Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Sedasi berasal dari bahasa latin, sedare yang artinya menenangkan. Penggunaan obat-
obat golongan ini pada bidang pediatric gawat darurat mempunyai tujuan yang bergam. Karena
adanya risiko dan efek samping yang berbahaya, pengunaan obat sedasi harus didasarkan atas
indikasi yang jelas

Beberapa indikasi penggunaan sedasi dan analgesia di ICU anak

1. Menghilangkan nyeri
2. Menghilangkan takut dan kecemasan
3. Menimbulkan amnesia
4. Meningkatkan kenyamanan pasien (contoh: tidur tenang)
5. Memfasilitasi kooperasi pasien (contoh: ventilasi mekanik)
6. Meningkatka keamana pasien

Berdasarkan indikasi penggunaannya, ada 3 kelompok obat sedasi dengan spectrum yang
berbeda. Propofol dan thiopentone mempunyai efek sedasi dan hipnotik. Benzodiazepine
mempunyai efek sedasi, hipnotik dan amnesia. Agonis alfa-2 mempunyai efek sedasi, hipnotik
amnesia dan analgesia..
BAB II

2.1 DEFINISI

Sedasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan agen-agen farmakologik untuk menghasilkan


depresi tingkat kesadaran secara cukup sehingga menimbulkan rasa mengantuk dan
menghilangkan kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal.

The American Society of Anesthesiologists menggunakan definisi berikut untuk sedasi :

Sedasi minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien berespon
normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu, tetapi
fungsi kardiovaskuler dan ventilasi tidak dipengaruhi.

Sedasi sedang (sedasi sadar) adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat
di mana pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah diikuti
oleh rangsangan taktil cahaya. Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga jalan napas paten
dan ventilasi spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.

Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran setelah
terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan berulang
atau rangsangan sakit. Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi dapat terganggu
dan pasien dapat memerlukan bantuan untuk menjaga jalan napas paten. Fungsi
kardiovaskuler biasanya dijaga.

Dapat terjadi progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam di mana kontak verbal
dan refleks protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga sulit dibedakan dengan
anestesi umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan diperlukan tingkat keahlian
yang lebih tinggi untuk penanganan pasien. Kemampuan pasien untuk menjaga jalan napas
paten sendiri merupakan salah satu karakteristik sedasi sedang atau sedasi sadar, tetapi pada
tingkat sedasi ini tidak dapat dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat
anestesi dapat digunakan dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat
sedative dapat menghasilkan efek anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar.
Sementara hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem
saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate yang memberikan efek
menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan efek mengantuk
dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur.2

2.2 INDIKASI PENGGUNAAN OBAT-OBAT SEDATIF

Premedikasi

Obat-obat sedatif dapat diberikan pada masa preoperatif untuk mengurangi kecemasan
sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan. Sedasi dapat digunakan pada anak-anak kecil,
pasien dengan kesulitan belajar, dan orang yang sangat cemas. Obat-obat sedatif diberikan
untuk menambah aksi agen-agen anestetik. Pemilihan obat tergantung pada pasien,
pembedahan yang akan dilakukan, dan keadaan-keadaan tertentu: misalnya kebutuhan pasien
dengan pembedahan darurat berbeda dibandingkan pasien dengan pembedahan terencana
atau pembedahan mayor. Penggunaan oral lebih dipilih dan benzodiazepin adalah obat yang
paling banyak digunakan untuk premedikasi.

Sedo-analgesia

Istilah ini menggambarkan penggunaan kombinasi obat sedatif dengan anestesi lokal,
misalnya selama pembedahan gigi atau prosedur pembedahan yang menggunakan blok
regional. Perkembangan pembedahan invasif minimal saat ini membuat teknik ini lebih luas
digunakan.

Prosedur radiologik

Beberapa pasien, terutama anak-anak dan pasien cemas, tidak mampu mentoleransi prosedur
radiologis yang lama dan tidak nyaman tanpa sedasi. Perkembangan penggunaan radiologi
intervensi selanjutnya meningkatkan kebutuhan penggunaan sedasi dalam bidang radiologi.

Endoskopi
Obat-obat sedatif umumnya digunakan untuk menghilangkan kecemasan dan memberi efek
sedasi selama pemeriksaan dan intervensi endoskopi. Pada endoskopi gastrointestinal (GI),
analgesik lokal biasanya tidak tepat digunakan, perlu penggunaan bersamaan obat sedatif dan
opioid sistemik. Sinergisme antara kelompok obat-obat ini secara signifikan meningkatkan
resiko obstruksi jalan napas dan depresi ventilasi.

Terapi intensif

Kebanyakan pasien dalam masa kritis membutuhkan sedasi untuk memfasilitasi penggunaan
ventilasi mekanik dan intervensi terapetik lain dalam Unit Terapi Intensif (ITU). Dengan
meningkatnya penggunaan ventilator mekanik, pendekatan modern yaitu dengan kombinasi
analgesia yang adekuat dengan sedasi yang cukup untuk mempertahankan pasien pada
keadaan tenang tapi dapat dibangunkan. Farmakokinetik dari tiap-tiap obat harus
dipertimbangkan, di mana sedatif terpaksa diberikan lewat infus untuk waktu yang lama pada
pasien dengan disfungsi organ serta kemampuan metabolisme dan ekskresi obnat yang
terganggu. Beberapa obat yang berbeda digunakan untuk menghasilkan sedasi jangka pendek
dan jangka panjang di ITU, termasuk benzodiazepin, obat anestetik seperti propofol, opioid,
dan agoni α2-adrenergik. Nilai skor sedasi selama perawatan masa kritis telah dibuat sejak
bertahun-tahun, tapi perhatian lebih terfokus akhir-akhir ini pada pentingnya sedasi harian
‘holds’; strategi interupsi harian dengan obat-obat sedasi menyebabkan lebih sensitifnya
kebutuhan untuk sedasi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi insiden terjadinya komplikasi
terkait penggunaan ventilasi mekanik selama masa kritis dan untuk mengurangi lama
perawatan.

Suplementasi terhadap anestesi umum

Penggunaannya yaitu dari sinergi antara obat-obat sedatif dan agen induksi intravena dengan
teknik ko-induksi. Penggunaan sedatif dalam dosis rendah dapat menghasilkan reduksi
signifikan dari dosis agen induksi yang dibutuhkan, dan dengan demikian mengurangi
frekuensi dan beratnya efek sampingSedasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan agen-
agen farmakologik untuk menghasilkan depresi tingkat kesadaran secara cukup sehingga
menimbulkan rasa mengantuk dan menghilangkan kecemasan tanpa kehilangan komunikasi
verbal.

Beberapa indikasi penggunaan sedasi dan analgesia di ICU anak

1. Menghilangkan nyeri
2. Menghilangkan takut dan kecemasan
3. Menimbulkan amnesia
4. Meningkatkan kenyamanan pasien (contoh: tidur tenang)
5. Memfasilitasi kooperasi pasien (contoh: ventilasi mekanik)
6. Meningkatka keamana pasien

2.3 jenis- Jenis Obat Sedasi

Secara klinis obat-obatan sedatif-hipnotik digunakan sebagai obat-obatan yang berhubungan


dengan sistem saraf pusat seperti tatalaksana nyeri akut dan kronik, tindakan anestesia,
penatalaksanaan kejang, serta insomnia. Obat-obatan sedatif hipnotik diklasifikasikan menjadi 3
kelompok, yakni:

1. Benzodiazepin

2. Barbiturat

3. Golongan obat nonbarbiturat – nonbenzodiazepin2

1. Benzodiazepin3

Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu
anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan amnesia retrograde.
Benzodiazepine banyak digunakan dalam praktik klinik. Keunggulan benzodiazepine dari
barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin
dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati.
Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi
dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi. Dalam masa perioperative,
midazolam telah menggantikan penggunaan diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki
antagonis khusus yaitu flumazenil.

 Struktur Kimia Benzodiazepin3

Benzodiazepine disusun sebuah ring benzene bergabung menjadi sebuah diazepine ring
yang berisi tujuh molekul.

Gambar 1. Struktur Kimia Benzodiazepin

 Mekanisme Kerja3

Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid


(GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan
reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter
penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel
dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek
anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal.

Efek sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABA A sub unit alpha-1 yang merupakan 60%
dari resptor GABA di otak (korteks serebral, korteks serebelum, thalamus). Sementara efek
ansiolotik timbul dari aktifasi GABA sub unit aplha-2 (Hipokampus dan amigdala).

Perbedaan onset dan durasi kerja diantara benzodiazepine menunjukkan perbedaan


potensi (affinitas terhadap reseptor), kelarutan lemak (kemampuan menembus sawar darah otak
dan redistribusi jaringan perifer) dan farmakokinetik (penyerapan, distribusi, metabolisme dan
ekskresi). Hampir semua benzodiazepine larut lemak dan terikat kuat dengan protein plasma.
Sehingga keadaan hipoalbumin pada cirrhosis hepatis dan chronic renal disease akan
meningkatkan efek obat ini.

Benzodiazepin menurunkan degradasi adenosin dengan menghambat tranportasi


nuklesida. Adonosin penting dalam regulasi fungsi jantung (penurunan kebutuhan oksigen
jantung melalui penurunan detak jantung dan meningkatkan oksigenasi melalui vasodilatasi
arteri korener) dan semua fungsi fisiologi proteksi jantung

 Efek Samping3

Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada penggunaan lama
benzodiazepine. Sedasi akan menggangu aktivitas setidaknuya selama 2 minggu. Penggunaan
yang lama benzodiazepine tidak akan mengganggu tekanan darah, denyut jantung, ritme jantung
dan ventilasi. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan penyakit paru
kronis.

Penggunaan benzodiazepine akan mengurangi kebutuhan akan obat anestesi inhalasi


ataupun injeksi. Walaupun penggunaan midazolam akan meningkatkan efek depresi napas opioid
dan mengurangi efek analgesiknya. Selain itu, efek antagonis benzodiazepine, flumazenil, juga
meningkatkan efek analgesik opioid.

 Contoh Preparat Benzodiazepin

a. Midazolam3
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin imidazole
yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah menggantikan diazepam
selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu affinitas terhadap reseptor
GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat diabanding
efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan
yang terjadi selama beberapa jam.

Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan tetap larut
dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH sehingga cincin akan
menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan midazolam dapat dicampur dengan
ringer laktat atau garam asam dari obat lain.

1) Farmakokinetik

Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak.
Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari
obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik yang
tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu
durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke
jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.

Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh
diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada
pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan
dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih
pendek dibanding diazepam.

2) Metabolisme

Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan enzim cytochrome P-450 usus
halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif. Metabolit utama yaitu 1-hidroksimidazolam
yang memiliki separuh efek obat induk. Metabolit ini dengan cepat dikonjugasi dengan asam
glukoronat menjadi 1-hidroksimidazolam glukoronat yang dieskresikan melalui ginjal. Metabolit
lainnya yaitu 4-hidroksimidazolam tidak terdapat dalam plasma pada pemberian IV.
Metabolisme midazolam akan diperlambat oleh obat-obatan penghambat enzim sitokrom
P-450 seperti simetidin, eritromisin, calsium channel blocker, obat anti jamur.Kecepatan klirens
hepatic midazolam lima kali lebih besar daripada lorazepam dan sepuluh kali lebih besar
daripada diazepam.

3). Efek pada Sistem Organ

Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah ke otak
seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan kebutuhan
metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam juga memiliki efek
yang kuat sebagai antikonvulsan untuk menangani status epilepticus.

a) Pernapasan

Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan diazepam
0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih besar
terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak terjadi
sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan menyebabkan apneu
sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid. Benzodiazepine juga menekan
refleks menelan dan penuruna aktivitas saluran napas bagian atas.

b) Sistem kardiovaskuler

Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara dengan
thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi perifer
dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada tekanan darah secara langsung
berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepine.

2. Penggunaan Klinik

Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai sedasi
dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek antikonvulsan sehingga dapat digunakan
untuk mengatasi kejang grand mal.

a) Premedikasi
Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup (2 mg/ml)
kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek pernapasan yang
sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi dipercaya akan memberikan
keadaan amnesia retrograd yang cukup.

b) Sedasi intravena

Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit, durasi 15-80
menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi. Dibanding dengan diazepam, midazolam
memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi yang lebih
rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang ditakutkan dari midazolam
adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama obat penekan CNS lainnya.

c) Induksi anestesi

Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2 mg/kg IV selama 30-60 detik. Walaupun
thiopental memberikan waktu induksi lebih cepat 50-100% dibanding midazolam. Dosis yang
digunakan akan semakin kecil apabila sebelumnya diberikan obat penekan CNS lain seperti
golongan opioid. Pasien tua juga membutuhkan lebih sedikit dosis dibanding pasien muda.

d) Rumatan anestesi

Midazolam dapat diberikan sebagai tambahan opioid, propofol dan anestesi inhalasi
selama rumatan anestesi. Pemberian midazolam dapat menurunkan dosis anestesi inhalasi yang
dibutuhkan. Sadar dari post operasi dengan induksi midazolam akan lebih lama 1-2,5 kali
dibanding penggunaan thiopental sebagai induksi.

e) Sedasi post operasi

Pemberian jangka panjang midazolam secara intravena (dosis awal 0,5-4 mg IV dan dosis
rumatan 1-7 mg/jam IV) akan mengakibatkan klirens midazolam dari sirkulasi sistemik lebih
bergantung pada metabolisme hepatik. Efek farmakologis dari metabolit akan terakumulasi dan
berlangsung lebih lama setelah pemberian intravena dihentikan sehingga waktu bangun pasien
menjadi lebih lama. Penggunaan opioid dapat mengurangi dosis midazolam yang dibutuhkan
sehingga waktu pulih lebih cepat. Waktu pulih akan lebih lama pada pasien tua, obese dan
gangguan fungsi hati berat.

f) Gerakan pita suara paradoks

Gerakan pita suara paradoks adalah penyebab nonorganik obstruksi saluran napas atas
dan stridor sebagai manifestasi post operasi. Midazolam 0,5-1 mg IV mungkin efektif untuk
mengatasinya.

b. Diazepam1

Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja yang
lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik (propilen
glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH 6,6-
6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.

1) Farmakokinetik

Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam (15-
30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam besar
dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati plasenta
dan terdapat dalam sirkulasi fetus.

Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak. Diazepam


dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga
pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada cirrhosis hepatis, akan
meningkatkan efek samping dari diazepam.

2) Metabolisme

Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi


desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam
memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam
sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian. Metabolit ini
mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi. Desmethyldiazepam
diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan asam glukoronat.

3) Waktu Paruh

Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada
pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat enzim
sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam, diazepam memiliki waktu paruh yang lebih panjang
namun durasi kerjanya lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABAA lebih cepat terpisah.

Waktu paruh desmethyldiazepam adalah 48-96 jam. Pada penggunaan lama diazepam
dapat terjadi akumulasi metabolit di dalam jaringan dan dibutuhkan waktu lebih dari seminggu
untuk mengeliminasi metabolit dari plasma.

4) Efek pada Sistem Organ

Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan
bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif akan
meningkatkan resiko terjadinya depresi napas.

Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak
menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga
dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan
perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti
dengan injeksi fentanyl 50 µg/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan
penurunan tekanan darah sistemik.
Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan
menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila konsentrasi
plasmanya > 1000ng/ml.

5) Penggunaan Klinis

Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam.
Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang
didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang mencegah
kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat aktivitas di
sistem limbik, terutama di hippokampus.

b. Lorazepam3

Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada adanya
klorida ekstra pada posisi orto 5-phenyl moiety. Lorazepam lebih kuat dalam sedasi dan amnesia
dibanding midazolam dan diazepam sedangkan efek sampingnya sama.
1) Farmakokinetik

Lorazepam dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hati menjadi bentuk inaktif yang
diekskresikan di ginjal. Waktu paruhnya lebih lama yaitu 10-20 jam dengan ekskresi urin > 80%
dari dosis yang diberikan. Karena metabolismenya tidak dipengaruhi oleh enzim mikrosom di
hati, maka metabolismenya tidak dipengaruhi oleh umur, fungsi hepar dan obat penghambat
enzim P-450 seperti simetidin. Namun onset kerja lorazepam lebih lambat dibanding midazolam
dan diazepam karena kelarutan lemaknya lebih rendah.

2) Penggunaan Klinik

Lorazepam diserap baik bila diberikan secara oral dan IM dan mencapai konsentrasi
puncak dalam 2-4 jam dan terus bertahan efeknya selama 24-48 jam. Sebagai premedikasi,
digunakan dosis oral 50µg/kg (maks 4 mg) yang akan menimbulkan sedasi yang cukup dan
amnesia selama ± 6 jam. Penambahan dosis akan meningkatkan sedasi tanpa penambahan efek
amnesia. Lorazepam tidak bermanfaat pada operasi singkat karena durasi kerja yang lama.

Onset kerja lambat lorazepam merupakan kekurangan lorazepam bila digunakan sebagai
induksi anestesi, sedasi selama regional anestesi dan sebagai anti kejang. Lorazepam akan
bermanfaat bila digunakan sebagai sedasi pada pasien yang diintubasi.

c. Oxazepam3

Oxazepam merupakan metabolit aktif dari diazepam. Durasi kerjanya lebih pendek
dibanding diazepam karena di sirkulasi akan dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi
metabolit inaktif. Waktu paruhnya 5-15 jam dan tidak dipengaruhi oleh fungsi hepar atau
pemberian simetidin. Absorbsi oral oxazepam sangat lambat sehingga tidak bermanfaat pada
pengobatan insomnia dengan kesulitan tidur. Namun bermanfaat pada insomnia memiliki
periopde tidur yang pendek atau sering terbangun di malam hari.
d. Alprazolam3

Alprazolam memiliki efek mengurangi kecemasan pada pasien dengan kecemasan atau
serangan panik. Alprazolam merupakan alternatif untuk premedikasi pengganti midazolam.

2.Barbiturat

Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan
sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah
banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang
memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan.2

Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-
trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam
malonat.4

Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi
dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas
barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat
dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis,
tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan
tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya
diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.4

A. Pengaruh Barbiturat4

1. Pengaruh Pada Sistem Saraf Pusat

Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya.
Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya terjadi pada
sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui
GABA sebagai mediator.

Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi
transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja
benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-nergik,
sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat.

2. Pengaruh pada Susunan Saraf Perifer

Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi eksitasi
nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah pemberian
oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.

3. Pengaruh pada Pernapasan

Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis. Pemberian
barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik
menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh
langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan
batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat,
kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO 2 berkurang sehingga ventilasi
paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO 2 dan pemasukan O2 berkurang,
sehingga terjadilah hipoksia.

4. Pengaruh pada Sistem Kardiovaskular

Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system kardiovaskular.
Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh berbiturat.
Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan tekanan darah
turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar
disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat
menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.
5. Pengaruh pada Saluran Cerna

Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya. Pusat kerjanya
sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis. Dosis hipnotik tidak
memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan oleh
dosis sedasi barbiturat.

6. Pengaruh pada Hati

Barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada retikuloendoplasmik hati.
Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk
hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D.

7. Pengaruh pada Ginjal

Barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria dapat terjadi
pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.

B. Farmakokinetik4

Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus
kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan menginduksi
serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati
plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak; tiopental yang
terbesar.

Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah
pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan
kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya
aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi
di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi
obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu
(20-30 %) pada manusia.
Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh
berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang
mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir
pada semua obat golongan barbiturat.

C. Indikasi4

Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek
terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine.
Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya
tiopental dan fenobarbital.

D. Kontra Indikasi4

Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal,
hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita psikoneurotik
tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia
lanjut.

E. Efek Samping4

1) Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat
terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa
vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat
bertambah berat.

2) Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama


fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada depresi.
idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.
3) Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada
penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri, dapat
menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium.

4) Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipersensitivitas
dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal
pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan
degeneratif hati.

F. Interaksi Obat4

Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan
meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO juga
dapat menaikkan efek depresi barbiturat.

Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah interaksi dengan
obat depresan susunan saraf pusat lain, yang menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas
dapat diramalkan dengan penggunaan minuman beralkohol, analgesik narkotik, antikonvulsi,
fenotiazin dan obat-obat anti depresan golongan trisiklik.

G. Sediaan Barbiturat4

Tabel 1. Nama obat, Bentuk sediaan dan Dosis Hipnotik Sedatif

Nama obat Bentuk sediaan Dosis dewasa (mg)

Sedatif Hipnotik
Amobarbital K,T,I,P 30-50 2-3xd 65-200

Aprobarbital E 40 3xd 40-160

Butabarbital K,T,E 15-30 3-4xd 50-100

Pentobarbital K,E,I,S 20 3-4xd 100

Sekobarbital K,T,I 30-50 3-4xd 50-200


fenobarbital K,T,E,I 15.40 -3xd 100-320
Dikutip dari : Goodman and Gilman, 1990

Keterangan :

K : kapsul E : eliksir I : injeksi

L : larutan P : bubuk S : supositoria

T : tablet

H. Intoksikasi4

Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian, kecelakaan
pada anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal barbiturat sangan bervariasi. Keracunan
berat umumnya terjadi bila lebih dari 10 kali dosis hipnotik dimakan sekaligus. Dosis fatal
fenobarbital adalah 6-10 g, sedangkan amobarbital, sekobarbital, dan pentobarbital adalah 2-3 g.
kadar plasma letal terendah yang dikemukakan adalah 60 mcg/ml bagi fenobarbital, dan 10
mcg/ml bagi barbiturat dengan efek singkat, misal amobarbital dan pentobarbital.

Gejala simtomatik keracunan barbiturat ditunjukan terutama terhadap SSP dan


kardiovaskular. Pada keracunan berat, reflek dalam mungkin tetap ada selama beberapa waktu
setelah penderita koma. Gejala babinzki sering kali positif. Pupil mata mungkin kontraksi dan
bereaksi terhadap cahaya, tapi pada tahap akhir keracunan mungkin dapat terjadi dilatasi. Gejala
intoksikasi akut yang bahaya ialah depresi pernafasan berat, tekanan darah turun rendah sekali,
oligiuria dan anuria.

Intoksikasi barbiturat akut dapat diatasi dengan maksimal dengan pengobatan simtomatik
suportif yang umum. Dalamnya koma dan ventilasi yang memadai adalah yang pertama dinilai.
Bila keracunan terjadi < 24 jam sejak makan obat, tindakan cuci lambung dan memuntahkan
obat perlu dipertimbangkan, sebab barbiturat dapat mengurangi motilitas saluran cerna. Tindakan
cuci lambung serta memuntahkan obat perlu dilakukan hanya setelah tindakan untuk
menghindari aspirasi dilakukan. Setelah cuci lambung, karbon aktif dan suatu pencahar (sarbitol)
harus diberikan. Pemberian dosis ulang karbon (setelah terdengar bising usus) dapat
mempersingkat waktu paruh fenobarbital. Pengukuran fungsi nafas perlu dilakukan sedini
mungkin. Pco2 dan O2 perlu dimonitor, dan pernafasan buatan harus dimulai bila diindikasikan.

Pada keracunan barbiturat akut yang berat, syok merupakan ancaman utama. Sering kali
penderita dikirim ke rumah sakit dalam keadaan hipotensi berat atau syok, dan dehidrasi yang
berat pula. Hal ini segara diatasi, bila perlu tekanan darah dapat ditunjang dengan dopamine.

I. Contoh Preparat
Tiopental:
Merupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anestesi dan banyak dipergunakan
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik inhalasi lainnya.*

Gambar. Struktur Kimia Tiopental

1. Mekanisme kerja*

Setelah pemberian secara intravena, thiopental akan melewati sawar darah otak
secara cepat dan jika diberikan pada dosis yang mencukupi akan menyebabkan
hypnosis dalam satu waktu sirkulasi. pada pemakaian thiopental, keseimbangan
plasma otak cepat terjadi (kira-kira 1 menit) karena kelarutan lemak yang tinggi.
Thiopental cepat berdifusi keluar otak dan jaringan lain yang sangat vascular serta
akan didistribusikan ke dalam otot, lemak dan seluruh jaringan tubuh. Karena cepat
dikeluarkan dari jaringan otak sehingga pemberian dosis tunggal thiopental
mempunyai masa kerja ultra singkat. Metabolisme thiopental sangat lambat dan akan
didistribusikan ke hati. Kurang dari 1% dari thiopental yang diberikan akan
diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh. Rata-rata metabolisme thiopental
12-16% per jam pada manusia setelah pemberian dosis tunggal.

2. Efek terhadap sistem organ

Pada pemberian dosis tinggi, thiopental akan menyebabkan penurunan tekanan arteri,
curah balik, dan curah jantung.* Hal ini dapat menyebabkan depresi miokard dan
meningkatnya kapasitas vena serta sedikit perubahan pada tahanan arteri perifer.
Thiopental mendepresi pusat pernafasan dan menurunkan sensitivitas pusat
pernapasan terhadap karbon dioksida.* Metabolisme otak dan penggunaan oksigen
akan menurun setelah pemberian thiopental dalam proporsi terhadap tingkat depresi
otak.* Aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial juga akan menurun dan
diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan oksigen.1 Hal ini merupakan
pertimbangan mengapa thiopental lebih banyak dipergunakan pada penderita dengan
peradangan otak dibandingkan sebagai anestesi inhalasi selama tekanan intracranial
dan volume darah tidak meningkat.*

3. Penggunaan thiopental:

 Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.

 Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).

 Sedasi pada analgesik regional

 Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus

Thiopental dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna kuning, biasanya
dalam ampul 500 atau 1000 mg dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan
2,5% (1ml=25mg). larutan sifatnya sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga
suntikan keluar vena akan menimbulkan nyeri hebat, dan bila masuk ke arteri akan
menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Thiopental hanya boleh
digunakan intravena dengan dosis 3-7mg/kg disuntikkan perlahan-lahan dalam 30-60
detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan thiopental akan menyebabkan pasien
berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anesthesia, atau depresi napas.

Thiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk bebas,
sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi.1

III.3 Nonbarbiturat – Nonbenzodiazepin

A. Propofol5

Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang digunakan


secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10% minyak
kedele, 2,25% gliserol, dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara struktur kimia
berbeda dari obat sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya. Penggunaan
propofol 1,5 – 2,5 mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau methohexital 1,5
mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam
waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan kesadaran dibandingkan obat
anestesia lain yang disuntikan secara cepat. Selain sepat mengembalikan kesadaran, propofol
memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih sering apabila
obat disuntikan pada pembuluh darah vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan
peimilihan tempat masuk obat di daerah vena yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%.
Propofol adalah larutan yang tidak larut dalam air sehingga membutuhkan pelarut untuk
larut dalam lemak sehingga terjadi emulsifikasi. Saat ini digunakan larut kacang kedele sebagai
pelarut lemak dan egg lechitin sebagai zat pengemulsi yang dikomposisikan dengan rantai
panjang trigliserida. Komposisi seperti ini mendukung perkembangan bakteri dan
meningkatkan kandungan trigliserida plasma ketika diberikan melalui cairan infus yang lama.
Diprivan® menggunakan disodium edenate (0,005%) dan sodium hydroxide dan meningkatkan
pH 7-8,5. Kandungan generik propofol sodium metabisulfite (0,25mg/mnl) mengubah menjadi
pH 4,5-6,4. Propofol tidak seperti thiopental, etomide, dan ketamin, tidak memiliki komponen
chiral.
Campuran propofol dan obat lain tidak dianjurkan walau penggunaan lidokain sering
ditambahkan untuk mengurangi nyeri pada tempat suntikan. Pencampuran lidokain dan propofol
dapat menimbulkan gabungan pada droplet minyak dan bentuk yang lain sehingga meningkatkan
risiko embolisasi pulmonal.
Emulsi propofol yang rendah lemak (Ampofol®) mengandung 5% minyak kedelai dan
0,6% egg lechitin dan tidak memerlukan bahan pengawet atau zat yang meretardasi pertumbuhan
mikroba.
Suatu alternatif dalam memecahkan masalah formulasi emulsi propofol dan masalah efek
samping obat (nyeri pada tempat suntikan, risiko infeksi, hipertrigliseridemia, emboli paru)
adalah dengan menggunakan bentuk prodrug dengan melepaskan suatu gugus sehingga
meningkatkan kelarutan pada air (phosphate monoester, hemisuccinates). Propofol dibebaskan
setelah dihidrolisa oleh alkaline phosphatase di permukaan sel endotel. Dibandingkan dengan
propofol, bentuk prodrug ini didistribusi lebih besar dan lebih poten.
Bentuk propofol yang tidak larut lemak menggunakan cyclodextrins sebagai zat pelarut.
Cyclodextrins adalah molekul cincin gula sehingga larut dalam air. Setelah disuntikan,
cyclodextrins dipisahkan dengan propofol di dalam darah.

1. Mekanisme Kerja
Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma aminobutyric acid
(GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap
memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah salah
satu neurotransmiter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar klorida
transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan
menghambat fungsi neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat dan etomidate)
dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA menurunkan neurotansmitter penghambat.
Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melaui chloride channel
sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.

2. Farmakokinetik
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome P-
450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik.
Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air
sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol membentuk 4-
hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide
menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek hipnotik. Kurang dari
0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5 – 1,5 jam tapi yang
lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam adalah
kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh minimal dari durasi infus
karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali dari
tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. Propofol mirip seperti aldentanil dan thiofentanil, yang
memiliki efek singkat di otak setelah pemberian melalui intravena.
Total body clearance dari propofol sebanding dengan aliran darah ke hati dan bersihan
ekstahepatik (pulmonary uptake dan eliminasi awal. Pulmonary uptake dari propofol dipengaruhi
avaibilitas propofol. Di paru propofol diubah ke dalam bentuk 2,6-diisoprpyl- 1,4 quiniol dan
kebanyakan kembali lagi ke dalam sirkulasi. Glukoronidasi adalah jalur metabolisme utama dari
propofol dan UDP-glukoronidase sehingga ginjal juga memegang peranan penting dalam
mengekresikan propofol.
Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang menunjukan adanya
gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.Konsentrasi propofol di plasma sama antara
pasien yang meminum alkohol dan yang tidak. Eliminasi ekstrahepatik propofol terjadi secara
ekstrahepatik selama fase anhepatik dari orhtopik transplantasi hati. Disfungsi ginjal tidak
mempengaruhi clearance propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun metabolisme
propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama. Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun
menunjukan penurunan bersihan plasma propofol dibandingkan pasien dewasa. Kecepatan
bersihaan propofol mengkonfirmasi bahwa obat ini dapat digunakan secara terus menerus
intravena tanpa efek kumulatif. Propofol mampu melewati sirkulasi plasenta namun secara cepat
dibersihkan dari sikulasi fetus.

3. Penggunaan Klinis
Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek mengembalikan
kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat anestesia lain menjadi
metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian penyeimbang atau anestesi
total iv. Penggunaan propofol melalui infus secara terus menerus sering digunakan di ruang ICU.

a. Induksi Anestesia
Dosis induksi propofol pada pasien dewasa adalah 1,5 – 2,5 mg/kgBB intravena dengan
kadar obat 2-6 μg/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang bergantung pada usia pasien. Mirip
seperti barbiturat, anak-anak membutuhkan dosis induksi yang lebih besar tiap kilogram berat
badannya yang mungkin disebabkan volum distribusi yang besar dan kecepatan bersihan yang
lebih. Pasien lansia membutuhkan dosis induksi yang lebih kecil (25% - 50%) sebagai akibat
penurunan volume distribusi dan penurunan bersihan plasma. Kesadaran kembali saat kadar
propofol di plasma sebesar 1,0 – 1,5 μg/ml. Kesadaran yang komplit tanpa gejala sisa SSP
merupakan karakter dari propofol dan telah menjadi alasan menggantikan thiopental sebagai
induksi anestesi pada banyak situasi klinis.

b. Sedasi Intravena
Sensitive half time dari propofol walau diberikan melalui infus yang terus menerus,
kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian kesadaran yang cepat
tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang rendah membuat propofol diterima
sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah 25-100μg/kgBB/menit secara intravena dapat
menimbulkan efek analgesik dan amnestik. Pada beberapa pasien, midazolam atau opioid dapat
dikombinasikan dengan propofol melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak nyaman
menurun.
Propofol yang digunakan sebagai sedasi selama ventilasi mekanik di ICU pada beberapa
populasi termasuk pasien post operasi (bedah jantung dan bedah saraf) dan pasien yang
mengalami cedera kepala. Propofol juga memiliki efek antikonvulsan, dan amnestik Setelah
pembedahan jantung, sedasi propofol mengatur respon hemodinamik post operasi dengan
menurunkan insiden dan derajat takikardia dan hipertensi. Asidosis metabolik, lipidemia,
bradikardia, dan kegagalan myokardial yang progresif pada beberapa anak yang mendapat sedasi
propofol selama penanganan gagal napas akut di ICU.

c. Maintenance Anestesia
Dosis tipikal anestesia 100-300 μg/kgBB/menit iv sering dikombinasikan dengan opioid
kerja singkat. Walaupun propofol diterima sebagai anestesi prosedur bedah yang singkat, tetapi
propofol lebih sering digunakan pada operasi yang lama ( < 2 jam) dipertanyakan mengingat
harga dan efek yang sedikit berbeda pada waktu kembalinya kesadaran dibandingkan standar
teknik anestesi inhalasi. Anestesi umum dengan propofol dihubungkan dengan efek yang
minimal pada rasa mual dan muntah post operasi, pengembalian kesadaran.

d. Aplikasi Terapeutik Nonhipnotik


1) Efek Antiemetik
Insiden mual dan muntah post-operasi menurun pada pasien yang diberikan propofol.
Dosis subhipnotik propofol (10-15 mg iv) mungkin digunakan untuk mengobati mual dan
muntah terutama jika bukan yang disebabkan rangsangan nervus vagus. Selama masa
postoperasi, keuntungan propofol adalah onset kerja yang cepat dan tidak ada efek samping obat
yang serius. Propofol memiliki efek umum dalam menatalaksana mual dan muntah pada
konsentrasi yang tidak menimbulkan efek sedasi. Efek antiemetik timbul pada pemberian
propofol 10 mg diikuti dengan 10 μg/kgBB/menit. Dosis subhipnotik propofol efektif
menatalaksana rasa mual dan muntah akibat kemoterapi. Ketika induksi dan mempertahankan
anestesi, penggunaan propofol lebih efektif daripada pemberian ondansentron.

2) Efek Anti Pruritus


Propofol 10 mg intravena efektif untuk menatalaksana pruritus yang dihubungkan dengan
opioid neuraxis atau kolestasis. Kualitas analgesia tidak dipengaruhi propofol. Mekanisme efek
antipruritus berhubungan kemampuan obat menekan aktifitas spinal. Terdapat suatu penelitian
yang menunjukan bahwa intratekal opioid menimbulkan pruritus melalui eksitasi segmental dari
sum-sum tulang.

Aktifitas Antikonvulsan
Propofol merupakan antiepileptik dengan merefleksi GABA mediated presinaps dan
postsinaps inhibition dari kanal ion klorida. Dosis propofol > 1 mg/kgBB intravena menurunkan
durasi kejang 35%-45% pada pasien yang mengalami terapi elektrokonvulsif.

b) Attenuation Bronkokonstriksi
Dibandingkan thiopental, propofol menurunkan prevalensi wheezing setelah induksi
dengan anestesia dan intubasi trakea pada pasien tanpa riwayat asma dan pasien dengan riwayat
asma. Formula baru propofol yang menggunakan metabisulfit sebagai pengawet. Metabisulfit
menimbulkan bronkokontriksi pada pasien asma. Pada studi di hewan, propofol tanpa
metabisulfit menimbulkan stimulus ke nervus vagus yang menginduksi bronkokonstriksi dan
metabisulfit sendiri dapat meningkatkat kurang responnya saluran pernapasan. Setelah intubasi
trakea, pasien dengan riwayat merokok, resistensi saluran pernapasan meningkat pada pasioen
yang mendapat propofol dan metabisulfit serta ethyl enediaminetetraacetic (EDTA). Sehingga
penggunaan bahan pengawet propofol meningkatkan risiko terjadinya bronkokonstriksi. Propofol
yang menginduksi bronkokonstriksi pernah dilaporkan pada psien dengan riwayat alergi dan
penggunaan Diprivan® yang mengandung susu kedele, gliserin, egg lechitin , sodium edetate.

c) Efek Pada Organ


- Sistem Saraf Pusat
Propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap oksigen (CRMO 2), aliran
darah, serta tekanan intra kranial (TIK). Penggunaan propofol sebagai sedasi pada pasien dengan
lesi yang mendesak ruang intra kranial tidak akan meningkatkan TIK. Dosis besaar propofol
mungkin menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan aliran darah ke
otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan darah dan aliran darah ke otak
yang mengubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol. Akan tetapi, aliran darah ke otak
dipengaruhi oleh PaCO2 pada pasien yang mendapat propofol dan midazolam. Propofol
menyebabkan perubahan gambaran electroencephalograpic (EEG) yang mirip pada pasien yang
mendapat thiopental. Cortical somatosensory evoked potentials yang digunakan sebagai alat
monitoring fungsi sum-sum tulang belakang menunjukan tidak terdapat perbedaan hasil
(penurunan amplitudo) antara pasien yang mendapat propofol saja dan yang mendapat propofol,
N2O, atau zat volatil lainnya. Propofol tidak mengubah gambaran EEG pasien kraniotomi. Mirip
seperti midazolam, propofol menyebabkan gangguan ingatan yang mana thipental memiliki efek
yang lebih sedikit serta fentanyl yang tidak memiliki efek gangguan ingatan.

- Sistem Kardiovaskular
Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik daripada thiopental. Penurunan
tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah.
Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitaas simpatis vasokontriksi.
Suatu efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel akibat
penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung laringoskop dan intubasi
trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga menghambat respon
hipertensi selama pemasangan laringeal mask airway. Pengaruh propofol terhadap desflurane
mediated sympathetic nervous system activation masih belum jelas. Suatu laporan menunjukan
propofol sebanyak 2 mg/kgBB intravena meningkatkan konsentrasi epinefrin diikuti peningkatan
mendadak konsentrasi desfluran > 1 MAC tetapi tidak menyebabkan peningkatan respon
jantung. Berbeda dengan laporan lainnya, bahwa propofol dan zat penginduksi lainnya (selain
etomidate) menyebabkan peningkatan aktifitas saraf simpatis, hipertensi, dan peningkatan
konsentrasi inhalasi desfluran. Efek ini mungkin berlebihan bagi pasien hipovolemia, lansia, dan
pasin dengan gangguan ventrikel kiri yang terkompensasi yang disebabkan gangguan padar
pembuluh darah arteri koroner (PJK). Hidrasi yang cukup disarankan untuk meminimalisir
gangguan tekanan darah.
Sebagai tambahan, N2O tidak mengubah respon tekanan darah pada pasien yang
diberikan propofol. Suatu penekan respon misalnya ephedrin dapat dimanfaatkan pada pasien ini.
Bradikardi dan asisitol pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat propofol sehingga
disarankan obat antikolinergik untuk mengatasi stimulasi ke nervus vagus. Propofol sebenarnya
juga meningkatkan respon saraf simpatis dalam skala ringan dibandingkan saraf parasimpatis
sehingga terjadi dominasi saraf parasimpatis.
Terdapat bukti yang menyatakan propofol menyababkan perubahan fungsi sinoatrial dan
ventrikular node pada pasien normal dan pasien dengan Wolff Parkinsonn White sehingga
penggunaan propofol dapat diterima. Namun terdapat suatu laporan yang menyatakan bahwa
timbulnya gelombang delta pada pasien dengan sindrom WPW pada EKG selama pemberian
infus propofol. Tidak seperti sevofluran, propofol tidak menimbulkan gelombang QT yang
memanjang. Kontrol barorefleks juga tertekan pada pasien yang mendapat propofol.

- Bradycardia- Related Death


Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol telah pada pasien dewasa
sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risiko bradycardia-related death selama anestesia
propofol sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di ICU
ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesi propofol dibandingkan anestesi
lain meningkatkan refleks okulokardiak pada pembedahan strabismus anak selama pemberian
antikolonergik.
Respon denyut jantung selama pemberian atrofin intravena berbeda tipis pasien yang
mendapat propofol dan pasien yang sadar. Penurunan respon atropin terjadi karena propofol
menekan aktifitas saraf simpatis. Pengobatan propofol yang menginduksi bradikardia adalah
dengan pemberian beta agonis contohnya insoproterenol.

- Paru
Terdapat risiko apnea sebesar 25-35% pada pasien yang mendapat propofol. Pemberian
agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan risiko ini. Stimulasi nyeri pada saat pembedahan
juga meningkatkan risiko apnea. Infus propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi
pernapasan. Respon pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon diokasida dan
hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan menurunkan risiko terjadinya wheezing
pada pasien asma. Konsetrasi sedasi propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapnia
akibat efek terhadap kemoreseptor sentral.

- Fungsi Hepar dan Ginjal


Propofol tidak menggangu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai dari enzim transamin hati
dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang lama menimbulkan luka pada sel hepar akibat
asidosis laktat, bradidisritmia, dan rhabdomyolisis. Infus propifol yang lama menyebabkan urin
yang berwarna kehijauan akibat adanya rantai phenol. Namun perubahan warna urin ini tidak
mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada pasien yang mendapat
propofol yang ditandai dengan urin yang kerug, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin
yang rendah. Efek ini menendai gangguan ginjal akibat propofol.

- Tekanan Intraokular
Pembedahaan laparoskopi dinilai berhubungan dengan peningkatak TIO dan posisi
pasien saat laparoskopi meingkatkan risiko hipertensi okular. Pada kasus ini propofol
menurunkan TIO segera setelah induksi dan selama tindakan intubasi trakea. Penurunan TIO ini
meningkat pada pasien yang juga mendapat isofluran.

- Koagulasi
Propofol tidak mengganggu koagulasi dan fungsi trombosit. Namun ada laporan yang
menunjukan bahwa emulsi propofol yang bersifat hidrofobil mempengaruhi koagulasi darah dan
menghambat agregasi trombosiy melalui pengaruh mediator inflamasi lipid termasuk
tromboksan A2 dan platelet-activating factor (PAF).

B. Ketamin(6)

Ketamin adalah derivat phencyclidine yang menyebabkan “disosiative anesthesia” yang ditandai
dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Disosiative anesthesia ini
menyerupai kedaan kataleptik dimana mata pasien terbuka dan diikuti nistagmus yang lambat.
Berbagai derajat hnipertonus dan perpindahan otot yang tanpa tujuan sering terjadi pada p[roses
pembedahan. Namun pasin tetap dalam keadaan amnesia dan analgesia.

Struktur Kimia Ketamin


Ketamin larut di dalam air karena memiliki struktur phenecyclidine. Terdapat karbon asimetris
menimbulkan dua isomer ketamine (S(+)-ketamine dan R(-)-ketamin). Kebanyakan ketamin
yang beredar dalam bentuk S(+)-Ketamine.

1. Mekanisme Kerja Ketamin

Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat (NMDA).


Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor opioid, reseptor muskarinik,
reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitif voltase. Tidak seperti
propofol dan etomidate, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA.

1. Pharmakokinetik

Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat, memiliki aksi
kerja yang relatif singkat, kelarutan lemak yang tinggi. pK ketamin adalah 7,5 pada pH yang
fisiologik. Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi ketamin secara intravena
dan 5 menit setelah injeksi intramuskular.

2. Metabolisme

Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian terpenting dari
metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga terbentuk norketamin.
Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 – 1/3 daripada ketamin. Metabolit aktif ini lah yang juga
menambah efek panjang ketamin, terutama pada dosis yang diulang atau administrasi lewat
infus. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan
metabolisme dengan glukoronidase diekskresikan di ginjal.
3. Penggunaan Secara Klinis

Ketamin adalah obat yang memiliki efek analgesia pada pemberian dengan dosis subanestesia
dan menimbulkan induksi pada pemberian intravena dan dosis yang lebih besar. Ketamin juga
memiliki efek menurunkan refleks batuk, laringospasm yang disebabkan ketamine induced
salivary secretions. Glycopyrrolatr lebih disukai daripada atropin dan scopolamin karena dapat
melewati sawar darah otak dan meningkatkan insiden delirium emergensi.

a. Analgesia

Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 – 0,5 mg/kgBB secara intravena.
Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari pada pemakaian secara
oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi norketamin akibat metabolisme awal di
hati yang terjadi pada pemakaian secara oral. Efek analgesia ini lebih nyata pada nyeri somatik
dibandingkan nyeri viseral. Efek ketamin ini disebabkan aktifitasnya pada talamus dan sistem
limbik yang bertanggung jawab terhadap interpretasi nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga
digunakan sebagai tambahan analgesia opioid.

b. Analgesia Neuraxis

Efek ekstradural analgesia masih dipertanyakan. Walaupun ketamin pernah dilaporkan memiliki
interaksi dengan reseptor opioid, namun afinitas terhadap reseptor nya 10.000 kali lebih rendah
dari pada morfin. Sehingga efek ekstradural baik efek spinal maupun efek sistemik saling
berinteraksi dengan anestesi lokal yang mempengaruhi kanal ion sodium.

c. Induksi Anestesia

Induksi ketamin didapatkan dari pemakaian ketamin 1-2 mg/kgBB secara intravena dan 4-8
mg/kgBB pada pemakaian secara intramuskular. Suntikan ketamin tidak menimbulkan nyeri dan
iritasi pada vena..

d. Pengembali Toleransi Opioid

Dosis subanestesi menghambat dan mengembalikan toleransi morfin. Walau mekanismenya


belum jelas, namun interaksi dengan reseptor NMDA, dan jalur N 2O, dan reseptor μ opioid.
Penggunaan ketamin pada dosis subanestesi(0,3 mg/kgBB/jam) menurunkan toleransi opioid dan
meningkatkan efek analgesia.

e. Meningkatkan Depresi Mental

Reseptor NMDA terhadap glutamat mengganggu fisiologi tubuh terhadap mekanisme


antidepresan. Sebagai NMDA antagonis, ketamin pada dosis rendah meningkatkan depresi
pasien pasca operasi pada pasien depresi mental.

f. Restless Leg Syndrome

Suatu studi yang menggambarkan peningkatan kondisi pada pasien dengan restless leg
syndrome. Hal ini mungkin karena ketamin menghambat neuroinflamasi pada sum-sum tulang
dan pada sistem saraf yang lebih tinggi.
BAB IV

KESIMPULAN

Hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem saraf
pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate yang memberikan efek
menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan
yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur.

Obat-Obatan hipnotik sedatif terbagi menjadi tiga jenis yakni golongan benzodiazepin,
barbiturat, dan bukan keduanya.2 Obat golongan benzodiazepin berkerja pada reseptor gamma-
aminobutyric acid. Efek farmakologi benzodiazepin merupakan akibat aksi gamma-
aminobutyric acid sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine meningkatkan
kepekaan reseptor gamma-aminobutyric acid terhadap neurotransmitter penghambat sehingga
kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post
sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Contoh preparat benzodiazepin antara lain
midazolam, alprazolam, diazepam, clobazam.

Obat-obatan barbiturat bekerja pada neurotansmiter penghambat (gamma-aminobutyric


acid) pada sistem saraf pusat. Aktifasi reseptor ini meningkatkan konduktase klorida
transmembran, sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel postsinaps. Contoh obat-obatan
golongan barbiturat antara lain tiopental dan phenobarbital.

Beberapa obat lain yang bukan jenis barbiturat dan banzodiazepin yang sering digunakan
sebagai obat sedasi dan hipnotik antara lain: propofol, ketamin, .
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjidi H.A, Latief A, Budiwardhana N. Sedasi dan Analgesia dalam Buku Ajar Pediatri
Gawat Darurat, IDAI: Jakarta; 2016, 228-232

2. Veit.J.N, Kleiber N, 2016. de Wild N.S Sedation in Citically Ill Children with Respiratory
Failure (Dikutip dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov>pmc.

3. Stoelting RK, Hillier SC. Opioid Agonists and Antagonists. In : Pharmacology &
Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia : Lipincott William & Wilkins;
2006, 87-126

4. Nelson., M.H, 2006. Sedative Hipnotic Drugs. (Dikutip dari :


http://pharmacy.wingate.edu/faculty/mnelson/PDF/Sedative_Hypnotics.pdf tanggal 16
Agustus 2010)

5. Stoelting RK, Hillier SC. Benzodiazepines. In : Pharmacology & Physiology in Anestetic


Practice 4th Edition. Philadelphia : Lipincott William & Wilkins; 2006, 140-153

6. Tjay TH, Rahardja K. Sedativa dan Hipnotika. In : Obat-obat Penting Edisi Ke-5. Jakarta :
Gramedia; 2002, 364-372

7. Stoelting RK, Hillier SC. Nonbarbiturate Intravenous Anesthetic Drugs. In : Pharmacology


& Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia : Lipincott William & Wilkins;
2006, 153-178

Anda mungkin juga menyukai