Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) ON HEMODIALISIS

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Tahap Stase Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pembimbing: Ns. Andaz Mortin Amzal, M. Kep

Disusun Oleh:

Gina Sonia

0432950922018

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANI SALEH

2022-2023
A. Konsep Dasar Chronic Kidney Disease (CKD)
1. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit (toksik uremik) didalam darah. gagal ginjal kronik adalah suatu
keadaan dimana ginjal mengalami kerusakan sehingga tidak mampu lagi
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan
penumpukan urea dan sampah metabolisme lainnya serta ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit. (Muttaqin & Sari, 2011).
Gagal ginjal kronis merupakan penyakit yang menahun dan bersifat progresif,
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme atau
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia. Gagal ginjal kronis
terjadi apabila Laju Filtrasi Glomeruler (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2
selama tiga bulan atau lebih. Berbagai faktor yang mempengaruhi kecepatan
kerusakan serta penurunan fungsi ginjal dapat berasal dari genetik, perilaku,
lingkungan maupun proses degenerative (Pongsibidang, 2016).
Gagal ginjal kronis yang juga disebut CKD ditandai oleh penurunan fungsi
ginjal yang cukup besar, yaitu biasanya hingga kurang dari 20% nilai GFR yang
normal, dalam periode waktu yang lama biasanya > 3 bulan. Penyakit ginjal
kronis bisa berlangsung tanpa keluhan dan gejala selama bertahun - tahun
dengan peningkatan uremia dan gejala yang menyertai ketika GFR sudah turun
hingga di bawah 60 mL/menit. Penyebab gagal ginjal kronis yang semuanya
berupa penyakit kronis jangka panjang (Tao. L, 2013). Gagal ginjal kronis
merupakan suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang bersifat kronis akibat
kerusakan progresif sehingga terjadi 38 uremia atau penumpukan akibat
kelebihan urea dan sampah nitrogen di dalam darah (Priyanti, 2016).

2. Etiologi
Menurut Dipiroet al. (2016), terdapat faktor yang menyebabkan terjadinya
gagal ginjal kronik, yaitu:
1. Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan
iskemik ginjal dan kematian jaringan ginajl. Lesi yang paling sering adalah
Aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan konstriksi skleratik
progresif pada pembuluh darah. Hyperplasia fibromaskular pada satu atau
lebih artieri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah.
Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang
tidak di obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastistisitas
system, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan
akhirnya gagal ginjal.
2. Infeksi : dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini
mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara ascenden
dari traktus urinarius bagiab bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat
menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut pielonefritis.
3. Gangguan metabolik : seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak
meningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan
berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis yang
disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding
pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus
4. Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam
berat. Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan
kontstriksi uretra.
5. Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik sama dengan kondisi
keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan
didalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat
konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.

3. Patofisiologi
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab yaitu infeksi,
vaskuler, zat toksik, obstruksi saluran kemih yang pada akhirnya akan terjadi
kerusakan nefron sehingga menyebabkan penurunan GFR dan menyebabkan
CKD, yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan fungsi
non-eksresi Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia
dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak masalah muncul pada CKD
sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang
menyebabkan penurunan kliresn (substansi darah yang seharusnya dibersihkan
oleh ginjal). Menurunnya filtrasi glomerulus klirens kreatinin akan menurun dan
kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah
(BUN) juga meningkat (Smeltzer & Bare, 2015) Ginjal juga tidak mampu untuk
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal
tahap akhir. Terjadi penahanan cairan dan natrium, sehingga beresiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Penurunan sekresi eritropoetin
sebagai faktor penting dalam stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum
tulang menyebabkan produk hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga
peningkatan oksigen oleh hemoglobin berkurang maka tubuh akan mengalami
keletihan,angina dan napas sesak.. Dengan menurunnya filtrasi melaui glomerulus
ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya, kadar serum
kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi
parathhormon dari kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat
merspons normal terhadap peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium
ditulang menurun, menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang.
Selain itu, metabolit aktif vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal menurun
seiring dengan berkembangnya gagal ginjal (Smeltzer & Bare, 2015).

4. Tanda & Gejala


1) Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat menurun
hingga 25% dari normal.
2) Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami polyuria dan
nokturia, GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar kreatinin serum dan BUN
sedikit meningkat diatas normal.
3) Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah, letargi,
anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma), yang ditandai
dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum kreatinin dan BUN
meningkat tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejala yang komplek.

5. Manifestasi Klinis
Pasien akan menunjukkan beberapa tanda dan gejala ; Keparahan kondisi
bergantung pada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia
pasien.

a. Sistem Kardiovaskuler Hipertensi, retinopati (kerusakan retina mata) dan


ensefalopati hipertensif (suatu sindrom akibat dari peningkatan tekanan arteri
mendadak tinggi yang dapat mempengaruhi fungsi otak), beban sirkulasi
berlebih, edema, gagal jantung kongestif (kegagalan jantung dalam memompa
pasokan darah yang dibutuhkan tubuh), dan distritmia (gangguan irama
jantung).
b. Sistem Dermatologi Pucat, pruritis atau gatal, Kristal uremia, kulit kering, dan
memar.
c. Sistem Neurologi Mudah lelah, otot mengecil dan lemah, sistem saraf tepi :
Penurunan ketajaman mental, konsentrasi buruk, kekacauan mental, koma,
otot berkedut, kejang.
d. Sistem pernafasan Disppnea yaitu kondisi yang terjadi akibat tidak
terpenuhinya pasokan oksigen ke paru – paru yang menyebabkan pernafasan
menjadi cepat, pendek, dan dangkal., edema paru, pneumonitis, kussmaul
(pola pernapasan yang sangat dalam).
e. Sistem Gastroinstestinal Anoreksia, mual, muntah, nafas bau amoniak, mulut
kering, pendarahan saluran cerna, diare, stomatitis atau sariawan, parotitis
atau infeksi virus yang menyebabkan pembengkakan pada kelenjar parotis
pada wajah.
f. Sistem Perkemihan Poliuria (urine dikeluarkan sangat banyak dari normal),
berlanjut menuju oliguria (urine yang dihasilkan sangat sedikit), lalu anuria
(kegagalan ginjal sehingga tidak dapat membuat urine), nokturia (buang air
kecil di sela waktu tidur malam), proteinuria (Protein didalam urine).
g. Hematologik Anemia, hemolysis (kehancuran sel darah merah),
kecenderungan perdarahan, risiko infeksi. h. Biokimia Azotemia (penurunan
GFR, menyebabkan peningkatan BUN dan kreatinin), hyperkalemia, Retensi
Na, Hipermagnesia, Hiperrurisemia. i. Sex Libido hilang, Amenore (ketika
seorang wanita usia subur tidak mengalami haid), Impotensi dan sterilisasi.
h. Metabolisme Hiperglikemia kebutuhan insulin menurun, lemak peningkatan
kadar trigliserad, protein sintesis abnormal. k. Gangguan kalsium
Hiperfosfatemia, hipokalsemia, konjungtivitis / ureamia mata merah
(Suharyanto, 2013).

6. Klasifikasi
Perjalanan gagal ginjal kronik dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:
a) Stadium I
Stadium pertama merupakan sebuah proses penurunan cadangan ginjal.
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal dan pasien
asimptomatik.
b) Stadium II
Tahap ini merupakan insufisiensi ginjal dimana lebih dari 75% jaringan
yang berfungsi telah rusak dan GFR (Glomerulus Filtration Rate) besarnya
hanya 25% dari normal. Kadar BUN mulai meningkat tergantung dari kadar
protein dalam diet. Kadar kreatinin serum juga mulai meningkat disertai
dengan nokturia dan poliuria sebagai akibat dari kegagalan pemekatan urin.
c) Stadium III
Stadium ini merupakan stadium akhir dimana 90 % dari massa nefron
telah hacur atau hanya tinggal 200.000 nefron saja yang masih utuh. GFR
(Glomerulus Filtration Rate) hanya 10 % dari keadaan normal. Kreatinin
serum dan BUN akan meningkat. Klien akan mulai merasakan gejala yang
lebih parah karena ginjal tidak lagi dapat mempertahankan homeostasis cairan
dan elektrolit dalam tubuh. Urin menjadi isoosmotik dengan plasma dan
pasien menjadi oligurik dengan haluaran urin kurang dari 500 cc/hari.

Menurut Suwitra (2006) dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD dapat
ditunjukan dari laju filtrasi glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut :
a. Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat > 90
ml/menit/1,73 m2 .
b. Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 60- 89
ml/menit/1,73 m2 .
c. Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 30-59
ml/menit/1,73 m2 .
d. Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 15- 29
ml/menit/1,73 m2 .
e. Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2 .Penyakit ini
didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan kemampuan ginjal
dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini didasarkan atas dua hal yaitu,
atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas
dasar derajat penyakit dibuat berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG), yang
dihitung dengan menggunakan rumus cockcroft-gault sebagai berikut:

LFG (ml/ mnt / 1,73 m2) = (140+umur) x berat badan (kg)


72 x kreatinin plasma ( mg/dl)

Terdapat 5 stadium penyakit ginjal kronis berdasarkan GFR menurut


Henry Ford Health System (HFHS):
Stadium Estimasi GFR Deskripsi
(mL/m/1,73m3)
1 ≥ 90 GFR normal dengan proteinuria

2 60-89 Penurunan GFR dengan proteinuria


terkait umur
3 30-59 Risiko rendah mengalami gagal
ginjal
4 15-29 Risiko tinggi mengalami gagal ginjal
5 < 15 Gagal ginjal

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gangguan ginjal kronis yaitu:
1) Terapi Nonfarmakologis Beberapa yang bisa dilakukan untuk mencegah
penyakit ini berkembang parah seperti yang Kidney International
Supplements, 2013), antara lain:
a. Pembatasan protein Dapat menunda kerusakan ginjal. Intake protein yang
dilakukan 0.8g/kg/hari untuk pasien dewasa dengan atau tanpa diabetes
serta LFG 1.3 g/kgBB/hari beresiko memperburuk GGK.
b. Pembatasan Glukosa Disarankan pemeriksaan hemoglobin A1c (HbA1c)
7.0% (53mmol/mol) untuk mencegah dan menunda perkembangan
komplikasi mikrovaskuler diabetes pada pasien GGK dengan diabetes.
c. Hentikan merokok.
d. Diet natrium, diusahakan < 2.4 g per hari.
e. Menjaga berat badan. BMI (Body Mass Index) < 102cm untuk pria, dan <
88cm untuk wanita.
f. Olahraga Direkomendasikan melakukan olahraga ringan 30-60 menit
seperti jalan santai, jogging, bersepeda atau berenang selama 4-7 hari tiap
minggu.
g. Pengaturan cairan, cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut
harus diawasi secara seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain
data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah berat
badan harian. Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir
ditambah IWL 500 ml.
2) Terapi non farmakologi lain yang dilakukan pada pasien GGK terutamayang
sudah stage 5 adalah :
a. Hemodialisis Merupakan tindakan untuk membuang sampah metabolisme
yang tak bisa dikeluarkan oleh tubuh, seperti adanya ureum di dalam
darah. Dilakukan jika pasien menderita GGK stadium 5 dan telah
diberikan diuretik namun tidak berefek.
b. Operasi AV Shunt (arterio veno shunting) Merupakan tindakan yang
pertama kali dilakukan kepada pasien sebelum menjalankan hemodialisis
rutin. Operasi ini adalah operasi pembuatan saluran untuk hemodialisis.
3) Terapi Farmakologi Penatalaksanaan gangguan ginjal kronis (menurut NICE
guidelines, 2014) adalah:
 Kontrol tekanan darah
Pada pasien dengan gangguan ginjal kronis, harus mengontrol tekanan
darah sistolik < 140 mmHg (dengan target antara 120-139 mmHg) dan
tekanan darah diastolik < 90 mmHg. Pada pasien dengan gangguan ginjal
kronis dan diabetes dan juga pada pasien dengan ACR (Albumin Creatinin
Ratio) 70 mg/mmol atau lebih, diharuskan untuk menjaga tekanan darah
sistolik < 130 mmHg (dengan target antara 120-129 mmHg) dan tekanan
darah diastolik < 80 mmHg.
 Pemilihan agen antihipertensi
Pemilihan obat antihipertensi golongan ACE Inhibitor atau ARBs
diberikan kepada pasien gangguan ginjal kronis:
a. Diabetes dan nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 3 mg/mmol atau
lebih.
b. Hipertensi dan nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 30 mg/mmol atau
lebih.
c. Nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 70 mg/mmol atau lebih (terlepas
dari hipertensi atau penyakit kardiovaskular).
 Pemilihan statins dan antiplatelet
a. Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit
kardiovaskular. Pada pasien gangguan ginjal kronis, penggunaannya
pun tidak berbeda.
b. Penggunaan statin pada pasien gangguan ginjal kronis merupakan
pencegahan sekunder dari penyakir kardiovaskular, terlepas dari batas
nilai lipidnya.
c. Penggunan antiplatelet pada pasien gangguan ginjal kronis merupakan
pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular. Gangguan ginjal
kronis bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis
rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan
perdarahan minor pada pasien gangguan ginjal kronis yang dieberikan
antiplatelet multipel

8. Pemerikaan Penunjang
a) Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan menilai derajat dari komplikasi
yang terjadi.
b) Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (batu/obstruksi)
Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu penderita
diharapkan tidak puasa.
c) IVP (Intra Vena Pielografi) untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan
tertentu, misalnya : usia lanjut, DM, dan Nefropati Asam Urat.
d) USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, antomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung
kemih serta prostat.
e) Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskuler, parenkim, ekskresi ), serta sisa fungsi ginjal.
f) Pemeriksaan radiologi jantung untuk mencari kardiomegali, efusi perikardial.
g) Pemeriksaan Radiologi tulang untuk mencari osteodistrofi (terutama untuk
falanks jari), kalsifikasi metastasik.
h) Pemeriksaan radilogi paru untuk mencari uremik lung; yang terkhir ini
dianggap sebagai bendungan.
i) Pemeriksaan Pielografi Retrograd bila dicurigai obstruksi yang reversibel.
j) EKG untuk melihat kemungkinan :hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).

Pemeriksaan Laboratorium
1) Urine
a. Volume, biasanya berkurang dari 400ml/24jam atau anuria yaitu tidak
adanya produksi urine.
b. Warna, secara abnormal urine keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat, kecoklatan menunjukkan adanya darah, hb,
mioglobin, dan porfirin.
c. Berat jenis, kurang dari 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat.
d. Osmoalitas, kurang dari 350 mOsm/kg menujukan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1.
e. Klirens kreatinin mengalami penurunan.
f. Natrium, lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
g. Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus.
2) Darah
a. BUN / kreatinin, meningkat kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.
b. Hematokrit menurun sehingga terjadi anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8
gr/dl.
c. Sel darah merah, menurun, defisiensi eritopoeitin.
d. Analisin gas darah, basanya asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2.
e. Natrium serum menurun, kalium meningkat, magnesium meningkat,
kalsium menurun.

9. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat muncul dari CKD menurut National Kidney
Disease Education Program (NKDEP) sebagai berikut (NKDEP, 2015):
- Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diit berlebih.
- Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
- Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
reninangiotensin-aldosteron.
- Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah. yaitu konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl untuk laki-laki dan untuk
wanita < 12,0 gr/dl. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis
Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) 26 mendefinisikan anemia pada pasien
gangguan ginjal kronis jika hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematokrit < 12,0 gr/dl
(hematokrit)
- Malnutrisi Malnutrisi sering terjadi pada CKD; sebagai dampak eGFR
menurun, jadi mungkin nafsu makan.Malnutrisi pada pasien CKD dikaitkan
dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
- Asidosis metabolik Pasien dengan CKD berisiko menderita asidosis metabolik
akibat berkurangnya ekskresi dari beban asam.
- Hiperkalemia Pasien dengan CKD berisiko mengalami hiperkalemia akibat
berkurangnya ekskresi kalium, asupan makanan dengan potasium tinggi,
asidosis metabolik, dan obat-obatan yang menghambat ekskresi kalium,
seperti antagonis RAAS untuk pengendalian tekanan darah.
- Gangguan mineral dan mineral tulang CKD Mineral and Bone Mineral
Disorder (CKD-MBD) atau Gangguan mineral dan mineral tulang adalah
penyakit tulang ginjal 15 yang terjadi saat ginjal gagal menjaga kadar serum
kalsium dan fosfor.
- Hormon paratiroid Hiperparatiroidisme sekunder (peningkatan PTH) dikaitkan
dengan penyebab penyakit tulang yang paling umum di CKD. f. Anemia
Anemia dapat terjadi lebih awal selama CKD karena sintesis eritropoietin
yang tidak adekuat oleh ginjal.

Meskipun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang


cukup pesat, namun masih banyak pasien yang mengalami masalah medis saat
menjalani hemodialisis (Kandarini, 2013). Komplikasi hemodialisis dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis (Daugirdas
et al., 2015):
a) Komplikasi akut
Komplikasi akut merupakan komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi yaitu: hipotensi, hipertensi, reaksi
alergi, aritmia, emboli udara, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daugirdas et al., 2015;
Beiber & Himmerfarb, 2013).
b) Komplikasi kronis
Komplikasi kronis adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
hemodialisis kronis. Komplikasi yang sering terjadi adalah: penyakit jantung,
malnutrisi, hipertensi, anemia, renal osteodystrophy, neuropathy, disfungsi
reproduksi, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, acquired cystic kidney
disease (Beiber & Himmerfarb, 2013).

B. Hemodialisis
1. Definisi Hemodialisis

Hemodialisis merupakan proses filtrasi atau penyaringan yaitu


memisahkan zat yang penting dalam darah akan tetap berada dalam darah
(seperti sel darah, dan protein) dengan zat atau produk sampah yang akan
dikeluarkan (seperti urea, kreatinin, kalium, dan cairan yang berlebih)
menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis (Yasmara, 2016).

2. Indikasi dan Kontra Indikasi Hemodialisis


Indikasi dilakukannya hemodialisis  yaitu dengan melihat laju filtrasi
glomerulus ( glomerulus filtration rate, GFR) dalam rentang 5 sampai 8
2
ml/menit/1,73m , asupan protein menurun spontan <0,7 g/kg/hari,
anoreksia atau hilangnya nafsu makan, mual muntah, serta astenia atau
kelelahan (Yasmara, 2016).

Kontra indikasi hemodialisis  yaitu pada pasien yang mengalami


perdarahan yang sangat serius juga mengalami anemia, mengalami
hipotensi berat/syok, mengalami perdarahan serebral akibat hipertensi dan
anti koagulan, mengalami hemetoma serebral, mengalami penyakit
jantung serius atau insufisiensi miokard, aritmia serius, hipertensi berat, dan
penyakit pembuluh darah otak, serta tahap akhir uremia dengan komplikasi
irreversibel serius (Yasmara, 2016).

3. Prinsip Hemodialisis
Prinsip yang dilakukan perawat pada pasien yang menjalani hemodialisis yaitu :
1) Melakukan pemeriksaan neurovaskular dibawah tempat pemasangan alat.
Nilai ada atau tidaknya “5P” yaitu pain (nyeri), pallor (pucat), pulselessness
(denyut nadi lemah), parastesia (sensasi kesemutan), paralisis (kehilangan
pergerakan) atau poikilotermi (dingin).
2) Auskultasi (pada akses vaskular yang terpasang)  bunyi “bruit” 
(sensasi getaran) jika lemah atau tidak ada dapat diartikan hilangnya
aliran darah dan memungkinkan adanya bekuan darah dalam akses
vaskular. 
3) Pastikan akses vaskular  tidak digunakan untuk pengambilan sampel
darah, akses ini dibuatkan khusus untuk akses hemodialisis.
4) Letakkan tanda diatas tempat tidur untuk melindungi lengan tempat akses
vaskular, hindarkan melakukan pengecekan tekanan darah karena akan
memicu kontriksi pembuluh darah yang dapat menyebabkan pembekuan
didalam AV fistula.
5) Minimalkan resiko infeksi selama hemodialisis dengan menggunakan
teknik aseptik dan membiarkan larutan aseptik mengering, kemudian
menusuk akses vaskuler untuk dihubungkan ke mesin dialisis.
6) Setelah selesai hemodialisis, balutkan penekanan di area penusukan pada
akses selama 10 hingga 20 menit. Balutan yang dilakukan terlalu
kencang dan dalam jangka waktu yang lama dapat membahayakan
adekuasi AV fistula (Hurst, 2015).
4.  Terapi Nutrisi Pasien Yang Menjalani Hemodialisis

Beberapa terapi nutrisi yang diberikan untuk pasien gagal ginjal terminal
khususnya yang menjalani hemodialisis yaitu :

1. Turunkan asupan natrium (2 g/hari) karena perolehan cairan yang lebih


cepat “normal” bagi pasien gagal ginjal. 
2. Batasi asupan kalium (tomat, kentang) karena kalium tidak di
ekskresikan dan dalam terkumpul dalam darah.
3. Batasi makanan yang mengandung fosfor (susu, keju, kola, setiap
makanan tinggi protein), karena ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mengatur kadar fosfor.
4. Batasi protein (daging, putih telur) yang akan mengurangi produk sisa
nitrogen berupa urea dan kreatinin.
5. Asupan kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak untuk mencegah
atropi otot.
6. Diet cairan 500 hingga 600 ml cairan atau lebih dari jumlah output
urine 24 jam pada hari sebelumnya.
7. Pilihan untuk penderita yang menjalani dialisis yang mengalami
malnutrisi adalah nutrisi  parenteral intradialitik  ( Intradialytic
parenteral nutrition, IDPN). IDPN sebuah metode pemberian nutrisi
yang tidak bergantung pada kepatuhan pasien, selang makan, atau akses
vaskular, karena bantuan nutrisi dicapai selama dialisis dengan
ultrafiltrasi untuk penatalaksanaan cairan (Hurst, 2015; Smeltzer, 2013).

5. Komplikasi Hemodialisis

Komplikasi yang paling sering dialami penderita gagal ginjal terminal


saat perawatan dan menjalani hemodialisis yaitu hipotensi (20- 30%), kram
otot (20%), mual muntah (5-15%), sakit kepala (5%), serta febris sampai
mengigil (1%) (Yasmara, 2016).

a. Hipotensi intra dialisis; merupakan komplikasi yang paling umum


dirasakan pasien yang menjalani hemodialisis. Hipotensi disebabkan
oleh 2 mekanisme yaitu, pertama karena kegagalan menjaga volume
plasma pada tingkat optimal yang berkaitan dengan berat badan
penderita yang berlebih yang membutuhkan osmolaritas serum rendah
dan ultrafiltrasi velume besar dan yang kedua kelainan kardiovaskular
berkaitan dengan disfungsi otonom pergeseran aliran darah ke daerah
gastroentestinal, penurunan senyawa vasokontriksi dan peningkatan
senyawa vasodilatasi.

b. Sakit kepala; sakit kepala sering ditemui pada pasien yang menjalani
hemodialisis,  faktor predisposisinya yaitu hipertensi, hipotensi,
hiponatremi, penurunan osmolaritas serum, tingkat rendah renin
plasma, serta sebelum dan sesudah dialisis nilai BUN dan rendahnya
tingkat magnesium.

c. Kram otot; kram otot umumnya dirasakan pada ekstremitas bawah, namun
dapat juga pada perut, lengan, dan tangan. Kram berasal dari neuron
dari otot itu sendiri, metabolisme otot dibawah normal dianggap
sebagai faktor paling penting dalam terjadinya kram otot, oleh
sebab itu hipotensi, perubahan osmolaritas plasma, hiponatremia,
hipomagnesiumia, dan hipoksia diduga yang menjadi penyebab kram
otot.

d. Anemia; tidak mempunyai jumlah sel darah merah yang cukup merupakan
komplikasi dari gagal ginjal dan hemodialisis. Gagal ginjal
mempengaruhi atau mengurangi produksi hormon eritopoetin yang
berfungsi merangsang pembentukan sel darah merah. Pembatasan diet
zat besi yang salah / buruk, tes darah secara sering, serta kehilangan
zat besi dan vitamin akibat hemodialisis  juga berkaitan dengan
anemia.

e. Pruritus; pruritus sering dialami oleh penderita gagal ginjal yang menjalani
hemodialisa yang disebabkan karena kulit kering ( xerosis), deposit
kristal kalsium fosfor (hiperparatiroidisme), alergi terhadap obat-obatan
(misal heparin), serta pelepasan histamin dari sel induk.

f. Amlioidosis (penumpukan protein); amlioidosis terjadi ketika protein


dalam darah disimpan pada sendi dan tendon sehingga menimbulkan
respon nyeri, kekakuan, dan penumpukan cairan pada sendi (Yasmara,
2016).
6. Peralatan hemodialisis

1) Dialyzer

Pada proses hemodialisa, peralatan yang memiliki peran


paling penting adalah ginjal buatan atau membran dialyzer .
Membran ini berperan menggantikan fungsi ginjal yang tidak bisa
bekerja lagi dari seorang pasien. Membran dialyzer ini harus dirancang
sedemikian rupa sehingga menyerupai basal membran
glomerulus. Membran dialyzer dapat dibuat dari beberapa bahan seperti
selulosa, selulosa tersubtitusi, selulo sintetik dan polimer buatan.
Bahan-bahan ini ada yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik. Membran
yang bersifat hidrofobik terbukti dapat mengabsorbsi protein lebih
porotis dan mempunyai koefisien ultrafiltrasi paling tinggi. Implikasi
klinis yang terjadi adalah eliminasi toksin lebih efektif dan beresiko
kehilangan protein (hipoproteinemia).

 
Gambar Dializer  

Membran semi permeabel adalah suatu selaput atau lapisan yang


sangat tipis dan mempunyai lubang (pori) sub mikroskopis. Dimana
partikel dengan BM kecil & sedang ( small dan middle moleculler )
dapat melewati pori membran, sedangkan partikel dengan BM besar
(large moleculler ) tidak dapat melalui pori membran
tersebut.  Dialyzer merupakan suatu tabung yang terdiri dari 2 ruangan
(2 kompartemen) yang dipisahkan oleh selaput semi permeabel.

Berikut ini adalah beberapa sifat dari membran dialyzer yang harus


diperhatikan, karena akan menentukan proses-proses yang terjadi
berjalan dengan semestinya :

1. Luas permukaan dialyzer 


2. Ukuran besar pori atau permeabilitas ketipisannya.
3. Koefisien ultrafiltrasi

4. Volume dialyzer 

5. Kebocoran darah tidak boleh terjadi

6. Dapat di re-use tanpa merubah


kemampuan klirens dan ultrafiltrasinya
7. Harga

Pada mulanya HD dilakukan dengan menggunakan


membran yang mempunyai klirens dan ultrafiltrasi yang
rendah yang memerlukan waktu sampai 6 jam untuk
mendialisis pasien. Kemajuan biomaterial
dialyzer memungkinkan dialysis lebih pendek lagi (4 jam)
dalam 3 kali seminggu.

Adapun pemilihan membrane dialyzer dapat berdasarkan


pertimbangan teoritis (biokompatibilitas dan fluks),
berdasarkan pertimbangan klinis(gejala intradialisis, morbiditas
dan mortalitas). Secara praktis pemilihan membran
dialyzer berdasarkan Bahan membran sintesis dan tidak sintesis,
KoA dialyzer, Koeffisient
Ultrafiltrasi,  Dialyzer standard, Dialyzer high efficiency
atau high flux, Model Sterilisasi, Desain plat paralel atau
hollow-fiber (capillary). 

2) Dialisat atau Cairan dialysis


Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan
elektrolit utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system
bersih dengan air keran dan bahan kimia disaring. Bukan merupakan
system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati
membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal.
Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi
pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk
dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya
disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan
pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi
kebutuhan pasien tertentu.

Gambar Dialisat

Gambar Dialisat 

Dialisat adalah cairan yang digunakan pada saat proses


HD berlangsung, terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai
konsentrasi yang sama dengan serum normal dan mempunyai tekanan
osmotik yang sama dengan darah.

Sistem Pemberian Dialisat yaitu pemberian tunggal untuk satu pasien:


system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien.
Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat
pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-
air.

7. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisis


1) Perawatan sebelum hemodialisa

a. Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa

b. Kran air dibuka

c. Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah


masuk kelubang atau saluran pembuangan
d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
e. Hidupkan mesin
f. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
g. Matikan mesin hemodialisis
h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
i. Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada
mesin hemodialisis
j. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)
2) Menyiapkan sirkulasi darah

a. Bukalah alat-alat dialysis dari set nya

b. Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset”


(tanda merah) diatas dan posisi “outset” (tanda biru) di
bawah. 

c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung


“inset”dari dializer.

d. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out


set” dari dializer dan tempatkan buble tap di holder dengan
posisi tengah.

e. Set infus ke botol NaCl 0,9% - 500 cc

f. Hubungkan set infus ke slang arteri

g. Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung


slang lalu diklem.

h. Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” di bawah


dan “out set” di atas, tujuannya agar dializer bebas dari
udara. 
i. Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin

j. Buka klem dari infus set ABL, VBL

k. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100


ml/menit, kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200
ml/menit.
l. Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan
m. Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan
udara dari dalam dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas
udara (tekanan lebih dari 200 mmHg).
n. Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9%
sebanyak 500 cc yang terdapat pada botol (kalf) sisanya
ditampung pada gelas ukur.
o. Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru

p. Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan


menggunakan konektor.

q. Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-


20 menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.
r. Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet”
di atas dan “outlet” di bawah. 
s. Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama
5-10 menit, siap untuk dihubungkan dengan pasien.
3) Persiapan pasien
a. Menimbang berat badan

b. Mengatur posisi pasien

c. Observasi keadaan umum

d. Observasi tanda-tanda vital

e. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan


sirkulasi, biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses
seperti di bawah ini:
1. Dengan interval A-V shunt / fistula simino
2. Dengan external A-V shunt / schungula

3. Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)

C. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian

Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu


pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut:

1. Demografi.

Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga


yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan
lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian
CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu
lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum /
mengandungbanyak senyawa/ zat logam dan pola makan yang tidak
sehat.

2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,


glomerulonefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi
saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu
kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pola nutrisi dan metabolik.

Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam


kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah,
asupan nutrisi dan air naik atau turun.

4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara
tekanan darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik

a. Penampilan / keadaan umum.

Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri.


Kesadaranpasien dari compos mentis sampai coma.

b. Tanda-tanda vital.

Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea,


nadimeningkat dan reguler.

c. Antropometri.

Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir


karenakekurangannutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan
karena kelebihan cairan.

d. Kepala.

Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat


kotorantelinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung,
mulut bau ureum,bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut
pucat dan lidah kotor.

e. Leher dan tenggorok.


Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar.
Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris,
terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat
pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.

g. Abdomen.

Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut


buncit.

h. Genital
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.

i. Ekstremitas.

Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan


tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1 detik.

j. Kulit.

Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat/uremia, dan terjadi perikarditis.

2) Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi
3. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal kronis
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan berkurangnya
suplai oksigen ke jaringan
5. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual dan muntah/anoreksia
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen
7. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status
cairan
8. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
koagulopati (uremia)
9. Risiko cidera berhubungan dengan profil darah yang abnormal (uremia)
10. Risiko ketidakefektifan perusi jaringan ginjal berhubungan dengan hipoksia
3) Rencana Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Resiko perfusi renal Setelah dilakukan tindakan Observasi
tidak efektif b.d keperawatan selama 3x24  Monitor status hidrasi
disfungsi ginjal jam diharapkan perfusi (mis. frekuensi nadi,
(D.0016 Hal. 49) renal meningkat dengan kekuatan nadi, akral,
kriteria hasil : pengisian kapiler,
 Jumlah urine meningkat kelembapan mukosa,
 Mual menurun turgor kulit, tekanan
 Tekanan arteri rata rata darah)
membaik  Monitor berat badan
 Kadar urea nitrogen sebelum dan sesudah
darah membaik dialisis

 Kadar kreatinin plasma  Monitor hasil


membaik pemeriksaan

 Kadar elektrolit laboratorium (mis.

membaik Hematokrit, Na, K, Cl,


berat jenis urine, BUN)
 Monitor status
hemodinamik (mis.
MAP, CVP, PAP,
PCWP jika tersedia)
Terapeutik
 Catat intake dan output
dan hitung balance
cairan 24 jam
 Berikan asupan cairan,
sesuai kebutuhan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu
Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan Observasi
kulit b.d keperawatan selama 3x24  Identifikasi penyebab
kelembapan ditandai jam diharapkan integritas gangguan integritas
dengan : pruritus, kulit meningkat dengan kulit (mis. perubahan
kulit kering dan kriteria hasil : sirkulasi, perubahan
bersisik, pigmentasi 1. Elastisitas meningkat status nutrisi,
abnormal, terdapat 2. Hidrasi meningkat penurunan
luka di kulit (D.0129 3. Kerusakan jaringan kelembapan, suhu
Hal. 282) menurun lingkungan ekstrem,
4. Kerusakan lapisan kulit penurunan mobiltas)
menurun Terapeutik
5. Pigmentasi abnormal  Ubah posisi tiap 2 jam
menurun jika tirah baring
6. Nekrosis menurun  Gunakan produk
7. Suhu kulit membaik berbahan petrolium
8. Tekstur membaik atau minyak pada kulit
kering
 Gunakan produk
berbahan ringan/alami
 dan hipoalergik pada
kulit sensitif
Edukasi
 Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis. lotion,
serum)
 Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
 Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan Monitor pernafasan
pola nafas keperawatan, diharapakan  Monitor pola nafas
berhubungan pola nafas pasien kembali (bradipneu,
dengan efektif dengan status takiepneu,
hiperventilasi pernafasan pasien kembali hiperventilasi,
normal. kusmaul)
Kriteria Hasil :  Palpasi
5. Tidak ada Aritmia kesimetrisan
6. Tidak ada peningkatan ekspansi paru
frekuensi pernafasan  Berikan terapi
7. Tidak ada penurunan nafas jika
kesadaran  diperlukan.
8. Tidak ada nyeri kepala  Posisikan pasien
untuk
 memaksimalkan
ventilasi
 Ausklultasi suara
nafas
 Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi
 Berikan oksigen
sesuai
 kebutuhan
 Monitor aliran
oksigen
 Amati tanda-tanda
hipoventilasi
Kelebihan volume Setelah dilakukan tindakan Manajemen
cairan keperawatan diharapkan Elektrolit/cairan
berhubungan terjadi keseimbangan  Pantau kadar
dengan gangguan cairan dan elektrolit dalam serum elektrolit
mekanisme tubuh.  Timbang berat
regulasi Kriteria Hasil: badan harian
 Tekanan darah  Batasi cairan yang
dalam batas normal
 Keseimbangan sesuai
intake dan output  Berikan resep diet
 Kestabilan yang tepat untuk
beratbadan cairan tertentu
 Tidak ada Edema  Berikan antipiretik
perifer yang sesuai
 Elektrolit Manajemen cairan
serumdalam  Monitor perubahan
Batas normal berat badan pasien
sebelum dan
sesudah dialisis.
 Pasang kateter urin
 Monitor hasil
laboratorium yang
relevan dengan
retensi cairan
(BUN, Hematokrit
dan osmolalitas
urin)
 Monitor tanda-
tanda vital pasien.
 Monitor indikasi
kelebihan cairan
(CVP, Edema,
distensi vena leher,
dan asites).
 Kaji lokasi dan
luasnya edema,
jika ada.
 Berikan terapi IV
seperti yang
ditentukan
 Monitor status gizi
 Berikan diuretic
yang diresepkan

DAFTAR PUSTAKA

Beiber, S.D. dan Himmerfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schriers’s Disease of the kidney.
9th ed. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C., Schrier, R.W. editors.
Lipincott Williams & Wittkins. Philadelphia p 2473- 505.
Chronic Kidney Disease (CKD) Management in General Practice: Guidance and clinical tips
to help identify, manage and refer patients with CKD in your practice. Australia:
Department of Kidney Health Australia.
Daugirdas JT, Depner TA, Inrig J, Mehrotro R, Rocco MV, Suri RS, et al. 2015. KDOQI
Clinical Practice Guideline For Hemodialysis Adequacy: Update. Am J Kidney Dis.
66(5):884–930
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2016.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Seventh Edition, TheMcGraw-Hill
Companies, Inc., USA.p 363
Kandarini, Y. 2013. Volume ultrafiltrasi berlebih saat hemodialisis berperan terhadap
kejadian hipertensi intradialitik melalui penurunan kadar nitric oxide endothelin-1 dan
asymmetric dimethylarginin tidak berperan. Bali: UNUD
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). 2016. Clinical PracticeGuideline
Update on Diagnosis, Evaluation, Prevention and Treatment of CKD-MBD. United
States: Department of Kidney Disease Improving Global Outcome. Kidney Health
Australia. 2015.
Kidney Health Australia. 2015. Fact Sheet All About Chronic Kidney Disease (CKD).
Australia: Department of Kidney Health Australia
Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Smeltzer & Bare. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
edisi.8. Vol 2. Jakarta: EGC
Smeltzer. 2013. Keperawatan Medical-Bedah Brunner & Suddarth Edisi 12. Jakarta: EGC
Susatyo, Bambang. 2016. Gambaran Kepatuhan Diet Pasien Gagagl Ginjal Kronik Yang
Menjalani Hemodialisa Rawat Jalan di RSUD Kayen Kabupaten Pati Tahun 2015.
Jurnal kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 4 Nomor 3. April 2016
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta :
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Yasmara D. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai