Anda di halaman 1dari 23

Laporan Pendahuluan

Chronic Kidney Disease (CKD)

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas


Stase Keperawatan Medikal Bedah

Di Susun Oleh:

RESTY ENJELIA IBRAHIM


NIM. 14420232138

PRESEPTOR LAHAN PRESEPTOR INSTITUSI

(…………………………….) (……………………………………)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2024
Chronic Kidney Disease (CKD)
A. Konsep Medis
1. Definisi
Penyakit ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
kemampuan mempertahankan irreversibel tubuh gagal metabolisme dimana untuk
dan keseimbangan cairan dan elektrolit.1 Gagal ginjal kronik dapat berlanjut menjadi
gagal ginjal terminal atau end stage renal disease dimana ginjal sudah tidak mampu
lagi untuk mempertahankan substansi tubuh, sehingga membutuhkan penanganan
lebih lanjut berupa tindakan dialisis atau pencangkokan ginjal pengganti ginjal
(Siagian & Damayanty, 2019).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan
gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada
peningkatan ureum. Pasien gagal ginjal kronis mempunyai karakteristik bersifat
menetap, tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan berupa, transplantasi
ginjal, dialysis peritoneal, hemodialysis dan rawat jalan dalam waktu yang lama
(Narsa, Maulidya, Reggina, Andriani, & Rijai, 2022).

2. Derajat Penyakit Ginjal Kronik


Penyakit ginjal kronis dibedakan berdasarkan jumlah nefron yang masih berfungsi
dalam melakukan filtrasi glomerulus. Nilai laju filtrasi glomerulus yang rendah
menunjukkan stadium yang lebih tinggi terjadinya kerusakan ginjal. Penyakit ginjal
kronik dibagi kedalam 5 derajat yaitu:
a. Derajat 1 suatu keadaan dimana terjadi kerusakan struktur ginjal tetapi ginjal
masih memiliki fungsi secara normal (GFR>90 ml/min).
b. Derajat 2 suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal dengan diikuti penurunan
fungsi ginjal yang ringan (GFR 60-89 ml/min).
c. Derajat 3 suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal dan diikuti dengan penurunan
fungsi ginjal yang sedang (GFR 30-59 ml/min).
d. Derajat 4 suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal diikuti dengan penurunan
fungsi ginjal yang berat (GFR 15-29 ml/min).
e. Derajat 5 suatu kondisi ginjal yang disebut penyakit ginjal kronis (GFR <15
ml/min) (Siregar, 2020).
3. Etiologi
Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh :
a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi saluran kemih), glomerulonefritis
(penyakit peradangan). Pielonefritis adalah proses infeksi peradangan yang
biasanya mulai di renal pelvis, saluran ginjal yang menghubungkan ke saluran
kencing (ureter) dan parencyma ginjal atau jaringan ginjal. Glomerulonefritis
disebabkan oleh salah satu dari banyak penyakit yang merusak baik glomerulus
maupun tubulus. Pada tahap penyakit berikutnya keseluruhan kemampuan
penyaringan ginjal sangat berkurang.
b. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis. Disebabkan karena terjadinya kerusakan
vaskulararisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah akut dan kronik.
c. Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif. Disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi
yang ada dalam membrane basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan.
Penyakit peradangan kronik dimana sistem imun dalam tubu menyerang jaringan
sehat, sehingga menimbulkan gejala diberbagai organ.
d. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal. Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral,
dan berekspansi yang lambat laun akan mengganggu dalam menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan, semakin lama ginjal tidak mampu
mempertahankan fungsi ginjal sehingga ginjal akan menjadi rusak.
e. Penyakit metabolik misalnya DM (Diabetes Mellitus), gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis. Penyebab terjadinya ini dimana kondisi genetik yang ditandai dengan
adanya kelainan dalam proses metabolisme dalam tubuhakibat defisiensi hormon
dan enzim. Proses metabolisme ialah proses memecahkan karbohidrat protein, dan
lemak dalam makanan untuk menghasilkan energi.
f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal. Penyebab
penyakit yang dapat dicagah bersifat refersibel, sehingga penggunaan berbagai
prosedur diagnostik.
g. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah yaitu hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
h. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis. Merupakan penyebab
gagal ginjal dimana benda padat yang dibentuk oleh presipitasi berbagai zat
terlarut dalam urin pada saluran kemih (Adrining, 2019).

4. Patofisiologi
Proses terjadinya CKD menggunakan dua sistem pendekatan. Pertama sudut
pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron terserang penyakit namun
dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari nefron tersebut
yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat benar-benar rusak atau berubah
strukturnya. Kedua dikenal dengan nama Hiptesa Briker atau hipotesa nefron utuh,
yang mengatakan bahwa bila nefron terserang penyakit, maka seluruh intinya akan
hancur, tetapi sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja seperti biasa. Uremia akan
muncul bila bagian nefron yang rusak semakin banyak sehingga keseimbangan cairan
dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Nefron yang masih normal atau utuh
akan melakukan adaptasi fungsional pada kondisi ini untuk mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh meskipun terjadi penurunan LFG (laju
filtrasi glomerulus). Patofisiologi CKD ini dapat diuraikan dari segi hipotesa nefrosis,
meskipun penyakitnya terus berlanjut, namun jumlah cairan yang harus diekskresi
oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidak berubah, walaupun jumlah
nefron yang masih berfungsi sudah menurun banyak.
Terjadi hiperifiltrasi pada nefron yang tersisa setelah mengalami kehilangan
nefron yang rusak. Meningkatnya tekanan glomerulus menyebabkan terjadinya
hiperinfiltrasi. Hiperinfiltrasi glomerulus ini menyebabkan glomerulus beradaptasi
dengan cara mempertahankan LFG, namun pada akhirnya akan menyebabkan cedera
pada glomerulus. Permeabilitas glomerulus yang abnormal merupakan hal yang
umum terjadi pada gangguan glomerulus yang menyebabkan terjadinya proteinuria.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa proteinuria inilah yang menjadi faktor yang
mendorong terjadinya penyakit tubulus interstisial. Meluasnya kerusakan primer dari
tubulus interstisial merupakan faktor risiko primer terjadinya gagal ginjal dengan
segala bentuk penyakit glomerulus (Debieanti, 2022).
5. Manifestasi klinis
Penyakit ginjal kronis tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda terjadinya
penurunan fungsi secara spesifik, tetapi gejala yang muncul mulai terjadi pada saat
fungsi nefron mulai menurun secara berkelanjutan. Penyakit ginjal kronis dapat
mengakibatkan terganggunya fungsi organ tubuh lainnya. Penurunan fungsi ginjal
yang tidak dilakukan penatalaksanaan secara baik dapat berakibat buruk dan
menyebabkan kematian. Tanda gejala umum yang sering muncul dapat meliputi:
a. Darah ditemukan dalam urin, sehingga urin berwarna gelap seperti teh (hematuria)
i. Urin seperti berbusa (albuminuria)
j. Urin keruh (infeksi saluran kemih)
k. Nyeri yang dirasakan saat buang air kecil. Merasa sulit saat berkemih (tidak lancar)
l. Ditemukan pasir/batu di dalam urin
m. Terjadi penambahan atau pengurangan produksi urin secara signifikan
n. Nokturia (sering buang air pada malam hari)
o. Terasa nyeri di bagian pinggang/perut
p. Pergelangan kaki, kelopak mata dan wajah oedem (bengkak)
q. Terjadi peningkatan tekanan darah
Penurunan kemampuan ginjal melakukan fungsi yang terus berlanjut ke stadium
akhir (GFR<25%) dapat menimbulkan gejala uremia yaitu:
a. Buang air kecil di malam hari dan terjadi jumlah urin yang menurun
b. Nafsu makan berkurang, merasa mual dan muntah
c. Tubuh terasa lelah
d. Wajah terlihat pucat (anemia)
e. Gatal-gatal pada kulit
f. Kenaikan tekanan darah.
g. Terasa sesak saat bernapas
h. Edema pergelangan kaki atau kelopak mata

Gejala yang terjadi pada pasien sesuai dengan tingkat kerusakan ginjal, keadaan
ini dapat mengganggu fungsi organ tubuh lainnya yaitu:
a. Gangguan Jantung: Terjadi peningkatan tekanan darah, kardiomyopati, uremik
perikarditis, gagal jantung, edema paru dan perikarditis.
b. Gangguan Kulit: Kulit terlihat pucat, mudah lecet, rapuh, kering dan bersisik,
timbul bintik-bintik hitam dan gatal akibat ureum atau kalsium yang tertimbun
dikulit. Kulit berwarna putih seperti berlilin terjadi akibat pigmen kulit dipenuhi
urea dan anemia. Terjadi perubahan warna rambut dan menjadi lebih rapuh.
Penimbunan urea di kulit dapat mengakibatkan terjadinya pruritus.
c. Gangguan Pencernaan: Ureum yang tertimbun di saluran pencernaan
mengakibatkan terjadinya inflamasi dan ulserasi di mukosa saluran pencernaan
sehingga terjadinya stomatitis, perdarahan gusi, parotitis, esophagitis, gastritis,
ulseratif duodenal, lesi pada usus, pankreatitis. Reaksi sekunder yang timbul dapat
berupa mual, muntah, penurunan nafsu makan, cegukan, rasa haus dan penurunan
aliran saliva mengakibatkan mulut menjadi kering.
d. Gangguan muskuloskeletal: Penimbunan ureum di otot dan saraf mengakibatkan
penderita sering mengeluh tungkai bawah sakit dan selalu menggerakgerakkan kaki
(restless leg syndrome) kadang terasa panas pada kaki, gangguan saraf dapat pula
berupa kelemahan, demineralisasi tulang, fraktur patologis dan klasifikasi.
e. Gangguan Hematologi: Gangguan hematologi pada pasien diakibatkan penurunan
eritropoetin dalam membentuk sel darah. merah dan gangguan penurunan masa
hidup sel darah merah. Tindakan hemodialisa juga mengakibatkan anemia karena
perdarahan yang terjadi akibat terganggunya fungsi trombosit dan perdarahan
ditandai dengan munculnya purpura, petechiae dan ekimosis. Pasien penurunan
fungsi ginjal juga dapat terinfeksi akibat penurunan daya imun tubuh, akibat
berkurangnya kemampuan. leukosit dan limposit dalam mempertahankan
pertahanan seluler.
f. Gangguan Neurologi: Kadar ureum yang tinggi dapat menembus sawar otak
sehingga mengakibatkan mental yang kacau, gangguan konsentrasi, kedutan otot,
kejang dan dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran, gangguan tidur,
gangguan konsentrasi, tremor.
g. Gangguan Endokrin: bisa mengakibatkan terjadinya gangguan infertilitas,
penurunan libido, gangguan amenorrhea dan siklus haid pada wanita, impoten,
penurunan pengeluaran sperma, peningkatan pengeluaran aldosterone dan
mengakibatkan rusaknya metabolime karbohidrat.
h. Gangguan Respiratori: dapat mengakibatkan terjadinya udem paru, nyeri pleura,
sesak nafas, friction rub, krakles, sputum kental, peradangan lapisan pleura.

