PENDAHULUAN
Saat ini, keamanan dan kenyamanan pasien menjadi salah satu prioritas utama
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Semakin berkembangnya prosedur diagnostik dan
intervensi menyebabkan diperlukannya suatu pelayanan sedasi, terutama untuk pasien yang
tidak kooperatif atau pediatri. Keberhasilan dari pelayanan sedasi adalah pasien merasa
nyaman, tanpa rasa sakit, dan aman.Pelayanan sedasi adalah pelayanan yang diberikan
oleh dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif atau dokter lain yang mempunyai
kompetensi berupa tindakan memberikan obat-obatan golongan sedatif-hipnotik dengan
tujuan untuk membuat pasien dalam kondisi turun kesadaran sampai suatu kedalaman
tertentu.
Pemilihan atau target sedasi tergantung dari jenis prosedur yang akan dilakukan.
AmericanSociety of Anesthesiologist (ASA) mengklasifikasikan sedasi menjadi 4 tingkat,
yaitu sedasi minimal (anxiolysis), sedasi moderat (conscious sedation), sedasi dalam, dan
anestesi. Saat ini terdapat banyak skala sedasi yang dibuat oleh beberapa institusi. Skala
sedasi tersebut diantaranya MSAT (Minnesota Sedation Assessment Tool), SAS (Sedation
Agitation Scale), MAAS (Motor Activity Assessment Scale) UMSS (Univesity of Michigan
Sedation Scale), ATICE (Adaptation to Intensive Care Environment), VICS (Vancouver
Interactive and Calmness Scale), RSS (Ramsay Sedation Scale) dan RASS (Richmond
Agitation Sedation Scale). Skala Ramsay sering dipakai di rumah sakit sebagai suatu
standar sedasi.
Dengan diperkenalkannya obat-obatan sedatif-hipnotik, opioid, dan
antidotumnya,serta ketersediaan peralatan pemantauan intensif, maka pelayanan sedasi
sekarang dapat diberikan dengan amandalam pelayanan kesehatan.
Pelayanan sedasi merupakan suatu proses berkelanjutan karena respon pasien
terhadap obat-obat sedatif-hipnotik yang diberikan tidak sama dan tidak bisa diperkirakan.
Dalam pelaksanaannya prosedur sedasi memerlukan berbagai persiapan. Persiapan ini
dimulai dari persiapan pasien, pemilihan obat-obatan yang akan dipakai, sampai monitoring
selama dan setelah tindakan sedasi, agar dapat mencegah atau meminimalisir terjadinya
komplikasi.
Tujuan untuk dibuat pedoman sedasi pada pelayanan Rumah Sakit adalah
keselamatan pasien, meminimalkan rasa sakit dan kecemasan terkait dengan prosedur,
meminimalkan gerakan pasien selama prosedur, memaksimalkan kemungkinan keberhasilan
dari prosedur, dan pasien dapat kembali sadar setelah prosedur selesai.
A. Definisi
Pengertian sedasi adalah penurunan kesadaran dimana terjadi penurunan
kecemasan, stres, iritabilitas, atau rangsangan yang disebabkan oleh pemberian obat-
obatan sedatif.
Menurut American Society of Anesthesiologist (ASA), sedasi dibagi menjadi 4 tingkat,
yaitu:
1. Sedasi minimal (anxiolysis): pasien respon normal terhadap perintah verbal. Pasien
tidak mengalami gangguan pada sistem respirasi dan kardiovaskuler, sedangkan
fungsi kognitif dan koordinasi dapat terganggu.
2. Sedasi moderat (conscious sedation): pasien memberikan respon yang bertujuan,
terhadap perintah verbal atau stimulasi taktil ringan. Fungsi kardiovaskuler tidak
terganggu. Biasanya tidak diperlukan intervensi untuk menjaga patensi jalan nafas.
Pernafasan spontan adekuat. Keadaan ini merupakan tingkat sedasi yang paling
sering dipakai untuk berbagai prosedur sedasi.
3. Sedasi dalam: pasien tidak mudah untuk dibangunkan, tetapi memberikan respon
yang bertujuan terhadap stimulasi berulang atau nyeri. Fungsi kardiovaskuler terjaga.
Kemampuan untuk menjaga fungsi ventilasi dapat terganggu. Ventilasi spontan dapat
inadekuat. Pasien memerlukan bantuan untuk menjaga patensi jalan nafas.
4. Anestesi: merupakan anestesi umum, dimana terjadi penumpulan atau eliminasi
refleks protektif jalan nafas. Pasien tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan
stimulasi nyeri. Pasien memerlukan bantuan untuk menjaga patensi jalan nafas.
Tekanan positif mungkin diperlukan karena terjadi depresi ventilasi spontan. Fungsi
kardiovaskuler dapat terganggu
B. Skala Sedasi
Skala sedasi yang sering dipakai adalah skala sedasi Ramsay.Pada tahun 1974,
Ramsay dkk mempublikasikan RSS, yang didesain untuk menilai tingkat sedasi sacara
subjektif pada uji klinis agen-agen sedasi. Sampai saat ini, RSS sering dipakai di rumah
sakit sebagai suatu standar sedasi.
Tabel 2. Skala Sedasi Ramsay
Score Description
1 Anxious and agitated or restless, or both
2 Co-operative, oriented, and calm
3 responsive to commands only
4 exhibiting brisk response to light glabellar tap or loud auditory stimulus
5 exhibiting a sluggish response to light glabellar tap or loud auditory
stimulus
6 unresponsive
Sumber:Evaluating and Monitoring Analgesia and Sedation in the Intensive Care
Unit; 2008
C. Persiapan
Dokter yang memberikan sedasi mengevaluasi aspek orientasi sedasi meliputi
riwayat medis pasien dan bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi respon pasien
terhadap pemberian sedasi. Hal ini meliputi:
1. Kelainan system organ utama
2. Riwayat efek samping terhadap pemberian sedasi atau anestesi regional dan
epidural
3. Alergi obat, pengobatan yang saat ini dijalani, dan interaksi obat
Pasien yang akan mendapatkan sedasi harus menjalani pemeriksaan fisik seksama,
meliputi tanda-tanda vital, auskultasi jantung dan paru dan evaluasi jalan nafas.
Pemeriksaan laboratorium penunjang sesuai indikasi berdasarkan kondisi medis pasien
dan kemungkinan bahwa hasil ini akan mempengaruhi penatalaksanaan sedasi.
Tabel 3. Prosedur Penilaian Jalan Nafas Untuk Sedasi
Ventilasi tekanan positif, dengan atau tanpa intubasi trakea, mungkin
diperlukan jika terjadi gangguan respirasi selama sedasi. Hal ini mungkin sulit
pada pasien anatomi jalan nafas atipikial. Sebagai tambahan, beberapa
kelainan jalan nafas dapat meningkatkan kemungkinan obstruksi jalan nafas
selama ventilasi spontan.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kesulitan penatalaksanaan jalan
nafas meliputi:
Riwayat:
Masalah sebelumnya dengan anestesi atau sedasi
Stridor, snoring atau apnea saat tidur
Artritis rheumatoid lanjut
Kelainan kromosom
Pemeriksaan Fisik:
Habitus
Obesitas yang signifikan (terutama yang melibatkan leher dan struktur wajah)
Kepala dan leher
Leher pendek, terbatasnya ekstensi leher, jarak hyoid-mental yang pendek
(<3 cm pada dewasa), masa leher, penyakit spinal servikal atau trauma,
deviasi trakea, dismorfik wajah (missal: Sindrom Pierre-Robin)
Mulut
Buka kecil (<3 cm pada dewasa); edentulous; insisivus menonjol; gigi longgar
atau capped teeth; dental appliances; palatum melengkung, tinggi;
makroglossia; hipertrofi tonsilar; uvula tidak terlihat.
Rahang
Micrognathia, retrognathia, trismus, maloklusi yang signifikan
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists;
2002
Pemilihan obat sedasi disesuaikan dengan tingkat sedasi yang ingin dicapai.
Pada prosedur sedasi minimal dan moderat, dapat dipakai golongan benzodiazepin
atau opioid atau kombinasi keduanya dengan dosis bertahap Selain itu, perlu
disediakan antidotumnya. Pada prosedur sedasi dalam dan anestesi, dapat
digunakan propofol atau ketamin.
D. Monitoring
Respon pasien terhadap perintah selama prosedur yang difasilitasi sedasi bertindak
sebagai panduan terhadap tingkat kesadarannya. Skala sedasi dapat digunakan untuk
memonitoring kedalaman sedasi selama prosedur berlangsung. Peralatan emergensi
harus selalu tersedia karena respon masing-masing individu terhadap obat sedatif-
hipnotik berbeda. Dokter yang memberikan sedasi harus dapat mengantisipasi bila
pasien tersedasi lebih dalam dari pada yang diharapkan.
ASA merekomendasikan sedasi dalam hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
kompeten untuk melakukan anestesi umum, karena kemungkinan pasien dapat masuk
ke tingkat sedasi yang lebih dalam.
Pengobatan emergensi:
Epinefrin
Vasopresin
Atropin
Amiodaron
Lidokain
Glukosa40%
Difenhidramin
Metilprednisolon atau deksametason
Diazepam atau midazolam
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002
Setelah tindakan sedasi, pasien harus diobservasi oleh staf (dokter/perawat) khusus.
Pasien masih berisiko untuk mengalami komplikasi setelah selesai prosedur.
Pemulangan pada pasien rawat jalan dapat menggunakan Post Anesthetic Discharge
Scoring System (PADSS).
Tabel 8. PADSS
A. Agen Inhalasi
Agen anestetik inhalasi diberikan bersamaan dengan oksigen sehingga
menghasilkan efek sedasi. Lima agen inhalasi yang masih digunakan dalam
anestesiologi klinis diantaranya nitro oxida, halotan, isofluran, desfluran, dan sevofluran.
Tujuan pemberian anestetik inhalasi adalah untuk menghasilkan keadaan
anestetik dengan menghasilkan konsentrasi spesifik molekul anestetik di sistem saraf
pusat. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan tekanan parsial spesifik agen anestetik
pada paru-paru yang akhirnya mencapai keadaan kesetimbangan di otak.
Keadaan kesetimbangan dihasilkan dari 3 faktor:
1. Anestetik inhalasi adalah gas yang secara cepat ditransfer dua arah melalui paru ke
dan dari aliran darah dan seterusnya ke dan dari jaringan SSP sampai terbentuk
kesetimbangan tekanan parsial.
2. Plasma dan jaringan memiliki kapasitas yang rendah untuk menyerap anestetik
inhalasi, sehingga dengan cepat terbentuk konsentrasi anestetik di aliran darah dan
SSP.
3. Metabolisme, ekskresi, dan redistribusi anestetik inhalasi relatif minimal. Hal ini
memudahkan pemeliharaan konsentrasi agen anestetik di darah dan SSP.
Minimum alveolar consentration (MAC) anestetik inhalasi adalah konsentrasi
alveolar yang mencegah timbulnya gerakan pada 50% pasien terhadap stimulus standar
(misalnya insisi pembedahan). MAC bermanfaat karena menggambarkan tekanan
parsial di otak, dapat membandingkan potensi antar agen anestetik, dan memberikan
standar untuk evaluasi eksperimen.
Tabel 9. Farmakologi Anestetik Inhalasi
Nitro Halotan Isofluran Desfluran Sevofluran
oksida
MAC% 105 0,75 1,2 6,0 2,0
Kardiovaskular
Tekanan darah - ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓
Laju nadi - ↓ ↑ -/↑ -
Systemic vascular - - ↓↓ ↓↓ ↓
resistance - ↓ - -/↓ ↓
Cardiac output
Respirasi
Volume tidal ↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju respirasi ↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
2. Opioid
a. Klasifikasi
Berdasarkan kerja obat, opioid dibagi menjadi:
1) Agonis, obat berikatan dan menstimulasi reseptor hingga batas maksimal.
Contoh: morfin, kodein, hidromorfin, heroin, meperidin, fentanil.
2) Antagonis, obat yang berikatan dengan reseptor namun gagal
menstimulasinya. Contoh: nalokson, naltrekson.
3) Agonis parsial: obat yang berikatan dengan reseptor namun tidak dapat
menstimulasi reseptor hingga ambang maksimal. Contoh: buprenorfin,
pentazosin.
4) Campuran agonis antagonis: obat yang berikatan dengan berbagai subtipe
reseptor dan menghasilkan stimulasi subtipe reseptor yang berbeda-beda
(bisa agonis atau antagonis). Contoh: nalbufin.
b. Mekanisme kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik (mu, kappa, delta, sigma) yang teletak
di sepanjang sistem saraf pusat dan jaringan lain. Aktivasi reseptor opioid
3. Ketamin
a. Mekanisme kerja
Ketamin memiliki banyak efek terhadap sistem saraf pusat, diantaranya memblok
refleks polisinaptik pada corda spinalis dan menghambat efek neurotransmiter
eksitasi pada daerah tertentu di otak. Ketamin mendisosiasi talamus (yang
4. Propofol
Propofol merupakan obat sedasi kerja cepat (< 1 menit) yang digunakan untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi serta sedasi kerja singkat (10-15 menit). Propofol
sangat larut pada lipid dengan sediaan emulsi lipid 10%.
a. Mekanisme kerja
Propofol bekerja pada neurotransmisi inhibisi yang dimediasi oleh GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: hipotensi akibat penurunan resistensi vaskuler perifer (inhibisi
aktivitas vasokonstriksi simpatis), kontraktilitas jantung dan preload. Perubahan
terhadap laju nadi dan curah jantung biasanya transien dan tidak signifikan.
Respirasi: Pada dosis induksi biasanya menyebabkan apnu. Pada dosis
subanestetik, infus propofol menghambat hypoxic ventilatory drive dan
mendepresi respon terhadap hiperkarbia.
Serebral: menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan
tekanan intrakranial. Mempunyai efek antiemetik.
c. Dosis propofol bolus 0,25-1 mg/kg iv, infus 25-75 μg/kg/menit
5. Dexmedetomidin
a. Mekanisme kerja
Dexmedetomidin merupakan 2 adrenergik agonis selektif yang bekerja secara
sentral yang mempunyai efek sedasi dan analgetik. Dexmedetomidin mempunyai
onset yang cepat (1-3 menit) dan waktu paruh terminal 2 jam. Obat ini
dimetabolisme di hati dan dieliminasi di urin. Dapat digunakan untuk sedasi
jangka pendek (<24 jam)
6. Kloral hidrat
Kloral hidrat sering digunakan pada anak-anak untuk sedasi atau hipnotik jangka
pendek. Pada dosis terapeutik, kloral hidrat mempunyai efek minimal terhadap
respirasi dan kardiovaskuler.
a. Mekanisme kerja
Kloral hidrat dimetabolisme menjadi trikloroetanol yang mempunyai sifat
farmakologis. Mekanisme depresi SSP yaitu dengan potensiasi fungsi reseptor
GABA, menghambat eksitasi yang dimediasi N-metil-D-aspartat, yang bekerja
mirip dengan benzodiazepin dan barbiturat.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskular: dosis tinggi dapat menyebabkan hipotensi, aritmia atrial atau
ventrikel, torsades de pointes, depresi kontraktilitas miokard dan memperpendek
periode refraktori.
Respirasi: dosis sedasi tidak mempengaruhi respirasi dan refleks batuk
Serebral: efek samping akibat depresi SSP yaitu ataxia, mimpi buruk, vertigo,
sakit kepala, malaise. Reaksi idiosinkratik jarang terjadi (halusinasi, delirium,
disorientasi, inkoheren, paranoid)
Gastrointestinal: iritatif, menyebabkan mual, muntah diare, nyeri perut
Hematologi:leukopenia dan eosinofilia
Opioid
Morfin 0,01-0,2 mg/kg IV
10-50 μg/kg/jam IV
Meperidin 0,1-1 mg/kg IV
Fentanil bolus 1-3 μg/kg IV
0,01-0,05 IV
μg/kg/menit
Sufentanil 0.1-0,3 μg/kg IV
0,0015-0,01 IV
μg/kg/menit
Kodein 15-60 mg* PO
Tramadol 25-100 mg* PO
Aldrete Score
1. Activity
2 = able to move 4 extremities voluntary or on command
1 = able to move 2 extremities
0 = unable to move extemities
2. Respiration
2 = Able to take deep breath and cough
1 = Dypnea/ shallow breath
0 = Apnea
3. Circulation
2 = BP + 20 mmHg of pre operative
1 = BP + 20-50 mmHg of pre operative
0 = BP + 50 mmHg of pre operative
4. Consciousness
2 = fully awake arousable on calling
1 = arousable on calling
0 = No responding
5. Colour
2 = Normal
1 = Pale or dusky
0 = Cyanotic
Score > 9 for discharge
Anesthetic Discharge Scoring System PADSS
Informed Consent
The Royal College of Anaesthetists and The College of Emergency Medicine. Safe Sedation
of Adults in the Emergency Department; 2012.
Schneider PJ. Sedation Therapy: Improving Safety and Quality of Care. Sixth Conference
Center for Safety and Clinical Excellence. San Diego; 2005
American Society of Anesthesiologists. Practice Guidelines for sedation and analgesia by
Non-anesthesiologists. Anesthesiology; 2002.
Barash et al. Post Anesthesia Recovery. Clinical Anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesia.
Edisi ke-6. Lippincott; 2009.
Sessler CN, Grap MJ, Ramsay MAE. Evaluating and Monitoring Analgesia and Sedation in
the Intensive Care Unit. BioMed Central; 2008.
Marino PL. Analgesia dan Sedation. Dalam: The ICU Book. Edisi ke-3. Lippincott Williams &
Wilkins; 2007.
Malviya S, Lewis TV, Tail AR. A Comparison of Observational and Objective Measures to
Differentiate Depth of Sedation in Children from Birth to 18 Years of Age. Anesth Analg;
2006; 102:389-94.
Khan et al. Comparison and Agreement Between the Richmond Agitation-Sedation Scale
and the Riker Sedation-Agitation Scale in Evaluating Patients’ Eligibility for Delirium
Assesment in the ICU. Chest; 2012; 48-54.
Elliot D, Aitken L, Chaboyer W. Psychological Care. Dalam: ACCCN’s Critical Care Nursing.
Edisi ke-2. Elsevier Australia; 2012.
Schweickert WD, Kress JP. Strategies to Optimize Analgesia and Sedation. Critical Care;
2008.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Inhalation Anesthetics. Dalam: Morgan’s Clinical
Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton & Lange; 2006.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Nonvolatile Anesthetic Agents. Dalam: Morgan’s Clinical
Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton & Lange; 2006.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Adjuncts to Anesthesia. Dalam: Morgan’s Clinical
Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton & Lange; 2006.
Barash PG, dkk. Intravenous Anesthetics. Dalam: Clinical Anesthesia. Edisi ke-6. Lippincott
Williams & Wilkins; 2009.
Miller RD, dkk. Intravenous Anesthetics. Dalam: Miller’s Anesthesia. Edisi ke-7. Elsevier;
2010.
Wathen JE, Upshaw G. Procedural Sedation and Analgesia of the Pediatric Patient. Dalam:
Anesthesia Secrets. Edisi ke-4. Elsevier; 2011; 463.
Concise International Chemical Assessment Document. Chloralhydrate. World Health
Organization; Geneva; 2000.