Oleh:
Kelompok 2
Sindi Arieska 162310101124
Gilang Ramadhan 162310101140
Aisyah Chitra Permata 162310101248
Emilia Fitri 162310101178
Deka Isnatu Raka Joni 162310101132
Fidella Ucca Fairuz 162310101167
Frihatin Al-Isnaini 162310101148
Kiki Aprelia 162310101162
Sinta Kholifa M. 162310101171
Ramayana Lestari 162310101255
Rizqon Ni’amullah 162310101236
Izzatin Nafis 162310101251
Shinta Dewi Purnama 162310101130
Maviratul Husniyeh 162310101246
Dema Novita Hindom 132310101033
Syinthia Purnama A 162310101247
Pada umumnya, lingkungan ruang rawat intensif (ICU) dapat menimbulkan rasa
takut dan stres terhadap pasien. Agitasi dapat terjadi pada 71% pasien di ICU.
Kebanyakan dari pasien yang dirawat di ICU, tidak dapat mengkomunikasikan apa
yang mereka rasakan dan butuhkan. Prosedur-prosedur seperti intubasi endotrakhea,
ventilasi mekanik, suction dan fisioterapi tidak dapat ditoleransi tanpa pemberian
sedasi yang adekuat. Akan tetapi, pemberian sedasi yang terus menerus dapat
memperpanjang lama penggunaan ventilasi mekanik dan perawatan di ICU.
Rasa nyeri dapat ditimbulkan oleh berbagai hal seperti trauma, prosedur invasif,
penyakit tertentu dan proses inflamasi. Mengatasi nyeri sangat penting oleh karena
efeknya terhadap fisiologi dan psikologi pasien. Rasa nyeri dapat menimbulkan rasa
cemas dan gangguan tidur, meningkatnya aktivitas simpatis, meningkatkan
kebutukan metabolik, ketidakseimbangan sistem sirkulasi dan respirasi untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan, risiko terjadinya iskemia jantung,
respons endokrin yang mengakibatkan retensi garam dan air, serta gangguan
mobilisasi yang mengakibatkan gangguan kemampuan ventilasi dan batuk.
Manajemen sedasi dan nyeri yang baik adalah salah satu hal yang penting dan
seringkali sulit tercapai dalam perawatan intensif. Meskipun terapi utama berupa
terapi farmakologi, metode yang lain tidak boleh diabaikan. Komunikasi yang baik
dari staf keperawatan dapat membantu mengurangi rasa cemas pada pasien.
Pengaturan pada lingkungan seperti suhu, kebisingan dan pencahayaan dapat
menciptakan suatu lingkungan
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian sedasi dan delirium
2. Mengetahui indikasi pemberian sedasi
3. Mengetahui cara pemantauan sedasi
4. Mengetahui manajemen farmakologi dan non farmakologi sedasi dan
analgesia
5. Mengetahui efek yang ditimbulkan saat pemberian sedasi dilakukan
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Menurut Kemenkes RI (2015), Sedasi merupakan tindakan anastesi yang
menimbulkan efek sedasi dan analgesia pada prosedur tindakan baik diagnostik
maupun terapetik. Menurut Kemenkes definisi tingkat sedasi adalah sebagai
berikut :
a. Sedasi minimal
Tingkat sedasi dengan menggunakan obat dimana penderita masih dapat
melakukan respon secara normal dan perintah lisan, meskipun fungsi kognitif
dan koordinasi sudah menurun, namun fungsi respirasi dan kardiovaskulat
tidak dipengaruhi.
b. Sedasi sedang
Tingkat sedasi dengan menggunakan obat dimana kesadaran menurun dengan
respon terhadap perintah lisan dan rangsang taktil sudah menurun namun
tidak membutuhkan intervensi lebih lanjut untuk menjaga patensi jalan nafas
dan ventilasi spontan yang cukup
c. Sedasi dalam atau Anastesi umum
Tingkat sedasi dengan menggunakan obat dimana tingkat kesadaran menurun
sehingga penderita tidak memberikan respon terhadap perintah lisan namun
berespon setelah rangsang nyeri berulang. Kemampuan untuk menjaga
ventilasi secara spontan mungkin akan menurun sehingga membutuhkan
bantuan ventilasi dan membuka jalan nafas
Sedasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan agen-agen farmakologik untuk
menghasilkan depresi tingkat kesadaran secara cukup sehingga menimbulkan
rasa mengantuk dan menghilangkan kecemasan tanpa kehilangan komunikasi
verbal.
The American Society of Anesthesiologists menggunakan definisi berikut
untuk sedasi :
1. Sedasi minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat,
pasien berespon normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi
kognitif dan koordinasi terganggu, tetapi fungsi kardiovaskuler dan
ventilasi tidak dipengaruhi.
2. Sedasi sedang (sedasi sadar) adalah suatu keadaan depresi kesadaran
setelah terinduksi obat di mana pasien dapat berespon terhadap perintah
verbal secara spontan atau setelah diikuti oleh rangsangan taktil cahaya.
Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga jalan napas paten dan ventilasi
spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.
3. Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi
kesadaran setelah terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan
berespon terhadap rangsangan berulang atau rangsangan sakit.
Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi dapat terganggu dan
pasien dapat memerlukan bantuan untuk menjaga jalan napas paten.
Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.
Dapat terjadi progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam di mana
kontak verbal dan refleks protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga
sulit dibedakan dengan anestesi umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan,
dan diperlukan tingkat keahlian yang lebih tinggi untuk penanganan pasien.
Kemampuan pasien untuk menjaga jalan napas paten sendiri merupakan salah
satu karakteristik sedasi sedang atau sedasi sadar, tetapi pada tingkat sedasi ini
tidak dapat dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat anestesi
dapat digunakan dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat
sedative dapat menghasilkan efek anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar.
Terdapat 2 istilah, sedasi dan analgesia, yang digunakan di ICU. Sedasi adalah
istilah untuk hipnotik dan ansiolisis, sedangkan analgesia istilah untuk
menghilangkan nyeri dan supresi dari respiratory drive. Pada tahun 1980an,
pasien dengan ventilasi mekanik seringkali disedasi dalam dan diberikan
pelumpuh otot, namun saat ini pasien sakit kritis hanya diberikan sedasi ringan,
tanpa disertai dengan penggunaan pelumpuh otot. Hal ini berkaitan dengan
berkembangnya jenis ventilasi mekanik yang dapat menyesuaikan pada pola
respirasi intrinsik pasien, penggunaan trakheostomi perkutaneous dini dan
diketahuinya efek negatif dari penggunaan sedasi secara rutin , analgesia dan
pelumpuh otot.
2.2 Indikasi
Menurut Kemenkes RI (2015), sebagai manajemen cemas, nyeri dan kontrol
aktivitas pada penderita pediatrik untuk tindakan:
a. Lumbar puncture
b. Biopsi
c. Diagnostik/evaluasi radiologis
d. Pemasangan intravena
e. Prosedur lain yang menimbulkan rasa nyeri dan cemas
Namun terdapat indikasi lainnya, yakni:
a. Premedikasi
Obat-obat sedatif dapat diberikan pada masa preoperatif untuk
mengurangi kecemasan sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan.
Pemilihan obat tergantung pada pasien, pembedahan yang akan dilakukan,
dan keadaan-keadaan tertentu: misalnya kebutuhan pasien dengan
pembedahan darurat berbeda dibandingkan pasien dengan pembedahan
terencana atau pembedahan mayor. Penggunaan oral lebih dipilih dan
benzodiazepin adalah obat yang paling banyak digunakan untuk premedikasi.
b. Sedo-analgesia
Istilah ini menggambarkan penggunaan kombinasi obat sedatif dengan
anestesi lokal, misalnya selama pembedahan gigi atau prosedur pembedahan
yang menggunakan blok regional. Perkembangan pembedahan invasif
minimal saat ini membuat teknik ini lebih luas digunakan.
c. Prosedur radiologic
Beberapa pasien, terutama anak-anak dan pasien cemas, tidak mampu
mentoleransi prosedur radiologis yang lama dan tidak nyaman tanpa sedasi.
Perkembangan penggunaan radiologi intervensi selanjutnya meningkatkan
kebutuhan penggunaan sedasi dalam bidang radiologi.
d. Endoskopi
Obat-obat sedatif umumnya digunakan untuk menghilangkan kecemasan
dan memberi efek sedasi selama pemeriksaan dan intervensi endoskopi.
e. Terapi intensif
Kebanyakan pasien dalam masa kritis membutuhkan sedasi untuk
memfasilitasi penggunaan ventilasi mekanik dan intervensi terapetik lain
dalam Unit Terapi Intensif (ITU). Dengan meningkatnya penggunaan
ventilator mekanik, pendekatan modern yaitu dengan kombinasi analgesia
yang adekuat dengan sedasi yang cukup untuk mempertahankan pasien pada
keadaan tenang tapi dapat dibangunkan. Farmakokinetik dari tiap-tiap obat
harus dipertimbangkan, di mana sedatif terpaksa diberikan lewat infus untuk
waktu yang lama pada pasien dengan disfungsi organ serta kemampuan
metabolisme dan ekskresi obnat yang terganggu. Beberapa obat yang berbeda
digunakan untuk menghasilkan sedasi jangka pendek dan jangka panjang di
ITU, termasuk benzodiazepin, obat anestetik seperti propofol, opioid, dan
agoni α2-adrenergik. Nilai skor sedasi selama perawatan masa kritis telah
dibuat sejak bertahun-tahun, tapi perhatian lebih terfokus akhir-akhir ini pada
pentingnya sedasi harian ‘holds’; strategi interupsi harian dengan obat-obat
sedasi menyebabkan lebih sensitifnya kebutuhan untuk sedasi. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi insiden terjadinya komplikasi terkait penggunaan
ventilasi mekanik selama masa kritis dan untuk mengurangi lama perawatan.
2. Elektroensefalogram
3.1 Kesimpulan
Pada umumnya, pasien sakit kritis mendapatkan terapi sedasi dan atau terapi
analgesia untuk mengatasi rasa nyeri dan kecemasan dengan tujuan untuk
meningkatkan toleransi terhadap lingkungan ICU. Manajemen sedasi dan
analgesia harus meliputi penilaian penyakit dasar dan faktor pencetus,
pemantauan secara rutin, pemilihan obat yang baik dan penggunaan strategi
dengan menetapkan target terapi untuk menghindari sedasi yang berlebihan dan
berkepanjangan. Pemberian sedasi dan analgesia yang adekuat dapat
mempercepat penyapihan dari ventilasi mekanik dan mempersingkat perawatan
di ICU.
DAFTAR PUSTAKA
Sessler CN, Wilhem W. Analgesia and sedation in the intensive care unit: an
overview of the issues Crit Care. 2008;12(Suppl 3): S1.
Reade C Michael, Finfer Simon. Sedation and Delirium in the Intensive Care
Unit. J New England 2014:444–54.
Grace, Pierce A.Dkk. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit
Erlangga