Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Zonula zinn yang lemah atau putus disebut sebagai zonulisis merupakan salah
satu tantangan terbesar bagi dokter spesialis mata. Gangguan pada zonula zinn, baik
akibat penyakit kongenital, iatrogenic, trauma, pascaoperasi intraocular, myopia
tinggi, maupun variasi anatomi, akan menyulitkan setiap langkah prosedur operasi
katarak mulai dari kapsulotomi, pengeluaran inti lensa hingga pengambilan sisa
korteks pada tahap akhir operasi. Banyaknya kasus eksfoliasi sindroma yang tidak
terdeteksi dari awal, menyebabkan komplikasi bedah katarak semakin banyak.
Banyak komplkasi yang dapat ditimbulkan akibat zonulisis, baik itu intraoperative,
sepertikomplikasi yang dapat ditimbulkan akibat zonulisis, baik itu intraoperative,
seperti vitreous loss, subluksasi nucleus, dan jatuhnya seluruh lensa ke bagian
posterior dan pasca operatif seperti desenterasi lensa intraocular (IOL). Sampai saat
ini, berbagai metode, baik intraoperative maupun pasca operatif, telah dikembangkan
untuk meminimalisasi tegangan yang terjadi pada zonula zinn yang terganggu
sehingga diharapkan komplikasi yang mungkin timbul dapat diperkecil.1

Stabilitas kristalin lensa tergantung pada seluruh kekuatan apparatus zonula


zinn. Kelemahan serabut zonula bermanifestasi sebagai fakodonesis, dislokasi lensa,
subluksasi dan desentrasi. Sebagai tambahan, malposisi lensa dapat menyebabkan
lensa penekanan pada bilik anterior dan penyempitan sudut sehingga meningkatkan
tekanan intraocular.1

Penggantian lensa diindikasikan ketika terjadi katarak, atau dislokasi ke


anterior (peningkatan TIO), ke arah posterior (aberasi optic), atau ke lateral
(desentrasi). Kelemahan zonular dapat berlanjut menjadi dehisensi zonula, dimana
dapat melibatkan seluruh apparatus zonula sehingga menyebabkan luksasi lensa ke
badan vitreus.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI LENSA
Lensa merupakan struktur transparan dan bikonveks yang berfungsi
sebagai menjaga kejernihannya sendiri, merefraksikan cahaya, dan untuk
akomodasi. Lensa tidak memiliki suplai darah atau inervasi setelah
perkembangan fetus, dan tergantung pada akuos humor untuk menjaga
kebutuhan metabolic dan mengeluarkan bahan yang tidak dibutuhkan. Lensa
berada di belakang iris dan berada di depan badan viterus. Lensa ditahan pada
posisinya oleh zonula Zini, dimana terbentuk dari serabut kuat yang membantu
dan menggantungkannya pada badan siliar. Lensa dibentuk dari kapsul,
epitelium lensa, korteks dan nukelus.3

Gambar 1. Potongan melintang lensa kristalin manusia, menunjukkan hubungan


antar lensa terhadap struktur mata sekitar3
Kutub anterior dan posterior lensa digabungkan oleh garis khayal disebut
optic aksis yang melewati keduanya. Garis pada permukaan dari satu kutub ke
kutub lainnya disebut garis meridian. Garis ekuator lensa merupakan garis
terbesar. Lensa mampu merefraksikan cahaya karena indeks biasnya yang
berbeda dari akuos humor dan badan vitreus yang berada di sekitarnya. Pada
keadaan tidak berakomodasi, lensa berperan sekitar 15-20 dioptri.3

2
Lensa terus tumbuh seumur hidup.Saat lahir, lensa berukuran ekuator 6,4
mm dan 3,5 mm anteroposterior dengan berat sekitar 90 mg. Pada lensa
dewasa, lensa berukuran garis ekuator 9 mm dan 5 mm anteroposterior dan
berat sekitar 255 mg. Ketebalan lensa tergantung pada korteks dan bertambah
seiring usia. Pada waktu yang sama, lensa semakin berbentuk lengkung
sehingga semakin bertambah usia maka kekuatan refraksi semakin meningkat.
Tetapi, indeks refraksi menurun seiring bertambahnya usia dan peningkatan
partikel protein insoluble. Hal ini menyebabkan mata menjadi lebih hiperopik
atau lebih miopik berdasarkan umur, tergantung pada keseimbangan perubahan
posisinya.3
1. Kapsul Lensa
Kapsul lensa merupakan membrane dasar transparent dan elastis
terbentuk dari kolagen tipe IV dilapisi oleh sel epitel. Kapsul mengandung
substansi lensa dan mampu mencetaknya selama perubahan akomodatif.
Lapisan terluar kapsul lensa, lamella zonula jugaberperan sebagai titik
tererikatan serabut zonula. Kapsul lensa paling tebal berada pada zona
preekuator anterior dan posterior dan paling tebal berada pada sentral kutub
posterior, sekitar 2-4 μm. Kapsul lensa anterior lebih tebal dibandingkan
dengan kapsula posterior pada lahir dan meningkat ketebalannya seiring
bertambahnya usia.3

Gambar 2. Kapsul lensa manusia dewasa menunjukkan ketebalan berbeda


tiap zona.3
2. Serabut Zonula

3
Lensa disokong oleh serabut zonula yang berasal dari epitelium tidak
berpigmen lamina basalis pars plana danpars plicata badan siliar. Serabut
zonula masuk ke kapsula lensa regio ekuator, sekitar 1,5 mm ke arah
anterior kapsula anterior lensa dan sekitar 1,25 mm ke arah posterior
kapsula posterior lensa. Seiring bertambahnya usia, garis equator serabut
zonula, membagi lapisan anterior dan posterior yang tampak membentuk
triangular pada potongan melintang pada zonular ring. Serabut memiliki
diameter 5-30 µm, pada tampakan mikroskopik menunjukkan struktur
eosinofilik yang memiliki reaksi periodic acid-Schiff (PAS) poditif. Secara
ultrastruktur, serabut terbentuk dari helai, fibril, dengan diameter 8-10 nm
dan 12-14 nm banding.3
3. Epitelium Lensa
Pada belakang kapsula anterior lensa terdapat sel epitel selapis. Sel ini
diaktifkan secara metabolik dan mengatur seluruh aktivitas sel normal,
termasuk biosintesis DNA, RNA, protein, dan lipid; hal ini juga terjadi
ketika adenosin trifosfat membentuk energi yang diperlukan lensa. Sel
epitel bermitosis, dengan aktivitas premitosis terbesar (replikasi, atau fase
S) sintesis DNA terjadi pada sekitar lensa dinamakan zona germinativum.
Sel bentukan baru bermigrasi ke garis ekuator, dimana akan berdiferensiasi
ke dalam serabut. Ketika sel epitel bermigrasi ke daerah busur lensa,
kemudian memulai proses diferensiasi akhir ke dalam serabut lensa. Sutura
lensa dibentuk dari hasil proses pengaturan interdigitasi sel apik dan sel
basal.3

4
Gambar 3. Lensa mamalia pada potongan melintang. Arah panah
menunjukkan arah migrasi sel dari epitelium ke korteks.3
4. Nukleus dan Korteks
Lapisan tertua merupakan lapisan tertua. Lapisan tertua ini merupakan
nuckelus lensa fetal dan embrionik yang dibentuk selama kehidupan
embrionik dan tetap bertahan pada tengah lensa. Serabut terluar paling
lambat terbentuk dan membuat korteks lensa.3

Gambar 4. Struktur Normal Lensa Manusia3


II. FISIOLOGI DAN BIOKIMIA LENSA1
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. untuk
memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi,
menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa
sampai ukurannya yang terkecil; dalam posisi ini, daya refraksi lensa diperkecil
sehingga berkas cahaya parallel akan terfokus ke retina. untuk memfokuskan
cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula
berkurang. Kapsul lensa yang elastic kemudian mempengaruhi lensa menjadi

5
lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologik antara
korpus siliaris, zonula dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina
dikenal sebagai akomodasi. Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan
refraksi lensa perlahan-lahan berkurang.3
Gangguan pada lensa adalah kekeruhan (katarak
perkembangan/pertumbuhan misalnya congenital atau juvenile, degenerative
misalnya katarak senile, komplikata, trauma), distorsi, dislokasi, dan anomaly
geometric. Pasien yang mengalami gangguan-gangguan tersebut mengalami
kekaburan penglihatan tanpa nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
pemeriksaan ketajaman penglihatan dan dengan melihat lensa melalui slitlamp,
oftalmologi, senter tangan atau kaca pembesar, sebaiknya dengan pupil
dilatasi.3
Kristal lensa merupakan struktur yang transparan mempunyai peranan
yang penting dalam mekanisme focus pada penglihatan. Fisiologi lensa
meliputi aspek :
a. Transparansi lensa
b. Aktivitas metabolisme lensa
c. Akomodasi.

Gambar 5. Protein Lensa.3

1. Keseimbangan Air dan Kation Lensa

6
Aspek fisiologi terpenting dari lensa adalah mekanisme yang
mengatur keseimbangan air dan elektrolit lensa yang sangat penting untuk
menjaga kejernihan lensa. Karena kejernihan lensa sangat tergantung pada
komponen struktural dan makromolekular, gangguan dari hidrasi lensa
dapat menyebabkan kekeruhan lensa. Telah ditentukan bahwa gangguan
keseimbangan air dan elektrolit bukanlah gambaran dari katarak nuklear.
Pada katarak kortikal, kadar air meningkat secara bermakna.3
Lensa manusia normal mengandung sekitar 66% air dan 33% protein
dan perubahan ini terjadi sedikit demi sedikit dengan bertambahnya usia.
Korteks lensa menjadi lebih terhidrasi daripada nukleus lensa. Sekitar 5%
volume lensa adalah air yang ditemukan diantara serat-serat lensa di ruang
ekstraselular. Konsentrasi natrium dalam lensa dipertahankan pada 20mM
dan konsentrasi kalium sekitar 120 mM. Kadar natrium dan kalium
disekeliling aqueous humor dan vitrous humor cukup berbeda; natrium
lebih tinggi sekitar 150 mM di mana kalium sekitar 5 mM.3
2. Epitelium Lensa; Tempat Transport Aktif
Lensa bersifat dehidrasi dan memiliki kadar ion kalium (K+) dan asam
amino yang lebih tinggi dari aqueous dan vitreus di sekelilingnya.
Sebaliknya, lensa mengandung kadar ion natrium (Na+) ion klorida (Cl-)
dan air yang lebih sedikit dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan kation
antara di dalam dan di luar lensa adalah hasil dari kemampuan
permeabilitas membran sel-sel lensa dan aktifitas dari pompa (Na+, K+-
ATPase) yang terdapat pada membran sel dari epitelium lensa dan setiap
serat lensa. Fungsi pompa natrium bekerja dengan cara memompa ion
natrium keluar dari dan menarik ion kalium ke dalam. Mekanisme ini
tergantung dari pemecahan ATP dan diatur oleh enzim Na+, K+-ATPase.3
Keseimbangan ini mudah sekali terganggu oleh inhibitor spesifik
ATPase ouabain. Inhibisi dari Na+, K+-ATPase akan menyebabkan
hilangnya keseimbangan kation dan meningkatnya kadar air dalam lensa.
Walaupun Na+, K+-ATPase terhambat pada perkembangan katarak kortikal

7
masih belum jelas, beberapa studi telah menunjukkan penurunan aktifitas
Na+, K+-ATPase, sedangkan yang lainnya tidak tidak menunjukkan
perubahan apa pun. Dan studi-studi lain telah memperkirakan bahwa
permeabilitas membran meningkat seiring dengan perkembangan katarak.3
3. Teori Kebocoran Pompa
Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membran seringkali
dihubungkan dengan sistem kebocoran pompa pada lensa. Menurut teori
ini, kalium dan molekul-molekul lainnya seperti asam-asam amino secara
aktif ditransport ke anterior lensa melalui epitelium. Kemudian berdifusi
keluar dengan gradien konsentrasi melalui belakang lensa.di mana tidak
ada sistem transport aktif. Kebalikannya, natrium mengalir melalui
belakang lensa dengan sebuah gradien konsentrasi yang kemudian secara
aktif diganti dengan kalium melalui epitelium. Sebagai pendukung teori ini,
gradien anteroposterior ditemukan untuk kedua ion: kalium terkonsentrasi
pada anterior lensa, dan natrium pada bagian posterior lensa. Kondisi
seperti pendinginan yang menginaktifasi pompa enzim tergantung energi
juga mengganggu gradien ini. Kebanyakan aktifitas dari Na+, K+-ATPase
ditemukan dalam epitelium lensa. Mekanisme transport aktif akan hilang
jika kapsul dan epitel yang menempel dilepaskan dari lensa, tetapi tidak
terjadi jika hanya kapsul saja yang dilepaskan melalui degradasi enzimatik
dengan kolagenase. Temuan-temuan ini mendukung hipotesis yang
menyatakan bahwa epitel adalah tempat primer untuk transport aktif pada
lensa. Natrium dipompakan keluar menuju aqueous humor dari dalam
lensa, dan kalium masuk dari aqueous humor ke dalam lensa. Pada
permukaan posterior lensa (lensa-vitreus), perpindahan solut terjadi secara
difusi pasif. Rancangan asimetris ini bermanifestasi dalam gradien natrium
dan kalium sepanjang lensa dengan konsentrasi kalium lebih tinggi pada
depan lensa dan lebih rendah di belakang lensa. Dan kebalikannya
konsentrasi natrium lebih tinggi di belakang lensa daripada di depan.

8
Banyak dari difusi-difusi ini terjadi pada lensa melalui sel ke sel dengan
taut antar sel resistensi rendah.3
Keseimbangan kalsium juga penting untuk lensa. Kadar normal intrasel
dari kalsium dalam lensa adalah sekitar 30 mM di mana kadar kalsium di
luar mendekati 2 mM Besarnya gradien transmembran kalsium
dipertahankan secara primer oleh pompa kalsium (Ca2+-ATPase).
Membran sel lensa juga secara relatif tidak permeabel terhadap kalsium.
Hilangnya homeostasis kalsium akan sangat mengganggu metabolisme
lensa. Peningkatan kadar kalsium dapat berakibat pada beberapa perubahan
meliputi tertekannya metabolisme glukosa, pembentukan agregat protein
dengan berat molekul tinggi dan aktivasi protease yang destruktif.3
Transport membran dan permeabilitas juga termasuk perhitungan yang
penting pada nutrisi lensa. Transport aktif asam-asam amino mengambil
tempat pada epitel lensa dengan mekanisme tergantung pada gradien
natrium yang dibawa oleh pompa natrium. Glukosa memasuki lensa
melalui sebuah proses difusi terfasilitasi yang tidak secara langsung
terhubung oleh sistem transport aktif. Hasil buangan metabolisme
meninggalkan lensa melalui difusi sederhana. Berbagai macam substansi
seperti asam askorbat, myo-inositol dan kolin memiliki mekanisme
transport yang khusus pada lensa.3

9
Gambar 6. Skema Metabolisme Glukosa Lensa3

III. DEFINISI
Zonulisis merupakan zonula zini yang lemah atau putus. Zonulisis
menyebabkan kedudukan lensa yang tidak stabil bervariasi, mulai dislokasi
lensa ringan sampai subluksasi berat dan luksasi lensa (bergeser lokasi lensa
dari tempatnya). Sering kali keadaan ini baru diketahui saat dilakukan
kapsulektomi anterior. Jika lensa dislokasi sebagian dari posisi normalnya
disebut subluksasi lensa. Subluksasi lensa terjadi ketika serabut zonula
mengendur, dan lensa sebagian berada di dalam fossa hyaloid. Jika dislokasi

10
lensa total disebut luksasi lensa. Luksasi lensa robek sepenuhnya dan lensa
bermigrasi ke dalam badan vitreus, jarang terjadi jatuh ke bilik mata depan.1,2,4

IV. EPIDEMIOLOGI
Sublukasi dan luksasi lensa merupakan dislokasi lensa yang sebagian atau
total. Subluksasi dan luksasi lensa merupakan kondisi yang jarang dan kadang
terjadi pada usia dewasa muda akibat adanya trauma. Jika pada usia tua,
dislokasi lensa terjadi akibat adanya penyakit pada mata degenerative seperti
pseudoexfoliasi. Subluksasi/luksasi akibat trauma terjadi pada pria
dibandingkan dengan wanita, sedangkan subluksasi/luksasi akibat penyakit
metabolic terjadi sama rata dengan wanita dan pria. Insidensi subluksasi/luksasi
lensa terkait sindrom Marfan, sindrom Weil-Marchesani, dan homosistinuria.5

V. ETIOLOGI
Gangguan pada zonula zinn, baik akibat penyakit kongenital, iatrogenic,
trauma, pasca operasi intraocular, myopia tinggi, maupun variasi anatomi.1
Subluksasi atau luksasi lensa terjadi akibat destruksi total atau sebagian
apparatus zonular. Berbagai penyebab terjadinya zonulisis adalah trauma,
berbagai kelainan metabolic dan penyakit pada mata.5,6
1. Ectopia Lentis Kongenital.
a. Familial Ectopia Lentis.
Penyakit ini dapat terjadi subluksasi lensa superotemporal bilateral
tanpa disertai kelainan sistemik.6
b. Marfan Syndrome.
Penyakit ini merupakan dysplasia mesodermal dominan autosomal.
Pada kondisi ini lensa berpindah ke arah atas dan kea rah temporal
(simetris bilateral). Kelainan sistemik pada musculoskeletal dan jantung
yaitu arachnodactility (spider finger), ekstremitas memanjang, sendi
hiperekstensibilitas, arcus palatum tinggi, dilatasi aorta, dilatasi
regurgitasi aorta, diseksi aorta dan prolapse katup mitral. Kelainan pada
mata yaitu adanya sublukasasi lensa dengan gangguan akomodasi,
retinal detachment, anomalous angles, glaucoma, keratokonus, sclera
biru, myopia axial. 6,8

11
c. Weill-Marchesani Syndrome
Penyakit ini merupakan displasi mesodermal resesif autosomal.
Subluksasi lensa anteroinferior bilateral yang dapat menyebabkan
glaukoma pupil blok, mikrospferofakia, retinal detachment, anomalous
angles, perawakan pendek, brachydactyly, penurunan IQ.6,8
d. Homocystinuria
Penyakit ini merupakan kegagalan metabolism resesif autosomal.
Subluksasi lensa biasanya terjadi ke arah bawah dan ke arah nasal,
myopia, glaukoma Tampakan sistemiknya yaitu kulit pucat, malar
flush, retardasi mental, control motoric yang buruk. Diagnosis
ditegakkan dengan uji sodium nitroprusside untuk melihat adanya
kandungan homosistein pada urin.6,8
e. Familial Microspherophakia
Pada kondisi ini lensa berbentuk cembung dan berukuran kecil
mikrosferofakia dapat terjadi karena keturunan atau sindrom lain
seperti sindrom Weil-Marshesani atau sindrom Marfan.8
f. Hyperlysinemia
Penyakit ini merupakan gangguan metabolisme resesif autosomal
yang terjadi akibat defisiensi enzim lisin apfaketoglurate reduktase. Hal
ini jarang terjadi subluksasi lensa, mikrosferofakia. Gambaran sistemik
yaitu otot hipotonik, kejang dan tangan berbentuk logam.6,8
g. Sulphite Oxidase Deficiency
Penyakit ini merupakan gangguan metabolisme sulfur resesif
autosomal yang jarang terjadi. Dislokasi lensa merupakan gejala mata
yang umum. Gejala sistemik yaitu kekakuan otot yang progresif, postur
deserebrasi, dan tangan berbentuk logam. Penyakit ini merupakan
penyakit yang fatal dan dapat meninggal sebelum usia 5 tahun.8
h. Stickler Syndrome
Sindrom Stickler atau arthroophthalmopati herediter yaitu kelainan
jaringan ikat dominan autosomal yang ditandai dengan vitreus cair
sehingga seperti tampakan kavitas vitreus kosong, myopia progresif,
retinal detachment bilateral, dislokasi lensa dan katarak presenilis.8
i. Sturge-Weber Syndrome

12
j. Crouzon Syndrome
k. Ehlers-Danlos Syndrome
Pada tampakan mata didapatkan subluksasi lensa dan sclera
berwarna biru. Pada gejala sistemik ditemukan sendi hiperekstensi dan
kulit mengendor disertai banyak lipatan.6
l. Aniridia
Aniridia merupakan tidak terbentuknya iris secara kongenital.
Dapat terjadi secara total atau sebagian. Zonula lensa dan processus
siliaris dapat terliaht. Kondisi ini dapat terjadi secara genetic dan
berhubungan dengan glaukoma akibat kelainan sudut.8
2. Ectopia Lentis Didapat
a. Trauma
Dislokasi lensa sebagian atau total akibat trauma terjadi akibat
adanya cedera kontusio pada mata. Jika dislokasi sebagian, kadang
tidak menimbulkan gejala; tetapi jika lensa jatuh ke viterus, pasien
memiliki mengeluhkan pandangan kabur dan biasnaya mata merah.7
b. High Miopia
Kekuatan mata memfokuskan lensa terlalu kuat sehingga dapat
diperburuk dengan lensa cekung. Ukuran bola mata meningkat sesuai
dengan umur pada anak dan pada dewasa menjadi penglihatan dekat
untuk pertama kalinya. Pasien tidak mampu melihat papan tulis di
sekolah atau duduk lebih dekat dengan televise untuk melihat dengan
jelas. High myopia merupakan factor risiko adanya ablasia retina. Pada
high myopia adanya lensa mencembung jika melihat jauh sehingga otot
siliaris menegang dan menyebabkan zonula zinn menegang. Jika tidak
dikoreksi, akan mengakibatkan zonula zinn putus atau rapuh.12
c. Buphthalmos
Pertumbuhan mata yang terjadi lebih luas pada usia periode
postnatal dan terbatas pada usia awal lima tahun. Pertumbuhan yang
anomaly dinamakan buftalmos dan berhubungan dengan tekanan
intraocular yang tinggi pada awal bula kehidupan.11
d. Ciliary Body tumor

13
Pada tumor badan siliar terdapat massa berpigmen, dapat sangat
besar sebelum terdeteksi, menimbulkan gejala astigmatisma lenticular,
katarak, terdapat ekstensi pemuluh darah atau nodul ekstrasklera.
Tumor badan siliar dapat jinak atau ganas.9
e. Hypermature cataract
Katarak hipermatur, katarak yang mengalami proses degenerasi
lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Massa lensa yang
berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi
mengecil, berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik
mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang pengkerutan
berjalan terus sehingga hubungan dengan zonula Zinn menjadi kendor.
Bila proses katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal
maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka
korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai
dengan nucleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih
berat. Keadaan ini disebut dengan katarak Morgagni.10
f. Pseudoexfoliation
Kelemahan zonula zini akibat serabut insersi pada lensa melemah
sehingga dapat menyebabkan dislokasi lensa. Bahan fibrillar putih pada
kapsula anterior lensa, iris, korpus siliar, zunola, badan vitreus akibat
adanya dekomposisi permukaan lensa (diskus lensa, zona jernih,
annulus perifer), dilatasi buruk akibat degenerasi muskulus iris atau
kehilangan elastisitas stroma; defek transluminasi peripupil, zonula
melemah (fakodonesis, peningkatan insidensi penutupan sudut,
subluksasi lensa dan komplikasi selama dan setelah pembedahan
katarak).9

VI. PATOFISIOLOGI
Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa. Dislokasi
lensa terjadi pada putusnya zonula Zinn yang akan mengakibatkan kedudukan
lensa terganggu. Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zonula Zinn

14
sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan
akibat pasien menderita kelainan pada zonula Zinn yang rapuh (Sindrom
Marphan).10
Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang subluksasi
lensa akan memberikn gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat
penegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan menjadi
cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat
cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bilik
sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaukoma
sekunder. Subluksasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi
penutupan sudut bilik mata oleh lensa yang mencembung. Bila tidak terjadi
penyulit subluksasi lensa seperti glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan
pengeluaran lensa dan diberi kacamata koreksi yang sesuai.10
Bila seluruh zonula Zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka
lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak di dalam
bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik
mata sehingga akan timbul glaukoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya.10
Pasien akan mengeluhkan penglihatan menurun mendadak, disertai rasa
sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan blefospasme. Terjadi injeksi
siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong
ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.10
Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa
posterior akibat putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa
sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah
polus posterior fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada
lapang pandangnya akibat lensa mengganggu kampus. Mata ini akan
menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal
dengan lensa +12,0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris
tremulans. Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior dapat
menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik

15
ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi lensa telah menimbulkan penyulit
sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.10

VII. MANIFESTASI KLINIS


Secara topografi, dislokasi lensa dapat diklasifikasikan menjadi
subluksasi dan luksasi lensa.
1. Sublukasi Lensa. Adanya dislokasi lensa dimana lensa berpindah ke sisi
lain (atas, bawah, lateral, medial), tetapi tetap berada di belakang pupil. Hal
ini diakibatkan adanya ruptur sebagian atau penegangan zonula yang tidak
seimbang dengan manifestasi klinik yaitu:8
a. Cacat penglihatan terjadi akibat astigmatisma atau myopia lenticular.
b. Diplopia unilocular terjadi akibat afakia parsial.
c. Bilik mata depan menjadi lebih dalam dan irregular.
d. Iridodenesis biasanya tampak
e. Tepi sublukasasi lensa yang gelap dapat terlihat pada pemeriksaan
oftalmoskopi direk.

Gambar 7. Dislokasi Lensa.7


2. Luksasi Lensa. Tampakan klinis berdasarkan dislokasi anterior dan
dislokasi posterior.8
a. Tampakan klinis dislokasi lensa posterior yaitu bilik mata depan dalam,
afakia pada area pupil dan iridodenesis. Pemeriksaan oftalmoskopi
didapatkan lensa berada pada cavitas vitreus.

16
b. Tampakan klinis dislokasi lensa anterior yaitu bilik mata depan dalam
dan adanya lensa pada bilik mata depan. Lensa jernih tampak seperti
tetesan minyak (oil drop) pada humor akuos.8

Gambar 8. Dislokasi Lensa. A. Subluksasi. B. Dislokasi Anterior. C. Dislokasi


Posterior8

VIII. DIAGNOSIS KLINIK


1. Anamnesis
Gejala pasien tergantung dengan derajat dislokasi lensa. Dislokasi
yang sedikit biasnaya asimptomatik. Jika lensa dislokasi jauh sehingga axis
optic tidak lagi dilewati lensa, bentuk lensa kadang tidak tampak (afakia)
disertai dengan defisit respon lensa untuk mencembung. Gejala umum
dislokasi lensa adalah adanya pengurangan daya akomodasi, penurunan
aktivitas visual, dan penglihatan ganda (diplopia), terjadi ketika axis optic
melewati perifer lensa. Pada banyak kasus dislokasi lensa berhubungan
dengan tremulus lensa (fakodonesis), dapat terlihat pada slit lamp.7

2. Pemeriksaan Oftalmoskopi
Gejala cardinal yaitu adanya pergerakan tremulus pada iris dan lensa
ketika mata bergerak (iridodenesis dan fakodonesis). Gejala ini tampak pada
pemeriksaan slit-lamp.4

17
Gambar 9. Dislokasi Lensa Total ke Bilik Mata Depan.5
3. Pemeriksaan Penunjang
Dislokasi lensa dapat dilihat langsung menggunakan slit lamp.
Dislokasi yang sedikit hanya dapat terlihat ketika pupil berdilatasi. Jika
tidak tampak, posisi lensa dapat tampak pada pemeriksaan ultrasonografi
dan CT Scan.5, 13

A B
Gambar 10. Dislokasi Lensa ke Arah Posterior. A. USG. B. CT Scan13
IX. DIAGNOSIS BANDING
Trauma (penyebab terbanyak dari kasus yang didapat), sindrom Marfan,
homosistinuria, aniridia, glaukoma kongenital, megalocornea, sindrom Ehlers-
Danlos, hiperlisinemiema, defisiensi sulfat oksidase, ectopia lentis herediter.9
Sebenarnya tidak terdapat diferensial diagnosis. Dislokasi lensa ke dalam
bilik vitreus sebaiknya dibedakan dari kehilangan lensa akibat operatif atau
lensa akibat traumatic.5

X. TATALAKSANA
Tatalaksana didasarkan pada gejalanya. Ketika kondisinya asimptomatik,
pemeriksaan mata kembali dilakukan. Karena perbaikan serabut zonula tidak
memungkinkan, tatalaksana yang dilakukan pada kasus berat adalah
penggantian lensa dengan catatan, kantong kapsular harus diangkat bersamaan
dengan lensa. Lensa dapat didekati dari bilik mata depan atau melalui pars
plana.5
Saat memulai prosedur, operator harus membuat insisi sejauh mungkin
dari area zonula yang lemah. Tehnik ini akan membantu mengurangi
stress/distensi pada zonula selama tindakan fakoemulsifikasi. Namun

18
sayangnya, kebanyakan kasus zonulisis mempunyai kelemahan secara
generalisata. Pada kasus seperti ini, insisi harus ditempatkan pada kuadran yang
sama dengan kuadran subluksasi lensa, oleh karena zonula di kuadran yang
berlawanan merupakan zonula yang paling lemah. Manum demikian, operator
tetap harus memperhatikan bahwa jangan sampai menggganggu kualitas operasi
meskipun dikerjakan pada meridian yang kurang nyaman. Saat dilakukan
kapsulektomi anterior, harus diperhatikan pergerakan lensa, sebaiknya
dilakukan berlawanan dengan posis zonul yang lemah, bila tidak, maka akan
memperluas lepsanya jaringan zonule tersebut, perhatikan pula kedalaman bilik
mata depan yang tiba-tiba. Apabila diketahui lemahnya zonul lebih dari 180
derajat, segera gunakan hooks iris/kapsul yang dimodifikasi guna menggantung
dan mempertahankan kedudukan kantung lensa. Apabila tindakan pengangkatan
lensa yang katarak dan penanaman IOL selesai, maka hook kapsul tersebut
segera dilepas.1
Jika dislokasi secara anterior, disertai glaucoma inverse, pasien harus
ditatalaksana segera. Penggantian lensa diindikasikan setelah tekanan
intraocular telah terkontrol.2
Jika terjadi subluksasi lensa, sejauh mana dinilai dan dibiaskan melalui
bagian aphakia dilakukan untuk memberikan kemungkinan koreksi terbaik.2
Jika dislokasi posterior, disertai uveitis, pengangkatan lensa
diindikasikan; jika tidak terdapat uveitis tidak diperlukan tatalaksana.2
Jika pandangan kabur akibat astigmatisma lentikuer atau adanya tepi
lensa pada axis visual, pengangkatan lensa diperlukan.2
Jika terdapat deformitas yang dapat mengganggu kemampuan
penglihatan, tatalaksananya adalah aspirasi lensa atau lensektomi.2
Bermcam-macam jenis lensa tanam tersedia sekarang. Keadaan kapsul
lensa yang cenderung tidak stabil, sebaiknya dipilih lensa 3 pieces PMMA
dengan diameter lensa 6 mm dan haptic 13 mm. Hindari pemilihan lensa tanam
dengan diameter kecil, memudahkan lensa tersebut meluncur ke segmen
posterior mata.1

19
XI. KOMPLIKASI
Uveitis dan glaukoma merupakan komplikasi yang paling sering terjadi
baik itu dislokasi sebagian ataupun total. Jika tidak terdapat komplikasi,
dislokasi lensa sebaiknya tidak perlu ditatalaksana. Jika uveitis atau glaukoma
tidak terkomtrol terjadi, ekstraksi lensa harus dilakukan untuk mengurangi hasil
yang lebih buruk operasi. Pemilihan tehnik adalah lensotomy limbal atau pars
plana menggunakan lensa motor-driven dan pemotong vitreus.7
Komplikasi akibat subluksasi lensa yaitu dislokasi total, perubahan ke
arah katarak, uveitis, glaukoma sekunder. Komplikasi akibat luksasi lensa
berhubungan dengan luksasi lensa adalah uveitis dan glaukoma sekunder.8

XII. PROGNOSIS
Dislokasi lensa sebagian merupakan komplikasi dari pembentukan
katarak. Jika pada kasus, katarak harus diangkat, prosedur harus ditunda bisa
mungkin karena adanya risiko kehilangan lensa yang jatuh ke badan vitreus,
mempredisposisi adanya ablasio retina. Jika lensa tidak berada pada badan
vitreus, hal ini dapat menyebabkan glaukoma sekunder yang tidak berespon
baik terhadap pengobatan. Jika terdapat dislokasi parsial dan lensa masih jernih,
prognosis penglihatan masih baik.7

BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas pasien
Nama : Tn. MK
Umur : 72 tahun
Agama : Hindu
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa Sausu Pakareme

20
II. Anamnesis
Keluhan utama : Penglihatan mata kiri kabur

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan penglihatan


mata kiri kabur memberat 6 bulan yang lalu. Awalnya, sejak 1 tahun pasien
mengeluhkan penglihatan kabur pada mata kiri seperti tertutup kabut yang
semakin lama semakin memberat. Pasien merasa mata kirinya tidak dapat
melihat pada jarak jauh, pasien hanya dapat melihat lambaian tangan dari jarak
dekat. Pasien merasa mata kirinya terasa sangat silau saat meliha cahaya
matahari, kadang berair. Pasien tidak mengeluhkan pusing, gatal, mual dan
muntah.

Riwayat penyakit sebelumnya : Pasien tidak menderita diabetes


mellitus, dan tidak ada riwayat hipertensi ataupun trauma di mata sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam keluarga : Tidak ada di keluarga pasien menderita


keluhan seperti ini. Kelainan bawaan dalam keluarga disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik


1. Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis
Tanda vital : TD : 134/75 mmHg, N : 88 x/m, S : 36,70C,
R : 22 x/m

2. Status oftalmologis

OCULUS DEXTER OCULUS SINISTER


6/8 VISUS 1/300
Tidak dilakukan VISUS KOREKSI Tidak dilakukan
Baik PROYEKSI CAHAYA Baik

21
Deviasi (-), Bergerak ke BOLA MATA Deviasi (-), Bergerak ke
segala arah segala arah

Warna hitam, trikiasis (-), SILIA Warna hitam, Trikiasis (-),


sekret (-)
Sekret (-)

Hiperemis (-) ptosis (-) PALPEBRA SUPERIOR Hiperemis (-) ptosis (-)
edema (-) eksotropion (-) edema (-) eksotropion (-)
entropion (-) entropion (-)

Hiperemis (-) ptosis (-) PALPEBRA INFERIOR Hiperemis (-) ptosis (-)

edema (-) eksotropion (-) edema (-) eksotropion (-)


entropion (-) entropion (-)
Hiperemis (-), sekret (-) KONJUNGTIVA Hiperemis (-), sekret (-)
PALPEBRA

Injeksi konjungtiva (-) KONJUNGTIVA BULBI Injeksi konjungtiva (-)

Jernih (+) KORNEA Jernih (+)


Dalam COA Dalam
Coklat, kripta (+), IRIS Coklat, kripta (+),
tremulans (-) tremulans (+)
Bulat, RCL (+), RCTL (+) PUPIL Bulat, RCL (+), RCTL (+)

Keruh (-), tremulans (-), LENSA Keruh (+) menyeluruh,


tremulans (+), bercak
Iris shadow test (-) putih (+),

Iris shadow test (-)


normal LAPANG PANDANG menurun

22
normal TENSI OKULAR normal

Tidak dinilai TONOMETRI Tidak di nilai

Tidak dilakukan TES BUTA WARNA Tidak dilakukan

Refleks fundus (-), non OFTALMOSKOPI Refleks fundus (-),


uniform papil/retina/makula sulit
dinilai

Gambar 11. Foto mata kiri dari pasien Tn. MK

3. Pemeriksaan Laboratorium
- Darah Rutin, GDS, HbsAg, CT, BT
- Biometri

4. Resume
Pasien laki-laki berusia 72 tahun, datang dengan keluhan penglihatan kabur
pada oculi sinistra sejak 1 tahun dan memberat 6 bulan yang lalu. Penglihatan
kabur seperti berawan. Pasien merasa oculi sinistra tidak dapat melihat jauh
dan hanya melihat lambaian tangah dari dekat, fotofobia (+).
Tanda vital : TD : 134/75 mmHg, N : 88 x/m, S : 36,70C, R : 22
x/m
VOD : 6/8, VOS : 1/300.
OD : lapang pandang menurun, lensa keruh menyeluruh (+) disertai bercak
putih (+), lensa tremulans (+), iris tremulans (+),
OS : lapang pandang normal, lensa normal, iris normal

23
5. Diagnosis
OS Zonulisis ec Katarak Senilis Hipermatur
6. Penatalaksanaan
Rencana operasi fakoemulsifikasi katarak senilis hipermatur OS

7. Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Dubia
Ad functionam : Dubia
Ad cosmeticum : Bonam

24
BAB IV

PEMBAHASAN

Zonulisis merupakan zonula zini yang lemah atau putus. Zonulisis


menyebabkan kedudukan lensa yang tidak stabil bervariasi, mulai dislokasi lensa
ringan sampai subluksasi berat dan luksasi lensa (bergeser lokasi lensa dari
tempatnya). Subluksasi atau luksasi lensa terjadi akibat destruksi total atau sebagian
apparatus zonular. Berbagai penyebab terjadinya zonulisis adalah trauma, berbagai
kelainan metabolic dan penyakit pada mata.1,2,4,5,6

Untuk menegakkan diagnosis zonulisis diperlukan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan hasil anamnesis yang diperoleh pasien
laki-laki berusia 72 tahun datang dengan keluhan penglihatan kabur yang dirasakan
sejak 1 tahun yang lalu dan memberat 6 bulan yang lalu. Pasien menyangkal adanya
pusing, mual muntah, trauma pada mata dan penyakit kongenital. Keluhan ini dapat
mengarahkan pada penyebabnya yaitu penyakit pada mata yang didapat.

Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan slit lamp didapatkan penurunan visus,
lensa keruh secara menyeluruh, lensa dan iris tremulans. Hal ini menandakan adanya
zonulisis. Adanya penurunan visus dan lensa keruh secara menyeluruh diakibatkan
karena adanya penyakit mata yang menyebabkan zonulisis, yaitu karatak senilis
hipermatur. Lensa dan iris tremulans menandakan adanya zonulisis karena zonula zini
tidak mampu menahan beratnya lensa sehingga zonula zini robek. Hal ini terkait
dengan adanya proses katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal maka
korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan
memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nucleus yang
terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat.10

Sublukasi Lensa. Adanya dislokasi lensa dimana lensa berpindah ke sisi lain
(atas, bawah, lateral, medial), tetapi tetap berada di belakang pupil. Hal ini

25
diakibatkan adanya ruptur sebagian atau penegangan zonula yang tidak seimbang
dengan manifestasi klinik yaitu gangguan penglihatan terjadi akibat astigmatisma
atau myopia lenticular, diplopia unilocular terjadi akibat afakia parsial, bilik mata
depan menjadi lebih dalam dan irregular, iridodenesis biasanya tampak tepi
sublukasasi lensa yang gelap dapat terlihat pada pemeriksaan oftalmoskopi direk.8

Luksasi Lensa. Tampakan klinis berdasarkan dislokasi anterior dan dislokasi


posterior. Tampakan klinis dislokasi lensa posterior yaitu bilik mata depan dalam,
afakia pada area pupil dan iridodenesis. Pemeriksaan oftalmoskopi didapatkan lensa
berada pada cavitas vitreus. Tampakan klinis dislokasi lensa anterior yaitu bilik mata
depan dalam dan adanya lensa pada bilik mata depan. Lensa jernih tampak seperti
tetesan minyak (oil drop) pada humor akuos.8

Pemeriksaan ultrasonografi tidak dilakukan karena masih terlihat lensa.


Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan bila adanya kecurigaan lensa telah jatuh ke
posterior. Bila dilakukan pemeriksaan ultrasonografi akan tampak lensa jatuh ke
posterior membentuk tampakan seperti tetesan minyak.5,13

Tatalaksana didasarkan pada gejalanya. Ketika kondisinya asimptomatik,


pemeriksaan mata kembali dilakukan. Karena perbaikan serabut zonula tidak
memungkinkan, tatalaksana yang dilakukan pada kasus berat adalah penggantian
lensa dengan catatan, kantong kapsular harus diangkat bersamaan dengan lensa.
Lensa dapat didekati dari bilik mata depan atau melalui pars plana.5

Jika dislokasi secara anterior, disertai glaucoma inverse, pasien harus


ditatalaksana segera. Penggantian lensa diindikasikan setelah tekanan intraocular
telah terkontrol. Jika terjadi subluksasi lensa, sejauh mana dinilai dan dibiaskan
melalui bagian aphakia dilakukan untuk memberikan kemungkinan koreksi terbaik.
Jika dislokasi posterior, disertai uveitis, pengangkatan lensa diindikasikan; jika tidak
terdapat uveitis tidak diperlukan tatalaksana. Jika pandangan kabur akibat
astigmatisma lentikuer atau adanya tepi lensa pada axis visual, pengangkatan lensa

26
diperlukan. Jika terdapat deformitas yang dapat mengganggu kemampuan
penglihatan, tatalaksananya adalah aspirasi lensa atau lensektomi.2

Pada kasus dilakukan penggantian lensa intraocular tanpa dilakukan


pengangkatan kapsul, karena pada kasus terdapat katarak hipermatur dan tidak
disertai dengan uveitis atau glaukoma. Selain itu, terjadi dislokasi sebagian sehingga
lensa dapat diganti dan memberikan hasil visus yang baik.

Dislokasi lensa sebagian merupakan komplikasi dari pembentukan katarak. Jika


pada kasus, katarak harus diangkat, prosedur harus ditunda bisa mungkin karena
adanya risiko kehilangan lensa yang jatuh ke badan vitreus, mempredisposisi adanya
ablasio retina. Jika lensa tidak berada pada badan vitreus, hal ini dapat menyebabkan
glaukoma sekunder yang tidak berespon baik terhadap pengobatan. Jika terdapat
dislokasi parsial dan lensa masih jernih, prognosis penglihatan masih baik.7

Pada kasus, pasien dilakukan tatalaksana terkait katarak senilis hipermaturnya.


Selain untuk memperbaiki keadaan visusnya, tatalaksana ini juga dilakukan untuk
mencegah komplikasi yang lebih berat. Pada pasien belum didapatkan komplikasi
yang lebih berat.

Uveitis dan glaukoma merupakan komplikasi yang paling sering terjadi baik itu
dislokasi sebagian ataupun total. Jika tidak terdapat komplikasi, dislokasi lensa
sebaiknya tidak perlu ditatalaksana. Jika uveitis atau glaukoma tidak terkomtrol
terjadi, ekstraksi lensa harus dilakukan untuk mengurangi hasil yang lebih buruk
operasi. Pemilihan tehnik adalah lensotomy limbal atau pars plana menggunakan
lensa motor-driven dan pemotong vitreus.7

Komplikasi akibat subluksasi lensa yaitu dislokasi total, perubahan ke arah


katarak, uveitis, glaukoma sekunder. Komplikasi akibat luksasi lensa berhubungan
dengan luksasi lensa adalah uveitis dan glaukoma sekunder.8

27
BAB V

PENUTUP

Zonulisis merupakan zonula zini yang lemah atau putus. Subluksasi atau luksasi
lensa terjadi akibat destruksi total atau sebagian apparatus zonular. Berbagai
penyebab terjadinya zonulisis adalah trauma, berbagai kelainan metabolic dan
penyakit pada mata.

Untuk menegakkan diagnosis diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan penunjuang. Dari anamnesis didapatkan penglihatan kabur dan
penglihatan ganda. Pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan visus, lensa keruh
menyeluruh, lensa tremulans dan iris tremulans. Pemeriksaan penunjang dilakukan
bila curiga lensa telah jatuh ke posterior didapatkan tampakan seperti tetesan minyak.

Tatalaksana dilakukan berdasarkan gejalanya, ketika kondisinya asimptomatik,


pemeriksaan mata kembali dilakukan. Karena perbaikan serabut zonula tidak
memungkinkan, tatalaksana yang dilakukan pada kasus berat adalah penggantian
lensa dan menghasilkan prognosis yang baik. Jika dibiarkan, akan mengakibatkan
komplikasi uveitis dan glaukoma sekunder yang tidak akan berespon baik terhadap
pengobatan.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Gondhowiardjo, Tjahjono. Surviving the Zonulysis. Jakarta Eye Center


International Meeting. Mar 2012. pp. 1-4. Diakses pada tanggal 2 Agustus
2018. From: http://staff.ui.ac.id/system/users/survivingthezonulysis.pdf
2. Parson JH, Tandon R. Parson’s Diseases of the Eye Edisi 22. India: Elsevier;
2011. pp. 267-270.
3. The Eye MD Association. Section 11: Lens and Cataract. United State of
America: American Academy of Ophthalmology (AAO) Lifelong Education for
The Ophthalmology; 2008. pp. 5-16.
4. Lang, Gerhard. Ophthalmology: A Short Textbook Edisi 3. New York : Thieme
Stuttgart; 2000. pp. 195-197.
5. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket Atlas of Ophthalmology.
New York : Thieme Stuttgart; 2008. pp. 148-149
6. Tsai J, Denniston AK, Murray P, et al. Oxford American Handbook of
Ophthalmology. England : Oxford University Press; 2006. pp. 258-260.
7. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology Edisi 17.
USA : Mc Graw-Hill; 2011. pp. 343-344.
8. Khurana AK.. Comprehensive Ophthalmology Edisi 4. New Delhi: New Age
International (P) Limited; 2008. pp. 137-138, 202-204, 270-271.
9. Trattler W, Kaiser PK, Friedman NJ. Review of Ophthalmology Edisi 2. USA :
Elsevier; 2012. pp. 278-282.
10. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010. pp. 217, 286-287.
11. Alves M, Malki LN, Rocha EM. Buphthalmos Development in Adult: Case
Report. Journal of Ophthalmology. Jun 2012. pp. 1-2. Diakses pada tanggal 5
Agustus 2018. From: http://www.scielo.br
12. Firth P, Gray R, McLennan S, Ambler P. The Eye Clinical Practice Edisi 2.
USA: Blackwell Science. 2006. pp. 113.
13. Lee S, Hayward A, Bellamkonda VR. Traumatic Lens Dislocation.
International Journal of Emergency Medicine. 8(16). 2015. pp. 1-2. Diakses
pada tanggal 6 Agustus 2018. From: http://www.ncbi.nlm.nih.gov

29

Anda mungkin juga menyukai