Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Upaya besar Bangsa Indonesia dalam meluruskan kembali arah


pembangunan nasional yang telah dilaksanakan dalam tiga dasa warsa
terakhir ini menuntut reformasi total kebijakan pembangunan dalam
segala bidang.Untuk bidang kesehatan, tuntutan reformasi total tersebut
muncul karena masih adanya ketimpangan hasil pembangunan
kesehatan antara daerah dan antara golongan,derajat kesehatan
masyarakat yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara
tetangga,dan kurangnya kemandirian dalam pembangunan kesehatan.

Reformasi kesehatan diperlukan karena adanya 5 fenomena


utama yang berpengaruh besar terhadap keberhasilan pembangunan
kesehatan ; yakni adanya perubahan yang mendasar pada dinamika
substansial dalam ilmu dan teknologi kedokteran yang membuka
cakrawala baru dalam memandang proses hidup,sehat, sakit dan mati;
adanya tantangan global sebagai akibat kebijakan perdagangan
bebas,besarnya revolusi dalam bidang informasi, telekomunikasi dan
transportasi;perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap derajat
dan upaya kesehatan;demokrasi disegala bidang yang menuntut
pemberdayaan dan kemitraan dalam pembangunan kesehatan
(Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi, Kebijakan dan Strategi
Pembangunan Kesehatan).
Sementara itu tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia
Sehat 2010 adalah meningkatkan kesadaran, kemajuan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal melalui terciptanya
masyarakat,bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh
penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku yang
sehat,memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan

1
yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan
yang optimal diseluruh wilayah Republik Indonesia (Profil Kesehatan
Indonesia 2000).
Demikian pula dengan pelayanan Anestesiologi Rumah Sakit
Umum Daerah Mitra Sehat (RSUD Mitra Sehat) perlu adanya reformasi
dan penataan ulang kembali baik sistim manajemen maupun sistim
pelayanan sehingga dapat memenuhi harapan masyarakat yakni
pelayanan Anestesiologi yang profesional. Di pihak lain falsafah
pelayanan anestesia dan terapi intensif adalah tindakan medik yang
aman, efektif, manusiawi berdasarkan ilmu kedokteran mutakhir dan
teknologi tepat guna dengan menggunakan sumber daya manusia
terdidik dan terlatih, peralatan dan obat yang sesuai dengan pedoman
dan standar yang telah digariskan dalam menunjang (support) fungsi
vital tubuh terutama jalan napas, pernapasan, peredaran darah dan
kesadaran pasien yang mengalami kegawatan medik yang mengancam
jiwa atau berpotensi menimbulkan kecacatan apapun sebabnya. Juga
menghilangkan rasa nyeri dan stres psikis yang dialami pasien apapun
sebabnya.
Oleh karena hal tersebut di atas perlu kiranya disusun suatu
pedoman yang memberikan arah dalam pelaksanaan pelayanan
Anestesiologi. Pedoman Pelayanan Anestesiologi ini adalah standar yang
harus diikuti oleh dokter dan tenaga kesehatan lain di bidang
anestesiologi (dan terapi intensif) dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya khususnya di lingkungan
RSUD Mitra Sehat.

B. TUJUAN PEDOMAN
Tujuan disusunnya Pedoman Pelayanan Instalasi Anestesiologi adalah :
1. Tersedianya dokumen regulasi/pedoman sebagai acuan bagi
personel manajerial di Instalasi Anestesiologi dalam menjalankan
fungsi manajemen.

2
2. Tersedianya dokumen regulasi /pedoman sebagai acuan bagi tenaga
profesi kesehatan medis dan penata anestesi atau profesi kesehatan
lain (farmasi) maupun tenaga non kesehatan (administrasi , dll)

C. RUANG LINGKUP PELAYANAN


Menurut Permenkes 519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman
Pelayanan Anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit, tujuan dan
wewenang anestesiologi meliputi :
Tujuan dan wewenang pelayanan anestesiologi meliputi :
1. Memberikan pelayanan anestesia, analgesia yang aman, efektif,
manusiawi dan memuaskan bagi pasien yang menjalani
pembedahan, prosedur medik atau trauma yang menyebabkan rasa
nyeri, kecemasan dan stress psikis lain.
2. Menunjang fungsi vital tubuh terutama jalan nafas, pernafasan,
peredaran darah dan kesadaran pasien yang mengalami gangguan
atau ancaman jiwa karena menjalani pembedahan, prosedur
medik, trauma atau penyakit lain.
3. Melakukan resusitasi jantung-paru-otak (Basic, Advanced,
Prolonged Life Support) pada kegawatan mengancam jiwa di
manapun pasien berada (ruang gawat darurat, kamar bedah, ruang
pulih sadar, ruang rawat intensif, bangsal perawatan, dll).
4. Menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa dan
metabolisme tubuh pasien yang mengalami gangguan atau
ancaman jiwa karena menjalani pembedahan, prosedur medik,
trauma atau penyakit lain.
5. Mengatasi masalah nyeri akut, nyeri kronis, dan nyeri membandel
pada pasien pembedahan, trauma, proses kronis, kanker,dll.
6. Memberikan bantuan terapi pernafasan dan inhalasi.
Berdasarkan atas tujuan dan pelayanan anestesia yang
disebutkan di atas, maka dapat dipastikan bahwa pelayanan anestesia
di RSUD Mitra Sehat harus meliputi pelayanan anestesia/analgesia di
kamar operasi Instalasi Bedah Sentral, Instalasi Gawat Darurat dan
serta di luar kamar operasi,termasuk ruang resusitasi, ruang tindakan

3
invasif, ruang rawat khusus (ICU), NICU, ruang rawat inap, rawat jalan,
dan ruang lain bila dibutuhkan dengan standar dan kualitas yang
sama.

D. BATASAN OPERASIONAL
Dalam pelayanan anestesiologi di kenal dalam beberapa definisi
sebagai berikut:
1. Anestesia (umum) adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat
sementara karena pemberian obat dengan tujuan untuk
menghilangkan nyeri pembedahan, relaksasi otot-otot dan
menghilangkan refleks yang tidak diinginkan.
2. Analgesia adalah pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran pasien.
3. Sedasi
Sedasi adalah suatu proses penurunan kesadaran yang bersifat
sementara karena pemberian obat-obatan, yang terdiri dari
beberapa tingkatan yaitu :
a) Sedasi ringan adalah suatu keadaan di mana pasien masih
memiliki respon normal terhadap stimulasi verbal dan tetap
dapat mempertahankan patensi jalan nafasnya sedang fungsi
ventilasi dan kardiovaskuler tidak dipengaruhi.
b) Sedasi moderat adalah keadaan penurunan kesadaran di mana
pasien masih memiliki respon terhadap perintah verbal, dapat
diikuti atau tidak diikuti oleh stimulasi tekan ringan, namun
pasien masih dapat menjaga patensi jalan nafasnya sendiri.
Pada sedasi moderat terjadi perubahan ringan dari respon
ventilasi namun fungsi kardiovaskular masih tetap dapat
dipertahankan dalam keadaan normal. Pada sedasi moderat
terdapat gangguan orientasi lingkungan serta gangguan fungsi
motorik ringan sampai sedang.
c) Sedasi dalam adalah suatu keadaan penurunan kesadaran
dimana pasien tidak mudah dibangunkan tetapi masih

4
memberikan respon terhadap stimulasi berulang atau nyeri.
Respon ventilasi sudah mulai terganggu. Nafas spontan sudah
mulai tidak adekuat dan pasien tidak dapat mempertahankan
potensi jalan nafasnya (hilangnya sebagian atau seluruh refleks
protektif jalan nafas). Pada sedasi dalam fungsi kardiovaskular
biasanya masih baik. Tindakan sedasi dalam membutuhkan alat
monitoring yang lebih lengkap dari sedasi ringan maupun sedasi
moderat
4. Anestesia lokal
Anestesia lokal adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri sementara
dengan melakukan blok pada ujung saraf ataupun infiltrasi pada
daerah yang hendak dilakukan tindakan dengan menggunakan obat-
obatan anestetika lokal, baik golongan ester maupun amida.

E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-UndangNomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
2. Undang-Undang RI No.44 Tahun 2009 tentang RumahSakit;
3. Undang-UndangNomor 29 Tahun 2009 tentang Praktek Kedokteran;
4. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 519/Menkes/PER/III/2011
tanggal 3 Maret 2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Anestesiologi dan Terapi Intensif di RumahSakit;
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 31 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pekerjaan Perawat Anestesi

5
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Pelayanan Anestesiologi di RSUD Mitra Sehat dilakukan oleh
tim yang terdiri dari Dokter Spesialis Anestesiologi (Dr.SpAn), Dokter
Spesialis Anestesiologi Konsultan, dan Perawat Anestesia yang
terdidik dan terlatih. Adapun kualifikasi dan uraian tugas tenaga-
tenaga tersebut adalah :
1. Dokter Spesialis Anestesiologi (dr. Sp.An) adalah :
Dokter yang telah menyelesaikan pendidikan program studi
dokter spesialis anestesiologi di pusat pendidikan yang diakui atau
lulusan luar negeri yang telah menjalani adaptasi di pusat
pendidikan anestesiologi.
2. Perawat mahir/terlatih adalah :
Perawat yang telah mendapat pendidikan sekurang-kurangnya
selama 6 bulan atau perawat yang telah bekerja pada pelayanan
anestesia di rumah sakit minimal 1 tahun.

B. POLA KETENAGAAN
Adapun pola ketenagaan dan kualifikasi sertifikasi yang
dibutuhkan dalam pelayanan anestesia adalah
No Jabatan Pendidikan Sertifikasi
1 Ka Pelayanan Dokter Spesialisasi Anestesi
Anestesi S2

2 Penata D4 DIV anestesi


Anestesi

6
C. TANGGUNG JAWAB DAN KOMPETENSI
1. Dokter Spesialis Anestesiologi
a. Melakukan evaluasi dan pelayanan pra-anestesia.
b. Memberikan pelayanan spesialistik anestesia dan supervisi
training anestesiologi.
c. Memberikan supervisi perawatan pasca-anestesi di kamar
pulih.
d. Berpartisipasi dalam penatalaksanaan pascabedah.
e. Mengelola Unit Perawatan Terapi Intensif.
f. Berpartisipasi pada pelayanan kasus gawat.
g. Ikut memberikan pelayanan pada kasus nyeri membandel.
h. Memberikan konsultasi dan pelayanan terapi inhalasi.
i. Memberikan pertanggungjawaban atas pelayanan anestesia
yang diberikan.
2. Penata Anestesi
a.Membantu SpAn dalam pelayanan anestesiologi, ruang pulih dan
perawatan intensif.
b.Perawat bertanggung jawab atas kebersihan, sterilitas, perawatan
dan kelengkapan alat.
c. Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien yang dilakukan
tindakan pelayanan anestesiologi.
d.Pelayanan anestesiologi yang dilakukan oleh perawat anestesia
merupakan pelimpahan wewenang dari dokter spesialis
anestesiologi atau dokter yang melakukan tindakan
pembedahan/tindakan medis lain. Dokter yang memberikan
pelimpahan wewenang harus memberikan instruksi tertulis.
Tentang hal ini, SK Menkes RI No. 512/Menkes/Per/IV/2007
menyatakan sebagai berikut. :

7
Pelimpahan wewenang di bidang anestesia dan terapi
intensif secara teknis diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No.519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di
Rumah Sakit, keadaan bisa terjadi sebagai berikut :
1) Jika ada Dokter Spesialis Anestesiologi di kamar operasi,
maka dapat dimintakan instruksi tertulis berikut paraf.
2) Jika Dokter Spesialis Anestesiologi tidak ada di kamar
operasi tetapi masih dapat dijangkau, maka dapat
dimintakan instruksi lisan yang kemudian dapat
dikonfirmasi tertulis berikut paraf.
3) Jika tidak ada Dokter Spesialis Anestesiologi, namun ada
dokter umum yang ditugaskan dalam pelayanan
Anestesiologi, maka dokter tersebut menggantikan peran
Dokter Spesialis Anestesiologi seperti di atas.
4) Jika Dokter Spesialis Anestesiologi dan dokter umum yang
ditugasi dalam pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif
tidak dapat dikonfirmasi, maka perawat anestesia
mengerjakan sesuai prosedur sesuai kewenangan klinis
yang dimilikinya dan ada perintah tertulis dari dokter yang
melakukan pembedahan. Tanggung jawab berada pada
dokter yang melakukan pembedahan, sesuai dengan
kewenangan yang diatur dalam buku pedoman di atas dan
dalam Petunjuk Pelaksanaan SK Menkes RI No
1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek
Perawat.
5) Dokter atau dokter gigi dapat memberikan pelimpahan
suatu tindakan kedokteran atau kedokteran gigi kepada
perawat, bidan, atau tenaga kesehatan tertentu lainnya
secara tertulis dalam melaksanakan tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi.
6) Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan kemampuan

8
dan kompetensi yang dimiliki dan dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
7) Pelimpahan wewenang kepada perawat, bidan atau tenaga
lainnya dalam keadaan tertentu dimana pelayanan
kesehatan sangat dibutuhkan dan tidak terdapat dokter
atau dokter gigi di tempat tersebut diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri.

D. PENGATURAN JAGA

Mengingat Instalasi Anestesiologi RSUD Mitra Sehat memberikan


pelayanan selama 24 jam secara terus-menerus, maka dibuat jadwal
dokter spesialis DPJP Jaga Anestesiologi 24 jam, sama di mulai sejak
pukul 07.00 WITA – 07.00 WITA hari berikutnya, petugas sudah tiba 30
menit sebelum jadwal operasi. Jadwal jaga disusun oleh Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif

9
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANG
Adapun lingkup pelayanan anestesiologi terutama berada dalam
kamar operasi (baik di kamar operasi di Instalasi Bedah Sentral maupun
Instalasi Gawat Darurat, maka dalam pedoman ini disertakan denah
ruangan kamar operasi di Instalasi Bedah Sentral

10
B. STANDAR FASILITAS
Sesuai denganstandar fasilitas yang diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No.519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman
Penyelanggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di RS, maka
standar fasilitas pelayanan anestesiologi di kamar operasi harus meliputi :
a. Kamar Persiapan Anestesia
Kamar ini merupakan bagian di kompleks kamar bedah yang berfungsi
sebagai tempat serah terima pasien, identifikasi pasien dan persiapan
pra-anestesia.Perlengkapan ruangan, meliputi :
1. Penerangan yang cukup, dilengkapi dengan lampu cadangan yang
dapat segera menyala apabila aliran listrik terhenti.
2. Titik keluar listrik (electric outlet) yang dibumikan (grounded).
3. Jam dinding.
4. Kereta pasien (brancard) yang dilengkapi dengan pagar di sisi kanan
kirinya, atau dengan sabuk pengaman, kedudukan kepala dapat
diubah menjadi datar / di atas.
Perlengkapan medik, meliputi :
1. Sumber oksigen berupa tabung/silinder atau titik oksigen sentral
yang dilengkapi dengan katup penurunan tekanan (regulator) dan
flowmeter.
2. Alat pelembab/humidifikasi oksigen, pipa karet/plastik yang
dilengkapi dengan kanula nasal dan sungkup muka.
3. Alat resusitasi terdiri dari kantong sungkup muka (misalnya Ambu
Bag / Air Viva / Laerdal), laryngoskop dengan daun (blade) berbagai
ukuran, pipa jalan nafas oro/nasopharinx dan pipa trakeal berbagai
ukuran, Cunam Magill, pembuka mulut (Fergusson Mouth Gag),
penghubung pipa (tube connector) dan stylet.

11
4. Alat penghisap lendir portable atau titik hisap sentral pipa karet
penghubung, botol penampung dan kateter hisap.
5. Pulse oximeter, stetoskop, tensimeter dan termometer.
6. Alat infus terdiri dari set infus, kateter vena, jarum suntik berbagai
ukuran, kapas anti septik, plester pembalut, gunting.
7. Sebaiknya ada defibrillator dan monitor ECG.
8. Kereta dorong (trolley/crashcart) yang memuat alat-alat sesuai butir 3
s/d 7.
9. Alat komunikasi (interkom).
b. Kamar Bedah
Tindakan anestesia umumnya dilakukan dalam kamar bedah dimana
akan dilakukan pembedahan / prosedur medik lain.
Perlengkapan ruangan yang disyaratkan adalah sebagai berikut :
1. Penerangan yang cukup, dilengkapi dengan lampu cadangan yang
dapat segera menyala apabila aliran listrik terhenti.
2. Suhu 200 – 280 C, kelembaban > 50%.
3. Titik keluar listrik (electric outlet) yang dibumikan (grounded).
4. Peralatan untuk mengeluarkan sisa gas / uap anestetik dari ruangan
(scavenger/exhaust).
5. Jam dinding.
Perlengkapan medik, meliputi :
1. Sumber oksigen berupa tabung / silinder atau titik oksigen sentral
yang dilengkapi dengan katup pengatur tekanan (regulator) dan
flowmeter.
2. Alat pelembab / humidifikasi oksigen, pipa karet / plastik yang
dilengkapi dengan kanula nasal dan sungkup muka.
3. Sumber gas gelak (N2O) berupa tabung / silinder atau titik N 2O
sentral.
4. Alat penghisap lendir portable atau titik hisap sentral, pipa karet
penghubung, botol penampung dan kateter hisap.
5. Bedside monitoring untuk memantau frekuensi nadi, irama jantung
(elektrokardiogram 3 atau 5 lead), saturasi oksigen (pulse oximetry)

12
tekanan darah (noninvasive blood pressure cuff,) dan suhu
(termometer).
6. Stetoskop prekordial dan atau esofageal.
7. Mesin anestesia standar yang memliki meter aliran O 2 / N2O (Boyle
Gas Machine) yang dilengkapi dengan alat penguap (vaporizer) a.l :
halotan / enfluran / isofluran / sevofluran / desfluran, sirkuit
pernafasan dengan penyerap CO2 (circle absorber) dan terdapat
disconnect alarm serta adanya O2flush. Mesin anestesia ini harus
dilengkapi dengan ventilator.
8. Laringoskop dengan berbagai daun (blade).
9. Pipa jalan nafas oro/nasofaring dan pipa trakea berbagai ukuran
dengan penghubung pipa (tube connector).
10. Cunam Magill, stilet pipa trakea, sikat pembersih pipa trakeal.
11. Pembuka mulut (Fergusson Mouth Gag).
12. Sungkup muka transparan berbagai ukuran dan respiratory bag
sesuai pasien.
13. Peralatan tambahan untuk sistem anestesi semi open dan Jackson
Reese.
14. Peralatan analgesia regional berupa jarum spinal, jarum epidural,
kateter epidural berbagai ukuran dalam keadaan steril.
15. Defibrilator. (cukup satu unit untuk setiap kompleks kamar bedah)
16. Monitor CO2 (capnograph)
17. Respirometer.
18. Alat pelindung gigi.
19. Alat komunikasi (interkom)
c. Kamar pulih sadar
Adalah tempat pemulihan pasien dari anestesia / dampak
pembedahan yang sebaiknya merupakan bagian di dalam kompleks
kamar bedah.
Perlengkapan ruangan, meliputi :
1. Penerangan yang cukup, dilengkapi dengan lampu cadangan yang
dapat segera menyala apabila aliran listrik terhenti.
2. Suhu 200 – 280C, kelembaban > 50%

13
3. Titik keluar listrik (electric outlet) yang dibumikan (grounded).
4. Tempat cuci tangan dan kelengkapannya.
5. Jam dinding.
6. Kereta pasien (brancard) yang dilengkapi dengan pagar di sisi kanan
kirinya, atau dengan sabuk pengaman, kedudukan kepala dapat
diubah menjadi datar / di atas.
Perlengkapan medik, meliputi :
1. Sumber oksigen berupa tabung / silinder atau titik oksigen sentral
yang dilengkapi dengan katup pengatur tekanan (regulator) dan
flowmeter.
2. Alat pelembab / humidifikasi oksigen, pipa karet / plastik yang
dilengkapi dengan kanula nasal dan sungkup muka.
3. Alat penghisap lendir portable atau titik hisap sentral, pipa karet
penghubung, botol penampung dan kateter hisap.
4. Alat resusitasi terdiri dari kantong, sungkup muka (misalnya Ambu
Bag / Air Viva, Laerdal), laringoskop dengan daun (blade) berbagai
ukuran, pipa jalan nafas oro/nasofaring dan pipa trakea berbagai
ukuran, Cunam Magill, pembuka mulut (Fergusson Mouth Gag),
penghubung pipa (tube connector) dan stilet.
5. Pulse oximeter, stetoskop, tensimeter, dan termometer.
6. Alat infus terdiri dari set infus, kateter vena, jarum suntik berbagai
ukuran, kapas, antiseptik, plester pembalut, gunting.
7. Defibrilator dan monitor ECG.
8. Kereta dorong (trolley/crash cart) yang memuat alat-alat sesuai butir
4 s/d 7.
9. Alat komunikasi (interkom)

14
BAB IV
TATALAKSANA PELAYANAN

A. TATALAKSANA UMUM
Rumah Sakit Umum Daerah Mitra Sehat mempunyai sistem untuk
menyediakan pelayanan anestesia dan terapi intensif yang dibutuhkan
pasien dalam pelayanan klinis yang ditawarkan dan kebutuhan para
praktisi pelayanan kesehatan baik dalam maupun di luar jam kerja dan
kegawat daruratan.
Pelayanan anestesia dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi,
perawat anestesia terdidik dan terlatih yang memiliki Surat Ijin Praktek (SIP
dan SIKPA) di RSUD Mitra Sehat yang masih berlaku dan sesuai dengan
Rincian Kewenangan Klinis yang dimilikinya. Setiap penggunaan tenaga
anestesi dari luar untuk kepentingan pelayanan (mis; kerjasama dengan
institusilain) harus melalui rekomendasi Kepala Instalasi Anestesiologi
selaku penanggung jawab pelayanan Anestesiologi di RSUD Mitra Sehat dan
mendapatkan surat penugasan dari Direktur Utama setelah melewati
kredensial oleh Komite Medik. Secara detil tentang proses kredensial dapat
dilihat pada pedoman kredensial oleh Komite Medik.

B. MASA PRA-ANESTESIA
Peran layanan anestesiasudah dimulai saat pasien diindikasi untuk
dilakukan tindakan operasi. Diminta atau tidak, seorang dokter
anestesiologi sangat berperan terutama untuk melakukan serangkaian

15
intervensi agar seorang pasien dapat mencapai keadaaan optimal untuk
menjalani pembiusan dan pembedahan.

1. KUNJUNGAN PRA-ANESTESIA
Sebelum melakukan tindakan anestesia, pemberi asuhan di bidang
anestesia harus melakukan evaluasi terhadap pasien dengan demikian
dapat membuat rencana asuhan yang tepat. Evaluasi dan perencanaan
itu dilakukan dalam bentuk kegiatan kunjungan praanestesia.
Kunjungan praanestesia dapat dilakukan beberapa hari sebelum
tindakan pembiusan (terutama untuk kasus-kasus bedah elektif)
sampai pada beberapa saat sebelum dilaksanakan tindakan anestesia.
Kunjungan ini dapat dilakukan di klinik perioperatif, di ruang rawat
inap, di ruang gawat darurat ataupun pada saat pasien berada di ruang
persiapan kamar operasi, tergantung urgensi dari pembedahan.
Evaluasi praanestesia ditekankan pada anemnesis dan pemeriksaan
fisik dalam hal ini pengobatan yang dijalani pasien, subtansi atau
kondisi yang membuat pasien alergi, ulasan tentang pembiusan
sebelumnya apabila pasien pernah menjalaninya. Evaluasi ini juga
harus meliputi kajian tentang tes diagnosis yang telah dilakukan, hasil
pencitraan (radiologi) dan hasil konsultasi dengan dokter yang lain.
Asesmen praanestesia ini didokumentasikan dalam sebuah catatan
anestesi. Perencanaan mempertimbangkan informasi dan asesmen yang
dilakukan, dimana dalam perencanaan, dokter spesialis anestesia harus
mampu mengidentifikasi jenis anestesi yang akan digunakan, termasuk
metode pemberiannya, pemberian medikasi dan cairan lain, serta proses
prosedur monitoring dalam mengantisipasi pelayanan pasca-anestesi

2. PEMERIKSAAN FISIK DAN LABORATORIUM


Pemeriksaan fisik dan laboratorium saat kunjungan pra-anestesia
(terutama di kasus gawat darurat) hendaknya dilakukan minimal dalam
periode 24 jam sebelum tindakan anestesia / pembedahan untuk
menentukan apakah fungsi tubuh pasien normal atau tidak. Bila fungsi
tubuh pasien tidak normal, maka :

16
a) ditentukan derajatnya dan cadangan fungsi yang masih ada.
b) diupayakan perbaikan sampai optimal.
Pemeriksaan minimal meliputi :
a) Jalan napas, paru dan pernapasan.
b) Sirkulasi (tekanan darah, nadi, dan perfusi) serta keadaan jantung
(ECG untuk usia > 40 th atau < 40 th atas indikasi)
c) Kesadaran dan kecerdasan.
d) Status hidrasi dan status gizi.
e) Riwayat alergi, penyakit sebelumnya dan obat-obat yang dipakai.
f) Pemeriksaan laboratorium tertentu.
Pemeriksaan dilakukan sedini mungkin dalam masa pra-bedah agar
tersedia cukup waktu untuk terapi dan persiapan. Dengan pemeriksaan
fisik dan anamnesis yang baik, banyak pemeriksaan laboratorium yang
dapat ditiadakan.
Jika diperlukan, maka dokter spesialis anestesiologi atau dokter
yang melakukan pembedahan dianjurkan meminta konsultasi
spesialistik lain. Hasil konsultasi dan tindak lanjut harus dicatat dalam
rekam medik.

DAFTAR PEMERIKSAAN LAB. MINIMAL

Operasi Kecil Sedang/besar Khusus/besar

Lama operasi < 1 jam > 1 jam > 1 jam

Perdarahan Minimal s/d 20% EBV > 30% EBV

Bukan di
Lokasi operasi Di jalan nafas Dimanapun
jalan nafas
Umur < 40 th > 40 th
Hb, Leuko Darah rutin, Darah rutin ,
dan pemeriksaan EKG dan
Tes
pemeriksaan lain yang pemeriksaan
lain yang diperlukan lain yang
diperlukan diperlukan

17
Setelah melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang yang
dibutuhkan, dokter spesialis anestesiologi yang melakukan evaluasi
harus membuat ringkasan pemeriksaan dirumuskan sebagai status
fisik atau yang lebih dikenal dengan Klasifikasi American Society of
Anesthesiologist (ASA) yang terdiri atas:

Status Pasien sehat yang kan menjalani operasi


Fisik 1 Contoh : seorang laki-laki sehat menjalani herniotomi.

Status Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang


Fisik 2 tanpa pembatasan aktifitas
Contoh : pasien diabetes dengan pengobatan oral,
tetapi tidak ada penyulit organ lain.
Status Pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi
Fisik 3 aktifitas ringan
Contoh : pasien dengan infark jantung, dengan angina
pektoris yang harus dikelola dengan perawatan medis.
Status Pasien dengan kelainan sistemik berat yang
Fisik 4 menyebabkan ketidakmampuan melakukan aktifitas
rutin, yang mengancam nyawanya setiap waktu
Contoh : pasien gagal jantung berat yang hanya dapat
berjalan beberapa meter
Status Pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa
Fisik 5 pembedahan diperkirakan meninggal dalam 24 jam n
Contoh : pasien ileus strangulasi dengan anuria, koma,
tekanan darah 70/40 dengan pemberian infus
dopamin.
Status Pasien yang akan dilakukan transplantasi organ
Fisik 6
Untuk pasien pembedahan Darurat ditambahkan kode”E”
(Emergency)

3. ASPEK KHUSUS PEMBEDAHAN GAWAT DARURAT


Pemeriksaan fisik dan laboratorik dilakukan dalam waktu
sesingkat mungkin. Persiapan harus ditujukan untuk resusitasi dan
stabilisasi fungsi vital tubuh pasien agar pembedahan/ terapi definitif
dapat segera dilakukan, misalnya
a) Menghentikan perdarahan (damaged control)
b) Membuang sumber infeksi (source control)
c) Melahirkan janin dan sebagainya.
Tindakan meliputi :

18
a) Membebaskan dan menjaga jalan napas tetap bebas.
b) Membantu fungsi pernapasan dan oksigenasi.
c) Optimalisasi hemodinamik dengan imbang cairan dan transfusi.
d) Menjaga tekanan intrakranial tidak meningkat.
e) Mengosongkan lambung dan mencegah aspirasi.

4. PENYULUHAN (EDUKASI) DAN PERSETUJUAN TINDAKAN


ANESTESIA
Proses perencanaan anestesi mencakup mengedukasi pasien,
keluarganya atau pembuat keputusan atas risiko manfaat dan alternatif
yang berhubungan dengan perencanaan anestesia dan analgesia pasca
anestesi. Diskusi ini terjadi sebagai bagian dari proses untuk
memperoleh persetujuan anestesi (termasuk sedasi moderat dan dalam)
sebagaimana disyaratkan, seorang anestesiolog atau petugas yang
kompeten memberikan edukasi. Penyuluhan dan upaya mendapatkan
persetujuan pasien atas tindakan medik dilakukan pada waktu
kunjungan pra-bedah.Syarat-syarat hukum dan administratif harus
dipenuhi dan dicatat dalam Lembar Catatan Medik. Formulir
persetujuan tindakan medik (informed consent) ditandatangani oleh :
1. Pasien dan atau keluarga sesuai persyaratan hukum dan
administrasi yang berlaku.
2. Dokter atau perawat yang diberi pelimpahan wewenang untuk itu.
3. Dua orang seorang saksi; satu orang petugas rumah sakit dan
seorang anggota keluarga/perwalian.
Catatan Medik Anestesia mengacu pada UU No. 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menkes RI No 269
/Menkes/Per/III/2008 tgl 12 Maret 2008 tentang Rekam Medis.Adapun
rincian informed consenttindakan anestesia mengacu pada UU No 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran serta Peraturan Menkes RI No.
585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.

5. PUASA, INFUS, PENGOSONGAN LAMBUNG DAN TRANSFUSI

19
Kondisi optimal untuk anestesia dan pembedahan membutuhkan
tindakan persiapan :
a) Puasa
Pengosongan lambung untuk mengurangi risiko muntah, regurgitasi
dan aspirasi paru. Pengosongan lambung terutama dilakukan dengan
puasa. Sedangkan pengosongan usus besar dimaksudkan untuk
mencegah buang air besar yang berpotensi mencemari dan
meningkatkan risiko infeksi luka bedah.Pemberian cairan intravena
diperlukan untuk mengganti cairan yang hilang karena kedua
tindakan di atas.
Pasien dewasa dipuasakan dari makanan padat 6-12 jam pra-
anestesia, dari minum susu 6 jam pra-anestesia, dari minum air
putih 4 jam pra-bedah. Pasien anak-anak mengikuti jadwal sebagai
berikut :
Umur Susu/makanan Air putih
padat
< 6 bulan 4 jam 2 jam
6 – 36 bulan 6 jam 3 jam
> 36 bulan 8 jam 3 jam

Instruksi puasa dijelaskan lisan dan tertulis kepada pasien dan


atau keluarga/wali serta diketahui oleh perawat. Obat-obat tertentu
dapat diberikan bersama minum air putih terakhir. Obat anti diabetes
oral harus diganti injeksi insulin jika pada pascabedah tidak
dapat/tidak boleh makan.Untuk bedah darurat diperlukan
pengosongan lebih cepat dan lebih pasti dengan pemasangan pipa
lambung (ukuran besar, Fr 18/20) dan penghisap aktif.
Pengosongan usus besar dilakukan dengan obat pencahar,
perangsang peristaltik kolon atau lavement atas pertimbangan
keperluan pembedahan dan kenyamanan pasien.
b) Infus
Pemberian cairan pengganti puasa dan pencahar diberikan kepada
periode 24 jam pra-anestesia sebagai larutan kristaloid.Untuk pasien

20
risiko tinggi, rencana pembedahan besar, gizi pra-bedah buruk, maka
perbaikan imbang cairan dan nutrisi dilakukan jauh sebelum
pembedahan dengan pemberian nutrisi parenteral atau nutrisi enteral
melalui pipa lambung.
Pasien hamil/in-partu mungkin memerlukan antasida oral untuk
netralisasi asam lambung karena pada kelompok ini cairan lambung
yang lebih banyak dan pH lebih asam. Antasida Magnesium trisilikat
(BPC) 15 ml yang diberikan 30 menit sebelum anestesia dapat
menekan risiko ini. Golongan lain yang dapat diberikan antara lain :
simetidin, ranitidin. Cairan lambung dengan pH < 2,5 mudah
menimbulkan kerusakan parah jika terjadi aspirasi paru (Mendelsohn
syndrome).
c) Transfusi
Dalam hal transfusi darah dan komponennya, seorang dokter
spesialis anestesiologi hendaknya mempertimbangkan manfaat dan
risiko transfusi pada pasien serta kepercayaan yang dianut pasien
(misalnya Saksi Yehuwa). Selama tersedia komponen darah, maka
transfusi komponen darah diutamakan daripada transfusi darah utuh
(whole blood). Jika tidak tersedia komponen darah maka transfusi
darah utuh dapat dipertimbangkan.
Pemberian transfusi tetap mengikuti ketentuan transfusi secara
umum tentang kesesuaian golongan darah donor dan penerima.. Pada
keadaan emergency dimana sangat dibutuhkan darah ,misalnya pada
keadaan perdarahan hebat yang memerlukan tranfusi segera untuk
”life saving” maka dimungkinkan tranfusi tanpa ”cross match” terlebih
dahulu dimana sebetulnya bila dengan tindakan ”cross match” akan
memerlukan waktu yang lebih lama (minimal 6 jam).
Dalam periode perioperatif dan sakit kritis, transfusi komponen
darah mengikuti pedoman sebagai berikut :
1. Sel darah merah (Packed Red Cell)
- Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada
kadar hemoglobin (Hb) < 7 g/dL, terutama pada anemia akut.
Transfusi dapat ditunda bila pasien asimptomatik dan/atau

21
penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb
yang lebih rendah dapat diterima.
- Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10
gr/dL apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang
bermakna secara klinis dan laboratorium.
- Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥ 10 g/dL, kecuali bila
ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan
kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh PPOK dan
penyakit jantung iskemik berat).
- Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan
pada kadar Hb ≤ 11 g/dL ; bila tidak ada gejala batas ini dapat
diturunkan mencapai 7 g/dL jika terdapat penyakit jantung
atau paru yang sedang membutuhkan suplemen oksigen.
2. Trombosit (TC)
- Trombosit diberikan untuk mengatasi perdarahan pada pasien
dengan trombositopenia bila hitung trombosit < 50.000/µL atau
< 100.000 µL jika disertai perdarahan mikrovaskuler difus.
- Transfusi trombosit pada kasus DHF dan DIC merujuk pada
pedoman penatalaksanaan masing-masing.
- Transfusi trombosit profilaksis dilakukan bila hitung trombosit
< 50.000 µL pada pasien yang akan menjalani operasi atau
prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif. Yang
dimaksud transfusi darah masif adalah penggantian jumlah
darah yang hilang lebih banyak dari total volume darah pasien
dalam waktu < 24 jam (kira-kira 70 mL/kg pada dewasa dan
80-90 mL/kg pada anak/bayi)
- Transfusi trombosit dapat diberikan pada pasien dengan
kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.

3. Plasma beku segar (Fresh Frozen Plasma)


- Untuk mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan defisiensi
faktor inhibitor koagulasi baik yang didapat maupun bawaan,
bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.

22
- Untuk netralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila
terdapat perdarahan yang mengancam nyawa.
- Jika ada perdarahan dengan parameter koagulasi yang
abnormal setelah transfusi masif atau operasi pintasan jantung
atau pada pasien dengan penyakit hati.
4. Kriopresipitat (Cryopresipitate)
- Untuk profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang
akan menjalani prosedur invasif dan terapi pada pasien yang
mengalami perdarahan.
- Pasien dengan hemofilia A dan penyakit Von Willebrand yang
mengalami perdarahan atau yang tidak responsif terhadap
pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani operasi.

6. PREMEDIKASI
Memberi pasien rasa nyaman bebas dari rasa takut/cemas atau
stress psikis lain, di samping menyiapkan fisik pasien untuk menjalani
anestesia dan pembedahan dengan lancar (smooth). Penyuluhan dan
obat-obat dapat dikombinasikan agar tercapai keadaan sedasi (tidur
ringan tetapi mudah dibangunkan) tanpa depresi napas dan depresi
sirkulasi. Waktu pemberian obat yang tepat disesuaikan dengan masa
kerja obat. Napas, tekanan darah, nadi dan kesadaran harus diperiksa
dan dicatat dalam rekam medik sebelum dan sesudah premedikasi.
Golongan ansiolitik dapat digunakan untuk mengurangi
kecemasan, seperti golongan benzodiasepin (diazepam, midazolam atau
alprazolam). Karena golongan ini dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, maka risiko depresi napas, depresi sirkulasi dan aspirasi
meningkat dan antisipasi untuk hal tersebut harus dilakukan.
Golongan opiod seperti petidin, morfin, fentanil, alfentanil,
sufentanil atau sediaan sintetik yang setara dapat diberikan jika
prabedah sudah ada nyeri atau jika akan digunakan obat anestesia
yang daya analgesianya lemah. Obat-obat ini menyebabkan depresi
napas, depresi sirkulasi dan meningkatkan tekanan intrakranial.
Karena kesadaran juga menurun, risiko aspirasi meningkat. Efek

23
samping lain dari golongan ini juga menyebabkan mual,muntah dan
gatal.
Atropin dapat digunakan untuk menekan hipersekresi ludah dan
kelenjar bronkus. Dapat digunakan secara intramuskular, terutama
jika akan digunakan obat anestesia yang memiliki efek samping
hipersekresi lendir mulut pascabedah. Pemakaian intravena akan
menyebabkan kenaikan nadi. Efek yang tidak diinginkan dari sulfas
atropin adalah lendir menjadi kental, rasa haus dan pada bayi dapat
menyebabkan hipertermia.
Golongan H3RA (simetidin, ranitidin) dan PPI (omeprazol) dapat
diberikan jika pasien memiliki risiko tinggi untuk terjadi aspirasi, PONV.
Beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan sangat
memberikan premedikasi :
1. Premedikasi tidak diberikan pada keadaan sakit berat, sepsis dan
kelompok umur ekstrem misalnya : orang-orang sangat tua (geriatri)
dan neonatus atau bayi < 6 bulan.
2. Premedikasi dipertimbangkan hati-hati pada pasien dengan masalah
jalan napas, kasus rawat jalan, dan kasus bedah saraf.
3. Dosis premedikasi dapat dikurangi pada orang tua dan bila keadaan
umum buruk.
4. Sedasi oral dapat diberikan pada malam hari sebelum tidur (misal
midazolam).
5. Pada anak premedikasi oral dilakukan minimal dua jam sebelum
operasi.
6. Pada pasien bedah darurat, premedikasi sedatikum dan opioid
sebaiknya dihindarkan atau diberikan dengan sangat hati-hati.

7. PERSIAPAN ALAT DAN OBAT


Karena anestesia adalah tindakan medik yang membawa risiko
ancaman jiwa, maka diperlukan persiapan alat, obat, ketrampilan dan
kewaspadaan tenaga kesehatan agar mampu mengatasi penyulit yang
terberat.

24
Sebelum tindakan anestesia dimulai, semua alat dan obat anestesia,
alat dan obat resusitasi dan tenaga terlatih harus siap dan dipastikan
dapat bekerja baik. Jika dilakukan anestesia regional, kesiapan untuk
anestesia umum dan resusitasi tetap harus ada. Dalam anestesia yang
panjang, cadangan obat dan alat harus disiapkan agar tindakan dapat
berlangsung tanpa terputus.
Tindakan anestesia baru dapat dimulai jika check-list ini telah
dilaksanakan dan semua dinyatakan ada dan berfungsi baik.

1. CHECK LIST ALAT ANESTESIA


1 Memeriksa hubungan persediaan 02 dan gas lain yang perlu.
Oksigen tabung diganti dengan yang penuh bila jarum pada
flowmeter menunjukkan di bawah angka 50 kg/cm2.
2 Memeriksa flowmeter apakah berfungsi baik, oksigen
mengalir, by-pass oksigen berfungsi.
3 Memeriksa dial vaporizer bergerak lancar dan dapat dikunci
pada posisi OFF. Vaporizer telah diisi obat inhalasi yang
benar.
4 Memeriksa pipa napas (breathing circuit), bag, katup, apakah
berfungsi baik dan tidak bocor.
5 Memeriksa tombol selektor napas spontan/napas buatan
bekerja baik.
6 Jika menggunakan N20 maka harus ada 02 cadangan dalam
tangki.
7 Ada AMBU-bag (Ambient Manual Breathing Unit) yang siap
pakai dengan sambungan slang plastik ke sumber O2.
8 Canister soda lime terisi penuh dan warna indikator tidak
berubah.

2. CHECK-LIST JALAN NAFAS BUATAN & ALAT PERNAFASAN

1 Tersedia sungkup muka yang sesuai ukurannya untuk


pasien tersebut.
2 Tersedia OPA/NPA berbagai ukuran.
3 Tersedia pipa trakea (endotracheal tube) berbagai ukuran
(periksa cuff) dan stylet.
4 Tersedia laringoskop dengan daun (blade) yang sesuai serta
Cunam Magill.
5 Jika ada ventilator, diperiksa apakah berfungsi baik.
Seharusnya tiap ventilator dilengkapi disconnect alarm.
6 Tersedia alat penghisap lengkap dengan kateter yang

25
berfungsi.

3. CHECK-LIST INFUS, CAIRAN DAN OBAT DARURAT.


1 Tersedia set infusi, kanula intravena dan berbagai cairan.
2 Selain obat anestesia, juga harus tersedia lengkap dalam
jumlah cukup obat-obat penunjang (narkotik, antihistamin,
steroid, diuretika, pelumpuh otot, neostigmin), obat
resusitasi dan obat darurat (adrenalin, atropin, lidocain, Na-
bicarbonat, CaCl2, efedrin, dopamin, antihistamin, steroid,
aminofilin, dekstrosa 40% ).
3 DC-Shock atau defibrilator.

4. CHECK-LIST ALAT MONITOR


1 Alat monitor standar (non invasive blood pressure, pulse
oxymeter, ECG, stetoskop prekordial), termometer, lampu
senter harus selalu ada pada setiap tindakan anestesia.
2 Capnograph.
3 Alat monitor tambahan yang sebaiknya ada : spirometer,
oxygen analyser, nerve stimulator. Alat-alat ini harus
dikalibrasi berkala dan alarm harus dites kemudian diset
dahulu setiap kali akan dipakai.

5. CHECK LIST PASIEN


1 Identitas pasien telah diperiksa dan dipastikan benar.
2 Persetujuan medik telah ditandatangani.
3 Diagnosis pembedahan dan lokasi/sisi yang benar telah
ditandai.
4 Jalan napas telah diperiksa ulang, gigi palsu telah dilepas
dan lapisan kosmetik yang dapat mengganggu observasi
warna mukosa/wajah/kuku telah dibersihkan.
5 Cairan infus mengalir lancar dengan jenis cairan yang benar
dan lokasi vena yang benar. Cadangan cairan dan persiapan
darah donor tersedia.
6 Alat monitor standar terpasang baik dan telah diperiksa
ulang. Semua data dicatat dalam rekam medik.
7 Bantal penyangga dan alat pengatur meja/posisi telah
disiapkan.

26
B. SELAMA MASA ANESTESIA/PEMBEDAHAN
Petugas yang kompeten menyelenggarakan asesmen anestesi dan
prainduksi, berhubung anestesi membawa resiko tinggi, maka
pemberiannya harus direncakan dengan seksama. Asesmen pra
anestesi pasien merupakan basis untuk perencanaan tersebut dan
untuk pengunaan analgesia pasca operatif. Asesmen pra anestesi
memberikan informasi yang informasi yang diperlukan bagi:
- Pemilihan pelayanan anestesi dan direncanakan anestesi
- Pemberian layanan anestesi yang aman dan tepat
- Penafsiran temuan pada monitoring pasien

1. PENILAIAN PRAINDUKSI DAN INDUKSI ANESTESIA


Sebelum melakukan tindakan induksi atau memulai tindakan
anestesi, Dokter Spesialis Anestesiologi bersama-sama dengan Perawat
Anestesia harus melakukan penilaian prainduksi, meliputi tanda-tanda
vital, makan dan minum terakhir, monitorulang status fisik
ASA.Penilaian (asesmen) prainduksi ini terpisah dari penilaian
praanestesi. Penilaian prainduksi berfokus pada pada stabilitas
fisiologis dan kesiapan pasien untuk anestesi dan terjadi sesaat
sebelum induksi anestesi. Bila anestesi yang harus diberikan secara
darurat, penilaian praanestesi dan penilaian prainduksi dapat segera
dilaksanakan secara berurutan atau secara serempak, tetapi masing-
masing didokumentasikan sendiri.
Pasien sebaiknya diberi preoksigenasi dengan 0 2 100% (aliran 6 -
10 lpm selama 3 - 5 menit) sebelum induksi dimulai. Jalur intravena,
berupa infus atau minimal wing-needle harus terpasang dan berjalan
lancar. Obat-obat darurat tersedia dalam suntik. Alat monitor standar
telah terpasang dengan baik (tensimeter, pulse oximeter,elektroda
elektrokardiografi, temperatur, stetoskop prekordial).
Tindakan anestesia harus dimulai dengan cepat, dengan cara
nyaman bagi pasien dan dengan tetap menjaga semua fungsi vital.
Stadium eksitasi harus dilewati secepat mungkin agar pasien segera
berada dalam stadium rumatan yang lebih aman. Jalan napas buatan

27
harus dipasang dan pernapasan buatan harus diberikan bila
diperlukan. Dokter/perawat harus mampu mengenali dan mengatasi
sumbatan jalan napas atas dengan teknik chin lift, head tilt, jaw trust,
memasang pipa orofaring atau nasofaring, intubasi trakea dan
krikotirotomi.
Teknik "rapid sequence induction” atau crash intubation untuk
mencegah aspirasi isi lambung pada kasus darurat juga harus
dikuasai.
Stabilisasi hemodinamik mungkin memerlukan resusitasi cairan,
obat-obatan inotropik dan obat anti-aritmia jantung.
Dapat diberikan obat-obatan tambahan untuk sedasi/analgesia
(ko-induksi) jika diperlukan seperti: Fentanil 1-2 μg/kgBB iv ±
Midazolam 0,03-0,1 mg/kgBB.

Obat-obatan yang diberikan pada waktu induksi

Obat Dosis Awitan Lama kerja


Anestetika intravena
Tiopental/ 3-5 mg/kgBB iv
Pentotal 1-2,5 mg/kgBB
Propofol iva
Etomidat 0,2-0,4 mg/kgBB
ivb
Pelumpuh otot
Suksinil kolin 1-1,5 mg/kgBB iv 30-60 4-6 mnt
dtk
Pankuronium 0,08-0,12 3-4 mnt 40-65 mnt
mg/kgBB iv
Vekuronium 0,1 mg/kgBB iv 2-3 mnt 25-30 mnt
Atrakurium 0,5 mg/kgBB iv 1-2 mnt 10-20 mnt
Rokuronium 0,6-1,2 mg/kgBB 60-90 30 mnt
iv dtk
a
nyeri saat disuntikkan
b
nyeri saat disuntikkan, mioklonus

2. MONITORING / PENGAWASAN ANESTESIA


Selama masa rumatan anestesia (periode intrabedah) diberlakukan
standar sebagai berikut :

28
1. Tenaga anestesia yang berkualifikasi (dokter spesialis anestesiologi
atau perawat anestesia tetap berada dalam wilayah kamar operasi
selama tindakan anestesia umum, anestesia regional dan MAC
(Monitored Anesthesia Care)
2. Selama pemberian anestesia, harus secara berkesinambungan
dibuat evaluasi oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu pasien.
Teknik dan obat-obatan yang digunakan dicatat dalam rekam medik
pasien.
Monitoring fisiologis memberikan informasi yang dapat diandalkan
tentang statu pasien selama pemberian anestesia umum, regional
maupun Monitored Anesthesia Care (dan periode pemulihan). Metode
monitoring tergantung pada status praanestesi pasien (misalnya;
monitoring tekanan vena sentral pada pasien sepsis), anestesia yang
dipilih (misalnya; penggunaan bispektral indeks pada anestesia umum)
dan kompleksitas dari pembedahan (misalnya ; penggunaan kapnograf
pada pasien laparaskopi) atau prosedur lain yang dikerjakan selama
anestesia. Proses monitoring dilakukan secara terus menerus dalam
frekuensi tertentu sesuai parameter monitoring (tekanan darah setiap
5 menit sekali, saturasi oksigen dimonitoring secara kontinu)

Frekuensi
Frekuensi
Parameter pengukuran
Alat monitor pencatatan
monitoring intra
(*)
anestesia (*)
Tekanan Cuff Blood Setiap 5 menit Setiap 15
Darah (non Pressure Bed menit
invasif) Side Monitor
Tekanan Arterial Line Terus menerus Setiap 15
Darah (invasif) Monitor menit
Laju Nadi /  Palpasi  Setiap 15 Setiap 15
Denyut  Auskultasi menit menit
Jantung  ECG Bed Side  Sesuai
Monitor indikasi
 Terus
menerus
Laju Nafas  Inspeksi  Setiap 15 Setiap 15
 Auskultasi menit menit

29
 Grafik RR Bed  Sesuai
Side Monitor indikasi
 Terus
menerus
Suhu Badan  Probe Suhu  Setiap 15 Setiap 30
Bed Side menit menit
Monitor  Sesuai
 Termometer indikasi
Saturasi Pulse Oksimeter Terus menerus Setiap 15
Oksigen menit
Tekanan Vena  Manometer  Setiap 15 Setiap 15
Sentral vena sentral menit menit
 Probe vena
sentral  Terus
menerus
Kapnografi End tidal CO2 Terus menerus Setiap 15
menit
Kedalaman Bispektral Terus menerus Setiap 15
sedasi / Indeks menit
anestesi
Urine output Kateter urine Setiap 15 Setiap 30
menit menit
(*) Saat hemodinamik stabil
Anestesia Inhalasi
Halotan (MAC=0,75%) titrasi
0-
Isofluran (MAC=1,1%) titrasi
30-100% O2 + 70% +
Sevofluran (MAC=2,0%) titrasi
N2O
Desfluran (MAC=6,0%) titrasi
Anestesia Balans
Halotan
(MAC=0,75%)
Isofluran
Petidin 0,5-1,5
(MAC=1,1%)
mg/kgBB/3-4 jam
Sevofluran
0- (bolus intermiten)
(MAC=2,0%)
30-100% O2 + 70% + + atau
Desfluran
N2O Fentanil 1-10
MAC=6,0%)
μg/kgBB sesuai
atau
kebutuhan
Propofol 50-
200μg/kgB
B/mnt

Anestesia Balans
30-100% O2 + 0- + Petidin + Propofol
70% Bolus awal: 1-2 Induksi: 1-2,5
N2O mg/kgBB mg/kgBB
Pemeliharaan: Pemeliharaan: 50-200
0,5-1,5 μg/kgBB/mnt

30
(infus dihentikan 5
mg/kgBB/3-4
menit sebelum
jam (bolus
operasi selesai)
intermiten)
atau
atau
Ketamin
Fentanil
Induksi: 1-2
Bolus awal: 1-2
mg/kgBB
μg/kgBB
Pemeliharaan: 1-2
Pemeliharaan:
mg/kgBB/ bolus
1-10 μg/kgBB
intermiten tiap 15-20
sesuai
mnt atau sesuai
kebutuhan
kebutuhan
.
Kedalaman anestesia dipantau dengan memperhatikan tanda tahapan
anestesia dan respons otonomik. Kedalaman anestesia yang cukup
selama pembedahan harus dipertahankan agar pasien tidak mengalami
rasa nyeri, tidak mengalami stress otonomik, pembedahan dapat
berjalan baik, fungsi vital (pernapasan, sirkulasi, perfusi organ) tetap
berada dalam batas normal.
Anestesia umum harus cukup dalam untuk mencegah pasien mengingat
dan merasakan proses pembedahan (awareness).Tahapan anestesia
dipertahankan dengan mengatur vaporizer (untuk anestesia inhalasi)
atau mengatur kecepatan infusi (untuk anestesia intravena).Tahapan
tidak boleh terlalu dalam agar tidak membahayakan fungsi vital.
Anestetika yang direkomendasikan untuk periode rumatan dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam melakukan monitoring
adalah :
a) Saturasi oksigenasi dipertahankan > 95%
b) Tekanan darah dipertahankan agar tidak berfluktuasi lebih dari 25 %
atau 15-20 mmHg dari nilai waktu sadar.
c) Perfusi merah, hangat dan kering (pink, warm and dry). Tidak teraba
keringat pada perabaan, tidak keluar air mata bila kelopak mata
dibuka.
d) Irama jantung dipertahankan irama sinus yangteratur, fluktuasi tidak
lebih dari 25 % nilai waktu sadar. Jika terjadi aritmia maka harus
dipastikan bahwa:

31
- oksigenasi baik (periksa aliran oksigen, periksa jalan napas/tube)
- ventilasi baik (periksa gerak dada, periksa soda lime)
- tidak ada manipulasi bedah yang memicu aritmia (refleks vagal,
refleks okulokardiak dll.)
e) Produksi urine 0.5 - 1.0 ml/kg/jam.
f) Jika tidak digunakan pelumpuh otot dan pembedahan tidak
memerlukan apnea, diusahakan pasien masih memiliki upaya napas
yang adekuat (tidak dalam keadaan total blok).
g) Perhatikan agar tidak ada bagian tubuh pasien yang tertekan bagian
keras meja operasi terutama berkas saraf (pleksus brakialis,dll)

3. NAPAS BUATAN DAN PELUMPUH OTOT


Jika pembedahan perlu relaksasi otot maka diberikan obat
pelumpuh otot dan pernapasan harus dibantu dengan napas buatan
agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berlangsung normal. Ventilasi
dengan IPPV (Intermittent Positive Pressure Ventilation) dapat diberikan
dengan cara manual, alat resusitator atau ventilator (respirator).
Teknik anestesia dengan napas buatan dilakukan pada :
a) pembedahan yang perlu relaksasi maksimal.
b) posisi pembedahan yang mengganggu ventilasi.
c) pasien perlu hiperventilasi.
d) anestesia yang berlangsung "lama".
Agar pengembangan paru sempurna tanpa kebocoran ke lambung
maka perlu dipasang jalan napas buatan pipa endotrakeal dengan
cuff. Jalan napas buatan lainnya (contoh LMA , Combitube) dapat
dipertimbangkan tetapi tidak dapat menjamin terhindarnya aspirasi.
Pelumpuh otot yang digunakan dapat berupa golongan depolarisasi
maupun non depolarisasi. Suksinil kolin efeknya cepat tetapi pendek
dan menyebabkan fasikulasi otot. Pelumpuh otot jenis non
depolarisasi bekerja lebih lambat dan lebih lama (misal :
pankuronium, vekuronium, atrakurium, rokuronium, mivakurium,
cisatrakurium).

32
Kerja menengah Vekuronium Bolus 0,01-0,025 mg/kgBB/30
mnt
Rokuronium atau infus 1-2 μg/kgBB/mnt
Bolus 0,15-0,6 mg/kgBB/30
Atrakurium mnt
atau infus 5-12 μg/kgBB/mnt
Bolus 0,1 mg/kgBB/10-20 mnt
atau infus 5-10 μg/kgBB/mnt
Kerja panjang Pankuroniu Bolus 0,02 mg/kgBB/60-90
m mnt

Dengan cara titrasi yang teliti dapat dicapai relaksasi otot yang
memadai tanpa pasien apnea (namun pasien tetap harus diberi napas
buatan). Fungsi oksigenasi harus dipantau. Idealnya secara berkala
di periksa gas darah atau secara berkesinambungan dengan pulse
oxymetry dan CO2 ekspirasi. Minimal harus dipastikan dada
terangkat setiap kali napas buatan diberikan, bibir nampak merah
perfusi jari & selaput hangat dan kering. Derajat kelumpuhan otot
dipantau secara klinis atau lebih baik dengan nerve stimulator. Pada
akhir pembedahan, obat antagonis pelumpuh otot harus diberikan
jika napas spontan belum adekuat.

4. PENGAKHIRAN ANESTESIA (EMERGENCE)


Anestesia harus dihentikan tepat waktu agar pasien segera sadar
kembali sehingga refleks perlindungan dan fungsi vitalnya kembali
normal, namun dengan efek analgesia yang terkendali. Oksigenasi
dan bantuan napas harus tetap diberikan dan pasien tetap dijaga
dengan kewaspadaan/ pemantauan penuh sampai sisa obat
(pharmacologic tail) habis.

Check-List Aktifitas Saat Pengakhiran Anestesia


Pemulihan dari Jika diperlukan dapat diberikan obat reversal
pelumpuh otot sebagai berikut:
Neostigmin 0,05-0,07 (dosis maksimum)

33
mg/kgBB+ Sulfas atropin 0,015 mg/kgBB iv
Analgetika Jika diperlukan analgetika pascabedah
pascabedah diberikan sebelum pasien dibangunkan
Profilaksis Dapat diberikan metoklopramid (10 mg iv),
mual-muntah atau droperidol (0,625mg iv) atau ondansetron
(4 mg iv) Dapat dipertimbangkan pemasangan
pipa lambung dan irigasi cairan lambung
Oksigen Pemberian N2O dan anestetika inhalasi
dihentikan dan diberikan 100% oksigen
Penghisapan Rongga orofaring dibersihkan dengan
lender penghisap lender
Ekstubasi Ekstubasi dilakukan jika refleks proteksi jalan
nafas sudah berfungsi kembali, pasien
bernafas spontan dan mampu mengikuti
perintah

C. MASA PASCAANESTESIA
Monitoring selama anestesi adalah dasar dari monitoring selama
periode pemulihan pasca anestesi. Pengumpulan data secara
sistematikdan analisis data yang berlangsung terhadap kondisi pasien
yang dalam pemulihan, mendukung keputusan untuk memindahkan
pasien ke settingpelayanan yang kurang intensif. Pencatatan data
monitoring merupakan dokumentasi untuk mendukung keputusan
untuk memindahkan pasien.
Pada periode pascaanestesia diberlakukan tindakan dengan
standardisasi sebagai berikut :

STANDAR I
Semua pasien yang menjalani anestesia umum, anestesia regional
atau MAC harus menjalani tata laksana pasca-anestesia yang tepat.
1. Sebuah Unit Rawat Pasca-anestesia (Post Anesthesia Care
Unit/PACU) atau suatu wilayah yang melakukan pengelolaan pasca-
anestesia yang paripurna, harus siap untuk menerima pasien pasca-
anestesia. Semua pasien yang menjalani tindakan anestesia harus
dimasukkan ke PACU atau ruangan yang setara dengannya kecuali
atas perintah khusus dokter spesialis anestesiologi yang bertanggung
jawab terhadap pengelolaan pasien tersebut.

34
2. Rancangan, peralatan dan staf PACU harus memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh badan pemberi lisensi dan akreditasi fasilitas.

STANDAR II
Seorang pasien yang dipindahkan ke PACU harus didampingi oleh
seorang anggota tim pengelola anestesia yang memahami kondisi pasien.
Pasien tersebut harus dinilai secara berkesinambungan dan ditangani
selama pemindahan dengan pemantauan dan bantuan sesuai dengan
kondisi pasien.

STANDAR III
Setelah tiba di PACU, pasien harus dinilai kembali oleh anggota tim
pengelola anestesia yang mendampingi pasien dan laporan verbal
diberikan kepada perawat PACU yang bertanggung jawab.
1. Kondisi pasien setelah tiba di PACU harus dicatat.
2. Informasi yang berkenaan dengan kondisi pra-bedah dan jalannya
pembedahan/anestesia harus disampaikan kepada perawat PACU.
3. Anggota tim pengelola anestesia harus tetap berada di dalam PACU
sampai perawat PACU menerima pengalihan tanggung jawab.

STANDAR IV
Kondisi pasien di PACU harus dinilai secara berkesinambungan.
1. Pasien harus diamati dan dipantau dengan metode yang sesuai
dengan kondisi medis pasien. Perhatian khusus hendaknya diberikan
pada pemantauan oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu. Selama
pemulihan penilaian oksigenasi kuantitatif seperti oksimetri pulsa
harus digunakan. Ini tidak dimaksudkan untuk diterapkan selama
pemulihan pasien obstetrik yang menjalani anestesia regional untuk
persalinan dan kelahiran per vaginam.
2. Harus dibuat laporan tertulis yang akurat selama di PACU.
Dianjurkan penggunaan sistem skor PACU yang tepat pada saat
pasien masuk di PACU, secara berkala dengan interval yang sesuai
selama di PACU dan pada saat keluar dari PACU.

35
3. Supervisi medis umum dan koordinasi pengelolaan pasien di PACU
merupakan tanggung jawab dokter spesialis anestesiologi.
4. Harus ada suatu kebijaksanaan untuk memastikan tersedianya
seorang dokter yang mampu menangani komplikasi dan melakukan
resusitasi jantung paru bagi pasien di PACU.

STANDAR V
Seorang dokter spesialis anestesiologi bertanggung jawab atas
pengeluaran pasien dari PACU.
1. Kriteria pengeluaran dibuat oleh Kepala Pelayanan Anestesi. Kriteria
ini yang berlaku di RSUD Mitra Sehat adalah menggunakan kriteria
Aldrette untuk semua pasien kecuali pasien yang akan langsung
dipindahkan ke unit perawatan intensif dan kriteria PADS (Post
Anesthetic Discharge Score) untuk pasien-pasien yang menjalani
bedah rawat inap sehari (ambulatory anesthesia)
2. Tatacara pemindahan dari ruang pulih pascaanestesi (PACU/Post
Anesthetic Care Unit) atau menghentikan monitoring pemulihan di
RSUD Mitra Sehat diatur menggunakan salah satu cara alternatif
berikut ini:
a) Pasien dipindahkan (atau menghentikan monitoring pemulihan)
oleh dokterspesialis anestesiologi yang bertugas atau perawat
anestesi yang bertugas di ruang pemulihan (Instalasi Bedah
Sentral)
b) Pasien dipindahkan (atau menghentikan monitoring pemulihan)
olehperawat Post Anesthetic Care Unit(di Kamar Operasi Instalasi
Gawat Darurat), setelah syarat-syarat untuk pindah (discharge
criteria telah terpenuhi) dan bukti pemenuhan kriteria
didokumentasikan dalam rekam medis pasien (catatan anestesia
dan sedasi).
c) Pasien dipindahkan ke suatu unit yang telah ditetapkan sebagai
tempat yang mampu memberikan pelayanan pasca anestesi atau
pascasedasi terhadap pasien tertentu, antara lain seperti pada
unit pelayanan intensif atau high care unit.

36
D. ANESTESIA REGIONAL
Beberapa tindakan pembedahan dapat dikerjakan dengan
anestesia regional dimana pasien tidak merasa nyeri tanpa kehilangan
kesadaran. Adapun anestesia regional yang dapat berupa
1. Blok saraf perifer
2. Blok pleksus
3. Blok peridural/epidural/ekstradural : sakral (kaudal), lumbal,
torakal, servikal.
4. Blok subaraknoid (SAB)/spinal/intratekal/intradural.
Mengingat anestesia regional memiliki risiko untuk terjadi
kegawatdaruratan dan juga blok regional dapat gagal atau parsial, maka
hal-hal yang harus disiapkan saat melaksanakan anestesia umum
harus disiapkan pada saat melakukan anestesia regional, yaitu :
1. Alat-alat dan jarum untuk anestesia regional.
2. Obat anestesia dan adjuvan.
3. Alat dan obat resusitasi.
4. Alat dan obat anestesi umum
5. Alat monitor fungsi vital
Pelaksanaan :
1. Karena pasien akan tetap sadar selama pembedahan maka perlu
diberi penjelasan yang teliti agar tidak merasa takut / gelisah.
Jika pasien terpaksa harus diberi obat-obatan sedatif, maka satu
keuntungan teknik regional berkurang (risiko depresi napas,
depresi sirkulasi dan aspirasi muncul kembali).
2. Pasien harus dipasang akses intravena dan tetap mendapat
suplementasi oksigen.
3. Pemantauan fungsi vital sama dengan tindakan anestesia umum
dengan alat monitor standar.
4. Jika anestesia regional tersebut gagal atau tidak adekuat, maka
dapat dilanjutkan dengan upaya lain. Perhatikan kemungkinan
interaksi obat-obatan yang mengakibatkan hipotensi, syok atau
apnea.

37
E. PELAYANAN ANESTESIA LOKAL
Pelayanan anestesia lokal di RSUD Mitra Sehat tidak hanya
dilakukan di dalam kamar operasi baik di Instalasi Bedah Sentral
maupun Instalasi Gawat Darurat Saja, tetapi mencakup pelayanan di
luar kamar bedah termasuk ruang resusitasi, ruang tindakan invasif,
ruang rawat khusus (ICU), NICU, ruang rawat inap, rawat jalan, dan
ruang lain.Pelayanan yang terutama di luar kamar operasi adalah
pelayanan sedasi terutama sedasi moderat dan dalam. Daftar ruangan
di RSUD Mitra Sehat yang dilakukan pelayanan anestesia dan sedasi
dapat dilihat pada tabel berikut ini

Anestesia
Anestesia
Lokal

No Tempat PPK

1. Kamar operasi instalasi bedah √ √ Dokter


sentral Anestesi
2. Kamar operasi IGD √ √ Dokter
Anestesi
3. Ruangan Resusitasi IGD √ √ Dokter
Anestesi
4. Intensive care Unit √ √ Dokter
Anestesi
5. Poliklinik Bedah √ √ Dokter
Bedah
6. Poliklinik Mata √ Dokter Mata
7. Politeknik Gigi √ Dokter Gigi
8. NICU √ Dokter Anak

F. TRANSPORTASI PASIEN DI DALAM/ANTAR RUMAH SAKIT

38
Dalam pemindahan pasien harus selalu dipertimbangkan antara
manfaat yang akan diperoleh dengan risiko yang mungkin terjadi.
Tempat tujuan harus mempunyai kemampuan dan fasilitas medik yang
lebih baik. Proses pemindahan sepenuhnya merupakan wewenang dan
tanggung jawab dokter yang merawat.
Perlengkapan yang dibutuhkan saat melaksanakan transport adalah :
1. Alat-alat bantuan pernapasan (laringoskop, pipa trakea, pipa
oro/nasofaring) dan alat resusitasi (BVM, Ventilator) yang sesuai
untuk pasien. Juga harus disediakan alat penghisap dengan kateter
yang sesuai.
2. Tabung oksigen yang cukup untuk selama transport ditambah
cadangan untuk 60 menit.
3. Sebaiknya ada monitor ECG, pulse oxymeter, ukuran nadi dan
defibrilator.
4. Tensimeter (non invasive blood pressure monitor).
5. Peralatan untuk akses intravena : kanula i.v, cairan, pipa infus,
jarum suntik dll.
6. Obat-obatan resusitasi seperti adrenalin, lidokain, atropin,
norepinefrin, amiodaron, dll.
7. Obat-obat tambahan lain yang diperlukan sesuai jadwal pengobatan,
termasuk aminofilin, steroid.
8. Sebaiknya ada alat komunikasi untuk berhubungan dengan rumah
sakit pengirim dan penerima selama dalam perjalanan.
Langkah-langkah pelaksanaan transport pasien di RSUD Mitra Sehat
diatur sebagai berikut :
1. Menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien yang berhak, tentang
risiko dan manfaat pemindahan dan selanjutnya mendapatkan
Surat Persetujuan Dirujuk (informed consent).
2. Dokter yang mengirim menghubungi dokter yang akan
menerima/rumah sakit tujuan untuk menyatakan maksud
konsultasinya sekaligus menjelaskan keadaan pasien dan
tindakan/pengobatan yang sedang dilakukan. Semua data dicatat
dalam rekam medik.

39
3. Menghubungi pihak yang melayani transportasi tentang
kesediaannya membawa pasien dengan memberitahu keadaan
pasien, kebutuhan medik yang diperlukan dan melakukan
koordinasi tentang waktu transportasi.
4. Memberitahu petugas/perawat/dokter yang akan mengawal tentang
waktu keberangkatan dan peralatan yang harus dibawa.
5. Petugas yang mengawal minimum 2 orang yang terlatih untuk
memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD/BLS) dan Bantuan Hidup
Lanjut (BHL/ALS).

BAB V
LOGISTIK

Perlengkapan medik, meliputi :

1. Sumber oksigen berupa tabung / silinder atau titik oksigen sentral


yang dilengkapi dengan katup pengatur tekanan (regulator) dan
flowmeter.
2. Alat pelembab / humidifikasi oksigen, pipa karet / plastik yang
dilengkapi dengan kanula nasal dan sungkup muka.
3. Sumber gas gelak (N2O) berupa tabung / silinder atau titik N 2O
sentral.
4. Alat penghisap lendir portable atau titik hisap sentral, pipa karet
penghubung, botol penampung dan kateter hisap.
5. Bedside monitoring untuk memantau frekuensi nadi, irama jantung
(elektrokardiogram 3 atau 5 lead), saturasi oksigen (pulse oximetry)

40
tekanan darah (noninvasive blood pressure cuff,) dan suhu
(termometer).
6. Stetoskop prekordial dan atau esofageal.
7. Mesin anestesia standar yang memliki meter aliran O 2 / N2O (Boyle
Gas Machine) yang dilengkapi dengan alat penguap (vaporizer) a.l :
halotan / enfluran / isofluran / sevofluran / desfluran, sirkuit
pernafasan dengan penyerap CO2 (circle absorber) dan terdapat
disconnect alarm serta adanya O2flush. Mesin anestesia ini harus
dilengkapi dengan ventilator.
8. Laringoskop dengan berbagai daun (blade).
9. Pipa jalan nafas oro/nasofaring dan pipa trakea berbagai ukuran
dengan penghubung pipa (tube connector).
10. Cunam Magill, stilet pipa trakea, sikat pembersih pipa trakeal.
11. Pembuka mulut (Fergusson Mouth Gag).
12. Sungkup muka transparan berbagai ukuran dan respiratory bag
sesuai pasien.
13. Peralatan tambahan untuk sistem anestesi semi open dan Jackson
Reese.
14. Peralatan analgesia regional berupa jarum spinal, jarum epidural,
kateter epidural berbagai ukuran dalam keadaan steril.
15. Defibrilator. (cukup satu unit untuk setiap kompleks kamar bedah)
16. Monitor CO2 (capnograph)
17. Respirometer.
18. Alat pelindung gigi.
19. Alat komunikasi (interkom)

41
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

A. Pengertian

Keselamatan Pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah


sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi ;
assesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar
dari insiden dan tindaklanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat
mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang
seharusnya dilakukan.

B. Tujuan

42
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien yang dilayani oleh staf
Instalasi Anestesiologi
2. Meningkatnya akuntabilitas Instalasi Anestesiologi terhadap pasien
dan masyarakat
3. Menurunnya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di Instalasi
Anestesiologi
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan Kejadian Tidak Diharapkan

C. Tata Laksana Keselamatan Pasien


1. Membentuk Tim Keselamatan Pasien
2. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan insiden/Kejadian Tidak
Diharapkan kepada Komite Mutu dan Keselamatan Pasien
3. Memenuhi standar keselamatan pasien Instalasi Gawat Darurat dan
menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan rumah sakit,
yaitu :
a. Hak pasien
b. Mendidik pasien dan keluarga
c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
d. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan
pasien
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien
4. Melaksanakan monitoring dan evaluasi terkait dengan pelaksanaan
keselamatan pasien di unit anestesiologi

43
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

A. Pengertian
Keselamatan Kerja adalah upaya untuk memberikan jaminan
keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan pekerja dengan cara
pencegahan kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja (PAK), pengendalian
bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi,
penanggulangan kebakaran dan kewaspadaan bencana.

B. Tujuan Umum :
Terciptanya lingkungan kerja yang aman, sehat dan produktif untuk
pekerja, aman dan sehat bagi pasien, pengunjung, masyarakat dan
lingkungan sekitar Instalasi Gawat Darurat sehingga proses pelayanan
berjalan baik dan lancar.

44
C. Tujuan Khusus :
1. Terwujudnya organisasi kerja yang menunjang tercapainya K-3 di
Rumah Sakit (K-3 RS)
2. Meningkatnya profesionalisme dalam hal K-3 bagi manajemen, pelaksana
dan pendukung program
3. Terpenuhinya syarat-syarat K-3 di Instalasi Anestesiologi
4. Terlindunginya pekerja dan mencegah terjadinya PAK dan KAK
5. Terselenggaranya program K-3 di Instalasi Anestesiologi secara optimal
dan menyeluruh
6. Meningkatkan mutu, citra dan produktivitas Instalasi Anestesiologi

D.Ruang Lingkup
Standar K-3 Instalasi anestesiologi mencakup ; kebijakan
pelaksanaan (mengacu kepada kebijakan Rumah Sakit), standar sarana,
prasarana dan peralatan K-3, pengelolaan jasa dan barang berbahaya,
standar Sumber Daya Manusia K-3, pembinaan, pengawasan, pencatatan
dan pelaporan.

E. Dasar Hukum
1. Undang-Undang RI No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2. Undang-Undang RI No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Undang-Undang RI No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 876/Menkes/SK/VIII/2001
tentang Pedoman teknis analisis dampak kesehatan lingkungan
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1405/Menkes/SK/XI/2002
tentang Persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan
industri
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1204/Menkes/SK/X/2004
tentang Persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
Per.02/Men/1980 tentang Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam
penyelenggaraan keselamatan kerja

45
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
Per.04/Men/1980 tentang Syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan
Alat Pemadam Api Ringan (APAR)
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 472/Menkes/Per/V/1996
tentang Pengamanan bahan berbahaya bagi kesehatan
10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1981 tentang
Kewajiban melaporkan penyakit akibat kerja

F. Prinsip K-3 Instalasi Anestesiologi


Prinsip K-3 RSUD Mitra Sehat dapat dipahami secara utuh, perlu
diketahui pengertian 3 (tiga) komponen yang saling berinteraksi, yaitu :
1. Kapasitas kerja adalah status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik
serta kemampuan fisik yang prima setiap pekerja agar dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik. Contoh : bila seorang pekerja
kekurangan zat besi yang menyebabkan anemia, maka kapasitas kerja
akan menurun karena pengaruh kondisi lemah dan lesu.

2. Beban kerja adalah beban dan mental yang harus ditanggung oleh
pekerja dalam melaksanakan tugasnya. Contoh : pekerja yang
melebihi waktu kerja maksimum dll.

3. Lingkungan kerja adalah lingkungan terdekat dari seorang


pekerja.Contoh : seorang yang bekerja di Instalasi Radiologi, maka
lingkungan kerjanya adalah ruangan-ruangan yang berkaitan dengan
proses pekerjaannya di Instalasi Radiologi (kamar X-Ray, kamar gelap,
kedokteran nuklir dan lain-lain).

46
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

1. Evaluasi internal
Rapat audit berupa pertemuan tim anastesia yang membahas
permasalahan layanan (termasuk informed consent, keluhan
pasien,komplikasi tindakan,efisiensi dan efektifitas layanan). Audit
medic dilakukan secara berkala untuk menilai kinerja keseluruhan
pelayanan anesthesia oleh komite medic

2. Evaluasi eksternal
Lulus akreditasi Rumah Sakit

3. Evaluasi standar prosedur operasional pelayanan Anestesiologi dan


terapi intensif di Rumah Sakit dilakukan secara berkala sesuai
kebutuhan

47
BAB IX
PENUTUP

Pelayanan di Instalasi Anestesiologi sebaiknya dilakukan oleh suatu


tim yang solid dan terdiri dari berbagai disiplin ilmu, karena pasien yang
menerima pelayanan adalah pasien yang memerlukan penangan yang
terpadu dan memerlukan tunjangan alat yang memadai .
Standar pelayanan anestesiologi ini dibuat sebagai pedoman kerja
dari setiap petugas dalam memberikan layanan anestesia yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi dari RS itu sendiri
Standar ini bisa dilakukan perubahan/revisi tiap 3 tahun
sekali,tergantung dari perkembangan ilmu dan teknologi serta SDM yang
ada.

48
49

Anda mungkin juga menyukai