Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

Retina merupakan lapisan membran neurosensoris


dan merupakan lapisan ketiga bola mata setelah
sklera yang merupakan jaringan ikat dan jaringan uvea
yang merupakan jaringan vaskuler yang terdiri dari
iris, badan siliar, dan koroid.
Istilah ablasio retina (retinal detachment)
menandakan pemisahan retina yaitu fotoreseptor dan
lapisan bagian dalam, dari epitel pigmen retina
dibawahnya.
ANATOMI RETINA
Retina merupakan selembar tipis jaringan
saraf yang semitransparan dan terdiri atas
beberapa lapis yang melapisi bagian dalam
dua pertiga belakang bola mata. Retina
membentang ke depan hampir sama jauhnya
dengan korpus siliare, dan berakhir di tepi ora
serrata
LAPISAN RETINA
Epitelium pigmen retina
Lapisan fotoreseptor segmen
dalam dan luar batang dan kerucut
Membrana limitans externa
Lapisan inti luar sel fotoreseptor
Lapisan pleksiformis luar
Lapisan inti dalam badan sel
bipolar, amakrin dan sel horizontal
Lapisan pleksiformis dalam,
Lapisan sel ganglion
Lapisan serat saraf
Membrana limitans interna
FISIOLOGI RETINA
ABLASIO RETINA
Ablasio retina (retinal detachment) adalah pemisahan retina
sensorik, yakni lapisan fotoreseptor (sel kerucut dan batang)
dan jaringan bagian dalam, epitel pigmen retina
dibawahnya.
Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat
dengan membran Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut
dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan
struktural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga
merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara
embriologis.
EPIDEMIOLOGI
Menurut penelitian, di Amerika Serikat insiden ablasio
retina 1 dalam 15.000 populasi dengan prevalensi 0,3%.
Sedangkan insiden per tahun kira-kira 1 diantara 10.000
orang dan lebih sering terjadi pada usia lanjut kira-kira
umur 40-70 tahun.
Pasien dengan miopia yang tinggi (>6D) memiliki 5%
kemungkinan resiko terjadinya ablasio retina, afakia
sekitar 2%, komplikasi ekstraksi katarak dengan hilangnya
vitreus dapat meningkatkan angka kejadian ablasio hingga
10%.
ETIOLOGI
Terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang
mengalami likuifikasi dapat memasuki ruangan subretina.
Retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada
permukaan retina
Akumulasi cairan dalam ruangan subretina akibat proses
eksudasi.
PATOFISIOLOGI
KLASIFIKASI
1. Ablasio Retina Primer (Ablasio Retina Regmatogenosa)
Ablasio regmatogenosa berasal dara kata Yunani rhegma, yang
berarti diskontuinitas atau istirahat . Pada ablasio retina
regmatogenosa dimana ablasi terjadi adanya robekan pada retina
sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel
dengan retina.
2. Ablasio Retina Sekunder (Non regmatogenosa)
Ablasio Retina Eksudatif
Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan
eksudat di bawah retina (subretina) dan mengangkat retina.
Penimbunan cairan subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari
pembuluh retina dan koroid.
KLASIFIKASI

Ablasio retina traksi


Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan
jaringan parut pada korpus vitreus (badan kaca). Pada badan
kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan
diabetes melitus proliferative, trauma, dan perdarahan
badan kaca akibat bedah atau infeksi. Tipe ini juga dapat
terjadi sebagai komplikasi dari ablasio retina regmatogensa
FAKTOR PREDISPOSISI
Usia
Jenis kelamin, Keadaan ini paling sering terjadi pada laki
laki dengan perbandingan laki : perempuan adalah 3 : 2
Miopi
Afakia
Trauma
Fenile Posterior Vitreous Detachment (PVD).
Pasca sindrom nekrosis akut retina dan sitomegalovirus
(CMV) retinitis pada pasien AIDS berupa nekrosis retina
dengan formasi istirahat retina
Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer
seperti Lattice degeneration, Snail track degeneration, White-
with-pressure and white-without or occult pressure, acquired
retinoschisis
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan tajam penglihatan
Pemeriksaan lapangan pandang
Memeriksa apakah ada tanda-tanda trauma
Periksa reaksi pupil. Dilatasi pupil yang menetap mengindikasikan
adanya trauma.
Pemeriksaan slit lamp; anterior segmen biasanya normal,
pemeriksaan vitreous untuk mencari tanda pigmen atau tobacco
dust, ini merupakan patognomonis dari ablasio retina pada 75 %
kasus.
Periksa tekanan bola mata.
Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop (pupil harus dalam
keadaan berdilatasi)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui
adanya penyakit penyerta seperti diabetes melitus.
Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan bila retina tidak
dapat tervisualisasi oleh karena perubahan kornea,
katarak, atau perdarahan.
Teknik pencitraan seperti foto orbita, CT scan, atau MRI
tidak diindikasikan untuk membantu diagnosis ablasio
retina tetapi dapat dibutuhkan untuk mendeteksi benda
asing intraokuli dan tumor.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan.
Prinsip bedah pada ablasio retina yaitu :
Menemukan semua bagian yang terlepas
Membuat iritasi korioretinal pada sepanjang masing-masing
daerah retina yang terlepas.
Menguhubungkan koroid dan retina dalam waktu yang cukup
untuk menghasilkan adhesi dinding korioretinal yang
permanen pada daerah subretinal.
PENATALAKSANAAN
1. Scleral buckling :
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina
rematogenosa terutama tanpa disertai komplikasi lainnya.
Prosedur meliputi lokalisasi posisi robekan retina, menangani
robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan scleral
buckle (sabuk).
PENATALAKSANAAN
2. Retinopeksi pneumatic :
Retinopeksi pneumatik merupakan metode yang juga sering
digunakan pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika
terdapat robekan tunggal pada bagian superior retina. Teknik
pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung
gas ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi
robekan retina dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui
robekan.
PENATALAKSANAAN
3.Pars Plana Vitrektomy :
Merupakan cara yang paling banyak
digunakan pada ablasio akibat diabetes, dan
juga pada ablasio regmatogenosa yang
disertai traksi vitreus atau perdarahan vitreus.
Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat
insisi kecil pada dinding bola mata kemudian
memasukkan instruyen ing cavum vitreous
melalui pars plana. Setelah itu dilakukan
vitrektomi dengan vitreus cutre untuk
menghilangkan berkas badan kaca (viteuos
stands), membran, dan perleketan
perleketan.
PROGNOSIS
Jika, keadaannya sudah melibatkan makula maka akan sulit
menghasilkan hasil operasi yang baik, tetapi dari data yang ada sekitar 87
% dari operasi yang melibatkan makula dapat mengembalikan fungsi
visual sekitar 20/50 lebih kasus diman makula yang terlibat hanya
sepertiga atau setengah dari makula tersebut.
Pasien dengan ablasio retina yang melibatkan makula dan
perlangsungannya kurang dari 1 minggu, memiliki kemungkinan sembuh
post operasi sekitar 75 % sedangkan yang perlangsungannya 1-8 minggu
memiliki kemungkinan 50 %.3
Dalam 10-15 % kasus yang dilakukan pembedahan dengan ablasio retina
yang melibatkan makula, kemampuan visualnya tidak akan kembali
sampai level sebelumnya dilakukannya operasi.
Komplikasi dari pembedahan misalnya adanya perdarahan dapat
menyebabkan kemampuan visual lebih menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
DR.Dr.Widya Artini, SpM, Pemeriksaan Dasar Mata, Edisi pertama, Jakarta: Badan Penerbit
FKUI, 2011.
Bruce James, Chris Chew,Anthony Bron, Lecture Notes On Oftalmology , edisi kesembilan
,Blackwell Science Ltd :Penerbit Erlangga
Ilyas, Sidarta. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata ,edisi keempat. 2009.. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. p.107-10.
Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General ophthalmology) edisi
17. EGC: Jakarta. p. 12-199
Khurana. Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4th edition. New Age
International Limited Publisher: India. p. 249- 279.
Junqueira LC, Jose C. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2007. Hal. 470-464
Reynolds,J. Olitsky,S. Anatomy and Physiology of Retina In : Pediatric retina. 2011. Springer-
verlag : Berlin Heidelberg. Page 39-50.
American Academy Ophtalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2007-2008. Singapore:
LEO; 2008. p. 9-299
Lang, GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition.
2006.Thieme. Germany. p. 305-344.
Sundaram venki. Training in Ophthalmology. 2009. Oxford university press: New York. P.118-
119
Larkin, L. Gregory. Retinal Detachment.[serial online] 8th septembe 2010 [cited 30th
September 2017]. Available from : http//emedicine.medscape.com/article/1226426

Anda mungkin juga menyukai