Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasien sakit kritis, khususnya yang mendapatkan ventilasi mekanik, seringkali mengalami
nyeri, kecemasan, sesak napas dan bentuk lainnya dari stres.Prinsip utama dari perawatan
diruang rawat intensif (ICU) adalah memberikan rasa nyaman sehingga pasien dapat
mentoleransi lingkungan ICU yang tidak bersahabat. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi dan mengatasi penyakit dasar dan faktor pencetus, menggunakan metode
farmakologi maupun non farmakologi untuk meningkatkan rasa nyaman dan pemberian terapi
sedasi dan delirium sesuai dengan konsep kerja.

Pada umumnya, lingkungan ruang rawat intensif (ICU) dapat menimbulkan rasa takut dan
stres terhadap pasien. Agitasi dapat terjadi pada 71% pasien di ICU. Kebanyakan dari pasien
yang dirawat di ICU, tidak dapat mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan dan
butuhkan. Prosedur-prosedur seperti intubasi endotrakhea, ventilasi mekanik,suction dan
fisioterapi tidak dapat ditoleransi tanpa pemberian sedasi yang adekuat. Akan tetapi,
pemberian sedasi dan delirium yang terus menerus dapat memperpanjang lama penggunaan
ventilasi mekanik dan perawatan di ICU.

Rasa nyeri dapat ditimbulkan oleh berbagai hal seperti trauma, prosedur invasif, penyakit
tertentu dan proses inflamasi. Mengatasi nyeri sangat penting oleh karena efeknya terhadap
fisiologi dan psikologi pasien.Rasa nyeri dapat menimbulkan rasa cemas dan gangguan tidur,
meningkatnya aktivitas simpatis, meningkatkan kebutukan metabolik, ketidakseimbangan
sistem sirkulasi dan respirasi untuk memenuhi kebutuhan metabolism jaringan, risiko
terjadinya iskemia jantung,respons endokrin yang mengakibatkan retensi garam dan air, serta
gangguan mobilisasi yang mengakibatkan gangguan kemampuan ventilasi dan batuk.

Manajemen sedasi dan delirium yang baik adalah salah satu hal yang penting dan
seringkali sulit tercapai dalam perawatan intensif. Meskipun terapi utama berupa terapi
farmakologi,metode yang lain tidak boleh diabaikan. Komunikasi yang baik dari staf
keperawatan dapat membantu mengurangi rasa cemas pada pasien. Pengaturan pada
lingkungan seperti suhu, kebisingan dan pencahayaandapatmenciptakansuatulingkungan

Manajemen yang ditujukan terhadap kebutuhan pasien, menggabungkan beberapa konsep


bahwa kebutuhan sedasi dan delirium setiap pasien berbeda-beda dan bervariasi setiap saat.
Sebagai contoh, pasien yang mendapatkan pelumpuh otot atau dalam posisi telungkup
membutuhkan sedasi dan delirium yang adekuat untuk dapat mensinkronisasi dengan
ventilator. Sebaliknya, pasien dengan ventilasi mekanik dengan volume tidal yang rendah
tidak membutuhkan sedasi yang berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan sedasi
dan delirium sangat dinamis, menyesuaikan dengan perkembangan penyakit dan harus
dievaluasi secara rutin.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari sedasi dan delirium?
2. Apa sajakah indikasi pemberian dari sedasi dan delirium ?
3. Bagaimanakah cara pemantauan sedasi dan delirium ?
4. Bagaimanakah manajemen farmakologi dan non farmakologi pada pasien sedasi dan
delirium ?
5,. Apa sajakah efek yang timbul saat pemberian sedasidan delirium yang dilakukan ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian sedasi dan delirium
2. Mengetahui indikasi pemberian sedasi
3. Mengetahui cara pemantauan sedasi
4. Mengetahui manajemen farmakologi dan non farmakologi sedasi dan delirium
5. Mengetahui efek yang ditimbulkan saat pemberian sedasi dilakukan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sedasi

2.1.1 Pengertian Sedasi

Sedasi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan tenang, diam, atau tidur yang
ditimbulkan dengan cara pemberian obat. Derajat sedasi berkisar dari hilangnya kecemasan
hingga anesthesia.

The American Society of Anesthesiologists menggunakan definisi berikut untuk sedasi :

1. Sedasi minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien
berespon normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi
terganggu, tetapi fungsi kardiovaskuler dan ventilasi tidak dipengaruhi.
2. Sedasi sedang (sedasi sadar) adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah
terinduksi obat di mana pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara
spontan atau setelah diikuti oleh rangsangan taktil cahaya. Terdapat beberapa
perubahan mood, mengantuk, dan kadang kala analgesia. Refleks pasien tetap utuh.
Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga jalan napas paten dan ventilasi spontan
masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.
3. Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran setelah
terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan
berulang atau rangsangan sakit. Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi
dapat terganggu dan pasien dapat memerlukan bantuan untuk menjaga jalan napas
paten. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.
Dapat terjadi progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam di mana kontak verbal
dan refleks protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga sulit dibedakan dengan
anestesi umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan diperlukan tingkat keahlian
yang lebih tinggi untuk penanganan pasien. Kemampuan pasien untuk menjaga jalan napas
paten sendiri merupakan salah satu karakteristik sedasi sedang atau sedasi sadar, tetapi pada
tingkat sedasi ini tidak dapat dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat
anestesi dapat digunakan dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat
sedative dapat menghasilkan efek anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar.

Terdapat 2 istilah, sedasi dan analgesia, yang digunakan di ICU. Sedasi adalah istilah
untuk hipnotik dan ansiolisis, sedangkan analgesia istilah untuk menghilangkan nyeri dan
supresi dari respiratory drive. Pada tahun 1980an,pasien dengan ventilasi mekanik
seringkali disedasi dalam dan diberikan pelumpuh otot,namun saat ini pasien sakit kritis
hanya diberikan sedasi ringan, tanpa disertai dengan penggunaan pelumpuh otot. Hal ini
berkaitan dengan berkembangnya jenis ventilasi mekanik yang dapat menyesuaikan pada
pola respirasi intrinsik pasien, penggunaan trakheostomi perkutaneous dini dan diketahuinya
efek negative dari penggunaan sedasi secara rutin, analgesia dan pelumpuh otot.

2.1.2 Indikasi

1. Premedikasi

Obat-obat sedatif dapat diberikan pada masa preoperatif untuk mengurangi kecemasan
sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan. Pemilihan obat tergantung pada pasien,
pembedahan yang akan dilakukan, dan keadaan-keadaan tertentu: misalnya kebutuhan
pasien dengan pembedahan darurat berbeda dibandingkan pasien dengan pembedahan
terencana atau pembedahan mayor. Penggunaan oral lebih dipilih dan benzodiazepin
adalah obat yang paling banyak digunakan untuk premedikasi.

2. Sedo-analgesia

Istilah ini menggambarkan penggunaan kombinasi obat sedatif dengan anestesi lokal,
misalnya selama pembedahan gigi atau prosedur pembedahan yang menggunakan blok
regional. Perkembangan pembedahan invasif minimal saat ini membuat teknik ini lebih
luas digunakan.

3. Prosedur radiologic

Beberapa pasien, terutama anak-anak dan pasien cemas, tidak mampu mentoleransi
prosedur radiologis yang lama dan tidak nyaman tanpa sedasi. Perkembangan
penggunaan radiologi intervensi selanjutnya meningkatkan kebutuhan penggunaan sedasi
dalam bidang radiologi.

4. Endoskopi

Obat-obat sedatif umumnya digunakan untuk menghilangkan kecemasan dan memberi


efek sedasi selama pemeriksaan dan intervensi endoskopi.

5. Terapi intensif

Kebanyakan pasien dalam masa kritis membutuhkan sedasi untuk memfasilitasi


penggunaan ventilasi mekanik dan intervensi terapetik lain dalam Unit Terapi Intensif
(ITU). Dengan meningkatnya penggunaan ventilator mekanik, pendekatan modern yaitu
dengan kombinasi analgesia yang adekuat dengan sedasi yang cukup untuk
mempertahankan pasien pada keadaan tenang tapi dapat dibangunkan. Farmakokinetik
dari tiap-tiap obat harus dipertimbangkan, di mana sedatif terpaksa diberikan lewat infus
untuk waktu yang lama pada pasien dengan disfungsi organ serta kemampuan
metabolisme dan ekskresi obnat yang terganggu. Beberapa obat yang berbeda digunakan
untuk menghasilkan sedasi jangka pendek dan jangka panjang di ITU, termasuk
benzodiazepin, obat anestetik seperti propofol, opioid, dan agoni α2-adrenergik. Nilai
skor sedasi selama perawatan masa kritis telah dibuat sejak bertahun-tahun, tapi perhatian
lebih terfokus akhir-akhir ini pada pentingnya sedasi harian ‘holds’; strategi interupsi
harian dengan obat-obat sedasi menyebabkan lebih sensitifnya kebutuhan untuk sedasi.
Hal ini bertujuan untuk mengurangi insiden terjadinya komplikasi terkait penggunaan
ventilasi mekanik selama masa kritis dan untuk mengurangi lama perawatan.

2.1.3 Pemantauan Sedasi

Panduan pemberian sedasi merekomendasikandilakukannya pemantauan dari tingkat


sedasi. Evaluasi tingkat sedasi dapat mengurangi waktu penggunaan ventilasi mekanik
sebanyak 50%. Metode pemantauan tingkat sedasi diantaranya sistem skoring,
elektroensefalogram, bispectral index, auditory evoked potential.

1. Sistem Skoring
Saat ini terdapat beberapa sistem skoring yang dapat digunakan untuk pemantauan tingkat
sedasi,akan tetapi tidak ada system yang dijadikan acuan utama. Setiap sistem akan
mengevaluasi kesadaran pertama kali dari respons spontan terhadap pemeriksa, kemudian
jika dibutuhkan pemeriksaan respons terhadap rangsangan eksternal, berupa suara
atau sentuhan, secara bertahap. Skor sedasi tidak dapat digunakan untuk pasien yang tidak
sadar atau mendapatkan pelumpuh otot. Skala Ramsay, yang telah diperkenalkan pertama
kali pada tahun 1974, merupakan suatu system scoring pertama yang dipergunakan untuk
mengevaluasi tingkat sedasi pada pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik. Skala ini
dibuat untuk mengevaluasi tingkat kesadaran dan bukan tingkat agitasi. Meskipun
demikian terdapat kelemahan dan kurangnya validasi ilmiah, skala Ramsay adalah
metode terpilih untuk memantau sedasi pada lebih dari 75% ICU. Metode lain adalah the
sedation-analgesia scale (SAS) yang membagi agitasi kedalam 3 tingkatan. Kemudian
the richmond agitation sedation scale (RASS) yang memberikan keuntungan dalam
mengevaluasi perubahan tingkat sedasi dari hari ke hari. Tujuan dari sedasi di ICUadalah
pasien stenang namun dapat mudah dibangunkan. Kegunaan dari skala sedasi adalah
memudahkan petugas kesehatan untuk mencapai tujuan pemberian sedasi dengan
menggunakan dosis obat sedatif seminimal mungkin. Dengan demikian akan mengurangi
risiko terhadap pasien.
Tabel 1 Skala Sedasi ModifikasiRamsay
Skor Deskripsi
1 Cemas dan agitasi atau gelisah, atau keduanya
2 Kooperatif, orientasi baik, dan tenang
3 Mengantuk tetapi berespons terhadap perintah
4 Tidur, berespons dengan cepat terhadap tepukan ringan glabelar atau rangsangan suara
keras
5 Tidur, sulit berespons terhadap tepukan ringan glabelar atau rangsangan suara keras

2. Elektroensefalogram

Elektroensefalogram untuk mengukur aktivitas dari sereberal. Penggunaan teknik ini


kompleks dan membutuhkan petugas yang terlatih.Metode ini lebih cocok untuk
mengevaluasi tingkat kedalaman anestesi dan sulit digunakan untuk pasien dengan
ensefalopati.

3. Bispectral Index (BIS)

Bispectral index (BIS) digunakan untuk mengevaluasi tingkat kedalaman anestesi diruang
operasi. Metode ini memberikan nilai kuantitatif dari 0–99, dengan nilai 0
menggambarkan EEG datar dan 100 menggambarkan pasien yang sadar penuh.

4. Auditory Evoked Potentials (AEP)


Auditoryevokedpotential (AEP) mengukur aktivitas listrik pada beberapa daerah otak,
pada saatdiberikanrangsanganspesifikterhadapsaraf kranialVIII.

2.1.4 Manajemen Farmakologi Sedasi

Saat ini tidak ada obat sedatif yang ideal. Hampir semua obat sedatf memiliki efek
samping yang hampir sama. Akumulasi obat akibat pemberian berkepanjangan dapat
mengakibatkan keterlambatan penyapihan dukungan organ dan memperlama perawatan di
ICU. Efek samping terhadap sirkulasi dan tekanan darah dapat mengakibatkan pasien
membutuhkan dukungan obat inotropik. Efek terhadap pembuluh darah paru-
parudapatmenyebabkanketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi sehingga kebutuhan
dukungan ventilasi mekanik meningkat serta berisiko terhadap pneumonia nosokomial. Selain
itu penggunaan yang lama dapat menyebabkan toleransi dari pasien dan gejala withdrawal
saat obat sedasi dihentikan. Obat sedatif tidak menghasilkantidurrapideyemovement,sehingga
dapat mengakibatkan psikosis pada pasien yang dirawat di ICU. Di samping itu, efek
terhadap motilitas usus dapat mengganggu penyerapan makanan dan obat enteral.

1. Sedasi dengan Benzodiazepin

Benzodiazepine adalah obat sedatif yang popular digunakan di ICU. Dari 13 obat
benzodiazepin, terdapat 3 jenis obat yang diberikan secara intravena yaitu midazolam,
lorazepam,dan diazepam. Berikut ini beberapa sifat dari benzodiazepin adalah larut di dalam
lemak, dimetabolisme di liver dan diekskresikan melalui urin, dosis terapi benzodiazepin
tidak menimbulkan adanyadepresi pernapasanpada orang sehat, akantetapi dapat terjadi pada
pasien sakit kritis di ICU, dosis benzodiazepin yang dibutuhkanuntukmencapai tingkat
sedasiyang adekuatpadapasienusia tua,gagal jantung dan gangguan fungsi hepar lebih rendah
oleh karena metabolismenya yang lebih lambat. Bila pemberian lorazepam atau diazepam
melebihi dosis,waktu pemulihan akan lebih lama akibat terjadinya akumulasi obat.

Midazolam adalah benzodiazepin terpilih untuk pemberian sedasi jangka pendek. Hal ini
disebabkan oleh kelarutannya yang tinggi di dalam lemak, mula dan lama kerja yang singkat.
Untuk mengurangi sedasi yang berlebihan, kecepatan infus harus disesuaikan dengan berat
badan ideal.

Lorazepam memiliki kerja mula yang paling singkat. Lama kerjanya yang panjang
menyebabkan lorazepam menjadi pilihan pada pasien yang membutuhkan sedasi yang lama.

Pemberian dosis benzodiazepin yang berlebih dapat menyebabkan hipotensi,depresi


pernapasan dan sedasi yang dalam. Sediaan intravena dari lorazepam dan diazepam
mengandung larutan propyleneglycol yang dapat menyebabkan iritasi pada vena. Pemberian
suntikan bolus propylene glycol menyebabkan hipotensi dan bradikardia.
Selainitu,pemberian dalam jangka panjang dapat menimbulkan agitasi, asidosis metabolik
dan sindrom klinis yang menyerupai sepsis berat.
Penghentian mendadak dari benzodiazepin dapat menimbulkan sindrom with drawal
berupa cemas, agitasi,disorientasi,hipertensi,takikardia, halusinasi dan kejang. Risiko
terjadinya hal ini sulit diprediksi. Bagi pasien-pasien yang telah diberikan midazolam untuk
beberapa hari,transisi dengan pemberian propofol(dosis 1,5 mg/kg/ jam) 1 hari sebelum
rencana ekstubasi trakhea dapan menurunkan kejadian agitasi pada pasien.

Tabel dosis Benzodiazepin

Variab Midazolam Lorazepam Diazepam


Loadingeldose (IV) 0,02–0,1 mg/kg 0,02–0,06 mg/kg 0,05–0,2
Mula kerja 1–5 menit 5–20 menit 2–5 menit
mg/kg
Durasi 1–2 2–6 2–4 jam
Dosis pemeliharaan 0,04–0,2
jam mg/kg/jam 0,01–0,1
jam Jarang
Potensi 3x 6x
mg/kg/jam 1x
digunakan
Kelarutandalam lemak 1,5 0,5 1x
Metabolit aktif xYa Tida
x Ya
k

2. Sedasi dengan propofol

Propofol adalah salah satu obat anestesi yang paling sering digunakan di ICU yang
memiliki sifat mula kerjanya yang cepat, efektif, dapat dititrasi dan lama kerja yang singkat.
Beberapa penelitian lain menunjukan bahwa penggunaan propofol berhubungan dengan
pengurangan waktu penggunaan ventilasi mekanik dibandingakan dengan sedasi
menggunakan benzodiazepin. Akan tetapi propofol dapat menyebab kandepresi miokardium,
menurunkan resistensi vaskular sistemik dan hipotensi terutama pada pasien hipovolemik.
Pemberian infus jangka panjang dapat menyebabkan asidosis metabolik dan nekrosis otot
yang berhubungan dengan gangguan oksidasi rantai asam lemak dan penghambatan
fosforilasi oksidatif di mitokondria. Penggunaan propofol berhubungan dengan peningkatan
mortalitas pada anak dan saat ini tidak diizinkan penggunaannya pada anak kurang dari 3
tahun. Propofol dapat menimbulkan sedasi dan amnesia, tanpa efek analgesia. Bolus
intravena dapat menghasilkan sedasi dalam waktu 1 menit dan lama kerja 5–8 menit. Karena
lama kerjanya yang singkat, propofol dapat diberikan melalui infus secara berkelanjutan.
Setelah penghentian infuspropofol,pasiendapat bangun dalam swaku 10–15 menit meskipun
setelah penggunaan jangka panjang. Propofol dapat digunakan untuk sedasi jangka pendek
bila diharapkan pasien dapat bangun dengan cepat, atau transisi dari penggunaan jangka
panjang obat sedatif lain. Propofol juga dapat bermanfaat pada trauma neurologi, oleh karena
dapat menurunkan konsumsi oksigen serebral dan tekanan intrakranial.

Propofol sangat larut dalam lemak dan merupakansuspensidari emulsilemak10%,


sehingga memiliki kandungan nutrisi 1,1 kkal/ mL.Dosis propofol dihitung berdasarkan berat
badan ideal, dan tidak perlu penyesuaian dosis pada kondisi gagal ginjal atau gangguan hati.

Propofol dapat menimbulkan nyeri saat penyuntikan,depresi pernapasan,apneadan


hipotensi.Oleh karena risiko depresi pernapasan, infuspropofol sebaiknya diberikan pada
pasien dengan ventilasi mekanik. Penurunan tekanan darah seringkali timbul setelah
pemberian bolus propofol, terutama pada pasien usia tua atau dengan gagal jantung. Propofol
harus dihindari pada pasien dengan syok perdarahan. Emulsi lemak dapat menimbulkan
hipertrigliseridemia pada 10% pasien setelah 3 hari pemberian.Selain itu,emulsi lemak dapat
merangsang pertumbuhan bakteri dan teknik penyuntikan yang tidak steril dapat
menyebabkan reaksi hipertermia dan infeksi luka operasi. Pemberian propofol lebih dari24–
48jam dengan dosis 4–6mg/kg/jam. Trias bradikardia, hiperlipidemia dan rhabdomiolisis
adalah tanda yang unik untuk membedakan sindrom ini dari syok sepsis. Penanganannya
dengan penghentian obat, perawatan suportif dan pacu jantung bila dibutuhkan. Infus
propofol di bawah 4 mg/kg/ jam dapat mengurangi resiko terjadinyasindrom ini.

Tabel dosis Propofol dan Dextomidins

Variabel Propofol Dexmedetomidin


Loading dose 0,25–1 mg/kg 1 mcg/kg dalam 10 menit
Mula kerja < 1 menit 1–3
Lama kerja 10–15 menit 6–10
menit
Dosis pemeliharaan 25–75 mcg/kg/mnt 0,2–0,7
menitmg/kg/jam
Metabolit aktif Tida Tida
Depresi pernapasan kYa Tida
k
Efek samping Hipotensi Hipoten
k
Hiperlipidemia si
Kontaminasi/se
Bradikard
psis
ia
Rhabdomiolisis
Reboundsimpatissetelahpenggu
Propofol infusion
naan
syndrom
>24
3. Sedasi dengan Dextomidin

Dexmetomidin diperkenalkan pertama pada tahun 1999 sebagai obat sedatif intravena
yang tidak menimbulkan depresi pernapasan.Dexmetomidin adalah agonis reseptor α –
2
adrenergic yang menghasilkan sedasi,ansiolisis,analgesi jaringan dan simpatolitik. Setelah
pemberian dosis bolus, sedasi timbul dalam beberapa menit dengan lama kerja kurang
dari 10 menit. Karena lama kerja nyayang singkat,dexmedetomidinbiasanya diberikan
dengan infus berkelanjutan. Oleh karena tidak menimbulkan depresi pernapasan, obat ini
merupakan pilihan untuk pasien yang cenderung mengalami depresi pernapasan (pasien
dengan sleep apnea atau penyakit paru obstruktif kronis), khususnya pada pasien yang akan
disapih dari ventilasi mekanik. Dexmetomidin diberikan dengan loading dose1 mg/kg
selama 10 menit, dilanjutkan dengan infuse 0,2–0,7mg/kg/jam.Hipertensi ringan dapat
timbul setelah loading dose pada 15% pasien. Hal ini berlangsung singkat dan dapat
diminimalisir dengan pemberian loading dose lebih dari 20 menit. Dosis harus dikurangi
pada pasien dengan gangguan fungsi hepar berat.

Efek samping dari infus dexmedetomidin adalah hipotensi dan bradikardia. Hal ini timbul
lebih berat pada pasien usia tua >65 tahun dan pasien dengan blok jantung. Risiko agitasi dan
sympatheticrebound timbul setelah penghentian obat. Untuk meminimalisirnya,
dexmedetomidin sebaiknya digunakan tidak lebih dari 24 jam.

4. Sedasi dengan Haloperidol

Haloperidol adalah suatu obat sedatif pilihan untuk pasien ICU karena tidak
menimbulkan depresi kardiorespirasi. Obat ini efektif untuk menenangkan pasien dengan
kondisi delirium. Haloperidol menghasilkan sedasi dan antipsikosis dengan memblok
reseptor dopamin di sistem saraf pusat. Setelah pemberian dosis intravena,sedasi dapat
timbul dalam10–20 menit dan lama kerja beberapa jam. Lama kerjanya yang panjang
membuat haloperidol tidak cocok digunakan infus berkelanjutan. Mula kerjanya yang
lambat mengakibatkan haloperidol tidak diindikasikan untuk mengontrol suatu kecemasan
secara cepat. Haloperidol dipilih untuk pasien dengan kondisi delirium dan memfasilitasi
pasien yang akan disapih dari ventilasi mekanik.Dosis yang direkomendasikan adalah 0,5–
20 mg bolus, disesuaikan dengan tingkat kecemasan. Untuk memelihara sedasi, diberikan
¼ dari dosis awal setiap 6jam. Pasien secara individual menunjukan variasi yang lebar
dalam hal kadar obat dalam serum setelah pemberian haloperidol.

Haloperidol dapat menimbulkan adanya suatu reaksi ekstrapiramidal, akan tetapi


hal ini jarang terjadi pada pemberian intravena. Insiden reaksi ektrapiramidal akan lebih
rendah apabila dikombinasikan dengan benzodiazepin. Efek samping haloperidol yang
paling ditakuti adalah terjadinya sindrom neuroleptik malignan dan torsades de pointes.
Sindrom neuroleptik malignan adalah reaksi idiosinkrasi yang jarang, ditandai dengan
hipertermia, kekakuan otot berat dan rhabdomiolisis.

2.2 Dellirium

2.2.1 Definisi Delirium


Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan kognisi
yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium memiliki banyak penyebab yang
semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat kesadaran dan
gangguan kognitif pasien.
Delirium merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan jarang terdiagnosis.
Sebagian dari masalahnya adalah bahwa sindrom ini memiliki nama lain yang bervariasi,
contohnya keadaan bingung akut, sindrom otak akut, ensefalopati metabolik, psikosis toksik,
dan gagal otak akut.

2.2.2 Epidemiologi
Delirium merupakan gangguan yang lazim dijumpai. Prevalensi delirium di USA pada
pasien berusia lanjut di ruang Intensive Care Unit (ICU) berkisar 78-87%.1 Menurut DSM-
IV-TR, prevalensi delirium pada polpulasi umum adalah 0,4% pada orang yang berusia 18
tahun ke atas dan 1,1% pada usia 55 tahun ke atas. Sekitar 10-30% pasien yang sakit secara
medis dan dirawat di rumah sakit mengalami delirium. Sekitar 30-40% pasien rawat inap
yang berusia di atas 65 tahun mengalami satu episode delirium, dan 10-15% lansia lainnya
mengalami delirium saat masuk rumah sakit. Menurut DSM-IV-TR, jenis kelamin laki-laki
merupakan faktor risiko independen terjadinya delirium.

2.2.3 Etiologi
Penyebab utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, serta
intoksikasi maupun keadaan putus zat. Terdapat 4 (empat) subkategori delirium
berdasarkan sejumlah penyebab, yaitu:
1. Delirium akibat kondisi medis umum, seperti infeksi
2. Delirium yang diinduksi oleh obat-obatan, seperti zat psikoaktif
3. Delirium dengan etiologi multiple, seperti trauma kepala dan penyakit ginjal
4. Delirium yang tak tergolongkan.

2.2.4 Zat Psikoaktif


Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan
perilaku, perasaan, dan pikiran. Zat psikoaktif merupakan zat yang memiliki efek
psikologis yang beredar secara luas di masyarakat, baik yang digunakan secara sengaja
ataupun tidak.
Zat psikoaktif sering disebut sebagai NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lain), yaitu bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan memengaruhi
tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan
fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta
ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.
Ada 3 kelompok besar dari zat psikoaktif yang disalahgunakan, yaitu depresan,
stimulan, dan halusinogen. Depresan adalah obat yang menghambat atau menekan aktivitas
SSP, obat ini mengurangi rasa tegang dan cemas, menyebabkan gerakan melambat dan
merusak proses kognitif. Contoh depresan: alkohol, barbiturate, benzodiazepine, dan
opioid. Stimulan merupakan obat yang meningkatkan aktivitas SSP. Beberapa jenis obat
ini menyebabkan perasaan euforia dan percaya diri. Contoh stimulan: amfetamin, ekstasi,
kokain dan nikotin. Sedangkan halusinogen adalah obat yang menghasilkan distorsi
sensoria atau halusinasi, termasuk perubahan besar dalam persepsi warna dan pendengaran.
Contoh halusinogen: Lysergic acid diethylamide (LSD), phencyclidine (PCP) dan
marijuana.
Menurut American Psychiatric Association (APA), penyalahgunaan zat psikoaktif
mempunyai kriteria bahwa pemakaian zat-zat dilakukan secara berkala dan
berkesinambungan dalam jangka waktu pemakaian minimal 12 bulan. Zat-zat yang
disalahgunakan termasuk alkohol, amphetamine (stimulan sintetis), kafein, ganja, kokain,
halusinogen, inhalant, nikotin, opium, fensiklidindan obat penenang.

1. Alkohol
Sekitar 90% alkohol yang diabsorpsi dimetabolisme melalui oksidasi di hepar, 10%
sisanya diekskresi tanpa mengalami perubahan oleh ginjal dan paru. Tubuh dapat
memetabolisme sekitar 15 mg/dL per jam, dengan kisaran antara 10-34 mg/dL. Dengan
kata lain, kebanyakan orang mengoksidasi tiga perempat dari 1 ons alkohol 40% dalam
1 jam. Pada orang dengan riwayat konsumsi alkohol berlebihan, peningkatan enzim
yang diperlukan mengakibatkan metabolisme alkohol cepat. Alkohol dimetabolisme
oleh 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase (ADH) dan aldehid dehidrogenase. ADH
mengkatalisasi konversi alkohol menjadi asetaldehid yang merupakan senyawa toksik,
aldehid dehidrogenase mengkatalisasi konversi asetaldehid menjadi asam asetat.
Sejumlah studi membuktikan bahwa wanita memiliki kandungan ADH dalam darah
lebih sedikit disbanding pria, dan ini mungkin menyebabkan kecenderungan wanita
untuk lebih terintoksikasi disbanding pria setelah minum alkohol dalam jumlah yang
sama. Penurunan fungsi enzim tersebut juga terjadi pada orang-orang Asia sehingga
menyebabkan mudahnya terintoksikasi.
Pada studi terkini, peneliti berupaya untuk mengidentifikasi target molekuler efek
alkohol yang spesifik. Sebagian besar perhatian difokuskan pada efek alkohol terhadap
kanal ion. Secara spesifik, studi menemukan bahwa aktivitas kanal ion alkohol yang
dikaitkan dengan reseptor asetilkolin nikotinik, serotonin 5-HT3, dan GABA tipe A
(GABAA) ditingkatkan oleh alkohol, sementara aktivitas kanal ion yang dikaitkan
dengan reseptor glutamat dan kanal kalsium voltage-gated mengalami inhibisi.
2. Benzodiazepin
Benzodiazepin memiliki efek primer terhadap kompleks reseptor GABAA, yang
memuat kanal ion klorida pengikat GABA. Ketika benzodiazepin berikatan dengan
kompleks tersebut, efeknya adalah meningkatkan afinitas reseptor terhadap
neurotransmitter endogennya, GABA, dan meningkatkan aliran ion klorida melalui
kanal ke dalam neuron.

3. Opioid
Kata opiat dan opioid berasal dari kata opium, sari bunga opium, Papaver
somniferum, yang mengandung sekitar 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Efek
primer opioid diperantarai reseptor opioid. Reseptor opioid-µ terlibat dalam regulasi dan
mediasi analgesia, depresi napas, konstipasi, dan ketergantungan. Reseptor opioid-κ
terlibat dalam analgesia, diuresis, dan sedasi. Serta reseptor opioid-σ terlibat dalam
analgesia.
Opioid memiliki efek signifikan terhadap sistem dopaminergik dan noradrenergik.
Sejumlah data mengindikasikan bahwa sifat adiktif opioid diperantarai melalui aktivasi
neuron dopaminergik area tegmental ventral yang berjalan ke korteks serebri dan sistem
limbik.
Heroin adalah opioid yang paling sering disalahgunakan dan lebih poten serta
terlarut dalam lemak dibanding morfin. Karena sifat-sifat tersebut, heroin melintasi
sawar darah otak lebih cepat daripada morfin. Kodein yang terdapat secara alami
sebanyak sekitar 0,5% dari alkaloid opiat dalam opium, diabsorpsi dengan mudah
melalui traktus gastrointestinal dan kemudian diubah menjadi morfin dalam tubuh.
Hasil penelitian menemukan bahwa salah satu efek dari semua opioid adalah penurunan
aliran darah otak pada region otak tertentu pada orang dengan ketergantungan opioid.

4. Amfetamin
Amfetamin adalah salah satu obat terlarang yang banyak digunakan kedua setelah
kanabis di Inggris, Australia, dan beberapa negara Eropa barat. Amfetamin klasik
(dekstroamfetamin, metamfetamin, dan metilfenidat) menimbulkan efek primer dengan
menyebabkan pelepasan katekolamin, terutama dopamin, dari terminal prasinaptik.
Efeknya terutama poten untuk neuron dopaminergik yang berjalan dari area tegmental
ventral ke korteks serebri dan area limbik. Jaras ini disebut sebagai jaras sirkuit reward
dan aktivasinya mungkin menjadi mekanisme adiktif utama untuk amfetamin.
Amfetamin racikan (MDMA, MDEA, MMDA, DOM) menyebabkan pelepasan
katekolamin (dopamin dan norepinefrin) serta serotonin, neurotransmitter yang
dianggap sebagai jaras neurokimiawi utama untuk halusinogen. Oleh karena itu, efek
klinis amfetamin racikan merupakan campuran efek amfetamin klasik dan halusinogen.
MDMA diambil di neuron serotonergik oleh transporter serotonin yang bertanggung
jawab untuk reuptake serotonin. Bila telah berada di neuron, MDMA menyebabkan
pelepasan cepat bolus serotonin dan menghambat aktivitas enzim penghasil serotonin.

5. Kanabis
Kanabis atau marijuana merupakan tanaman Cannabis sativa yang seluruh bagian
tanaman mengandung kanabinoid psikoaktif, yaitu delta 9 tetrahidrocannabinol (THC).
Dosis THC yang diperlukan untuk memperoleh efek farmakologis pada manusia secara
dihisap sekitar 2-22 mg. THC larut dalam lemak dan dengan cepat diabsorbsi setelah
inhalasi. Setelah dihisap atau dicerna, delta 9-THC dengan cepat diubah menjadi 11-
hidroksi-9-THC, metabolit yang aktif di sistem saraf pusat.
Reseptor kanabinoid, anggota famili reseptor terkait protein G inhibitor, berikatan
dengan protein G inhbitorik, yang berikatan dengan adenilil siklase secara inhibitorik.
Reseptor kanabinoid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di ganglia basalis,
hipokampus, dan serebelum, dengan konsentrasi yang lebih rendah di korteks serebri.
Pada suatu studi ditemukan kanabinoid memengaruhi neuron monoamine dan asam
gama aminobutirat.

6. Kokain
Kokains adalah alkaloid yang didapaatkan dari Erythroxylon coca. Aksi
farmakodinamik utama kokain yang berkaitan dengan efeknya terhadap perilaku adalah
blok kompetitif reuptake dopamine oleh transporter dopamin. Blok ini meningkatkan
konsentrasi dopamine di celah sinaps dan menyebabkan peningkatan aktivasi reseptor
dopamine tipe 1 (D1) maupun tipe 2 (D2). Efek kokain terhadap aktivitas yang
diperantarai reseptor D3, D4, dan D5 belum terlalu jelas namun setidaknya satu studi
preklinis melibatkan reseptor D3. Meski efek perilaku terutama disebabkan blockade
reuptake dopamin, kokain juga menghambat reuptake katekolamin, norepinefrin serta
serotonin. Metabolit kokain terdapat dalam darah dan urin hingga 10 hari.

7. Halusinogen
Halusinogen sintetik klasik adalah asam lisergat dietilamid (LSD). Meskipun
sebagian besar zat halusinogenik bervariasi efek farmakologisnya, LSD dapat berfungsi
sebagai prototipe halusinogenik. Obat tersebut bekerja pada sistem serotonergik, baik
sebagai antagonis maupun agonis. Data saat ini menunjukkan bahwa LSD bekerja
sebagai agonis parsial pada reseptor serotonin pascasinaps.

8. Nikotin
Komponen psikoaktif tembakau adalah nikotin, yang memengaruhi SSP dengan
bekerja sebagai agonis pada reseptor asetilkolin subtipe nikotinik. Sekitar 25% nikotin
yang dihirup saat merokok mencapai aliran darah, dan melalui pembuluh darah tersebut
nikotin dapat mencapai otak dalam 15 detik. Waktu paruh nikotin adalah sekitar 2 jam.
Nikotin diyakini menghasilkan sifat penguat positif dan adiktif dengan mengaktivasi jaras
dopaminergik yang berjalan dari area tegmental ventral ke koorteks serebri dan sistem
limbik. Selain mengaktivasi sistem reward dopamin ini, nikotin menyebabkan
peningkatan konsentrasi norepinefrin dan epinefrin yang bersirkulasi serta peningkatan
pelepasan vasopresin, beta endorfin, hormon adrenokortikotropik, dan kortisol. Hormon-
hormon ini dianggap berperan dalam efek stimulatorik dasar nikotin terhadap SSP.

9. Fensiklidin
Fensiklidin (Phenilcyclohexil Piperidin/ PCP) dikembangkan sebagai anestetik
disosiatif. Namun penggunaannya sebagai anestetik pada manusia menimbulkan
disorientasi, agitasi, delirium, dan halusinasi yang tidak menyenangkan saat terbangun.
PCP juga mengaktivasi neuron dopaminergik pada area tegmental ventral, yang berjalan
ke korteks serebri dan sistem limbik.

2.2.5 Delirium yang diinduksi Zat Psikoaktif


Delirium pada putus alkohol merupakan bentuk putus zat yang paling parah, yang juga
disebut sebagai delirium tremens (DT). Delirium pada putus alkohol adalah suatu
kegawatdaruratan medis yang dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Pasien delirium dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Pasien delirium dapat
menyerang atau bunuh diri atau bertindak menurut halusinasi atau pikiran wahamnya seolah-olah
benar-benar ada bahaya.
Gambaran delirium pada intoksikasi alkohol mencakup hiperaktivitas otonom seperti
takikardia, diaforesis, demam, ansietas, insomnia, hipertensi, distorsi persepsi (paling sering
berupa halusinasi visual atau taktil), dan tingkatan aktivitas psikomotor yang berfluktuasi
(berkisar dari hipereksabilitas sampai letargi). Gambaran delirium akibat benzodiazepine dan
barbiturate mirip dengan gambaran delirium akibat alkohol.
Delirium yang diakibatkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat
penggunaan dosis tinggi atau terus menerus sehingga deprivasi tidur memengaruhi tampilan
klinis. Delirium akibat intoksikasi kanabis ditandai dengan hendaya kognisi dan tugas performa
yang nyata. Bahkan dosis sedang kanabis dapat mengganggu memori, persepsi, koordinasi
motorik, dan atensi. Dosis tinggi yang juga mengganggu tingkat kesadaran pengguna
menimbulkan efek nyata pada pengukuran kognitif.
Gunther M, Morandi A, Ely W. Pathophysiology of Delirium in the Intensive Care Unit. Crit
Care Clin 24 (2008) 45–65.

2.2.6 Manifestasi klinis delirium


Gambaran klinis delirium meliputi terganggunya kesadaran, seperti penurunan tingkat
kesadaran; terganggunya atensi yang mencakup berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan, atau mengalihkan atensi; hendaya dalam bidang fungsi kognitif lain yang
dapat bermanifestasi sebagai disorientasi (khususnya terhadap waktu dan tempat) dan
penurunan fungsi memori; awitan yang relatif cepat (biasanya dalam hitungan jam atau hari);
durasi singkat (biasanya selama beberapa hari atau minggu); dan seringkali fluktuasi keparahan
serta manifestasi klinis lain yang nyata dan tidak dapat diramalkan terjadi sepanjang hari,
kadang memburuk di malam hari (senja), terkadang dengan hendaya kognitif serta
disorganisasi yang cukup parah.
Gambaran klinis terkait sering muncul dan menonjol, meliputi disgorganisasi proses pikir
(berkisar dari tangensialitas ringan hingga inkoherensi nyata), gangguan persepsi seperti ilusi
dan halusinasi, hiperaktivitas dan hipoaktivitas psikomotor, gangguan siklus tidur-bangun
(gejala yang sering berupa tidur yang terfragmentasi di malam hari, dengan atau tanpa rasa
kantuk di siang hari), perubahan mood (dari iritabilitas sampai disforia, ansietas, atau bahkan
euforia yang nyata), serta manifestasi lain dari fungsi neurologis yang terganggu (contoh:
hiperaktivitas atau instabilitas otonom, kejang mioklonik, dan disartria).
2.2.7 Diagnosis
a. Kriteria diagnosis
 Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat kondisi medis umum
A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkanperhatian
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa)ataugangguan persepsiyang tidak dikaitkan dengan demensia
C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek,cenderung
berfluktuasi dalam sehari

D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium bahwa
gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung dari suatu kondisi
medis umum.

 Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat intoksikasi zat


A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan)yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkanperhatian
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
C. Gangguanberkembang dalam periode waktu yang pendek,cenderung
berfluktuasi dalam sehari
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa simtom
A dan B terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan medikasi.

 Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat putus zat


A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkanperhatian
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbaha) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
C. Gangguanberkembang dalam periodewaktu yang pendek,cenderung
berfluktuasi dalam sehari
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa
delirium tersebut memiliki lebih dari satu etiologi (contoh: lebih dari satu
kondisi medis umum sebagai etiologi, satu kondisi medis umum ditambah
intoksikasi zat atau efek samping obat).

b. Pemeriksaan Fisik
 Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-
tempat tersembunyi misalnya dorsum penis.
 Pemeriksaan fisik terutama untuk menemukan gejala intoksikasi/ over dosis/ putus zat
dan komplikasi medik seperti Hepatitis, Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS
dan lain-lain.
 Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan, sclera ikterik,
conjunctiva anemis, perforasi septum nasi, caries gigi, aritmia jantung, edema paru,
pembesaran hepar dan lain-lain.

c. Pemeriksaan Laboratorium
Analisa Urin
 Bertujuan untuk mendeteksi adanya zat psikoaktif dalam tubuh (benzodiazepin,
barbiturat, amfetamin, kokain, opioida, kanabis)
 Pengambilan urin hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir
dan pastikan urine tersebut urine pasien.

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EEG secara karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas secara umum
dan berguna untuk membedakan delirium dengan depresi ataupun psikosis. EEG pada
delirium kadang-kadang menunjukkan area hiperaktivitas fokal. Pada delirium akibat
putus alkohol ataupun zat sedatif EEG menunjukkan aktivitas voltase rendah yang cepat.

2.2.8 Diagnosa Banding


a. Demensia
Onset demensia terjadi secara perlahan, berbeda dengan delirium yang terjadi secara
mendadak. Meski kedua kondisi tersebut mencakup hendaya kognitif, perubahan pada
demensia lebih stabil dengan berjalannya waktu dan tidak berfluktuasi sepanjang hari.

b. Gangguan psikotik dan Depresi


Beberapa pasien gangguan psikotik seperti skizofrenia atau episode manik mungkin
mengalami periode perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan dengan delirium.
Namun, umumnya halusinasi dan waham pada pasien psikotik akut lebih konstan dan
lebih teratur dibandingkan dengan delirium. Pasien psikotik akut biasanya tidak
mengalami perubahan tingkat kesadaran atau orientasi.
Pasien delirium dengan gejala hipoaktif mungkin akan tampak serupa dengan pasien
depresi berat namun dapat dibedakan berdasarkan EKG.

2.2.9 Tatalaksana
a. Nonfarmakologis
Tatalaksana non farmakologis yang penting adalah memberikan dukungan fisik,
sensorik, dan lingkungan. Dukungan fisik dibutuhkan agar pasien delirium tidak terjebak
dalam situasi yang mencelakai dirinya sendiri. Pasien delirium sebaiknya tidak mengalami
deprivasi sensorik maupun dirangsang secara berlebihan oleh lingkungan. Mereka
biasanya akan terbantu dengan adanya teman atau saudara di ruangan yang sama atau
orang yang biasa dekat dengannya. Orientasi yang teratur terhadap orang, tempat, dan
waktu dapat membantu membuat pasien delirium merasa nyaman.

b. Farmakologis
Dalam pengobatan delirium, tujuan utamanya adalah mengatasi penyebab yang mendasari.
Haloperidol
 Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam mengobati delirium, dapat
diberikan per oral,IM,atauIV
 Dosis haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang setiap 30 menit
(maksimal 20 mg/hari)
 Efek sampingparkinsonismedan akatisiadapat terjadi
 Bila diberikan IV,dipantau dengan EKG adanya pemanjangan interval QTc dan adanya
disritmia jantung.

Benzodiazepin:
Di Amerika Serikat, benzodiazepin (BZD) telah ditetapkan sebagai obat pilihan untuk
pencegahan dan pengobatan DT. Benzodiazepin memodulasi tindakan GABAA reseptor
dengan meningkatkan afinitas neurotransmitter GABA untuk reseptor. Biokimia, ini
memungkinkan untuk lebih Cl-ion melintasi membran terminal dan menyebabkan efek
penghambatan. Peran utama dari BZD adalah untuk mengganti GABA modulasi efek
bahwa alkohol diberikan kepada pasien. Farmakologi ini memberikan efek penghambatan
dan akan membantu dalam mengurangi gejala terkait dengan DT. Benzodiazepin telah
terbukti aman dan manjur dalam mencegah komplikasi yang terkait dengan DT . Pemilihan
sebuah BZD di rumah sakit tergantung pada beberapa faktor termasuk rute pemberian ,
onset dan durasi tindakan , fungsi hati , dan Status formularium rawat inap.
Chlordiazepoxide, diazepam, lorazepam dan midazolam berada di kelas ini, digunakan
dalam pengaturan penarikan akut untuk mengobati DT.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan satu BZD menjadi lebih mujarab ketimbang yang
lain. Ketika memilih sebuah BZD dalam pengobatan penarikan etanol , yang dokter harus
pertimbangkan ada banyak faktor . Semua BZDs tersedia dalam bentuk sediaan oral dan
intravena. Lorazepam mungkin menguntungkan dalam beberapa situasi klinis karena
menawarkan intramuscular administrasi . Lorazepam tidak memiliki metabolit aktif ,
menjadikannya pilihan yang menarik dalam pasien dengan fungsi hati atau fungsi ginjal
menurun . Dosis BZD digunakan selama DT dapat melebihi yang yang dianggap normal.
Farmakologis maksud dari terapi adalah untuk merangsang produksi GABA pada tingkat
yang akan dianggap setara dengan yang dihasilkan oleh etanol . pada 1 kasus , 2.640 mg
diazepam intravena diberikan lebih dari 48 jam diperlukan untuk mengendalikan pasien
usia 34 tahun yang mengaku kondisi darurat dengan penarikan alkohol akut.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sedasi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan tenang, diam, atau tidur yang
ditimbulkan dengan cara pemberian obat.Sedangkan delirium berupa agitasi yang ekstrim.
Delirium dapat timbul segera atau setelah beberapa hari, dengan gejala yang berfluktuasi
secara periodik. Delirium juga dapat berupaefek samping dari obat sedasi dan analgesia.
Pengelolaan delirium dan agitasi meliputi komunikasi simpatikdengan pasien.
Manajemen sedasi dan delirium yang dimaksud adalah bagaimana para tenaga medis
dapat memanajemen penggunaan atau pemberian obat sedatif pada pasien dengan indikasi
yang tepat dan sesuai dengan dosis yang diberikan dokter guna untuk menenangkan pasien
maupun untuk mengurangi kecemasan berlebih. Karena obat sedatif dapat memberikan efek
samping yang berupa delirium tersebut, maka baiknya tenaga kesehatan maupun dokter dapat
memberikan dosis obat sedatif yang sesuai sehingga efeknya dapat terkontrol.

3.2 Saran
Demikian makalah kami buat, tentunya masih banyak kekurangan karena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang sesuai dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran
yang membangun demi sempurnanya makalah dikesempatan berikutnya. Makalah ini jauh
dari kata sempurna, untuk itu kami mengharapkan dikemudian hari makalah ini dapat
diperbaiki dan dikembangkan sesuai perkembangan ilmu kesehatan yang ada. Semoga
makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan para calon tenaga kesehatan maupun
pembaca lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rathmell.P.James. Bonica’s Management of Pain. Pain management in the intensive care


unit.LippincottWilliams2012;112:1590–01.
2. Sessler CN, Wilhem W. Analgesia and sedation in the intensive care unit: an
overview of the issues Crit Care. 2008;12(Suppl 3): S1.
3. Reade C Michael, Finfer Simon. Sedation and Delirium in the Intensive Care Unit. J
New England 2014:444–54.
4. Pisani, Margaret et al. Benzodiazepine and Opioid Use and The Duration of ICU
Delirium in an Older Population. Crit Care Med. 2009; 37(1): 177–183.
5. Sadock & Virginia. 2000. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry.
Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 7th edition.
6. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 420/Menkes/SK/ii/2010.
Pedoman Layanan Terapi Dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan
Napza Berbasis Rumah Sakit. Hal: 1-92
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. 2012. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa/Psikiatri. PP PDSKJI.
8. Sadock & Virginia. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook Clinical Psychiatry. 2nd
edition. Jakarta: EGC.
9. Nevid, J. S., et al. 2005. Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
10. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders. (4th ed.,textrevision).Washington D. C.
11. Gunther M, Morandi A, Ely W. Pathophysiology of Delirium in the Intensive Care Unit.
Crit Care Clin. 2008. 45–65.
12. Ricardo P. 2010. Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Oleh Kepolisian
(Studi Kasus Satuan Narkoba Polres Metro Bekasi). Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol. 6
No.III Desember: 232 – 245.
13. Smith, Brian et al. Management of Delirium Tremens. Journal of Intensive Care
Medicine. 2005; 20: 164S

Anda mungkin juga menyukai