Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gawat Darurat merupakan peristiwa yang dapat menimpa setiap orang.

Bisa secara tiba-tiba dan membahayakan jiwa sehingga membutuhkan penangan

yang cepat dan tepat. Salah satu jenis masalah kegawatdaruratan yang dapat

menimbulkan kematian mendadak biasanya diakibatkan oleh henti jantung

(cardiac arrest), dalam keadaan ini tindakan resusitasi segera sangat diperlukan.

Jika tidak segera dilakukan resusitasi dapat menyebabkan kematian atau jika

masih sempat tertolong dapat terjadi kecacatan otak permanen. Waktu sangat

penting dalam melakukan bantuan hidup dasar (Kemkes, 2016).

Angka kejadian henti jantung (cardiac arrest) di Amerika Serikat

mencapai 250.000 orang pertahun dan 95 persennya diperkirakan meninggal

sebelum sampai di rumah sakit. Di Indonesia tidak ada data statistik mengenai

kepastian jumlah kejadian cardiac arrest tiap tahunnya, tetapi di perkirakan

sebanyak 10 ribu warga per tahun (Suharsono, 2012).

Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mempunyai risiko

terhadap terjadinya berbagai bencana alam antara lain gempa bumi dan letusan

gunung berapi resiko terjadinya tsunami, maupun bencana-bencana jenis lain

termasuk Emerging Infectious Disease. Disamping itu, di bidang pelayanan

kesehatan, kita juga harus mengakui bahwa sistem jejaring pelayanan di fasilitas

kesehatan belum terintegrasi secara optimal yang berakibat masih banyaknya

1
keluhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan khususnya di Instalasi Gawat

Darurat (Supriyantoro, 2011).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 tahun 2016 tentang

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu menjelaskan bahwa dalam

kondisi gawat darurat, diperlukan sebuah sistem informasi yang terpadu dan

handal untuk bisa digunakan sebagai rujukan bagi penanganan gawat darurat baik

kejadian sehari-hari maupun bencana, maka dikembangkan Sistem

Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). SPGDT bertujuan

meningkatkan akses dan mutu pelayanan kegawatdaruratan dan mempercepat

waktu penanganan (respon time) korban/pasien gawat darurat dan menurunkan

angka kematian serta kecacatan (Permenkes, 2016).

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gawat darurat adalah suatu keadaan dimana seseorang secara tiba-tiba

dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam anggota badannya

dan jiwanya (akan menjadi cacat atau mati) bila tidak mendapatkan pertolongan

dengan segera. Pelayanan gawat darurat adalah tindakan medis yang dibutuhkan

oleh korban/pasien gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan

nyawa dan pencegahan kecacatan. Kejadian ini dapat menimpa setiap orang

sehingga membutuhkan penangan yang cepat dan tepat. Dalam kondisi gawat

darurat diperlukan sebuah sistem informasi yang terpadu dan handal untuk bisa

digunakan sebagai rujukan bagi penanganan gawat darurat, maka dikembangkan

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) (Suhartati, 2011).

SPGDT merupakan suatu sistem dimana koordinasi merupakan unsur

utama yang bersifat multi sektor dan harus ada dukungan dari berbagai profesi

bersifat multi disiplin dan multi profesi untuk melaksanakan dan penyelenggaraan

suatu bentuk layanan terpadu bagi penderita gawat darurat baik dalam keadaan

sehari-hari maupun dalam keadaan bencana dan kejadian luar biasa. Dengan

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT), masyarakat dapat

menelpon call center 119 untuk mendapatkan layanan informasi mengenai rumah

sakit mana yang paling siap dalam memberikan layanan kedaruratan, advis untuk

pertolongan pertama dan menggerakan angkutan gawat darurat ambulan rumah

sakit untuk penjemputan pasien (Permenkes, 2016).

3
Petugas call centre adalah dokter dan perawat yang mempunyai

kompetensi gawat darurat. SPGDT 119 bertujuan memberikan pertolongan

pertama kasus kegawatdaruratan medis, memberikan bantuan rujukan ke Rumah

Sakit yang tersedia, mengkoordinasikan pelayanan informasi penanganan medis

yang terjadi pada pasien sebelum mendapatkan pelayanan medis di Rumah Sakit.

(Prawira, 2014)

2.2 Prinsip dan Tujuan

Prinsip berpedoman pada respon cepat yang memberikan pelayanan yang

cepat, cermat, dan tepat, dimana tujuannya adalah untuk menyelamatkan jiwa dan

mencegah kecacatan (time saving is life and limb saving) terutama ini dilakukan

sebelum dirujuk ke rumah sakit yang dituju yang melibatkan masyarakat awam

umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem

komunikasi. Tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu

bagi setiap anggota masyarakat yang berada dalam keadaan gawat darurat

(Adzanri, 2014). Upaya pelayanan kesehatan pada penderita gawat darurat pada

dasarnya mencakup suatu rangkaian kegiatan yang harus dikembangkan

sedemikian rupa sehingga mampu mencegah kematian atau kecacatan yang

mungkin terjadi. Unsur utama dalam penyelenggaraan SPGDT yang saling

berkaitan adalah (Permenkes, 2016)

1. Sistem komunikasi Gawat Darurat

2. Sistem penanganan korban/pasien Gawat Darurat

3. Sistem transportasi Gawat Darurat

Sistem komunikasi Gawat Darurat, sistem penanganan Korban/Pasien

Gawat Darurat, dan sistem transportasi harus saling terintegrasi satu sama lain

4
demi keberhasilan dalam SPGDT. Oleh karena itu di bentuklah badan

penyelenggara SPGDT yakni :

1. Pusat Komando Nasional (National Command Center), berkedudukan

di Kementerian Kesehatan, berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Direktur Jenderal.

2. PSC (Public Safety Centre) dibentuk oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota, sebagai ujung tombak safe community yang

merupakan sarana publik yang tediri dari unsur kesehatan 119;

kepolisian 110 dan pemadam kebakaran 113.

3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang merupakan jejaring dari PSC

2.2.1 Sistem Komunikasi Gawat Darurat

Sistem komunikasi Gawat Darurat dikelola oleh Pusat Komando Nasional

(National Command Center) yang mempunyai fungsi sebagai pemberi informasi

dan panduan terhadap penanganan kasus kegawatdaruratan. Pusat Komando

Nasional memiliki tugas memilah panggilan Gawat Darurat/non Gawat Darurat,

meneruskan panggilan ke PSC, dokumentasi, monitoring, pelaporan dan evaluasi

(Permenkes, 2016).

PSC merupakan bagian utama dari rangkaian kegiatan SPGDT prafasilitas

pelayanan kesehatan yang berfungsi melakukan pelayanan kegawatdaruratan

dengan menggunakan algoritme kegawatdaruratan yang ada dalam sistem aplikasi

Call Center 119. PSC mempunyai fungsi sebagai pemberi pelayanan

korban/pasien Gawat Darurat dan/atau pelapor melalui proses triase (pemilahan

kondisi korban/pasien Gawat Darurat), pemandu pertolongan pertama (first aid),

5
pengevakuasi korban/pasien Gawat Darurat dan pengoordinasi dengan fasilitas

pelayanan kesehatan (Pemkot, 2015).

Alur pelayanan dalam SPGDT dimulai saat NCC menerima panggilan dari

masyarakat di seluruh Indonesia selama 24 jam. Telepon yang bersifat gawat

darurat akan diteruskan/dispatch ke PSC Kabupaten/Kota yang selanjutnya akan

menangani sekaligus menindaklanjuti laporan gawat darurat yang dibutuhkan.

Sedangkan telepon yang bersifat pertanyaan atau kebutuhan informasi kesehatan

lainnya dan pengaduan kesehatan akan diteruskan / dispatch ke nomor Halo

Kemkes(1500-567) (Primadi, 2016).

PSC yang berada di Kabupaten/Kota akan menindaklanjuti telepon terusan

dari NCC meliputi penanganan kegawatdaruratan dengan menggunakan protokol

penanganan kegawatdaruratan, kebutuhan informasi tempat tidur, informasi

fasilitas kesehatan terdekat, dan informasi ambulans. PSC berjejaring dengan

fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dengan lokasi kejadian untuk mobilisasi

6
ataupun merujuk pasien guna mendapatkan penanganan gawat darurat (tergantung

kondisi pasien). PSC dapat dilaksanakan secara bersama-sama dengan unit teknis

lainnya di luar bidang kesehatan seperti kepolisian dan pemadam kebakaran

tergantung kekhususan dan kebutuhan daerah (Primadi, 2016).

2.2.2 Sistem Penanganan Korban/Pasien Gawat Darurat

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) berdasarkan

penanganannya terdiri dari 2 macam yaitu (Suparmanto, 2006):

2.2.2.1 SPGDT-S (Sehari-hari)

SPGDT-S adalah rangkaian upaya pelayanan gawat darurat yang saling

terkait yang dilaksanakan ditingkat Pra Rumah Sakit di Rumah Sakit antar

Rumah Sakit dan terjalin dalam suatu sistem. Bertujuan agar korban/pasien tetap

hidup misalkan korban kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, dll. Pelayanan

medis SPGDT dibagi menjadi 3 sub sistem yaitu : sistem pelayanan pra rumah

sakit, sistem pelayanan pelayanan di rumah sakit (intra-rumah sakit) dan sistem

pelayanan antar rumah sakit. Ketiga sub sistem ini tidak dapat di pisahkan satu

sama lain, dan bersifat saling terkait dalam pelaksanaan sistem.

2.2.2.1.1 Pra Rumah Sakit

1. First Responder

First Responder adalah orang yang pertama kali menemukan korban

gawat darurat, baik itu korban kecelakaan, serangan jantung, ibu melahirkan,

maupun korban tersedak. Seorang first responder meliputi orang awam (orang

umum di sekitar kejadian) dan orang awam khusus (pemadam kebakaran, polisi,

tim SAR). Keberadaan seorang first responder ini dapat menentukan keselamatan

jiwa korban. Orang umum di sekitar kejadian sangat membantu dalam mencari

7
pertolongan melalui pusat komunikasi. Seorang first responder terlatih dapat

melakukan pertolongan pertama pada korban gawat darurat sebelum bantuan

medis datang. First responder terlatih minimal harus sudah mengikuti pelatihan

First Aid atau Basic Life Support (BLS) (Murni, 2016).

2. Emergency Dispatch communication / Dispatcher

Komponen paling vital pada fase pra-rumah sakit adalah adanya pusat

komunikasi/emergency dispatch communication yang berperan dalam

mengumpulkan informasi dari first responder, memberikan bimbingan

pertolongan pertama bagi korban, distribusi informasi kepada tim ambulans dan

rumah sakit. Dispatcher berperan dalam mencari rumah sakit yang terdekat dan

sesuai dengan kebutuhan korban, sehingga korban dirujuk pada rumah sakit yang

tepat. Selain itu, rumah sakit juga dapat mempersiapkan ruangan, peralatan

maupun tenaga medis bagi korban yang akan dirujuk. Dispatcher juga dapat

berkoordinasi langsung dengan kepolisian, pemadam kebakaran ataupun BPBD

setempat sesuai dengan kondisi kejadian (Murni, 2016).

3. Emergency Ambulance

Ambulans berfungsi untuk mendekatkan fasilitas gawat darurat ke

penderita, sehingga ambulans yang digunakan harus minimal memiliki fasilitas

untuk melakukan stabilisasi pada jalan napas, pernapasan dan sirkulasi korban

(Basic Ambulance). Korban yang mengalami cedera yang serius ataupun

mengalami serangan jantung sebaiknya menggunakan advanced ambulance yang

memiliki peralatan lebih lengkap (mencakup peralatan untuk intubasi, monitor

jantung, AED/defibrilator, dan obat-obatan emergency) (Murni, 2016).

8
Pelayanan kegawatdaruratan pra-rumah sakit mengacu pada protokol yang

telah ditentukan. Hal tersebut merupakan aspek etik legal yang harus dijalankan

oleh setiap petugas ambulans. Protokol tersebut mengacu pada Standar Operating

Procedure (SOP) yang telah disusun oleh tim ahli sebagai offline medical

direction. Sedangkan kasus-kasus khusus yang tidak tertuang dalam SOP, petugas

lapangan akan diberikan bimbingan tindakan dan monitoring langsung dari dokter

(online medical direction).

2.2.2.1.2 Intra Rumah Sakit

1. Ketersediaan Emergency Call Center

Keberadaan Emergency Call Center sangat vital dan menjadi jembatan

antara fase pra-rumah sakit dan fase intra-rumah sakit. Emergency Call Center

mendapatkan informasi dari Dispatcher, sehingga rumah sakit dapat dengan cepat

mempersiapkan kebutuhan ruangan, tim medis dan juga fasiltas/peralatan yang

diperlukan (Primadi, 2016).

2. Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan mencakup pelayanan di setiap ruangan, baik di IGD,

Kamar Operasi, HCU, ICU, ICCU, maupun ruang perawatan. Masing-masing

ruangan harus terintegrasi satu sama lain, dan memiliki fasilitas yang memadai.

Kompetensi petugas medis harus disesuaikan dengan kebutuhan pada masing-

masing ruangan.

2.2.2.1.3 Antar Rumah Sakit

1. Sistem Rujukan

Bila suatu Fasilitas Pelayanan Kesehatan tidak mampu untuk menangani

korban gawat darurat karena kurangnya fasilitas ataupun SDM Kesehatan, maka

9
Fasyankes tersebut harus melakukan rujukan ke rumah sakit yang memiliki grade

lebih tinggi. Fasyankes tersebut harus memiliki sistem rujukan yang baik sehingga

proses rujukan korban dapat dilakukan dengan tepat, cepat, efektif dan efisien.

Hal tersebut tentunya didukung oleh sistem komunikasi yang bagus (Primasari,

2015).

2. Sistem Transportasi

Proses rujukan tentunya memerlukan sistem transportasi memadai.

Penderita gawat darurat harus dievakuasi dengan menggunakan ambulans yang

sesuai (basic hingga advanced ambulance) dan didukung oleh petugas terlatih.

Bila fasyankes tidak memiliki fasilitas maupun SDM Kesehatan yang memadai

untuk melakukan evakuasi pasien rujukan, fasyankes tersebut dapat menggunakan

jasa pihak ketiga untuk melakukan evakuasi medis dengan menggunakan fasilitas

lengkap dan petugas terlatih (Murni, 2016).

2.2.2.2 SPGDT-B (Bencana)

SPGDT-B adalah kerja sama antar unit pelayanan Pra Rumah Sakit dan

Rumah Sakit dalam bentuk pelayananan gawat darurat terpadu sebagai khususnya

pada terjadinya korban massal yg memerlukan peningkatan (eskalasi) kegiatan

pelayanan sehari-hari. Bertujuan umum untuk menyelamatkan korban sebanyak

banyaknya (Ahmad, 2007).

Tujuan Khusus :

1. Mencegah kematian dan cacat, hingga dapat hidup dan berfungsi kembali

dalam masyarakat sebagaimana mestinya.

2. Merujuk melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang lebih

memadai.

10
2.2.2.2.1 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam

penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam UU

24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan

kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan

bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Rangkaian kegiatan tersebut apabila

digambarkan dalam siklus penanggulangan bencana yang pada dasarnya

penyelenggaraan adalah tiga tahapan yakni :

1. Pra bencana yang meliputi:

- situasi tidak terjadi bencana

- situasi terdapat potensi bencana

2. Saat Tanggap Darurat yang dilakukan

dalam situasi terjadi bencana

3. Pascabencana yang dilakukan dalam saat

setelah terjadi bencana

Tahapan bencana yang digambarkan di atas, sebaiknya tidak dipahami

sebagai suatu pembagian tahapan yang tegas, dimana kegiatan pada tahap tertentu

akan berakhir pada saat tahapan berikutnya dimulai. Akan tetapi harus dipahami

bahwa setiap waktu semua tahapan dilaksanakan secara bersama-sama dengan

porsi kegiatan yang berbeda. Misalnya pada tahap pemulihan, kegiatan utamanya

adalah pemulihan tetapi kegiatan pencegahan dan mitigasi juga sudah dimulai

untuk mengantisipasi bencana yang akan datang.

11
2.2.2.2.2 Perencanaan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Secara umum perencanaan dalam penanggulangan bencana dilakukan pada setiap

tahapan dalam penyelenggaran penanggulangan bencana. Dalam penyelenggaraan

penanggulangan bencana, agar setiap kegiatan dalam setiap tahapan dapat berjalan

dengan terarah, maka disusun suatu rencana yang spesifik pada setiap tahapan

penyelenggaraan penanggulangan bencana.

1. Pada tahap Prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana, dilakukan

penyusunan Rencana Penanggulangan Bencan (Disaster Management Plan),

yang merupakan rencana umum dan menyeluruh yang meliputi seluruh

tahapan / bidang kerja kebencanaan. Secara khusus untuk upaya pencegahan

dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana yang disebut rencana mitigasi

misalnya Rencana Mitigasi Bencana Banjir DKI Jakarta.

2. Pada tahap Prabencana dalam situasi terdapat potensi bencana dilakukan

penyusunan Rencana Kesiapsiagaan untuk menghadapi keadaan darurat yang

didasarkan atas skenario menghadapi bencana tertentu (single hazard) maka

disusun satu rencana yang disebut Rencana Kontinjensi (Contingency Plan).

3. Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana Operasi (Operational Plan) yang

merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan atau Rencana

Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya.

4. Pada Tahap Pemulihan dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan (Recovery

Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan pada

pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum terjadi, maka untuk

12
mengantisipasi kejadian bencana dimasa mendatang dilakukan penyusunan

petunjuk/pedoman mekanisme penanggulangan pasca bencana.

2.2.2.2.3 Perencanaan Penanggulangan Bencana

Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis risiko

bencana dan upaya penanggulangannya yang dijabarkan dalam program kegiatan

penanggulangan bencana dan rincian anggarannya. Perencanaan penanggulangan

bencana merupakan bagian dari perencanaan pembangunan. Setiap rencana yang

dihasilkan dalam perencanaan ini merupakan program/kegiatan yang terkait

dengan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan yang dimasukkan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Jangka Menengah (RPJM) maupun

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Rencana penanggulangan bencana

ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan

untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

2.2.3 Sistem Transportasi Gawat Darurat

Transportasi dalam pelayanan gawat darurat terpadu merupakan bagian

yang sangat penting. Hal ini untuk mobilisasi pasien dari lokasi pasien berada

menuju tempat pelayanan kesehatan yang merupakan jejaring PSC . Menurut

Permenkes No. 19 tahun 2016, Transportasi Gawat darurat diselenggarakan atau

disediakan oleh PSC (Public Safety Center) dan juga oleh Fasilitas pelayanan

kesehatan setempat. Transportasi yang digunakan adalah Ambulans gawat darurat.

Ambulans adalah mobil khusus yang dilengkapi dengan peralatan medis

untuk mengangkut orang sakit atau korban kecelakaan. Ambulans juga digunakan

untuk mengantar pasien dari tempat pelayanan kesehatan pertama (Puskesmas)

atau Rumah sakit untuk dirujuk ke Rumah sakit rujukan untuk perawatan lebih

13
lanjut. Di indonesia terdapat bermacam-macam ambulans dari berbagai instansi

seperti : Ambulans Rumah Sakit, Ambulans Pemadam kebakaran, Ambulans

Basarnas, Ambulans PMI, Ambulans Klinik dan Ambulans Puskesmas.

Berdasarkan Pasal 65 ayat 1 PP No. 43 tahun 1993, Ambulans yang

mengangkut orang sakit mendapat hak utama untuk kelancaran dalam lalu lintas.

Ambulan mempunyai hak istimewa untuk melanggar peraturan lalu lintas seperti

menerobos lampu merah, melawan arus jalan dan melewati bahu jalan dalam

kondisi darurat untuk menyelamatkan nyawa. Tulisan pada mobil ambulans di

buat terbalik dengan tujuan agar pengemudi kendaraan didepan ambulans bisa

membaca tulisan ambulans dari kaca spion untuk memberi jalan untuk ambulans

lewat.

2.3 Triase Gawat Darurat

Triase adalah proses pengambilan keputusan yang kompleks dalam rangka

menentukan pasien mana yang berisiko meninggal, berisiko mengalami

kecacatan, atau berisiko memburuk keadaan klinisnya apabila tidak mendapatkan

penanganan medis segera, dan pasien mana yang dapat dengan aman menunggu.

Berdasarkan definisi ini, proses triase diharapkan mampu menentukan kondisi

pasien yang memang gawat darurat, dan kondisi yang berisiko gawat darurat

(Fitzgerald, 2010).

Untuk membantu mengambil keputusan, dikembangkan suatu sistem

penilaian kondisi medis dan klasifikasi keparahan dan kesegeraan pelayanan

berdasarkan keputusan yang diambil dalam proses triase. Penilaian kondisi medis

triase tidak hanya melibatkan komponen hidup dasar yaitu jalan nafas (airway),

pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) atau disebut juga ABC

14
approach, tapi juga melibatkan berbagai keluhan pasien dan tanda-tanda fisik.

Penilaian kondisi ini disebut dengan penilaian berdasarkan kumpulan tanda dan

gejala (syndromic approach). Contoh sindrom yang lazim dijumpai di unit gawat

darurat adalah nyeri perut, nyeri dada, sesak nafas, dan penurunan kesadaran

(Christ M, 2010).

Triase konvensional yang dikembangkan di medan perang dan medan

bencana menetapkan sistim pengambilan keputusan berdasarkan keadaan hidup

dasar yaitu ABC approach dan fokus pada kasus-kasus trauma. Setelah kriteria

triase ditentukan, maka tingkat kegawatan dibagi dengan istilah warna, yaitu

warna merah, warna kuning, warna hijau dan warna hitam. Penyebutan warna ini

kemudian diikuti dengan pengembangan ruang penanganan medis menjadi zona

merah, zona kuning, dan zona hijau (tabel 1). Triase bencana bertujuan untuk

mengerahkan segala daya upaya yang ada untuk korban-korban yang masih

mungkin diselamatkan sebanyak mungkin (do the most good for the most people)

(Lee CH, 2010).

Tabel 1. Triase

Kriteria Deskripsi
Merah Korban dalam kondisi kritis dan membutuhkan pertolongan
segera
Kuning Korban tidak dalam kondisi kritis namun membutuhkan
pertolongan segera
Hijau Trauma minor dan masih mampu berjalan (walking wounded)
Hitam Meninggal

Sedangkan triase rumah sakit bertujuan menetapkan kondisi yang paling

mengancam nyawa agar dapat mengerahkan segala daya upaya dan fokus untuk

melakukan pertolongan medis pada pasien sampai keluhan pasien dan semua

parameter hemodinamik terkendali. Prinsip yang dianut adalah bagaimana agar

15
pasien mendapatkan jenis dan kualitas pelayanan medik yang sesuai dengan

kebutuhan klinis (prinsip berkeadilan) dan penggunaan sumber daya unit yang

tepat sasaran (prinsip efisien) (Australian Government Department of Health and

Aging, 2009).

Selain tingkat kegawatan suatu kondisi medis, triase juga harus menilai

urgensi kondisi pasien. Urgensi berbeda dengan tingkat keparahan. Pasien dapat

dikategorikan memiliki kondisi tidak urgen tapi masih tetap membutuhkan rawat

inap dirumah sakit karena kondisinya. Setelah penilaian keparahan (severity) dan

urgensi (urgency), maka beberapa sistim triase menentukan batas waktu

menunggu. Yaitu berapa lama pasien dapat dengan aman menunggu sampai

mendapatkan pengobatan di IGD (Moskop JC, 2009).

2.3.1 Prinsip prinsip Triase

time saving is life saving (waktu respon diusahakan sependek mungkin)

the right patient , to the right place at the right time serta melakukan yang

terbaik mungkin dengan jumlah korban yang lebih banyak dengan seleksi korban

bedasarkan (Salim, 2015):

Ancaman jiwa yang mematikan dalam hitungan menit

Dapat mati dalam hitungan jam

Trauma ringan

Sudah meninggal

Prioritas bertujuan untuk menentukan dan mendahulukan penatalaksanaan

terhadap pasien dengan ancaman jiwa yang lebih besar (Habib, 2016). Tingkat

prioritas :

16
Prioritas 1 (prioritas tertinggi) digolongkan menjadi warna merah. Warna

merah untuk berat nya kondisi pasien, mengancam jiwa atau fungsi vital

memerlukan resusitasi dan tindakan bedah segera. Penanganan dan

pemindahan bersifat segera terutama dikarenakan karena gangguan jalan

nafas (Airway) pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation). Contoh

keadaan darurat tersebut seperti obstruksi jalan nafas, tension

peneumothorak, syock hemoragik, luka bakar grade 2 dan 3 >25%

Prioritas 2 (medium) warna kuning. Potensial mengancam nyawa atau

fungsi vital jika tidak segera di tangani dalam waktu singkat. Penanganan

dan pemindahan bersifat segera dalam waktu singkat jangan sampai

terlambat contoh : patah tulang besar, luka bakar grade 2-3 <25%, trauma

thoraks atau abdomen, laserasi luas, trauma bola mata

Prioritas 3 (rendah) warna hijau. Hanya perlu penanganan biasa tidak

membutuhkan tindakan segera. Penganan dan pemindahan bersifat

terakhir. Contoh luka superficial dan luka luka ringan

Prioritas 0 warna hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil luka

sangat parah , hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung, trauma

kepala yang bersifat kritis dan harapan hidup sudah tidak memungkinkan.

2.3.2 Penilaian dalam Triase

Primary survey (A, B, C). untuk menentukan prioritas 1 dan seterusnya

Secondary survey (head to toe) untuk menentukan prioritas 1,2,3,0 dan

selanjutya

17
Monitoring korban akan kemungkinan terjadi perubahan dari keadaan

korban seperti derajat kesadaranya dan vital sign, serta tanda tanda lain

yang bisa di ambil dari A,B,C

Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban (Salim, 2015).

2.4 Undang-undang yang berkaitan dengan SGDPT

2.4.1 UU Kesehatan No.36/2009

Pelayanan kesehatan pada bencana

Pasal 82

1. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab

atas ketersediaan sumberdaya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan

kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana

2. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi

pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan pasca bencana

3. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mencakup

pelayanan kegawat daruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan

nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut

4. Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaimana

yang dimaksud pada ayat 1

5. Pembiayaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 4 bersumber dari

anggaran pendapatan belanja Negara (APBN),anggaran pendapatan

belanja dan belanja daerah (APBD), atau bantuan masyarakat sesuai

dengan undang undang

18
Pasal 83

1. Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana

harus ditunjukan untuk penyelamatan jiwa pencegahaan kecacatan

lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien.

2. Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang

sebagimana yang dimaksud pada ayat 1 sesuai dengan kemampuan

yang dimiliki

2.4.2 UU Penanggulanagan Bencana No.24/2007

Bab satu tentang ketentuan umum

Pasal 1 ayat 10. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegatan

yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani

dampak buruk yang ditimbulkan yang meliputi kegiatan penyelamatan dan

evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan

penggurusan penggungsi serta pemulihan sarana pra sarana.

2.4.3 UU Kesehatan No 36/2009

Bab 2 pasal 4 tentang kesehatan pembukaan point b

Bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya dilaksanakan bedasarkan

prinsip prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka

pembentuk sumberdaya manusia Indonesia serta peningkatan ketahanan dan daya

saing bangsa bagi pembangunan nasional

19
Pasal 32 ayat 1

Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah

maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa

pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu

Pasal 32 ayat 2

Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah dan

swasta dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka.

2.4.4 UU Kesehatan No. 36/2009

Bab 1 ketentuan umum

Profesi kesehataan (tenaga kesehatan) seperti dokter dan perawat dan

profesi kesehatan lainya mempunyai tanggung jawab moral untuk memberikan

pertolongan pada kasus kasusu kegawat daruratan dan bencana. Yang disebut

dengan tenaga kesehatan dalam undang undang kesehatan no 36 tahun 2009 bab 1

ketentuan umum pasal 1 ayat 6 : setiap orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan dan atau keterampilan meleluai pendidikan dibindang kesehatan

yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melaukan upaya

kesehatan pasal ini mempertegas bahwa petugas kesehatan wajib melakukan

upaya kesehatan termasuk dalam pelayanan dawar darurat yang terjadi baik dalam

keadaaan sehari haari maupun dalam keadaan bencana.

2.4.5 UU Rumah Sakit No.44/2009

Dalam undang undang rumah sakit nomor 44 tahun 2009 bab 1 ketentuan

umum pasal 1 ayat 1 rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan rawat

darurat. Ini membuktikan bahwa rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat

20
darurat kepada pasien atau penderita dengan didukung oleh sarana, pra sarana dan

sumber daya manusia dalam pengelolahan pelayanan gawat darurat.

2.4.6 Permenkes No 152/Menkes/Per/IV/2007

Tentang izin dan penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi,

BAB VII pasal 37 ayat 2. Dokter atau dokter gigi yang diminta untuk

memberikan pelayanan medis oleh suatu sarana pelayanan kesehatan bakti sosial,

penanganan korban bencana, atau tugas kenegaraan tidak memerlukan izin praktik

tetapi harus member tahukan kepada dinas kesehatan kabupaten/ kota tempat

kegiatan dilakukan. Dari penjelasan undang undang diatas dokter berkewajiban

memeberi pelayanan kesehatan terhadap penanganan korban bencana jika diminta.

Disisi lain dari aspek hukum pelayanan gawat darurat seperti standart

operasi prosedur, petunjuk pelaksanaan, kebijakan dan aturan aturan dalam

system pelayanan kegawat daruratan harus dijadikan pedoman. Bagi profesi

kedokteran pelatihan kegawat daruratan dapat juga di jadikan sebagai aspek

legalitas dan kompentesi dalam melaksanaakan pelayanan gawat darurat.

2.4.7 Instruksi Presiden RI Nomor 4 tahun 2013

Tentang Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan. Untuk pilar ke V,

Menteri Kesehatan, yang bertanggung jawab meningkatkan penanganan pra

kecelakaan meliputi promosi dan peningkatan kesehatan pengemudi pada

keadaan/situasi khusus dan penanganan pasca kecelakaan dengan Sistem

Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).

2.4.8 Permenkes No. 19 tahun 2016

Tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Dalam

Peraturan Menteri ini berdasarkan pasal 1 yakni pelayanan Gawat Darurat adalah

21
tindakan medis yang dibutuhkan oleh korban/pasien Gawat Darurat dalam waktu

segera untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan. SPGDT adalah

suatu mekanisme pelayanan korban/pasien Gawat Darurat yang terintegrasi dan

berbasis call center dengan menggunakan kode akses telekomunikasi 119 dengan

melibatkan masyarakat. Call Center 119 adalah suatu desain sistem dan teknologi

menggunakan konsep pusat panggilan terintegrasi yang merupakan layanan

berbasis jaringan telekomunikasi khusus di bidang kesehatan.

Pusat Komando Nasional (National Command Center) adalah pusat

panggilan kegawatdaruratan bidang kesehatan dengan nomor kode akses 119 yang

digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Pusat Pelayanan Keselamatan

Terpadu/Public Safety Center yang selanjutnya disebut PSC adalah pusat

pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal yang

berhubungan dengan kegawatdaruratan yang berada di kabupaten/kota yang

merupakan ujung tombak pelayanan untuk mendapatkan respon cepat.

22
BAB 3

KESIMPULAN

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu merupakan suatu sistem

dimana koordinasi merupakan unsur utama yang bersifat multi sektor dan harus

ada dukungan dari berbagai profesi bersifat multi disiplin dan multi profesi untuk

melaksanakan dan penyelenggaraan suatu bentuk layanan terpadu bagi penderita

gawat darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam keadaan bencana.

Prinsip berpedoman pada respon cepat yang memberikan pelayanan yang cepat,

cermat, dan tepat, dimana tujuannya adalah untuk menyelamatkan jiwa dan

mencegah kecacatan (time saving is life and limb saving) terutama ini dilakukan

sebelum dirujuk ke rumah sakit yang dituju yang melibatkan masyarakat awam

umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem

komunikasi. Tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu

bagi setiap anggota masyarakat yang berada dalam keadaan gawat darurat.

Landasan dasar pelaksanaan SPDGT yaitu UU kesehatan Np.36/2009, UU

penanggulanagan bancana No.24/2007, UU Rumah sakit No.44/2009, Pemenkes

No 152/Menkes/Per/IV/2007, Instruksi Presiden RI Nomor 4 tahun 2013

Permenkes No. 19 tahun 2016 dengan tertuangannya landasan pelaksanaan

SPGDT bertujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan dan keselamatan pasien

yang mendapatkan kondisi Gawat Darurat, dalam hal ini semua koordinasi mulai

dari masyarakat sampai rumah sakit diharapkan memberikan kontribusi mereka

dalam pelaksaanan penanggulangan gawat darurat, sehingga korban akan

tertangani secara keseluruhan dan tepat.

23
Dalam kasus Gawat Darurat baik peristiwa sehari-hari maupun bencana

selalu ada korban maka dari itu perlu dibentuk triase untuk menentukan prioritas

bertujuan untuk menentukan dan mendahulukan penatalaksanaan terhadap pasien

dengan ancaman jiwa yang lebih besar. Triase berguna untuk memilah korban

korban bencana sehingga mempermudah petugas pelayanan kesehatan untuk

memprioritaskan pemberian bantuan hidup dasar dan penatalaksanaan secepat

mungkin bagi korban hidup yang jiwanya sangat terancam.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Adzanri. 2014. Aspek Hukum Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat.

Padang: Sekretaris Komite Etik dan Hukum RSUP Dr. MD Jamil Padang

2. Ahmad, Sjafii. 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan

Akibat Bencana. Panduan Bagi Petugas Kesehatan yang Bekerja Dalam

Penanganan Krisi Kesehatan Akibat Bencana Di Indonesia. Jakarta :

Kemenkes RI

3. Australian Government Department of Health and Aging. 2009.

Emergency Triage Education Kit. Department of Health and Aging.

4. Christ M, Grossmann F, Winter D, Bingisser R, Platz E. 2010. Modern

triage in the emergency. Department Dtsch Arztebl Int;107(50):8928.

5. Fitzgerald G, Jelinek GA, Scott D, Gerdtz MF. 2010. Emergency

Department Triage Revisited. Emerg Med J ;27:85-92.

6. Habib, Hadiki. 2016. Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di

Indonesia. Research Gate Article. Instalasi Gawat Darurat RSCM.

7. Instruksi Presiden RI Nomor 4 tahun 2013

8. Kemenkes. 2016. Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Jakarta:

Berita Negara Republik Indonesia.

9. Kemenkes. 2016. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu

(SPGDT) mengurangi Tingkat Kematian dan Kecacatan. Di akses pada

http://www.yankes.kemkes.go.id/read-sistem-penanggulangan-gawat-

darurat-terpadu-spgdt-menggurangi-tingkat-kematian-dan-kecacatan-

713.html

25
10. Lee CH. 2010. Disaster And Mass Casualty Triage. American Medical

Association Journal of Ethics ;12(6):466-70.

11. Moskop JC, Sklar DP, Geiderman JM, Schears RM, Bookman KJ. 2009.

Emergency Department Crowding, Part 1- Concept, Causes, And Moral

Consequences. Ann Emerg Med;53:60511.

12. Murni, Tri Wahyu. 2016. Penanggulangan Kasus Gawat Darurat Pra

Rumah Sakit. Jakarta : Perhimpunana Dokter Gawat Darurat Indonesia

13. Pemerintah Kota Surakarta. 2015. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat

Terpadu. http://kota.surakarta.go.id/index.php?q=berita/pemkot-

kembangkan sistem-penanggulangan-gawat-darurat-terpadu-spgdt

14. Permenkes No 152/Menkes/Per/IV/2007

15. Permenkes. 2016. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu No.

19 Tahun 2016.

16. Prawira, MA. 2014. Studi Kasus Call Center SPGDT 119 Sebagai

Layanan Gawat Darurat pada Dinkes Provinsi DKI Jakarta. Jurnal

Administrasi Publik (JAP) Vol. 2, No. 4. Malang : Fakultas Ilmu

Administrasi UB.

17. Primadi, Oscar. 2016. Public Safety Centre 119 dan NCC. Jakarta : Biro

Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI.

18. Primasari. 2015. Analisis Sistem Rujukan Jaminan Kesehatan Nasional

RSUD Dr. Adjidarmo Kabupaten Lebak. Jurnal Administrasi Kebijakan

Kesehatan (ARSI) Vol. 1 No. 2 Lebak

26
19. Salim, Carolina. 2015. Sistem Penilaian Trauma. Jurnal CDK-232 Vol. 42

No. 9 Kalbemed. Banten : SMF Ilmu Bedah RSUD Dr. Drajat

Prawiranegara Serang.

20. Suharsono, T. Ningsih. 2012. Penatalaksanaan Henti Jantung di Luar

Rumah Sakit. Malang : UMM Press.

21. Suhartati. 2011. Standart Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat di

Rumah Sakit. Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan Keteknisan

Medik. Jakarta : Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan Kementrian

Kesehatan RI.

22. Suparmanto, Sri Astuti. 2006. Kurikulum Pelatihan Penolong Pertama

Kedaruratan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Bina

Kesehatan Masyarakat.

23. Supriyantoro. 2011. Kebijakan Kemenkes dalam Sistem Penanggulangan

Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) dan Bencana. Yogyakarta : Pidato DN

ke 65 FK UGM.

24. UU Kesehatan No.36/2009

25. UU Penanggulanagan Bencana No.24/2007

26. UU Rumah Sakit No.44/2009

27

Anda mungkin juga menyukai