Anda di halaman 1dari 8

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

RSD Madani Palu

Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako

REFLEKSI KASUS

GANGGUAN MENTAL DAN PRILAKU AKIBAT PENGGUAAN ZAT


MULTIPEL DAN PENGGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF LAINNYA
DENGAN GANGGUAN PSIKOTIK PREDOMINAN MANIK

DISUSUN OLEH:

Ayu Sylvia Lestari

N 111 16 033

PEMBIMBING:
dr. Merry Tjandra, Sp. KJ

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

RSD MADANI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2017

REFLESI KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Z
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Donggala
Pekerjaan : Pekerja Lepas
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum menikah
Suku : Kaili
Pendidikan : SMA
Tanggal Pemeriksaan : 27 Februari 2017
Tempat Pemeriksaan : Ruang Manggis RSD Madani Palu
Tanggal Masuk : 21 Februari 2017
1
A. Deksripsi
Seorang pria berusia 22 tahun datang ke RSJ diantar oleh
kakak iparnya karena mengamuk dan ingin bunuh diri. Pasien
mengatakan pasien mengamuk karena tidak diberi obat THD. Pasien
mengatakan melihat almarhum ibunya menjelma menjadi kuda putih
yang turun dari surga bersama dengan malaikat. Selain itu, pasien
juga mendengar suara bisikan almarhumah ibunya seperti ajakan
untuk naik ke surga dengan cara bunuh diri. Pasien juga mengatakan
pasien dapat melihat wentira, surga dan neraka bersama dengan
ibunya. Pasien mengaku pasien adalah seorang Gusti Prabu yang
dapat menghilang dan dapat pergi ke wentira, surga dan neraka
bersama dengan ibunya. Pasien mengaku bahwa dirinya pasti masuk
surga. Pasien mengaku mengkonsumsi obat THD satu hari sebelum
dibawa ke rumah sakit. Pasien diperkenalkan obat THD oleh teman-
temannya dan menggunakan obat THD sebanyak 7 butir. Setelah
menggunakan obat THD pasien merasakan semangat untuk bekerja.
Selain itu, pasien mengatakan bahwa pasien sering mengonsumsi
shabu-shabu dengan cara dihisap bersama dengan teman-temannya.
Setelah menggunakan shabu-shabu pasien merasakan ketenangan,
pikiran menjadi ringan (seperti melayang), dan melupakan masalah
yang ada.
Pasien mengatakan ini kali kesepuluh dia menjalani perawatan
di RSJ yang sebelumnya pada tahun 2017 sempat dirawat selama 1
minggu karena perubahan perilaku akibat konsumsi obat THD sejak
Juni 2016. Pasien putus obat selama sekitar 1 minggu karena pasien
tidak ada wali yang menemani kontrol. Hal ini berawal setelah ibu
kandung pasien meninggal dunia pada tahun 2008. Pasien merasakan
sedih terus-menerus karena sangat menyayangi ibunya. Sejak itu
pasien mulai mengkonsumsi obat THD untuk menenangkan
2
pikirannya. Kemudian pasien diperkenalkan oleh temannya
mengkonsumsi obat THD dan ketagihan. Pasien juga mengatakan
pernah dipukul kakak iparnya hingga lebam menggunakan kayu.
Rata-rata pasien minum 7 pil tiap yang diminum langsung selama 1
tahun. Pasien juga memiliki riwayat merokok sejak kelas 3 SD, rata-
rata 1 batang/hari.
B. Emosi terkait
Pada kasus ini menarik untuk dibahas karena gejala yang dialami oleh
pasien sudah menetap lama.
C. Evaluasi
- Pengalaman baik : Pasien cukup kooperatif saat anamnesis
dilakukan
- Pengalaman buruk : pasien terkadang lompat gagasan
D. Analisis
Beberapa zat dapat mempengaruhi baik keadaan mental yang
dirasakan secara internal, seperti mood, maupun aktivitas yang dapat
diamati secara eksternal, seperti perilaku. Zat dapat menyebabkan
gejala neuropskiatri umum tanpa penyebab yang diketahui
(contohnya, skiofrenia dan gangguan mood)[4]
Menurut UU No. 35/2009; Narkotika adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke
dalam golongan-golongan yang terlampir dalam undang-undang
Narkotika.[1]
Psikotropika yaitu zat atau obat, baik alami maupun sintesis bukan
narkotik yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf dan menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental
dan perilaku.[1]

3
Zat adiktif adalah bahan lain bukan narkotika atau psikotropika yang
pengunaannya dapat menimbulkan ketergantungan baik psikologis
atau fisik. Mis : rokok, cofein.[1]

Penggolongan Narkotika Menurut UU 35/2009[2]


Golongan I:
a. Dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
b. Dalam jumlah terbatasuntuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta
reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan menteri
atas rekomendasi Kepala BPOM (pasal 8).
c. Termasuk narkotika golongan I adalah opium, heroin, kokain,
ganja, metakualon, metamfetamin, amfetamin, MDMA, STP,
fensiklidin.
Golongan II:
a. berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan
b. digunakan dalam pengobatan sebagai pilihan terakhir.
c. Termasuk dalam golongan ini adalah morfin, petidin, metadon.
Golongan III:
a. berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan
b. Digunakan dalam terapi.
c. Termasuk dalam golongan ini adalah kodein, bufrenorfin.

Penggolongan Psikotropika[2]
Psikotropika gol 1 adalah psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat, mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Contoh : MDMA (etcacy), LSD,
Amfetamin (Shabu ) UU NO 35 thn 2009 MDMA, LSD,
Amfetamin sdh nerupakan kelompok narkotika
Psikotropika gol 2 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan

4
sindroma ketergantungan. Contoh : fensiklidin dan methyl
fenidate (sdh masuk kelompok narkotika) dan sekobarbital
Psikotropika gol 3 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang, mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Contoh : pentobarbital dan
flunitrazepam
Psikotropika gol 4 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakbatkan
sindroma ketergantungan. Contoh : diazepam, klobozam,
fenobarbital, barbital, klonazepam, klordiazepoxide, dan
nitrazepam
Zat psikoaktif, khususnya NAPZA memiliki sifat-sifat khusus
terhadap jaringan otak : bersifat menekan aktivitas fungsi otak
(depresan), merangsang aktivitas fungsi otak (stimulansia) dan
mendatangkan halusinasi (halusinogenik). Karena otak merupakan
sentra perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA (yang masuk
ke dalam tubuh manusia) dengan sel-sel syaraf otak dapat
menyebabkan terjadinya perubahan perilaku manusia. Perubahan-
perubahan perilaku tersebut tergantung sifat-sifat dan jenis zat yang
masuk ke dalam tubuh.[3]

Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif


(F10-F19)[5]
F10 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Alkohol
F 11 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Opioida
F12 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Kanabinoida
F13 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Sedativa
atau Hipnotika

5
F14 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Kokain
F15 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Stimulainsia
lain termasuk Kafein
F16 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan
Halusinogenika
F17 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Tembakau
F18 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Pelarut yang
mudah menguap
F19 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Zat Multipel
dan Penggunaan Zat Psikoaktif lainnya.
Tahapan Terapi[3]
a. Fase penilaiaan: pada fase ini diperoleh informasi dari pasien, maka
perlu dilakukan evaluasi psikiatri yang komperhensif. Informasi
juga dapat dikumpulkan dari karyawan, teman sekolah, ataupun
teman kantor. Yang perlu dinilai meliputi: penilaiaan sistematik
terhadap tingkat intoksikasi, riwayat medik, psikiatri yang
komperhensif, riwayat terapi penggunaan NAPZA sebelumnya,
riwayat penggunaan NAPZA sebelumnya, penapisan melalui darah
dan urin, skrining penyakit lain
b. Fase terapi detoksifikasi
c. Fase terapi lanjutan
Terapi substitusi: sering juga di sebut terapi rumatan. Idealnya terapi
rumatan: rendah potensi untuk didiversikan, lama aksi cukup panjang,
toksisitas rendah, fase doetoksifikasi harus singkat, pasien menerima
dengan ikhlas dan baik. Namun belum ditemukan yang ideal sehingga
menggunakan agonis (metadon), buprenoprin, antagonis naltrekson.[3]
Tahap rehabilitasi: Ada tiga tahap rehabilitasi narkoba yang harus
dijalani. Pertama, tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi) yaitu proses
pecandu menghentikan penyalahgunaan narkoba di bawah pengawasan
dokter untuk mengurangi gejala putus zat (sakau). Tahap kedua, yaitu

6
tahap rehabilitasi non medis dengan berbagai program di tempat
rehabilitasi, misalnya program therapeutic communities (TC).[3]

DAFTAR PUSTAKA

1. BNN, 2013. Pedoman Pencegahan penyalaguna NAPZA, Badan Narkotika


Nasional: Jakarta. From :http://www.bnn.go.id/, diakses pada 25 januari 2017
2. Soetjipto, 2007 Berbagai macam adiksi dan penyalahgunaan narkoba
,indonesian phisician journal, 2007, vol.23 .N0.1., universitas airlangga.
3. Elvira S, Hadisukanto G, 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
4. Sadock B, Shadock, Virginia. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis, Penerbit EGC. Jakarta
Maslim R, 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta.

5. Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III) Cetakan


kedua, Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik
Indonesia: Jakarta; 2013.
2. Kaplan H.I, Sadok B.J, Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat Edisi 2, EGC:
Jakarta; 2010.
3. Elvira S, Hadisukanto G,. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta ; 2013

Anda mungkin juga menyukai