Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sedasi berbeda dengan tidur. Sedasi secara klinis digambarkan sebagai tidur ringan. Dalam
beberapa kepustakaan dibedakan antara istilah tidur, hipnosis, dan tidak sadar. Perbedaan tersebut
berimplikasi nantinya pada praktiknya sehingga timbul istilah “sedasi prosedural”, “monitored
anesthesia care”, dan “sedasi & analgesia”.
Sedasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan agen-agen farmakologik untuk
menghasilkan depresi tingkat kesadaran secara cukup sehingga menimbulkan rasa mengantuk dan
menghilangkan kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal.
Pemberian sedasi sering dilakukan untuk memberikan kenyamanan kepada pasien sekaligus
membantu kelancaran prosedur yang dilakukan, terutama pada pasien bayi, anak-anak yang kurang
kooperatif atau dengan retardasi mental.

Tabel 1. Perbedaan tidur dan sedasi


Tidur Sedasi

Ditimbulkan secara endogen Diinduksi oleh obat/agen anestesia

Ada kontrol homeostatik dan sirkadian Tidak ada kontrol homeostatik dan sirkadian

Onset dan durasi bergantung pada stress, obat-obatan, Onset dan durasi bergantung pada dosis dan durasi obat
lingkungan, nyeri dan patologi anestesia yang diberikan

Batas kedalaman tidur bervariasi (NREM vs REM) Batas kesadaran ditentukan


Berperan dalam proses belajar dan konsolidasi memori Amnesia dan penurunan kognitif.
Tidak ada efek samping PONV cukup sering ditemukan

Metabolic rate menurun selama tidur NREM dan Metabolic rate menurun
meningkat selama tidur REM

B. TUJUAN
1. Membantu dokter dan pasien dalam membuat keputusan mengenai pelayanan kesehatan.
2. Membantu dokter memberikan keuntungan dilakukannya sedasi/analgesik sementara
meminimalisasi risiko yang dapat terjadi.

1
C. KEUNTUNGAN DAN RISIKO
1. Keuntungan yang didapat dari pemberian sedasi/analgesik :
a. Pasien dapat menoleransi prosedur yang tidak menyenangkan dengan mengurangi
kecemasan, ketidaknyamanan atau nyeri yang mereka rasakan.
b. Pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif : sedasi/anagesik dapat
mempercepat dan memperlancar pelaksanaan prosedur yang memerlukan pasien untuk
diam/tidak bergerak.
2. Risiko pemberian sedasi: berpotensi menimbulkan depresi kardiorespirasi, sehingga petugas
yang memberikan sedasi harus dapat segera mengenali dan menanganinya untuk mencegah
kejadian kerusakan otak akibat hipoksia, henti jantung atau kematian.
3. Pemberian sedasi/analgesik yang tidak adekuat:
a. Menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien.
b. Meningkatkan risiko cedera karena pasien menjadi kurang/tidak kooperatif.
c. Timbulnya efek fisiologis atau psikologis akibat respons terhadap stress yang dialami
pasien.

2
BAB II
PELAYANAN SEDASI

A. PENGERTIAN
Merupakan tindakan anestesi yang menimbulkan efek sedasi dan analgesia pada prosedur
tindakan baik diagnostik maupun terapetik.
Sedasi minimal/ringan adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien
berespon normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu,
tetapi fungsi kardiovaskuler dan ventilasi tidak dipengaruhi.
Sedasi sedang/moderat adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat di
mana pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah diikuti oleh
rangsangan taktil cahaya. Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga jalan napas paten dan
ventilasi spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.
Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran setelah
terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan berulang atau
rangsangan sakit. Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi dapat terganggu dan pasien
dapat memerlukan bantuan untuk menjaga jalan napas paten. Fungsi kardiovaskuler biasanya
dijaga.
Anestesi umum : hilangnya kesadaran di mana pasien tidak sadar, bahkan dengan
pemberian stimulus nyeri. Pasien sering membutuhkan bantuan untuk mempertahankan patensi
jalan nafas dan mungkin membutuhkan ventilasi tekanan positif karena tidak adekuatnya ventilasi
spontan/fungsi kardiovasular dapat terganggu.

Tabel 2. Kategori/Tingkatan anestesi-sedasi


Sedasi Sedasi berat/dalam
ringan/minimal Sedasi sedang Anestesi umum
(anxiolysis)
Respons Respons normal Merespons terhadap Merespons setelah Tidak sadar, meskipun
terhadap stimulus stimulus sentuhan diberikan stimulus dengan stimulus nyeri
verbal berulang/stimulus nyeri

Jalan nafas Tidak terpengaruh Tidak perlu intervensi Mungkin perlu intervensi Sering memerlukan
intervensi

Ventilasi Tidak terpengaruh Adekuat Dapat tidak adekuat Sering tidak adekuat
spontan

Fungsi Tidak terpengaruh Biasanya dapat Biasanya dapat Dapat terganggu


kardio dipertahankan dengan dipertahankan dengan
vaskular baik baik

3
B. INDIKASI PENGGUNAAN OBAT-OBAT SEDATIF
1. Premedikasi
Obat-obat sedatif dapat diberikan pada masa preoperatif untuk mengurangi kecemasan
sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan. Sedasi dapat digunakan pada anak-anak kecil,
pasien dengan kesulitan belajar, dan orang yang sangat cemas. Obat-obat sedatif diberikan
untuk menambah aksi agen-agen anestetik. Pemilihan obat tergantung pada pasien,
pembedahan yang akan dilakukan, dan keadaan-keadaan tertentu: misalnya kebutuhan pasien
dengan pembedahan darurat berbeda dibandingkan pasien dengan pembedahan terencana
atau pembedahan mayor. Penggunaan oral lebih dipilih dan benzodiazepin adalah obat yang
paling banyak digunakan untuk premedikasi.

2. Pseudo-analgesia
Istilah ini menggambarkan penggunaan kombinasi obat sedatif dengan anestesi lokal,
misalnya selama pembedahan gigi atau prosedur pembedahan yang menggunakan blok
regional. Perkembangan pembedahan invasif minimal saat ini membuat teknik ini lebih luas
digunakan.
3. Prosedur Radiologik
Beberapa pasien, terutama anak-anak dan pasien cemas, tidak mampu mentoleransi
prosedur radiologis yang lama dan tidak nyaman tanpa sedasi. Perkembangan penggunaan
radiologi intervensi selanjutnya meningkatkan kebutuhan penggunaan sedasi dalam bidang
radiologi.
4. Endoskopi
Obat-obat sedatif umumnya digunakan untuk menghilangkan kecemasan dan memberi
efek sedasi selama pemeriksaan dan intervensi endoskopi. Pada endoskopi gastrointestinal
(GI), analgesik lokal biasanya tidak tepat digunakan, perlu penggunaan bersamaan obat
sedatif dan opioid sistemik. Sinergisme antara kelompok obat-obat ini secara signifikan
meningkatkan risiko obstruksi jalan napas dan depresi ventilasi.
5. Terapi intensif
Kebanyakan pasien dalam masa kritis membutuhkan sedasi untuk memfasilitasi
penggunaan ventilasi mekanik dan intervensi terapetik lain dalam Unit Terapi Intensif (ICU).
Dengan meningkatnya penggunaan ventilator mekanik, pendekatan modern yaitu dengan
kombinasi analgesia yang adekuat dengan sedasi yang cukup untuk mempertahankan pasien
pada keadaan tenang tapi dapat dibangunkan. Farmakokinetik dari tiap-tiap obat harus
dipertimbangkan, di mana sedatif terpaksa diberikan lewat infus untuk waktu yang lama pada
pasien dengan disfungsi organ serta kemampuan metabolisme dan ekskresi obat yang
terganggu. Beberapa obat yang berbeda digunakan untuk menghasilkan sedasi jangka pendek
dan jangka panjang di ICU, termasuk benzodiazepin, obat anestetik seperti propofol, opioid,

4
dan agonis α2-adrenergik. Nilai skor sedasi selama perawatan masa kritis telah dibuat sejak
bertahun-tahun, tapi perhatian lebih terfokus akhir-akhir ini pada pentingnya sedasi harian
‘holds’; strategi interupsi harian dengan obat-obat sedasi menyebabkan lebih sensitifnya
kebutuhan untuk sedasi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi insiden terjadinya komplikasi
terkait penggunaan ventilasi mekanik selama masa kritis dan untuk mengurangi lama
perawatan.
6. Suplementasi terhadap anestesi umum
Penggunaannya yaitu dari sinergi antara obat-obat sedatif dan agen induksi intravena
dengan teknik ko-induksi. Penggunaan sedatif dalam dosis rendah dapat menghasilkan
reduksi signifikan dari dosis agen induksi yang dibutuhkan, dan dengan demikian
mengurangi frekuensi dan beratnya efek samping.

C. TEKNIK PENGGUNAAN
Penggunaan obat sedatif memerlukan keterampilan dan kehati-hatian, karena bisa
terjadinya progresi dari sedasi ringan menjadi anestesi umum. Dahulu obat-obat sedatif digunakan
melalui bolus intravena intermiten. Terdapat variasi yang cukup besar dari respon individual
terhadap dosis yang diberikan dan terdapat banyak keadaan di mana praktisi medis tanpa pelatihan
anestetik menggunakan sedatif. Teknologi terbaru dalam pompa infus dengan kontrol
mikroprosesor telah meningkatkan keamanan penggunaan sedatif. Sistem patient-controlled
analgesia telah diprogram untuk patient-controlled sedation, biasanya untuk mempertahankan
sedasi setelah dosis bolus awal digunakan oleh dokter. Setelah sistem tersebut sepenuhnya
terkontrol oleh pasien, dosis rata-rata obat sedatif menurun sementara jarak pemberian meningkat.
Pada target-controlled infusion, pompa spuit telah diprogram dengan model farmakokinetik
obat dan didesain untuk mencapai konsentrasi plasma target yang diinginkan secepat mungkin,
sesuai dengan berat badan pasien. Usia pasien juga seharusnya diperhatikan di mana semakin tua
usia pasien, semakin tinggi sensitivitas efek obat-obat sedatif terhadap SSP. Karena terdapat
variabilitas efek farmakodinamik obat, operator dapat mengubah-ubah level target.
Pemakaian sedasi yang aman bertujuan untuk membuat prosedur lebih aman dan
meminimalkan resiko terhadap pasien. Ketika sedasi digunakan di luar lingkungan operasi, perlu
dipastikan tersedianya fasilitas yang adekuat, peralatan, dan orang yang berkompeten. Beberapa
panduan pemakaian telah diperkenalkan untuk mengatasi hal ini. Fasilitas harus tersedia untuk
memonitor kondisi fisiologis seperti saturasi oksigen arterial, dan individu yang melakukan
prosedur tidak bertanggungjawab memonitor kondisi pasien pada saat bersamaan. Seorang petugas
harus dilatih untuk dapat mengenali, dan berkompetensi untuk menangani komplikasi
kardiorespirasi, dan peralatan resusitasi harus lengkap dan tersedia secepatnya.

5
D. OBAT-OBAT SEDATIF
Kebanyakan obat-obatan sedatif dikategorikan dalam satu dari tiga kelompok utama, yaitu:
Benzodiazepin, neuroleptik dan agonis a2- adrenoseptor. Obat-obatan ini lebih sering di
klasifikasikan sebagai jenis anestesi intravena, terutama propofol dan ketamin, juga digunakan
sebagai obat sedatif dengan dosis subanestetik.

1. BENZODIAZEPIN
Obat-obat ini awalnya dikembangkan untuk keperluan obat ansiolitik dan hipnotik dan pada
tahun 1960-an menggantikan obat barbiturat oral. Agar sediaan parenteral tersedia, mereka
terus mengembangkan di anestesi dan perawatan intensif. Semua benzodiazepin mempunyai
efek farmakologi yang sama, efek terapi ini ditentukan oleh potensi dan ketersediaan obat-
obatan. Benzodiazepin diklasifikasi berdasarkan lama kerja obat, yaitu sebagai lama kerja
panjang (diazepam), lama kerja sedang (temazepam), lama kerja pendek (midazolam).
a. Farmakologi
Mekanisme Aksi
Benzodiazepin bekerja oleh daya ikatan yang spesifik pada reseptor benzodiazepin,
yang mana merupakan bagian dari kompleks reseptor asam-g-aminobutirik (GABA).
GABA merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan saraf pusat (SSP),
melalui neuron-neuron modulasi GABA-nergik. Reseptor Benzodiazepin berikatan
dengan reseptor subtipe GABA. Berikatan dengan reseptor agonis menyebabkan
masuknya ion klorida dalam sel, yang menyebabkan hiperpolarisasi dari membran
postsinaptik, dimana dapat membuat neuron ini resisten terhadap rangsangan. Dengan
cara demikian obat ini memfasilitasi efek inhibitor dari GABA. Reseptor benzodiazepin
dapat ditemukan di otak dan medula spinalis, dengan densitas tinggi pada korteks
serebral, serebelum dan hipokampus dan densitas rendah pada medula spinalis. Tidak
adanya reseptor GABA selain di SSP, hal ini aman bagi sistem kardiovaskuler pada saat
penggunaan obat ini.
Efek Benzodiazepin pada SSP ditunjukan pada hubungan dengan kemampuan reseptor.

Tabel 3. Dosis dan reverse midazolam


Dosis midazolam Efek Kemampuan reseptor (%) Dosis flumazenil untuk
“reverse”
Dosis rendah Antiepilepsi Dosis rendah
Anxiolisis 20-25
Sedasi ringan 20-30
Penurunan perhatian 25-50
Amnesia 60-90
Sedasi kuat
Relaksasi otot
Dosis tinggi Anestesi Dosis tinggi

6
b. Contoh Preparat Benzodiazepin
1) Midazolam
Midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air dengan struktur cincin
imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah
menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat.
Selain itu afinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam.
Efek amnesia pada obat ini lebih kuat dibanding efek sedasi sehingga pasien dapat
terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadiselama
beberapa jam. Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak
terbuka dan tetap larut dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi
perubahan pH sehingga cincin akan menutup dan obat akan menjadi larut dalam
lemak. Larutan midazolam dapat dicampur dengan ringer laktat atau garam asam
dari obat lain.
a) Farmakokinetik
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar
darah otak. Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol
dan thiopental. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke
sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik yang tinggi. Sebagian
besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu
durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat
distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens
hepar yang cepat.
Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek dari pada waktu
paruh diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan
gangguan fungsi hati. Pada pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan
lebih lambat karena obat banyak berikatan dengan sellemak. Akibat eliminasi
yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih
pendek dibanding diazepam.

b) Metabolisme
Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan enzim cytochrome P-
450 usus halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif. Metabolit utama
yaitu 1-hidroksimidazolam yang memiliki separuh efek obat induk. Metabolit
ini dengan cepat dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi 1-
hidroksimidazolam glukoronat yang dieskresikan melalui ginjal. Metabolit

7
lainnya yaitu 4-hidroksimidazolam tidak terdapat dalam plasma pada
pemberian IV. Metabolisme midazolam akan diperlambat oleh obat-obatan
penghambat enzim sitokromP-450 seperti simetidin, eritromisin, calsium
channel blocker, obat anti jamur. Kecepatan klirens hepatik midazolam lima
kali lebih besar daripada lorazepam dan sepuluh kali lebih besar dari pada
diazepam.
c) Efek pada Sistem Organ
Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah
ke otak seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya
penurunan kebutuhan metabolik oksigenotak dengan penambahan dosis
midazolam. Midazolam juga memiliki efek yang kuat sebagai anti konvulsan
untuk menangani status epileptikus.
- Pernapasan
Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara
dengan diazepam0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis memiliki resiko lebih besar terjadinya depresi pernapasan
walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak terjadi sama sekali.
Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan
menyebabkan apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan
opioid. Benzodiazepin juga menekan refleks menelan dan penurunan
aktivitas saluran napas bagian atas.
- Sistem kardiovaskuler
Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesia akan menurunkan
tekanan darah dan meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada
diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara dengan thiopental 3-4 mg/kg IV.
Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi
perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada
tekanan darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma
benzodiazepin.
d) Penggunaan Klinik
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik
sebagai sedasi daninduksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek
antikonvulsan sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kejang grand-mal.
- Premedikasi
Dari penelitian yang dilakukan oleh Wilton et al mengenai sedasi
praanestesia pada anak usia prasekolah dengan midazolam intranasal 0,2
mg/kgbb menghasilkan 93% anak dapat dipisahkan dengan memuaskan

8
dari orangtua dalam waktu 30 menit. Penelitian oleh Davis PJ et al dan
Goldman RD menyatakan bahwa midazolam intranasal 0,2 dan
0,3mg/kgbb menimbulkan efek sedasi dan antiansietas yang sama baiknya
dan relatif aman. Bhakta P et al tahun 2007 menyatakan tidak ada
manfaat tambahan yang didapatkan dengan meningkatkan dosis sampai
0,3 mg/kgbb. Dosis yang lebih tinggi membutuhkan volume yang lebih
banyak sehingga menimbulkan kemungkinan mengalirnya sejumlah
volume ke rongga mulut melalui bagian posterior hidung dan terbuangnya
sejumlah dosis karena bersin atau menetes dari lubang hidung. Sashikiran
et al menyatakan dosis yang relatif kecil (0,2 mg/kgbb)menunjukkan
stabilitas kardio-respirasi. Tidak terjadinya mual, muntah dan depresi
respirasi pada anak-anak yang mendapatkan makanan ringan, jus atau roti
sebelum pemberian sedasi, nampaknya merupakan indikator yang cukup
baik untuk memberi kesan bahwa tidak mutlak anak untuk puasa 4-6 jam
sebelum sedasi dilakukan. Midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral
berupa sirup (2 mg/ml) kepada anak-anak untuk memberikan efek sedasi
dan anxiolisis dengan efek pernapasan yang sangat minimal.
Pemberian0,5 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi dipercaya akan
memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.
- Sedasi intravena
Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5
menit, durasi 15-80menit) efektif sebagai sedasi selama regional
anestesia. Dibanding dengan diazepam, midazolam memiliki onset yang
lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi yang lebih
rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang
ditakutkan dari midazolam adalah adanya depresi napas apalagi bila
diberikan bersama obat penekan CNS lainnya.
- Sedasi post operasi
Pemberian jangka panjang midazolam secara intravena (dosis awal 0,5-4
mg IV dan dosisrumatan 1-7 mg/jam IV) akan mengakibatkan klirens
midazolam dari sirkulasi sistemik lebih bergantung pada metabolisme
hepatik. Efek farmakologis dari metabolit akan terakumulasi
dan berlangsung lebih lama setelah pemberian intravena dihentikan
sehingga waktu bangun pasien menjadi lebih lama. Penggunaan opioid
dapat mengurangi dosis midazolam yang dibutuhkan sehingga waktu
pulih lebih cepat. Waktu pulih akan lebih lama pada pasien tua, obese dan
gangguan fungsi hati berat.

9
2) Diazepam
Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi
kerja yanglebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan
pelarut organik (propilen glikol,sodium benzoate) karena tidak larut dalam air.
Larutannya pekat dengan pH 6,6-6,9.Injeksi secaraIV atau IM akan menyebabkan
nyeri.
a) Farmakokinetik
Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya
dalam 1 jam (15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi
menyebabkan Vd diazepam besar dan cepat mencapai otak dan jaringan
terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati plasenta danterdapat dalam
sirkulasi fetus.Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya
kelarutan lemak. Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki
ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga pada pasien dengan
konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada sirosis hepatis, akan
meningkatkan efek samping dari diazepam.
b) Metabolisme
Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati
menjadi desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam.
Desmethyldiazepam memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme
lebih lambat dibanding oxazepam sehingga menimbulkan keadaan
mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian. Metabolit ini mengalami
resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi.
Desmethyldiazepam diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan
dikonjugasikan dengan asam glukoronat.
c) Waktu Paruh
Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin
panjang pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan
bersama obat penghambat enzim sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam,
diazepam memiliki waktu paruh yang lebih panjang namun durasi kerjanya
lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABA lebih cepat terpisah.
Waktu paruh desmethyldiazepam adalah 48-96 jam. Pada penggunaan lama
diazepamdapat terjadi akumulasi metabolit di dalam jaringan dan dibutuhkan
waktu lebih dari seminggu untuk mengeliminasi metabolit dari plasma.
d) Efek pada Sistem Organ

10
Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada
penggunaan bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas.
Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi
anestesia tidak menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac
output dan resistensi perifer. Begitu jugadengan pemberian anestesia volatile
N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan perubahan pada
kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti
dengan injeksi fentanyl 50 µg/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi
vaskuler dan penurunan tekanan darah sistemik. Pada otot skeletal, diazepam
menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan menurunkan impuls dari
saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila konsentrasi
plasmanya >1000ng/ml.

2. PROPOFOL
Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang digunakan
secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10%
minyak kedelai, 2,25% gliserol, dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara struktur
kimia berbeda dari obat sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya.
Penggunaan propofol 1,5 – 2,5 mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau
methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya
kesadaran dalam waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan
kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan secara cepat. Selain cepat
mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri
pada tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikkan pada pembuluh darah vena yang
kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan pemilihan tempat masuk obat di daerah vena
yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%. Propofol adalah larutan yang tidak larut dalam
air sehingga membutuhkan pelarut untuk larut dalam lemak sehingga terjadi emulsifikasi.
Saat ini digunakan larutan kacang kedele sebagai pelarut lemak dan egg lechitin sebagai zat
pengemulsi yang dikomposisikan dengan rantai panjang trigliserida. Komposisi seperti ini
mendukung perkembangan bakteri dan meningkatkan kandungan trigliserida plasma ketika
diberikan melalui cairan infus yang lama. Diprivan menggunakan disodium edenate
(0,005%) dan sodium hydroxide dan meningkatkan pH 7-8,5. Kandungan generik propofol
sodium metabisulfite (0,25mg/mnl) mengubah menjadi pH 4,5-6,4. Propofo ltidak seperti
thiopental, etomide, dan ketamin, tidak memiliki komponen chiral.
Campuran propofol dan obat lain tidak dianjurkan walau penggunaan lidokain sering
ditambahkan untuk mengurangi nyeri pada tempat suntikan. Pencampuran lidokain dan

11
propofol dapat menimbulkan gabungan pada droplet minyak dan bentuk yang lain sehingga
meningkatkan risiko embolisasi pulmonal. Emulsi propofol yang rendah lemak (Ampofol)
mengandung 5% minyak kedelai dan 0,6%egg lechitin dan tidak memerlukan bahan
pengawet atau zat yang meretardasi pertumbuhan mikroba. Suatu alternatif dalam
memecahkan masalah formulasi emulsi propofol dan masalah efek samping obat (nyeri pada
tempat suntikan, risiko infeksi, hipertrigliseridemia, emboli paru) adalah dengan
menggunakan bentuk prodrug dengan melepaskan suatu gugus sehingga meningkatkan
kelarutan pada air (phosphate monoester, hemisuccinates). Propofol dibebaskan setelah
dihidrolisa oleh alkaline phosphatase di permukaan sel endotel. Dibandingkan dengan
propofol, bentuk prodrug ini didistribusi lebih besar dan lebih poten. Bentuk propofol yang
tidak larut lemak menggunakan cyclodextrins sebagai zat pelarut. Cyclodextrins adalah
molekul cincin gula sehingga larut dalam air. Setelah disuntikan, cyclodextrins dipisahkan
dengan propofol di dalam darah.
a. Mekanisme Kerja
Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma aminobutyric
acid (GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol
dianggap memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA.
GABA adalah salah satu neurotransmiter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA
diaktivasi, penghantar klorida trans membran meningkat dan menimbulkan
hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post sinaps.
Interaksi propofol (termasuk barbiturat dan etomidate) dengan reseptor komponen
spesifik reseptor GABA menurunkan neurotansmitter penghambat. Ikatan GABA
meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melaluichloride
channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.
b. Farmakokinetik
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik olehcytochromeP-
450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik.
Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan
terlarut air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal.
Propofol membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang
berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4
hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek hipnotik. Kurang dari0,3% dosis obat
diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5 – 1,5 jam tapi yang lebih
penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam
adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh minimal
dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus dihentikan
sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. Propofol mirip

12
seperti aldentanil dan thiofentanil, yang memiliki efek singkat di otak setelah pemberian
melalui intravena.
Total body clearancedari propofol sebanding dengan aliran darah ke hati dan bersihan
ekstrahepatik (pulmonary uptake dan eliminasi awal). Pulmonary uptakedari propofol
dipengaruhi avaibilitas propofol. Di paru propofol diubah ke dalam bentuk 2,6-
diisoprpyl- 1,4 quiniol dan kebanyakan kembali lagi ke dalam sirkulasi. Glukoronidasi
adalah jalur metabolisme utama dari propofol dan UDP-glukoronidase sehingga ginjal
juga memegang peranan penting dalam mengekresikan propofol. Meskipun
metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang menunjukan adanya gangguan
eliminasi pada pasien sirosis hepatis. Konsentrasi propofol di plasma sama antara pasien
yang meminum alkohol dan yang tidak. Eliminasi ekstra hepatik propofol terjadi secara
ekstra hepatik selama fase anhepatik dari orhtopik transplantasi hati. Disfungsi ginjal
tidak mempengaruhi klirens propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun
metabolisme propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama. Pasien yang berusia
lebih dari 60 tahun menunjukan penurunan bersihan plasma propofol dibandingkan
pasien dewasa. Kecepatan bersihan propofol mengkonfirmasi bahwa obat ini dapat
digunakan secara terus menerus intravena tanpa efek kumulatif. Propofol mampu
melewati sirkulasi plasenta namun secara cepat dibersihkan darisikulasi fetus.
c. Penggunaan Klinis
Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek mengembalikan
kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat anestesia lain
menjadimetode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian penyeimbang
atau anestesia total intra vena. Penggunaan propofol melalui infus secara terus menerus
sering digunakan di ruang ICU.
1) Sedasi Intravena
Sensitive half timedari propofol walau diberikan melalui infus yang terus menerus,
kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian kesadaran
yang cepat tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang rendah
membuat propofol diterima sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah 25-
100μg/kgBB/menit secara intravena dapat menimbulkan efek analgesik dan
amnestik. Pada beberapa pasien, midazolam atau opioid dapat dikombinasikan
dengan propofol melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak nyaman
menurun.
Propofol yang digunakan sebagai sedasi selama ventilasi mekanik di ICU pada
beberapa populasi termasuk pasien post operasi (bedah jantung dan bedah saraf)
dan pasien yang mengalami cedera kepala. Propofol juga memiliki efek
antikonvulsan, dan amnestik Setelah pembedahan jantung, sedasi propofol

13
mengatur respon hemodinamik post operasi dengan menurunkan insiden dan
derajat takikardia dan hipertensi. Asidosis metabolik, lipidemia, bradikardia, dan
kegagalan myokardial yang progresif pada beberapa anak yang mendapat
sedasi propofol selama penanganan gagal napas akut di ICU.
2) Efek Pada Organ
a) Sistem Saraf Pusat
Propofol menurunkan Cerebral Metabolisme Rate terhadap oksigen
(CRMO2), aliran darah,serta tekanan intra kranial (TIK). Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada pasien dengan lesiyang mendesak ruang intra
kranial tidak akan meningkatkan TIK. Dosis besar propofol mungkin
menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan
aliran darah ke otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan
darah dan aliran darah ke otak yang mengubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh
propofol. Akan tetapi, aliran darah ke otak dipengaruhi oleh PaCO2 pada
pasien yang mendapat propofol dan midazolam. Propofol
menyebabkan perubahan gambaran electroencephalograpic (EEG) yang mirip
pada pasien yang mendapat thiopental. Cortical somatosensory evoked
potentials yang digunakan sebagai alat monitoring fungsi sumsum tulang
belakang menunjukan tidak terdapat perbedaan hasil (penurunan amplitudo)
antara pasien yang mendapat propofol saja dan yang mendapat propofol,
N2O,atau zatvolatil lainnya. Propofol tidak mengubah gambaran EEG pasien
kraniotomi. Mirip seperti midazolam, propofol menyebabkan gangguan
ingatan yang mana thiopental memiliki efek yang lebih sedikit serta fentanyl
yang tidak memiliki efek gangguan ingatan.
b) Sistem Kardiovaskular
Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik daripada thiopental.
Penurunan tekanandarah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan
resistensi pembuluh darah. Relaksasiotot polos pembuluh darah disebabkan
hambatan aktivitas simpatis vasokontriksi. Suatu efek negatif inotropik yang
disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel akibat penghambatan
influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung laringoskop dan
intubasi trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol
juga menghambat respon hipertensi selama pemasangan laringeal mask
airway. Pengaruh propofol terhadap desflurane mediatedsympathetic nervous
system activation masih belum jelas. Suatu laporan menunjukan
propofolsebanyak 2 mg/kgBB intravena meningkatkan konsentrasi epinefrin
diikuti peningkatan mendadak konsentrasi desfluran > 1 MAC tetapi tidak

14
menyebabkan peningkatan respon jantung. Berbeda dengan laporan lainnya,
bahwa propofol dan zat penginduksi lainnya (selain etomidate) menyebabkan
peningkatan aktifitas saraf simpatis, hipertensi, dan peningkatan konsentrasi
inhalasi desfluran. Efek ini mungkin berlebihan bagi pasien hipovolemia,
lansia, dan pasien dengan gangguan ventrikel kiri yang terkompensasi yang
disebabkan gangguan padar pembuluh darah arteri koroner (PJK). Hidrasi
yang cukup disarankan untuk meminimalisir gangguan tekanan darah.
Sebagai tambahan, N2O tidak mengubah respon tekanan darah pada pasien
yang diberikan propofol. Suatu penekan respon misalnya efedrin dapat
dimanfaatkan pada pasien ini.Bradikardi dan asistol pernah dilaporkan pada
pasien yang mendapat propofol sehinggadisarankan obat antikolinergik untuk
mengatasi stimulasi ke nervus vagus. Propofol sebenarnya juga
meningkatkan respon saraf simpatis dalam skala ringan dibandingkan saraf
parasimpatis sehingga terjadi dominasi saraf parasimpatis. Terdapat bukti
yang menyatakan propofol menyababkan perubahan fungsi sinoatrial dan
ventrikular node pada pasien normal dan pasien dengan Wolf Parkinson
White sehingga penggunaan propofol dapat diterima. Namun terdapat suatu
laporan yang menyatakan bahwa timbulnya gelombang delta pada pasien
dengan sindrom WPW pada EKG selama pemberian infus propofol. Tidak
seperti sevofluran, propofol tidak menimbulkan gelombang QT yang
memanjang. Kontrol barorefleks juga tertekan pada pasien yang mendapat
propofol.
c) BradycardiaRelated Death
Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol telah pada
pasien dewasa sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risikobradycardia-
related death selama anestesia propofol sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk
bradikardi yang parah dan fatal pada anak di ICU ditemukan pada pemberian
sedasi propofol yang lama. Anestesia propofol dibandingkan anestesia lain
meningkatkan refleks okulokardiak pada pembedahan strabismus anak
selama pemberian antikolinergik. Respon denyut jantung selama pemberian
atrofin intravena berbeda tipis pasien yangmendapat propofol dan pasien
yang sadar. Penurunan respon atropin terjadi karena propofol menekan
aktifitas saraf simpatis. Pengobatan propofol yang menginduksi bradikardia
adalah dengan pemberian beta agonis contohnya isoproterenol.
d) Paru
Terdapat risiko apnea sebesar 25-35% pada pasien yang mendapat propofol.
Pemberianagen opioid sebagai premedikasi meningkatkan risiko ini.

15
Stimulasi nyeri pada saat pembedahan juga meningkatkan risiko apnea. Infus
propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Respon
pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon diokasida dan
hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan menurunkan risiko
terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsetrasi sedasi propofol
menyebabkan penurunan respon hiperkapnia akibat efek terhadap
kemoreseptor sentral.
e) Fungsi Hepar dan Ginjal
Propofol tidak mengganggu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai dari enzim
transamin hati dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang lama
menimbulkan luka pada sel hepar akibat asidosislaktat, bradidisritmia, dan
rhabdomyolisis. Infus propofol yang lama menyebabkan urin yang berwarna
kehijauan akibat adanya rantai phenol. Namun perubahan warna urin ini
tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada
pasien yang mendapatpropofol yang ditandai dengan urin yang keruh,
terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin yang rendah. Efek ini menandai
gangguan ginjal akibat propofol.
f) Tekanan Intraokular
Pembedahaan laparoskopi dinilai berhubungan dengan peningkatan TIO dan
posisi pasien saat laparoskopi meningkatkan risiko hipertensi okular. Pada
kasus ini propofol menurunkan TIO segera setelah induksi dan selama
tindakan intubasi trakea. Penurunan TIO ini meningkat pada pasien yang juga
mendapat isofluran.
g) Koagulasi
Propofol tidak mengganggu koagulasi dan fungsi trombosit. Namun ada
laporan yang menunjukan bahwa emulsi propofol yang bersifat hidrofobil
mempengaruhi koagulasi darah danmenghambat agregasi trombosit melalui
pengaruh mediator inflamasi lipid termasuk tromboksanA2 dan platelet-
activating factor (PAF).

3. KETAMIN
Ketamin adalah derivat phencyclidine yang menyebabkan “disosiative anesthesia”
yang ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Disosiative
anesthesia ini menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien terbuka dan diikuti
nistagmus yang lambat. Berbagai derajat hipertonus dan perpindahan otot yang tanpa tujuan
sering terjadi pada proses pembedahan. Namun pasien tetap dalam keadaan amnesia dan
analgesia. Ketamin memiliki keuntungan dimana tidak seperti propofol dan etomidate,

16
ketamin larut di dalam air dan dapat menyebabkan analgesik pada dosis subanestetik. Namun
ketamin sering hanya menyebabkan delirium. Ketamin sering disalahgunakan.
a. Struktur Kimia Ketamin
Ketamin larut di dalam air karena memiliki struktur phenecyclidine. Terdapat
karbonasimetris menimbulkan dua isomer ketamine (S(+)-ketamine dan R(-)-ketamin).
Kebanyakanketamin yang beredar dalam bentuk S(+)-Ketamine. Ketamine S(+)
memiliki efek analgesia yanglebih, lebih cepat dimetabolisme, dan masarecoverylebih
singkat, salivasi lebih sedikit, dan menimbulkan efek emergensi lebih sedikit. Isomer
ketamin menimbulkan rasa lelah dan gangguan kognitif dari pada ketamin. Baik isomer
ketamin maupun ketamin menghambat ambilan katekolamin ke ujung saraf bebas
ganglion post-sinaps. Zat pengawetnya adalah zethoniumchloride.
b. Mekanisme Kerja Ketamin
Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D
Aspartat(NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor
opioid, reseptor muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium
sensitif voltase. Tidak seperti propofol dan etomidate, ketamin memiliki efek lemah
pada reseptor GABA. Mediasiinflamasi juga dihasilkan lokal melalui penekanan pada
ujung saraf yang dapat mengaktifasi netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin
mensupresi produksi netrofil sebagai mediator radang dan peningkatan aliran darah.
Hambatan langsung sekresi sitokin inilah yang menimbulkanefek analgesia.
Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalahligand gated ion channel yang
unik dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat dengan
glisin sebagaikoagonis obligatnya. Ketamin menghambat aktifasi reseptor NMDA oleh
glutamat, menurunkan pelepasan glutamat dari post sinaps, efek potensiasi dari
neurotransmiter penghambat, gamaaminobutyric acid. Interaksi dengan phencyclidine
menyebabkan efek stereoselektif dimana isomer S(+) memiliki afinitas terbesar.
Ketamin dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid mu, delta, dan
kappa. Namun, studi lain menyatakan ketamin memiliki efek antagonis pada reseptor
mu namun memiliki efek agonis pada reseptor kappa. Ketamin juga berinteraksi dengan
reseptor sigma, walaupun reseptor ini masih belum jelas apakah merupakan reseptor
opioid dan ikatannya masihlemah. Aksi antinosiseptif ketamin dihubungkan efeknya
terhadap penurunan jalur penghambatnyeri monoaminergik. Anestesia ketamin sebagian
berantagonis dengan obat antikolinergik. Sebagai kenyataannya, ketamin memiliki efek
dengan gejala antikolinergik (delirium emergensi, bronkodilatasi, aksi simpatomimetik)
sehingga efek antagonis terhadap reseptor muskarinik lebih tampak nyata daripada efek
agonisnya. Mirip seperti anestesia lokal, ketamin berinteraksi dengan kanal sodium.

17
c. Farmakokinetik
Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat, dan
kelarutan lemak yang tinggi. pKa ketamin adalah 7,5 pada pH yang fisiologik.
Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi ketamin secaraintravena
dan 5 menit setelah injeksi intramuskular. Ketamin tidak terlalu berikatan kuat
dengan protein plasma namun secara cepat dilepaskan ke jaringan misalnya ke otak
dimana konsentrasinya 4-5 kali dari pada konsetrasi di plasma. Kelarutan yang tinggi di
dalam lemak (5-10kali lebih tinggi dari pada thiopental) memudahkan ketamin melewati
sawar darah di otak. Ketamin menginduksi peningkatan aliran darah ke otak yang
memfasilitasi distribusi obat ini keotak ditambah sifatnya yang mempermudah melewati
sawar darah otak. Ketamin diredistribusi dari otak dan jaringan lain yang memiliki
konsentrasi tinggi ketamin ke jaringan lain yang memiliki konsetrasi ketamin yang lebih
rendah. Ketamin memiliki hepatic clearance yang tinggi (1 liter/menit), dan Vd yang
besar (3 liter/kgBB) sehingga waktu paruhnya sekitar 2-3 jam. Rasio ekstraksi yang
tinggi di hati disebabkan perubahan aliran darah ke hati.
d. Metabolisme
Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian terpenting
dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga
terbentuk norketamin. Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 – 1/3 daripada ketamin.
Metabolit aktif inilah yang juga menambah efek panjang ketamin, terutama pada dosis
yang diulang atau administrasi lewat infus. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian
berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan metabolisme dengan glukoronidase
diekskresikan di ginjal. Penggunaan infus ketamin <4% memungkinkan ketamin
diekskresikan di urin sebagai bentuk yang tak diubah. Ekskresi lewatfeses ditemukan
<5%. Penggunaan yang sering menstimulasi enzim yang memetabolismenya sehingga
sering terjadi toleransi terhadap efek analgesia ketamin. Selain terjadi peningkatan
toleransi ketamin terjadi pula efek ketergantungan ketamin.
e. Penggunaan Secara Klinis
Ketamin adalah obat yang memiliki efek analgesia pada pemberian dengan dosis
subanestesia dan menimbulkan induksi pada pemberian intravena dan dosis yang lebih
besar.Ketamin juga memiliki efek menurunkan refleks batuk, laringospasme yang
disebabkan ketamine induced salivary secretions. Glycopyrolat lebih disukai dari pada
atropin dan scopolamin karena dapat melewati sawar darah otak dan meningkatkan
insiden delirium emergensi.
1) Analgesia
Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 – 0,5 mg/kgBB secara
intravena. Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari

18
pada pemakaian secara oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi
norketamin akibat metabolisme awal di hatiyang terjadi pada pemakaian secara
oral. Efek analgesia ini lebih nyata pada nyeri somatik dibandingkan nyeri viseral.
Efek ketamin ini disebabkan aktifitasnya pada talamus dan sistem limbik yang
bertanggung jawab terhadap interpretasi nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga
digunakan sebagai tambahan analgesia opioid. Sumsum tulang belakang
bertanggung jawab terhadap nyeri yang disebabkan sentuhan dan perpindahan
posisi saat proses operasi. Aktifasi reseptor NMDA di sumsum tulang belakang
terjadi pada kornu dorsal. Reseptor NMDA merupakan reseptor dari asam amino
eksitatori yang penting terhadap proses nyeri dan modulasi nyeri. Penghambatan
reeptor NMDA oleh obat sepertiobat ketamin, dextromethorpan, magnesium
berguna untuk tatalaksana nyeri termasuk penurunan konsumsi analgesia. S(+)
memiliki afinitas 4 kali dari pada isomer R(-), efek analgesi 2 kali lebih tinggi dari
pada racemik ketamin. Pada proses persalinan, ketamin memiliki efek analgesi
tanpa mendepresi janin. Perubahan neurobehavioral lebih rendah pada bayi yang
dilahirkan secara per vaginam dibandingkan bayi yang lahir dengan anestesia
epidural, namun lebih tinggi dari pada bayi yang dilahirkan dengan anestesia
thiopental-N2O. Dosis sedasi post operasi pada pasien jantung lansia adalah 2-4
mg/kgBB/jam. Penggunaannya sebagai tatalaksana nyeri kronik tergolong
moderate-lemah sehingga tidak direkomendasikan.
2) Induksi Anestesia
Induksi ketamin didapatkan dari pemakaian ketamin 1-2 mg/kgBB secara
intravena dan 4-8mg/kgBB pada pemakaian secara intramuskular. Suntikan
ketamin tidak menimbulkan nyeri dan iritasi pada vena. Dosis yang lebih besar
meningkatkan metabolisme katamin. Kesadaran hilang30-60 detik setelah
pemakaian secara intravena dan 2-4 menit pemakaian secara intramuskular.
Penurunan kesadaran sebanding atau berbeda sedikit terhadap penurunan refleks
faring dan laring.
Pengembalian kesadaran terjadi 10-20 menit setelah dosis induksi ketamin, namun
orientasi kembali sepenuh nya setelah 60-90 menit. Amnesia terjadi pada menit ke
60- 90 setelah pemulihan kesadaran namun ketamin tidak menimbulkan amnesia
retrograde. Karena aksi kerjanya cepat, ketamin pernah digunakan secara
intramuskular pada anak dan pada pasien yang mengalami gangguan retardasi
mental. Ketamin digunakan sebagai obat pada pasien luka bakar,
debridemen, skin-grafting.Keuntungan penggunaan ketamin adalah mampu
memberikan efek analgesia yang baik serta mampu mempertahankan ventilasi
spontan. Toleransi mungkin terjadi pada pasien luka bakar yang mendapat ulangan

19
dosis ketamin, anestesia interval cepat. Induksi anestesia pada pasien hipovolemik
memberikan efek positif terhadap stimulasi kardiovaskular. Namun, seperti semua
obat anestesia, bisa saja menyebabkan depresi myokardiak, terutama jika
penyimpanan katekolamin endogen berkurang dan respon saraf simpatis berubah.
enggunaan ketamin pada pasien PJK meningkatkan kebutuhan oksigen otot
jantung yang berhubungan dengan efek simpatomimetik ketamin. Hilangnya
refleks kardioprotektif yang hilangsering dihubungkan dengan racemik ketamin
terutama pada pasien yang memiliki riwayat PJK.Penggunaan diazepam
0,5mg/kgBB intravena dan ketamin 0,5 mg/kgBB diikuti infus ketamin 15-30
μg/kgBB/menit sering digunakan pada pasien yang memiliki riwayat PJK.
Kombinasi propofoldan ketamin menimbukan efek hemodinamik yaang lebih
stabil daripada kombinasi propofol danfentanil ketika menghindari efek emergensi
yang disertai penggunaan ketamin dengan dosis yang lebih. Keuntungan ketamin
pada resistensi saluran napas disebabkan bronkodilatasi yang disebabkan obat
sangat berguna pada induksi cepat pasien asma. Ketamin harus
diperhatikan penggunaannya atau dihindari pada pasien hipertensi pulmonal atau
sistemik dan pada pasien dengan peningkatan TIK.
3) Pengembali Toleransi Opioid
Dosis subanestesia menghambat dan mengembalikan toleransi morfin. Wala
mekanismenya belum jelas, namun interaksi dengan reseptor NMDA, dan jalur
N2O, dan reseptor μ opioid. Penggunaan ketamin pada dosis subanestesia (0,3
mg/kgBB/jam) menurunkan toleransiopioid dan meningkatkan efek analgesia.
4) Meningkatkan Depresi Mental
Reseptor NMDA terhadap glutamat mengganggu fisiologi tubuh terhadap
mekanisme anti depresan. Sebagai NMDA antagonis, ketamin pada dosis rendah
meningkatkan depresi pasien pasca operasi pada pasien depresi mental.

5) Restless Leg Syndrome


Suatu studi yang menggambarkan peningkatan kondisi pada pasien dengan restless
legsyndrome. Hal ini mungkin karena ketamin menghambat neuroinflamasi pada
sumsum tulang dan pada sistem saraf yang lebih tinggi.

4. DEXMEDETOMIDINE
Alpha 2-agonis adrenoceptor semakin sering digunakan dalam perawatan anestesia
karena merekatidak hanya menurunkan nada simpatik dan melemahkan respon stres terhadap
anestesia dan pembedahan, tetapi juga menyebabkan sedasi dan analgesia. Dexmedetomidine

20
adalah agen paling baru dalam kelompok ini disetujui oleh FDA pada tahun1999 untuk
digunakan pada manusia untuk analgesia dan sedasi.
a. Mekanisme Aksi
Alpha 2 reseptor ditemukan dalam sistem saraf perifer dan pusat, trombosit, dan organ
lainnya, termasuk hati, pankreas, ginjal, dan mata. Stimulasi dari reseptor di otak dan
sumsum tulang belakang menghambat eksitasi neuron, menyebabkan hipotensi,
bradikardia, sedasi, dan analgesia. Tanggapan dari organ-organ lain termasuk air liur
menurun, sekresi menurun, dan penurunan motilitas usus, penghambatan pelepasan
renin, peningkatan filtrasi glomerulus, dan peningkatan sekresi natrium dan air di ginjal;
menurun intraokular tekanan; dan penurunan pelepasan insulindari pankreas.
b. Farmakodinamik
Mayoritas pasien yang menerima dexmedetomidine secara efektif tersedasi tetapi
mereka dengan mudah dibangunkan, sebuah fitur unik ini tidak dimiliki obat penenang
lain. Dexmedetomidine tampaknya tidak memiliki efek langsung pada jantung. Sebuah
respon bifasik kardiovaskular terlihat setelah pemberian dexmedetomidine. Pada bolus 1
mcg/kg dexmedetomidine awalnya menghasilkan peningkatan transien tekanan darah
dan penurunan refleks dalam denyut jantung. Stimulasi alpha B-2-adrenoceptor pada
otot polos vaskular tampaknya bertanggung jawab untuk peningkatan awal tekanan
darah. Namun, bahkan pada tingkat titrasi lambat, peningkatan tekanan arteri rata-rata
selama 10 menit pertama terbukti di kisaran 7%, dengan penurunan denyut jantung
antara 16% dan 18%.Tanggapan awal berlangsung selama 5 sampai 10 menit dan
diikuti oleh sedikit penurunan tekanandarah akibat penghambatan pusat simpatik. Alfa
presynaptic 2-adrenoseptor juga dirangsang mengurangi rilis norepinefrin
mengakibatkan penurunan tekanan darah & denyut jantung. Efek ini juga dapat diamati
pada periode pasca operasi, dan dapat dengan mudah diatasi dengan atropin, efedrin dan
loading volume. Namun, efek ini dapat merusak pada pasien hipovolemik atau pasien
dengan stroke volume tetap. Depresi pernafasan yang disebabkan oleh
dexmedetomidine telah dilaporkan jauh lebih sedikit.
c. Farrmakokinetik
Dexmedetomidine mengalami hidroksilasi hampir lengkap melalui glukuronidasi
langsung dansitokrom P450 metabolisme di hati. Metabolit diekskresikan dalam urin
(sekitar 95%) dan dalam tinja (4%). Hal ini tidak diketahui apakah mereka memiliki
aktivitas intrinsik. Waktu paruh sekitar 2 jam.
d. Indikasi
Dexmedetomidine memiliki ansiolitik, sifat penenang, analgesik, dan simpatolitik,
mungkin menjadi digunakan untuk premedikasi. Dexmedetomidine juga telah
ditemukan menjadi obat yang efektif untuk premedikasi sebelum anestesia karena

21
mengurangi kecemasan pasien, respon simpatoadrenal, dan persyaratan analgesik
opioid. Untuk periode intraoperatif, digunakan dalam dosis 0,2 sampai 0,7 mcg/kg/jam.
Dexmedetomidine, seperti clonidine melemahkan stres dan tanggapan simpatoadrenal
terhadap laringoskopi, intubasi dan operasi dan memberikan stabilitas hemodinamik. Ini
mempotensiasi efek anestesia dari semua intraoperatif anestesia, terlepas dari metode
administrasi (intravena, mudah menguap, atau bahkan blok regional). Namun,
dexmedetomidine mungkin tidak memiliki efek amnesia, seperti sejumlah kecil pasien
selama penelitian mampu mengingat mereka tinggal ICU dan menemukan pengalaman
yang sangat menegangkan. Dexmedetomidine telah digunakan dalam perawatan intensif
untuk itu sedatif, ansiolitik, dan sifat analgesik dan tidak menghasilkan depresi
pernafasan karena non-opioid mekanisme analgesia. Dosis harus dititrasi dengan efek
klinis yang diinginkan. Untuk pasien dewasa, umumnya dimulai dexmedetomidine
dengan loading infus 1 mcg/kg lebih dari 10 menit, diikuti dengan infus pemeliharaan
antara 0,2 sampai 0,7 mcg/kg/jam. Dexmedetomidine harus diencerkan dalam0,9%
garam untuk infus. Dosis bolus tidak digunakan karena dapat menyebabkan
peningkatantekanan darah paradoks.
e. Efek Samping
Dexmedetomidine melintasi plasenta dan keamanannya tidak dijamin pada kehamilan
dan padaanak-anak. Efek samping umum dari dexmedetomidine termasuk hipotensi,
hipertensi, mual, bradikardia, atrium fibrilasi, hipoksia dan blok atrioventrikular.
Sebagian besar efek samping terjadi selama atau sesaat setelah dosis bolus obat. Titrasi
dosis dapat mengurangi efek samping.

22
BAB III
PROSEDUR UMUM PELAYANAN SEDASI
1. Anestesiologis mempunyai keahlian spesifik dalam hal farmakologi, fisiologi dan
manajemen klinis terhadap pasien-pasien yang mendapat sedasi dan analgesik. Oleh
karena itu semua prosedur terapi atau diagnostik yang membutuhkan sedasi moderat dan
dalam di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya, maka yang melakukan sedasi adalah
dokter Anestesi.
2. Tindakan pelayanan sedasi moderat dan dalam harus dikerjakan dalam kerjasama tim
yang terdiri dari dokter Anestesi serta didampingi perawat yang terlatih.
3. Seluruh pasien yang akan mendapatkan sedasi moderat dan dalam harus mendapatkan
penilaian prasedasi untuk menilai risiko dan kesesuaian sedasi, dan dilakukan informed
consent yang didokumentasikan dalam rekam medik pasien.
4. Dokter Anestesi dapat meminta dilakukan konsultasi terhadap dokter spesialis lain atau
penundaan rencana prosedur untuk optimalisasi kondisi pasien bila dibutuhkan.
5. Perencanaan sedasi dan analgesi yang akan diberikan kepada pasien bergantung pada
usia, kondisi pasien, serta pengetahuan, pelatihan, penilaian, dan pengalaman yang
dimiliki oleh dokter anestesi yang bersangkutan.
6. Pasien yang diberikan sedasi dan analgesi moderat dan dalam harus dilakukan
pemantauan terhadap kondisi yang diatur dalam standar prosedur operasional pelayanan
sedasi moderat dan dalam.
7. Perlengkapan resusitasi untuk berbagai usia dan ukuran, monitor tanda vital, oksigen, dan
suction harus tersedia di tempat pemberian sedasi dan analgesi moderat dan dalam
tersebut.
8. Status dan catatan pemantauan selama prosedur sedasi dan analgesi moderat dan dalam
harus dilengkapi dan didokumentasikan dalam file rekam medis pasien.
9. Pengawasan dan peningkatan kualitas harus dilakukan sesuai kebutuhan.
10. Panduan ini akan ditinjau secara berkala oleh SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif.

23
BAB IV
SEDASI PADA PEDIATRIK

Kebanyakan prosedur, yang dilakukan pada orang dewasa dalam keadaan sadar, tetapi
pada anak memerlukan anestesi umum terutama jika prosedur dengan waktu yang lama atau
menyakitkan. Namun, sekarang ada peningkatan minat dalam penggunaan regimen sedatif pada
bidang pediatri. Hal ini disebabkan karena kurang invasif dibandingkan dengan anestesi umum
serta lebih murah.
Sedasi adalah penggunaan obat untuk menghasilkan keadaan depresi dari sistem saraf
pusat sehingga memungkinkan untuk dilakukan tindakan. Selama tindakan kontak verbal dengan
pasien harus tetap terjaga.
Berdasarkan definisi ini, maka setiap kehilangan kesadaran yang berhubungan dengan
teknik yang dilakukan dapat didefinisikan sebagai anestesi umum. Selama sedasi diharapkan
pasien dapat dipertahankan jalan napas dan refleks protektif. Telah disarankan suatu konsep
‘sedasi dalam’, akan tetapi definisi terhadap hal ini belum jelas. Mungkin lebih sulit untuk
menentukan tingkat sedasi pada anak serta kemungkinan bahaya teranestesi dapat terjadi.
Pedoman terbaru dari Department of Health on General Anesthesia and dentistry telah
merekomendasikan untuk lebih banyak menggunakan sedasi moderat/sedasi sadar dan lokal
anestesi, sisanya untuk keadaan yang sangat mutlak baru menggunakan anestesi umum.
Jika pemilihan pasien dilakukan secara cermat dan dengan prosedur yang sesuai,
penggunaan sedasi bisa sangat berhasil.

Tabel 4. Prosedur yang dapat dilakukan dengan sedasi


Ekstraksi gigi, konservasi Radiologi: CT Scan, MRI,
Insersi kateter vaskular Angiografi
Kateterisasi jantung Penggantian /pengangkatan
Penjahitan, minor, pengangkatan jahitan plester
Dressing, seperti luka bakar Injeksi sendi
Biopsi otot

Kontraindikasi untuk sedasi


- Pasien menolak
- Bayi kecil dengan prosedur tidak menyakitkan, misalnya komputer tomografi, biasanya
dapat dengan pemberian makanan dan menjaga tetap hangat sehingga bayinya bisa tidur
selama prosedur. Mereka tidak perlu dibius.
- Bayi eks prematur < 56 minggu dari usia konsepsional, karena berisiko terjadinya depresi
pernapasan serta sedasi berlebihan.
- Gangguan perilaku berat.

24
- Diketahuinya ada masalah pada jalan napas, misalnya obstructive sleep apnoea,
abnormalitas kraniofasial.
- Adanya penyakit pernapasan yang secara signifikan memerlukan oksigen.
- Adanya ketidakstabilan jantung yang signifikan.
- Adanya penyakit ginjal atau hati yang diprediksi akan menghambat klirens/bersihan obat
sedasi.
- Berisiko secara signifikan untuk terjadinya refluks gastro-esofagus.
- Peningkatan tekanan intrakranial.
- Epilepsi berat atau tidak terkontrol.
- Alergi atau kontraindikasi spesifik untuk obat-obatan sedasi atau gas (misalnya nitrogen
oksida harus dihindari jika dijumpai adanya pneumothoraks).
- Prosedur lama atau menyakitkan.

Beberapa Institusi telah berhasil merancang dengan cermat regimen obat. Sedasi yang
efektif harus memungkinkan prosedur dilakukan dimana anak sementara dalam keadaan
mengantuk, bebas nyeri, dengan ketakutan atau kecemasan yang minimal. Penggunaan anestesi
lokal dan analgesik sederhana sangatlah penting, dan terapi pengalihan perhatian juga sangat
berguna. Orang tua sering dihadirkan, dimana hal ini sangat membantu dalam menjaga
kepercayaan anak.
Kebanyakan obat sedasi yang diberikan dalam jumlah tertentu dapat berisiko
menghasilkan ketidaksadaran pada anak. Hal ini dapat menyebabkan hipoksia, hiperkapnia dan
berpotensi terjadi aspirasi. Untuk itu pada penggunaan teknik sedasi non anestesi, maka harus
mempunyai margin of safety lebar.
Personel non anestesi yang memberikan obat sedasi termasuk dokter (terutama ahli
radiologi, gastronterologis dan kardiologis), perawat spesialis dan dokter gigi, semuanya harus
benar-benar terlatih untuk memberikan pelayanan yang aman dan efektif.
Pasien harus dipersiapkan seolah-olah mereka akan mengalami anestesi umum. Persiapan
yang harus dilakukan adalah:
- Diberitahu tentang prosedur yang akan dilakukan dan telah memberikan persetujuan
tindakan.
- Dipuasakan.
- Dilakukan pemeriksaan kesehatan umum terakhir, dan diidentifikasi faktor-faktor risiko
potensial seperti alergi atau kondisi medis lainnya.
Oral obat
Penilaian dosis obat oral dalam bentuk kombinasi mungkin agak sulit, dimana
kemungkinan akan meningkatkan sedasi yang efektif tetapi juga berpotensi meningkatkan kejadian

25
efek samping. Hal ini terutama terjadi pada bayi kecil dan pada anak dengan kelainan ginjal, hati
atau fungsi neurologis dimana kerja obat sukar untuk diprediksi.

Pemulihan dan reversal


Pemulihan dari sedasi haruslah cepat. Fasilitas pemulihan harus tersedia. Gunakan
regimen obat dengan waktu kerja yang paling pendek. Sekali-kali nalokson diperlukan untuk
antagonis efek opioid persisten. Nalokson 4 mcg/kg i.v dapat diberikan.

Tabel 5. Agen sedasi oral


Obat Dosis sedasi oral Detail
(mg/kg BB)
Chloral hydrate 100 Metabolit aktif = trichloretanol
Dapat diberikan melalui rektal kadang-kadang menimbulkan
rasa malu.
Midazolam 0,5-1,0 Umum digunakan
Dosis berhubungan dengan efek samping (ataksia, pandangan
ganda, sedasi)
Dapat juga diberikan melalui nasal
Dosis rektal dapat bervariasi
Diazepam 200-500 mcg/kg Dapat diberikan melalui rektal
ketamin 5-10 Dapat diberikan melalui nasal juga rektal
Halusinasi mungkin terjadi
Pada umumnya terjadi mual dan muntah
Apnea kemungkinan dapat terjadi.

Catatan: Pada anak yang lebih besar dosis tidak boleh melebihi dosis dewasa normal.

Tabel 6. Agen sedasi intravena


obat Dosis sedasi Detail
(mg/kg BB)
Midazolam 0,05-0,2 Apneu mungkin terjadi
Amnesia
Gangguan prilaku dapat terjadi
Diazepam 0,1-0,5 Diazemuls = lipid formulasi
Waktu paruh panjang, berisiko pemulihan tertunda
Fentanyl 0,5 mcg/kg Sering digunakan bersama propofol
Midazolam atau ketamin dapat digunakan melalui oral apnea,
mual dan muntah dapat terjadi
Efek potensiasi dengan obat sedasi lainnya

26
BAB V
SEDASI PADA SITUASI KHUSUS

Literatur dan hasil evaluasi menunjukkan bahwa pada beberapa jenis pasien terjadi
peningkatan komplikasi terkait sedasi/analgesi kecuali diambil tindakan pencegahan khusus. Pada
pasien dengan premorbid yang signifikan (misalnya usia lanjut yang ekstrim, penyakit jantung
yang parah, penyakit paru, hati, atau ginjal, kehamilan, penggunaan obat dan alkohol), disepakati
untuk melakukan konsultasi pre prosedur dengan spesialis yang sesuai (misalnya spesialis jantung,
paru, dsb) karena akan mengurangi risiko terkait sedasi moderat dan dalam. Pada pasien-pasien
dengan faktor-faktor risiko terkait sedasi (misalnya tidak kooperatif, morbid obeis, potentially
difficult airway, sleep apnea) sebaiknya dikonsulkan kepada anesthesiologist sebelum prosedur
dilakukan. Pada kondisi emergensi, keputusan menunggu hasil konsultasi pre prosedur sebaiknya
dipertimbangkan dengan risiko menunda prosedur.

27
BAB VI
KRITERIA PEMULIHAN DAN PEMULANGAN PASIEN
SETELAH PEMBERIAN SEDASI DAN ANALGESI

Setiap rumah sakit harus mempunyai kriteria pemulihan dan pemulangan yang sesuai
dengan pasien dan prosedur yang dilakukan. Beberapa prinsip dasar yang harus dimiliki adalah :
1. Prinsip Umum
a. Pengawasan medis dalam fase pemulihan dan pemulangan pasien setelah pemberian
sedasi moderat/dalam merupakan tanggungjawab dokter yang melakukan sedasi.
b. Ruang pemulihan harus dilengkapi dengan monitor dan peralatan resusitasi yang
adekuat.
c. Pasien yang menjalani sedasi sedang/moderat atau dalam harus dipantau sampai kriteria
pemulangan terpenuhi.
1) Durasi dan frekuensi pemantauan harus disesuaikan dengan masing-masing pasien
bergantung pada tingkat sedasi yang diberikan, kondisi umum pasien dan
intervensi/prosedur yang dilakukan.
2) Oksigenasi harus dipantau sampai pasien terbebas dari resiko depresi pernapasan.
d. Tingkat kesadaran, tanda vital dan oksigenasi (jika diindikasikan) harus dicatat dengan
rutin dan teratur.
e. Perawat atau petugas terlatih lainnya yang bertugas memantau pasien dan
mengidentifikasi adanya komplikasi harus dapat hadir/mendampingi pasien hingga
kriteria pemulangan terpenuhi.
f. Petugas yang kompeten dalam menangani komplikasi (misalnya mempertahankan
patensi jalan napas, memberikan ventilasi tekanan positif) harus dapat segera hadir
kapanpun diperlukan hingga kriteria pemulangan terpenuhi.
2. Kriteria Pemulangan Pasien
a. Pasien harus sadar dan memiliki orientasi yang baik. Bayi dan pasien dengan gangguan
status mental harus kembali ke status semula/awal (sebelum menjalani
sedasi/analgesik). Dokter dan keluarga harus menyadari bahwa pasien anak-anak yang
memiliki risiko obstruksi jalan napas harus duduk dengan posisi kepala menunduk ke
depan.
b. Tanda vital harus stabil.
c. Penggunaan sistem skoring dapat membantu pencatatan untuk kriteria pemulangan, di
RS PKU Muhammadiyah kriteria pemulihan menggunakan Aldrette Scoring dan
PADSS untuk pasien yang menjalani prosedur rawat jalan.

28
d. Telah melewati waktu yang cukup (hingga 2 jam) setelah pemberian terakhir obat
antagonis untuk memastikan bahwa pasien tidak masuk ke fase sedasi kembali setelah
efek obat antagonis menghilang.
e. Pasien rawat jalan boleh dipulangkan dengan didampingi oleh orang dewasa yang dapat
mengantarkan pasien sampai ke rumah dan dapat melaporkan jika terjadi komplikasi
pasca-prosedur.
f. Pasien rawat jalan dan pendampingnya harus diberikan instruksi tertulis mengenai diet
pasca-prosedur, obat-obatan, aktivitas dan nomor telepon yang dapat dihubungi jika
terjadi keadaan emergensi.

29
BAB VII
PEMBERIAN SEDASI OLEH NON-ANESTESIOLOGIS

1. Sedasi ringan adalah suatu keadaan dimana pasien masih memiliki respon normal terhadap
stimulasi verbal dan tetap mempertahankan patensi jalan napasnya, sedang fungsi ventilasi
dan kardiovaskuler tidak dipengaruhi.
2. Layanan sedasi ringan dapat dilakukan oleh dokter non anestesi yang memenuhi persyaratan
dan skill yang telah ditentukan.
3. Pelaku sedasi adalah seseorang yang memberikan dan memantau proses sedasi. Pelaku sedasi
adalah dokter yang sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan sesuai dengan persyaratan
yang dikeluarkan dari SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif sebagai berikut:
a. Mampu memilih obat sedasi yang tepat, melakukan pemantauan, mampu menilai
tingkat kesadaran dan resusitasi segera.
b. Menguasai proses sedasi, beberapa jenis tingkat sedasi dan aspek keselamatan
pasien.
c. Mampu menilai kebutuhan, risiko dan kesesuaian pasien dalam menjalani proses
sedasi.
d. Mampu memantau tingkat kesadaran, sistem kardiorespirasi dan parameter
fisiologik lainnya.
e. Mampu mengenal dan mengelola efek samping dari obat-obatan yang digunakan
dalam proses sedasi termasuk pengaruh atau dampak terhadap kesadaran, patensi
jalan napas, ventilasi dan oksigenasi yang tidak adekuat serta stabilitas
kardiovaskuler.
f. Mampu menangani kedaruratan termasuk mengelola perubahan tingkat kesadaran
dan menangani efek sampingnya.
g. Mampu memimpin, mengkoordininasi dan memulai resusitasi.
h. Mampu menilai dan mengelola fase pulih dan fase pemulangan pasien.
4. Asisten pelaku sedasi adalah perawat yang memiliki STR atau pekerja kesehatan yang
bekerja dibawah pelaku sedasi yang memiliki wewenang. Asisten pelaku sedasi bertanggung
jawab terhadap monitoring, penilaian kesadaran, dan tatalaksana jalan napas selama
dilakukannya prosedur sedasi.
5. Asisten pelaku sedasi harus memiliki kemampuan dan ketrampilan antara lain:
a. Mengetahui secara umum proses sedasi serta obat yang terkait.
b. Mampu mengenali efek samping dari obat-obat sedasi.
c. Menguasai beberapa tingkat sedasi
d. Memantau sistem kardiosirkulasi dan parameter fisiologik lainnya.

30
e. Mampu melakukan Bantuan Hidup Dasar.
6. Pengawasan dan pemantauan sedasi berada dibawah tanggung jawab pelaku sedasi, kecuali
tindakan sedasi tersebut melibatkan praktisi yang berkompeten lainnya yakni dokter
Anestesi.
7. Sedasi adalah suatu proses yang berkelanjutan/kontinyu, sehingga tidak selalu mungkin
untuk memprediksi bagaimana respons setiap pasien yang medapatkan sedasi. Oleh karena
itu, dokter atau petugas yang melakukan sedasi harus dapat melakukan penanganan segera
terhadap pasien yang efek sedasinya lebih berat dari efek yang seharusnya terjadi.
8. Pada kondisi dimana operator merangkap sebagai pelaku sedasi maka operator bertanggung
jawab atas pasien dengan melakukan pemantauan respon pasien terhadap perintah verbal.
Jika komunikasi atau respon verbal pasien hilang maka operator harus memusatkan seluruh
perhatian untuk pemantauan dan mengobati pasien sampai pulih atau sampai staf yang
kompeten tersedia.

31
Lampiran 1

PANDUAN PUASA SEBELUM MENJALANI PROSEDUR MENURUT


AMERICAN SOCIETY OF ANESTHESIOLOGIST (ASA)

Jenis Makanan Periode Puasa Minimal


Cairan bening/jernih 2 jam
Air Susu Ibu (ASI) 4 jam
Susu formula untuk bayi 6 jam
Susu sapi 6 jam
Makanan ringan 6 jam

Rekomendasi ini diaplikasikan untuk pasien sehat yang akan menjalani prosedur elektif.
Tidak ditujukan untuk wanita hamil. Perlu diingat bahwa dengan mengikuti pedoman ini tidak
menjamin pengosongan lambung yang sempurna.
Periode puasa minimal diaplikasikan untuk semua umur.
Contoh cairan bening/jernih yaitu air putih, jus buah tanpa bulir/ampas, minuman
berkarbonasi, teh dan kopi.
Konsistensi susu sapi mirip dengan makanan padat dalam waktu pengosongan lambung,
jumlah susu yang diminum harus dipertimbangkan saat menentukan periode waktu puasa yang
tepat.
Contoh makanan ringan adalah roti dan cairan bening. Makanan yang digoreng atau
berlemak atau daging dapat memperlama waktu pengosongan lambung. Jumlah dan jenis makanan
yang dikosumsi harus dipertimbangkan saat menentukan periode waktu puasa yang tepat.

32
Lampiran 2

PERALATAN EMERGENSI UNTUK SEDASI DAN ANALGESIK

1. Peralatan emergensi yang sesuai harus tersedia saat melakukan pemberian sedasi/analgesik
yang berpotensi untuk menyebabkan depresi kardiorespirasi.
2. Berikut adalah pedoman mengenai peralatan apa saja yang harus tersedia, dapat dimodifikasi
sesuai dengan kondisi tempat praktik.
a. Peralatan intravena
1) Sarung tangan
2) Tourniquet
3) Swab alkohol
4) Kassa steril
5) Kateter intravena/kanula infus (ukuran 24,22)
6) Selang infus (untuk anak-anak menggunakan tetesan mikro : 60 tetes/ml)
7) Cairan intravena/cairan infuse.
8) Jarum suntik untuk aspirasi obat, injeksi intramuscular (pada anak dan bayi ;
jarum untuk injeksi intraosseous sumsum tulang)
9) Spuit dengan beragam ukuran
10) Perekat
b. Peralatan untuk manajemen jalan napas dasar
1) Sumber oksigen yang bertekanan
2) Mesin suction
3) Kateter untuk suction
4) Suction tipe- Yankauer
5) Sungkup wajah (berbagai ukuran dari bayi-dewasa)
6) Satu set self-inflating breathing bag valve
7) Oropharyngeal airways dan nasopharyngeal airways
8) Lubrikan/gel pelumas
c. Peralatan untuk manajemen jalan napas lanjut (untuk petugas dengan keahlian
intubasi)
1) Laryngeal mask airways (LMA)
2) Pegangan laringoskop
3) Bilah laringoskop
4) Tabung endotrakeal (endotracheal tube-ETT) ukuran dengan balon
berdiameter 6.9, 7.0, 8.0 mm.

33
5) Stilet/mandrin (ukuran disesuaikan dengan diameter ETT)
d. Obat-obatan antagonis
1) Nalokson
e. Obat-obatan emergensi
1) Epinefrin
2) Efedrin
3) Atropine
4) Amiodaron
5) Lidokain
6) Dekstrose 40%
7) Difenhidramin
8) Hidrokortison, metilprednisolon atau deksametason
9) Diazepam atau midazolam

34
Lampiran 3

KRITERIA PEMULIHAN PASCA SEDASI


ALDRETTE SCORING SYSTEM
(Pemulihan fase 1)

Aktivitas : mampu bergerak dengan kemauan sendiri atau atas perintah


4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1
1 ekstremitas 0
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dyspnea, bernapas dangkal dan terbatas 1
Apnea 0
Sirkulasi
TD ± 20 mmHg dari nilai pra anestesia 2
TD ± 20-50 mmHg dari nilai pra anestesia 1
TD ± 50 mmHg dari nilai pra anestesia 0
Kesadaran
Sadar penuh 2
Bangun bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0
Saturasi O2
≥ 92% dengan udara kamar 2
≥ 90 % dengan oksigen 1
≤ 90 % 0

Nilai total 10. Nilai ≥ 9 masuk dalam pemulihan fase 2.

35
Lampiran 4

KRITERIA PEMULANGAN PASIEN RAWAT JALAN


Postanesthetic Discharge Scoring System (PADSS)

Tanda Vital
TD ± 20 mmHg dari nilai pra anestesia 2
TD ± 20-50 mmHg dari nilai pra anestesia 1
TD ± 50 mmHg dari nilai pra anestesia 0
Aktivitas, status mental
Orientasi & berjalan stabil 2
Orientasi atau berjalan stabil 1
Tidak dua-duanya 0
Nyeri, mual, muntah
Minimal 2
Sedang 1
Berat 0
Perdarahan surgical
Minimal 2
Sedang 1
Berat 0
Intake dan output
Minum dan BAK 2
Minum atau BAK 1
Tidak keduanya 0

Total nilai 10. Pasien dipulangkan dengan nilai ≥ 9.

36
SUMBER ACUAN

American Society of Anesthesiologist (ASA). Position on Monitored anaesthesia care,2008.

American Society of Anesthesiologist (ASA). Practice guidelines for sedation and analgesia by
non-Anesthesiologist. Anesthesiology, 2002; 96: 1004-17.

American Society of Anesthesiologist. Ambulatory Surgical Care: Guidelines for ambulatory


anesthesia and Surgery, 2008.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 519/Menkes/PER/III/2011 tentang


Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di
Rumah Sakit.

Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis


Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia, 2008.

Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In: Pharmacology and physiology in anesthesic
practice. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. p.461-
69.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pharmacology and physiology. In: Clinical anesthesiology.
4th Edition. New York: Lange Medical Books; 2006. p.412-49.

37

Anda mungkin juga menyukai