Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DASAR KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIK


DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

Disusun Oleh :

Ninda Lilis Qotifah (P1905026)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

KLATEN

2020
LAPORAN PENDAHULUAN CKD

A. Definisi
Gagal ginjal kronik merupakan penyakit ginjal menahun sebagai suatu proses
patofisiologi yang menyebabkan kerusakan struktural dan fungsional ginjal ini masih
menjadi permasalahan serius di dunia kesehatan (Mayuda, 2017, h168). Gagal ginjal
kronik (GGK) adalah kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerulus (GFR) lebih rendah
dari 60 mL / min / 1,73 m2 selama tiga bulan atau lebih (Cheawchanwattana, 2015).
Penyakit gagal ginjal kronik biasa diderita oleh pasien dewasa namun tidak menutup
kemungkinan dapat menyerang semua usia (Pernefri, 2015).

B. Klasifikasi
Menurut KDIGO (2014), klasifikasi tahapan penyakit gagal ginjal kronis,
sebagai berikut :
Derajat 1 : Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
(> 90 mL/min/1.73 m2).
Derajat 2 : penurunan ringan pada GFR (60-89 mL/min/1.73 m2).
Derajat 3a : penurunan ringan sedang pada GFR
(45-59 mL/min/1.73 m2).
Derajat 3b : penurunan sedang berat pada GFR
(30-44 mL/min/1.73 m2).
Derajat 4 : penurunan berat pada GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
Derajat 5 : Gagal ginjal (GFR <15 mL/min/1.73 m2 atau dialisis).

C. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya gagal ginjal kronik diantaranya adalah :
Diabetes mellitus, glumerulonefritis kronis , pielonefritis, hipertensi tak
terkontrol, obstuksi saluran kemih, herediter seperti penyakit ginjal polikistik,
gangguan vaskuler, lesi herediter, agen toksik (timah dan merkuri) (Nuari& Widayati,
2017 h114). Gagal ginjal kronik disebabkan oleh penyakit seperti diabetes miletus,
hipertensi, glumonefritis kronis, nefritis intersisial kronis, infeksi saluran kemih dan
obesitas (Kemenkes, 2017).
Menurut Muttaqin dan Sari (2011, h166) penyebab gagal ginjal kronik
dibedakan menjadi 2 :
1) Penyakit dari ginjal, seperti : glomerulonefritis, ureteritis, nefrolitiasis, ginjal
polikistik, trauma langsung pada ginjal, dan keganasan pada ginjal.
2) Penyakit umum selain dari ginjal, seperti : penyakit sistemik (diabetes mellitus,
hipertensi, kolesterol tinggi), dislipidemia, infeksi organ tubuh (Tu berkulosis,
sifilis, malaria, hepatitis), preeklamsia, obat-obatan, dan kehilangan cairan banyak
(luka bakar).

D. Patofisiologi
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi akumulasi berbagai zat yang normalnya
diekskresi oleh ginjal namun ginjal sudah tidak adekuat lgi karena ginjal kehilangan
fungsinya, seperti produk eritopoietin dan vitamin D kini tidak bisa lagi di olah oleh
ginjal sehingga terjadi sindrom uremia (challaghan, 2014, h92). Uremia sangat
berpengaruh pada setiap sistem tubuh, semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala gagal ginjal kronik semakin berat ditandai dengan terjadinya proteinuria
serta haluaran urin berkurang dan berat jenis urin menurun (Wijaya& Putri, 2013,
h231). Terjadinya uremia mengakibatkan mual muntah dan distensi abdomen pada
pasien. Akibat mual muntah maka akan terjadi gangguan kualitas tidur karena
ketidaknyamanan. Sehingga pasien sering merasakan letargi (Smeltzer & Bare, 2010).
Sisa metabolisme tidak dapat di ekskresi oleh ginjal maka akan diekskresikan
melalui kapiler kulit. Gejala yang akan muncul pada pasien gagal ginjal kronik adalah
tampak kecoklatan atau penggelapan pada kulit yaitu terjadi hiperpigmentasi dan
pruritus. Gejala lain yang timbul diantaranya adalah osteodistofi renal, mekanisme
kompensasi asidosis metabolik dan kelebihan beban cairan yang menyebabkan edema
paru dan napas pendek. Terjadi gagal jantung kongestif dan hipertensi karena adanya
hipervolemia, yaitu ginjal mengeluarkan vasopresor atau renin (Nurarif & Kusuma,
2015, h13).
Gagal ginjal kronik ditandai dengan LGF <15 mL/min/1.73 m2. Dengan
menurunnya LFG menyebabkan penurunan pembersihan kreatinin dan peningkatan
kadar kreatinin serum (Padila, 2012, h247). Hal tersebut mengakibatkan terjadinya
gangguan keseimbangan elektrolit seperti produksi eritrosit terganggu yaitu sekresi
eritropoietin ginjal berkurang sehinga terjadi anemia yang ditandai dengan pucat pada
kulit dan konjungtiva anemis (Nurarif & Kusuma, 2015, h13). Apabila 80-90% fungsi
ginjal sudah hilang maka pasien akan menunjukkan kegagalan ginjal yang khas seperti
berhentinya menstruasi pada wanita, serta penurunan libido dan disfungsi ereksi pada
pria (Baradero, 2014, h127).

E. Pathway
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi gagal ginjal kronik menurut Brunner & Suddarth (2016, h492)
Kardiovaskular : hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, dan sakrum), periorbital,
gesekan perikardium, pembesaran vena-vena di leher, perikarditis, tamponade
perikardium, hiperkalemia, hiperlipidemia.
1) Integumen : warna kulit keabu-abuan, kulit kering dan mudah terkelupas, pruritus
berat, ekimosis, purpura, kuku rapuh, rambut kasar dan tipis.
2) Paru-paru : ronkhi, krekels, sputum kentaldan lengket, penurunan refleks batuk,
nyeri pleura, sesak napas, takipnea.
3) Saluran cerna : bau ammonia ketika bernapas, pengecapan rasalogam, ulserasi dan
perdarahan mulut, anoreksia, mual dan muntah, cegukan, konstipasi atau diare,
perdarahan pada saluran cerna.
4) Neurologik : kelemahan dan keletihan, konfusi, ketidakmampuan berkonsentrasi,
disorientasi, tremor, kejang, tungkai tidak nyaman, telapak kaki serasa terbakar.
5) Muskuloskeletal : kram otot, kehilangan kekuatan otot, osteodistrofi ginjal, nyeri
tulang.
6) Reproduksi : amenorea, atrofi testis, ketidaksuburan, penurunan libido.
7) Hematologi : anemia, trombositopenia.

G. Komplikasi
Gagal ginjal kronik dapat mempengaruhi semua system dalam tubuh sehingga
tidak dapat bekerja secara maksimal, sehingga muncul komplikasi-komplikasi dari
setiap sistemnya. Komplikasi yang mungkin terjadi pada gagal ginjal kronis meliputi :
hipertensi, anemia, osteodistofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida) (Nurarif & Kusuma, 2015, h13).
Baradero (2009, h127) menjelaskan proses terjadinya komplikasi sebagai berikut
1) Sistem hematopoietik
Terjadi anemia karena produksi eritrosit terganggu yaitu sekresi
eritropoietin ginjal berkurang.
2) Sistem kardiovaskuler
Terjadi gagal jantung kongestif dan hipertensi karena adanya hipervolemia,
yaitu ginjal mengeluarkan vasopresor atau renin.
3) Sistem integumen
Terjadi hiperpigmentasi dan pruritus karena sisa metabolisme tidak dapat di
ekskresi oleh ginjal maka akan diekskresikan melalui kapiler kulit sehingga
tampak kecoklatan atau penggelapan pada kulit.
4) Sistem respirasi
Terjadi edema paru dan napas pendek karena mekanisme kompensasi
asidosis metabolik dan kelebihan beban cairan.
5) Sistem gastrointestinal
Pasien gagal ginjal kronik mengalami ketidakseimbangan elektrolit dan
terjadi toksik uremia sehingga mengakibatkan mual muntah dan distensi
abdomen.
6) Sistem neurologi
Terjadi gangguan kualitas tidur karena ketidaknyamanan akibat mual
muntah.
7) Sistem skeletal
Terjadi letargi karena gangguan tidur, sehingga pasien mengalami nyeri
sendi.
8) Sistem perkemihan
Terjadi proteinuria serta haluaran urin berkurang dan berat jenis urin
menurun karena ketidakseimbangan elektrolit dan terjadi toksik uremia.
9) Sistem reproduksi
Apabila 80-90% fungsi ginjal sudah hilang maka pasien akan menunjukkan
kegagalan ginjal yang khas seperti berhentinya menstruasi pada wanita,
serta penurunan libido dan disfungsi ereksi pada pria.
H. Penatalaksanaan
Pada penderita gagal ginjal kronik fungsi ginjal akan mengalami penurunan, dan
untuk memperlambat proses penurunan fungsi ginjal tersebut diperlukan adanya terapi
pengganti ginjal seperti peritoneal dialisis, transplantasi ginjal dan hemodialisa.
(Smeltzer & Bare, 2010).
Penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada gagal ginjal kronik sebagai berikut :
1) Terapi farmakologis untuk pencegah komplikasi, seperti agen pengikat
fosfat, suplemen kalsium, antihipertensi, diazepam, suplemen natrium
bikarbonat dan eritopoietin.
2) Terapi nutrisi ,seperti pembatasan protein, kalium, dan cairan. Diet cairan
yang direkomendasikan adalah sekitar 500- 600 ml. Suplemen vitamin dan
suplemen besi dapat diresepkan. Asupan vitamin dan kalori harus
tercukupi untuk mencegah pengecilan otot.
3) Beri dukungan emosional dan dukungan perasaan positif dengan
mendorong pasien untuk menigkatkan kemampuan perawatan diri dan
lebih mandiri.
4) Dialisis; merupakan penanganan diawal proses penyakit ginjal yang
progresif (arah kemajuan) (Brunner & Suddarth, 2016, h492). Dialisis
dibedakan menjadi dua, yaitu :
a) Hemodialisa
Hemodialisa sering disebut sebagai cuci darah menggunakan
alat yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah dipompa keluar tubuh
menuju mesin dialiser unuk dibersihkan melalui proses difusi dan
ultrafiltrasi menggunkan cairan khusus untuk dialysis, kemudian
dialirkan kembali kedalam tubuh (Wijaya & Putri, 2013, h 244). Di
Indonesia tindakan HD biasanya dilakukan seanyak 2-3 kali dalam
seminggu dan durasi waktu selama 3-4 jam (Pernefri, 2015).
b) Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal adalah terapi pengganti ginjal yang
menggunakan bantuan membran selaput rongga perut (peritoneum),
sehingga darah tidak lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan
seperti yang terjadi pada pasien hemodialisa. Dialysis peritoneal dapat
dilakukan di rumah secara mandiri (Padila, 2012, h250). Dialisis
peritoneal dikakukan 3-4 kali dalam seminggu yang tujuannya untuk
mencapai durasi yang maksimal yaitu 30-40 jam per minggu
(Harrison, 2017, h1447).
5) Cangkok Ginjal
Cangkok ginjal atau transplantasi ginjal adalah proses meletakkan
ginjal dari pendonor kedalam tubuh pasien gagal ginjal kronik.
Transplantasi ginjal didonorkan oleh ginjal orang yang cocok dengan
pasien biasanya orang tersebut memiliki hubungan keluarga dengan pasien
(Muhammad, 2012, h45).
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium :
a. Urin
1) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria) atau urine tidak ada
(anuria).
2) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
3) Berat Jenis : kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
4) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1.
5) Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
6) Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
7) Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) menunjukkan kerusakan
glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
b. Darah
1) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL
diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
2) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb
biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
3) Sel Darah Merah : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti
pada azotemia.
4) Gas Darah Analisa : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen
dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2
menurun.
5) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
6) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
selular (asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap
akhir , perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau
lebih besar.
7) Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun.
8) Protein (khususnya albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan,
atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial. Osmolalitas
serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
b. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
c. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
d. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
e. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih
dan adanya obtruksi (batu).
f. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi
ekstravaskuler, massa.
g. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
h. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluk ke dalam ureter, dan retensi.

J. Penegakan Diagnosis
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak langsung.
Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan atau pemeriksaan
histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi ultrasonografi, computed tomography
(CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan isotope scanning dapat mendeteksi
beberapa kelainan struktural pada ginjal. Histopatologi biopsi renal sangat berguna
untuk menentukan penyakit glomerular yang mendasari (Scottish Intercollegiate
Guidelines Network, 2014).
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari urinalisis.
Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan kebocoran sel darah
merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya hematuria atau proteinuria
(Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008). Penurunan fungsi ginjal ditandai
dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Penurunan GFR dapat dihitung
dengan mempergunakan rumus Cockcroft-Gault (Suwitra, 2009). Penggunaan rumus
ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Willems et al., 2013).

( 140−usia ) x berat badan


Perempuan = x 0,85
72 x kreatinin serum
( 140−usia ) x berat badan
Laki- laki =
72 x kreatinin serum

Pengukuran GFR dapat juga dilakukan dengan menggunakan rumus lain, salah
satunya adalah CKD-EPI creatinine equation (National Kidney Foundation, 2015).

Keterangan :
κ wanita = 0,7
κ pria = 0,9
α wanita = - 0,329
α pria = - 0,441
Scr = kreatinin serum (mg/dL)
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin C. Cystatin C
merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang disintesis oleh semua sel berinti
dan ditemukan di berbagai cairan tubuh manusia. Kadarnya dalam darah dapat
menggambarkan GFR sehingga Cystatin C merupakan penanda endogen yang ideal
(Yaswir & Maiyesi, 2012).

K. Pengkajian
a. Identitas
b. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,
glomerulonefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih,
dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya
CKD.
c. Pengkajian pola fungsional Gordon
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
2) Pola nutrisi dan metabolik.
3) Pola eliminasi
4) Aktifitas dan latian.
5) Pola istirahat dan tidur.
6) Pola persepsi dan koknitif.
7) Pola hubungan dengan orang lain
8) Pola reproduksi
9) Pola persepsi diri.
10) Pola mekanisme koping.
11) Pola kepercayaan.
d. Pengkajian fisik
Keadaan umum, tanda-tanda vital, antropometri, kepala., leher dan tenggorok, dada,
abdomen, genital, ekstremitas, kulit.
e. Pemeriksaan penunjang.

L. Diagnosa
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
mual muntah.
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialisis.
M. Intervensi
No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Pola nafas Setelah diberikan asuhan 1. Observasi penyebab 1. Untuk menentukan
tidak efektif keperawatan selama ...x... nafas tidak efektif tindakan yang harus
b.d edema jam diharapkan pola nafas 2. Observasi respirasi & segera dilakukan
paru, asidosis efektif setelah dilakukan nadi 2. Menentukan
metabolic, tindakan HD 4-5 jam, 3. Berikan posisi semi tindakan
Hb ≤ 7 gr/dl. dengan kriteria hasil: fowler 3. Melapangkan dada
> Nafas 16-24 x/mnt 4. Ajarkan cara nafas klien sehingga nafas
> Edema paru hilan yang efektif lebih longgar
> Tidak sianosis 5. Berikan O2 4. Hemat energi
6. Kolaborasi sehingga nafas tidak
pemberian tranfusi semakin berat
darah 5. Hb rendah, edema,
paru pneumonitis,
asidosis, perikarditis
menyebabkan suplai
O2 ke jaringan <
6. Untuk ↑Hb,
sehingga suplai O2
ke jaringan cukup

2 Kelebihan Setelah diberikan asuhan 1. Observasi status 1. Pengkajian


volume keperawatan selama ...x... cairan, timbang bb merupakan dasar
cairan b.d jam diharapkan volume pre dan post HD, untuk memperoleh
penurunan cairan seimbang dengan keseimbangan data, pemantauan 7
haluaran kriteria hasil: masukan dan evaluasi dari
urine, diet > BB post HD sesuai dry haluaran, turgor intervens
cairan weight kulit dan edema, 2. Pembatasan cairan
berlebih, > Edema hilang distensi vena leher akan menetukan dry
retensi cairan > Kadar natrium darah dan monitor vital weight, haluaran
& natrium 132-145 mEq/l sign urine & respon
2. Batasi masukan terhadap terapi.
cairan pada saat 3. UF & TMP yang
priming & wash out sesuai akan ↓
HD kelebihan volume
3. Lakukan HD cairan sesuai dg
dengan UF & TMP target BB Ideal/dry
sesuai dg kenaikan weight
bb interdialisis 4. Sumber kelebihan
4. Identifikasi sumber cairan dapat
masukan cairan diketahui
masa interdialisis 5. Pemahaman ↑
5. Jelaskan pada kerjasama klien &
keluarga & klien keluarga dalam
rasional pembatasan pembatasan cairan
cairan

3. Intoleransi Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi faktor yang 1. Menyediakan


aktivitas b.d keperawatan & HD, menimbulkan informasi tentang
keletihan, selama ...x... jam keletihan: Anemia, indikasi tingkat
anemia, diharapkan klien mampu Ketidakseimbangan keletihan
retensi produk berpartisipasi dalam cairan & elektrolit, 1. Meningkatkan
sampah dan aktivitas yang dapat Retensi produk aktifitas
prosedur ditoleransi, dengan kriteria sampah depresi ringan/sedang &
dialisis hasil: 2. Tingkatkan memperbaiki harga
> Berpartisipasi dalam kemandirian dalam diri
aktivitas perawatan aktifitas perawatan 2. Mendorong latihan
mandiri yang dipilih diri yang dapat & aktifitas yang
> Berpartisipasi dalam ↑ ditoleransi, bantu jika dapat ditoleransi &
aktivitas dan latihan keletihan terjadi istirahat yang
> Istirahat & aktivitas 3. Anjurkan aktivitas adekuat
seimbang/bergantian alternatif sambil 3. Istirahat yang
istirahat adekuat dianjurkan
4. Anjurkan untuk setelah dialisis,
istirahat setelah karena adanya
dialisis perubahan
keseimbangan
cairan & elektrolit
yang cepat pada
proses dialisis
sangat melelahkan
4. Gangguan Setelah diberikan asuhan 1. Kaji status nutrisi, 1. Menyediakan data
nutrisi kurang keperawatan selama ...x... perubahan BB, dasar untuk
dari jam diharapkan masukan pengukuran memantau
kebutuhan nutrisi adekuat dengan antropometri, nilai perubahan dan
tubuh kriteria hasil: laboratorium mengevaluasi
berhubungan Kriteria hasil : Pengukuran (elektrolit serum, intervensi.
dengan intake antropometri dalam batas BUN, kreatinin, 2. Pola diet sekarang
inadekuat, normal, perlambatan atau protein, dan kadar dan dahulu dapat
mual, muntah, penurunan berat badan besi). dipertimbangkan
anoreksia. yang cepat tidak terjadi, 2. Kaji pola diet dan dalam menyusun
pengukuran albumin dan nutrisi, makanan menu.
kadar elektrolit dalam kesukaan, hitung 3. Menyediakan
batas normal, peneriksaan kalori. informasi mengenai
laboratorium klinis dalam 3. Kaji faktor-faktor faktor lain yang
batas normal, pematuhan yang dapat merubah dapat diubah atau
makanan dalam masukan nutrisi dihilangkan untuk
pembatasan diet dan misalnya adanya meningkatkan
medikasi sesuai jadwal anoreksia, mual dan masukan diet.
untuk mengatasi muntah, diet yang 4. Mendorong
anoreksia. tidak menyenangkan peningkatan
bagi pasien, kurang masukan diet.
memahami diet. 5. Mengurangi
4. Menyediakan makanan dan
makanan kesukaan protein yang
pasien dalam batasan dibatasi dan
diet. menyediakan kalori
5. Anjurkan camilan untuk energi,
tinggi kalori, rendah membagi protein
protein dan natrium untuk pertumbuhan
diantara waktu dan penyembuhan
makan. jaringan.

5. Penurunan Setelah diberikan asuhan 1. evaluasi adanya 1. memonitor


COP b.d keperawatan selama ...x... nyeri dada ketidakefektifan
perubaan jam diharapkan jantung 2. catat tanda gejala curah jantung
preload memompa secara efektif perubahan cop 2. mengidentifikasi
dengan kriteria hasil: 3. monitor status tanda2 payah
-TTV dbn kardiovaskuler jantung
-tidak kelelahan 4. hindari kelelahan 3. mengetahui kondisi
5. anjurkan kesehatan jantung
menurunkan stress 4. mencegah payah
6. monitor jantung
toleransiaktivitas 5. mencegah beban
pasien jantung terlalu berat
6. memantau agar
beban jantung tidak
terlalu berat
6. gangguan Setelah diberikan asuhan 1. Jaga kebersihan kulit 1. mempertahankan
integritas keperawatan selama ...x... 2. Oles lotion pada kesehatan kulit
kulit b.d jam diharapkan integritas daerah yang kering 2. menjaga kelembaban
kerusakan kulit membaik dengan 3. Mandi dengan sabun kulit
lapis kulit kriteria hasil: dan air hangat 3. menjaga kebersihan
-terhidrasi 4. monitor status nutrisi kulit
-temperatur dbn 4. memantau asupan
-lembab yang baik untuk
kulit

DAFTAR PUSTAKA
Baradero, M., Dayrit, M W., dan Siswadi, Y S. 2009. Buku keperawatan Klien Gangguan
Ginjal. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. 2016.  Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 12. Jakarta: EGC
Cheawchanwattana, A., Chunlertrith, D., Saisunantararom, W., dan Johns, N P. 2015. Does
the Spiritual Well-Being of Chronic Hemodialysis Patients Differ from that of
Pre-dialysis Chronic Kidney Disease Patients. Religions Article ;
doi:10.3390/rel6010014 http://www.mdpi.com/journal/religions
Isroin L . 2017. Adaptasi Psikologis Pasien Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal
Edunursing, ISSN : 2549-8207. Vol. 1, No. 1, Universitas Muhammadiyah
Ponorogo. http://journal.unipdu.ac.id
Kememkes RI. 2017. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. http://kemkesRI.go.id/
[Diakses : 5 Februari 2018].
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). 2014. Clinical Practice Guideline
For Evaluation And Management Of Chronic Kidney Disease.
http://kdigo.org/wp-content/uploads/2017/04/KDIGO-CKD-Guideline-
Manila_Kasiske.pdf [Diakses : 12 Februari 2018].
Mailani, F. 2017. Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisis: Systematic Review. Volume11, No1, Maret 2015. ISSN1907-686X.
http://ners.fkep.unand.ac.id/index.php/ners/article/view/11 [Diakses : 1 Februari
2018].
Mayuda, A. Chasani, S., dan Saktini, F. 2017. Hubungan Antara Lama Hemodialisis
Dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik Di Rsup Dr.Kariadi
Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Semarang. ISSN Online : 2540-8844
https://ejournal3. undip.ac.id/index.php/medico/ article/ view/18531 [Diakses : 2
Februari 2018].
Muhammmad, A. 2012. Serba-Serbi Gagal Ginjal. Yogyakarta : DIVA Press
Muttaqin, A., & Sari, K. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta : Salemba Medika
Nurarif & Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan NANDA NOC NIC jilid 2.
Jogjakarta : mediaction.
O’Callaghan, C. 2009. At a Glance Sistem Ginjal. Edisi 2. Jakarta : Erlangga
Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika
PERNEFRI. 2015. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. 8th Report of Indonesian Renal
Registry. https://www.indonesianrenalregistry.org/data/INDONESIAN
%20RENAL%20 REGISTRY%202015.pdf [Diakses : 1 Februari 2018].
PERNEFRI. 2015. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Dalam Kusumawati, A H. Amalia.,
Gondodiputro, R S., dan Rahayu, C. 2016. Pengaruh Pemberian Obat
Antihipertensi Terhadap Kualitas Hidup Pasien Hipertensi Dengan Gangguan
Ginjal Kronik Di Instalasi Hemodialisa Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal
Sains dan Ilmu Farmasi. Bandung, Vol. 1 No . ISSN: 2527-5801 November 2016.
http://journal.ubpkarawang.ac.id/index.php/Farmasi/article/download/114/105
[Diakses : 1 Februari 2018].
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan RI. http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20
Riskesdas%202013.pdf [Diakses : 3 Februari 2018].
Smeltzer & Bare. 2010. Buku Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Wijaya, A S., & Putri, Y M. 2013. KMB Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan
Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika
Bilotta, kimberly. 2012. Kapita Selekta Penyakit. Jakarta: EGC
Mutaqqin, Arif & Kumala Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai