Anda di halaman 1dari 29

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Mata Referat

Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman

RSUD A.W.Sjahranie Samarinda

KERATITIS

Disusun oleh:
Fatimah Zahra Muladi (1510029034)
Afifah Rizkiana (1510029029)

Pembimbing:
dr. Manfred Himawan, Sp. M

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas KedokteranUniversitas Mulawarman
Samarinda
2017

1
Referat

KERATITIS

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Mata

Fatimah Zahra Muladi 1510029034


Afifah Rizkiana 1510029029

Menyetujui,

dr. Manfred Himawan, Sp.M

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas KedokteranUniversitas Mulawarman
Samarinda
2017

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan yang berjudul Keratitis.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Manfred Himawan, Sp.M, selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
memberikan arahan, motivasi, saran dan solusi yang sangat berharga dalam
penyusunan laporan kasus ini dan juga yang selalu bersedia meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, saran, dan solusi selama penulis menjalani
co.assisten di lab/SMF Ilmu Kesehatan Mata.

2. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar


Lab/SMF Ilmu Kesehatan Mata, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada kami.

3. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Mata RSUD AWS/FK


UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang.

November, 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 3
DAFTAR ISI ..................................................................................................... 4
1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kornea .............................................................. 6
2.2 Keratitis ................................................................................................. 10
2.2.1 Definisi ......................................................................................... 15
2.2.2 Etiologi ......................................................................................... 16
2.2.3 Gejala dan Tanda ......................................................................... 17
2.2.4 Stadium Penyakit ......................................................................... 18
2.2.5 Patofisiologi ................................................................................. 18
2.2.6 Klasifikasi .................................................................................... 15
2.2.7 Penatalaksanaan ........................................................................... 25
2.2.7.1 Penatalaksanaan di Puskesmas ........................................ 25
2.2.7.2 Edukasi ............................................................................ 26
2.2.8 Prognosis ...................................................................................... 26
3. PENUTUP ..................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 29

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata merupakan salah satu indera dari pancaindera yang sangat penting
untuk kehidupan manusia. Terlebih lagi dengan majunya teknologi, indera
penglihatan yang baik merupakan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Mata
merupakan bagian yang sangat peka, trauma sekecil apapun, seperti debu yang
bila masuk mata, sudah cukup menimbulkan gangguan yang hebat (American
Academy of Ophthalmology, 2007; Vaughan & Asbury, 2010).
Kornea merupakan salah satu bagian dalam anatomi mata yang sangat
berperan dalam menentukan hasil pembiasan sinar pada mata, karena kornea
berfungsi sebagai jendela bagi ,ata dan membiaskan berkas cahaya, sehingga bila
terjadi lesi pada kornea umumnya akan memberikan gejala pemglihatan yang
menurun, terutama bila lesi tersebut letaknya di tengah (Vaughan & Asbury,
2010; Ilyas & Yulianti, 2011). Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang
merupakan bagian dari media refraksi. Kornea terdiri atas lima lapis yaitu epitel,
membran bowman, stroma, membran descemet dan endotel (Vaughan & Asbury,
2010).
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,
virus dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang
terkena seperti keratitis superficialis dan profunda atau berdasarkan penyebabnya
yaitu keratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan
obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reasi terhadap konjungtivitis
menahun (Vaughan & Asbury, 2010; Ilyas & Yulianti, 2011)
Manajemen yang tepat dapat mengurangi insideni kehilangan penglihatan
dan membatasi kerusakan kornea. Kebanyakan gangguan penglihatan dapat
dicegah, namun hanya bila didiagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan
diobati secara memadai (Srinivasan M, et al, 2006).

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Kornea

Gambar 1. Kornea

Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya. Kornea transparan (jernih), bentuknya hampir
sebagian lingkaran dengan diameter vertikal 10-11mm dan horizontal 11-12mm,
tebal 0,6-1mm terdiri dari 5 lapis. Kemudian indeks bias 1,375 dengan kekutan
pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh
struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi
relative jaringan kornea, yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada
epitel dalam mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh
lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh
menyebabkan sifat transparan hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan
epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat karena akan menghilang seiring
dengan regenerasi epitel (Vaughan & Asbury, 2010).

6
Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensoris terutama saraf siliaris
longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V saraf siliaris longus berjalan supra koroid ,
masuk kedalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi (Vaughan & Asbury,
2010).

Gambar 2. Lapisan Kornea

Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan
dan terdiri atas lima lapis: (Vaughan & Asbury, 2010; Ilyas & Yulianti, 2011)

7
1. Epitel
Bentuk epitel gepeng berlapis tanpa tanduk. Bersifat fat soluble substance.
Ujung saraf kornea berakhir di epitel oleh karena itu kelaianan pada epitel
akan menyebabkan gangguan sensibilatas korena dan rasa sakit dan
mengganjal. Daya regenerasi cukup besar, perbaikan dalam beberapa hari
tanpa membentuk jaringan parut. Tebalnya 50um, terdiri atas sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan
sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi
sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel
poligonal didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan menjadi erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm
permukaan.

2. Membrana Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma. Mempertahankan bentuk kornea Lapis ini tidak mempunyai daya
regenerasi. Kerusakan akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut.

3. Stroma
Lapisan yang paling tebal dari kornea. Bersifat water soluble substance.
Terdiri atas jaringan kolagen yang tersusun atas lamel-lamel, pada permukaan
terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat kolagen
bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air, kadar air diatur oleh
fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel. Gangguan dari
susunan serat kornea terlihat keruh. Terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara

8
serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. Membran Descemet
Lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat dan tidak berstruktur dan bening
terletak dibawah stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya
pembuluh darah. Merupakan membrane aselular dan merupakan batas
belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane
basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 um.

5. Endotel
Satu lapis sel terpenting untuk mempertahankan kejernihan kornea,
mengatur cairan didalam stroma kornea, tidak mempunyai daya regenerasi,
pada kerusakan bagian ini tidak akan normal lagi. Dapat rusak atau terganggu
fungsinya akibat trauma bedah, penyakit intra okuler dan usia lanjut jumlah
mulai berkurang. Berasal dari mesotalium, berlapis satu bentuk heksagonal
besar 20-40um. Endotel melekat pada mebran descemet melalui hemi
desmosom dan zonula okluden.

Kornea bersifat avaskular, mendapat nutrisi secara difusa dari humor


aquos dan dari tepi kapiler. Bagian sentral kornea menerima oksigen secara tidak
langsung dari udara, melalui oksigen yang larut dalam lapisan air mata, sedangkan
bagian perifer, menerima oksigen secara difusa dari pembuluh darah siliaris
anterior. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50
dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (Srinivasan M, et al,
2006).

Lapisan epitel merupakan sawar yang efisien terhadap masuknya


mikroorganisme ke dalam kornea. Cedera pada epitel mengakibatkan stroma dan
membran bowman mudah terkena infeksi, seperti bakteri, amuba dan jamur.
Kortikosteroid lokal maupun sistemik akan mengubah reaksi imun hospes dengan

9
berbagai cara dan memungkinkan terjadi infeksi oportunistik (Vaughan & Asbury,
2010).

Kornea memiliki banyak serabut nyeri sehingga lesi kornea dapat


menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperhebat oleh gesekan
palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Lesi kornea pada umumnya dapat mengaburkan penglihatan terutama pada lesi di
tengah kornea (Vaughan & Asbury, 2010).

Fotofobia kornea terjadi akibat kontraksi dari iris yang meradang. Dilatasi
pembuluh darah iris merupakan fenomena refleks yang disebabkan oleh iritasi
pada ujung saraf kornea. Meskipun mata berair dan fotofobia umumnya menyertai
penyakit kornea namun kotoran mata hanya terjadi pada ulkus bakteri purulenta.

2.2 Keratitis

2.2.1 Definisi

Keratitis adalah suatu kondisi dimana kornea bagian depan mata


mengalami inflamasi. Kondisi ini sering ditandai dengan rasa nyeri, kemudian
berkembang menjadi photofobia atau rasa silau bila terkena cahaya dan dapat
terjadi gangguan penglihatan.

Keratitis dapat terjadi pada setiap kelompok usia dan tidak dipengaruhi
oleh jenis kelamin.

2.2.2 Etiologi

Penyebab keratitis bermacam-macam, seperti infeksi bakteri, virus


maupun jamur (virus herpes simpleks merupakan penyebab tersering), kekeringan
kornea, pajanan cahaya yang terlalu terang, benda asing, reaksi alergi terhadap
kosmetik, debu, polusi atau bahan iritan lainnya, kekurangan vitamin A dan
penggunaan lensa kontak yang kurang baik (Vaughan & Asbury, 2010).

10
2.2.3 Gejala dan Tanda Keratitis

a. Gejala keratitis (American Academy of Ophthalmology, 2007;


Vaughan & Asbury, 2010)
Mata terasa sakit
Gangguan penglihatan
Trias keratitis (lakrimasi, fotofobia dan blefarospasme)

b. Tanda keratitis (American Academy of Ophthalmology, 2007;


Vaughan & Asbury, 2010)
Infiltrat (berisi infiltrat sel radang, kejernihan kornea berkurang,
terjadi supurasi dan ulkus)
Neovaskularisasi (superfisial bentuk bercabang-cabang, profunda
berbentuk lurus seperti sisir)
Injeksi perikornea
Kongesti jaringan yang lebih dalam (iridosiklitis yang dapat
disertai hipopion)

2.2.4 Stadium Perjalanan Keratitis

Stadium infiltrasi. Infiltrasi epitel stroma, sel epitel rusak, edema,


nekrosis lokal. Hanya stadium 1 yang terjadi pada keratitis, sedangkan
stadium 2 dan 3 terjadi pada keratitis lanjut seperti pada ulkus kornea.
Gejala objektif pada stadium ini selalu ada dengan batas kabur, disertai
tanda radang, warna keabu-abuan dan injeksi perikorneal.
Stadium regresi. Ulkus disertai infiltrasi di sekitarnya,
vaskularisasi meningkat dengan tes flouresensi positif.
Stadium sikatrik. Pada stadium ini terjadi epitelisasi, ulkus
menutup, terdapat jaringan sikatrik dengan warna kornea kabur. Tanpa
disertai tanda keratitis, batas jelas, tanpa tanda radang, warna keputihan
dan tanpa injeksi perikorneal.

11
2.2.5 Patofisiologi

Karena kornea avaskular, maka pertahanan sewaktu peradangan tidak


dapat segera datang. Maka badan kornea, sel-sel yang terdapat di dalam stroma
segera bekerja sebagai makrofag baru kemudian disusul oleh pembuluh darah
yang terdapat di limbus dan tampak sebagi Injeksi perikornea. Sesudahnya baru
terjadi infiltrat, yang tampak sebagai bercak bewarna kelabu, keruh, dan
permukaan yang licin. Kemudian dapat terjadi kerusakan epitel kornea dan timbul
ulkus yang dapat menyebar ke permukaan dalam stroma. Pada peradangan yang
hebat, toksin dari kornea dapat menyebar ke iris dan badan siliar dengan melalui
membran descemet dan endotel kornea. Baru demikian iris dan Badan siliar
meradang dan timbullah kekeruhan dicairan COA, disusul dengan terbentuknya
hipopion. Bila peradangan terus mendalam, tetapi tidak mengenai membran
descemet dapat timbul tonjolan membran descement yang disebut mata lalat atau
descementocele. Pada peradangan dipermukaan kornea, penyembuhan dapat
berlangsung tanpa pembentukan jaringan parut. Pada peradangan yang lebih
dalam, penyembuhan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut yang dapat
berupa nebula, makula, atau leukoma. Bila ulkusnya lebih mendalam lagi dapat
timbul perforasi yang dapat mengakibatkan endoftalmitis, panoftalmitis, dan
berakhir dengan ptisis bulbi (Vaughan & Asbury, 2010).

2.2.6 Klasifikasi

Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal; antara lain :

Berdasarkan lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi :


Keratitis pungtata
Keratitis marginal
Keratitis interstisial
Berdasarkan penyebabnya, keratitis diklasifikasikan menjadi :
Keratitis bakteri
Keratitis jamur
Keratitis virus
Keratitis herpetic
Keratitis alergi

12
Berdasarkan bentuk klinisnya, keratitis dibagi menjadi :
Keratitis flikten
Keratitis sika
Keratitis neuroparalitik
Keratitis numularis

Klasifikasi keratitis berdasarkan lapisan kornea yang terkena, yaitu :


A. Keratitis Pungtata

Keratitis yang terkumpul di daerah Bowman, dengan infiltrat


berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis pungtata superfisial memberikan
gambaran seperti infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan kornea.
Merupakan cacat halus kornea superfisial dan hijau bila diwarnai
fluoresein. Sedangkan keratitis pungtata subepitel adalah keratitis yang
terkumpul di daerah membran Bowman (Thygeson, 2007).

Gambar 3. Keratitis pungtata

B. Keratitis Marginal

Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan


limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis
kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya
terdapat pada pasien separuh baya dengan adanya blefarokonjungtivitis
(Thygeson, 2007).

13
Gambar 4. Keratitis Marginal

C. Keratitis Interstisial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya
pembuluh darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya
transparansi kornea. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis
interstisial (Thygeson, 2007).

Gambar 5. Keratitis Interstitial

14
Klasifikasi keratitis berdasarkan penyebabnya, yaitu :
A. Keratis Bakteri

1. Faktor Risiko

Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel


kornea adalah potensi penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis,
beberapa faktor risiko terjadinya keratitis bakteri diantaranya
(American Academy of Ophthalmology, 2007; Vaughan & Asbury,
2010) :

Penggunaan lensa kontak


Trauma
Kontaminasi pengobatan mata
Riwayat keratitis bakteri sebelumnya
Riwayat operasi mata sebelumnya
Gangguan defense mechanism
Perubahan struktur permukaan kornea

2. Etiologi

Etiologi keratitis bakteri ditunjukkan oleh tabel berikut :

Tabel 1. Etiologi Keratitis Bakteri (American Academy of Ophthalmology, 2007)

15
3. Manifestasi Klinis

Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada


mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan
menjadi kabur.
Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan
hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea

Gambar 5. Keratitis ulseratif supuratif yang disebabkan oleh P.aeruginosa

4. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus


kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril
kemudian ditanam di media cokelat, darah dan agar abouraud,
kemudian dilakukan pengecatan dengan gram.
Biopsi kornea dilakukan jika kultur negatif dan tidak ada perbaikan
secara klinis dengan menggunakan blade kornea bila ditemukan
infiltrat dalam di stroma.

5. Terapi

Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu


hasil kultur bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat
diberikan :

16
Tabel 2. Terapi inisial untuk keratitis bakteri (American Academy of
Ophthalmology, 2007)

B. Keratis Jamur

1. Etiologi
Keratitis jamur dapat disebabkan oleh :
a. Jamur berfilamen (filamentous fungi)
Bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa, terdiri dari :
Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp,
Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
b. Jamur ragi (yeast), yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan
tunas : Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
c. Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media
pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies
sp, Histoplastoma sp, Sporothrix sp.

17
2. Patologi
Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke
lamella kornea. Mungkin ada nekrosis koagulatif stroma kornea yang
meluas dengan edema serat kolagen dan keratosit. Reaksi inflamasi
yang menyertai kurang terlihat daripada keratitis bakterialis. Abses
cincin steril mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses yang
multipel dapat mengelilingi lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke
membran descemet yang intak dan menyebar ke kamera okuli
anterior (American Academy of Ophthalmology, 2007; Vaughan &
Asbury, 2010).

3. Manifestasi Klinis

Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena


infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan
antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis
pada lamella kornea, peradangan akut, respon antigenik dengan
formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat (American
Academy of Ophthalmology, 2007; Vaughan & Asbury, 2010).

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat


menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan
kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi
keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan
berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat
paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama,
yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi
tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat
juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior
dapat cukup parah (American Academy of Ophthalmology, 2007;
Vaughan & Asbury, 2010).

18
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman
berikut :

Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal


lama
Lesi satelit
Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan
tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh
Plak endotel
Hypopyon, kadang-kadang rekuren
Formasi cincin sekeliling ulkus
Lesi kornea yang indolen

Gambar 6. Keratitis Fungi

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan kerokan
kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan
tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan
K0H, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India.
Biopsi jaringan kornea dan dinamai dengan Periodic Acid Schiff
atau Methenamine Silver.

5. Terapi
Obat-obat anti jamur yang dapat diberikan meliputi :
Polyenes termasuk natamycin, nistatin, dan amfoterisin .

19
Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole,
Mikonazole, flukonazol, itrakonazole, ekonazole, dan
klotrimazole.

C. Keratitis Virus

1. Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus
tersering pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia
sebagai host, merupakan parasit intraselular obligat, dapat ditemukan
pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata.
Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan
mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus
(Vaughan & Asbury, 2010).

2. Patofisiologi

Patofisiologi keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk :

Pada epitelial : kerusakan terjadi akibat pembiakan virus


intraepitelial mengakibatkan kerusakan sel epitel dan membentuk
tukak kornea superfisial.
Pada stromal : terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus
yang menyerang yaitu reaksi antigen-antibodi yang menarik sel
radang ke dalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan
proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak stroma
di sekitarnya (Vaughan & Asbury, 2010).

3. Manifestasi Klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia,
penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun
terutama jika bagian pusat yang terkena. Infeksi primer herpes
simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis folikularis akut

20
disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan
kelenjar limfe regional (Vaughan & Asbury, 2010).

Kebanyakan penderita juga disertai keratitis epitelial dan dapat


mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini
dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu di mana
daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang
stroma (Vaughan & Asbury, 2010).

Gambar 7. Keratitis Virus Herpes impleks

4. Pemeriksaan Penunjang

Usapan epitel dengan Giemsa multinuklear noda dapat


menunjukkan sel-sel raksasa, yang dihasilkan dari perpaduan dari sel-sel
epitel kornea yang terinfeksi dan virus intranuklear inklusi (Vaughan &
Asbury, 2010).

5. Terapi
Debridement

Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement


epithelial, karena virus berlokasi didalam epithelial. Debridement
juga mengurangi beban antigenic virus pada stroma kornea. Epitel
sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropine 1% atau

21
homatropin 5% diteteskan ke dalam sakus konjungtiva, dan
ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari
dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh
umumnya dalam 2 jam.

Terapi Obat

IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam


larutan 1% dan diberikan setiap jam, salep 0,5%
diberikan setiap 4 jam)
Vibrabin : sama dengan IDU tetapi hanya terdapat
dalam bentuk salep
Trifluorotimetidin (TFT) : sama dengan IDU, diberikan
1% setiap 4 jam
Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata
berat, khususnya pada orang atopi yang rentan terhadap
penyakit herpes mata dan kulit agresif.

Terapi Bedah

Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk


rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea
yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes non aktif.

D. Keratitis Alergi
1. Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang mengenai kedua mata,
biasanya penderita sering menunjukkan gejala alergi terhadap tepung
sari rumput-rumputan (Mansjoer & Arif, 2001; Vaughan & Asbury,
2010; Ilyas & Yuliana, 2011).

22
2. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis keratitis alergi, yaitu (Mansjoer & Arif, 2001;
Vaughan & Asbury, 2010; Ilyas & Yuliana, 2011) :

Bentuk palpebra : cobble stone (pertumbuhan papil yang besar),
diliputi sekret mukoid.
Bentuk limbus : tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti
lilin)
Gatal
Fotofobia
Sensasi benda asing
Mata berair dan blefarospasme

3. Terapi
Tatalaksana yang dapat dilakukan, antara lain (Mansjoer & Arif,
2001; Vaughan & Asbury, 2010; Ilyas & Yuliana, 2011) :
Biasanya sembuh sendiri tanpa diobati
Steroid topikal dan sistemik
Kompres dingin
Obat vasokonstriktor
Cromolyn sodium topikal
Koagulasi cryo CO2.
Pembedahan kecil (eksisi).
Antihistamin umumnya tidak efektif
Kontraindikasi untuk pemasangan lensa kontak

Klasifikasi keratitis berdasarkan bentuk klinisnya, yaitu :

A. Keratitis Flikten/Skrofulosa/Eksematosa
Flikten merupakan benjolan berdiameter 1-3 mm berwarna abu-
abu pada lapisan superfisial kornea. Epitel diatasnya mudah pecah dan
membentuk ulkus. Ulkus ini dapat sembuh atau tanpa meninggalkan
sikatrik. Selain itu, terdapat ulkus yang menjalar dari pinggir ke tengah,
dengan pinggir meninggalkan sikatrik sedangkan bagian tengah nya

23
masih aktif, yang disebut wander phlyctaen. Keadaan ini merupakan
proses yang mudah sembuh, tetapi kemudian kambuh lagi di tempat lain
bila penyebabnya masih ada dan dapat menyebabkan kelainan kornea
berbentuk bercak-bercak sikatrik, menyerupai pulau-pulau yang disertai
Geographic pattern (Ilyas & Yuliana, 2011).

B. Keratitis Sika
Merupakan peradangan konjungtiva dan kornea akibat keringnya
permukaan kornea dan konjungtiva. Penyebab keringnya permukaan
konjungtiva dan kornea, yaitu

Berkurangnya komponen lemak, seperti pada blefaritis


Berkurangnya airmata, seperti pada syndrome syrogen, setelah
memakai obat diuretik, atropin atau dijumapai pada usia tua.
Berkurangnya komponen musin, dijumpai pada keadaan
avitaminosis A, penyakit-penyakit yang menyebabkan cacatnya
konjungtiva, seperti trauma kimia, Sindrom Steven Johnson,
trakoma.
Penguapan yang berlebihan seperti pada kehidupan gurun pasir,
lagoftalmus, keratitis neuroparalitika.
Adanya sikatrik pada kornea.

Gejala klinis yang sering timbul yaitu mengeluh mata terasa


gatal, terasa seperti ada pasir, fotopobi, visus menurun, secret
lengket, mata terasa kering. Dari hasil pemeriksaan didapatkan sekret
mukus dengan tanda-tanda konjungtivitis dengan xerosis konjuntiva,
sehingga konjungtiva bulbi edema, hiperemi, menebal, kering, tak
mengkilat, warnanya mengkilat. Terdapat infiltrat-infiltrat kecil,
letak epiteleal, tes fluoresen (+). Terdapat juga benang-benang
(filamen) yang sebenarnya sekret yang menempel, karena itu, disebut
juga keratitis filamentosa.

24
C. Keratitis Numularis
Diduga dari virus. Pada klinis, tanda-tanda radang tidak jelas,
terdapat infiltrat bulat-bulat subepitelial di kornea, dimana tengahnya
lebih jernih, disebut halo (diduga terjadi karena resorpsi dari infiltrat
yang dimulai di tengah). Tes fluoresen (-). Keratitis ini kalau sembuh
meninggalkan sikatrik yang ringan.

2.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta
memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam
mengevaluasi keadaan klinis keratitis, yaitu rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa
mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Sebagian besar pakar
menganjurkan melakukan debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea
selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk
menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam
hal ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering
mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi
kandungan virus epithelial jika penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi
radang akan cepat berkurang (Paul R.E, John P.W., 2004; Ilyas & Yuliana, 2011).
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat
ditambahkan lem cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila
tindakan tersebut gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu
dilakukan keratoplasti. Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa
stroma kornea, bila sudah terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak perlu;
tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamellar (Paul R.E, John P.W., 2004).

2.2.7.1 Penatalaksanaan di Puskesmas


Berikan tetes mata kloramfenikol (0,5 1 %) enam kali sehari,
sekurang-kurangnya selama 3 hari
Jangan diberikan antibiotika atau obat-obatan lainnya yang mengandung

25
kortikosteroid.
Segera rujuk ke spesialis mata apabila :
Rasa nyeri dan mata merah menetap setelah 3 hari pengobatan
Tampak lesi putih di kornea
Tetap berikan kloramfenikol tetes mata tanpa dilakukan pemasangan
verban saat merujuk ke dokter spesialis mata (Departemen Kesehatan RI,
2007).

2.2.7.2. Edukasi
Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik
dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak
terlalu sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat
juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan
sinar matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang
telah memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek
matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada. Pada keratitis dengan
etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien
untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan
mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue (Ilyas &
Yuliana, 2011).

2.2.8 Prognosis
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk
luas dan dalamnya lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidaknya perluasan ke
jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised),
virulensi patogen, ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada
jaringan tersebut, waktu penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan penunjang seperti kultur pathogen di laboratorium. Pasien
dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki
prognosis yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas
didalam sklera atau struktur intraokular sangat sulit. Diagnosis awal dan terapi
tepat dapat membantu mengurangi kejadian hilangnya penglihatan. Imunitas

26
tubuh merupakan hal yang penting dalam kasus ini karena diketahui reaksi
imunologik tubuh pasien sendiri yang memberikan respon terhadap virus ataupun
bakteri. Pada keratitis superfisialis pungtata penyembuhan biasanya berlangsung
baik meskipun tanpa pengobatan.

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh
bakteri, virus dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis
kornea yang terkena seperti keratitis superfisialis dan profunda atau
berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis karena berkurangnya sekresi air
mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi
kekebalan, reasi terhadap konjungtivitis menahun.
Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan
penglihatan dan membatasi kerusakan kornea. Kebanyakan gangguan
penglihatan dapat dicegah, namun hanya bila didiagnosis penyebabnya
ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. (2007). Externa disease and


cornea. San Fransisco.

2. Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Pengobatan Dasar di


Puskesmas. Jakarta: Depkes RI.

3. Ilyas, S. & Yuliana, SR. (2011). Mata Merah dengan Penglihatan Turun
Mendadak. In Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

4. Paul R.E, John P.W. (2004). Cornea. In V. &. Asbury, General


Ophthalmology. United States Of America.

5. Srinivasan M, et al. (2006). Distinguishing Infectious Versus Non


Infectious Keratitis. Indian Journal of Opthalmology .

6. Thygeson, P.2007. Superficial Punctate Keratitis. Journal of the American


Medical Association. 144 : 1544-1549

7. Vaughan & Asbury. (2010). Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai