Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

Hernia Inguinalis Lateralis dengan Penyulit Hipertensi

Pembimbing:

dr. Indra K Ibrahim, Sp. An

Penyusun:

Elfa Rizki 2013730140

Irma Juliana 2013730056

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

RSUD SYAMSUDDIN, S.H SUKABUMI


BAB I
LAPORAN KASUS

1.1.Identitas Pasien
Nama : Tn. B
Usia : 47 tahun
Alamat : Kp. Cipanggulaan, Kec. Parung Kuda,
Agama : Islam
Suku : Sunda
Tanggal masuk : 6 september 2017

1.2.Anamnesis
Keluhan Utama:
Keluar benjolan dari selangkangan kiri 2 jam SMRS
Keluhan Tambahan: -
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan keluar benjolan dari selangkangan
kiri 2 jam SMRS. Benjolan muncul saat pasien sedang bekerja sebagai
pekerja bangunan. Benjolan tidak dapat dimasukkan kembali dan terasa
nyeri. Sebelumnya, pasien juga mengeluh bahwa kadang terdapat
benjolan hilang dan timbul (saat bekerja) diselangkangan kiri namun
dapat dimasukkan kembali dan tidak terasa sakit. Keluhan tidak disertai
mual, muntah, dan demam. Tidak ada masalah pada BAB dan BAK.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat hipertensi (+)
Riwayat asma disangkal, merokok (+) 1 bungkus/hari, TB paru (-)
Riwayat kelainan neurologis disangkal
Riwayat gastritis disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat gigi goyang, patah, ompong dan gigi palsu disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Dikeluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti
pasien.

Riwayat Alergi
-
Riwayat Operasi
Operasi pada tahun 1991 karena batu ginjal kiri
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan rutin sebelumnya.
Riwayat Psikososial
Merokok kurang lebih satu bungkus perhari

`
1.3. Pemeriksaan Fisik Saat Pre-Operasi, 6 September 2017
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4M6V5
BB : 55 Kg
Tanda-tanda vital
- Tekanan darah : 220/140 mmHg
- Laju nadi : 98 kali/menit
- Laju napas : 20 kali/menit
- Suhu : 36,5 C

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-


Hidung : Septum nasi di tengah, secret -/-
Mulut : Mukosa oral basah, Malampati I
Leher : ROM bebas, Pembesaran KGB tidak ada
Thoraks
- Cor : Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-)
- Pulmo : Bunyi napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
- Inspeksi : Distensi (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani 4 kuadran abdomen
- Auskultasi : BU (+) 6 kali/menit
Punggung : Skoliosis -
Ekstremitas Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

Ekstremitas Bawah : : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-


1.4. Pemeriksaan Penunjang
1.4.1. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 06/10/17
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Hemoglobin 18.2 g/dL 13-17

Leukosit 9.900 /L 4000-10.000

Hematokrit 52 % 40-54

Eritrosit 6.2 juta/ L 4.4-6.0

MCV 84 fL 80-100

MCH 30 Pg 26-34

MCHC 35 g/dL 32-36

Trombosit 251.000 /L 150.000-450.000

Masa Perdarahan/BT 1.30 Menit 1-3

Masa Pembekuan/CT 6.00 Menit 5-15

Natrium 146 mmol/L 137-150

Kalium 3.6 mmol/L 3.5 5.5

Kalsium 8.4 Mg/dL 8 10.4

Klorida 105 mmol/L 94 108


1.4.2. Pemeriksaan Radiologi

Thoraks

- Tidak tampak kardiomegali


- Tidak tampak KP aktif

Diagnosis Kerja
Laki-laki usia 47 tahun dengan hernia inguinalis lateralis sinistra dengan penyulit
hipertensi
Diagnosis Anestesi
ASA III

Tatalaksana preoperatif
- Pro operasi hernioraphy
- Konsul anestesi dengan hasil konsultasi:
o Acc tindakan anestesi
o Puasakan dari pukul 02.00
o Amlodipin 10 mg malam dan besok pagi
Catatan Perjalanan Perioperatif
Keadaaan Pra Bedah
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Puasa : 10 jam
Berat badan : 55 kg
Tekanan darah : 196/113 mmHg
Nadi : 133 kali/ menit
Pernapasan : 22 kali/ menit
SpO2 : 98%
Suhu : Afebris

Laboratorium :
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Hemoglobin 18.2 g/dL 13-17

Leukosit 9.900 /L 4000-10.000

Hematokrit 52 % 40-54

Eritrosit 6.2 juta/ L 4.4-6.0

MCV 84 fL 80-100

MCH 30 Pg 26-34

MCHC 35 g/dL 32-36

Trombosit 251.000 /L 150.000-450.000

Masa Perdarahan/BT 1.30 Menit 1-3

Masa Pembekuan/CT 6.00 Menit 5-15

Natrium 146 mmol/L 137-150

Kalium 3.6 mmol/L 3.5 5.5


Kalsium 8.4 Mg/dL 8 10.4

Klorida 105 mmol/L 94 108

Status Fisik : ASA II


Anestesi Regional : posisi supine
Premedikasi :
1. Ondansetron 4 mg
2. Ketorolac 30 mg
3. Dexamethason 10 mg
4. Paracetamol 1 gram
Teknik Anestesi: blokade regional dengan teknin spinal
Lokasi: L3-L4
Analgesi setinggi segmen: T10
Anestesi lokal: marcain 0,5 % 2,5 ml
Pemeliharaan: Oksigen 3L/m dengan nasal kanul
Monitoring:
EKG lead, SpO2, Stetoskop, NIBP, Urine kateter
Posisi Selama Operasi: Supine
Medikasi:
Fentanyl 50 mcg
Pemberian Cairan:
1. Maintenance
BB : 55 kg
4 x 10 = 40
2 x 10 = 20 95 cc/jam
1 x 35 = 35
2. Puasa
Lama puasa x Maintenance
10 x 95 = 950 cc
3. Stress Operasi
Operasi Minimal = 2 cc/KgBB/jam
2 x 55 = 110 cc
1 jam pertama : M + PP + SO
95 + 475 + 110 = 680 cc/jam
15 menit selanjutnya : M + 14 PP + SO
95 + 237 + 110 = 442 cc/jam
442/4 = 110
4. Perdarahan: 60 cc
5. Urin: 40
Total kebutuhan cairan selama operasi
680 + 110 + 60 + 40 = 890 cc

Waktu 09.00 09.15 09.30 09.45 10.00

02

Sevoflurane

Isoflurane

Halothene

N20

Infus 1. RL 500 500cc


2. gelafusal 500 cc
R N TD

44 220

40
200
36
180
32
160
28
180 140
24
160 120
20
140 100
16
120 80
12
100 60

80 40

60 20
X O O X

Saturasi 02 100% 100% 98% 98% 99% 99%

Komplikasi selama operasi : Tidak ditemukan


Keadaan penderita pasca bedah :
Keadaan umum : CM
Tekanan darah : 156/96 mmHg
Nadi : 122 kali per menit
Respirasi : 20 kali per menit
SpO2 : 97%
Suhu : Afebris

Instruksi pasca bedah :


1. Observasi TTV tiap 15 menit (TD, HR, RR, Suhu, SpO2)
2. O2 3 lpm via nasal kanul
3. Instruksi puasa dari bedah
4. Analgetik drip dalam tutofusin 500 ml (Ketorolac 60 mg + pethidine 100 mg
25 tpm
5. Analgetik bolus ketorolac 30 mg tiap 8 jam (09.00)
6. Bed rest 10 jam pasca operasi
BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan anestesi pasien sudah dilakukan kunjungan pra anestesi. Dari
kunjungan tersebut diketahui bahwa pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol.
Dari anamnesis dapat ditentukan bahwa pasien ini termasuk dalam klasifikasi ASA III.
Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology):

- ASA I : Pasien normal sehat


- ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan (tidak ada keterbatasan
fungsional)
- ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat
- ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam nyawa
(funcionality incapacitated)
- ASA V : Pasien yang tidak diharapkan untuk bertahan hidup tanpa operasi
- ASA VI : Brain dead, pasien yang organ tubuhnya diangkat untuk donor
- E : Jika prosedurnya darurat, status fisiknya ditulis E

Dari anamnesis dapat disimpulkan bahwa pasien memiliki penyulit anestesi yaitu
hipertensi. Dari pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 220/140 mmHg.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI HIPERTENSI

Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus


menerus sehingga melebihi batas normal. Hipertensi merupakan hasil dari
resistensi pembuluh darah perifer dan kardiak output.
Hipertensi adalah alasan medis yang paling umum untuk menunda
operasi. Hipertensi juga dikenal sebagai faktor risiko kegawatan
kardiovaskular, risiko yang banyak selama periode perioperatif. Manajemen
perioperatif hipertensi meliputi evaluasi dan kondisi pasien secara optimal
pada saat pra operasi, saat pasien berada di bawah pengaruh anestesi selama
operasi dan perawatan pasca operasi. Pasien dengan hipertensi cenderung
memiliki ketidakstabilan hemodinamik dan lebih sensitif terhadap anestesi
dan prosedur operasi, sehingga perlu pengawasan yang lebih ketat terutama
untuk mengontrol hemodinamik pasien.
II. DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan


adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan
berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal
yang di ijinkan adalah sebagai berikut :
Dewasa 140/90 mmHg
Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah 85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention,


detection, evaluation, and treatment of high blood pressure tahun 2003,
klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2
(lihat tabel 1).
Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran
TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran,
emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD.
Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari
setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya.
Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas yang
meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-
89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi
dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu
Disamping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat
dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:5,8
1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
2. Hipertensi sekunder:
A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:

Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA.

B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:


Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik
ginjal, stenosis arteri renalis.
Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma
Conn (hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma,
hipotiroidisme.
Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension),
porfiria akut, tanda-tanda keracunan.
Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa,
hiperkalsemia, peningkatan volume intravaskuler (overload).
III. FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI

Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam


tubuh.8,9 Kategori obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip
kerjanya, yaitu:

1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan


volume darah, sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide,
loop diuretics.
2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara
menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi
pembuluh darah perifer, menghambat fungsi kardiak, meningkatkan
pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan alpha
blocker, methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic
symphatetic blocker (reserpine, guanethidine).
3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot
polos vaskuler. Contoh:nitroprusside, hydralazine, calcium channel
blocker.
4. Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin,
penghambatan ini menurunkan resistensi perifer dan volume darah, yaitu
dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II dan
menghambat metabolisme dari bradikinin.

IV. MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI


1. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan
menjalani prosedurpembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus
dicari, yaitu:

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi


hipertensinya.
Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang
telah terjadi.
Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik
hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik
hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis
riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan
prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah
menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya
ataukah suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan
vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering
menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan
peningkatan risiko terjadinya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray
toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya
risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN
sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan
parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya
hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk
evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati
hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah
komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri
koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD
secara farmakologis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung
sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit
arteri koronariasebesar 16%.

2. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi


Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa
sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk
dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang
menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil
keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa
TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik
(TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan
ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun
beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk
terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik.
Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang
dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan
MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi
antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke
sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung
diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda operasi hanya untuk tujuan
mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan
kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat
perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik
yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular
dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi
dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ
sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American
Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC)
mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg
sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat
urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam
beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi
yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung
mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase
yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi.
Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons
hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang
sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik
yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.

3. Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta
maksud dan tujuan penggunaanya:
EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien
hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
Tekanan Darah: monitoring secara continuous Tekanan Darah adalah
esensial kateter Swan-Ganz: hanya digunakan untuk penderita hipertensi
dengan riwayat CHF atau MCI berulang.
Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan
perifer.
Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita
mempertahankan kadar CO2.
Suhu atau temperature.

4. Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa
menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam.
Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai
jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi
menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi
hipotensi intraoperatif.

5. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan
goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi
hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi
diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume
intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk
tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga
sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek
dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE
inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang
bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard.
Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea
bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik
dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa
teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi
untuk menghindari terjadinya hipertensi.

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten


selama 5- 10 menit.
Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau
ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5
mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
Menggunakan anestesia topikal pada airway..
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi
untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan
etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita
hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium
lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile,
sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.

6. Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring


Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang
terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode
intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada
periode preoperatif. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran
kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita
hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia
serebral jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka
panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva
autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur
autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya
diperhatikan, yaitu:

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka
kejadian stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih
sama dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia
dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia
imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau
anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan
anestesia. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia,
namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi
akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan
hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang
direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti
phaeochro-macytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan
penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan
monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung
diperlukan terutama jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan
afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya
iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang
mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk
operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan
terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai
disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.
7. Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga
pada periode anestesia maupunsaat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif
yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan
antihipertensi secara parenteral (lihat tabel 2), namun faktor penyebab
bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam,
hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik,
penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya
penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari
pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat
tabel 3). Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang
akan digunakan:

Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien


dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada
bronkospastik.
Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering
dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai
onset yang lambat.
Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada
hipertensi sedang sampai berat.
Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi

atau pencegahan iskemia miokard.


Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi

ginjal.
Hydralazine: bisa menjaga kestabilan tekanan darah, namun obat ini juga
punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon
takikardia.
8. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada
pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia
miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan
stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler
dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi
sehingga menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya
hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena
penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya
adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari
kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat
antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.
Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan
hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya
ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara
infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi,
maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat
bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang
prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat
antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya
diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan
betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan
takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karenaoverload cairan, bisa
diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart
failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard
yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat
diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk
hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila
penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi
secara oral segera dimulai
REFERENSI

Morgan G Edward, Mikhail, Maged S.Clinical Anesthesiologi. Edisi

ke 5. 2013.
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC
Yao FSF, Ho CYA. Hypertension. Anesthesiologyproblem oriented
patient manajement. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2003.p.337-57.
Barisin S, et al. Perioperatif blood pressure control in hypertensive
and normotensive patient undergoing off-pump coronary bypass
grafting. Croat Med J 2007;48:341-7.
Common problem in the cardiac surgery recovery unit in perioperative
care. In: Cheng DCH, David TE, editors. Cardiac anesthesia and
surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.p.1178-
22.
Hypertensive emergencies. Available at: www.ehs.egypt.net/pdf/11-
guideline.pdf.

Anda mungkin juga menyukai