Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH

Pada tahun 1954 seorang Dokter ahli bedah Prof.Dr.


Mohammad Kelan DSAn (Almarhum) bekerja di RSUP CBZ
(dikenal masyarakat sebutan rumah sakit Sibiset ) sekarang
RSUPN Cipto Mangunkusumo ( dikenal luas oleh masyarakat
dgn sebutan RSCM ) Jakarta adalah dokter Indonesia pertama
yang mengambil Spesialis Anestesi di Amerika Serikat dan
kembali ke Indonesia . kemudian melanjutkan bekerja di
RSCM sebagai Ahli Anestesiolgi,dalam melakukan pelayanan
anestesi dilakukan dibantu oleh “Perawat Anestesi” yang
dilatih secara individual dan tanpa diberikan sertifikat.
Sejarah……
. LAHIRNYA PENDIDIKAN PERAWAT/PENATA ANESTESI
Pada tahun 1962 Prof.Dr.Mohammad Kelan DSAn mempunyai Ide
dan konsep pendidikan perawat anestesi disampaikan kepada Ahli
Anestesi lain diantaranya : Dr. Dentong Kartodisono,Prof.Dr.Muhardi
Mukiman,Dr.Noto Avia, dan Dr. Ade Kalsid. Beliau-beliau sepakat untuk
mendidik Pegawai yang berijazah “Perawat” menjadi “Penata/Perawat
Anestesi” dengan Program kurikulum lebih banyak muatan ilmu medis
meniru Pendidikan Perawat anestesi di Amerika Serikat

Secara Administratif pendidikan tersebut diberi nama Sekolah Penata


Anestesi berkududukan di Jakarta dan pengukuhan serta pengakuan
dari Departemen Kesehatan RI pada tanggal 14 September 1962
dengan SK DEPKES RI Nomor : 107/Pend./Sept 1962
Sejarah…….

Adapun yang menjabat sebagai Direktur Akademi Anestesi Depkes RI


Jakarta adalah :
Tahun 1966 – 1980 Prof. Dr. Mohammad Kelan DSAn
Tahun 1980 – 1982 Dr. Ade Kalsid DSAn
Tahun 1982 – 1989 Bpk. R.O. Soepanndi BSc.An
Tahun 1989 - ------ Dr. Kartini Suryadi SpAn.

Pada tanggal 1 Oktober 1986 IKLUM mengadakan Kongres Luar biasa


karena ada desakan dari IAAI agar organisasi IKLUM masuk ke
organisasi Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dengan
perdebatan cukup “Seru” akhirnya Ikatan Alumni Aknes Jakarta
( IKLUM ) dirubah namanya menjadi Ikatan Perawat Anestesi
Indonesia disingkat IPAI.
PMK 56 TAHUN 2014
TENTANG KLASIFIKASI RUMAH SAKIT
Pasal 15
(1) Pelayanan medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, paling
sedikit terdiri dari:
a. pelayanan gawat darurat;
b. pelayanan medik spesialis dasar;
c. pelayanan medik spesialis penunjang;
d. pelayanan medik spesialis lain;
e. pelayanan medik subspesialis; dan
f. pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
(2) Pelayanan gawat darurat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
harus diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus
menerus.
(3) Pelayanan medik spesialis dasar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, meliputi pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan
obstetri dan ginekologi.
(4) Pelayanan medik spesialis penunjang, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, meliputi pelayanan anestesiologi, radiologi, patologi klinik,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2014
TENTANG
TENAGA KESEHATAN
BAB III
KUALIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN TENAGA KESEHATAN

Pasal 11
(1) Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke
dalam:
a. tenaga medis;
b. tenaga psikologi klinis;
c. tenaga keperawatan;
d. tenaga kebidanan;
e. tenaga kefarmasian;
f. tenaga kesehatan masyarakat;
g. tenaga kesehatan lingkungan;
h. tenaga gizi;
i. tenaga keterapian fisik;
j. tenaga keteknisian medis;
k. tenaga teknik biomedika;
l. tenaga kesehatan tradisional; dan
m. tenaga kesehatan lain.
(11) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
tenaga keteknisian medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf j terdiri atas perekam medis dan informasi kesehatan,
teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis
optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan
mulut, dan audiologis.
(12) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
tenaga teknik biomedika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf k terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli teknologi
laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik
prostetik.
(13) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
Tenaga Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf l terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan dan
tenaga kesehatan tradisional keterampilan.
(14) Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
PELAYANAN MEDIK SPESIALIS
PENUNJANG

1. Radiologi Penata Radiologi


2. Patologi Analis
3. Rehab medik Terafis
4. Anestesiologi Penata anestesi
PELAYANAN ANESTESIOLOGI
Mengingat ilmu anestesi adalah ilmu medis yang menjadi
domain dari dokter anestesi, ada beberapa hal yang berubah
dari PMK 31 tahun 2013 tentang kewenangan perawat anestesi
melakukan tindakan anestesi ASA 1 ASA 2 sudah tidak
berlaku lagi, pasal pendelegasian kewenenangan di ubah
menjadi pelimpahan wewenangan secara MANDAT, yang
sebelumnya penata anestesi bekerja di area abu-abu antara
perawat dan dokter anestesi, maka untuk memberikan
perlindungan hukum lahirlah Permenkes 18 Tahun 2016 yang
merupakan penyempurnaan dari beberapa Permenkes
sebelumnya yang mengatur tentang penata anestesi.
SIAPA PENATA ANESTESI
AD ART IPAI TAHUN 2016
Keanggotaan IPAI, terdiri dari:
a. anggota biasa;
b. anggota luar biasa; dan
c. anggota kehormatan.
Anggota Biasa adalah :
a. Penata Anestesi lulusan DIV Keperawatan Anestesi
b. Penata Anestesi lulusan Akademi Anestesi atau Akpernes atau
Pampernes; dan
c. Tenaga Keperawatan yang telah mengikuti pelatihan anestesiologi dan
memilih berpraktik sebagai penata anestesi atau bertugas di pelayanan
anestesi;
Anggota Luar Biasa Ikatan Penata Anestesi Indonesia adalah setiap orang
yang telah berkarya dan mempunyai aktivitas dalam bidang kepenataan
anestesi.
Anggota Kehormatan Ikatan Penata Anestesi Indonesia adalah setiap
orang yang memiliki kepedulian dan telah berjasa terhadap IPAI
PERMENPAN 10 TAHUN 2017
Pasal 16
(1) Pengangkatan dalam Jabatan Fungsional Asisten Penata Anestesi
melalui penyesuaian/inpassing sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf c, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. berstatus PNS;
b. memiliki integritas dan moralitas yang baik;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah paling rendah Diploma III (D-III) bidang kesehatan;
e. memiliki sertifikat pelatihan anestesiologi dan memiliki Surat
Tanda Registrasi Perawat Anestesi atau Penata Anestesi (STRPA);
f. memiliki pengalaman di bidang pelayanan anestesi paling singkat 1
(satu) tahun;
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2016
TENTANG
IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PENATA ANESTESI
a. bahwa Penata Anestesi merupakan salah salah satu dari jenis
tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan berupa asuhan
kepenataan anestesi sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki;
b. bahwa dalam rangka melindungi masyarakat penerima pelayanan
kesehatan, setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan praktik

keprofesiannya harus memiliki izin sesuai ketentuan peraturan


perundang-undangan;
c. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pekerjaan Perawat Anestesi, dipandang sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan dinamika hukum dan
kebutuhan masyarakat penerima pelayanan kesehatan;
Bagian Kesatu
Wewenang
Pasal 10

Penata Anestesi dalam menjalankan praktik keprofesiannya berwenang


untuk melakukan pelayanan asuhan kepenataan anestesi pada:
a. praanestesi;
b. intraanestesi; dan
c. pascaanestesi.
Pasal 11
(1) Pelayanan asuhan kepenataan praanestesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf a yaitu melakukan pengkajian penatalaksanaan pra anestesia yang meliputi:
a. persiapan administrasi pasien;
b. pemeriksaan tanda-tanda vital;
c. pemeriksaan lain yang diperlukan sesuai kebutuhan pasien baik secara inspeksi,
palpasi, maupun auskultasi;
d. pemeriksaan dan penilaian status fisik pasien;
e. analisis hasil pengkajian dan merumuskan masalah pasien;
f. evaluasi tindakan penatalaksanaan pelayanan pra anestesia, mengevaluasi secara
mandiri maupun kolaboratif;
g. mendokumentasikan hasil anamnesis/ pengkajian;
h. persiapan mesin anestesia secara menyeluruh setiap kali akan digunakan dan
memastikan bahwa mesin dan monitor dalam keadaan baik dan siap pakai;
i. pengontrolan persediaan obat-obatan dan cairan setiap hari untuk memastikan
bahwa semua obat-obatan baik obat anestesia maupun obat emergensi tersedia
sesuai standar rumah sakit; dan
j. memastikan tersedianya sarana prasarana anestesia berdasarkan jadwal, waktu,
dan jenis operasi tersebut.
(2) Pelayanan asuhan kepenataan intraanestesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 huruf b, terdiri atas:
a. pemantauan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan perencanaan teknik
anestesia;
b. pemantauan keadaan umum pasien secara menyeluruh dengan baik dan benar;
dan
c. pendokumentasian semua tindakan yang dilakukan agar seluruh tindakan
tercatat baik dan benar.
(3) Pelayanan asuhan kepenataan pascaanestesi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf c meliputi:
a. merencanakan tindakan kepenataan pasca tindakan anestesia;
b. penatalaksanaan dalam manajemen nyeri sesuai instruksi dokter spesialis
anestesi.
c. pemantauan kondisi pasien pasca pemasangan kateter epidural;
d. pemantauan kondisi pasien pasca pemberian obat anestetika regional;
e. pemantauan kondisi pasien pasca pemberian obat anestetika umum;
f. evaluasi hasil kondisi pasien pasca pemasangan kateter epidural;
g. evaluasi hasil pemasangan kateter epidural dan pengobatan anestesia regional;
h. evaluasi hasil pemasangan kateter epidural dan pengobatan anestesia umum;
i. pelaksanaan tindakan dalam mengatasi kondisi gawat;
j. pendokumentasian pemakaian obat-obatan dan alat kesehatan yang dipakai; dan
k. pemeliharaan peralatan agar siap untuk dipakai pada tindakan anestesia
selanjutnya.
Bagian Kedua
Pelimpahan Wewenang
Pasal 12
Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11, Penata Anestesi
dapat melaksanakan pelayanan:
a. di bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang secara mandat dari dokter
spesialis anestesiologi atau dokter lain; dan/atau
b. berdasarkan penugasan pemerintah sesuai kebutuhan.

Pasal 13
Pelimpahan wewenang secara mandat dari dokter spesialis anestesiologi atau dokter
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, dalam rangka membantu
pelayanan anestesi yang meliputi:
a. pelaksanaan anestesia sesuai dengan instruksi dokter spesialis anestesiologi;
b. pemasangan alat monitoring non invasif;
c. melakukan pemasangan alat monitoring invasif;
d. pemberian obat anestesi;
e. mengatasi penyulit yang timbul;
f. pemeliharaan jalan napas;
g. pemasangan alat ventilasi mekanik;
h. pemasangan alat nebulisasi;
i. pengakhiran tindakan anestesia; dan
j. pendokumentasian pada rekam medik.
(6) Pelimpahan wewenang berdasarkan penugasan
pemerintah hanya dapat dilaksanakan di fasilitas pelayanan
kesehatan milik Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Pasal 15
Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1) telah terdapat dokter spesialis anestesiologi, wewenang
untuk melakukan pelayanan berdasarkan penugasan
pemerintah tidak berlaku.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:


a. Semua nomenklatur Perawat Anestesi dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi
Intensif Di Rumah Sakit (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 224) harus dibaca dan
dimaknai sebagai Penata Anestesi; dan
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perawat
Anestesi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 673) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Anda mungkin juga menyukai