Oleh:
Ayu Kumala Sari, SKed
Pembimbing :
dr. Benny Chairuddin, Sp.An. M.Kes
dr. Admaji Wibowo
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah
dan pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul Anestesi Umum pada Operasi Katarak yang diajukan sebagai
persyaratan untuk mengikuti KKS Ilmu Anestesiologi. Terima kasih penulis
ucapkan kepada dokter pembimbing yaitu dr. Benny Chairuddin, Sp.An. M.Kes
dan dr. Admaji Wibowo yang telah bersedia membimbing penulis, sehingga
laporan kasus ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis memohon maaf jika dalam penulisan laporan kasus ini terdapat
kesalahan, dan penulis memohon kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan
laporan kasus ini. Atas perhatian dan sarannya penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
5
5
5
5
6
6
10
14
15
19
19
20
23
23
25
25
26
27
31
33
33
BAB V KESIMPULAN
42
DAFTAR PUSTAKA
43
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes pada tahun 1846.1
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan
resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Anestesi umum dibagi menurut bentuk
fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu Anastetik Inhalasi dan Anastetik Intravena.
Terlepas dari cara penggunaanya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai Trias Anestesia, yaitu efek
hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih baik
lagi kalau terjadi juga penekanan reflex otonom dan sensoris, seperti yang
diperlihatkan oleh eter.1,2
Di Dunia ini 48% kebutaan yang terjadi disebabkan oleh katarak. Untuk
Indonesia, survey pada tahun 1995/1996 menunjukan prevalensi kebutaan
mencapai 1,5% dengan 0,78% diantaranya disebabkan oleh katarak, dan yang
terbesar karena katarak senilis.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi Umum
A. Definisi Anestesi Umum
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien.2
B. Tujuan Anestesi Umum
Tujuan anestesi umum yang ideal adalah trias anestesi yang terdiri dari :
Hipnotik, Hipnotik didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran).
Analgesia, Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID
tertentu.
Relaksasi otot, Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya
tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan.4
anestesi.
Inhalasi
Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anestesi yang mudah menguap sebagai zat anestetika melalui udara
pernafasan. Zat anestetika yang dipergunakan berupa campuran suatu gas
(dengan O2) dan konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung dari tekanan
parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak menentukan kekuatan
daya anestesi, zat anestetik disebut kuat bila dengan tekanan parsial rendah
Kerugian :
Dapat
menimbulkan
komplikasi
ringan
seperti
mual,
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan
rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.1
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah rutin (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan
foto thoraks.1
Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak
perlu harus dihindari.1
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko anestesia, karena efek samping
anestesia tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Klasifikasi
ASA
juga
dipakai
pada
pembedahan
darurat
dengan
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesi. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan
minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anestesi.1
Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya :
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam waktu 1 jam,
sedangkan secara intramuskular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus
yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obatobat dapat diberikan secara intravena.
Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian
premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi
bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali
atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahanlahan dan diencerkan.
Obat obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :
Gol. Antikolinergik
Atropin : Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan
muntah, melemaskan tonus otot polos organ organ dan menurunkan spasme
F. Induksi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal. Setelah pasien
tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi
sampai tindakan pembedahan selesai.1
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:
S : Scope
T : Tube
Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway
T : Tape
I : Introducer
C : Connector
S : Suction
Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena dikerjakan dengan
sering
menimbulkan
takikardi,
hipertensi,
Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.1
Induksi inhalasi
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk
gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali
berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastesi
lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anastesi lain seperti halotan.
Halotan (fluotan) Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi
semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat.
Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula
darah.
Enfluran (etran, aliran) Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif di banding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
Isofluran (foran, aeran) Meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane) Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC
6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
Sevofluran (ultane) Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.1
midazolam.1
Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa hanya
sungkup muka yang tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan
jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita
tempelkan.1
G. Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium
III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:
peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot
semakin menurun).
-
Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan
napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan
untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas
masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
Gradasi
1
2
3
4
Pilar faring
+
-
Uvula
+
+
-
Palatum Molle
+
+
+
-
Kesulitan intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan
tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya.1
Atrakurium
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Keunggulan obat ini adalah
metabolism terjadi di darah, tidak bergantung fungsi hati dan ginjal. Tidak
J. Tatalaksana nyeri
Metode untuk menghilangkan nyeri biasanya digunakan analgetik golongan
opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID) untuk
nyeri sedang atau ringan.
Morfin
Dosis anjuran untuk menghilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB dan
dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dapat diberi 1-2 mg intravena dan
Fentanil
Pada fentanil efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesianya.
Dosis 1-3 g/kgBB efek analgesianya hanya berlangsung 30 menit.
Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid. Nalokson biasanya digunakan
untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosisi 1-2
g/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit.1,5
2.
3.
KRITERIA
Warna kulit
Kemerahan/ normal
Pucat
Cianosis
Aktifitas Motorik
Pernafasan
4.
SCORE
Nafas
dangkal
dan
adekuat
1
0
operasi
operasi
5.
operasi
Kesadaran
panggil
SCORE
Ket :
Pasien dapat di pindah ke bangsal, jika
score minimal 8 pasien.
1.
KRITERIA
Bangun
2.
Respon terhadap
SCORE
2
rangsang
Pernafasan
Motorik
1
0
3.
1.
2.
3.
1.
0
2
2.
3.
Ket :
Tidak bergerak
2.2 KATARAK
A. Anatomi Mata
Anatomi dan fisiologi mata sangat rumit dan mengaggumkan. Secara konstan
mata menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada
objek yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang
dengan segera dihantarkan ke otak.3,7
Mata memiliki struktur sebagai berikut :
Sklera (bagian putih mata) : merupakan lapisan luar mata yang bewarna putih
bagian sclera.
Kornea : struktur transparan yang menyerupai kubah, merupakan
pembungkus dari iris, pupil dan bilik anterior serta membantu memfokuskan
cahaya.
Pupil : daerah hitam ditengah-tengah iris.
Iris : jaringan bewarna yag berbentuk cincin, menggantung di belakang
kornea dan di depan lensa, berfungsi mengatur jumlah cahaya yang masuk ke
otak.
Humor aqueus : caian jernih dan encer yang mengalir diantara lensa dan
kornea (mengisi segmen anterior bola mata) serta merupakan sumber
C. Klasifikasi Katarak
Tabel 3. Klasifikasi katarak
Morfologi
Maturitas
Onset
Kapsular
Insipien
Kongenital
Subkapsular
Intumesen
Infantile
Kortikal
Immatur
Juvenile
Supranuklear
Matur
Presenile
Nuklear
Hipermatur
Senile
Polar
Morgagni
D. Gejala klinis
Kekeruhan lensa dapat terjadi tanpa menimbulkan gejala, dan dijumpai pada
pemeriksaan mata rutin. Gejala katarak yang sering dikeluhkan adalah :3,7
Silau
Pasien katarak sering mengeluh silau, yang bisa bervariasi keparahannya mulai
dari penurunan sensitivitas kontras dalam lingkungan yang terang hingga silau
pada saat siang hari atau sewaktu melihat lampu mobil atau kondisi serupa di
malam hari. Keluhan silau tergantung dengan lokasi dan besar kekeruhannya,
biasanya dijumpai pada tipe katarak posterior subkapsular.
Halo
Hal ini bisa terjadi pada beberapa pasien oleh karena terpecahnya sinar putih
menjadi spektrum warna oleh karena meningkatnya kandungan air dalam lensa.
Distorsi
Myopic shift
Indikasi
Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak mencakup indikasi
visus,medis, dan kosmetik.3
1. Indikasi visus; merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini berbeda pada
tiap individu, tergantung dari gangguan yang ditimbulkan oleh katarak
terhadap aktivitas sehari-harinya.
2. Indikasi medis; pasien bisa saja merasa tidak terganggu dengan kekeruhan
pada lensa matanya, namun beberapa indikasi medis dilakukan operasi katarak
seperti glaukoma imbas lensa (lens-induced glaucoma), endoftalmitis
fakoanafilaktik, dan kelainan pada retina misalnya retiopati diabetik atau
ablasio retina.
3. Indikasi kosmetik; kadang-kadang pasien dengan katarak matur meminta
ekstraksi katarak (meskipun kecil harapan untuk mengembalikan visus) untuk
memperoleh pupil yang hitam.
Persiapan Pre-Operasi
1. Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit semalam sebelum operasi
2. Pemberian informed consent
3. Bulu mata dipotong dan mata dibersihkan dengan larutan Povidone-Iodine 5%
4. Pemberian tetes antibiotik tiap 6 jam
5. Pemberian sedatif ringan (Diazepam 5 mg) pada malam harinya bila pasien
cemas
6. Pada hari operasi, pasien dipuasakan.
7. Pupil dilebarkan dengan midriatika tetes sekitar 2 jam sebelum operasi.
Tetesan diberikan tiap 15 menit
8. Obat-obat yang diperlukan dapat
diberikan,
misalnya
obat
asma,
2. Anestesi Lokal :
Peribulbar block
Paling sering digunakan. Diberikan melalui kulit atau konjungtiva dengan
jarum 25 mm. Efek : analgesia, akinesia, midriasis, peningkatan TIO,
hilangnya refleks Oculo-cardiac (stimulasi pada n.vagus yang diakibatkan
stimulus rasa sakit pada bola mata, yang mengakibatkan bradikardia dan
Topical-intracameral anesthesia
Anestesi permukaan dengan obat tetes atau gel (proxymetacaine 0.5%,
lidocaine 2%) yang dapat ditambah dengan injeksi intrakamera atau infusa
larutan lidokain 1%, biasanya selama hidrodiseksi.3
ini
astigmatisme,
glukoma,
uveitis,
endoftalmitis,
dan
perdarahan.3,7
3. Phacoemulsification
Phakoemulsifikasi (phaco) adalah teknik untuk membongkar dan
memindahkan kristal lensa. Pada teknik ini diperlukan irisan yang sangat
kecil (sekitar 2-3mm) di kornea. Getaran ultrasonic akan digunakan untuk
menghancurkan katarak, selanjutnya mesin PHACO akan menyedot massa
katarak yang telah hancur sampai bersih. Sebuah lensa Intra Okular yang
dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut. Karena incisi yang kecil
maka tidak diperlukan jahitan, akan pulih dengan sendirinya, yang
memungkinkan pasien dapat dengan cepat kembali melakukan aktivitas
sehari-hari.Tehnik ini bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik, dan
kebanyakan katarak senilis.3,7
Keuntungan
Incisi kecil
vitreus
Kejadian
endophtalmodonesis lebih sedikit
Edema sistoid makula
lebih jarang
Trauma terhadap
endotelium kornea lebih sedikit
Retinal detachment lebih
sedikit
Lebih mudah dilakukan
Intra capsular
cataract extraction
(ICCE)
Fakoemulsifikasi
Kerugian
Kekeruhan pada
kapsul posterior
Dapat terjadi
perlengketan iris dengan
kapsul
Komplikasi pada
vitreus
Endopthalmitis
Incisi paling kecil
Memerlukan dilatasi pupil
yang baik
Astigmatisma jarang terjadi
Pelebaran luka jika ada
Pendarahan lebih sedikit
IOL
Teknik paling cepat
Traksi otot-otot ekstraokular atau tekanan pada bola mata terutama otot
rektus medialis dapat memunculkan berbagai variasi disritmia jantung yang
berkisar dari bradikardia dan ektopi ventrikular hingga henti sinus atau vibrilasi
ventrikel. Refleks ini, yang pada mulanya dideskripsikan pada tahun 1908, terdiri
dari suatu jalur trigeminal aferen (V1) dan vagal eferen. Refleks okulokardiak
adalah paling lazim didapati pada pasien pediatrik yang menjalani operasi
strabismus. Walaupun begitu, refleks ini dapat dimunculkan pada semua
kelompok usia dan selama berbagai prosedur mata, termasuk ekstraksi katarak,
enukleasi, dan perbaikan retinal detachment (perlepasan retina). Pada pasien yang
sadar, refleks okulokardiak dapat berhubungan dengan somnolens dan nausea.
Obat-obat antikolinergik sering bermanfaat dalam pencegahan refleks
okulokardiak. Atropin atau glikopirolat intravena sebelum pembedahan adalah
lebih efektif dibanding premedikasi intramuskular yang dapat menjadi tidak
efektif. Haruslah diingat bahwa obat-obat antikolinergik dapat berbahaya pada
pasien usia lanjut, yang seringkali memiliki penyakit arteri koroner derajat
tertentu. Blokade retrobulbar atau anestesia inhalasi yang dalam juga dapat
bermanfaat, namun prosedur-prosedur ini memiliki risikonya tersendiri. Blokade
retrobulbar sendiri sebenarnya dapat membangkitkan refleks retrobulbar.
Kebutuhan untuk profilaksis rutin adalah kontroversial.2,3
1. Manajemen refleks okular kardiak ketika ia terjadi tersusun dari prosedurprosedur berikut: pengenalan dini oleh ahli bedah dan penghentian
sementara stimulasi bedah hingga kecepatan detak jantung meningkat
2. konfirmasi ventilasi, oksigenasi, dan kedalaman anestesia yang adekuat;
3. pemberian atropin intravena (10 g/kg) jika terdapat gangguan konduksi
4. pada episode rekalsitran, infiltrasi otot-otot ekstraokular dengan anestetik
lokal. Refleks ini pada akhirnya akan menghentikan dirinya sendiri dengan
traksi berulang otot-otot ekstraokular.
BAB III
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. M
Umur
: 62 tahun
Berat badan
: 60 Kg
Tinggi badan
: 162 cm
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Sialang Sakti
Agama
: Islam
Tanggal masuk RS : 7 Desember 2015
No. RM
: 158714
II.
ANAMNESIS
a. Keluhan Utama :
Penglihatan kedua mata buram sejak 1 tahun yang lalu
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluh penglihatan kedua mata buram sejak 1 tahun yang
lalu dan semakin lama semakin buram seperti berkabut. Pasien
mengaku bahwa mata kiri lebih kabur daripada mata kanan. Tidak ada
faktor yang memperburuk atau memperingan gejala tersebut. Keluhan
pasien tidak disertai dengan mata merah ataupun nyeri pada matanya.
Pasien juga merasa lebih silau ketika melihat cahaya/lampu
dibanding beberapa tahun sebelumnya. Pasien menyangkal mempunyai
keluhan sering menabrak saat berjalan. Pasien memiliki kebiasaan
merokok, menghabiskan sekitar 1 bungkus per hari sejak berusia 25
tahun dan berhenti merokok pada usia 55 tahun. Pasien menyangkal
mempunyai riwayat pemakaian obat tetes mata atau konsumsi obat
dalam waktu lama.
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat asthma disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat asthma disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
III.
Riwayat DM disangkal
e. Riwayat penggunaan obat-obatan :
- Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya
f. Riwayat Anastesi/Operasi sebelumnya :
- Tidak ada riwayat anestesi atau operasi sebelumnya
PEMERIKSAAN FISIK
a. Vital sign
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Composmentis
GCS
: 15 (E4M5V6)
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Respirasi
: 20x/menit
Nadi
: 82x/menit
Suhu
: 36,70C
b. Status Generalis :
Kepala
:Normochepal, simestris, tanda trauma (-), tumor (-)
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga
: Discharge (-), deformitas (-)
Hidung
: Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut
: Bibir kering(-), pembesaran tonsil (-)
Gigi
: Gigi palsu (+)
Leher
- Inspeksi : Simestris, trakea ditengah
- Palpasi
: Pembesaran tiroid dan limfe (-)
Thorax
- Pulmo
: vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing
IV.
(-/-)
- Cor
Abdomen
- Inspeksi
- Auskultai
- Perkusi
- Palpasi
masa
Ekstremitas
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal
: 7 Desember 2015
Pemeriksaan darah lengkap
- Hb
: 14,2 gr/dl
- Leukosit
: 7300/ul
- Ht
: 41,3%
- Eritrosit
: 4,67 M/ul
- Trombosit
: 377.000/ul
V.
: 5 menit
: 2 menit
: 145 mg/dl
: 25 mg/dl
: 0,9 mg/dl
DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis pra operasi: Katarak senilis imatur ODS
Diagnosis post operasi: Pseudofakia OS dan katarak senilis imatur
OD
VI.
STATUS ANASTESI
ASA II
: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
VII. TINDAKAN
Dilakukan
: Anestesi Umum
Tanggal
: 8 Desember 2015
VIII. LAPORAN ANESTESI PREOPERATIF
Persiapan Anestesi
Informed concent
: Ada
Surat izin operasi
: Ada
Puasa
: Pasien puasa sejak pukul 24.00
WIB
Pemasangan IV line
: Sudah terpasang
Pemeriksaan penunjang
: Laboratorium darah
Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi
O2
Pemeriksaan pasien di ruangan operasi
- Tekanan darah
: 140/80 mmHg
- Nadi
: 82 x/menit
- Suhu
: 36,50C
- Pernafasan
: 20x/ menit
IX.
Ahli anestesi
Teknik anestesi
Intubasi
Mulai induksi
Obat induksi
Premedikasi
30 mg, midazolam iv 2 mg
Medikasi Intra Operatif:
Fentanyl 75 mcg
Atrakurium 20 mg
O2 2 L/menit
Medikasi Post Operatif: -
Ventilasi
: O2 2 L/menit
Tekanan darah, Nadi, Saturasi O2 :
Waktu
11.00
11.15
11.30
11.45
12.00
12.05
X.
Tekanan darah
140/80 mmHg
140/80 mmHg
135/80 mmHg
135/80 mmHg
130/80 mmHg
130/80 mmHg
Saturasi oksigen
100%
99%
99%
100%
100%
100%
Nadi
84 x/menit
125 x/menit
90 x/menit
98 x/menit
98 x/menit
98 x/menit
:
: 20 ml
XI.
PROGNOSA
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PRE OPERATIF
Persiapan anestesi dan pembedahan harus lengkap karena dalam
pemberian anastesi dan operasi selalu ada resiko. Persiapan yang
dilakukan meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien, dan
persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian dan persiapan penderita
diantaranya meliputi :
informasi penyakit
anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit
riwayat imunisasi, riwayat alergi, riwayat sesak napas dan asthma,
B. INTRA OPERATIF
Anastesi pada pasein ini menggunakan anastesi intravena. Komponen
trias anastesi yang dicapai adalah hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.
Pasien dalam posisi terlentang, dilakukan menyuntikan obat induksi
anestesi secara bolus melalui IV line. Kemudian pasien mulai tidak sadar,
pada pasien dilakukan triple airway maneuver untuk memudahkan proses
intubasi. Dengan bantuan laringoskop macintosh, endotrakheal tube
dimasukkan dan disambung ke selang oksigen, diikuti dengan pemasangan
oropharingeal airway untuk membantu pembebasan jalan nafas. Selain itu
dipasang juga tensimeter dan oksimetri untuk memantau tekanan darah
dan pernafasan setiap 5 menit.
Pada pasien ini berikan cairan infus RL sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pasien sudah tidak makan dan
C. POST OPERATIF
Setelah operasi selesai, pasien bawa ke ruang observasi. Pasien
berbaring dengan posisi terlentang karena efek obat anestesi masih ada dan
tungkai tetap lurus untuk menghindari edema. Observasi post operasi
dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respiratory rate) setiap 30 menit. Oksigen tetap
diberikan 2-3 liter/menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien
dibawa ke ruangan bedah untuk dilakukan tindakan perawatan lanjutan.
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
katarak yaitu ECCE dan IOL pada mata kiri pada penderita Tn. M usia 62 tahun,
status fisik ASA II, dengan diagnosis pra operasi katarak senilis imatur ODS dan
diagnosis post operasi pseudofakia OS dan katarak senilis imatur OD yang
dilakukan dengan anestesi umum intravena dan intubasi ET no 7,5.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang
ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi
anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
observasi juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Ed.2.Cet.V.Jakarta:Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2010.
2. Dobson MB. editor: Dharma A.Penuntun Praktis Anestesi.Jakarta: EGC.2011.
3. Vaughan DG, Asbury T, Riordan EP. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Medika. 2000.
4. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC.2010
5. Ganiswara,
Silistia
G. Farmakologi
dan
Terapi
(Basic
Therapy