertukaran gas b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam Pemantauan Respirasi (1.01014)
ketidakseimbangan ventilasi- diharapkan pertukaran gas pasien meningkat Observasi :
perfusi. (L.01003), dengan kriteria hasil : 1.1 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
napas.
Kriteria 1 2 3 4 5 1.2 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
Tingkat kesadaran
meningkat hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot,
Dyspnea/nafas pendek
ataksik)
mengalami penurunan
Bunyi napas tambahan 1.3 Monitor kemampuan batuk efektif
menurun
Pusing menurun 1.4 Monitor adanya sumbatan jalan napas
Gelisah menurun 1.5 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
Napas cuping hidung
menurun 1.6 Auskultasi bunyi napas
PCO2 membaik
1.7 Monitor saturasi oksigen
PO2 membaik
Takikardi membaik 1.8 Monitor nilai A G D
pH arteri membaik
1.9 Monitor hasil x-ray
Sianosis membaik
Pola napas membaik toraks Terapeutik :
Warna kulit membaik
1.10 Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
Keterangan :
1 : Menurun 1.11 Dokumtasikan hasil
2 : Cukup menurun pemantauan Edukasi :
3 : Sedang 1.12 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantaun
4 : Cukup meningkat
1.13 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
5 : Meningkat
2. Hipervolemia b.d kelebihan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam Manajemen Hipervolemia (I.03114)
asupan cairan. diharapkan keseimbangan cairan pasien Observasi :
meningkat (L.03020), dengan Kriteria Hasil : 1.1 Periksa tanda dan gejala hypervolemia (mis:
ortopnea, dispnea, edema, JVP/CVP meningkat,
Kriteria 1 2 3 4 5 refleks hepatojugular positif, suara napas tambahan)
Asupan cairan meningkat
Output urin meningkat 1.2 Identifikasi penyebab hypervolemia
Membran mukosa lembab 1.3 Monitor status hemodinamik (mis: frekuensi
meningkat
Edema menurun jantung, tekanan darah, MAP, CVP, PAP, PCWP,
Dehidrasi menurun
CO, CI) jika tersedia
Tekanan darah membaik
Frekuensi nadi membaik 1.4 Monitor intake dan output cairan
Kekuatan nadi membaik
1.5 Monitor tanda hemokonsentrasi (mis: kadar
Tekanan arteri rata-rata
membaik natrium, BUN, hematokrit, berat jenis urine)
Mata cekung membaik
Turgor kulit membaik 1.6 Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma
(mis: kadar protein dan albumin meningkat)
1.7 Monitor kecepatan infus secara ketat
Keterangan :
1 : Menurun 1.8 Monitor efek samping diuretic (mis: hipotensi
2 : Cukup menurun ortostatik, hypovolemia, hipokalemia, hiponatremia)
3 : Sedang
Terapeutik :
4 : Cukup meningkat
5 : Meningkat 1.9 Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang
sama
1.10 Batasi asupan cairan dan garam
1.11 Tinggikan kepala tempat tidur 30-40o
Edukasi :
1.12 Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5
mL/kg/jam dalam 6 jam
1.13 Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam
sehari
1.14 Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi :
1.15 Kolaborasi pemberian diuretic
1.16 Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat
diuretic
1.17 Kolaborasi pemberian continuous renal replacement
therapy (CRRT), jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini. (2016). Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang Menjalani Terapi
Hemodialisa Di RSUD Blambangan Banyuwangi. Digital Repositori Universitas
Jember.

Corwin, E. J. (2008). Handbook of Pathophysiology, 3rd Edition. In Handbook of


Pathophysiology,Edition.
Dewi. (2015). Hubungan lamanya hemodialisa dengan kualitas hidup pasien
gagalginjal di RS PKU Muhammadiyah yogyakarta.
Hutagaol. (2016). Peningkatan kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa melalui psychological intervention di unit
hemodialisa RS royal prima medan tahun 2016.
Kamaluddin. (2009). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Asupan
Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis Di Rsud Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto.
Mardiana. (2013). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Masalah Perkotaan Pada
Pasien Gagal Ginjal Kronik di Ruang Melati Atas Rumah Sakit Umum Pusat
Persahabatan Jakarta.
Milner. (2003). Pathopysiology of Chronic Failure. British Journal of Anesthesia, Vol.
3, no.5.
Nurarif. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic - Noc. Medication Publishing.
Paweninggalih. (2019). Asuhan Keperawatan Kelebihan Volume Cairan PadaKasus
Gagal Ginjal Kronik Di RSI Sakinah Mojokerto.

Anda mungkin juga menyukai