Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ICH POST CRANIOTOMY

DI RUANG ICU RSU HAJI SUARABYA

Disusun Oleh

Fredynata Anucasana

20224663019
PROGRAM PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA TAHUN
AKADEMIK 2022/2023

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medis Intracerebral Hemorrhage


1. Pengertian ICH Intracerebral Hemorrhage
Cerebrovascular Accident (CVA) atau biasa dikenal dengan nama stroke
merupakan gangguan fungsional yang terjadi di otak secara mendadak
(Rosita, Penyakit Modern yang Mematikan: Cerebrovascular Accident
(CVA), 2022). Stroke perdarahan intraserebral (Intracerebral Hemorrhage,
ICH) atau yang biasa dikenal sebagai stroke hemoragik, yang diakibatkan
pecahnya pembuluh intraserebral sehingga darah menggenangi atau menutupi
ruang – ruang jaringan sel otak dan membentuk hematoma yang
menyebabkan kerusakan jaringan di sekitarnya melalui efek mekanis yang
ditimbulkan adanya keadaan jaringan yang abnormal (lesi) fokal ataupun
kontusio yang menyebabkan jaringan dan struktur otak mengalami penekanan
dan kerusakan (mass effect) dan neurotoksisitas dari komponen darah dan
produk degradasinya, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial dan penekanan pada jaringan otak sekitar yang menyebabkan
terjadinya defisit neurologis (Setiawan, 2021).
2. Etiologi
Penyebab perdarahan intracerebral (Rosita, Mengenal Perdarahan
Intracerebral (ICH), 2022) adalah
1) Cedera kepala berat
2) Hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama menghasilkan degenerasi media,
kerusakan elastis pada lamina, dan fragmentasi otot polos arteri.
(Unnithan, Das, & Mehta, 2022)
3) Aterosklerosis serebral (penyempitan dan pengerasan pembuluh
darah arteri di serebral akibat penumpukan plak pada dinding
pembuluh darah),
4) Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya
adalah penghentian suplai darah ke otak yang menyebabkan
kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir memori,
bicara, atau sensasi.
5) Faktor Risiko Penting Lainnya (Unnithan, Das, & Mehta, 2022) :
 Merokok dan konsumsi alkohol sedang atau berat, dan
alkoholisme kronis merupakan faktor risiko yang signifikan.
 Penyakit hati kronis juga meningkatkan kemungkinan ICH
karena koagulopati dan trombositopenia.
 Penurunan kolesterol lipoprotein densitas rendah dan
trigliserida rendah juga merupakan faktor risiko.
 Terapi antiplatelet ganda memiliki peningkatan risiko ICH
dibandingkan monoterapi.
 Usia tua dan jenis kelamin laki-laki. Insiden ICH meningkat
setelah usia 55 tahun. Risiko relatif setelah 70 tahun adalah 7.
 Tumor yang lebih rentan terhadap perdarahan adalah
glioblastoma, limfoma, metastasis, meningioma, adenoma
hipofisis, dan hemangioblastoma.
3. Manifestasi klinis
Menurut Nugraha (2018) (Hutagalung, 2020), manifestasi klinik
stroke hemoragik tergantung dari sisi atau bagian mana yang terkena, rata-
rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolaretal. Pada stroke akut
gejala klinis meliputi :
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) atau
hemiplegia (paralisis) yang timbul secara mendadak. Kelumpuhan terjadi
akibat adanya kerusakan pada area motorik di korteks bagian frontal,
kerusakan ini bersifat kontralateral artinya jika terjadi kerusakan pada
hemisfer kanan maka kelumpuhan otot pada sebelah kiri. Pasien juga
akan kehilangan kontrol otot vulenter dan sensorik sehingga pasien tidak
dapat melakukan ekstensi maupun fleksi
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan Gangguan
sensibilitas terjadi karena kerusakan sistem saraf otonom dan gangguan
saraf sensorik
c. Penurunan kesadaran (Konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma)
Terjadi akibat perdarahan, kerusakan otak kemudian menekan batang
otak atau terjadinya gangguan metabolik otak akibat hipoksia
d. Afasia (kesulitan dalam berbicara) Afasia adalah defisit kemampuan
komunikasi bicara, termasuk dalam membaca, menulis memahami
bahasa. Afasia terjadi jika terdapat kerusakan pada area pusat bicara
primer yang berada pada hemisfer kiri dan biasanya terjadi pada stroke
dengan gangguan pada arteri middle serebral kiri. Afasia dibagi menjadi
tiga bagian yaitu afasia motorik, sensorik dan afasia global. Afasia
motorik atau ekpresif terjadi jika area pada Area Broca, yang terletak
pada lobus frontal otak. Pada afasia jenis ini pasien dapat memahami
lawan bicara tetapi pasien tidak dapat mengungkapkan lewat bicara.
Afasia sensorik terjadi karena kerusakan pada Area Wernicke, yang
terletak pada lobus temporal. Pada afasia sensorik pasien tidak mampu
menerima stimulasi pendengaran tetapi pasien mampu mengungkapkan
pembicaraan, sehingga respon pembicaraan pasien tidak nyambung atau
koheren. Pada afasia global pasien dapat merespon pembicaraan dengan
baik menerima maupun mengungkapkan pembicaraan.
e. Disatria (bicara cadel atau pelo) merupakan kesulitan bicara terutama
dalam artikulasi sehingga ucapannya menjadi tidak jelas. Namun
demikian pasien dapat memahami pembicaraan, menulis, mendengarkan
maupun membaca. Disatria terjadi karena kerusakan nervus kranial
sehingga terjadi kelemahan dari otot bibir, lidah dan laring. Pasien juga
terdapat kesulitan dalam mengunyah dan menelan.
f. Gangguan penglihatan (diplopia) dimana pasien dapat kehilangan penglihatan
atau juga pandangan menjadi ganda, gangguan lapang pandang pada salah
satu sisi. Hal ini terjadi karena kerusakan pada lobus temporal atau pariental
yang dapat menghambat serat saraf optik ada korteks oksipital. Gangguan
penglihatan juga dapat disebabkan karena kerusakan pada saraf kranial 2, 4
dan 6.
g. Disfagia atau kesulitan menelan terjadi karena kerusakan nervus kranial
9. Selama menelan bolus didorong oleh lidah dan gluteus menutup
kemudian makanan masuk ke esophagus.
h. Inkontenesia baik bowel maupun bladder serng terjadi hal ini karena
tergangguanya saraf yang mensyarafi bladder dan bowel.
i. Vertigo seperti mual, muntah, dan nyeri kepala, terjadi karena
peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri.
4. Klasifikasi
Stroke hemoragik dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi
perdarahannya, yaitu (Rian C. Ibrahim, 2019):
1) Perdarahan subaraknoid (SAH)
Suatu kondisi dimana terjadi perdarahan pada ruang subaraknoid.
Perdarahan subaraknoid merupakan masalah kesehatan dunia dengan
tingkat kematian dan tingkat kecatatan permanen yang tinggi (Arini
Utami Putri, 2019)
2) Perdarahan intraserebral (ICH)
Perdarahan spontan yang bukan disebabkan oleh trauma, yang
darahnya masuk parenkim otak membentuk hematoma. Akibat
perdarahan, terjadi hematoma intracerebral yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dan penekanan pada
jaringan otak sekitar yang menyebabkan terjadinya defisit neurologis.
Apabila tidak diatasi dengan cepat, dapat mengakibatkan kematian
atau kecacatan (Rosita, Mengenal Perdarahan Intracerebral (ICH),
2022)
5. Patofisiologi
Faktor resiko stroke seperti gaya hidup, Diabetes Melitus, riwayat
penyakit jantung dan sebagainya dapat menyebabkan kerja norepinefrin
dipembuluh darah meningkat sehingga tekanan darah meningkat atau
hipertensi akut. Hipertensi yang terus menerus dapat mengakibatkan
timbulnya penebalan dan degeneratif pembuluh darah yang dapat
menyebabkan rupturnya arteri serebral sehingga perdarahan menyebar
dengan cepat dan menimbulkan perubahan setempat serta iritasi pada
pembuluh darah otak. Perubahan yang terus berlanjut ini dapat
menyebabkan pembuluh darah otak (serebral) pecah sehingga terjadi
stroke hemoragik Rahmayanti (2019) dalam (Hutagalung, 2020).
Mekanisme yang sering terjadi pada stroke perdarahan
intraserebral adalah faktror dinamik yang berupa peningkatan tekanan
darah. Hipertensi kronis menyebabkan pembuluh darah arteriol yang
berdiameter 500 – 700 mikrometer mengalami perubahan yang patologik.
Perubahan tersebut berupa lipohyalinosis, fragmentasi, nekrosis, dan
mikroaneurisma pada arteri di otak. Pecahnya pembuluh darah otak
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa
atau hematom yang menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema di
sekitar otak (Unnithan, Das, & Mehta, 2022).
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM
(Arteriovenous Malformati). Aneurisma paling sering di dapat pada
percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi willis sedangkan AVM
(Arteriovenous Malformatio) dapat dijumpai pada jaringan otak di
permukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun di dalam ventrikel otak
dan ruang subarachnoid. Aneurisma merupakan lesi yang didapatkan
karena berkaitan dengan tekanan hemodinamik pada dinding arteri
percabangan dan perlekukan. Prekursor awal aneurisma adalah adanya
kantong kecil melalui arteri media yang rusak. Kerusakan ini meluas
akibat tekanan hidrostatik dari aliran darah pulsatif dan turbulensi darah,
yang paling besar berada di bifurcatio atrei. Suatu anuerisma matur
memiliki sedikit lapisan media, diganti dengan jaringan ikat, dan
mempunyai lamina elastika yang terbatas atau tidak ada sehingga mudah
terjadi ruptur. Saat aneurisma ruptur, terjadi ekstravasasi darah dengan
tekanan arteri masuk ke ruang subarachnoid dan dengan cepat menyebar
melalui cairan serebrospinal mengelilingi otak dan medulla spinalis
peningkatan tekanan intrakranial (ICP) (Unnithan, Das, & Mehta, 2022).
Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan
subarachnoid dapat mengakibatkan vasopasme pembuluh darah
serebral. Vasopasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah
timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat
menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasopasme diduga karena
interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan ke
dalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh darah arteri di ruang
subarachnoid. Ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri
kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan
hemisensorik, afasia, dan lain-lain). Otak dapat berfungsi jika kebutuhan
O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel
saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya
cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi (Wati, 2019).
6. Komplikasi
Menurut Rahmawati (2019) dalam (Hutagalung, 2020) komplikasi
yang dapat terjadi pada klien stroke hemoragik adalah sebagai berikut :
1. Fase akut
a. Hipoksia serebral dan menurunnya aliran darah otak
Pada area otak yang infark atau terjadi kerusakan karena
perdarahan maka terjadi gangguan perfusi jaringan akibat
terhambatnya aliran darah otak. Tidak adekuatnya aliran darah dan
oksigen mengakibatkan hipoksia jaringan otak. Fungsi otak akan
sangat tergantung pada derajat kerusakan dan lokasinya.
Aliran darah ke otak snagat tergantung pada tekanan darah, fungsi
jantung atau kardiak output, keutuhan pembuluh darah. Sehingga
pada pasien dengan stroke keadekuatan aliran darah sangat
dibutuhkan untuk menjamin perfusi jaringan yang baik untuk
menghindari terjadinya hipoksia serebral.
b. Edema serebri
Merupakan respon fisiologis terhadap adanya trauma jaringan.
Edema terjadi jika pada area yang mengalami hipoksia atau
iskemik maka tubuh akan meningkatkan aliran darah pada lokasi
tersebut dengan cara vasodilatasi pembuluh darah dan
meningkatkan tekanan sehingga cairan interstresial akan berpindah
ke ekstraseluler sehingga terjadi edema jaringan otak.
c. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
Bertambahnya massa pada otak seperti adanya perdarahan atau
edema otak akan meningkatkan tekanan intrakranial yang ditandai
adanya defisit neurologi seperti adanya ganggua motorik, sensorik,
nyeri kepala, gangguan kesadaran. Peningkatan teakanan
intrakranial yang tinggi dapat mengakibatkab herniasi serebral
yang dapat mengancam kehidupan
d. Aspirasi
Pasien stroke dengan gangguan kesadaran atau koma sangat rentan
terhadap adanya aspirasi karena tidak adanya reflek batuk dan
menelan
2. Komplikasi pada masa pemulihan atau lanjut
a. Komplikasi yang sering terjadi pada masa lanjut atau pemulihan,
biasanya terjadi akibat immobilisasi seperti pneumonia, dekubitus,
kontraktur, thrombosis vena dalam, atropi, inkontinensia urine.
b. Kejang, terjadi akibat kerusakan atau gangguan pada aktifitas
listrik otak
c. Nyeri kepala kronis seperti migraine, nyeri kepala tension, nyeri
kepala clauster
d. Malnutrisi, karena intake yang tidak adekuat.
7. Penatalaksanaan medis
Perdarahan intraserebral harus dirawat di ruang perawatan intensif karena
dibutuhkan pemantauan dan penanganan secara intensif untuk mencegah
kerusakan otak yang lebih luas atau komplikasi lain.21 Semua penderita yang
dirawat dengan perdarahan intraserebral di ruang rawat intensif harus
mendapat perhatian dalam hal evaluasi radiologik, menjaga adekuatnya
respirasi dan sirkulasi, pengendalian tekanan darah, pencegahan hiperglikemi,
hipotensi dan demam, pengendalian tekanan intrakranial, pengontrolan
operasi pembedahan saraf, dan pencegahan kejang (Rian C. Ibrahim, 2019) :
a) Posisi kepala dan leher
Posisi kepala harus diatur lebih tinggi sekitar 30 o -45o dengan
tujuan memperbaiki venous return. Hal ini memperbaiki drainase vena,
perfusi serebral dan menurunkan tekanan intrakranial.
b) Ventilasi dan oksigenasi
Hipoksia dan hiperkapnia dapat menyebabkan peningkatan volume
darah otak dan hipertensi intrakranial. Intubasi dan ventilasi mekanik
diindikasikan jika ventilasi atau oksigenasi tidak cukup pada pasien
dengan edema otak. Setelah pasien diintubasi, pengaturan ventilator
harus disesuaikan untuk mempertahankan PO2(tekanan oksigen dalam
darah) normal dan PCO2 (tekanan parsial karbon dioksida dalam
darah). Perlindungan jalan napas pada pasien stroke memerlukan
intervensi yang harus segera dilakukan. Perburukan keadaan pasien
stroke seperti adanya peningkatan TIK, gangguan di pusat respiratorik
yakni apnea, paralisis otot faring dan lidah yang mengakibatkan
obstruksi jalan napas, serta penurunan kesadaran merupakan indikasi
untuk diintubasi dan pemasangan ventilasi mekanik. 24 Intubasi
diindikasikan pada insufisensi ventilasi yang ditunjukkan oleh adanya
hipoksia (pO2 50 mm Hg) atau risiko aspirasi yang jelas dengan/tanpa
gangguan oksigenasi arterial.
c) Hiperventilasi
Hiperventilasi merupakan salah satu cara efektif untuk mengontrol
peninggian tekanan intrakranial dalam 24 jam pertama. Hal ini
bermanfaat agar daerah iskemi akan berperfusi baik. Bila PaCO2 <
20mmHg, aliran darah akan makin turun sehingga oksigen di otak tidak
cukup tersedia. Iskemi serebral akibat peningkatan TIK bisa pulih,
namun diganti oleh iskemi serebral karena vasokontriksi pembulh darah
serebri.
d) Terapi cairan
Kebutuhan cairan isotonik seperti NaCl 0,9% sekitar 1ml/kg/jam,
harus diberikan pada pasien sebagai standar cairan agar mendapatkan
kondisi yang euvolemik dan diuresis setiap jam harus lebih dari
0,5cc/kgbb. Pemberian cairan NaCl 0,45% atau dextrose 5% dapat
memperberat edema serebral dan meningkatkan TIK karena terjadi
perbedaan osmolaritas, yang menyebabkan cairan berpindah ke jaringan
otak yang cedera. Hipoosmolaritas sistemik (<280 mOsm/L) harus di
terapi agresif dengan manitol atau salin hipertonik 3%. Tujuan
pemberian salin hipertonik selain sebagai resusitasi cairan juga
mempertahankan osmolaritas agar tetap hipernatremi (150-155 mEq/L)
yang dapat mengurangi bengkanya sel.
e) Terapi tekanan darah
American Heart Association (AHA) telah membuat pedoman
bahwa tekanan darah sistolik lebih dari 180 mmHg atau MAP lebih dari
130 mmHg harus diterapi dengan infus obat antihipertensi terus
menerus seperti labetalol, esmolol, atau nikardipin, sedangkan terapi
oral dan sublingual sudah tidak menjadi pilihan lagi. Pada umumnya
tidak bermasalah dengan tingginya tekanan darah, tetapi MAP harus
tidak boleh berkurang 15-30% selama 24 jam pertama.
f) Terapi diuretika
Penurunan TIK yang cepat dapat dicapai dengan pemberian
diuretik.26 Dua macam diuretika yang umum digunakan yaitu osmotik
diuretik manitol dan loop diuretik furosemide. Manitol diberikan secara
bolus intravena dengan dosis 0,25 sampai 0,5gram/kgBB setiap 4 jam
dan furosemid 10 mg setiap 2 sampai 8 jam
g) Pencegahan kejang, demam, dan hiperglikemia
Pencegahan kejang akut harus dilakukan dengan pemberian
fenitoin 17mg/kgBB sebagai loading dose kemudian 100 mg setiap 8
jam. AHA memberi rekomendasi bahwa pemberian anti-epileptik
diberikan sampai 1 bulan setelah bebas dari kejang Demam atau suhu
>38,3oC pada pasien perdarahan intraserebral sering ditemui. Demam
yang tetap terjadi setelah perdarahan intraserebal memperlihatkan
outcome yang buruk. Hipertermi dapat memperburuk iskemia otak yang
telah mengalami cedera dengan melepaskan neurotransmiter
eksitotoksik, proteolisis, radikal bebas dan produksi sitokin, blood-brain
barrier compromise, dan apoptosis. Selain itu juga terjadi hipertemia,
bertambahnya edema otak, dan meningkatnya TIK. Standar umum
untuk pasien dengan suhu >38,3oC, diterapi dengan acetaminophen dan
cooling blankets. Hiperglikemi merupakan suatu prediktor poten
terhadap kematian dalam 30 hari, pada pasien diabetik atau non-
diabetik dengan perdarahan intraserebral.
h) Terapi hipotermia
Hipotermi lebih efektif bila dimulai lebih awal setelah onset gejala.
Hipotermi yang dimulai 90-120 menit menunjukkan angka ketahanan
hidup yang lebih tinggi dan luaran fungsional yang lebih baik dibanding
normotermi. Secara umum, hipotermi dibagi menjadi hipotermi berat
(suhu <28OC), hipotermi sedang/moderet (suhu 28-33oC), hipotermi
ringan (suhu 33-26OC). Saat ini, kebanyakan penelitian menggunakan
hipotermi ringan hingga sedang karena efek samping hipotermia seperti
hipokalemi, gangguan irama dan konduksi jantung, komplikasi infeksi
dan koagulasi.
i) Operasi
Berbagai jenis perawatan bedah untuk stroke hemoragik
adalah kraniotomi, kraniektomi dekompresi, aspirasi stereotactic,
aspirasi endoskopik, dan aspirasi kateter.
 Komplikasi Post Operasi Kraniotomi Laurent dalam (Susanti,
2021)
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien post operasi
kraniotomi yaitu sebagai berikut :
1) Peningkatan tekanan intrakranial
2) Perdarahan dan syok hipovolemik
3) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
4) Infeksi
Radang selaput otak terjadi pada sekitar 0,8-1,5% dari
beberapa individu yang dilakukan kraniotomi. Organisme
yang paling sering timbul adalah staphylococus auereus yang
dapat menyebabkan pernanahan. Pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menghindari infeksi pada luka yaitu dengan
perawatan luka yang memperhatikan aseptik dan antiseptic.
5) Kejang
Pasien diberikan obat anti kejang selama tujuh hari post
operasi kraniotomi. Biasanya obat yang diberikan adalah
Phenytoin, tetapi penggunaan Levetiracetam semakin
meningkat karena risiko interaksi obat yang lebih rendah.
6) Nyeri
Nyeri post operasi kraniotomi sering terjadi dan derajat
nyerinya mulai dari sedang sampai berat. Kebocoran cairan
serebrospinal menyebabkan hipotensi intratekal yang
mengakibatkan traksi pada meningen dan saraf kranial. Jika
pasien mengalami nyeri kepala yang signifikan setelah
drainase, jumlah CSF yang terkuras dapat dikurangi atau
drainase dapat dihentikan karena hal ini dapat
mengindikasikan hipotensi intrakranial yang signifikan.
7) Kematian
Menurut Johans dalam (Susanti, 2021) risiko kematian
pasien post operasi kraniotomi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain diagnosis penyakit atau cedera yang
menjadi indikasi dilakukannya kraniotomi, faktor usia, skor
GCS (Glasgow Coma Scale), komplikasi post operasi dan
beberapa faktor medis lainnya.
8. Data Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien yang mengalami stroke
hemoragik adalah sebagai berikut (Unnithan, Das, & Mehta, 2022):
a) Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke
secara spesifik misalnya pertahanan atau sumbatan arteri,
meperlihatkan secara tepat letak oklusi atau ruptur.
b) Scan tomografi komputer (Computer Tomography scan-CT scan).
Mengetahui adanya tekanan normal dan adanya trombosis, emboli
serebral, dan tekanan intrakranial (TIK). Peningkatan TIK dan
cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan
subarakhnoid dan perdarahan intrakranial. Kadar protein total
meningkat, beberapa kasus trombosis disertai proses inflamasi. CT
secara sensitif mendeteksi perdarahan subarachnoid akut, tetapi
semakin lama interval antara kejadian akut dengan CT-scan,
semakin mungkin temuan CT-scan negative. Jika SAH masih
masih dicurigai pada CT-scan normal, pungsi lumbal harus
dilakukan.
c) Fungsi lumbal. Pemeriksaan ini menunjukkan terlihatnya darah
atau siderofag secara langsung pada cairan serebrospinal.
d) Magnetic Resonance Imaging (MRI). Menunjukkan daerah infark,
perdarahan, malformasi arteriovena (MAV)
e) Ultrasonografi doppler (USG doppler). Mengidentifikasi penyakit
arteriovena (masalah sistem arteri karotis/aliran darah atau
timbulnya plak) dan arterioklerosis. Pemeriksaan sinar x kepala
dapat menunjukkan perubahan pada glandula pineal pada sisi yang
berlawanan dari massa yang meluas, klasifikasi karotis internal
yang dapat dilihat pada trombosis serebral, klasifikasi parsial pada
inding aneurisme pada perdarahan subaraknoid
f) ElektroensefalogramH(Electroencephalogram-EEG).
Mengidentifikasi masalah ada gelombang otak dan
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g) Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng
pienal daerah yang berlawanan dan massa yang meluas, klasifikasi
karotis interna terdapat pada trombosis serebral; kalsifikasi parsial
dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.
h) Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan gula darah: gula darah bisa meningkat karena
keadaan hiperglikemia.
2. Faktor risiko stroke hemoragik yang dapat dimodifikasi,
sebagian besar pasien memiliki hipertensi (82,30%), kadar
gula darah meningkat (63,54%), LDL meningkat (65,63%),
triglserida meningkat (64,58%), dan kholesterol total
meningkat (69,79%), pasien dengan kadar HDL normal lebih
banyak (48,96).
B. KONSEP VENTILATOR
Ventilasi mekanik adalah teknik pemberian bantuan napas pada
pasien dengan cara memberikan tekanan udara positif pada paru-paru
melalui jalan napas buatan, yang menghubungkan perangkat eksternal
(ventilator) dengan pasien dalam rangka mempertahankan oksigenasi. Alat
ini juga berfungsi untuk mengambil alih pekerjaan otot-otot pernapasan.
Ventilasi mekanik merupakan peralatan yang wajib tersedia pada unit
perawatan intensif atau ICU (Veterini, 2022).
Ventilasi mekanik dibutuhkan pada pasien yang menjalani operasi
dengan anestesi umum intubasi, juga pada pasien yang tidak mampu
bernapas spontan adekuat apa pun penyebabnya dengan tujuan untuk
membantu keberlangsungan hidup pasien. Indikasi penggunaan ventilasi
mekanik adalah 1) gagal napas akut; 2) dukungan suportif pasca-operasi.
Ventilasi mekanik juga dibutuhkan untuk mengistirahatkan organ-organ
tubuh dengan cara menyediakan oksigen sesuai kebutuhan dan
mengurangi usaha napas yang terlalu berlebihan karena berpotensi
menyebabkan kelelahan pada pasien. Ventilasi mekanik merupakan terapi
suportif yang digunakan untuk membantu dan/atau mengambil alih fungsi
respirasi, sementara penyakit dasarnya sedang diatasi. Penggunaan
ventilasi mekanik secara konsisten dan sesuai indikasi diharapkan dapat

memberikan hasil yang baik. Perbedaan indikasi antara intubasi dan


ventilasi mekanik dapat dilihat pada table (Veterini, 2022)
C. WEANING

Keterangan :
Rapid Shallow Breathing Index (RSBI)
D. TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengakjian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk
mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu pengumpulan
data, pengelompokan data dan merumuskan tindakan keperawatan Tarwoto
dalam (Alfikasari, 2020)
1) Identitas klen
Usia diatas 55 tahun merupakan resiko tinggi terjadinya
stroke, jenis kelamin laki – laki lebih tinggi 30 % di bandingkan
wanita, kulit hitam lebih tinggi angka kejadianya
2) Keluhan utama
Keluhan yang di dapatkan adalah gangguan motoric
kelemahan anggota gerak setelah badan, bicara pelo, dan tidak
dapat berkomunikasi, nyeri kepala, gangguan sensorik, kejang,
gangguan kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering sekali berlangsung
sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas.
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai
tidak sadar, selain gelaja kelumpukan atau gangguan fungsi otak
yang lain
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipetensi, riwayat stroke sebelumnya,
diabetes militus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,
kontrasepsi oral yang lama. Penggunaan obat-obatan anti koagulan,
aspirin, vasodilator obat-obat adiktif dan kegemukan.
5) Pemeriksan Fisik
Setelah melakukan anamnese yang mengarah pada keluhan
klien pemeriksaan fisik berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anmnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
secara persistem (B1-B6) : (Alfikasari, 2020)
1) B1 (Breathing)
Umumnya pada pasien dengan stroke hemoragic
didapatkan hasil pemeriksaan seperti Inspeksi didapatkan klien
batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Auskultasi didapatkan bunyi napas tambahan seperti ronkhi
pada klien dengan peningkatan produksi sputum dan
kemampuan batuk menurun yang sering didapatkan pada klien
stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien
dengan tingkat kesadaran compos mentis pada pengkajian
inspeksi pernafasan tidak ada kelainan. Palpasi didapatkan
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak
didapatkan bunyi napastambahan Savitri dalam (Alfikasari,
2020).
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan
(syok) hipovolemik yang sering terjadi pada klien ICH. TD
biasanya mengalami peningkatan Kidd et al dalam (Alfikasari,
2020).
3) B3 (Brain)
ICH menyebabkan berbagai defisit neurologis bergantung
pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat),
ukuran arean yang perfusinya tidak adekuat dan aliran darah
kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak
dapat membaik sepenuhnya Kidd et al (Alfikasari, 2020).
a) Tingkat Kesadaran
Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran klien ICH biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor.
b) Fungsi Serebri
a. Status mental, dimana pada klien ICH tahap lanjut biasanya
status mental mengalami perubahan
b. Fungsi intelektual, didapatkan penurunan ingatan dan memori
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan
kemampuan berhitung dan kalkulasi
c) Pemeriksaan Saraf Kranial
a. Saraf I : biasanya tidak terdapat kelainan pada fungsi
penciuman
b. Saraf II : disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien
dengan hemiplagia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai
pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokan pakaian kebagian tubuh.
c. Saraf III, IV, dan VI : apabila akibat ICH mengakibatkan
paralesis sesisi otototot okularos didapatkan penurunan
kemampuan gerakan konjungat unilateral disisi yang sakit
d. Saraf V : Pada beberapa keadaan ICH menyebabkan paralisis
saraf trigeminus, didapatkan penuruna fungsi kordinasi
gerakan mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi
lateral dan kelumpuhan sesisi otot- otot pteigoideus internus
dan eksternus.
e. Saraf VII : persepsi pengecapan normal, wajah asimetris, otot
wajah tertarik kebagian sisi yang sehat
f. Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
g. Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius
h. Saraf XII : lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi. indra pengecapan normal.
4) B4 (Bladder)
Klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara
karena konfusi. Kadangkadang kontrol sfingter eksternal
hilang atau berkurang Kidd et al dalam (Alfikasari, 2020).
5) B5 (Bowel)
Didapatkan keluhan sulit menelan, nafsu makan menurun,
jual dan muntah pada fase akut. Mual dan muntah
dihubungkandengan peningkatan produksi asam lambung
sehingga menimbulkan masalah pemebuhan kebutuhan nutrisi
Kidd et al dalam (Alfikasari, 2020).
6) B6 (Bone)
Kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
Gangguan neuron motor pada salah satu sisi tubuh.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh. Kulit
tampak pucat karena kekurangan O2, turgor kulit menurun
karena kekurangan cairan. Kemungkinan ditemukannya
dekubitus karena adanya gangguan mobilitas fisik pada klien
ICH Kidd et al dalam (Alfikasari, 2020).

2. Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2017)


1) Pola Nafas Tidak Efektif b.d ganngguan neurologis d.d pola nafas
abnormal (D.0005)
2) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d hipersekresi jalan nafas d.d
batuk tidak efektif (D.0001)
3) Resiko perfusi sebral tidak efektif d.d cedera kepala (D.0017)
4) Gangguan komunikasi verbal b.d penurunan sirkulassi serebral d.d
tidak mampu berbicara (D.0119)
5) Resiko cidera d.d perubahan fungsi kognitif (D.0136)
6) Ansitas b.d kurang terpapar informasi d.d merasa khawatir dengan
akibat dari kondisi yang di hadapi (D.0080)
7) Inkontenensia urine refleksd.b kerisakan konduksi impuls dia tas
arkus refleks (D.0045)
8) Resiko defisit nutrisi d.d ketidakmampuan menelan makanan
(D.0032)
9) Resiko hipovolemia d.d kekurangan intake cairan (D.0034)
10) Kontipasi b.d aktifitas harian kurang dari yang dianjurkan d.d
peristaltik usus menurun (D.0149)
11) Gangguan penyapihan ventilator b.d hipersekresi jalan nafas d.d
Riwayat kegagalan berulang dalam upaya penyapihan, Riwayat
ketergantungan ventilator >4 hari (D.0002)
3. Intervensi

Diagnose Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Keperawatan hasil
Bersihan jalan Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif
nafas tidak asuhan keperawatan (L01006)
efektif b.d diharapkan bersihan Observasi
hipersekresi jalan napas meningkat 1. Identifikasikemampuan
jalan nafas d.d dengan kriteria hasil: batuk
batuk tidak 1. Batuk efektif 2. Monitor adanya retensi
efektif meningkat sputum
(D.0001) 2. Produksi sputum 3. Monitor tanda dan
menurun gejala infeksi saluran
3. Mengi menurun napas
4. Wheezing menurun 4. Monitor input dan
5. Mekonium (pada output cairan (mis.
neonatus) menurun jumlah dan
6. Dispnea menurun karakteristik)
7. Ortopnea menurun Terapeutik
8. Sulit bicara menurun 1. Atur posisi semi-
9. Sianosis menurun Fowler atau Fowler
10. Gelisah menurun 2. Pasang perlak dan
11. Frekuensi nafas bengkok di pangkuan
membaik pasien
12. Pola nafas membaik 3. Buang sekret pada
tempat sputum
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif
2. Anjurkan tarik napas
dalam melalui hidung
selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik,
kemudian keluarkan
dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan)
selama 8 detik
3. Anjurkan
mengulangitarik napas
dalam hingga 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan
kuat langsung setelah
tarik napas dalam yang
ke-3
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu
Pola Nafas Setelah dilakukan Manajemen jalan napas
Tidak Efektif asuhan keperawatan 3 x L01011
b.d ganngguan 24 jam diharapkan pola Observasi
neurologis d.d napas membaik dengan 1. Monitor pola napas
pola nafas kriteria hasil: (frekuensi, kedalaman,
abnormal 1. Frekueansi nafas usaha napas)
(D.0005) 2. Monitor bunyi napas
membaik
tambahan (misalnya:
2. Penggunaan otot gurgling, mengi,
wheezing, ronchi
bantu nafas
kering)
menurun 3. Monitor sputum
(jumlah, warna,
3.
aroma)
Terapeutik
1. Pertahankan
kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw thrust
jika curiga trauma
fraktur servikal)
2. Posisikan semi-fowler
atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
6. Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak ada
kontraindikasi
2. Ajarkan Teknik batuk
efektif
Kolaborasi
1. Pemberian
bronkodilator

DAFTAR PUSTAKA

Alfikasari, F. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN GADAR DENGAN


DIAGNOSA INTRACEREBRAL HEMORRHAGE POST TREPANASI
HARI KE-4 DI RUANG ICU RUMKITAL DR. RAMELAN
SURABAYA. Surabaya, Jawa Timur. Retrieved from
http://repository.stikeshangtuah-sby.ac.id/675/1/KIA-FANI
%20ALFKASARI-1930029.pdf
Arini Utami Putri, S. G. (2019). Pendahuluan. Hubungan antara World
Federation of Neurosurgical Societies.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Bedah Syaraf. (2021, Maret 12).
Subdural Hematoma (SDH). Retrieved from Subdural Hematoma (SDH):
https://spesialis1.ibs.fk.unair.ac.id/subdural-hematoma-sdh.html
Hutagalung, J. I. (2020). Komplikasi. Sibolga, Tapanuli Tengah, Medan.
Retrieved from
http://repo.poltekkes-medan.ac.id/jspui/bitstream/123456789/2907/1/Joel
%20Ignasius%20Hutagalung.pdf
Ilmu Bedah Syaraf Fakultas kedokteran Unair. (2021, Februari 25). Epidural
Hematoma (EDH) atau Perdarahan Pada Ruang Epidural. Retrieved
from Epidural Hematoma (EDH) atau Perdarahan Pada Ruang Epidural:
https://spesialis1.ibs.fk.unair.ac.id/epidural-hematoma-edh-atau-
perdarahan-pada-ruang-epidural.html
Rian C. Ibrahim, D. C. (2019). Pendahuluan. Penanganan Pasien Perdarahan
Intraserebral di Ruang Rawat Intensif .
Rosita. (2022, Juni 17). Mengenal Perdarahan Intracerebral (ICH). Retrieved
from Mengenal Perdarahan Intracerebral (ICH):
https://ners.unair.ac.id/site/index.php/news-fkp-unair/30-lihat/2500-
mengenal-perdarahan-intracerebral-ich
Rosita. (2022, Juni 8). Penyakit Modern yang Mematikan: Cerebrovascular
Accident (CVA). Retrieved from Penyakit Modern yang Mematikan:
Cerebrovascular Accident (CVA):
http://ners.unair.ac.id/site/index.php/news-fkp-unair/30-lihat/2475-
penyakit-modern-yang-mematikan-cerebrovascular-accident-cva
SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta

SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.


Jakarta

SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta.

Setiawan, P. A. (2021). Pendahuluan. DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


STROKE HEMORAGIK.
Siloam Hospital. (2022, November 2022). Gejala Pendarahan Intraserebral.
Retrieved from Stroke Hemoragik: Pengertian, Penyebab, Gejala &
Pencegahan:
https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/stroke-
hemoragik
Susanti. (2021). Komplikasi Post Kraniotomi. Yogjakarta, Jawa Tengah.
Tarwoto. (2013). Keperawatan medikal bedah : gangguan sistem persarafan .
Jakarta: Sagung Seto.
Unnithan, A. K., Das, J. M., & Mehta, P. (2022, September 30). Etiology.
Retrieved from Hemorrhagic Stroke:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559173/
Veterini, A. S. (2022). Dasar-dasar pengatural alat ventilasi mekanik pada
pasien dewasa. Surabaya: Airlangga University Press. Retrieved from
https://www.google.co.id/books/edition/BUKU_AJAR_Dasar_Dasar_Pen
gaturan_Alat_Ve/TcChEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=0
Wati, E. A. (2019). Asuhan Keperwatan Stroke Hemoragik Pada Ny. B DAN Ny.
M Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik Di Ruang
MelatuRSUD. dr. Haryoto Lumajang tahun 2019. Lumajang.

BERITA ACARA KONSUL

Nama : Fredynata Anucasana


NIM : 20224663019
Pembimbing :
No Catatan Revisi Keterangan Paraf
.

Surabaya, / / 2023
Perceptor

Anda mungkin juga menyukai