RUANG ICU
RSUD AJIBARANG
Disusun Oleh
Pembuluh darah
Oklusi vaskuler
kaku & pecah
Proses Eritrosit
Herniasi menggumpal
metabolisme
otak terganggu
Cairan plasma
hilang
Risiko Perfusi
Peningkatan TIK
Serebral Tidak
Efektif
Penurunan Edema serebral
kesadaran
Peningkatan
Reflek batuk tidak suhu tubuh
efektif
Hipertermi
Bersihan Jalan
Sputum berlebih
Napas Tidak Efektif
G. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut (Mutiarasari, 2019) yaitu:
1. Hipoksi Serebral
Hipoksia merupakan keadaan dimana saturasi oksigen dalam darah <96% selama 5
menit., keadaan ini sering muncul setelah stroke. Dalam satu studi kecil dengan pasien
hemiparresis, 63% berkembang hipoksia dalam waktu 48 jam setelah terjadi stroke.
Umumnya hipoksia disebabkan obstruksi jalan napas, hipoventilasi, aspirasi, atelektasis,
dan pneumonia. Pasien dengan penurunan kesadaran atau disfungsi batang otak
memiliki peningkatan risiko hipoksia karena gerakan orofaring yang lemah dan
hilangnya refleks perlindungan.
2. Penurunan aliran darah serebral
Tergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritasvascular.
3. Emboli Serebral
Dapat terjadi setelah infark atau fibrilasi atrium, atau dapat terjadi akibat katup jantung
buatan
4. Disritmia
Dapat menyebabkan fluktasi curah jantung dan henti trombotik lokal.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik menurut (Sutarwi, Bakhtiar, & Rochana, 2020)
1. Angiografiserebral
Identifikasi penyebab spesifik stroke, seperti pedarahan atau penyumbatan
arteri.
2. Single-photon emission computed tomography (SPECT)
Mendeteksi daerah abnormal dan daerah otak yang mendeteksi,
menemukan, dan mengukur stroke (sebelum muncul pada pemindaian
CTScan).
3. Computed tomography scan (CT-Scan)
Pemindaian ini menunjukkan lokasi edema, lokasi hematoma, keberadaan
dan lokasi pasti infark atau iskemia di jaringan otak. Pemeriksaan ini
harus segera kurang dari 12 jam dilakukan pada kasus dugaan perdarahan
subarachnoid. Bila hasil CT Scan tidak menunjukkan adanya perdarahan
subarachnoid, maka langsung dilanjutkan dengan tindakan fungsi lumbal
untuk menganalisa hasil cairan serebrospinal dalam kurun waktu 12 jam.
Kemudian dilanjutkan pemeriksaan spektrofotometri cairan serebrospinal
untuk mendeteksi adanya xanthochro xanthochromia.
4. MRI
Hasil yang diperoleh dengan menilai lokasi dan derajat perdarahan otak
menggunakan gelombang magnet adalah lesi dan infark karena
perdarahan. MRI tidak dianjurkan untuk mendeteksi perdarahan dan tidak
disarankn untuk mendeteksi perdarahn subarachnoid.
5. Elektroencefalography
Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak atau mungkin
memperlihatkan lesi yang spesifik
6. Sinar X tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar pineal daerah yang berlawanan dari
masa yang luas, klasifikasi karotis interna terdapat trhombus serebral.
Klasifikasi parsial dinding, aneurisme pada perdarahan subarchnoid.
7. Ultrasonography doopler
Mengidentifikasi penyakit ateriovena (masalah system kronis/aliran
darah, muncul plaque/aterosklerosis).
8. Pemeriksaan foto thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, dimana pembesaran ventrikel
kiri merupakan tanda hipertensikronis pada penderita stroke.
Menggambarkan kelenjar pineal daerah berlawanan dari massa yang
meluas.
9. Pemeriksaan labolatorium
a. Fungsi lumbal : Tekanan normal biasanya ada trhombosis, emboli dan
TIA. Sedangkan tekanan yang meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan subarchnoid atau
intrakranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trhombosis
sehubungan dengan proses inflamasi.
b. Pemeriksaan darah rutin
c. Pemeriksaan kimia darah : Pada stroke akut dapat terjadi
hiperglikemia.
I. Penatalaksanaan
Penanganan stroke merupakan salah satu kunci penting dalam mengurangi
kematian dan meminimalkan kerusakan otak yang ditimbulkan oleh stroke
adalah dengan memberikan penanganan yang cepat dan tepat. Jika
penanganan stroke diberikan lebih dari rentang waktu (golden hour) maka
kerusakan neorologis yang dialami pasien stroke akan bersifat permanen.
Fassbender (2017) menyatakan bahwa waktu yang paling direkomendasikan
pada pasien stroke adalah 3-4,5 jam yang disebut dengan golden hour.
1. Menurut (Unnithan & Mehta, 2022) Penatalaksanaan farmakologis sebagai berikut:
a. Manajemen tekanan darah
Peningkatan tekanan darah adalah faktor risiko paling umum untuk ICH.
Hipertensi akut adalah pendorong utama ekspansi hematoma dini, sehingga kontrol
tekanan darah yang agresif sangat diperlukan sebagai tindakan untuk mencegah
perluasan perdarahan dan menjadi fokus utama manajemen awal ICH. Kontrol
tekanan darah yang tepat dan tepat diperlukan tanpa menginduksi hipotensi,
sehingga agen titrasi kerja cepat seperti nicardipine digunakan dalam manajemen
awal. Pada fase akut, sebaiknya menghindari obat antihipertensi yang
meningkatkan tekanan intrakranial, terutama hydralazine, nitroprusside, dan nitro-
gliserin. Pengobatan antihipertensi akut untuk pasien dengan ICH bermanfaat dan
aman dengan kisaran target tekanan darah sistolik atau Systolic Blood Pressure
(SBP) yang optimal antara 120 dan 160 mm Hg.
b. Penatalaksanaan Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
Perawatan awal untuk peningkatan TIK adalah meninggikan kepala tempat tidur
hingga 30 derajat dan agen osmotik (manitol, salin hipertonik). Manitol 20%
diberikan dengan dosis 1,0 hingga 1,5 g/kg. Hiperventilasi setelah intubasi dan
sedasi, hingga pCO 28-32 mmHg akan diperlukan jika TIK meningkat lebih lanjut.
ASA merekomendasikan pemantauan intracranial pressure (ICP) dengan parenkim
atau kateter ventrikel untuk semua pasien dengan GCS <8 atau mereka dengan
herniasi transtentorial atau hidrosefalus. Kateter ventrikel memiliki keuntungan
untuk drainase cairan serebrospinal (CSF) pada kasus hidrosefalus. Tujuannya
adalah untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) antara 50 hingga 70mmHg.
c. Terapi Hemostatik
Terapi hemostatik diberikan untuk mengurangi perkembangan hematoma. Ini
sangat penting untuk membalikkan koagulopati pada pasien yang memakai
antikoagulan. Pada saat akan melakukan koreksi koagulopati, diperlukan
pemeriksaan hemostasis, misalnya Prothrombin Time (PT), Activated Aartial
Thrombin Time (APTT), International Normalized Ratio (INR) dan trombosit.
Koreksi koagulopati bertujuan untuk mencegah perdarahan yang lebih lanjut.
Penghentian warfarin dan pemberian vitamin K secara intravena (IV) adalah
langkah terapi pertama. Vitamin K harus diinfuskan perlahan (lebih dari 10 menit),
dengan dosis 10 mg dengan pemantauan ketat tanda-tanda vital. Pada pasien yang
mengalami peningkatan INR karena penggunaan antagonis Vitamin K (VKA)
padat diberikan penambahan faktor emergent biasanya menggunakan Fresh
Freozen Plasma (FFP) dan Prothrombin Complex Concentrates (PCC). Pedoman
(AHA/ASA kelas IIb, level B) lebih menganjurkan menggunakan PCC
dibandingkan dengan FFP karena tindakan yang lebih cepat dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit. Pencapaian nilai INR di bawah 1,3 dalam waktu 4 jam
sejak masuk dikaitkan dengan penurunan risiko ekspansi hematoma.
d. Terapi Antiepilepsi
Sekitar 3- 17% pasien akan mengalami kejang dalam dua minggu pertama, dan
30% pasien akan menunjukkan aktivitas kejang listrik pada pemantauan EEG.
Mereka yang mengalami kejang klinis atau kejang elektrografik harus diobati
dengan obat antiepilepsi. Hematoma lobaris dan pembesaran hematoma
menghasilkan kejang, yang berhubungan dengan perburukan neurologis. Kejang
subklinis dan status epilepsi non-konvulsif juga dapat terjadi. Pemantauan EEG
berkelanjutan diindikasikan pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran . Jika
tidak, obat antikonvulsan profilaksis tidak dianjurkan, menurut pedoman ASA.
e. Pembedahan
Penatalaksanaan bedah untuk stroke hemoragik adalah kraniotomi, kraniektomi
dekompresi, aspirasi stereotaktik, aspirasi endoskopi, dan aspirasi kateter. Beberapa
percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak didapatkan manfaat secara
keseluruhan dari operasi dini untuk perdarahan intraserebral bila dibandingkan
dengan pengobatan konservatif awal. Pasien yang mengalami perdarahan lobaris
dalam jarak 1 cm dari permukaan otak dan defisit klinis yang lebih ringan (GCS>9)
mendapatkan manfaat dari pembedahan dini.
2. Penatalaksanaan terapi non-farmakologis menurut (Saidi & Andrianti, 2021)
a. Posisi tubuh dan kepala pada 15-30 derajat. Gerakan bertahap dapat dimulai setelah
pasien berada di sisinya dengan muntah dan hemodinamik stabil.
b. Jaga agar jalan nafas tetap bersih dan ventilasi memadai
c. Mempertahankan tanda-tanda vital stabil
d. Istirahat di tempat tidur
e. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
f. Hindari demam, batuk, sembelit dan minum berlebihan
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Fokus pengkajian pada klien dengan stroke hemoragik menurut
(Muttaqin, 2012) yaitu
a. Keluhan Utama
Biasanya mengalami kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara
pelo, tidak dapat berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran
b. Riwayat kesehatan Sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala,
mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, kelumpuhan
separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Selain gejala
kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsive dan koma
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung, anemia, riwayat
trauma kepala, kotrasepsi oral yang lama, penggunan obat-obat anti
koagulasi, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
d. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Mengalami penurunan kesadaran, suara bicara, kadang
mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa
bicara/afasia, TTV meningkat, nadi bervariasi.
2. B1 (Breathing)
Pada infeksi didapatkan klien batuk, peningkatan sputum, sesak
napas, penggunaan alat bantu napas, dan peningkatan frekuensi
napas. Pada klien dengan kesadaran CM, pada infeksi
peningkatan pernapasannya tidak ada kelainan, palpasi thoraks
didapatkan taktil fremitus seimbang, auskultasi tidak didapatkan
bunyi napas tambahan.
3. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan
darah biasanya terdapat peningkatan dan dapat terjadi hipertensi
masif (tekanan darah >200 mmHg)
4. B3 (Brain)
Stroke yang menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung
pada likasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran
arean perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral
(sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksan fokus
dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya
5. B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sememntara karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan
mengendalian kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik
dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau
berkurang selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermitten
dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunujukkan kerusakan neurologis luas.
6. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
7. B6 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan
jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu,
perlu juga tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonojol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas
fisik. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensori atau paralise/hemiplegi serta mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat
8. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
b. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
c. Hipertermi
9. Intervensi
NO Diagnosa
(Sesuai prioritas) Perencanaan
Tujuan Intervensi
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan Penghisapan Jalan Nafas
nafas tidak efektif intervensi Observasi :
b.d hipersekresi keperawatan 3x 24,
1. Identifikasi kebutuhan
jalan napas jam diharapkan
dilakukan penghisapan
Bersihan Jalan Napas 2. Auskultasi suara napas
meningkat dengan sebelum dan setelah
kriteria hasil: dilakukan penghisapan
#Bersihan Jalan 3. Monitor status
oksigenasi
Napas (L.01001)
(SaO2 dan SvO2), status
Produksi sputum neurologis, dan status
menurun (5) hemodinamik sebelum,
Wheezing selama dan setelah
tindakan
menurun (5)
4. Monitor dan catat
Frekuensi napas warna,
membaik (5) jumlah dan konsistensi
Pola napas secret
membaik (5) Terapeutik :
1. Gunakan teknik aseptic
2. Gunakan prosedural
steril
dan disposibel
3. Gunakan teknik
penghisapan tertutup
4. Lakukan penghisapan
mulut, nasofaring, trakea
dan atau endotracheal
tube (ETT)
5. Lakukan penghisapan
lendir lebih dari 15 detik
6. Lakukan penghisapan
ETT dengan tekanan
rendah (80 – 120 mmHg)
2 Risiko Perfusi Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan
Serebral Tidak intervensi Tekanan Intrakranial
Efektif keperawatan 3x 24 Observasi :
jam diharapkan
Perfusi Serebral
1.Monitor tanda/gejala
meningkat dengan
peningkatan TIK
kriteria hasil: 2.Monitor MAP
#Perfusi Serebral 3.Monitor status
(L.02014) pernapasan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
sedasi dan anti
konvulsan
3 Hipertermi b.d Setelah dilakukan Manajemen hipertermi
proses infeksi. intervensi
Observasi
keperawatan 3x 24
jam diharapkan 1. Monitor suhu tubuh.
Termoregulasi 2. Monitor haluaran urine
membaik dengan
kriteria hasil:
Terapeutik
#Termoregulasi
(L.14134) 1. Sediakan lingkungan
dingin
Suhu tubuh membaik 2. Melepas selimut pasien
(5) 3. Berikan oksigen jika
Suhu kulit membaik perlu
(5) Edukasi : Anjurkan tirah
baring
Takikardi menurun
(5) Kolaborasi: Kolaborasi
pemberian cairan dan
Tekanan darah elektrolit intravena
membak (5)
DAFTAR PUSTAKA
Kanggeraldo, J., Sari, R. P., & Zul, M. I. (2018). Sistem Pakar Untuk
Mendiagnosis Penyakit Stroke Hemoragik dan Iskemik
Menggunakan Metode Dempster Shafer. Rekayasa Sistem dan
Teknologi Informasi , 498-505.