Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN CHRONIC KIDNEY DISEASE

(CKD) PADA SISTEM PERKEMIHAN DI RUANG ASTER RSUD


dr. TJITROWARDOYO

Disusun untuk memenuhi Praktek Klinik Keperawatan Medikal Bedah II


Dosen Pengampu: Ahmad Muzaki,S.Kp.Ns.M.Kep

Disusun Oleh:
Nama : Bernadine Avelia Riana Pramesthi
NIM : 21016

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PEMERINTAHAN


KABUPATEN PURWOREJO
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dengan judul “Chronic Kidney Disease (CKD) Pada Sistem
Perkemihan di Ruang Aster RSUD dr. Tjitrowardoyo” telah disahkan pada:

Hari, tanggal :
Oleh :

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademi

Ahmad Muzaki,S.Kp.Ns.M.Kep
A. DEFINISI CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel dan
progresif dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Black & Hawk
dalam Dwy Retno Sulystianingsih, 2018). Gagal Ginjal Kronik atau Chronic Kidney
Disease (CKD) saat ini merupakan masalah kesehatan yang penting mengingat selain
insidens dan pravelensinya yang semakin meningkat, pengobatan pengganti ginjal yang
harus dijalani oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang sangat mahal.
Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita gagal ginjal terminal.
Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena berfungsi
menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang sering dilakukan adalah
hemodialisis dan peritonealialisa.
Diantara kedua jenis tersebut, yang menjadi pilihan utama dan metode
perawatan yang umum untuk penderita gagal ginjal adalah hemodialisis (Arliza dalam
Nita Permanasari, 2018) Penyakit ginjal kronik stadium awal sering tidak terdiagnosis,
sementara PGK stadium akhir yang disebut juga gagal ginjal memerlukan biaya
perawatan dan penanganan yang sangat tinggi untuk hemodialisis atau transplantasi
ginjal. Penyakit ini baik pada stadium awal maupun akhir memerlukan perhatian.
Penyakit ginjal kronik juga merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Kematian
akibat penyakit kardiovaskuler pada PGK lebih tinggi daripada kejadian berlanjutnya
PGK stadium awal menjadi stadium akhir (Delima, 2014).

B. ETIOLOGI CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju filtrasi glomerulus
atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration rate (GFR). Penyebab gagal
ginjal kronik menurut (Andra dan Yessie, 2013):
1. Gangguan pembuluh darah: berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan
iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering adalah
Aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan konstriksi skleratik
progresif pada pembuluh darah. Hiperplasia fibromuskular pada satu atau lebih
arteri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah. Nefrosklerosis
yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak diobati,
dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastisitas sistem, perubahan darah
ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
2. Gangguan imunologis: seperti glomerulonephritis.
3. Infeksi: dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini
mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara asenden dari
traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat
menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut pielonefritis.
4. Gangguan metabolik: seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak
meningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan
berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis yang
disebabkan oleh endapan zat-zat proteinuria abnormal pada dinding pembuluh
darah secara serius merusak membrane glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer: terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam
berat.
6. Obstruksi traktus urinarius: oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan konstriksi
uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter: penyakit polikistik sama dengan kondisi
keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantung berisi cairan di
dalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat
kongenital (hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.

C. MANIFESTASI KLINIS CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


Penyakit gagal ginjal kronik tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda terjadinya
penurunan fungsi secara spesifik, tetapi gejala yang muncul mulai terjadi pada saat fungsi
nefron mulai menurun secara berkelanjutan. Penyakit gagal ginjal kronik dapat
mengakibatkan tergantungnya fungsi organ tubuh lainnya. Penurunan fungsi ginjal yang
tidak dilakukan penatalaksanaan secara baik dapat berakibat buruk dan menyebabkan
kematian. Tanda dan gejala umum yang sering muncul dapat meliputi:
1. Darah ditemukan dalam urine, sehingga urin berwarna gelap seperti the
(hematuria).
2. Urin seperti berbusa (albuminuria).
3. Urin keruh (infeksi saluran kemih).
4. Nyeri yang dirasakan saat buang air kecil.
5. Merasa sulit saat berkemih (tidak lancar).
6. Ditemukan pasir/batu di dalam urin.
7. Terjadi penambahan atau pengurangan produk urine secara signifikan.
8. Nokturia (sering buang air kecil pada malam hari).
9. Terasa nyeri dibagian pinggang/perut.
10. Terjadi peningkatan tekanan darah.
Gejala yang terjadi pada pasien sesuai dengan tingkatan kerusakan ginjal, keadaan
ini dapat mengganggu fungsi organ tubuh lainnya yaitu:
1. Gangguan Jantung: terjadi peningkatan tekanan darah, kardiomiopati, uremik
pericarditis, gagal jantung, edema paru dan perikarditis.
2. Gangguan Kulit: kulit terlihat pucat, mudah lecet, rapuh, kering dan bersisik,
timbul bintik-bintik hitam dan gatal akibat ureum atau kalsium yang tertimbun di
kulit. Kulit berwarna putih seperti berlilin terjadi akibat pigmen kulit dipenuhi
urea dan anemia. Terjadi perubahan warna rambut dan menjadi lebih rapuh.
Penimbunan urea di kulit dapat mengakibatkan terjadi pruritus.
3. Gangguan Pencernaan: ureum yang tertimbun di saluran pencernaan
mengakibatkan terjadinya inflamasi dan ulserasi di mukosa saluran pencernaan
sehingga terjadinya stomatitis, perdarahan gusi, parotitis, esophagitis, gastritis,
ulseratif duodenal, lesi pada usus, pankreatitis. Reaksi sekunder yang timbul dapat
berupa mual, muntah, penurunan nafsu makan, cegukan, rasa haus dan penurunan
aliran saliva mengakibatkan mulut menjadi kering.
4. Gangguan Muskuloskeletal: penimbunan ureum di otot dan saraf mengakibatkan
penderita sering mengeluh tungkai bawah sakit dan selalu menggerakkan kaki
(restless leg syndrome) kadang terasa panas pada kaki, gangguan saraf dapat pula
berupa kelemahan, demineralisasi tulang, fraktur patologis dan klasifikasi.
5. Gangguan Hematologi: Gangguan hematologi pada pasien diakibatkan penurunan
eritropoetin dalam membentuk sel darah merah dan gangguan penurunan masa
hidup sel darah merah.Tindakan hemodialisa juga mengakibatkan anemia karena
perdarahan yang terjadi akibat terganggunya fungsi trombosit dan perdarahan
ditandai dengan munculnya purpura, petechiae dan ekimosis. Pasien penurunan
fungsi ginjal juga dapat terinfeksi akibat penurunan daya imun tubuh, akibat
berkurangnya kemampuan leukosit dan limfosit dalam mempertahankan
pertahanan seluler.
6. Gangguan Neurologi: kadar ureum yang tinggi dapat menembus sawar otak
sehingga mengakibatkan mental yang kacau, gangguan konsentrasi, kedutan otot,
kejang dan dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran, gangguan tidur,
gangguan konsentrasi, tremor.
7. Gangguan Endokrin: bisa mengakibatkan terjadinya gangguan infertilitas,
penurunan libido, gangguan amenorrhea dan siklus haid pada wanita, impoten,
penurunan pengeluaran sperma, peningkatan pengeluaran aldosterone dan
mengakibatkan rusaknya metabolisme karbohidrat.
8. Gangguan Respiratori: dapat mengakibatkan terjadinya edema paru, nyeri pleura,
sesak nafas, friction rub, krekels, sputum kental, peradangan lapisan pleura.
D. PATOFISIOLOGI CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
Patofisiologi penyakit CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Penyakit CKD dimulai pada fase awal gangguan, keseimbangan cairan,
penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada
ginjal yang sakit (Muttaqin & Sari, 2011).
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab yaitu infeksi,
vaskuler, zat toksik, obstruksi saluran kemih yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan
nefron sehingga menyebabkan penurunan GFR dan menyebabkan CKD, yang mana
ginjal mengalami gangguan dalam fungsi ekskresi dan fungsi non-ekskres(Nursalam,
2007) Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin berat.
Banyak masalah muncul pada CKD sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomerulus yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens (substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal). Menurunnya filtrasi glomerulus (akibat tidak
berfungsinya glomerulus) klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum
akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) juga meningkat (Smeltzer
& Bare, 2015) Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan
urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir. Terjadi penahanan cairan dan
natrium, sehingga beresiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin-angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Sindrom uremia juga bisa menyebabkan
asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu mensekresi asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu mensekresi amonia
(NH3- ) dan reabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan ekskresi fosfat dan
asam organik yang terjadi, maka mual dan muntah tidak dapat dihindarkan (Smeltzer &
Bare, 2015). Penurunan sekresi eritropoetin sebagai faktor penting dalam stimulasi
produksi sel darah merah oleh sumsum tulang menyebabkan produk hemoglobin
berkurang dan terjadi anemia sehingga pengikatan oksigen oleh hemoglobin berkurang
maka tubuh akan mengalami kelelahan,angina dan nafas sesak. Ketidakseimbangan
kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme. Kadar serum kalsium dan fosfat
tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya meningkat maka fungsi yang
lain akan menurun.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal maka meningkatkan
kadar fosfat serum, dan sebaliknya, kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar
kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid, tetapi gagal
ginjal tubuh tidak dapat merespons normal terhadap peningkatan sekresi parathormon
sehingga kalsium di tulang menurun, menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan
penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktif vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal
menurun seiring dengan berkembangnya gagal ginjal (Smeltzer & Bare, 2015).

E. KLASIFIKASI CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


Penyakit CKD selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR yang tersisa
(Muttaqin & Sari, 2011). (Price dan Wilson, 2012) menjelaskan perjalanan klinis umum
CKD progresif dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
1. Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Pada stadium pertama kreatinin serum dan kadar BUN normal dan
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi
beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti tes pemekatan urine.
(Muttaqin & Sari, 2011). menjelaskan penurunan cadangan ginjal yang terjadi
apabila GFR turun 50% dari normal.
2. Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25%
dari normal). Pada tahap ini BUN mulai meningkat diatas normal, kadar
kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal, azotemia ringan,
timbul nokturia dan poliuri.
3. Stadium 3 (gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Stadium ketiga disebut penyakit ginjal stadium akhir (ERSD) yang dapat
terjadi apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai GFR 10% dari keadaan
normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml permenit atau
kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN meningkat sangat
menyolok sebagai respons terhadap GFR yang mengalami sedikit penurunan.

F. KOMPLIKASI CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut (Smletzer & Bare,2015) yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin-
angiostensin-aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar
alumunium.
a. Asidosis metabolic.
b. Osteodistropi ginjal.
c. Sepsis.
d. Neuropati perifer.
e. Hiperuremia.

G. PATHWAY
H. DIAGNOSA KEPERWATAN
1. Nyeri Akut b.d Agen Pencedera Fisiologis (mis: inflamasi, iskemia, neoplasma)
(D.0077)
2. Resiko Perfusi Renal Tidak Efektif b.d Disfungsi Ginjal (D. 0016)

I. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut b.d Agen Pencedera Fisiologis (mis: inflamasi, iskemia, neoplasma)
(D.0077)
Nyeri akut merupakan diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai
pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas
ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Tindakan:
Observasi

 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas


nyeri.
 Identifikasi skala nyeri.
 Idenfitikasi respon nyeri non verbal.
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan.
 Monitor efek samping penggunaan analgetik.
Terapeutik
 Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS,
hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
Teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain).
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan).
 Fasilitasi istirahat dan tidur.
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri..
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
 Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat.
 Ajarkan Teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri.
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.

2. Resiko Perfusi Renal Tidak Efektif b.d Disfungsi Ginjal (D. 0016)
Risiko perfusi renal tidak efektif adalah diagnosis keperawatan yang didefinisikan
sebagai berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke ginjal.
Tindakan:
Observasi
 Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi
napas, TD, MAP).
 Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD).
 Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT).
 Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil.
 Periksa Riwayat alergi.
Terapeutik
 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94%.
 Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu.
 Pasang jalur IV, jika perlu.
 Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin, jika perlu.
 Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi.
Edukasi
 Jelaskan penyebab/faktor risiko syok.
 Jelaskan tanda dan gejala awal syok.
 Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan gejala awal
syok.
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral.
 Anjurkan menghindari allergen.
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian IV, jika perlu.
 Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu.
 Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu.

Anda mungkin juga menyukai