Gejala-gejala lain yang dapat muncul akibat penurunan daya kerja ginjal yaitu:
a. Penimbunan sisa metabolisme di tubuh
Kondisi ini ditandai dengan pasien mudah lelah, seluruh anggota tubuh terasa
sakit, kulit gatal-gatal, terjadi kram otot, pasien mengeluh mudah lupa, sulit untuk
memulai tidur, merasa mual bila mencium makanan, nafsu makan berkurang,
kemampuan tubuh. untuk terhindar dari penyakit menurun.
b. Masalah Keseimbangan Cairan. Pasien dengan penurunan fungsi ginjal dapat
terjadi kelebihan dan kekurangan cairan. Kelebihan cairan dapat mengakibatkan
pembengkakan pada mata, wajah dan pergelangan kaki. Kekurangan cairan dapat
terjadi akibat pemasukan yang sangat kurang ditandai dengan mata yang cekung,
mukosa mulut kering, bahkan hampir tidak ada lendir di dalam mulut.
c. Gangguan Hormon
Berkurangnya kemampuan ginjal memproduksi hormon menyebabkan ginjal
menghasilkan lebih banyak hormon atau ekstra hormon. Penyakit ginjal kronik
sering terjadi tanpa menimbulkan keluhan dan pasien tidak mengetahui serta
merasakannya.
d. Keletihan dan letargi, nyeri kepala, kelemahan, mudah mengantuk, pernafasan
kussmaul dan dapat mengakibatkan terjadi koma (Siregar, 2020).
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat membantu menegakkan diagnosis CKD dan
memberikan petujuk kearah penyebab CKD diantara lain:
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan analisis urin awal dengan menggunakan tes dipstick dapat
mendeteksi dengan cepat adanya proteinuri, hematuri, dan piuri.Pemeriksaan
mikroskopis urin dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi untuk mencari
adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kast. Sebagian besar anak dengan
CKD memiliki banyak hyalin cast. Granular cast yang berwarna keruh
kecoklatan menunjukkan nekrosis tubular akut, sedangkan red cell cast
menunjukkan adanya suatu glomerulonefritis.
2) Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
3) Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan karena
aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan modalitas
terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun USG kurang
sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan
untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid, juga sering digunakan untuk
menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
4) CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi pada
pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk
mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada pasien
dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjal akut.
5) MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi
tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi adanya
trombosis vena renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk
mendiagnosis stenosis arteri renalis, meskipun arteriografi renal tetap merupakan
diagnosis standar.
6) Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan
radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic acid (DMSA).
Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous pyelography (IVP) untuk
mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis standar untuk mendeteksi
nefropati refluks.
7) Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
8) Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk
mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini
diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal
meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya hidronefrosis.
9) Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid
sekunder yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia tulang
(Rachmadi, 2020).
7. Penatalaksanaan
Pengobatan pasien CKD dapat dilakukan dengan tindakan konservatif dan dialisis
atau transplatansi ginjal, antara lain:
a. Tindakan konservatif
Tindakan konservatif merupakan tindakan yang bertujuan untuk meredakan atau
memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif.
1) Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan. Intervensi diet perlu pada
gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat terhadap
masukan protein, masukan cairan untuk mengganti cairan yang hilang,
masukan natrium untuk mengganti natrium yang hilang dan pembatasan
kalium.
 Pembatasan protein Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar
BUN, tetapi juga mengurangi asupan kalium dan fosfat, serta mengurangi
produksi ion hydrogen yang berasal dari protein. Protein yang
diperbolehkan harus mengandung nilai biologis yang tinggi (produk susu,
keju, telur, daging).
 Diet rendah kalium Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal
ginjal lanjut. Asupan kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80
mEq/hari. Penggunanaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar
kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.
 Diet rendah natrium Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari
(1-2 g Na). Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan
retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung
kongestif.
 Pengaturan cairan Cairan yang diminimum penderita gagal ginjal tahap
lanjut harus di awasi dengan seksama. Parameter yang terdapat untuk
diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat
adalah pengukuran Berat badan harian.
2) Pencegahan dan pengobatan komplikasi
 Hipertensi Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan
cairan. Pemberian obat antihipertensi seperti metildopa (aldomet),
propranolol, klonidin. Apabila penderita sedang mengalami terapi
hemodialisa, pemberian antihipertensi dihentikan karena dapat
mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan oleh keluarnya cairan
intravaskuler melalui ultrafiltrasi. Pemberian diuretik seperti furosemid
(Lasix).
 Hiperkalemia Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius,
karena bila K+ serum mencapai sekitar 7 mEq/L, dapat mengakibatkan
aritmia dan juga henti jantung. Hiperkalemia dapat diobati dengan
pemberian glukosa dan insulin intravena, yang akan memasukkan K+ ke
dalam sel, atau dengan pemberian kalsium glukonat 10%.
 Anemia Anemia pada pasien CKD diakibatkan penurunan sekresi
eritropoeitin oleh ginjal. Pengobatannya adalah pemberian hormon
eritropoeitin selain dengan pemberian vitamin dan asam folat, besi dan
tranfusi darah.
 Asidosis Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3-plasma
dibawah angka 15 mEq/L. Bila asidosis beratakan dikoreksi dengan
pemberian Na HCO3- (Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah
yang berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, maka harus
dimonitor dengan seksama.
 Diet rendah fosfat Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat
mengikat fosfat didalam usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus
dimakan bersama makanan.
 Pengobatan hiperurisemia Obat pilihan untuk mengobati hiperurisemia
pada penyakit ginjal lanjut adalah pemberian alopurinol. Obat ini
menggurangi kadar asam urat dengan menghambat biosintesis sebagian
asam urat total yang dihasilkan tubuh.
b. Dialisis dan transplatansi Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit CKD
stadium 5, yaitu pada GR kurang dari 15ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk
mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia
donor ginjal (Ramadhani, 2019).

8. Komplikasi
Fungsi ginjal yang terganggu mengakibatkan terjadinya komplikasi yang berbeda
berdasarkan besarnya kerusakan nefron:
Derajat Penjelasan GFR Komplikasi
(ml/mnt/1,73
m2)
1 Kerusakan ginjal >90 Tidak ada
dengan GFR normal
2 Kerusakan ginjal 60-89 Peningkatan tekanan darah mulai terjadi
dengan penurunan
ringan GFR
3 Kerusakan ginjal 30-59 Hiperfosfatemia, hipokalsemia, anemia,
dengan penurunan hiperparatiroid, hipertensi,
sedang GFR hiperhomosisteinemia
4 Kerusakan ginjal 15-29 Malnutrisi, asidosis metabolic,
dengan penurunan cenderung hyperkalemia, dyslipidemia
berat GFR
5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung dan uremia

Masalah yang disebabkan oleh timbunan sisa hasil metabolisme yang tidak dapat
dikeluarkan tubuh dan produksi hormon yang tidak mencukupi dapat mengakibatkan:
a. Anemia terjadi karena ketidakmampuan ginjal memproduksi eritropoetin
mengakibatkan penurunan hemoglobin.
b. Hipertensi terjadi akibat penimbunan natrium dan air di dalam tubuh. Kondisi ini
mengakibatkan kelebihan volume darah dan berkurangnya kerja renin-
angiotensin-aldosteron untuk menstabilkan tekanan darah. Kardiomiopati dilatasi
atau hipertrofi ventrikel kiri akibat dari hypervolemia.
c. Kulit terasa gatal akibat penumpukan kalsium fosfat pada jaringan.
d. Komplikasi neurologis dan psikiatrik disebabkan penimbunan ureum di dalam
darah.
e. Disfungsi seksual mengakibatkan penurunan libido, gangguan impotensi dan
terjadi hiperprolaktinemia pada wanita (Siregar, 2020).
B. Konsep keperawatan
1. Pengkajian
Beberapa hal yang harus dikaji pada pasien CKD diantaranya yaitu :
a. Identitas
Hal yang harus dikaji pada pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis yang
pertama adalah identitas. Identitas dalam hal ini yaitu meliputi nama lengkap, tempat
tinggal atau alamat, usia, tempat lahir, asal suku bangsa, pekerjaan dan pendidikan
serta penanggung jawab biaya. Pengkajian identitas sekurang-kurangnya yaitu
meliputi nama lengkap, tanggal lahir dan nomor rekam medic.
b. Keluhan Utama
Keluhan berupa urine output menurun (oliguria) sampai pada anuria, penurunan
kesadaran karena komplikasi pada sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan
muntah, fatigue, napas berbau amoniak dan pruritus. Kondisi ini dipicu karena
penumpukan zat sisa metabolisme/toksik dalam tubuh karena ginjal mengalami
kegagalan filtrasi.
c. Riwayat Keperawatan
 Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian riwayat kesehatan sekarang yang dapat dikaji yaitu meliputi keluhan
utama dan anamnesis lanjutan seperti sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama
serta faktor apa yang dapat memperberat dan memperberat keluhan. Keluhan
utama merupakan keluhan yang menyebabkan seseorang atau pasien tersebut
datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk mencari pertolongan. Pada klien
dengan CKD biasanya terjadi penurunan urine output, penurunan kesadaran,
penurunan pola napas karena komplikasi dari gangguan sistem ventilasi, fatigue,
perubahan fisiologis kulit, napas berbau amoniak. Kemudian juga berdampak
pada sistem metabolisme, sehingga akan terjadi anoreksia, nausea, vomit dan
berisiko untuk terjadi gangguan nutrisi.
 Riwayat Kesehatan Dahulu
Informasi mengenai kesehatan terdahulu akan menegaskan untuk penegakan
masalah. Kaji penyakit pada glomerulus seperti glomerulonefritis, infeksi kuman
seperti pielonefritis, ureteritis, nefrolitiasis, kista di ginjal seperti polikistik ginjal,
trauma langsung pada ginjal, keganasan pada ginjal, batu ginjal, tumor,
penyempitan, diabetes melitus, hipertensi, kolestrol tinggi, infeksi di badan seperti
TBC paru, sifilis, malaria dan hepatitis.
 Riwayat Kesehatan Keluarga
CKD bukan penyakit menular atau menurun, sehingga silsilah keluarga tidak
terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun pencetus sekunder seperti diabetes
melitus dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap penyakit CKD, karenapenyakit
tersebut bersifat herediter.
d. Fokus Pengkajian
 Pola Nutrisi
Pada pasien dengan CKD, biasanya terjadi peningkatan pada berat badan karena
adanya edema, namun dapat juga terjadi penurunan berat badan dikarenakan
kebutuhan nutrisi yang kurang ditandai dengan adanya anoreksia serta mual atau
muntah.
 Pola Eliminasi
Terjadi oliguria atau penurunan produksi urine kurang dari 30 cc/jam atau 500
cc/24 jam. Bahkan dapat juga terjadi anuria yaitu tidak bisa mengeluarkan urine.
Selain itu juga terjadi perubahan warna pada urine seperti kuning pekat, merah dan
cokelat.
 Pola Istirahat dan Tidur
Pada pasien yang menderita penyakit gagal ginjal kronis, biasanya pola istirahat
dan tidur akan terganggu. Hal ini terjadikarena terdapat gejala nyeri panggul,
kepala terasa sakit, kram otot dan perasaan gelisah yang akan memburuk pada
malam hari.
 Pola Aktivitas
Pada pola aktivitas, pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis atau chronic kidney
disease biasanya akan merasakan kelemahan otot. Selain itu, pasien juga akan
mengalami kelelahan yang ekstrem saat melakukan aktivitas sehingga terdapat
perbedaan yang dirasakan jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya
 Personal Hygiene
Pada pasien gagal ginjal kronis, cara pemeliharaan kesehatan dengan perawatan
diri juga dapat berpengaruh terhadap system dermatologi. Hal ini karena
penggunaan sabun yang mengandung gliserin akan mengakibatkan kulit bertambah
kering.
e. Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
 Tekanan Darah
Tekanan darah pasien yang menderita gagal ginjal kronis cenderung mengalami
peningkatan. Rentang pengukuran tekanan darah normal pada dewasa yaitu 100-
140/60-90 mmHg dengan rata-rata 120/80 mmHg dan pada lansia 100- 160/60-90
mmHg dengan rata-rata 130/180 mmHg.
 Nadi
Pada penderita gagal ginjal kronis biasanya ditemukan kondisi denyut jantung
yang tidak teratur. Dapat terlalu cepat atau juga terlalu lambat. Jumlah frekuensi
normal nadi34 bervariasi pada setiap orang, tapi kisaran normal pada orang dewasa
yaitu 60-100 x/menit.
 Suhu
Suhu tubuh akan mengalami peningkatan karena adanya sepsis atau dehidrasi
sehingga dapat terjadi demam. Suhu tubuh pada orang dewasa normalnya berbeda-
beda pada setiap lokasi. Pada aksila 36,4ᵒC, rektal 37,6ᵒC sedangkan oral 37,0ᵒC.
 Respirasi
Pada sistem pernapasan pasien gagal ginjal kronis cenderung mengalami
gangguan. Hal tersebut karena laju pernapasan terlalu cepat dari seharusnya serta
sesak napas. Rentang normal frekuensi pernapasan pada orang dewasa yaitu12-20
x/menit dengan rata-rata 18x/menit.
f. Keadaan Umum
Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, keadaan umum cenderung tampak lemah dan
nampak sakit berat sedangkan untuk tingkat kesadaran menurun karena sistem saraf
pusat yang terpengaruhi sesuai dengan tingkat uremia yang mempengaruhi.
g. Pemeriksaan Fisik
 Kepala
Pada pasien gagal ginjal kronis, yang dapat terjadi biasanya rambut mengalami
kerontokan sehingga tampak tipis dan kering dan berubah warna. Selain itu wajah
juga akan tampak pucat, kulit tampak kering dan kusam, rambut dan kulit akan
terasa kasar.
 Telinga
Pada pemeriksaan fisik dibagian telinga pasien dengan gagal ginjal, yang perlu
dilakukan yaitu pemeriksaan kesimetrisan dan pemeriksaan posisi pada kedua
telinga, pemeriksaan produksi serumen atau kotoran telinga dan kebersihan telinga
serta kemampuan mendengar.
 Mata
Pada pemeriksaan mata pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya akan tampak
endapan mineral kalsium fosfat akibat uremia yang berlarut-larut di daerah pinggir
mata. Selain itu, disekitar mata akan tampak edema, penglihatan kabur dan
konjungtiva akan terlihat pucat pada pasien yang mengalami anemia berat.
 Hidung
Pada pemeriksaan fisik dibagian hidung, yang diperiksa adalah ada atau tidaknya
produksi secret dan adanya pernapasan cuping hidung. Selain itu, diperhatikan
juga kesimetrisan pada kedua lubang hidung dan pada kulit apakah terlihat kering
dan kusam.
 Mulut
Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, dilakukan juga pemeriksaan fisik pada
mulut. Dalam hal ini yang dinilai adalah pada saat bernapas biasanya akan tercium
bau amoniak karena faktor uremik dan ulserasi pada gusi serta bibir yang tampak
kering.
 Leher
Pemeriksaan fisik dibagian leher pada pasien gagal ginjal yaitu dilakukan
pemeriksaan untuk dinilai apakah ada massa atau tidak, pembengkakan atau
kekakuan leher, kulit kering, pucat dan kusam, ada atau tidaknya pembesaran
kelenjar limfe serta posisi trakea ada pergeseran atau tidak.
 Toraks
Pergerakan dada akan cepat karena pola napas juga cepat dan dalam atau
kussmaul, batuk dengan ada atau tidaknya sputum kental dan banyak. Periksa
pergerakan dinding dada teraba sama atau tidak, terdapat nyeri dan edema atau
tidak. Pada seluruh lapang paru normalnya resonan dan pada CKD pekak apabila
paru terisi cairan karena edema. Dengarkan apakah ada suara napas tambahan
seperti ronkhi, wheezing,pleural friction rub dan stridor.
 Abdomen
Kulit abdomen akan tampak mengkilap karena asites dan kulit kering, tampak
pucat, bersisik, berwarna cokelat kekuningan dan akan muncul pruritus.
Dengarkan bising usus di keempat kuadran abdomen. Pasien dengan CKD akan
mengeluh nyeri pada saat dilakukan pemeriksaan di sudut costo-vertebrae.
Kemudian periksa pada daerah yang terasa nyeri apakah teraba massa atau tidak
pada ginjal.
 Kulit dan Kuku
Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, biasanya kuku akan menjadi rapuh dan
tipis, kulit menjadi pucat, kering dan mengelupas, bersisik, muncul pruritus,
berwarna cokelat kekuningan, hiperpigmentasi, memar, uremic frost, ekimosis,
CRT >3 detik, kulit teraba kasar dan tidak rata.
 Genitalia
Pemeriksaan fisik genitalia pada pasien gagal ginjal kronis juga dilakukan dengan
bertujuan untuk melihat hygiene genitalia atau kebersihan pada organ genital.
Selain itu, pemeriksaan fisik genitalia ini juga dilakukan untuk melihat apakah
terdapat lesi atau tidak.
 Ekstermitas
Pada pasien gagal ginjal kronis biasanya terdapat edema pada kaki karena adanya
gravitasi. Biasanya ditemukan di betis dan paha pada klien yang bedrest,
kelemahan, kelelahan, kulit kering, hiperpigmentasi, bersisik, dan turgor kulit >3
detik karena edema (Lestari, 2023).
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosis keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah sebagai berikut
(PPNI, 2017):
a. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi d.d pasien mengeluh
sesak napas (dispnea), PCO2 meningkat (D.0003)
b. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d pasien mengeluh sesak napas
(dispnea) (D.0005)
c. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload d.d pasien tampak edema (D.0008)
d. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi d.d edema anasarka dan/atau edema
perifer (D. 0022)
e. Gangguan eliminasi urin b.d efek tindakan medis d.d pasien mengeluh sering buang air
kecil atau nokturia (D.0040)
f. Defisit nutrisi b.d faktor psikologis d.d nafsu makan pasien menurun dan berat badan
pasien menurun minimal 10% di bawah rentang ideal (D. 0019)
g. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan pasien d.d mengeluh lelah (D.0056)
h. Risko perfusi perifer tidak efektif
3. Rencana keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan
1. Gangguan Pertukaran Gas Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi
b.d ketidakseimbangan keperawatan selama 3x24 Observasi:
ventilasi-perfusi (D.0003) jam, diharapkan gangguan 1. Monitor frekuensi,
pertukaran gas dapat teratasi irama, kedalaman dan
Kategori: Fisiologis dengan kriteria hasil: usaha napas
Subkategori: Respirasi Pertukaran Gas 2. Monitor pola napas
- Tingkat kesadaran 3. Monitor saturasi
membaik oksigen
(composmentis) 4. Monitor nilai AGD
- Takipnea menurun Terapeutik:
- PCO2 normal (35-45) 5. Atur interval
- HCO3normal 22-26 pemantuan respirasi
mmol/l) sesuai kondisi pasien
- Ph arteri membaik (7.35- Edukasi:
7.45) 6. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
Kolaborasi:
7. Kolaborasi pemberian
oksigen
2. Pola Napas Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas
b.d hambatan upaya napas keperawatan selama 3x24 (I. 01011)
(D.0005) jam, diharapkan bersihan Observasi:
jalan napas dapat teratasi 1. Monitor pola napas
Kategori: Fisiologis dengan criteria hasil: (frekuensi, kedalaman
Subkategori: Respirasi Pola Napas (L.01004) dan usaha napas)
1. Takipnea menurun 2. Monitor irama
2. Frekuensi napas pernapasan
membaik Terapeutik:
(16-20x/menit) 4. Berikan oksigen, jika
3. Pola napas membaik perlu
5. Berikan posisi semi-
fowler
Kolaborasi:
6. Kolaborasi pemberian
oksigen, jika perlu
3. Penurunan Curah Jantung Setelah dilakukan tindakan Perawatan Jantung
b.d penurunan keperawatan selama 3x24 Observasi:
kontraktilitas jantung jam diharapkan masalah 1. Identifikasi tanda/gejala
(D.0008) penurunan curah jantung primer penurunan curah
dapat menurun dengan jantung (meliputi
Kategori: Fisiologis kriteria hasil: dispnea, kelelahan,
Subkategori: Respirasi Curah Jantung (I.02008) edema, ortopnea,
1. Ejection Fraction (EF) peningkatan CVP)
meningkat (>50%) 2. Monitor tekanan darah
2. Tekanan darah membaik 3. Monitor keluhan nyeri
(120/80 mmHg) dada (mis, intensitas,
3. Takikardi menurun lokasi, radiasi, durasi,
4. Ortopnea menurun previtasi yang
mengurangi nyeri)
4. Monitor EKG 12
sadapan
Terapeutik:
5. Berikan diet jantung
yang sesuai (mis, batasi
asupan kafein, natrium,
kolesterol, dan makanan
tinggi lemak)
Edukasi:
6. Anjurkan beraktivitas
fisik secara bertahap
Kolaborasi:
7. Kolaborasi pemberian
diuretic
4. Hipervolemia b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipervolemia
kelebihan asupan cairan keperawatan selama 3x24 (I.03114)
(D.0022) jam diharapkan masalah Observasi:
hipervolemia dapat teratasi - Monitor intake dan
Kategori: Fisiologis dengan kriteria hasil: output cairan
Subkategori: Nutrisi dan Keseimbangan Cairan - Monitortanda
Cairan (L.05020) peningkatan tekanan
1. Edema menurun onkotik plasma (Mis.
2. Asites menurun Kadar protein dan
3. Tekanan arteri rata-rata albumin meningkat)
membaik - Monitor kecepatan infuse
secara ketat
Terapeutik:
- Timbang berat badan
setiap hari pada waktu
yang sama
- Batasi asupan cairan dan
garam
- Tinggikan kepala tempat
tidur 30-40ᵒ
Edukasi:
- Anjurkan melapor jika
haluaran urin <0,5
Ml/kg/jam dalam 6 jam
- Ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan dan
haluran cairan.
5. Gangguan eliminasi urin Setelah dilakukan tindakan Manajemen Eliminasi
b.d efek tindakan medis keperawatan selama Urin (I.04152)
d.d pasien mengeluh 3x24jam, maka Eliminasi Observasi
sering buang air kecil atau Urin membaik dengan  Identifkasi tanda dan
nokturia (D.0040) kriteria hasil : gejala retensi atau
1. Frekuensi BAK membaik inkontinensia urine
2. Disuria menurun  Identifikasi faktor yang
3. Anuria menurun menyebabkan retensi
4. Nokturia menurun atau inkontinensia urine
 Monitor eliminasi urine
(mis. frekuensi,
konsistensi, aroma,
volume, dan warna)
Terapeutik
 Catat waktu-waktu dan
haluaran berkemih
 Batasi asupan cairan,
jika perlu
 Ambil sampel urine
tengah (midstream) atau
kultur
Edukasi
 Ajarkan tanda dan gejala
infeksi saluran kemih
 Ajarkan mengukur
asupan cairan dan
haluaran urine
 Anjurkan mengambil
specimen urine
midstream
 Ajarkan mengenali tanda
berkemih dan waktu
yang tepat untuk
berkemih
 Ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot
pinggul/berkemihan
 Anjurkan minum yang
cukup, jika tidak ada
kontraindikasi
 Anjurkan mengurangi
minum menjelang tidur
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
obat suposituria uretra, jika
perlu
6. Risko perfusi perifer tidak Setelah dilakukan tindakan Perawatan sirkulasi (I.
efektif keperawatan selama 3x24 02079)
jam, maka Perfusi Perifer Observasi
meningkat dengan kriteria  Periksa sirkulasi perifer
hasil :  Identifikasi faktor resiko
 Pengisian kapiler  Monitor
membaik panas,kemerahan, nyeri,
 Warna kulit pucat atau bengkak pada
menurun ekstremitas
 Akral membaik Terapeutik
 Hindari pemasangan
infus atau pengambilan
darah di area
keterbatasan perfusi
 Lakukan
pengukurantekanan
darah pada ekstremitas
dengan keterbatasan
perfusi
 Hindari pemasangan dan
penekanan torniquet
pada area yang cedera
 Lakukan pencegahan
infeksi
 Lakukan perawatan kaki
dan kuku
 Lakukan hidrasi
Edukasi
 Anjurkan berhenti
merokok
 Anjurkan
berolahragarutin
 Anjurkan mengecek air
mandi untuk
menghindari kulit
terbakar
 Anjurkan penggunaan
obat penurun
tekanandarah,
antikoagulan, dan
penurun kolesterol, jika
perlu
7. Defisit Nutrisi b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi
peningkatan kebutuhan keperawatan dengan (I.03111)
metabolisme masalah defisit nutrisi maka Observasi:
diharapkan dapat menurun 1. Identifikasi status nutrisi
Kategori: fisiologis dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi kebutuhan
Subkategori: Nutrisi dan Status Nutrisi (L.03030) kalori dan jenis nutrient
Cairan - Porsi makanan yang 3. Monitor asupan
dihabiskan meningkat makanan
- Berat badan naik 4. Monitor berat badan
- Indeks massa tubuh Terapeutik:
membaik (>18.5) 1. Fasilitasi menentukan
- Frekuensi makan pedoman diet (mis.
membaik Pyramida makanan)
- Nafsu makan membaik 2. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
3. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
4. Berikan suplemen
makanan, jika perlu
Edukasi:
5. Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
Kolaborasi:
6. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu
8. Intoleran Aktivitas b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Energi
ketidakseimbangan antara keperawatan selama 3x24 Observasi:
suplai dan kebutuhan O2 jam diharapkan masalah - Identifikasi gangguan
(D.0056) intoleran aktivitas dapat fungsi tubuh yang
menurun dengan kriteria mengakibatkan
hasil: kelelahan
Toleransi Aktivitas Terapeutik:
1. Kemudahan dalam - Sediakan lingkungan
melakukan aktivitas yang nyaman dan
sehari-hari meningkat rendah stimulus (mis.
2. Keluhan lelah menurun Cahaya, suara,
3. Dispnea saat aktivitas kunjungan)
menurun Edukasi:
4. Perasaan lemah - Anjurkan tirah baring
menurun - Anjurkan melakukan
5. Tekanan darah normal aktivitas secara bertahap
(120/80 mmHg)
DAFTAR PUSTAKA

Adrining, A. (2019). Asuhan Keperawatan pada Klien Chronic Kidney Disease (CKD) dengan
Kelebihan Volume Cairan di Ruang Mawar di RSUD DR. Soek. Ilmu Keperawatan , 1-32.
Debieanti, E. C. (2022). Asuhan Keperawatan pada Pasien CKD (Chronic Kidney Disease) di
Ruang C2 RSPAL DR. Ramelan Surabaya. Ilmu Keperawatan , 20-30.
Lestari, F. D. (2023). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gagal Ginjal Kronis (GGK) On
Hemodialisis di RSUD Aju Muhammad Parikesit Tenggarong. Ilmu Keperawatan , 31-38.
Narsa, A. C., Maulidya, V., Reggina, D., Andriani, W., & Rijai, H. R. (2022). Studi Kasus:
Pasien Gagal Ginjal Kronis (Stage V) dengan Edema Paru dan Ketidakseimbangan Cairan
Elektrolit. Jurnal Sains dan Kesehatan , 4 (1), 17-22.
Rachmadi, D. (2020). Chronic Kidney Disease. Jurnal Ilmu Kesehatan , 4 (2), 50-62.
Ramadhani, W. (2019). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Chronic Kidney Disease
(CKD) di Ruang Penyakit Dalam Pria di RSUP DR. M. Djamil Padang. Ilmu Keperawatan ,
70-82.
Siagian, K. N., & Damayanty, A. E. (2019). Identifikasi Penyebab Penyakit Ginjal Kronik pada
Usia Dibawah 45 Tahun di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Ginjal Rasyida Medan Tahun
2015. Anatomica Journal , 1 (3), 159-166.
Siregar, C. T. (2020). Buku Ajar Manajemen Komplikasi Pasien Hemodialisa. Yogyakarta:
Deepublish.
Tim Pokja SDKI PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi,
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PersatuanPerawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan (Edisi 1). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan (Edisi 2). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai