Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL GINJAL KRONIK (CKD) STADIUM 5 DENGAN HEMODIALISA DI

RSUD WONOSARI

OLEH :

JIHAN NURUL FADHILLAH


NIM : M23040007

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MADANI

YOGYAKART
A 2023-2024
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan berjudul “Laporan Pendahuluan Dengan Gagal Ginjal Kronik (CKD) Stadium 5
Dengan Hemodialisa Di RSUD Wonosari” dibaca dan disahkan. Pada
tanggal......................oleh :

Dosen Pembimbing Akademik Dosen Pembimbing Klinik

Ns. Panca Umar Saputra, S.Kep M. Sc Ns. Yogi Dwi C, S.Kep


A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI
Gagal Ginjal Kronis (GGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah
suatu kondisi dimana Ginjal mengalami kelainan struktural atau gangguan fungsi
yang sudah berlangsung lebih dari 3 bulan. Penyakit Ginjal Kronik bersifat
progresif dan Irreversible, pada kondisi lanjut tidak dapat pulih kembali. Pada
penderita Ginjal Kronik, apabila fungsi ginjal sudah sangat menurun ditandai
dengan Lajur Filtrasi Glomerulus (LFF) < 15ml/Menit/1,73m2 maka hal ini
disebut dengan Gagal Ginjal Kronik (Anggraini & Fadila, 2023). Gagal ginjal
terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau
melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya di eliminasi di urin
menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan
gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa.
Gagal ginjal adalah suatu kondisi dimana fungsi ginjal mengalami penurunan
sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan filtrasi sisa metabolisme tubuh dan
menjaga keseimbangan cairan elektrolit seperti sodium dan kalium di dalam darah
atau urin. Penyakit ini terus berkembang secara perlahan hingga fungsi ginjal
semakin memburuk sampai ginjal kehilangan fungsinya (Hutagaol, 2019).
2. ETIOLOGI
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti
glomerolunefritis akut, gagal ginjal akut, penyakit ginjal polikistik, obstruksi
saluran kemih, pielonefritis, nefrotoksin, dan penyakit sistemik, seperti diabetes
melitus, hipertensi, lupus eritematosus, poliartritis, penyakit sel sabit, serta
amiloidosis (Hutagaol, 2019). Penyebab utama gagal ginjal ginjal kronik sangat
bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Penyebab utama gagal ginjal
kronik di Amerika Serikat diantaranya yaitu Diabetes Mellitus (DM) tipe 2
merupakan penyebab terbesar gagal ginjal kronik sebesar 37% sedangkan tipe 1
7%. Hipertensi menempati urutan kedua sebesar 27%. Urutan ketiga penyebab
gagal ginjal kronik adalah glomerulonefrtitis sebesar 10%, nefrtitis interstisialis
4%, dilanjutkan dengan nefritis interstisialis, kista, neoplasma serta penyakit
lainnya yang masing-masing sebesar 2% (Crisanto et al., 2022).
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2014 menyebutkan bahwa
penyebab gagal ginjal di Indonesia diantaranya adalah glomerulonefritis 46.39%,
DM 18.65% sedangkan obstruksi dan infeksi sebesar 12.85% dan hipertensi
8.46% sedangkan penyebab lainnya 13,65%. Dikelompokkan pada sebab lain
diantaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal
bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui. Etiologi gagal ginjal
kronik dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus,
glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol,
obstruksi traktus urinarius, lesi herediter seperti penyakit ginjal polikistik
(Crisanto et al., 2022).
a. Gangguan pembuluh darah ginjal : Berbagai jenis lesi vaskular dapat
menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling
sering adalah aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan konstriksi
skleratik progresif pada pembuluh darah. Hiperplapsia fibromuskular pada
saty atau lebih arteri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah.
Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang
tidak diobati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastisitas sistem,
perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya
gagal ginjal.
b. Gangguan imunologis : seperti glomerulonefritis & systemic lupus
erythematosus
c. Infeksi : Dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini
mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara ascenden
dari traktus urinarius . Bawah lewat ureter ginjal sehingga dapat menimbulkan
kerusakan irreversibel ginjal yang disebut plenlonefritis.
d. Gangguan Metabolik : Seperti Diabetes Mellitus yang menyebabkan
mobilisasi lemak yang meningkat sehingga terjadi penebalan membran kapiler
dan di ginjal berlanjut dengan difungsi endotel sehingga terjadi nefropati
amiloidosis yang disebabkan oleh endapan zat – zat proteinemia abnormal
pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membran glomerulus.
e. Gangguan tubulus primer : Terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam
berat.
f. Obstruksi traktus urinarius : Oleh batu ginjal, Hipertrofi prostat, dan kontriksi
uretra.
g. Kelainan kongenital dan herediter : Penyakit polikistik = kondisi keturunan
yang dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi cairan di dalam ginjal
dan organ lain.
Ada beberapa penyakit yang bisa menyebab kan gagal ginjal kronik
salahsatu nya adalah Glomerulonefritis merupakan penyebab utama gagal
ginjal kronis karena glomerulus adalah bagian ginjal yang berfungsi untuk
menyaring zat sisa dan membuang cairan serta elektrolit berlebihan dari tubuh.
Hiperensi juga bisa menyebabkan gagal ginjal kronis di mana iskemia renal
kronis akibat penyakit vaskularrenovaskular bisa jadi meruapakan kontribusi
tambahan yang belum diketahui (Simanullang, 2021).
3. PATHWAY
4. PATOFISIOLOGI
Gagal ginjal kronik melibatkan penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti
kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total laju filtrasi glomerulus (GFR)
menurun dan klirens menurun, BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih
tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih
banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan kemampuan memekatkan urine. Tahapan
untuk melanjutkan ekskresi, sejumlah besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan
klien mengalami kekurangan cairan. Tubulus secara bertahap kehilangan
kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya, urine yang dibuang mengandung
banyak sodium sehingga terjadi poliuri (Hutagaol, 2019).
Patofisiologi gagal ginjal kronik melibatkan makanisme pemicu yang bersifat
khas untuk etiologi dasar serta serangkaian makasinme progersif yang merupakan
konsekuensi lazim setelah penurunan masa renal dalam jangkan panjang, apapun
etiologinya. Penurunan massa renal meyebabakan hipertrofi nefron yang masih
bertahan secara structural dan fungsional. Hipertrofi pengimbang ini dimediasi
oleh molekul-molekul vasoaktif, sitokin, dan faktor –faktor pertumbuhan.
Hipertrofin ini awalnya terjadi karena hiperfiltrasi adaptif, dan kemudian
dimediasi oleh peningkatan tekanan dan aliran kapiler glomerulus.
Pada akhirnya, adaptasi jangka pendek ini terbukti maladaptive karena
memicu terjadinya sclerosis populasi nefron yang masih tersisa. Jalur akhir yang
biasa nya dingunakan untuk atrisi fungsi residual nefron bisa bertahan meski pun
proses penyakit dasar sudah tidak aktif lagi. memepengaruhi hiperfiltrasi adaptif
awal dan hipertrofi maladaptif berikutnya, serta sclerosis. Aktivasi aksis renin-
angiotensis jangka panjang ini dimediasi melalui faktor-faktor pertumbuhan hilir
seperti faktor pertumbuhan transformasi. Variasi antarindividu dalam hal risiko
dan kecepatan perkembangan CRD bisa dijelaskan melalui variasi komponen
penanda gen yang terlibat dalam fibrosis dan sclerosis tubulointerstitial dan
gromerular (Anggraini & Fadila, 2023).
5. MANIFESTASI KLINIS
Pada awalnya, gagal ginjal kronis sulit dideteksi karena tanda dan gejala
tampak tidak khas, dan dapat sama dengan gejala penyakit lain lain. Ini mungkin
dikarenakan ginjal merupakan alat yang adaptif dan mudah mengonpensasi
kekurangan fungsinya (Crisanto et al., 2022).
Tanda dan gejala seseoarang menagalami penyakit gagal ginjal yaitu:
a. Mengalami penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
b. Lesu dan gelisah, kelelahan
c. Terjadi penurunan daya ingat
d. Mengalami nyeri pada kepala tanpa sebab
e. Mengalami kedutan dan keram otot
f. BAB berdarah
g. Kulit kuning
h. Mengalami rasa gatal pada kulit
i. Anemia
j. Hipertensi
Sedangkan menurut Robinson (2013), tanda dan gejala pada gagal ginjalkronis
meliputi :
a. Ginjal dan Gastrointestinal sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul
hipotensi, mulut kering, penurunan turgor kulit, kelemahan, fatigue, dan
mual. Kemudianterjadi penurunan kesadaran (somnolen) dan nyeri kepala
yang hebat. Dampak dari peningkatan kalium adalah peningkatan
iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami kelemahan. Kelebihan cairan
yang tidak terkompensasi akan mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda
palingkhas adalah terjadinya penurunan urine output dengan sedimentasi
yang tinggi.
b. Kardiovaskuler : biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomiopati,
uremic perikarditis, efusi perikardial (kemungkinan terjadi tamponade
jantung), gagal jantung, edema periorbital dan edema perifer.
c. Sistem Respirasi : biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction
rub dan efusi pleura, crackles, sputum yang kental, uremic pleuritis dan
uremic lungdan sesak nafas
d. Gastrointestinal : biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi
pada mukosagastrointestinal karena stomatitis, ulserasi dan perdarahan
gusi dankemungkinan juga disertai parotitis, esofagitis, gastritis,
doudenalulseratif, lesi pada intestinum/kolon, kolitis, dan pankreatitis.
Kejadiansekunder biasanya mengikuti seperti anoreksia, nausea dan
vomiting.
e. Integumen kulit : pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering, dan ada
scalp.Selain itu biasanya juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis,
petekie, dan timbunan urea pada kulit.
f. Neurologi : biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropati perifer, nyeri,
gatal, pada lengan dan kaki. Selain iu, juga adanya kram pada otot dan
refleks kedutan, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk
meningkat,iritabilitas, pusing, koma dan kejang. Dari hasil EEG
menunjukkan adanya perubahan metabolik ensefalopati.
g. Endokrin : biasanya terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorea dan
gangguan siklus menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi
sperma, peningkatan sekresi aldosteron dan kerusakan metabolisme
karbohidrat.
h. Hematopoetic : terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah
merah,trombositopenia (dampak dialisis) dan kerusakan platelet. Biasanya
masalah yang serius pada sistem hematologi ditunjukkan dengan adanya
perdarahan (purpura, ekimosis, petekie).
i. Muskuloskeletal : nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi pada tulang,
fraktur patologis, kalsifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard).
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk hasil yang lebih akurat, pemeriksaan fungsi ginjal adalah dengan analisa
Creatinin Clearence. Menurut Prabowo & Pranata (2014), pemeriksaan penunjang
lainnya adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Laboratorium (Biokimia)
1. Laboratorium darah : Pemeriksaan utama (BUN, Kreatinin), elektrolit (Na,
K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein,
antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin). Pemeriksaan kadar
elektrolit dilakukan untuk mengetahui status keseimbangan elektrolit
dalam tubuh sebagai bentuk kinerja ginjal.
2. Pemeriksaan Urin : Warna, pH, Berat Jenis, kekeruhan, volume, glukosa,
protein.
b. Pemeriksaan EKG : Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda
perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
c. Pemeriksaan USG : Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal,
kandung kemih serta prostate. Pada klien gagal ginjal, hasil menunjukkan
adanya obstruksi atau jaringan parut pada ginjal.
d. Pemeriksaan Radiologi : Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde
Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi,
pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen.
7. PENATALAKSANAAN
Mengingat bahwa fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dikembalikan, maka
tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan
mempertahankan keseimbangan secara maksimal untuk memperpanjang harapan
hidup klien. Sebagai penyakit yang kompleks, gagal ginjal kronis membutuhkan
penatalaksanaan terpadu dan serius sehingga akan meminimalisir komplikasi dan
meningkatkan harapan hidup klien. Menurut Robinson (2013), beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam penatalaksanaan yaitu :
a. Perawatan kulit yang baik
Gunakan sabun yang mengandung lemak dan lotion tanpa alkohol untuk
mengurangi rasa gatal. Jangan gunakan gliserin/sabun yang mengandung
gliserin karena akan mengakibatkan kulit semakin kering.
b. Jaga kebersihan oral
Gunakan sikat gigi dengan bulu sikat yang lembut, kurangi konsumsi gula
untuk mengurangi rasa tidak nyaman di mulut.
c. Beri dukungan nutrisi
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menyediakan makanan dengan anjuran diet
tinggi kalori, rendah protein (20-40 gr/hari), rendah natrium dan kalium.
Menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan
penurunan uremia, dan perbaikan gejala. Hindari masukan berlebih dari
kalium dan garam.
d. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
Diusahakan hingga tekanan vena jugularis sedikit meningkat dan terdapat
edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine dan
pencatatan keseimbangan cairan.
e. Pantau adanya hiperkalemia
Hiperkalemia ditunjukkan dengan adanya kejang/kram pada lengan dan
abdomen dan diarea, dan dapat dipantau melalui ECG. Hindari masukan
kalium yang besar (<60 mmol/hari). Hiperkalemia diatasi dengan dialisis.
f. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia
Kondisi ini dapat diatasi dengan pemberian antasida (kalsium karbonat).
g. Kaji status hidrasi dengan hati-hati
Periksa ada/tidaknya distensi vena jugularis dan crackles pada auskultasi paru-
paru. Pantau keringan berlebih pada aksila, lidah yang kering, hipertensi dan
edema perifer. Cairan hidrasi yang diperbolehkan adalah 500-600 ml atau
lebih dari haluaran urine 24 jam.
h. Kontrol tekanan darah
Upayakan dalam kondisi normal, yang dapat dicegah dengan mengontrol
volume intravaskuler dan obat-obatan anti-hipertensi.
i. Pantau terjadinya komplikasi pada tulang dan sendi
j. Mencegah obstruksi jalan nafas
Latih klien nafas dalam dan batuk efektif untuk mencegah terjadinya
kegagalan nafas akibat obstruksi
k. Jaga kondisi septik dan aseptik setiap prosedur perawatan
l. Observasi tanda perdarahan
m. Pantau kadar hemoglobin dan hematokrit. Pemberian heparin selama proses
dialisis harus disesuaikan dengan kebutuhan.
n. Observasi adanya gejala neurologis
o. Laporkan segera jika dijumpai kedutan, sakit kepala, kesadaran delirium,
kejang otot. Berikan diazepam/fenitoin jika dijumpai kejang.
p. Atasi komplikasi dan penyakit
Sebagai penyakit yang sangat mudah menimbulkan komplikasi, maka harus
dipantau secara ketat. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal dapat
diatasi dengan membatasi cairan, diet rendah natrium, diuretik, preparat
inotropik (igitalis/dobutamin) dan lakukan dialisis jika perlu. Kondisi asidosis
metabolik dapat diatasi dengan pemberian nartrium bikarbonat atau dialisis.
q. Laporkan segera jika mucul tanda-tanda perikarditis (friction rub & nyeri
dada).
r. Tata laksana dialisis/transplantasi ginjal
s. Transfusi darah
t. Obat-obatan
Diuretik untuk meningkatkan urinasi, alumunium hidroksida untuk terapi
hiperfosfatemia, anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang
dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia,
suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium, furosemid (membantu
berkemih).

B. KONSEP DASAR HEMODIALISA


1. PENGERTIAN
Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialis nadalah
memisah dari yang lain, maka hemodialisa adalah pemisahan komponen darah
dari zat metabolisme dan zat yang dibutuhkan oleh tubuh dengan menggunakan
ginjal pengganti (dialyzer) dan dialisat melalui membran semi permeabel.
Hemodialisa-dialisis merupakan suatu proses dimana solute dan air
mengadakan difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dan kompartemen
cair menuju kompartemen lain (Prince & Wilson, 2005). Proses ini digunakan
untuk mengeluarkan cairan dan elektrolit limbah dari dalam tubuh ketika ginjal
tidak mampu melaksanakan proses tersebut.
2. TUJUAN HEMODIALISA
a. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein (toksin uremia)
b. Memperbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa.
c. Menjaga fungsi ginjal bila terjadi obstruksi.
3. INDIKASI HEMODIALISA
a. Gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik yang tidak berhasil dengan terapi
konservatif.
b. Gagal ginjal kronik yang dipersiapkan untuk transpantasi ginjal.
c. Dialisis pre operatif.
4. INDIKASI ABSOLUTE HEMODIALISA

a. Ureum lebih dari 200 mg%


b. Kreatinin lebih dari 8 mg%
c. Kelebihan voleme cairan coverload.
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit/hiperkalemia
e. Gangguan asam basa (asidosis) pH < 7,2
f. Klinis uremia dengan kesadaran menurun meskipun ureum darah < 200 mg%
g. Keracunan obat dan kesalahan transfuse
h. Tes Clearen Creatinin (CCT) < 10 ml/menit
i. Perikarditis
j. Uremic lung
k. Enselopati
l. Hipertensi Berat
5. PRINSIP HEMODIALISA
Menempatkan darah disampingan dengan cairan dialisat, dipisahkan oleh suatu
membran (selaput tipis) yang disebut membrane semi permeabel. Membrane dapat
dilalui oleh air dan zat tertentu (zat sampah) sesuai dengan besar molekulnya.
Proses ini disebut dialisis yaitu pemisahan air dan zat tertentu dari kompartemen
darah ke kompartemen dialisat atau sebaliknya dari kompartemen dialisat ke
kompartemen darah, melalui membrane semi permeabel.
6. MEKANISME PERPINDAHAN HEMODIALISA
Mekanisme perpindahan ditentukan oleh 3 proses, yaitu:
a. Difusi
Berpindahnya suatu zat (solute) karena tenaga yang ditimbulkan oleh keadaan
kadar zat (konsentrasi) di dalam darah dan dializat yaitu makin tinggi kadar
zat dalam darah makin banyak yang dipindahkan ke dializat. Kecepatan
perpindahan darah dipengaruhi oleh:
1) Konsentrasi
2) Berat molekul
3) QB dan QD
4) Luas permukaan membran
5) Permeabilitas membrane
b. Osmosis : Perpindahan air oleh karena kimiawi, yaitu karena perbedaan
osmolalitas darah dan dialisat.
c. Ultrafiltrasi : Berpindahnya air dan zat melalui membran semi permeabel
akibat tekanan hidrostatik yang bekerja pada membrane atau perbedaan
tekanan hidrostatik di dalam kompartemen darah dan kompartemen dialisat.
Perpindahan dan kecepatan ini dipengaruhi oleh :
1) TMP (trans membrane pressure)
2) Luas permukaan membran
3) KUF (koefisien Ultra
Filtrasi 4) QB dab QD
5)
7. KOMPONEN UTAMA HEMODIALISA
Komponen utama hemodialisa terdiri dari 3 komponen, yaitu:
a. Sirkulasi darah : Adalah sirkulasi yang memberikan darah dari tubuh melalui
jarum atau kanula arteri dengan bantuan pompa darah (blood pump) ke
kompartemen darah dengan kecepatan aliran darah QB kemudian darah
dikembalikan ke dalam tubuh melalui jarum/kanula vena. Sirkulasi darah ada 2
bagian besar, yaitu:
1) Saluran arteri (arteri line) atau in let set yaitu: saluran sirkulasi darah sebelum
dializer yang berwarna merah (ABL)
2) Saluran vena ( vena line) atauout let set yaitu: saluran sirkulasi darah sesudah
dialyzer yang berwarna biru (AVL)
b. Sirkulasi cairan dialisat : Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk proses
hemodialisa, berada dalam kompartemen dialisat, bersebrangan dengan
kompartemen darah dengan bantuan pompa dialisat, ada 2 jenis dialisat yaitu:
1) Asetat (acetat)
2) Bikarbonat (bicarbonate)
c. Dializer (Gb) : Dializer adalah suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan
sampah hasil metabolism tubuh atau zat toksik lainnya dari dalam tubuh.
Dializer merupakan suatu kotak atau tabung tertutup yang dibagi atas 2
ruangan atau kompartemen oleh suatu membran (selaput tipis) semi
permeabel yaitu kompartemen dialisat dan kompartemen darah dan
mempunyai 4 jalan masuk/keluar, 2 buah berhubungan dengan kompartemen
darah dan 2 buah lagi berhubungan dengan kompartemen dialisat.
8. HEPARINISASI
Pemberian antikoagulan pada sirkulasi HD, merupakan pemberian/ mengedarkan
suatu antikoagulan, dimana hal ini heparin di injeksi ke dalam sirkulasi dalam
tubuh maupun sirkulasi luar tubuh (sistemik atau ekstrakorporeal) pada waktu
proses hemodialisa. Tujuan heparisasi adalah mencegah pembekuan darah di
dalam kedua sirkulasi terutama pada dialyzer AVBL, jarum punksi
(avfistula/kanula).
Dosis heparin:
a. Dosis awal/dosis pemula
Dosis yang diberikan 25 unit-100 unit/kg (2500 unit) dimasukkan pada awal
hemodialisa.
b. Dosis lanjutan
Dosis yang diberikan 500-2000 unit/jam (1250 unit/jam diberikan sebelum
hemodialisa berakhir, heparin sudah harus di stop.
9. AKSES VASKULER
a. Permanen : AV fistula
b. Sementara : femoral
c. Long HD
1) HD pertama kali : 3 jam
2) HD kedua : 4 jam
3) HD rutin : 4-5 jam
10. PERAWATAN PADA PASIEN HEMODIALISA
a. Pre hemodialisa
1) Persiapan alat
a) Mesin HD
b) Listrik
c) Air ( reserve asmosis)
d) Cairan dializat
2) Dialisa set
a) Hallow fiker (GB)
b) Blood line ABL, VBL
c) Fistula sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan
d) Infus set/blood set
3) Persiapan alat
a) NaCl 0,9% 2 flash (2000cc)
b) Kupet steril : 1 spuit 20cc, 5cc, 1cc, duk, gaas steril 3 buah,
handscoon steril
c) Alat-alat lain :
- Gunting
- Plaster
- Klem
- Timbangan
- Desinfektan, alcohol dan betadin
- Antikoagulasi + heparin
- Tempat sampah medis dan non medis
4) Persiapan pasien
1) Perjanjian HD
- Persiapan mental
- Anamnesa kesehatan umum pasien
- Pemeriksaan fisik : timbang BB, posisi pasien, observasi
vital sign
b. Intra Hemodialisa
1) Monitor penderita : KU pasien, Observasi TTV
2) Monitor mesin HD: QB ( kecepatan aliran HD), conductivity, TMP,
Venoeus pressure, UFG, UFR, ultrafiltrasi, heforinisasi, kecepatan aliran dializat,
kecepatan aliran darah, temperature.
3) Sirkulasi darah : Sambungan sirkulasi darah, gelombang darah,
kecepatan aliran darah, bekuan darah, kebocoran darah.
c. Post Hemodialisa
1) Darah dimasukkan di dorong dengan NaCl 0,9%
2) Tekan luka bekas tusukan dengan gaas betadine
3) Perhatikan KU pasien
4) Mengukur TTV
5) Menimbang BB

11. KOMPLIKASI
a. Hipotensi
Angka terjadinya komplikasi ini sekitar 15–30% dari pasien yang menjalankan
hemodialisa. Keadaan yang biasa menyebabkan hipotensi menurut Clarkson et
al (2010) antara lain kecepatan ultrafiltrasi yang tinggi, diabetes mellitus,
amyloidosis, medikasi (beta bloker, alpha bloker, nitrat, calcium channel
blocker), proses pencernaan makanan selama dialisis.
b. Emboli udara : dapat terjadi bila udara memasuki sitem vaskuler pasien
c. Nyeri dada : dapat terjadi bila tekanan CO2 menurun bersama dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh
d. Kram otot
Kram otot terjadi sekitar 20% dalam terapi dialisis. Keram otot ini
berhubungan dengan kecepatan ultrafiltrasi yang tinggi dan rendahnya
konsentrasi sodium diasilat yang dapat mengindikasi terkadinya keram yang
menjadikan penyebab terjadinya kontraksi akut volume ekstraseluler (Clarkson
et al., 2010). Selain itu kram mungkin adalah reflek dari perubahan elektrolit
yang berpindah ke otot membran (O’Callaghan, 2006)
e. Dialysis Disequilibrium Syndrome
Terjadi pada saat hemodialisis pertama kali atau pada awal dimulainya terapi
hemodialisis. Sindrom ini merupakan akibat dari perubahan osmotik pada
otak, khususnya pada dinding urea plasma. (O’Callaghan, 2006). Sindrom ini
berhubungan dengan sekumpulan gejala yang mencakup mual dan muntah,
kegelisahan, sakit kepala, dan kelelahan selama dilakukannya hemodialisa atau
setelah dilakukannya hemodialisa. Dialysis Disequilibrium biasanya dilihat
pada situasi dimana pada awal konsentrasi larutan sangat tinggi dan alirannya
menalami kemunduran kecepatan (Clarkson et al., 2010).
f. Hipoglikemia
Disebabkan oleh pengurangan level potassium yang terlalu sering.
g. Perdarahan
Terjadi karena kerusakan fungsi platelet di daerah uremik dan adanya
perubahan permeabilitas kapiler serta anemia. Dari beberapa hal tersebut dapat
meningkatkan hilangnya di saluran pencernaan karena gastritis atau
angiodysplasia, lesi yang berhubungan dengan gagal ginjal. Pada awal
dilakukannya hemodialis, dilaporkan bahwa adanya sebagian kerusakan yang
disebabkan disfungsi platelet dan permeabilitas kapiler. Pasien yang menjalani
hemodialisis mempunyai resiko tinggi untuk terkena perdarahan karena
terpapar heparin secara berulang ulang (Clarkson et al., 2010).
h. Hipoksemia
Merupakan reflek dari hipoventilasi yang menyebabkan perpindahan dari
bikarbonat atau penutupan pulmo sehingga mengakibatkan perubahan
vasomotor dan terjadi aktifasi subtansi pada membran dialisis (O’Callaghan,
2006).
i. Gatal gatal
Terjadi setelah proses hemodialisis dilakukan mungkin terjadi karena adanya
reflek gatal pada gagal ginjal kronik, eksaserbasi dari pelepasan histamin
menyebabkan adanya reaksi alergi ringan pada membran dialisis. Jarang
terjadi dengan terpaparnya darah pada membran dialisis dapat meyebabkakan
respon alergi yang general.
Penanganan komplikasi HD
1. Hipotensi : meningkatkan BB pasien sebelum HD kemudian
membandingkan antara BB pre HD dengan post HD terakhir untuk
menentukan jumlah cairan yang akan dikeluarkan
2. Emboli udara : penanganan dengan mengeluarkan udara dari dalam
otot – otot HD tidak boleh ada udara yang masuk dalam alat HD dan
sebelum alat dipasang pada pasien maka alat dibilas dulu dengan NaCl
0,9% sekaligus untuk mendorong udara keluar, udara harus dikeluarkan
dari alat dan tidak boleh masuk ke dalam vaskuler pasien karena dapat
menimbulkan emboli.
3. Kram otot : bagian tubuh yang mengalami kram dipijat agar menjadi
lemas, pasien dianjurkan untuk relaks agar otot-otot yang kram bisa lemas
dengan cepat setelah dipijat.
4. Nyeri dada : nyeri disebabkan QB, tapi darah yang masuk dalam
tubuh lambat penanganannya dengan menurunkan QB.
5. Mual muntah : pasien diajarkan teknik relaksasi nafas dalam yang
dapat membantu merilekskan diri dan mengurangi rasa mual pasien.

C. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN

a. Pernapasan : nafas pendek, dispnea, batuk


b. Makan dan minum : peningkatan berat badan cepat (odema), penurun berat
badan (malnutrisi), anoreksia, mual, muntah, perubahan turgor kulit.
c. Eleminasi : penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria
d. Aktifitas dan istirahat : kelelahan, kelemahan otot,penurunan rentang gerak,
kehilangan tonus, malaisie
e. Sirkulasi : riwayat hipertensi nyeri dada, odema jaringan umum (kaki tangan)
f. Integritas ego : factor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan, perubahan
kepribadian takut.
g. Neurosensori : sakit kepala,penglihatan kabur, keram otot/kejang, kehilangan
memori, penurunan kesadaran
h. Seksualitas : penurunan libido, amenoria, infertilitas
i. Penyuluhan dan pembelajaran : riwayat dalam keluarga, penyakit polikistik,
nefrtis herideter, penggunaan antibiotik,terpejam toksik
j. Keamanan : kulit gatal, pruritis, demam
Pre Hemodialisa (HD)
 Data Subjektif
- Pasien mengeluh sulit bernafas
- Pasien mengeluh sering mual dan muntah
- Pasien mengeluh nafsu makan menurun
- Pasien mengeluh nyeri dada
- Pasien mengeluh nyeri/ sakit kepala
- Pasien mengeluh penglihatan rabun
- Pasien mengeluh gatal pada kulit dan mengeluh demam
- Pasien mengatakan aktifitas seksual mulai menurun
 Data objektif
- Pasien terlihat lemas
- Nafas pendek
- Dispneu
- Mual, muntah, dan anoreksia
- Penurunan BB yang drastis
- Penurunan kesadaran
- Perubahan turgor kulit

Intra Hemodialisa
 Data Subjektif
- Pasien mengeluh lemas
- Pasien mengeluh mual, muntah
- Pasien mengatakan cemas dengan keadaannnya
 Data objektif
- Kelemahan otot, kehilangan tonus
- Pendarahan
- Pasien tampak lemas
- Pasien tampak cemas dan gelisah
Post Hemodialisa
 Data Subjektif
- Pasien mengeluh lemas, kepala pusing, gatal- gatal, pada tubuhnya
 Data Objektif
- Pendarahan
- Terjadi atau terdapat tanda- tanda infeksi (kolor, dolor, rubor, tumor dan
fungsiolasia)

2. DIAGNOSA
a. Pre Hemodialisa
1) Pola nafas tidak efektif b/d penumpukan secret, edema sekunder pada
paru akibat GGK
2) Perubahan pefusi jaringan perifer b/d transportasi oksigen dan nutrisi
ke jaringan menurun
3) Kelebihan volume cairan b/d retensi cairan dan natrium, penurunan
haluaran urine
4) Resiko penurunan curah jantung b/d ketidakseimbangancairan yang
mempengaruhi volume sirkulasi
5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia, mual, muntah
6) Kerusakan integritas kulit b/d penumpukan ureum
7) Ansietas b/d kurang pengetahuan tentang penyakitnya
b. Intra Hemodialisa
1) Resiko tinggi syok hipovolemik b/d proses ultrasi yang berlebihan
2) Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan, kehilangan darah
actual
3) Nyeri akut b/d proses patologis penyakit
4) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, terapi pembatasan
5) Ansietas b/d kurang pengetahuan terhadap penyakitnya, program
pengobatan
c. Post Hemodialisa
1) Resiko pendarahan b/d pemberian heparin yang berlebihan
2) Resiko tinggi infeksi b/d tindakan invasive

3. PERENCANAAN
1. Prioritas masalah
a. Pre Hemodialisa
1) Pola nafas tidak efektif
2) Perubahan perfusi jaringan perifer
3) Kelebihan volume cairan
4) Resiko penurunan curah jantung
5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
6) Kerusakan integritas kulit
7) Ansietas
b. Intra Hemodialisa
1) Kekurangan volume cairan
2) Resiko syok hipovolemik
3) Nyeri akut
4) Intolerabsi aktivitas
5) Ansietas
c. Post Hemodialisa
1) Resiko terjadinya pendarahan
2) Resiko tinggi infeksi
2. Rencana Tindakan
a. Pre Hemodialisa
1) Diagnose : Pola nafas tidak efektif b/d penumpukan secret, edema,
sekunder pada paru akibat GGK
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pola nafas
pasien efektif
Kriteria Hasil :
a) Frekuensi nafas efektif
b) RR = 16-20 x/menit
c) Pasien tidak mengeluh sesak
d) Pasien tidak mengeluh nyeri dada
Intervensi
:
a) Beri posisi semifowler / posisi yang nyaman
R : meningkatkan ekspansi paru dan memudahkan
pernafasan
b) Kaji pola nafas, auskultasi kedalaman pernafasan
R : untuk mengetahui kebutuhan
c) Kolaborasi dalam pemberian oksigen
R : untuk mengetahui kebutuhan oksigen pasien secara
adekuat
d) Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan sesuai
kebutuhan
R : meningkatkan sediaan oksigen pasien untuk
kebutuhan miocard untuk memperbaiki kontraktilitas,
menurunkan iskemia dan kadar asam laktat
2) Diagnose : Perubahan perfusi jaringan perifer b/d transportasi oksigen
dan nutrisi ke jaringan menurun
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan perfusi
jaringan perifer kembali efektif
Kriteria Hasil :
a) Tidak ada sianosis
b) Kulit pasien teraba hangat
c) Tidak merasa kesemutan lagi
d) CRT < 3 detik
Intervensi
:
a) Observasi warna dan suhu kulit/membrane mukosa
R : kulit pucat atau sianosis, kuku, membrane bibir/lidah,
atau dingin, kulit burik menunjukkan vasokontriksi perifer
(syok) atau gangguan aliran darah sistemik
b) Tingkatkan tirah baring selama fase akut
R : pembatasan aktivitas menurunkan aktivitas oksigen
c) Tinggikan kaki bila ditempat tidur atau duduk, sesuai
indikasi
R : menurunkan pembengkakan jaringan dan pengosongan
cepat vena superficial dan tibial, mencegah distensi
berlebihan dan sehingga meningkatkan aliran balik vena
d) Peringatkan pasien untuk menghindari menyilang kaki atau
hiperfleksi lutut.
R : pembatasan fisik terhadap sirkulasi mengganggu aliran
darah dan meningkatkan statis vena pada pelvis, popliteal,
dan pembuluh kaki, jadi meningkatkan pembengkakan
embolisasi dan meningkatkan risiko komplikasi
e) Anjurkan pasien untuk menghindari pijatan pada
ekstremitas yang sakit
R : aktivitas ini potensial memecah/menyebar thrombus,
menyebabkan embolisasi dan meningkatkan risiko
komplikasi
f) Dorong latihan nafas dalam
R : meningkatkan tekanan negative pada thoraks, yang
membantu pengosongan vena besar.
3) Diagnose : Resiko penurunan curah jantung b/d ketidakseimbangan
cairan yang mempengaruhi volume sirkulasi
Tujuan
:
a) Pasien dapat mempertahankan curah jantung
b) Irama jantung dan frekuensi dalam batas normal
c) Nadi perifer kuat

Kriteria Hasil :
a) Observasi TD dan frekuensi jantung
R : kelebihan volume cairan disertai hipertensi dapat
menimbulkan gagal jantung
b) Auskultasi bunyi jantung
R : apabila terbentuk suara jantung S3 dan S4
menunjukkan gagal jantung
c) Kaji warna kulit, membrane mukosa, dan dasar kuku.
Perhatikan waktu pengisian kapiler
R : pucat dapat menunjukan vasokontriksi. Sianosis
mungkin berhubungan dengan kongesti paru atau gagal
ginjal.
d) Pertahankan tirah baring
R : menurunkan konsumsi oksigen
e) Kolaborasi dalam berikan tambahan oksigen sesuai indikasi
R : memaksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan
miokardial untuk menurunkan kerja jantung dan hipoksia
seluler.
4) Diagnose : Kelebihan volume cairan b/d retensi cairan dan natrium,
penurunan haluaran urine.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan volume
cairan pasien seimbang
Kriteria Hasil :
a) BB pasien stabil (BB Post HD = BB Kering)
b) Tidak terdapat edema
c) Kadar Na + dan air didalam darah pada batas normal
d) TTV dalam batas normal ( TD : 110-120/70-80 mmHg, N:
60-100 x/menit, RR: 16-20 x/menit)
Intervensi
:
a) Kaji kulit, wajah, area tergantung untuk edema. Evaluasi
derajad edema (+1 sampai +4)
R : edema terjadi terutama pada jaringan yang tergantung
pada tubuh, contoh tangan, kaki, area lumbosacral. BB
pasien dapat meningkat sampai 4,5 kg cairan sebelum
piting edema terdeteksi
b) Ukur semua sumber pemasukan dan pengeluaran. Timbang
dengan rutin
R : membantu mengevaluasi status cairan khususnya bila
dibandingkan dengan berat badan. Peningkatan berat badan
antara pengobatan harus tidak lebih dari 0,5 kg/hari.
c) Timbang BB pre HD
R : BB pre HD diperlukan untu menentukan HD yang
dilakukan
tubuh
d) Ukur Tanda-Tanda Vital Pre-HD
R : TTV Pre-HD dapat menentukan program HD dapat
dilakukan atau tidak
e) Lakukan persiapan pelaksanaan HD sesuai program dan
SOP
R : pelaksanaan HD dapat membantu mengeluarkan sisa-
sisa metabolisme dan cairan berlebih yang tidak mampu
dilakukan oleh ginjal
f) Lakukan HD sesuai kebutuhan
R : program HD sesuai kelebihan cairan dalam
g) Berikan KIE pada pasien dan keluarga untuk membatasi
asupan cairan sesuai indikasi
R : Pembatasan konsumsi cairan dapat membantu
mencegah terjadinya kelebihan volume cairan dalam tubuh
h) Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi: Diuretik,
contoh furosemide (Lasix), Mannitol (Osmitrol)
R : diberikan dini pada fase oliguria pada GGa pada upaya
mengubah ke fase nonoliguria, untuk melebarkan lumen
tubular dari debris, menurunkan hyperkalemia, dan
meningkatkan volume urine yang adekuat.
5) Diagnose : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia, mual,
muntah
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharpkan nutrisi pasien
adekuat
Kriteria Hasil :
a) BB pasien stabil
b) Terjadi peningkatan nafsu makan
Intervensi
:
a) Beri makan sedikit tapi sering
R/ : meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan
dengan status uremik/menurunnya peristaltic dan
memberikan sedikit energy
b) Batasi kalium, natrium, dan pemasukan fosfat sesuai
indikasi
R/ : pembatasan elektrolit ini diperlukan untuk mencegah
kerusakan ginjal lebih lanjut, khususnya bila dialysis tidak
menjadi bagian pengobatan,dan/atau selama fase
penyembuhan GGA
c) Timbang BB tiap dilakukan HD
R/ : untuk mengetahui siklus nutrisi

d) Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian asupan nutrisi


R/ : memberi asupan nutrisi yang tepat bagi pasien

6) Diagnosa : Kerusakan integritas kulit b/d penumpukan ureum


Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kerusakan
integritas kulit dapat diatasi
Kriteria Hasil :
a) Mempertahankan kulit utuh
b) Menunjukkan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan
atau cedera kulit.
Intervensi
:
a) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vascular.
Perhatikan kemerahan, ekskoriasi. Observasi terhadap
ekimosis, purpura
R/ : menandakan area sirkulasi buruk/kerusakan yang
dapat menimbulkan pembentukan decubitus/infeksi
b) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran
mukosa
R/ : mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan
yang memengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada
tingkat seluler
c) Ubah posisi dengan sering, gerakan pasien dengan
perlahan, beri bantalan pada tonjolan tulang dengan kulit
domba, pelindung, siku, atau tumit
R/ : menurunkan tekanan pada oedema, jaringan dengan
perfusi buruk untuk menurunkan iskemia. Peninggian
meningkatkan aliran balik status vena terbatas atau
pembentukan oedema.
d) Berikan perawatan kulit. Batasi penggunaan sabun. Berikan
salep atau krim (mis lanolin, aquaphor)
R/ : Lotion dan salep mungkin diinginkan untuk
menghilangkan kering, robekan kulit.
e) Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin
untuk memberikan tekanan (daripada garukan) pada area
pruritus. Pertahankan kuku pendek, berikan sarung tangan
selama tidur bila diperlukan.
R/ : menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan
resiko cidera dermal
f) Anjurkan menggunakan katun longgar
R/ : mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan
evaporasi lembab pada kulit.
7) Diagnosa : Ansietas b/d kurang pengetahuan tentang penyakitnya.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pasien tidak
cemas
Kriteria Hasil :
a) Pasien tampak tenang dan nyaman
b) Kecemasan pasien berkurang
Intervensi
:
a) Kaji tingkat ansietas
R/ : untuk menentukan intervensi yang diberikan
b) Beri informasi tentang HD
R/ : untuk mengetahui prosedur HD
c) Komunikasi Terapeutik
R/ : sesuatu yang disampaikan pada pasien agar menjadi
efektif.

b. Intra Hemodialisa

1) Diagnosa : Resiko tinggi syok hipovolemik b/d proses ultrafiltrasi


berlebihan.
Tujuan : Setekah diberikan asuhan keperawatan diharapka klien tidak
mengalami syok hipovolemik
Kriteria Hasil :
a) Volume darah dalam tubuh kembali normal
b) Keadaan pasien compos mentis
c) Keadaan umum pasien baik
d) TTV dalam batas normal (S= 36-37,40C, TD= 120/80
mmHg, RR=16-20 x/mnt, nadi=60-100 x/mnt)
Intervensi
:
a) Observasi KU pasien
R/: Pasien syok tidak menunjukkan KU yang lemah
b) Observasi TTV pasien tiap jam
R/: Penurunan TD dan nadi menunjukkan adanya syok
c) Monitor nilai UFG & QB pada mesin HD
R/ : nilai UFG menunjukkan banyaknya cairan yang telah
ditarik dari tubuh dan nilai QB merupakan kecepatan
penarikan cairan
d) Berikan KIE pada pasien dan keluarga tentang tanda-tanda
syok hipovolemik yaitu penurunan tekanan darah dan
peningkatan nadi
R/ : KIE dapat membuat pasien dan keluarga lebih waspada
dan bisa melaporkan pada petugas apabila tanda syok
muncul
e) Kolaborasi pemberian cairan intravena (IVFD)
R/: mengganti kekurangan cairan dan meneimbangkan
cairan vaskuler
2) Diagnosa : Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan, kehilangan
darah actual.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan
cairan klien terpenuhi.
Kriteria Hasil :
a) Volume cairan tubuh kembali normal
Intervensi :
a) Kaji ulang KU dan tanda-tanda vital pasien
R/: Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui
penyimpangan dari keadaan normal
b) Observasi tanda-tanda syok
R/: Dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani
terjadinya syok
c) Catat intake dan output cairan
R/: Untuk mengetahui keseimbangan cairan
d) Kolaborasi pemberian cairan intravena dengan dokter
R/: pemberian cairan intravena sangat penting bagi pasien
yang mengalami kekuranmgan cairan tubuh. Karena cairan
yang diberikan langsung masuk kedalam pembuluh darah.

3) Diagnosa : Nyeri akut b/d proses patologis penyakit


Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan nyeri klien
berkurang
Kriteria Hasil :
a) Nyeri pasien berkurang/hilang
b) KU klien baik, klien tidak meringis
c) Skala nyeri (0-3) dari skala yang diberikan
Intervensi
:
a) Monitor TTV
R/: Mengetahui KU pasien dan sebagai data dasar untuk
tindakan lebih lanjut
b) Observasi nyeri pasien dengan teknik PQRST
R/: Mengetahui penyebab, kualitas, lokasi, skala dan waktu
terjadinya nyeri
c) Beri posisi nyaman, usahakan situasi ruangan tenang
R/: Mengurangi rasa nyeri
d) Kolaborasi dalam pemberian analgetik
R/: Analgetik dapat menekan rasa
nyeri

4) Diagnosa : Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, terapi, pembatasan


Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan aktivitas
pasien terpenuhi.
Kriteria Hasil :

a) Klien mampu beraktifitas mandiri


b) Klien tidak merasa lemas lagi
Intervensi
:
a) Kaji faktor yang mempengaruhi kelemahan
R/: Untuk mengetahui penyebab terjadinya kelemahan
b) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
R/: Melatih pasien untuk beraktivitas secara bertahap
c) Kaji ulang hal-hal yang mampu dan tidak mampu
dilakukan pasien
R/: Mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam
memenuhi kebutuhannya
d) Bantu pasien memenuhi ADL yang tidak dapat dilakukan
sendiri
R/: Menumbuhkan rasa percaya diri pasien dalam
melakukan ADL
5) Diagnosa : Ansietas b/d kurangnya pengetahuan terhadap penyakitnya
dan program pengobatan.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan pasien
tidak cemas lagi
Kriteria Hasil :
a) Pasien tampak nyaman dan tenang
b) Kecemasan pasien berkuran/pasien tidak cemas lagi
Intervensi
:
a) Kaji tingkat ansietas
R/: Penentuan tindak lanjut intervensi keperawatan yang
akan diberikan
b) Berikan informasi mengenai tindakan HD yang dilakukan
R/: Untuk mengetahui prosedur tindakan HD dan
menurunkan ansietas
c) Gunakan komunikasi terapeutik
R/: Segala sesuatu yang disampaikan, diajarkan pada pasien
agar memberikan hasil yang efektif
d) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya
R/: Mengetahui sejauh mana klien tahu tentang
penyakitnya
e) Berikan dukungan pada pasien dan libatkan orang terdekat
/keluarga untuk mendampingi pasien
R/: dukungan yang diberikan dapat menurunkan ansietas
pasien

c. Post Hemodialisa
1) Diagnosa : Resiko pendarahan b/d pemberian heparin yang berlebih
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
pendarahan tindak lanjut

Kriteria Hasil :

a) Tidak ada tanda-tanda perdarahan


Intervensi

a) Observasi daerah luka penusukan


: R/: Untuk mengetahui terjadinya pendarahan secara dini
b) Observasi TTV pasien
R/ : penurunan tekanan darah yang drastis dapat
menunjukkan terjadinya perdarahan
c) Lakukan fiksasi/penekanan pada tempat penusukan dengan
gaas berisi betadine
R/: Mencegah pengeluaran darah

2) Diagnosa : Resiko tinggi infeksi b/d tindakan invasive


Tujuan : Setelah diberikan askep diharapkan tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil :
a) Tidak terdapat tanda-tanda infeksi (pembengkakan,
kemerahan, nyeri, panas dan perubahan fungsi
Intervensi
:
a) Ukur TTV pasien
R/: Sebagai data dasar untuk tindakan selanjutnya
b) Observasi daerah pemasangan/daerah penusukan
R/: Mengetahui tanda-tanda infeksi pada daerah
pemasangan alat HD/bekas luka tusukan

c) Lakukan teknik aseptik saat melakukan aff HD dan


tindakan perawatan luka bekas penusukan
R/: Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif
terhadap kemungkinan terjadinya infeksi
d) Tutup luka bekas penusukan dengan gaas steril
R/ : Perawatan dengan gaas steril dapat mencegah
kontaminasi kuman
e) Berikan KIE pada pasien dan keluarga tentang tanda dan
gejala infeksi
R/ : KIE dapat meningkatkan pengetahuan pasien dan
keluarga tentang infeksi dan mampu melaporkan ke
petugas jika terjadi
f) Segera cabut jarum bila tampak adanya
pembengkakan/flebitis
R/: Menghindari kondisi yang lebih buruk
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi adalah tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencana asuhan
keperawatan yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tindakan yang telah
dibuat, dimana tindakan yang dilakukan mencakup tindakan mandiri dan
kolaborasi.
5. EVALUASI KEPERAWATAN
a. Pre Hemodialisa
1) Pola napas efektif
2) Perfusi jaringan perifer kembali efektif
3) Tidak terjadi penurunan curah jantung
4) Volume cairan klien seimbang
5) Nutrisi klien adekuat
6) Kerusakan integritas kulit dapat diatasi
7) Ansietas tidak terjadi
b. Intra Hemodialisa
1) Syok hipovolemik tidak terjadi
2) Keseimbangan cairan tetap tejaga
3) Rasa nyeri pasien berkurang
4) Aktivitas sehari-hari dapat terpenuhi
5) Ansietas tidak terjadi
c. Post Hemodialisa
1) Pendarahan tidak terjadi
2) Infeksi tidak terjadi
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, S., & Fadila, Z. (2023). Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan
Dialisis Di Asia Tenggara. 11(1), 77–84.

Crisanto, E. Y., Djamaludin, D., Yulendasari, R., & Sari, R. P. (2022). Penyuluhan kesehatan
tentang perilaku sehat pasien gagal ginjal kronik ( GGK ). 2(2), 65–69.

Hutagaol, E. V. (2019). Peningkatan Kualitas Hidup Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik
Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Melalui Psychological Intervention Di Unit
Hemodialisa. 2.

Simanullang. (2021). Kepatuhan Pembatasan Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Yang Menjalani Hemodialisa.

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges E, Marilynn, dkk. (2003). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Long, B C. (2010). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid
3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Prabowo, Eko P. Dan Pranata, Eka A.. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Pperkemihan.
Yogyakarta : Nuha Medika

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Rendy, M. Clevo dan Margareth, TH.. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit
Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2003). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai