Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ANESTESI UMUM

Pembimbing :
dr. Ade Nurkacan, Sp. An
dr. H.Ucu Nurhadiat, Sp. An
dr. Catur Pradono, Sp. An

Penyusun :
Cintantya Prakasita
030.13.046

Kepanitraan Klinik Ilmu Anestesi


Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Periode 11 Desember – 12 Januari 2018
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
petunjuk-Nya saya dapat menyelesaikan referat berjudul anestesi umum ini tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW semoga
rahmat dan hidayah-Nya selalu tercurah kepada kita.
Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepanitraan klinik di bagian
Anestesi RSUD Karawang. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada, dr. Ucu Nurhadiat, Sp.An dan dr. Ade Nurkacan,
Sp.An, dr. Catur Pradono, Sp.An selaku dokter pembimbing dalam kepanitraan klinik
Anestesi ini dan rekan-rekan koas yang ikut membantu memberikan semangat dan
dukungan moril.
Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang
Anestesi khususnya dan bidang kedokteran yang lain pada umumnya.

Karawang, Desember 2017

Penulis
Cintantya Prakasita
LEMBAR PERSETUJUAN

Referat dengan judul:


“ANESTESI UMUM”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat


untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Anestesi
di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Periode 11 Desember – 12 Januari 2018

Pada Hari Senin, Tanggal 18 Desember 2017

Karawang, 18 Desember 2017


Pembimbing,

(dr. Ucu Nurhadiat, Sp.An)


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….


DAFTAR ISI ………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………..
BAB III KESIMPULAN …………………………………………………………….
BAB 1V DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesia merupakan tindakan yang dilakukan untuk membuat pasien dari


sadar menjadi tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian anestesi dengan
tujuan untuk menghilangkan nyeri saat pembedahan.
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum
dan anestesi lokal. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang
reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh
tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi lokal adalah anestesi pada sebagian
tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen
anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasanpemantauan fungsi-
fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup induksi,
maintenance, dan pemulihan.
Anestesi yang bertindak sebagai obat yang meniadakan nyeri selama proses
pembedahan juga memiliki resiko tinggi terhadap kehidupan pasien. Selain memberi
obat yang berkomponen untuk menidurkan pasien, stabilisasi pasien juga tetap harus
di perhatikan meliputi keseluruhan tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kata anesthesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karema pemberian
obat yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesiologi
adalah ilmu kedokteran yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan rumatan
pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan.
Anestesi tidak dapat dipisahkan dari pembedahan dan berbagai prosedur medis
lainnya yang menimbulkan rasa sakit. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan
nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversible). Trias Anestesia, yaitu hipnotik, analgesia dan relaksasi.(1)

Obat anestesi juga harus memiliki beberapa sifat yang ideal untuk pasien. Sifat
anestesi umum yang ideal adalah:

1. bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik,

2. cepat mencapai anestesi yang dalam,

3. batas keamanan lebar;

4. tidak bersifat toksis. (2)

2.2 Managemen Perioperatif


Prosedur anestesi secara keseluruhan dimulai sejak periode pra-
anestesi/prabedah hingga pasca anestesi. Ketiga periode ini dikenal dengan periode
perioperatif. Tujuan utama manajemen perioperatif adalah untuk mempersiapkan
pasien seoptimal mungkin serta meminimalkan komplikasi anestesi dan/atau
pembedahan yang akan dijalankan.
2.2.1 Periode prabedah
Pada periode ini bertujuan untuk mencari kemungkinan penyulit-penyulit
anestesi atau tindakan pembedahan. Secara garis besar, dibawah ini adalah hal-hal
yang dapat dilakukan pada kunjungan pra-anestesi:
1. Anamnesis
Riwayat anestesi sangatlah penting untuk mengetahui apakah pasien mengalami
alergi, mual-mutah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita
dapat merancang anestesi berikutnya dengan lebih baik.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi
nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk
mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan sputum. Kebiasaan minum alkohol harus
dicurigai adanya penyakit hepar

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk mengetahui apakah ada penyulit saat dilakukan intubasi. Pemeriksaan
keadaan umum juga juga harus dilakukan.

3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebaiknya sesuai dengan indikasi penyakit
yang dicurigai seperti pemeriksaan Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan. Usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
EKG dan foto rontgen thoraks.

4. Status fisis

Setelah semua data telah didapatkan, dokter anestesiologis menentukan status


fisis pasien. Klasifikasi status fisis yang disusun oleh American Society of
Anesthesiologists (ASA) telah dikenal dan digunakan secara luas.
 ASA I : Pasien sehat yang akan menjalani operasi
 ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa
pembatasan aktivitas
 ASA III : pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi
aktivitas rutin
 ASA IV : pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin, yang mengancam
nyawanya setiap waktu
 ASA V : pasien yang dengan atau tanpa pembedahan diperkirakan
meninggal dalam 24 jam
 ASA VI : pasien mati batang otak yang ingin mendonorkan organnya
 E : cito atau emergency

5. Puasa
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi maka untuk meminimalkan resiko
tersebut, Lamanya waktu puasa hendaknya ditentukan berdasarkan umur
pasien, kondisi fisis dan rencana operasi.

Pada umumnya pasien dewasa perlu waktu 6-8 jam, anak kecil perlu 4-6
jam, dan bayi 3-4 jam. Cairan bening boleh diminum sedikit-sedikit hingga 2
jam prabedah. Sangat perlu juga menjelaskan tujuan puasa adalah demi
keselamatan pasien karena dapat mencegah penumonia aspirasi yang berakibat
fatal.

6. Premedikasi

Premedikasi termasuk hal yang dapat menjadi rutinitas selama periode


prabedah. Tidak semua pasien memerlukan premedikasi sehingga pemberian obat-
obatan premedikasi harus didasari tujuan, indikasi dan pilihan yang tepat. Biasanya
diberikan dalam waktu 1-2 jam sebelum operasi. Tujuan premedikasi adalah sebagai
berikut:
 Meredakan kecemasan

 Memperlancar induksi anestesia

 Mengurangi kelenjar lundah dan bronkus

 Meminimalkan jumlah obat anestesi

 Mengurangi mual-muntah pasca bedah

 Menciptakan amnesia

 Mengurangi isi cairan lambung


 Mengurangi refleks yang membahayakan

2.2.2 Periode Intrabedah


Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau rectal. Setelah
pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan
anestesia sampai tindak pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi diperlukan pemeriksaan kelengkapan alat sehingga
apabila terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Berikut
adalah akronim untuk memudahkan dalam proses persiapan STATICS:
o S = Scope Stetoscope, untuk mendengarkan suara paru dan jantung
Laringo-scope, pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan
lampu harus terang
o T = Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien. <5 tahun tanpa cuffed
dan >5 tahun dengan cuffed
o A = Airway Guedel, orotracheal airway/nasotracheal airway. Alatini
berfungsi untuk menahan lidahh saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas
o T = Tape Plaster untuk fiksasi pipa
o I = Inroducer Mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik yang
mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea
mudah dimasukka
o C = Connector Penyambung antara pipa dengan alat anestesia
o S = Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya(6)

Tatalaksana jalan napas


1. Hidung
Menuju nasofaring
2. Mulut
Menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan
palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring
menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke
trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan
sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
A. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas,
sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat
hidung (naso-pharyngeal airway).
C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi
ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor
dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat
berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga
supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui
mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara
garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi.

Indikasi intubasi trakea


Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara
pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret


jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas

Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea

Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan
catatan tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya.(3)

Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan, apalagi bila sudah terpasang jalur vena
(infus). Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, pelan-pelan dan terkendali.
Obat induksi disuntikan dalam kecepatan antara 30 - 60 detik. Selama induksi anestesi,
pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.
Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Jenis - jenis obat induksi intravena :
1. Tiopental (tiopenton, pentotal)

Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml
= 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan
perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien
berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.

2. Propofol (Recofol, diprivan)

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan
kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena
total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3
tahun dan pada wanita hamil.

3. Ketamin (Katalar)

Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi,


nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan
mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum)
atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi
salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam
cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg

4. Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanil)


Untuk induksi diberikan dosis tinggi, opioid tidak mengganggu sistem
kardiovaskuler sehingga banyak digunakan untuk pasien dengan kelainan jantung.
Untuk anestesi opioid digunakan fentanyl dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dengan dosis rumtan 0,3-1 mg/kg/menit. (1,3)

Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur

Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi biasa dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini biasa dikerjakan pada bayi atau anak-anak yang belum terpasang jalur
vena atau pada orang dewasa yang takut dengan suntik.
1. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya
1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat
anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.

2. Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup
dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4%
atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,
terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan
kadar gula darah.

3. Enfluran (etran, aliran)


Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan,
tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik
lebih baik disbanding halotan.

4. Isofluran (foran, aeran)


Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguan koroner.

5. Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya
seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesi.

6. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk
induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

Ruwatan (Maintennace) Anestesi


Ruwatan anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena atau dengan
campuran intravena inhalasi. Ruwatan anestesia biasanya mengacu pada trias
anestesia yaitu tidur ringan (hipnotis), analgesia cukup, diusahakan agar selama
pembedahan tidak menimbulakan nyeri dan relaksasi otot yang cukup.
Ruwatan anestesi intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanyl 10 - 50 microgram/ kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien
tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot,
ruwatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
ditidurkan dengan infus propofol 4 -12 mgkbBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot
dan ventilator, untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2
atau N2O + O2.(1,5,6)
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4
vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau
dikendalikan (4)

Obat Muscle Relaxant


 Bekerja pd otot bergaris  terjadi kelumpuhan otot napas & otot-otot
mandibula, otot intercostalis, otot-otot abdominalis & relaksasi otot-otot
ekstremitas.
 Bekerja pertama: kelumpuhan otot mata ekstremitas  mandibula
intercostalis abdominal diafragma.
 Pd pemberian pastikan penderita dapat diberi napas buatan.
 Obat ini membantu pd operasi khusus spt operasi perut agar organ abdominal
tdk keluar & terjadi relaksasi
 Terbagi dua: Non depolarisasi, dan depolarisasi

Depolarisasi Non Depolarisasi


Sediaan Suksinilkolin, dekametonium Tubokurarin/kurare, Atrakurium
Besilat, vekuronium, matokurin,
alkuronium, Pankuronium
(Pavulon), galamin, fasadinium,
rekuronium,
indikasi tindakan relaksasi singkat tindakan relaksasi yg lama.
pemasangan pipa pada geriatri, kelainan jantung,
endotracheal/spasme laring hati, ginjal yang berat
durasi 5-10 mnt 30 mnt – 1 jam
fasikulasi + -
Obat antagonis - + (antikolinesterase, mis:
prostigmin)
lewat barier plasenta - (aman pada SC)
Efek muskarinik < + (bradikardi, hipersekresi,
cardiac arrest)
Hiperkalemi + -
Pelepasan histamin + Tubokurarin/kurare(+)
(hipotensi, Pankuronium (-)
hipersekresi asam
lambung, spasme
bronkhus)
Efek samping - Menurunnya atau
meningkatnya HR dan BP
- Myalgia post op
- Meningkat tekanan
intragaster, intraokuler dan
intrakranial
- Malignant hyperthermia
- Myoklonus

 Durasi
 Ultrashort (5-10 menit): suksinilkolin
 Short (10-15 menit) : mivakurium
 Medium (15-30 menit) : atrakurium, vecuronium
 Long (30-120 menit) : tubokurarin, metokurin , pankuronium,
pipekuronium, doksakurium, galamin

 Efek terhadap kardiovaskuler


 tubokurarin , metokurin , mivakurium dan atrakurium : Hipotensi
pelepasan histamin dan (penghambatan ganglion)
 pankuronium : menaikkan tekanan darah
 suksinilkolin : aritmia jantung

2.2.3 Periode Pascabedah


Setelah selesai tindakan pembedahan, paseien harus dirawat sementara di
ruang pulih sadar (recovery room : RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami
komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan
(bangsal perawatan). PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang
operasi. Hal ini disebabkan untuk mempermudah akses bagi pasien untuk (1) perawat
yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat anastesi) (2) ahli anastesi dan
ahli bedah (3) alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk
dikeluarkan dari PACU adalah :
• Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
• Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
• Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
• Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang
• Haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam
• Mual dan muntah dalam kontrol
• Nyeri minimal
Pemantauan standar dilakukan sesuai kriteria Aldrette yang dimodifikasi, yaitu:

Kriteria Skor Kondisi


Aktivitas 2 Mampu menggerakan 4 ekstremitas, dengan/tanpa perintah
1 Mampu menggerakan 2 ekstremitas, dengan/tanpa perintah
0 Tidak mampu menggerakan semua ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernapas dalam dan batuk dengan bebas
1 Bernapas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra anestesia
1 TD 20-50 mm dari nilai pra anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra anestesi
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun jika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi O2 2 Mampu pertahankan saturasi O2 > 92 % dengan udara
1 kamar
0 Memerlukan inhalasi O2 untuk pertahankan saturasi >90%
Saturasi O2 <90% meski dengan inhalasi O2

Untuk dapat keluar dari ruang pemulihan dibutuhkan skor ≥ 9. (6)

2.3 Stadium Anestesi


Stadium 1 : Stadium analgesia atau induksi
- Induksi  kesadaran hilang
- Berakhir : refleks bulu mata hilang

Stadium 2 : stadium hipersekresi atau eksitasi atau delirium


- Kesadaran (-)/ refleks bulu mata (-) ----- ventilasi teratur
- Terjadi depresi pada ganglia basalis  rx berlebihan bila ada rangasang
(hidung, cahaya, nyeri, rasa, raba)

Stadium 3 :
Disebut Stadium Pembedahan; ventilasi teratur ---- apneu, terbagi 4 plana :
Plana 1:- Ventilasi teratur : torako abdominal
- Pupil terfiksasi, miosis
- Refleks cahaya (+)
- Lakrimasi 
- Refleks faring dan muntah (-)
- Tonus otot mulai 

Plana 2 :- Ventilasi teratur : abdominaltorakal


- Volume tidal 
- Frekuensi nafas 
- Pupil : terfiksasi ditengah, midriasis
- Refleks cahaya 
- Refleks kornea (-)

Plana 3 :- Ventilasi teratur : abdominal dgn kelumpuhan saraf interkostal


- Lakrimasi (-)
- Pupil melebar dan sentral
- Refleks laring dan peritoneum (-)
- Tonus otot 

Plana 4 : - Ventilasi tidak teratur dan tidak adequat ok otot diafragma


lumpuh ( tonus otot tidak sesuai volume tidal)
- Tonus otot 
- Pupil midriasis
- Refleks sfingter ani dan kelenjar lakrimalis (-)

Stadium 4 : Stadium paralisis


- Disebut juga stadium kelebihan obat.
- Terjadi henti nafas sampai henti jantung
N : Pupil miosis
(-) : Stadium 3 plana 3

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum:


 Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial
tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane
alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika,
sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial
dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
 Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam
alveolus.
 Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
 Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Factor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus
dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap
jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika
dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam
keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
tingkat anesthesia yang adekuat.

 Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon.
 Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-
beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC
(minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu
konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara alveolus yang mampu
mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit.
Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut.
2.5 Efek Samping Anestesi Umum
Anestesi umum dapat menekan seluruh fungsi tubuh, termasuk
pernapasan, denyut jantung, aliran darah, saluran cerna, serta refleks menelan,
batuk, atau memuntahkan benda asing yang masuk ke dalam paru-paru. Karena
itu, dokter anestesi harus mengawasi kondisi secara seksama selama
pembedahan berlangsung. Beberapa efek samping anestesi umum di antaranya:
 Mual dan muntah segera setelah operasi.
 Kedinginan dan menggigil hingga 30 menit setelah operasi.
 Bingung, sulit berpikir jernih, dan amnesia. Gangguan ini bersifat
sementara dan biasanya terjadi pada lansia.
 Pusing berputar.
 Gangguan berkemih, baik sulit buang air kecil atau mengompol.
 Nyeri tenggorok atau cedera bibir dan gigi akibat intubasi
Selain efek samping di atas, ada beberapa efek samping serius tetapi jarang terjadi,
yaitu;(6)
 Serangan jantung, gagal jantung, atau stroke.
 Tekanan darah meningkat atau menurun.
 Pneumonia alias infeksi paru-paru atau gangguan pernapasan lainnya.
 Kegagalan pemasangan selang pernapasan.
 Alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat-obatan anestesi.
 Kerusakan otot dan peningkatan suhu tubuh secara mendadak
 Kematian
Karena sifatnya yang mempengaruhi seluruh tubuh, kemungkinan timbulnya efek
samping pada anestesi umum akan lebih besar dibanding anestesi lokal ataupun
regional. Meski demikian, efek samping ini umumnya bersifat ringan dan dapat
diatasi dengan mudah. Efek samping yang serius juga sangat jarang terjadi pada orang
yang secara secara umum sehat.(1)

2.6 Keuntungan Anestesi Umum


 Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur
berlangsung
 Efek amnesia meniadakan ingatan buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang bisa menyebabkan
trauma psikologis
 Memungkinkan dilakukannya tindakan yang butuh waktu lama
 Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien. (1)

2.7 Kerugian Anestesi Umum


 Memerlukan pemantauan yang lebih luas dan kompleks
 Sangat memengaruhi fisiologi, hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum
 Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya
perubahan kesadaran
 Risiko komplikasi pasca bedah lebih besar

Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama. (1)


TINJAUAN PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan M. Petunjuk Klinis Anestesiologi. Jakarta :


Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universits
Indonesia. Ed 2. 2004
2. Soenarto, Ratna. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen Anestesiologi
dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Miller DR, Pardo MC. Basic Of Anesthesia. 6th ed. USA: ELSEVIER; 2011

4. Carl L, Gwinnutt. Anestesi Klinis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Ed 3. s

5. Miller DR, Pardo MC. Basic Of Anesthesia. 6th ed. USA: ELSEVIER; 2011
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 5th ed. Mc Graw Hill education. 2013
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 5th ed. Mc Graw Hill education. 2013

Anda mungkin juga menyukai