KELOMPOK C1
ARZIA PRAMADI RAHMAN
I GDE ARIANA
IDA MADE HRISIKESA WJG
IVAN APRIAN AKBAR
LAILI KHAIRANI
L. MUH. NUH
Kasus 1
Seorang wanita berusia 20 tahun datang ke praktek dr.Lalu untuk meminta visum
atas
kejadian penganiayaan
yang dilakukanUNIVERSITAS
suaminya. Setelah melalui
FAKULTAS
KEDOKTERAN
pemeriksaan yang teliti, Dr.Lalu
yang baru lulus dan belum mempunyai STR,
MATARAM
JAWAB
1. Sarat Formal
Dalam kasus ini sarat formal masih belum terpenuhi. Jadi korban disini meiliki
status tetap sebagai pasien, bukan sebagai barang bukti. Hal ini dapat kita
lihat pada KUHAP pasal 133 ayat 1 dan 2;
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Jadi dari KUHAP tersebut dapat kita lihat bahwa yang berhak meminta visum
et repertum adalah penyidik atau hakim (dijelaskan pada pasal 180). Oleh
karena ini permintaan pasien untuk dilakukan visum et repertum disini tentu
tidak memenuhi sarat formal.
Akan
tetapi
pada
praktik
sehari-hari
tidak
dapat
dihindari
pasien
yang
temuan-temuan
yang
ada, kemudian
rekam
medis
tersebut diberikan sampul yang berbeda atau diberikan tanda serta dipisahkan
dengan pasien-pasien lainnya.
Kemudian kalau kita tinjau dari UU penghapusan KDRT, maka sarat formal ini
juga masih belum dapat terpenuhi, hal ini merujuk pada 21 ayat 2;
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana
kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Dalam
pasal
21
disebutkan
bahwa
seorang
dokter
dalam
memberikan
pelayanan kesehatan kepada korban seperti pada kasus ini harus dilakukan di
2. Sarat Materil
Yang
menjadi
kompetensi
masalah
dan
utama
profesionalitas
dalam
seorang
sarat
materil
dokter
ini
dalam
yaitu
bagaimana
profesinya. Sorotan
utama dalam kasus ini yaiitu dr. Lalu ini masih belum memiliki STR, dimana
STR ini diatur dalam UU praktek kedokteran dan KODEKI sebagai berikut;
Pasal 29
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda
registrasi dokter gigi.
Pasal 35
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai
wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan
kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
a. mewawancarai pasien;
b. memeriksa fisik dan mental pasien;
c. menentukan pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan diagnosis;
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
Pasal 38
(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36,
dokter atau dokter gigi harus :
a. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter
gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31,
dan Pasal 32;
b. mempunyai tempat praktik; dan
c. memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
KODEKI
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan medis dan moral sepenuhnya, disertai rasa
kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya , dan berupaya mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau melakukan penipuan atau
penggelapan dalam menangani pasien.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien , hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani
Dari pasal-pasal di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya dr.Lalu
ini masih belum boleh membuka praktek sendiri karna memang surat izin
praktik sendiri belum bisa dimiliki kalau belum memiliki STR. Selain itu, untuk
setiap tindakan seperti disebutkan dalam pasal 35 ayat 1 masih belum
mendapatkan suatu legalitas termasuk salah satunya yaitu membuat suatu
visum et repertum. Lebih jauh lagi pada KODEKI juga diatur beberapa hal
terkait
beberapa
kewajiban
dokter
dalam
bersikap
pasien, sejawat, serta hak tenaga kesehatan lain serta harus tetap menjaga
kepercayaan pasien, yang artinya melakukan tindakan praktek atau pada kasus
ini
membuat
suatu
visum
et repartum
tanpa
adanya
STR
melanggar
Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa sarat materil pada kasus
ini juga masih belum terpenuhi.
3. Prosedur permintaan visum et repertum
Yang
diutamakan
pada
kegiatan
ini
adalah
penanganan
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan:
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosia' dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
Pasal 26
1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga
kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian
perkara.
2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di
tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 21
1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban,tenaga kesehatan
harus:
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et
repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis
yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana
kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Keempat pasal di atas merupakan urutan dasar hukum pasien dalam melaporkan
kejadian KDRT yang dialaminya.
Setelah memenuhi hak-hak pada pasal 10, pasien melaporkan secara langsung
kepada kepolisian berdasarkan pasal 26. Kemudian kepolisian bekerjasama dengan
tenaga kesehatan berdasarkan dari pasal 17. Terakhir berdasarkan dari pasal 21,
tenaga kesehatan memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya
dan membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et
repertum atas permintaan penyidik kepolisian.
Jadi berdasarkan dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa korban harus
melaporkan terlebih dahulu kepada penyidik, kemudian penyidik tersebut yang dapat
meminta keterangan kepada ahli, yang mana disini merupakan seorang dokter yang
memiliki keahlian khusus pada bidangnya berdasarkan dari pasal 120 angka 1
KUHAP menyatakan :
Dalam hal dianggap perlu, penyidik dapat meminta pendapat ahli atau orang yang
memiliki keahlian khusus.
Dari kedua pasal diatas dapat disimpulkan bahwa yang berhak meminta bantuan
dokter sebagai ahli adalah:
1. Penyidik
2. Hakim
Pemeriksaan
f) Tidak menggunakan istilah asing
g) Ditandatangani dan diberi nama jelas
h) Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i) Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j) Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada
lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM,
dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat
diberi visum et repertum masing-masing asli
k) Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan
disimpan sebaiknya hingga 20 tahun
Pada setiap visum et repertum baik itu untuk cedera mata ataupun untuk
cedera lainnya ummnya tidak memiliki perbedaan, dimana strukturnya sebagai
berikut:
1. Pro Justitia
Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak
perlu bermeterai.
CONTOH :
Mataram, 13 Oktober 2010
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
No. /TUM/VER/VIII/2008
2. Pendahuluan
CONTOH :
Yang bertandatangan di bawah ini, Dedi Afandi, dokter spesialis forensik pada
RSUD Arifin
Achmad,
atas
permintaan
dari
kepolisian
sektor.........dengan
suratnya
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Warga negara :
Pekerjaan :
Agama :
Alamat :
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama
dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan
dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.
Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis
adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara
luka dengan titik anatomis permanen yang Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II
FK UR, September 2008 terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta
ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada
saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.
pemeriksaan
yang
memuat
seluruh
hasil
pemeriksaan,
baik
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka
pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau
perawatan yang
diberikan.
CONTOH :
HASIL PEMERIKSAAN :
1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit berat
mngeluh sakit kepala dan mata yang berat serta sempat pingsan setelah
pemukulan
2. Pada
korban
ditemukan
-------------------------------------------------------------------------a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan
belakang, empat senti meter diatas batas dasar tulang, dinding luka kotor,
sudut luka tumpul, berukuran tiga senti meter kali satu senti meter,
disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran empat sentimeter kali empat
senti meter -----------------------------------b. Pada
mata
kiri, ditemukan
adanya
pembengkakan
pada
kelopak
kepala
ringan.
mata
dan
pada
pemeriksaan
ditemukan
adanya ablasio retina dan robekan bola mata----------3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak
menunjukkan adanya patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri
menunjukkan
adanya
patah
tulang
lengan
atas
pada
pertengahan.
------------------------------------------------4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan pengobatan.
---------5.
Korban
dipulangkan
dengan
anjuran
kontrol
seminggu
lagi.--------------------------------
4. Kesimpulan
CONTOH :
KESIMPULAN
-------------------------------------------------------------------------------------------
Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan
cedera kepala ringan, ditemukan ablasio retina atau retina yang terlepas serta
adanya robekan bola mata. Penyakit ini telah menyebabkan halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian untuk sementara waktu.----------
5. Penutup
sumpah
atau
janji
lebih
dahulu
sebelum
melakukan
CONTOH :
Kasus 2
Sekelompok pria dewasa sedang berpesta buah durian. Salah satu diantara pria
terseut tersedak oleh biji durian, kemudian dibawa ke UGD RSU A. Dokter umum
tidak mau melakukan tindakan ekstraksi biji durian karena merasa tidak mampu dan
tidak berwenang. Pasien dirujuk ke RSU B. Meskipun telah dilakukan tindakan
ekstraksi oleh dokter THT, pasien mengalami kondisi yang tidak bisa pulih seperti
semula.
Dalam kasus ini, dokter A tidak melakukan pelanggaran terhadap good samaritan
law karena dokter A tidak melakukan tindakan apapun yang menimbulkan kerugian
pada pasien. Disamping itu, dokter A juga tidak memiliki kompetensi yang sesuai
dengan keadaan pasien.
Tindakan dokter A yang langsung merujuk pasien kepada dokter spesialis yang lebih
memiliki kompetensi untuk melakukan tindakan pada pasien sesuai dengan keadaan
yang dialaminya. Tindakan yang dilakukan oleh dokter A sudah sesuai dengan kode
etik kedokteran Indonesia pasal 10 & 13, dan UU no. 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran pasal 51 yang berbunyi :
suatu
pemeriksaan
atau
pengobatan,
maka
atas
dasar
Dalam kasus ini, pasien mengalami sumbatan jalan napas oleh karena benda asing.
Tindakan ekstraksi benda asing pada saluran napas termasuk level kompetensi 2
bagi dokter umum yang berarti dokter tesebut pernah melihat atau didemonstrasikan
mengenai keterampilan tersebut. Jadi dokter umum tidak berwenang untuk
melakukan tindakan ekstraksi benda asing pada pasien. Jadi keputusan dokter A
untuk merujuk pasien ke dokter yang lebih kompeten sudah benar. Namun dokter A
juga dapat dikatan melakukan kelalaian jika dalam proses perujukan pasien dokter A
tidak memenuhi standar perujukan yang telah ditentukan, misalnya meminta
persetujuan pasien dan menstabilisasi pasien, serta menyertakan informasi
mengenai penyakit pasien.
Melakukan terapi yang tidak sesuai dengan kondisi yang dialami pasien
Tidak semua kegagalan medik diakibatkan oleh malpraktek medik. Menurut WMA
kegagalan medik yang terjadi karena sesuatu yang tidak dapat di duga sebelumnya
(unforseeable) dan tidak disebabkan oleh kurangnya kemampuan dan pengetahuan
dokter dalam terapi tidak termasuk dalam malpraktek medik dan dokter tersbut tidak
harus mempertanggung jawabkannya. Hal ini tersirat dalam pernyataan WMA
sebagai berikut :
An injury occuring in the course of medical treatment which could not be foreseen
and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating
physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability
Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang tidak
seharusnya dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan atau situasi
yang sama. Bentuk kelalaian yang dapat dihukum adalah kelalaian yang dilakukan
oleh seseorang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati
dan telah mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Jadi jika seorang dokter
melakukan suatu tindakan yang sesuai dengan tingkat kompetensinya kepada
seorang pasien, namun selanjutnya menyebabkan kerugian pada pasien maka
dokter tersebut dapat dikatakan melakukan kelalaian medik .
Dalam suatu perbuatan atau tindakan medik dikatakan sebagai kelalaian medis
apabila memenuhi 4 unsur kelalaian yaitu :
Adanya hubungan dokter-pasien. Dalam hal ini dokter memiliki kewajiban untuk
melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan sesuai dengan kondisi
pasien.
Kasus 3
Seorang anak berusia 5 tahun mengalami katarak. 2 tahun yang lalu, anak tersebut
dibawa kontrol ke dokter puskesmas. Oleh dokter disarankan untuk menunda
operasi hingga usia anak dewasa dan katarak sudah matang. Namun sebulan
terakhir, anak tersebut sering kali terjatuh karena tidak bisa melihat. Dokter mata
yang melakukan pemeriksaan mengatakan bahwa retina mata si anak telah
mengalami atropi. Dengan demikian pasien telah mengalami kebutaan.
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara
cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 58
(1)
kesehatan
yang
melakukan
tindakan
penyelamatan
nyawa
atau
Kasus 4
Seorang anak menderita penyakit batuk, pilek, panas. Setelah diberi obat yang
berwarna merah, kuning, hijau di puskesmas, sekujur tubuh anak tersebut melepuh.
Kemudian pasien dirujuk ke RSU.
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
sekurang-kurangnya
mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 52
dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan
penjelasan
secara
lengkap
tentang
tindakan
medis
UU KESEHATAN no 36 th 2009
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
KESIMPULAN
Jadi menurut saya, jika seorang dokter sebelumnya tidak memenuhi hak-hak pasien
seperti mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, resiko
pengobatan,dan prognosis dari penyakit tersebut, maka dokter tersebut telah
melanggar hak-hak pasien dan dokter tersebut melakukan kesalahan.
Pasien berhak untuk mengetahui tindakan apa saja yang akan dilakukan oleh dokter
terhadapnya dan dokter berkewajiban untuk memenuhi hak-hak pasien.
Sebaliknya jika dokter sebelumnya sudah menjelaskan mengenai tentang tindakan
medis, resiko pengobatan,dan prognosis dari penyakit tersebut, maka dokter
Kasus 5
Seorang istri dokter mengalami kanker
kondisi pasien semakin memburuk sehingga harus dirawat di ICU dengan ventilator.
Sementara itu, dua buah ventilator yang dimiliki oleh RSU sedang dipakai oleh
pasien lainnya. Satu diantara pasien adalah seorang penderita AIDS yang telah
mengalami kondisi vegetative, sementara yang lain adalah seorang wanita hamil
G1P0A0 yang mengalami eklamsi.
Siapakah
diantara
ketiga
pasien
yang
patut
menggunakan
nasofaring untuk tatalaksana awal dilakukan fisioterapi dan radioterai. Kedua hal
tersbut
merupakan
tatalaksana
yang
efektif
dilakukan
untuk
menurunkan
wajib
bersikap
keterampilannya
tulus
ikhlas
dan
menggunakan
segala
ilmu
dan