Disusun Oleh :
A. LATAR BELAKANG
Chronic Kidney Disease (CKD) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gagal Ginjal
Kronik (GGK) merupakan merupakan penyakit yang sudah familiar di kalangan masyarakat
Indonesia sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan (Wahyuningsih, 2020). Penyakit
Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal yang ditandai
dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan
atau adanya penanda kerusakan ginjal yang dapat dilihat melalui albuminuria, adanya
abnormalitas sedimen urin, ketidak normalan elektrolit, terdeteksinya abnormalitas ginjal secara
histologi maupun pencitraan (imaging), serta adanya riwayat transplatasi ginjal (Mahesvara,
2020). Faktor-faktor yang berhubungan dengan meningkatnya kejadian gagal ginjal kronik antara
lain merokok, penggunaan obat analgetic, hipertensi, dan minuman suplemen berenergi selain itu
riwayat penyakit seperti diabetes, hipertensi maupun penyakit gangguan metabolik lain yang
dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Restu & Supadmi2, 2016).
Penyakit gagal ginjal kronis berkontribusi pada beban penyakit dunia dengan angka
kematian sebesar 850.000 jiwa per tahun (World Health Organization, 2017 dalam Pongsibidang,
2016). World Health Organization (2017) melaporkan bahwa pasien yang menderita gagal ginjal
kronis meningkat 50% dari tahun sebelumnya, secara global kejadian gagal ginjal kronis lebih
dari 500 juta orang dan yang harusmenjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah
(hemodialisis) adalah 1,5 juta orang. Gagal ginjal kronis termasuk 12 penyebab kematian umum
di dunia, terhitung 1,1 juta kematian akibat gagal ginjal kronis yang telah meningkat sebanyak
31,7% sejak tahun 2010 hingga 2015 (Wahyuningsih, 2020). Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukan bahwa penderita penyakit gagal ginjal di Indonesia
sebesar 3,8 % naik dari 2.0% pada tahun 2013 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
2018).
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative membagi CKD menjadi lima stadium
berdasarkan glomerular filtrate rate (GFR) dimana End Stage Renal Disease (ESRD) merupakan
stadium akhir dari gagal ginjal kronik yang ditandai dengan kerusakan ginjal secara permanen
dan irreversible (Wahyuni et al., 2019). Jika individu sudah mencapai stadium ini maka
membutuhkan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis (Wahyuni et al., 2019). Hemodialisis
adalah suatu bentuk terapi dengan mengunakan mesin dialyzer sebagai bentuk pengganti fungsi
ginja (Kusuma et al., 2020). Tujuan dilakukan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan sisa
metabolism, protein, gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen larutan
dialisat melalui membrane (selaput tipis) semipermiabel yang berfungsi sebagai ginjal buatan
atau biasa disebut dialyzer (Wahyuningsih, 2020). Hemodialisis (HD) dilakukan 2-3
kaliseminggu, dengan rentang waktu tiap tindakan hemodialisis adalah 4-5jam setiap kali
terapi (Relawati et
al., 2016). Terapi hemodialisis akan menimbulkan keluhan tidak nyaman, merasa kelelahan,
merasa kedinginan/ kepanasan, gelisah, mual, muntah, tidak mampu rileks bahkan gatal seluruh
tubuh (PPNI, 2016). Hal ini akan menyebabkan pasien mengalami gangguan kebutuhan dasar
manusia yaitu gangguan rasa nyaman (PPNI, 2016).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
gagal ginjal kronis (GGK) disebut juga sebagai Chronic Kidney Disease (CKD). Gagal
ginjal kronis atau penyakit gagal ginjal stadium akhir adalah gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible dimana kemapuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan serta elektrolit sehingga menyebabkan uremia yaitu retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer & Bare, 2013).
Gagal ginjal kronis merupakan penyakit pada ginjal yang perisisten (berlangsung lebih dari
3 bulan) dengan kerusakan ginjal dan kerusakan Glomerular Fitration Rate (GRF) dengan angka
GRF lebih dari 60 ml/menit/1.73 m2 (Prabowo & Pranata, 2014).
B. ETIOLOGI
Menurut Prabowo (2014) Gagal Ginjal kronis sering menjadi penyakit komplikasi dari penyakit
lainya, sehingga merupakan penyakit sekunder atau secondary illness. Penyebab yang sering
ditemukan adalah hipertensi dan diabetes militus. Selain itu, ada beberapa penyebab lain gagal
ginjal kronis seperti :
1. Penyakit glomerular kronis (glomerulonephritis)
2. Infeksi kronis (pyelonephritis kronis, tuberculosis)
3. Kelainan kongenital (polikistik ginjal)
4. Peyakit vaskuler (renal nephrosclerosis)
5. Obstruksi saluran kemih (nephrolithiasis)
6. Penyakit kolagen (systemic lupus erythematosus)
7. Obat-obatan nefrotik (aminoglikosida)
C. PATOFISIOLOGI
Kondisi gagal ginjal disebabkan oleh 3 faktor pemicu yaitu pre renal, renal dan post renal.
Pre renal berkaitan dengan kondisi dimana aliran darah ke ginjal mengalami penurunan. Kondisi
ini dipicu oleh hypovolemia, vasokontriksi dan penurunan cardiac output. Dengan adanya
kondisi ini maka GRF (Glomerular Filtation Rate) akan mengalami penurunan dan
meningkatnya reabsorbsi tubular. Untuk faktor renal berkaitan dengan adanya kerusakan pada
jaringan parenkin ginjal. Kerusakan ini dipicu oleh trauma maupun penyakit-penyakit pada ginjal
itu sendiri. Sedangkan faktor post renal berkaitan dengan adanya obstruksi padasaluran kemih,
sehingga akan timbul stagnasi bahkan adanya refluks urine flow pada ginjal. Dengan demikian
beban tahanan/resistensi ginjal akan meningkat dan akhirna mengalami kegagalan (Prabowo &
Pranata, 2014). Gagal ginjal terjadi setelah berbagi macam penyakit yang merusak massa
nefron ginjal
yang mengakibatkan laju filtrasi glomelurus/Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun.
Dimana perjalanan klinis gagal ginjal kronik dibagi dalam tiga stadium. Pertama, menurunnya
cadangan ginjal, Glomerular Filtration Rate (GRF) dapat menurun hingga 25% dari normal.
Kedua, insufisiensi ginjal, pada keadaan ini pasien mengalami poliuria dan nokturia, GFR 10%
sampai 25% dari normal, kadar keratin serum dan BUN sedikit meningkat di atas normal. Ketiga,
penyakit ginjal stadium akhir/End Stage Renal Disease (ESRD) atau sindrom uremik, yang
ditandai dengan GFR kurang dari 5 atau 10 ml/menit, kadar serum keratin dan BUN meningka
tajam. Terjadi kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik
memengaruhi setiap sistem dalam tubuh (Price & Wilson, 2015).
D. MANIFESTASI KLINIS
Karena kemampuan kompensasi ginjal, gejala muncul secara bertahap dan mungkin tidak
menjadi jelas sampai CKD berlanjut. Pada tahap awal (1 hingga 3), pasien mungkin asimtomatik
atau memiliki gejala nonspesifik yang halus berkaitan dengan kondisi lain. Pada saat pasien
mengalami gejala yang jelas (stadium 3 hingga 5), biasanya 80% - 90% fungsi ginjal telah rusak.
(stadium 3 CKD dapat dipertimbangkan secara dini atau terlambat tergantung pada banyak
factor, termasuk hasil test diagnostic dan bagaimana keluhan pasien) (Chicca, 2020). Manifestasi
klinis menurut Webster et al, 2017 adalah sebagai berikut :
1. Perubahan kognitif
CKD meningkatkan resiko gangguan kognitif hingga 65%, kognitif dipengaruhi pada awal
CKD tetepi keterampilan yang berbeda menurun pada tingkat yang berbeda, Bahasa dan
perhatian mungkin sangat terpengaruh.
2. Gejala gastrointestinal
Anoreksia, muntah dan gangguan rasa dapat terjadi dengan CKD lanjut, penyebabnya belum
sepenuhnya dipahami, dan mungkin memiliki komponen genetik. Bau uremik bisa terjadi
pada CKD lanjut yang disebabkan oleh pemecahan urea oleh saliva.
3. Perubahan keluaran urine
Polyuria dimana kemampuan konsentrasi tubular terganggu, oliguria, nocturia sebagai
akibat dari gangguan diuresis atau edema zat terlarut. Urine yang terus menerus berbusa bisa
menandakan proteinuria.
4. Hematuria
Perdarahan glomerulus akibat cedera imun pada dinding kapiler glomerulus. Dibedakan dari
perdarahan saluran bawah dengan mikroskop yang menunjukkan sel darah merah
dysmorphic dan gips.
5. Proteinuria
Kerusakan tubular menyebabkan proteinuria derajat rendah biasanya < 2 g, protein dengan
berat molekul rendah (misalnya, mikroglobulin beta-2). Kerusakan glomerulus
menyebabkan
hilangnya selektivitas filtrasi protein yang sering diperburuk oleh hiperfiltrasi. Kehilangan >
3,5 g dianggap sebagai kisaran nefrotik.
6. Edema perifer
Karena retensi natrium ginjal, diperburuk oleh penurunan gradien onkotik pada sindrom
nefrotik, karena hypoalbuminemia.
7. Hematologi/kardiovaskuler
Kelelahan, nyeri dada, mimisan, kaki dan pergelangan kaki bengkak, sakit kepala, merasa
kedinginan, pusing, kelemahan.
8. Pernafasan
Sesak nafas, nyeri saat batuk, batuk produktif. Hal ini dapat disebabkan oleh salah satu dari :
kelebihan cairan, anemia, kardiomiopati, atau penyakit jantung iskemik yang tersembunyi.
9. Integument
Gatal yang terus-menurus, ruam, memar biasa terjadi pada CKD lanjut, penyebab gatal tidak
sepenuhnya dipahami tetapi mungkin melibatkan deregulasi respons imun dan system
opioid.
10. Musculoskeletal
Nyeri sendi, otot berkedut dan kram. Kram biasanya memburuk di malam hari dan
kemungkinan besar disebabkan oleh iritasi saraf yang disebabkan oleh kelainan biokimia
dari CKD.
E. WOC
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronis menurut Doenges (2000) dalam penelitian
Kardiyudiani & Susanti (2019) adalah sebagai berikut :
1. Urine : Volume, biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada (anuria).
Warna secara abnormal urine keruh disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, pertikel koloid,
fosfat atau urat. Berat jenis urine : kurang dari 1,015, kreatinin menurun. Natrium : lebih
besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium. Protein : derajat
tinggi proteinuria, terdapat oedem 3-4+, secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus.
2. Menurut Bauldoff (2011) pemeriksaan pada :
a. Darah : BUN dan serum kreatinin digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan
menilai perkembangan kerusakan ginjal. Nilai BUN 20-50 mg/dl menandakan azotemia
ringan; level lebih besar dari 100 mg/dl mengindikasikan kerusakan ginjal berat; level
BUN berkisar ≥200 mg/dl menjadi gejala uremia. Nilai serum kreatinin ≥ 4 mg/dl
mengindikasi bahwa teradi kerusakan ginjal serius (Najikhah & Warsono, 2020). Nilai
dan rujukan kadar ureum dan nilai rujukan kadar kreatinin dijelaskan seperti tabel 1 dan
2 sebagai berikut :
Metode
Populasi Sampel Metode Jaffe
Enzimatik
G. PENATALAKSANAAN
Menurut Price & Watson (2015) dalam penelitian Siregar (2020) menyatakan penatalaksaan pada
pasien penyakit ginjal kronis tergantung pada stadium yang dialaminya, dengan tujuan untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostatisnya penatalaksanaan PGK dibagi menjadi 2
tahapan. Tahap yang pertama adalah untuk mencegah progresivitas penyakit ginjal kronik bisa
dilakukan dengan cara, antara lain pengaturan diit (protein, fosfat, kalium dan glukosa),
penyesuaian dosis obat yang diberikan dan juga pemberian edukasi.. Tahap selanjutnya
dilakukan ketika tahapan pengobatan yang pertama sudah tidak mampu untuk mengatasinya
berupa terapi pengganti ginjal. Pasien yang telah mengalami penyakit ginjal stadium akhir
biasanya ditandai dengan uremia, pada stadium ini harus dilakukan terapi pengganti ginjal.
Terdapat dua terapi
pengganti ginjal yang pertama adalah dialysis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan
yangkedua adalah transplantasi ginjal.
1. Konsep Hemodialisa
Dialisa adalah suatu proses solute dan air mengalami difusi atau perbaruan secara pasif
melalui suatu membrane berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya.
Hemodialisa adalah pergerakan atau pemindahan larutan dan air dari darah melewati
membrane dializer ke dalam dialisat. Pemindahaan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana
tekanan hidrostatik mengakibatkan aliran yang besar dari air plasma melalui membran.
Hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal kronis di
Amerika Serikat. Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan filter khusus yang
disebut dializer atau suatu membran semipermeable) yangdigunakan untuk membersihkan
darah lalu dikeluarkan dari tubuh dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh.
Hemodialisa memerlukan jalan masuk kealiran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan
antara arteri dan vena yang disebut Fistula Arterivenosa melalui pembedahan. (Nuari &
Widayanti, 2017)
2. Indikasi
Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan pasien. Pengobatan
biasanya dimulai apabila pasien dalam kondisi ginjal sudah tidak dapat bekerja, menderita
neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan dilakukan jika
kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 mlpada pria, 4 mg/100 ml pada wanita dan GFR
kurang dari 4 ml/menit. Secara ideallaju filtrasi ginjal (LFG) kurang dari 15 ml/menit,
kurang dari 10 ml/menit dengangejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 ml/menit
walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialysis. Selain indikasi tersebut, hemodialisa
disarankan apabila terdapat komplikasi khusus seperti oedem paru, hyperkalemia, asidosis
metabolik yang berulang dan nefrotik diabetic. Hemodialisa dimulai pada bersihan kreatinin
menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar serum kreatinin 8-10 mg/dL.
(Nuari & Widayanti, 2017)
3. Tujuan Hemodialisa
Tujuan dari hemodialisa menurut Nuari & Widayanti (2017) adalah :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi atau pembuangan sisa-sisa hasil
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa-sisa hasil metabolisme
yang lainnya.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebgai urin saat dalam kondisi sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal seiring dengan pengobatan yang lainnya.
4. Proses Hemodialisa
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi sebagai
mempersiapkan cairan dialisat, mengalirkan dialisat dan aliran darahmelewati suatu
membrane semipermeable, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah
korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat
dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari
pemindahan larutan. Komposisi dialisat,kecepatan aliran darah dan karakteristik serta
ukuran membrane dalam alat dialisa mempengaruhi pemindahan larutan. Dalam proses
hemodialisa diperlukansuatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan
yang disebut dializer, digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum,
kreatinin dan zat-zat sisa metabolism yang tidak diperlukan oleh tubuh. Pelaksanaan
hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke
mesin hemodialisa. (Nuari & Widayanti, 2017) Mesin hemodializer terdiri dari membrane
semipermeabel terdiri dari 2bagian, bagian untuk darah dan untuk dialisat. Darah mengalir
dari arah yang berlawanan dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama dengan arah
aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri
dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian
tengah tabung – tabung kecil, dan cairan dialisat membasahibagian luarnya. Selama
hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah
mesin yang dihubungkan dengan sebuah membrane dializer yang terdiri dari dua ruangan.
Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat sehingga terjadi
difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersih oleh dializer, darah dikembalikan ke
dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). (Nuari & Widayanti,
2017)
Suatu Sistem dialisa terdiri dari dua jalan untuk darah dan untuk cairan dialisa. Darah
mengalir dari pasien melalui tabung plastic (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow
fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa membentuk saluran kedua. Air
kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur
dengan konsentrat dengan perantara pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak
cairan dialisa lalu dimasukan ke dalam dializer, cairan akan mengalir di luar serabut
berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membrane semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi. (Nuari & Widayanti, 2017)
Perbedaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di
dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran
vena, atau dengan meninggalkan efek vakum dalam ruangan dialisat dengan memainkan
pengatur tekanan negatif. Perbedaan tekanan hidrostatik diantara membrane dialisa juga
meningkatkan kecepatan difusi solute. Sebelum dihubungkan dengan pasien sirkuit darah
pada Sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %. Tekanan darah pasien
mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui jalur luar tubuh (ekstrakorporeal), atau
mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan Quick Blood sekitar
200 – 400 ml/menit merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin dimasukkan secara
terus menerus melalui infus lambat pada jalur arteri untuk mencegah pembekuan darah.
(Nuari & Widayanti, 2017)
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis adalah :
1. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan mengakibatkan dekalsifikasi
matriks tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung
lama akan menyebabkkan fraktur pathologis.
2. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara sistemik berupa hipertensi,
kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan kelainan hemodinamika (hipertropi ventrikel kiri).
3. Anemia
Sekresi eritropoetin yang mengalami defisiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan
hemoglobin.
4. Disfungsi seksual
Akibat gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami penurunan dan terjadi
impotensi pada pria. Pada wanita dapat terjadi hiperprolaktinemia.
Anggraini. (2016). Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang Menjalani Terapi
Hemodialisa Di RSUD Blambangan Banyuwangi. Digital Repositori Universitas
Jember.