Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hubungan pasien dengan dokter


2.1.1

Komunikasi efektif dokter pasien


Komunikasi adalah proses penyampaian dengan memberikan
informasi, pesan, atau gagasan kepada orang lain yang bertujuan agar
orang lain tersebut memiliki kesamaan informasi, pesan atau gagasan
dengan pengirim pesan (Effendy, 2003; Arianto, 2013).
Proses komunikasi yang baik dan efektif terdiri dari beberapa
elemen penting seperti digambarkan dalam skema berikut: (Schermertorn,
Hunt & Osborn, 1994)

Gambar 2.1 Bagan Teori Komunikasi (Wasisto et al, 2008; Schermertorn, Hunt &
Osborn, 1994)

Pesan yang disampaikan pada suatu komunikasi dimulai dari


adanya penyampaian pesan (message) oleh sumber pesan atau source yang
disampaikan (encoding) dalam bentuk verbal, tulisan, nonverbal, atau bisa
juga gabungan dari ketiganya. Pesan ini disampaikan melalui saluran
(channel) tertentu yang sesuai dengan kebutuhan saat komunikasi tersebut.
Penerima pesan (receiver) akan menerima pesan yang telah disampaikan
oleh pengirim pesan dan menerjemahkan (decoding) pesan tersebut sesuai
pesan yang dikirim oleh pengirim pesan. Dalam penyamapaian pesan
tersebut terdapat akan ada kendala (noise) yang mengganggu dalam
penyampaian pesan.
Dalam komunikasi terdapat beberapa faktor yang memperlancar
dan menghambat komunikasi. Faktor yang memperlancar komunikasi
diantaranya yaitu a) saling membutuhkan; b) menggunakan media; c)
menggunakan

bahasa

yang

mudah

dipahami

&

dimengerti;

d)

menggunakan bahasa isyarat (komunikasi non verbal); e) waktu yang


cukup; f) menguasai metode penyampaian (Pohan, 2011).
Faktor yang menghambat komunikasi diantaranya yaitu (Pohan,
2011):
a. Keterbatasan waktu sehingga tidak sempat berkomunikasi, tergesagesa dalam berkomunikasi, artinya tak memenuhi persyaratan
komunikasi,
b. Jarak psikologis biasanya terjadi akibat adanya perbedaan status
yaitu status sosial maupun status dalam pekerjaan,

c. Evaluasi dini seringkali pada orang sudah berprasangka atau


menarik kesimpulan sebelum menerima seluruh informasi dengan
d.
e.
f.
g.

baik,
Lingkungan yang tidak mendukung,
Suhu, panas atau dingin akan mengganggu komunikasi,
Ribut, lingkungan fisik yang tidak mendukung,
Keadaan fisik, perasaan pengirim pesan berpengaruh terhadap

suksesnya komunikasi,
h. Komunikator bermasalah pribadi, akan mengakibatkan pesan yang
disampaikannya juga kacau,
i. Komunikator yang sakit fisik seperti suara sengau, gagap, dan
sebagainya, akan mengakibatkan pesan yang disampaikan tidak
jelas tertangkap oleh sasaran.
Komunikasi antara dokter dan pasien yang efektif yaitu komunikasi
yang terjadi dua arah, dimana dokter maupun pasien sama-sama bisa
bertindak sebagai pengirim atau penerima pesan. Pesan yang disampaikan
oleh dokter kepada pasien perlu dilakukan klarifikasi kembali untuk
memastikan kepahaman dari pasien tersebut (Rumanti, 2002).
Efektifitas komunikasi akan terjadi secara maksimal jika dalam
proses tersebut paling tidak harus memenuhi lima komponen berikut
(Rumanti, 2002):
a. Adanya

kesamaan

kepentingan

antara

komunikator

dengan

komunikan,
b. Adanya sikap yang saling mendukung dari kedua belah pihak,
c. Terdapat sikap positif dari keduanya, yaitu sikap saling menerima
pikiran atau ide yang disampaikan,

d. Sikap terbuka antara kedua pihak,


e. Masing-masing pihak mencoba menempatkan diri pada mitra
wicaranya.

2.1.2

Komunikasi efektif dan hubungan pasien dengan dokter


Tujuan komunikasi efektif yang dilakukan oleh dokter dan pasien
adalah untuk menggali secara lengkap dan akurat setiap keluhan yang
disampaikan oleh pasien guna membantu menegakkan suatu diagnosis atau
membantu memberikan pilihan serta dukungan kepada pasien dalam
mengambil suatu keputusan terapi (Wasisto et al, 2008; Kurtz, 1998).
Terdapat dua komunikasi yang digunakan dalam hubungan dokter
pasien (Wasisto et al, 2008; Kurtz, 1998):
a. Disease centered communications style, merupakan komunikasi yang
didasarkan atas kepentingan kepentingan dokter dalam usaha
menegakkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan penalaran klinik
mengenai tanda dan gejala,
b. Illness centered communications style, merupakan komunikasi
berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya secara
individu merupakan pengalaman unik, termasuk pandapat pasien, apa
yang menjadi kepentingannya, apa kekhawatirannya, apa yang
dipikirkannya akan menjadi akibat dari penyakitnya.
Penelitian tentang kejelasan informasi yang diterima oleh pasien
pernah dilakukan di Rumah Sakit Umum William Booth Semarang melalui

survey yang dilakukan dengan menyebarkan angket pada 20 pasien dengan


hasil, yaitu dokter menjelaskan mengenai penyakit yang diderita (90%),
pengobatan yang diperoleh (50%), resiko penyakit yang diderita (20%),
manfaat tindakan yang dilakukan (45%), resiko dari tindakan yang akan
dilakukan (15%), kemungkinan alternative yang lain (0%), prognosa
operasi (25%), pemantauan hasil pengobatan (5%), dan biaya pengobatan
(60%) (Sarimin, 2006).
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa tingkat kejelasan pasien
tentang informasi yang diberikan dokter masih belum maksimal dan tentu
saja akan mempengaruhi tingkat pemahaman dari pasien yang menerima
informasi tersebut.

2.2 Kewajiban dan Hak Dokter


2.2.1

Kewajiban Dokter
Kewajiban dokter atau dokter gigi yang diatur dalam UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran antara lain
(UU Kesehatan, 2004):
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien,
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang memiliki keahlian
dan kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan,

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,


bahkan setelah pasien meninggal dunia,
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain yang bertugas mampu malakukannya,
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dijelaskan bahwa
seorang dokter memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan atau
informasi yang lengkap dan jelas mengenai tindakan yang akan dilakukan
terhadap pasien seperti yang dicantumkan dalam pasal 56 yaitu setiap
orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap (UU
Kesehatan, 2009).
2.2.2

Hak Dokter
Hak dokter atau dokter gigi yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran antara lain (UU
Kesehatan, 2004):
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar profesi dan standar prosedur
operasional,
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional,

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau


keluarganya,
d. Menerima imbalan jasa.

2.3 Kewajiban dan Hak Pasien


2.3.1

Kewajiban Pasien
Kewajiban pasien menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Pasal 53 Tentang Praktik Kedokteran dinyatakan sebagai berikut (UU
Kesehatan, 2004):
a. Memberikan informasi yang jelas, lengkap, dan jujur mengenai
masalah kesehatannya,
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter maupun dokter gigi,
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan,
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang telah diterima.

2.3.2

Hak Pasien
Hak pasien yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran adalah sebagai berikut (UU Kesehatan,
2004):

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis


sebegaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) yang meliputi:
1) diagnosis dan tata cara tindakan medis
2) tujuan tindakan medis yang dilakukan
3) alternatif tindakan lain dan risikonya
4) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
5) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain (second opinion),
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis,
d. Menolak tindakan medis,
e. Mendapatkan isi rekam medis (menurut Konsil Kedokteran Indonesia
diartikan sebagai dapat mengutarakan maksud dan tujuan dengan jelas
kepada dokter, dan bukan berarti pasien membuat fotokopi dari rekam
medis).
Hak pasien lainnya diakui oleh World health Organisation (WHO)
namun belum tercermin dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku
di Indonesia yaitu (Mulyohadi Ali et al, 2006):
a. Mendapatkan pelayanan medis tanpa mengalami diskriminasi ras,
suku, warna kulit, asal, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan
fisik, orientasi seksual, aliran politik, pekerjaan, dan sumber dana
untuk membayar,

b. Menerima atau menolak untuk dilibatkan dalam penelitian, dan jika


bersedia ia berhak memperoleh informasi yang jelas tentang penelitian
tersebut,
c. Mendapat penjelasan tentang tagihan biaya yang harus dibayar.

2.4 Kewajiban dan Hak Rumah Sakit


2.4.1

Kewajiban Rumah Sakit


Kewajiban Rumah Sakit menurut Undang-undang No 44 Tahun
2009 Pasal 29 tentang Rumah Sakit adalah sebagai berikut (UU Rumah
Sakit, 2009):
a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit
kepada masyarakat,
b. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti
diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien
sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit,
c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya,
d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana,
sesuai dengan kemampuan pelayanannya,
e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagimasyarakat tidak mampu atau
miskin,
f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas
pelayanan pasien tidak mampu/ miskin, pelayanan gawat darurat tanpa

uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian


luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan,
g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga

standar mutu

pelayanan

kesehatan di Rumah Sakitsebagai acuan dalam melayani pasien,


h. Menyelenggarakan rekam medis,
i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain
sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita
menyusui, anak-anak, lanjut usia,
j. Melaksanakan sistem rujukan,
k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi
dan etika serta peraturan perundang-undangan,
l. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien,
m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien,
n. Melaksanakan etika Rumah Sakit,
o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan
bencana,
p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara
regional maupunnasional,
q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran
atau kedokterangigi dan tenaga kesehatan lainnya,
r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit
(hospital by laws),

s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas


Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas,
t. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan
tanpa rokok.

2.4.2

Hak Rumah Sakit


Hak Rumah Sakit menurut Undang-undang No 44 Pasal 30 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit adalah sebagai berikut (UU Rumah Sakit,
2009) :
a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasisumber daya manusia sesuai
dengan klasifikasiRumah Sakit,
b. Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi,
insentif,

dan

penghargaan

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan,
c. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan
pelayanan,
d. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
e. Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian,
f. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan,
g. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

h. Mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit
yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan.

2.5 Informed Consent


2.5.1

Definisi Informed Consent


Informed Consent adalah kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya
medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah mendapat
informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk
menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin
terjadi. Informed consent juga merupakan istilah yang merujuk pada
proses ikut menentukan tindakan oleh pasien setelah ia mendapatkan
informasi yang lengkap mengenai tindakan medis yang akan diberikan
(Komalawati, 1989).

2.5.2

Bentuk Informed Consent


Bentuk Informed Consent dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Afif, 2014):
a. Implied Consent, adalah persetujuan yang bersifat tersirat atau tidak
dinyatakan. Pasien dapat saja melakukan gerakan tubuh yang
menyatakan bahwa mereka mempersilahkan dokter melaksanakan
tindakan kedokteran yang dimaksud. Misalnya adalah bila pasien
menggulung lengan bajunya dan meyodorkan lengannya pada saat
dokter menanyakan mau atau tidaknya diukur tekanan darahnya atau

saat

dilakukan

pengambilan

darah

vena

untuk

pemeriksaan

laboratorium,
b. Expressed Consent, adalah persetujuan yang dinyatakan. Pasien dapat
memberikan persetujuan dengan menyatakan secara lisan (oral
consent) ataupun tertulis (written consent).
Persetujuan yang paling sederhana ialah persetujuan yang
diberikan secara lisan, misal untuk tindakan-tindakan rutin. Tindakan
invasif tertentu dan tindakan lain yang kompleks yang mempunyai risiko
yang kadang-kadang tidak dapat diperhitungkan dari awal dan yang
mempunyai risiko yang tinggi, memperoleh persetujuan yang yang tertulis
agar suatu saat apabila diperlukan persetujuan itu dapat dijadikan bukti
(Afif, 2014).
Persetujuan yang dibuat secara tertulis tersebut tidak dapat dipakai
sebagai alat untuk melepaskan diri dari tuntutan apabila terjadi suatu yang
merugikanpasien. Hal ini harus diingat karena secara etik dokter
diharapkan untuk memberikan yang terbaik bagi pasien. Apabila dalam
suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter
tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula
dari pihak pasien, mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal
diluar dugaan karena harus ada bukti-bukti yang menunjukkan adanya
kelalaian. Dalam hal ini, harus dibedakan antara kelalaian dan kegagalan.
Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah disebutkan

dalam persetujuan secara tertulis, maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh
sebab itu, untuk memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk
menghindari adanya salah satu pihak yang dirugikan, dokter wajib
memberikan

informasi

sejelas-jelasnya

agar

pasien

dapat

mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya (Afif, 2014).

2.5.3

Cara Penyampaian Informed Consent


Cara penyampaian dilakukan secara lisan, karena untuk teknis
pelaksanaannya akan dilaporkan atau dicantumkan di dalam rekam medik
pasien. Setelah penjelasan diberikan oleh dokter, pasien atau keluarganya
harus menandatangani pernyataan yang berisi kesediaan untuk melakukan
tindakan medis, menyadari resikonya dan tidak akan menuntut dokter yang
merawatnya. Setelah pasien siap untuk melakukan tindakan yang berisiko
tersebut, dimana seorang dokter atau petugas kesehatanpun tidak berani
menjamin hasilnya, dengan alasan seorang dokter atau petugas medis
bukan garantor keberhasilan atau kesembuhan pasien. Informed consent
baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur yaitu
a) keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter; b) kompetensi
pasien dalam memberikan persetujuan; c) kesukarelaan (tanpa paksaan
atau tekanan) dalam memberikan persetujuan (Fuady, 2005).

2.5.4

Isi Informed Consent

Informasi yang harus disampaikan dan dijelaskan dalam informed


consent oleh dokter kepada pasien adalah (Biben, 2005):
a. Diagnosis penyakitnya,
b. Sifat dan luasnya tindakan medis yang akan dilakukan,
c. Manfaat dan urgensi dilakukannya tindakan medis tersebut,
d. Risiko-risiko dari tindakan medis yang akan dilakukan,
e. Alternatif prosedur atau cara lain dari tindakan yang akan dilakukan,
f. Konsekuensi dari tindakan medis tersebut apabila tidak dilakukan,
g. Prognosis dari penyakit,
h. Hari depan dari akibat penyakit tidak medis tersebut,
i. Keberhasilan/ ketidakberhasilan tindakan medis tersebut.

2.5.5

Pemberi Informasi dalam Informed Consent


Pemberi

informasi

harus

dokter

yang

bersangkutan

yang

menyampaikannya secara langsung kepada pasien atau keluarganya dan


tidak dibenarkan jika dokter tersebut mewakilkannya kepada perawat,
bidan, atau pegawai administrasi (Biben, 2005).

2.5.6

Pihak yang Berhak Memberikan Persetujuan dalam Informed


Consent
Pihak yang berhak untuk memberi pilihan dalam informed consent
adalah (Biben, 2005):

a. Pasien yang bersangkutan sudah dewasa, berpikiran sehat, dan tidak


dibawah pengampunan,
b. Batas dewasa yaitu berusia 21 tahun dan telah menikah,
c. Bagi yang belum dewasa, diwakilkan oleh orang tuanya dan bagi yang
berada dibawah pengampunan diwakili oleh walinya.

2.5.7

Kendala dan Masalah dalam Informed Consent

2.5.7.1 Faktor Dokter


Salah satu kendala yang dapat terjadi dalam penyampaian
informed consent yaitu informasi yang diberikan oleh dokter secara tidak
lengkap. Contoh kasus di Indonesia yaitu Prita Mulyasari yang merasa
dirugikan hak-haknya sebagai pasien di Rumah Sakit Omni Internasional.
Pada kasus ini, dokter dan pihak rumah sakit tidak menjelaskan nama
penyakit yang diderita pasien dan langsung menginstruksikan perawat
memberi sejumlah suntikan. Dilihat dari kasus tersebut merupakan salah
satu bukti masyarakat yang tidak menerima hak-haknya sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 56 UU Kesehatan yang berbunyi: "Setiap orang berhak
menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang
akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi
mengenai tindakan tersebut secara lengkap." (UU Kesehatan, 2004).
Masalah lain yang ditemukan dalam penyampaian informed
consent yaitu sering terjadi salah tafsir dari dokter bila dalam

penyampaiaan informed consent seakan-akan beranggapan bahwa (Biben,


2005):
a. sudah sepenuhnya memberikan informasi kepada pasien
b. informed consent menjadi adekuat setelah memperoleh tanda tangan
dari pasien tersebut
c. menganggap informed consent sebagai pelindung dari sentuhan
pasien.

2.5.7.2 Faktor Pasien


Kendala yang umum terjadi dalam penyampaian informed consent
yaitu kurangnya tingkat pengetahuan pasien tentang istilah medis, kondisi
pasien yang tidak mendukung, dan proses diskusi yang tidak lancar. Usia
juga dapat mempengaruhi penyampaian informed consent. Sebagian besar
pada usia lanjut mempengaruhi tingkat penyerapan dan ingatan informasi
yang diterima sehingga akan mengganggu penerimaan informed consent
yang diberikan. Pada orang dengan usia lanjut paling sering terjadi depresi
karena pada usia ini orang akan merasa kehilangan cinta kasih dari orangorang yang berarti disekitarnya selain itu pada usia tua pasien sudah mulai
mengalami gangguan dalam proses komunikasi baik mendengar atau pun
mengingat sesuatu. Emosi juga akan tidak stabil karena status sosialnya
berubah, misalnya yang biasa dihormati karena jabatannya kini tidak lagi
setelah dia sudah pension (Biben, 2005).

2.5.7.3 Faktor Lingkungan


Faktor

lingkungan

yang

dapat

mempengaruhi

penyampaian

informed consent seperti sosial budaya yang ditandai dengan adanya


masalah adat istiadat seperti harga diri yang tinggi dan rasa malu bertanya
sehingga penya2mpaian informasi tidak maksimal. Hal yang sering
menjadi kendala juga karena ramainya pasien yang berkunjung sehingga
waktu untuk memberikan informasi kurang dan oleh karena tempat praktik
yang tidak mendukung seperti tempat yang terlalu sempit, di pinggir jalan
yang ramai, atau tempat yang kotor (Soewono, 2005).

2.6 Kerangka Konsep

Faktor Dokter

Faktor Pasien

Faktor Lingkungan

Tingkat Pemahaman Informasi Medis


Proses
Transfer Informasi

2.7 Hipotesis
H0 : Tidak terdapat pengaruh masing-masing faktor terhadap tingkat
pemahaman informasi medis pada pasien poli THT di Rumah Sakit
Bhayangkara Mataram.
H1: Terdapat pengaruh masing-masing faktor terhadap tingkat pemahaman
informasi medis pada pasien poli THT di Rumah Sakit Bhayangkara Mataram.

Anda mungkin juga menyukai