Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CKD STAGE 5


DI RUANG ICU RSU HAJI SURABAYA

Disusun Oleh:

JAUHARI ATTABRANI

20224663021

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2022
1. Konsep Dasar Penyakit

a) Definisi

Penyakit Gagal Ginjal Kronik merupakan sebuah penurunan fungsi ginjal

dalam jangka waktu menahun yang menyebabkan kerusakan jaringan yang

progresif. Tahap terakhir dari gagal ginjal kronik yaitu gagal ginjal terminal

yang merupakan keadaan fungsi ginjal sudah sangat buruk. Tes klirens keatinin

dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan dari gagal ginjal kronik dengan

gagal ginjal terminal (Divanda et al., 2019).

Gagal ginjal kronik adalah suatu kerusakan fungsi ginjal progresif sehingga

menyebabkan terjadinya uremia atau biasa disebut dengan kelebihan urea dalam

darah. Gagal ginjal kronik merupakan terjadinya penurunan fungsi ginjal dalam

jangka waktu menahun yang menyebabkan tubuh gagal menjaga keseimbangan

metabolisme dan cairan elektrolit. Penyakit gagal ginjal kronik tahap akhir

ditandai dengan penurunan keadaan fungsi ginjal irreversible dan pada suatu

derajat diperlukan tindakan transpaltasi ginjal (Rahayu, 2018).

b) Etiologi

Etiologi memegang peranan penting dalam memperkirakan perjalanan klinis

PGK dan penanggulangannya. Penyebab primer PGK juga akan mempengaruhi

manifestasi klinis yang akan sangat membantu diagnosa, contoh: gout akan

menyebabkan nefropati gout. Penyebab terbanyak PGK pada dewasa ini adalah

nefropati DM, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal herediter seperti

ginjal polikistik dan sindroma alport, uropati obstruksi, dan nefritis interstisial

(Irwan, 2016).
Sedangkan di Indonesia, penyebab PGK terbanyak adalah glomerulonefritis,

infeksi saluran kemih (ISK), batu saluran kencing, nefropati diabetik,

nefrosklerosis hipertensi, ginjal polikistik, dsb (Irwan, 2016). Berikut etiologi

dalam CKD (Martin, 2017):

1) Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi saluran kemih),

glomerulonefritis (penyakit peradangan). Pielonefritis merupakan proses

infeksi peradangan yang biasanya mulai di renal pelvis, saluran ginjal yang

menghubungkan ke saluran kencing (ureter) serta parencyma ginjal atau

jaringan ginjal. Glomerulonefritis disebabkan oleh salah satu dari banyak

penyakit yang merusak baik glomerulus maupun tubulus. Pada tahap penyakit

berikutnya keseluruhan kemampuan penyaringan ginjal sangat berkurang.

2) Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis

maligna, stenosis arteria renalis Disebabkan oleh terjadinya kerusakan

vaskulararisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah akut dan

kronik.

3) Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis

nodosa, sklerosis sistemik progresif Disebabkan oleh kompleks imun dalam

sirkulasi yang ada dalam membran basalis glomerulus dan menimbulkan

kerusakan (Price, 2006). Penyakit peradangan kronik dimana sistem imun

dalam tubu menyerang jaringan sehat, sehingga menimbulkan gejala

diberbagai organ.

4) Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,

asidosis tubulus ginjal. Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista

multiple, bilateral, dan berekspansi yang lambat akan mengganggu dalam


menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan, semakin lama

ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal sehingga ginjal akan

menjadi rusak.

5) Penyakit metabolik misalnya DM (Diabetes Mellitus), hiperparatiroidisme,

amiloidosis. Penyebab terjadinya dimana kondisi genetik yang ditandai

dengan adanya kelainan dalam proses metabolisme dalam tubuhakibat

defisiensi hormon serta enzim. Proses metabolisme merupakan proses

memecahkan karbohidrat protein, dan lemak dalam makanan untuk

menghasilkan energi.

6) Nefropati toksik misalnya penyalah gunaan analgesik, nefropati timbal.

Penyebab penyakit yang dapat dicagah bersifat refersibel, sehingga

penggunaan berbagai prosedur diagnostik.

7) Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,

fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat,

striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

Batu saluran kencing menyebabkan hidrolityasis adalah penyebab gagal

ginjal pada benda padat yang dibentuk oleh presipitasi berbagai zat terlarut dalam

urin pada saluran kemih.

c) Klasifikasi

Tabel 2.1 Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD)

Stadium Deskripsi LFG


(mL/menit/1.73m)
1 Fungsi ginjal normal, tetapi temuan urin >90
abnormalitas struktur/ciri genetik menunjukkan
adanya penyakit ginjal
2 Penurunan ringan fungsi ginjal akibat 60-89
kerusakan ginjal, belum terasa gejala yang
mengganggu
3 Penurunan sedang fungsi ginjal akibat 30-59
kerusakan ginjal, namun masih dapat
dipertahankan
4 Penurunan berat fungsi ginjal akibat kerusakan 15-29
ginjal yang sudah masuk tingkat
Membahayakan
5 Gagal ginjal yaitu kerusakan ginjal parah yang <15
mengharuskan dilakukan terapi hemodialisa atau
transplantasi ginjal
(The Renal Association, 2013)

Rumus perhitungan LFG :

gfr pada laki-laki = (140 – umur) x kg BB / (72 x serum kreatinin)

gfr pada perempuan = (140 – umur) x kg BB x 0,85 / (72 x serum kreatinin)

d) Patofisiologi

Patofisiologi awal dari penyakit gagal ginjal kronik sesuai dengan penyakit

yang mendasarinya namun proses selanjutnya mayoritas sama. Dari berbagai

macam penyebabnya seperti nefropati DM, penyakit ginjal turunan, darah tinggi

maupun infeksi yang terjadi pada saluran kemih yang kemudian menimbulkan

rusaknya glomerulus diteruskan dengan terjadinya kerusakan pada nefron yang

terdapat pada glomerulus sehingga nilai Glomerulus Filtration Rate mengalami

penurunan, hal ini akan memicu terjadinya penyakit gagal ginjal kronik dimana

fungsi ginjal akan terjadi ketidakstabilan pada proses ekskresi maupun sekresi.

Hilangnya kadar protein yang mengandung albumin serta antibodi yang

disebabkan karena kerusakan pada glomerulus akan menyebabkan tubuh mudah

terinfeksi dan aliran darah akan mengalami penurunan (Divanda, 2019).

Patofisiologi penyakit gagal ginjal kronik tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangannya proses yang terjadi sama.

Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional

nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti dengan peningkatan tekanan

kapiler dan aliran darah glomerulus (Meita, 2020).

(Rahayu, 2018) mengemukakan perubahan pada fungsi ginjal semakin lama

jangka waktu yang dibutuhkan memungkinkan terjadinya kerusakan yang jauh

lebih parah pada suatu nefron. Luka scerotik akan menyebabkan glomelurus

mengurangi fungsi ginjal yang kemudian tindak lanjut pada pasien dengan darah

tinggi pada gagal ginjal dapat dikondisikan. Jika penyakit ini tidak segera

ditangan kemungkinan terjadinya gagal ginjal akan meningkat. Kelainan pada

fungsi ginjal biasanya sering dialami oleh orang yang sudah dewasa. Kelainan

ginjal berdasarkan waktunya dibagi menjadi dua yaitu gagal ginjal kronik serta

gagal ginjal akut. Gagal ginjal akur merupakan penurunan fungsi pada ginjal yang

terjadi secara mendadak.

e) Manifestasi Klinis

Tanda dan Gejala dari penyakit Gagal Ginjal Kronis menurut Smeltzer dan

bare adalah (Irwan, 2019):

1) Hipertensi

2) Turgor kulit menurun

3) Asidosis Metabolik

4) Penurunan Konsentrasi

5) Gangguan Pernafasan

6) Oedema

f) Komplikasi

Komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis adalah

(Egziabher & Edwards, 2013):


1) Penyakit tulang

Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan

mengakibatkan dekalsifikasi matriks tulang, sehingga tulang akan menjadi

rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung lama akan menyebabkkan fraktur

pathologis.

2) Penyakit kardiovaskuler

Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara

sistemikberupa hipertensi, kelainan lipid, ntoleransi glukosa, dan kelainan

hemodinamika (hipertropi ventrikel kiri).

3) Anemia

Sekresi eritropoetin yang mengalami defisiensi di ginjal akan mengakibatkan

penurunan hemoglobin.

4) Disfungsi seksual

Akibat gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami

penurunan dan terjadi impotensi oleh pria. Pada wanita terjadi

hiperprolaktinemia.

g) Pemeriksaan Penunjang

Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu

pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi

antara lain (Martin, 2017):

1) Hematologi (Hemoglobin, Hematokrit, Eritrosit, Leukosit, Trombosit)

2) RFT (Renal Fungsi Test) (Ureum dan Kreatinin)

3) LFT (Liver Fungsi Test) ? Elektrolit (Klorida, kalium, kalsium)

4) Koagulasi studi PTT, PTTK


5) BGA

(1) BUN/ Kreatinin : meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar

kreatinin 10mg/dl diduga tahap akhir (rendahnya yaitu 5).

(2) Hitung darah lengkap : hematokrit menurun, HB kurang dari 7-8 g/dl.

(3) SDM : waktu hidup menurun pada defisiensi erritripoetin seperti

azotemia. AGD : penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7:2) akan

terjadi kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan hidrogen dan

amonia atau hasil akhir katabolisme protein bikarbonat menurun PC02 .

(4) Kalium : peningkatan sehubungan dengan adanya retensi sesuai dengan

perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan hemolisis pada

tahap akhir perubahan EKG tidak terjadi kalium 6,5 atau lebih besar.

6) Urine rutin

Pemeriksaan urin rutin meliputi pemeriksaan fisik, kimia, dan mikroskopis

untuk mendeteksi dan/atau mengukur beberapa zat dalam urin seperti produk

sampingan dari metabolisme yang normal dan abnormal, sel, fragmen sel, dan

bakteri.

7) Urine khusus

Benda keton, analisa kristal batu

(1) volume : kurang dari 400ml/jam, oliguri, anuria

(2) warna : abnormal urine keruh, disebabkan bakteri, partikel, koloid dan

fosfat.

(3) Sedimen : kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, mioglobin,

porfirin.

(4) Berat jenis : kurang dari 1.015 (menetap pada 1,015) menunjukkan
kerusakan ginjal berat

8) ECO

(1) EKG : kemungkinan abnormal untuk menunjukkan

keseimbangan elektrolit dan asam basa.

(2) Endoskopi ginjal : dilakukan secara endoskopik untuk

menenjukkan pelvis ginjal, pengangkatan tumor selektif.

9) USG abdominal, CT scan abdominal, BNO/IVP, FPA, Renogram, RPG

(Retio Pielografi)

h) Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan ialah menjaga keseimbangan cairan elektrolit serta

mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut (Najikhah, 2020):

1) Dialisis

Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah komplikasi gagal ginjal yang

serius, seperti hyperkalemia, pericarditis, serta kejang. Dialisis memperbaiki

abnormalitas biokimia, yang menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat

dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan serta

membantu penyembuhan luka. Dialisis dikenal dengan cuci darah ialah salah

satu metode terapi yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal

yang membuang zat-zat sisa serta kelebihan cairan dari tubuh. Terapi ini

dilakukan apabila fungsi kerja ginjal sudah sangat rendah (lebih dari 90%)

sehingga tidak lagi untuk menjaga kelangsungan hidup individu, maka perlu

dilakukan terapi

2) Koreksi Hiperkalemi

Mengendalikan kalium darah sangat penting oleh karena hiperkalemi dapat


menimbulkan kematian mendadak. Hal pertama yang harus diingat ialah

jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah,

hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG serta EKG. Bila terjadi

hiperkalemia, maka pengobatannya ialah dengan mengurangi intake kalium,

pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.

3) Koreksi Anemia

Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi factor defisiensi, kemudian

mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian

gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Tranfusi darah

hanya dapat diberikan bila adanya indikasi yang kuat, contoh adanya

infusiensi coroner.

4) Koreksi Asidosis

Pemberian asam melalui makanan serta obat-obatan yang harus dihindari.

Natrium Bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan

100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan

dapat diulang. Hemodialisis serta dialisis peritoneal dapat juga mengatasi

asidosis.

5) Pengendalian Hiperetensi

Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan vasodilatator perlu

dilakukan Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi

harus berhati-hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi

natrium.

6) Transplantasi Ginjal

Dengan pencakokkan ginjal yang sehat pasien gagal ginjal kronik, maka
seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru
2. WOC

Nefropati DM Hipertensi ISK Nefropati Toksik

Kerusakan Glomerolus

Kerusakan nefron pada lomerulus

Penurunan Glomerolus Filtration Rate

CKD

B1 B2 B3

Adanya urea di rongga paru Vasokontraksi


Hiperkarbic

Asidosis metabolic/alkalosis Hipertensi Sirkulasi serebral


respiratorik terganggu

Gangguan konduksi Penurunan kesadaran


D.0003 jantung
GANGGUAN
PERTUKARAN GAS
Retensi Natrium dan Air
D.0143
RESIKO JATUH

D.0008
PENURUNAN CURAH
JANTUNG

D.0008
PERFUSI PERIFER TIDAK
EFEKTIF
B4 B5 B6

Gangguan fungsi Gangguan Kelebihan urea dalam darah


metabolisme
ginjal kompleks (Hipoalbumin)

Retensi Na dan Air Anoreksia, Mual, Kulit kering dan pecah-pecah


Muntah

Penurunan produksi Penurunan intake Resiko decubitus


urin nutrsisi

Anuria D.0019 D.0129

DEFISIT GANGGUAN INTEGRITAS

NUTRISI KULIT

D.0022

HIPERVOLEMIA
D.0040
Adanya nyeri pinggul
GANGGUAN
Infeksi saluran Kemih ELIMINASI URIN

Keterbatasan gerak
Respon hipotalamus dan sendi
Pelepasan mediator Kimia

D.0056

D.0077 INTOLERANSI
AKTIVITAS
NYERI AKUT
3. Konsep Asuhan Keperawatan

a) Pengkajian

Pengkajian keperawatan pada Gagal Ginjal Kronik menurut Hidayat

(2014), sebagai berikut :

1) Identitas : Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut

(50 – 70 tahun), usia muda, dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi

70 % pada laki - laki. Laki-laki sering memiliki resiko lebih tinggi terkait

dengan ginjal mengalami kegagalan filtrasi. pekerjaan dan pola hidup

sehat. Gagal ginjal kronis merupakan periode lanjut dari insidensi gagal

ginjal akut, sehingga tidak berdiri sendiri.

2) Keluhan Utama : Keluhan utama sangat bervariasi, terlebih jika

terdapat penyakit sekunder yang menyertai. Keluhan bisa berupa urine

output yang menurun (oliguria) sampai pada anuria, penurunan kesadaran

karena komplikasi pada sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan

muntah, dialoresis, fatigue, napas berbau urea, dan pruritus. Kondisi ini

dipicu oleh karena penumpukkan (akumulasi) zat sisa metabolisme/toksin

dalam tubuh

3) Riwayat Penyakit Sekarang : Pada klien dengan gagal ginjal kronis

biasanya terjadi penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan

pola napas karena komplikasi dari gangguan sistem ventilasi, fatigue,

perubahan fisiologis kulit, bau urea pada napas. Selain itu, karena

berdampak pada proses (sekunder karena intoksikasi), maka akan terjadi

anoreksi, nausea dan vomit sehingga beresiko untuk terjadinya gangguan

nutrisi.
4) Riwayat Penyakit Dahulu : Gagal ginjal kronik dimulai dengan

periode gagal ginjal akut dengan berbagai penyebab (multikausa). Oleh

karena itu, informasi penyakit terdahulu akan menegaskan untuk

penegakan masalah. Kaji riwayat ISK, payah jantung, penggunaan obat

berlebihan (overdosis) khsuusnya obat yang bersifat nefrotoksik, BPH, dan

lain sebagainya yang mampu mempengaruhi kerja ginjal. Selain itu, ada

beberapa penyakit yang berlangsung mempengaruhi atau menyebabkan

gagal ginjal yaitu diabetes mellitus, hipertensi, batu saluran kemih

(urolithiasis)

5) Riwayat Kesehatan Keluarga : Gagal ginjal kronis bukan penyakit

menular dan menurun, sehingga sisilah keluarga tidak terlalu berdampak

pada penyakit ini. Namun, pencetus sekunder seperti DM dan hipertensi

memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit gagal ginjal kronis, karena

penyakit tersebut bersifat herediter. Kaji pola kesehatan keluarga yang

diterapkan jika ada anggota keluarga yang sakit, misalnya minum jamu

saat sakit

Riwayat Psikososial : Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien

memiliki koping adaptif yang baik. Pada klien gagal ginjal kronis,

biasanya perubahan psikososial terjadi pada waktu klien mengalami

perubahan struktur fungsi tubuh dan menjalani proses dialisa. Klien akan

mengurung diri dan lebih banyak berdiam diri (murung). Selain itu,

kondisi ini juga dipicu oleh biaya yang dikeluarkan selama proses

pengobatan, sehingga klien mengalami kecemasan Pemeriksaan Fisik :

1) Keadaan umum
Keadaan umum klien dengan gagal ginjal kronik biasanya lemah.

(fatigue), tingkat kesadaran bergantung pada tingkat toksisita

2) Tanda vital

Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas

cepat (tachypneu), dyspnea

3) Pemeriksaan body systems

(1) B1: Breathing : Adanya bau urea pada bau napas.

Jika terjadi komplikasi pada asidosis atau alkalosis respiratorik maka

kondisi pernapasan akan mengalami patologis gangguan. Pada napas akan

semakin cepat dan dalam sebagi bentuk kompensasi tubuh mempertahankan

ventilasi (kussmaul)

2) (B2: Blood) : Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian

gagal ginjal kronis salah satunya adalah hipertensi. Tekanan darah yang

tinggi di atas ambang kewajaran akan mempengaruhi volume vaskuler.

Stagnasi ini akan memicu retensi natrium dan air sehingga akan

meningkatkan beban jantung. Ditemukan adanya friction pada kondisi

uremia berat. Selain itu, biasanya terjadi TD meningkat, akral dingin, CRT

>3 detik. Palpatasi jantung, chest pain, dsypneu, gangguan irama jantung

dan gangguan sirkulasi lainnya. Kondisi ini akan semakin parah jika zat sisa

metabolisme semakin tinggi dalam tubuh karena tidak efektif dalam

ekskresinya. Selain itu, pada fisiologis darah sendiri sering ada gangguan

anemia karena penurunan eritropoetin

3) B3: Brain : Penurunan kesadaran terjadi jika telah mengalami

hiperkarbic dan sirkulasi cerebral terganggu. Oleh karena itu, penurunan


kognitif dan terjadinya disorienntasi akan dialami klien gagal ginjal kronis

4) B4: Bladder : Dengan gangguan/kegagalan fungsi ginjal secara

kompleks (filtrasi, sekresi, reabsorbsi dan ekskresi), maka manifestasi yang

paling menonjol adalah penurunan urine <400 ml/hari bahkan sampai pada

anuria (tidak adanya urine output)

5) B5: Bowel : Didapatkan gangguan mual dan muntah, anoreksia,

dan diare sekunder. Peradangan mukosa mulut, ulkus saluran cerna,

sehingga penurunan intake nutrisi dari kebutuhan

6) B6: Bone dan Integumen : Dengan penurunan/kegagalan fungsi

sekresi pada ginjal maka berdampak pada proses demineralisasi tulang

sehingga resiko terjadinya osteoporosis tinggi. Adanya nyeri panggul, sakit

kepala kram otot, dan terjadi keterbatasan gerak sendi.

b) Diagnosa Keperawatan

1) Defisit Nutrisi

2) Gangguan eliminasi urin

3) Gangguan integritas kulit

4) Gangguan pertukaran gas

5) Hipervolemia berhubungan

6) Intoleransi aktivitas

7) Nyeri akut

8) Penurunan curah jantung

9) Perfusi perifer tidak efektif

10) Resiko jatuh


c) Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan Keperawatan
Hipervolemia Setelah dilakukan asuhan Manajemen Hipervolemia
berhubungan keperawatan diharapkan (I.03114)
dengan keseimbangan cairan meningkat
kelebihan asupan cairan L.03020 Observasi
dan natrium Kriteria Hasil:
1. Periksa tanda dan
1. Asupan cairan meningkat gejala hypervolemia
SDKI, 2016 D.0020 2. Output urin meningkat (mis: ortopnea,
Kategori: 3. Membrane mukosa lembab dispnea, edema,
Fisiologis Subkategoris: meningkat JVP/CVP meningkat,
Nutrisi dan Cairan 4. Edema menurun refleks hepatojugular
5. Dehidrasi menurun positif, suara napas
6. Tekanan darah membaik tambahan)
7. Frekuensi nadi membaik 2. Identifikasi penyebab
8. Kekuatan nadi membaik hypervolemia
9. Tekanan arteri rata-rata 3. Monitor status
membaik hemodinamik (mis:
10.Mata cekung membaik frekuensi jantung,
11.Turgor kulit membaik tekanan darah, MAP,
CVP, PAP, PCWP,
CO, CI) jika tersedia
4. Monitor intake dan
output cairan
5. Monitor tanda
hemokonsentrasi (mis:
kadar natrium, BUN,
hematokrit, berat jenis
urine)
6. Monitor tanda
peningkatan tekanan
onkotik plasma (mis:
kadar protein dan
albumin meningkat)
7. Monitor kecepatan
infus secara ketat
8. Monitor efek samping
diuretic (mis: hipotensi
ortostatik,
hypovolemia,
hipokalemia,
hiponatremia)

Terapeutik
1. Timbang berat badan
setiap hari pada waktu
yang sama
2. Batasi asupan cairan
dan garam
3. Tinggikan kepala
tempat tidur 30 – 40
derajat

Edukasi

1. Anjurkan melapor jika


haluaran urin < 0,5
mL/kg/jam dalam 6
jam
2. Anjurkan melapor jika
BB bertambah > 1 kg
dalam sehari
3. Ajarkan cara
membatasi cairan

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian
diuretic
2. Kolaborasi
penggantian
kehilangan kalium
akibat diuretic
3. Kolaborasi pemberian
continuous renal
replacement therapy
(CRRT) jika perlu

Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan asuhan Perawatan Sirkulasi


efektif keperawatan diharapkan perfusi (I.02079)
berhubungan dengan perifer meningkat L.02011
peningkatan tekanan
Observasi
darah Kriteria Hasil :
1. Periksa sirkulasi
SDKI, 2016 D.0020 1. Kekuatan nadi perifer
perifer (mis: nadi
Kategori: meningkat
perifer, edema,
Fisiologis 2. Warna kulit pucat menurun
pengisian kapiler,
Subkategoris: 3. Pengisian kapiler membaik
warna, suhu, ankle-
Nutrisi dan 4. Akral membaik
brachial index)
Cairan 5. Turgor kulit membaik
2. Identifikasi faktor
risiko gangguan
sirkulasi (mis:
diabetes, perokok,
orang tua, hipertensi,
dan kadar kolesterol
tinggi)
3. Monitor panas,
kemerahan, nyeri, atau
bengkak pada
ekstremitas

Terapeutik

1. Hindari pemasangan
infus, atau
pengambilan darah di
area keterbatasan
perfusi
2. Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
3. Hindari penekanan dan
pemasangan
tourniquet pada area
yang cidera
4. Lakukan pencegahan
infeksi
5. Lakukan perawatan
kaki dan kuku
6. Lakukan hidrasi

Edukasi

1. Anjurkan berhenti
merokok
2. Anjurkan berolahraga
rutin
3. Anjurkan mengecek
air mandi untuk
menghindari kulit
terbakar
4. Anjurkan
menggunakan obat
penurun tekanan
darah, antikoagulan,
dan penurun
kolesterol, jika perlu
5. Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan
darah secara teratur
6. Anjurkan menghindari
penggunaan obat
penyekat beta
7. Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang
tepat (mis:
melembabkan kulit
kering pada kaki)
8. Anjurkan program
rehabilitasi vaskular
9. Ajarkan program diet
untuk memperbaiki
sirkulasi (mis: rendah
lemak jenuh, minyak
ikan omega 3)
10. Informasikan tanda
dan gejala darurat
yang harus dilaporkan
(mis: rasa sakit yang
tidak hilang saat
istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya
rasa).
Intoleransi Setelah dilakukan asuhan Manajemen Energi
aktivitas keperawatan diharapkan toleransi (I.05178)
berhubungan aktivitas meningkat L.05047
dengan Observasi
kelemahan Kriteria Hasil :
1. Identifikasi gangguan
1. Keluhan Lelah menurun
fungsi tubuh yang
SDKI, 2016 D.0056 2. Dispnea saat aktivitas
mengakibatkan
Kategori: menurun
kelelahan
Fisiologis Subkategori: 3. Dispnea setelah aktivitas
2. Monitor kelelahan
Aktivitas/Istirahat menurun
fisik dan emosional
4. Frekuensi nadi membaik
3. Monitor pola dan jam
tidur
4. Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas

Terapeutik

1. Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus (mis: cahaya,
suara, kunjungan)
2. Lakukan latihan
rentang gerak pasif
dan/atau aktif
3. Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
4. Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan

Edukasi

1. Anjurkan tirah baring


2. Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
3. Anjurkan
menghubungi perawat
jika tanda dan gejala
kelelahan tidak
berkurang
4. Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi kelelahan

Kolaborasi

1. Kolaborasi dengan ahli


gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

d) Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan atau disebut juga dengan pelaksanaan

keperawatan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat

utnuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status

kesehatan yang baik. Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah realisasi dari

perencanaan keperawatan (Induniasih dan Hendarsih, 2018). Tahap


pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada

nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.

Oleh karena itu, rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk

memodifikasi faktor-faktor yang memengaruhi masalah kesehatan klien

(Manurung, 2018). Adapun tahap-tahap dalam tindakan keperawatan adalah

sebagai berikut:

1. Tahap 1 : Persiapan
Tahap awal tindakan keperawatan ini perawat mengevaluasi hasil identifikasi

pada tahap perencanaan


Tahap 2 : Pelaksanaan

Fokus tahap pelaksanaan tindakan keperawatan adalah kegiatan dari

perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional. Pendekatan

tindakan keperawatan meliputi tindakan independent, dependen, dan

interdependen

2. Tahap 3 : Dokumentasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang

lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan

e) Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses

keperawatan guna tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan

tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan mengukur

keberhasilan dari rencana dan pelaksanana tindakan keperawatan yang

dilakukan dalam memenuhi kebutuhan pasien (Dinarti & Muryanti, 2017).

Menurut Dinarti dan Mulyanti (2017), evaluasi keperawatan

didokumentasikan dalam bentuk SOAP (subjektif, objektif, assessment,

planning), adapun komponen SOAP yaitu:

1. S (Subjektif) dimana perawat menemui keluhan yang masih dirasakan

klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.

2. O (Objektif), adalah data yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran

atau observasi perawat secara langsung pada pasien setelah tindakan

keperawatan.

3. A (Assessment) adalah kesimpulan dari data subjektif dan objektif

(biasanya ditulis dalam bentuk masalah keperawatan). Ketika


menentukan apakah tujuan telah dicapai, perawat dapat menarik satu dari

tiga kemungkinan simpulan, yaitu :

1) Tujuan tercapai, yaitu respons klien sama dengan hasil yang

diharapkan

2) Tujuan tercapai sebagian, yaitu hasil yang diharapkan hanya

sebagian yang berhasil dicapai

3) Tujuan tidak tercapai

3. P (Planning) adalah perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan,

dihentikan, dimodifikasi, atau ditambah dari rencana tindakan yang telah

ditentukan sebelumnya.
Daftar Pustaka

Dinarti & Mulyanti, Y. (2017). Dokumentasi Keperawatan. Edisi Pertama.


Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Dinarti & Mulyanti, Y. (2017). Dokumentasi Keperawatan. Edisi Pertama.


Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Divanda, D. ., Idi, S., & Rini, W. . (2019). Asuhan Gizi Pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik Di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul. 8–
25.

Induniasih & Hendarsih, S. (2018). Metodologi Keperawatan. Yogyakarta : PT


Pustaka Baru.

Manurung, N. (2018). Keperawatan Medikal Bedah Konsep, Mind Mapping, dan


NANDA NIC NOC. Jakarta : TIM.

Najikhah, U. (2020). Penurunan Rasa Haus Pada Pasien Chronic Kidney Disease
(CKD) Dengan Berkumur Air Matang.
https://doi.org/10.26714/nm.v1i2.5655

PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik. Jakarta : DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI

Rahayu, F., Fernandoz, T., & Ramlis, R. (2018). Hubungan Frekuensi


Hemodialisis dengan Tingkat Stres pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang
Menjalani Hemodialisis. Jurnal Keperawatan Silampari, 1(2), 139–153.
https://doi.org/10.31539/jks.v1i2.7

Smeltzer, C Suzanne & Bare, G Brenda. (2015). Buku Ajar Keperawatan


Medikal-Bedah Brunner&Suddarth, Ed.8, Vol.2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai