Anda di halaman 1dari 19

Referat

BLOWOUT FRACTURE

Disusun oleh:
Rio Yus Ramadhani
04054821517099

Pembimbing:
dr. Riani Erna, Sp.M

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2016

Halaman Pengesahan

Referat
BLOWOUT FRACTURE

Oleh:
Rio Yus Ramadhani
04054821517099

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen


Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang/Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.

Palembang, Mei 2016


Pembimbing

dr. Riani Erna, Sp.M

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan telaah ilmiah yang berjudul Transfusi Darah sebagai
salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Kesehatan Mata RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang/Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan,
saran, serta dukungan dalam proses penyelesaian telaah ilmiah ini yang berjudul
BLOWOUT FRACTURE, khususnya kepada dr. Riani Erna, Sp.M sebagai
pembimbing. Telaah ilmiah ini telah kami susun berdasarkan berbagai referensi
kedokteran antara lain buku dan jurnal kedokteran. Kami menyadari bahwa
terdapat kekurangan dalam telaah ilmiah ini. Oleh karena itu, kami sebagai
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar telaah ilmiah ini
dapat lebih baik di masa mendatang. Semoga telaah ilmiah ini bermanfaat sebagai
sumber ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Palembang, Mei 2016

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Trauma dapat menyebabkan kelainan dari anatomi tubuh, terutama terjadinya

fraktur. Trauma di wajah juga dapat menyebabkan fraktur dari tulang wajah
tersebut. Salah satu hal yang menjadi masalah berat adalah trauma pada mata.
Mata sendiri terdiri dari bola mata dan organ yang berada di sekitar mata
sekaligus menjadi penopang mata, yaitu orbita. Trauma pada orbita bisa merusak
tulang wajah yang menopang mata dan jaringan ikat yang berdekatan, bahkan
mengenai isi dari orbita itu sendiri. Fraktur pada orbita dapat dihubungkan dengan
luka pada isi orbita, struktur tulang wajah dan intrakranial, dan sinus paranasal.
Pendarahan orbita dan masuknya benda asing bisa saja memberikan efek sekunder
pada orbita. Penurunan visus, luka intraocular, strabismus, malposisi kelopak
mata, dan ptosis bisa terjadi. Karena tingginya angka kejadian luka intraokular,
pemeriksaan okular harus dilakukan pada setiap pasien dengan trauma orbita.
Kerusakan okular yang disebabkan trauma orbita bisa termasuk hifema, reseksi
sudut, corneosclerallaceration, dialisi retina, retina robek, dan perdarahan vitrous.
Aktivitas sehari-hari dan olahraga terutama menggunakan bola meningkatkan
angka kejadian trauma pada orbita. Apabila benda yang menyebabkan trauma
lebih besar dari orbita, maka dapat terjadinya fraktur orbita yang kuat dan secara
tidak langusng akan merambat ke tulang orbita sampai ke belakang. Fraktur ini
dinamakan Blowout fracture. Fraktur ini terutama terjadi pada basis orbita.
Blowout Fracture yang terisolasi pada dinding medial orbita bisa juga terjadi. Dan
tidak hanya fraktur, gangguan dalam fisiologis penglihatan juga dapat terjadi.
Oleh karena itu, sebagai dokter yang akan menangani kasus di lini pertama
pelayanan kesehatan, dokter umum membutuhkan pemahaman tentang fraktur
orbita terutama pada refererat ini tentang Blowout Fracture agar dapat melakukan
tatalaksana yang tepat apabila kasus ini terjadi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Orbita
Orbita adalah rongga tulang yang berisi bola mata, otot ekstraokular, saraf,
lemak, dan pembuluh darah. Setiap orbita berbentuk pear-shaped, meruncing
posterior ke apeks dan kanal optik. Dinding orbital medial paralel dan terpisah
sejauh 25 mm pada orang dewasa. Dimensi terluas orbita adalah sekitar 1 cm di
belakang lingkaran anterior orbita. Ukuran rata-rata orbita dewasa ditampilkan
pada Tabel 1-1.

2.1.1. Atap Orbita

Terdiri dari tulang frontal dan sedikit tulang sphenoid


Penanda penting : fossa kelenjar lakrimal, yang berisi lobus orbital dari
kelenjar lakrimal; fossa untuk troklea tendon oblique superior, terletak 5
mm di belakang lingkaran orbital nasal superior; dan dudukan
supraorbital, atau foramen, yang dilalui pembuluh darah supraorbital dan

cabang saraf frontal


Terletak berdekatan dengan anterior fossa kranial dan sinus frontalis

2.1.2. Dinding lateral dari orbita

Terdiri dari tulang zygomatic dan bagian besar sphenoid


Penanda penting: tuberkel orbita lateral Whitnall, dengan beberapa
tambahan, termasuk tendon kantus lateral, tanduk lateral levator
aponeurosis, ligamentum rektus lateral, ligamentum Lockwood
(ligamentum suspensorium dari bola mata), dan Whitnall ligament;

dan sutura frontozygomatic, terletak 1 cm di atas tuberkulum


Terletak berdekatan dengan fossa media dan fossa temporalis
Meluas ke anterior sumbu bola mata, membantu melindungi bagian
posterior tengah mata sementara masih memungkinkan lapangan
pandang yang lebar

2.1.3. Dinding medial dari orbita

Terdiri dari ethmoid, lakrimal, rahang, dan tulang sphenoid


Penanda penting: sutura frontoethmoidal
Terletak berdekatan dengan ethmoid dan sinus sphenoid dan rongga

hidung
Dinding medial membentuk kanal optik dinding lateral sinus sphenoid

Dinding tipis dari medial orbita adalah lamina papyracea, yang menyelimuti sinus
ethmoid sepanjang dinding medial, dan tulang rahang atas, terutama di bagian

posteromedialnya. Ini adalah tulang yang paling sering retak akibat trauma tidak
langsung, atau blowout fracture. Infeksi sinus ethmoid yang meluas melalui
papyracea lamina dapat menyebabkan selulitis orbita dan proptosis.
2.1.4. Basis dari Orbita

Terdiri dari rahang atas, palatina, dan tulang zygomatic


Membentuk atap sinus maksilaris; tidak meluas ke puncak orbital tetapi

berakhir pada fossa pterygopalatine


Penanda penting: lengkung infraorbital dan kanal infraorbital, yang
meneruskan arteri infraorbital

2.1.5. Apertura

Foramen ethmoidal

Anterior dan posterior arteri ethmoidal melewati foramen ethmoidal mengikuti


dinding orbital medial sepanjang jahitan frontoethmoidal. Foramen ini
menyediakan rute untuk infeksi dan neoplasma dari sinus ke orbita.

Fisura orbita superior

Fisura orbita superior memisahkan sayap yang lebih besar dan lebih kecil dari
sphenoid dan mengirimkan saraf kranial III, IV, dan VI, pertama (mata)
pembagian saraf kranial (CN), dan serabut saraf simpatis. Sebagian besar drainase
vena dari orbita melewati celah ini dengan cara melwatu vena ophthalmic superior
ke sinus cavernosus.

Fisura orbita inferior

Fisura orbita inferior dibatasi oleh sphenoid, rahang, dan tulang palatina dan
terletak di antara dinding orbita lateral dan basis dari orbita. Ini mentransmisikan
kedua (rahang) pembagian CN \, termasuk saraf zygomatic, dan cabang dari vena
ophthalmic rendah yang mengarah ke pleksus pterygoideus. Saraf infraorbital,
yang merupakan cabang dari saraf rahang atas, meninggalkan tengkorak melalui
rotundum foramen dan perjalanan melalui pterygopalatine fossa untuk memasuki

orbit pada alur infraorbital. fossa ini meluas lateral untuk menjadi fossa
infratemporal. saraf perjalanan anterior di basis orbita melalui kanal infraorbital,
muncul di muka rahang atas 1 cm bawah bibir orbita inferior. Saraf infraorbital
membawa sensasi dari kelopak mata bawah, pipi, bibir atas, gigi atas, dan gingiva.
Mati rasa di distribusi ini sering menyertai blowout fracture dari lantai orbital dan
biasanya membaik dengan waktu.

Kanal Zygomaticofacial dan Kanal Zygomaticotemporal

Kanal zygomaticofacial dan kanal zygomaticotemporal menjadi tempat dilalui


pembuluh darah dan cabang saraf zygomatic melalui masing-masing dinding
orbital lateral pipi dan fossa temporal.

Kanal nasolacrimal

Kanal nasolacrimal meluas dari kantung lakrimal fossa ke meatus inferior di


bawah konka inferior dalam hidung. Melalui kanal ini dilalui duktus
nasolakrimalis, yang terus menerus dari kantung lakrimal pada mukosa hidung.
2.1.6. Periorbita
Periorbita adalah meliputi periosteal tulang orbital. Pada puncak orbital,
menyatu dengan duramater meliputi saraf optik. Anterior, periorbita berlanjut
dengan septum orbita dan periosteum dari tulang wajah. Garis fusi lapisan ini di
tepi orbita disebut marginalis arcus. periorbita melekat longgar ke tulang kecuali
pada orbita margin, sutura, fisura, foramen, dan kanal. Dalam exenterasi,
periorbita dapat dengan mudah dipisahkan kecuali ada perlekatan kuat. cairan
subperiosteal, seperti nanah atau darah, biasanya terkumpul dalam batas-batas
tersebut. periorbita yang cukup sensitif, yang dipersarafi oleh saraf sensorik dari
orbita.

2.1.7. Vaskularisasi orbita

Suplai darah ke orbita terutama dari arteri ophthalmic, yang merupakan


cabang dari arteri karotis internal. kontribusi yang lebih kecil berasal dari arteri
karotis eksternal dari maxillary internal dan arteri facialis. Arteri ophthalmic
berjalanan bawah saraf optik intrakranial melalui duramater sepanjang kanal optik
untuk memasuki orbita. Cabang-cabang utama dari arteri ophthalmic adalah
cabang ke otot-otot ekstraokular
arteri retina sentral (ke saraf optik dan retina)
arteri silia posterior (panjang ke segmen anterior dan pendek untuk koroid)
cabang terminal dari perjalanan arteri oftalmik anterior dan membentuk
anastomosis dengan cabang karotis eksternal di wajah dan daerah periorbital

Vena ophthalmik superior memberikan drainase utama orbita. vena ini berasal
di kuadran superonasal dari orbita dan meluas posterior melalui fisura orbital
superior ke dalam sinus kavernosa. Sering, vena ophthalmic superior muncul di
scan CT orbital aksial sebagai satu-satunya struktur mengalir secara diagonal
melalui orbit superior. Banyak anastomosis terjadi secara anterior dengan
pembuluh darah wajah serta posterior dengan pleksus pterygoid.
2.1.8. Hidung dan Sinus Paranasal

Tulang yang membentuk dinding orbital medial, inferior,


dan superior yang dekat dengan rongga hidung dan sinus
paranasal. Sinus dapat berfungsi untuk meringankan berat
tengkorak, atau dapat berfungsi sebagai resonator untuk suara.
Sinus juga dapat membantu saluran hidung di menjebak debu
dan sekaligus menghangatkan dan melembabkan udara.
Tulang hidung dan sinus paranasal juga menjadi struktur
penyokong orbita. Kerusakan pada hidung dan sinus paranasal
dapat mengganggu sistem orbita itus sendiri.

2.2. Blowout Fracture


2.2.1. Definisi Blowout Fracture
Blowout fracture adalah fraktur yang terjadi akibat dari
benturan atau trauma benda tumpul yang mengenai orbita,
sehingga terjadi retakan pada tulang orbita. Fraktur jenis ini

dapat terjadi apabila benda tumpul tersebut berukuran diameter


lebih besar daripada orbita. Fraktur terjadi biasanya pada tulang
basis orbita. Pada tulang basis orbita terdapat titik terlemah
dimana sering terjadi fraktur.
2.2.2. Epidemiologi
Angka

kejadian

dari

Blowout

fracture

cukup

sering,

diperkirakan 10 % dari fraktur tulang fasial adalah Blowout


fracture ini, dan angka kejadian pada laki-laki lebih banyak
daripada wanita, terutama karena laki-laki lebih aktif beraktivitas
dan banyak melakukan olahraga yang melibatkan bola. Trauma
yang mengenai wajah dan pipi secara langsung menjadi salah
satu faktor yang sering menyebabkan kejadian Blowout fracture.
2.2.3. Etiologi
Etiologi dari Blowout fracture adalah akibat adanya trauma
benda tumpul yang mengenai orbita, dimana benda tumpul
tersebut biasanya berukuran besar dari orbita itu sendiri.
Ketebalan dari setiap tulang orbita itu sendiri memudahkan
terjadinya trauma. Hal ini dikarenakan ketebalan dari atap orbita
hanya 0,23 mm, dan ketebalan dinding lateral hanya + 0,37 mm,
dan ketebalan dari tulang basis orbita hanya 1,25 mm. Selain itu,
letak anatomi dari orbita sendiri yang memudahkan terjadinya
trauma.
2.2.4. Patofisiologi
Ada 2 teori yang mendasari terjadinya blowout fracture ini.
Pertama

adalah

setelah

terjadinya

trauma,

maka

ada

peningkatan tekanan intra orbita sehingga isi dari orbita akan


terdorong ke arah posterior, sementara tulang orbita sendiri akan

retak langsung akibat trauma tepat di titik terlemah dari tulang


orbita, biasanya di bagian medial posterior dari tulang maksilaris.
Akibatnya, isi orbita yang terdorong tadi dapat terdorong ke
bagian yang patah dan prolaps, bahkan dapat terjebak di bagian
fraktur tersebut. Teori kedua adalah akibat dari peningkatan
tekanan intraorbital, maka isi dari orbita akan mencari jalan lain,
dan memberikan gaya ke segala arah dari dalam orbita,
menyebabkan jebolnya daerah orbita yang merupakan titik
terlemah. Kedua teori ini semuanya sudah diuji pada cadaver dan
keduanya dapat terjadi tergantung kekuatan dari gaya trauma
yang diberikan.
2.5. Manifestasi Klinis
Blowout fracture pada orbita harus dicurigai pada setiap pasien yang
mengalami trauma cukup kuat untuk menyebabkan ekimosis. Pada pemeriksaan
fisik biasanya ditemukan seperti berikut:

Ekimosis dan edema pada kelopak mata dapat ditemukan, tetapi tandatanda eksternal lain dari trauma bisa saja tidak ditemukan (white-eyed

blowout).
Diplopia dengan limitasi dalam menggerakan bola mata ke atas, bawah,
atau keduanya. Gerakan bola mata yang terbatas ketika bergerak vertikal,
diplopia vertikal, dan rasa sakit yang konsisten pada orbita inferior saat
bola mata berusaha bergerak vertikal dengan terperangkapnya otot rektus
inferior atau septa yang berdekatan ke dalam fraktur. Edema orbita dan
pendarahan atau kerusakan pada otot ekstraokular atau inervasinya bisa
juga membatasi pergerakan bola mata. Gerakan bola mata ke atas dan ke
bawah yang signifikan menunjukan adanya kerusakan saraf atau jaringan
lunak secara umum, gerakan bola mata yang terbatas akibat perdarahan
biasanya membaik dalam waktu 1-2 minggu setelah trauma terjadi. Jika
ada jaringan lunak yang terperangkap dapat diketahui dengan dilakukan

force duction test tetapi hal ini bisa saja disebabkan oleh edema dan

perdarahan.
Enophthalmos dan ptosis pada bola mata. Keduanya dapat ditemukan pada
fraktur yang luas dimana jaringan lunak orbita prolapse ke dalam sinus
maksilaris. Fraktur pada dinding medial, jika diasosiasikan dengan fraktur
basis orbita bisa berkontribusi secara signifikan terhadap kejadian
enophthalmus karena prolapsnya jaringan orbita ke dalam etmoidal dan
sinus maksilaris. Enopthalmus bisa saja tertutupi oleh edema yang terjadi
saat trauma dan baru disadari setelah edema berkurang. Ptosis bola mata

bisa terjadi pada fraktur yang cukup besar.


Hypoesthesia yang didistribusikan pada saraf infraorbital.
Emphysema pada bola mata dan kelopak mata. Fraktur apa saja yang
menjalar sampai ke sinus bisa memungkinkan udara untuk lari ke dalam
jaringan subkutan. Hal ini sering terjadi pada fraktur dinding medial.

2.6. Penegakan Diagnosis


Diagnosis dari Blowout Fracture dari basis orbita dapat ditegakan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiografi. Riwayat adanya benda tumpul yang
membentur orbita, biasanya lebih besar dari rongga orbita (contohnya adalah
trauma terkena bola besat, terkena dashboard mobil).
CT scan dengan gambaran koronal atau sagital dapat membantu
mengarahkan pemberian tatalaksana. Pemeriksaan ini bisa mengevaluasi ukuran
fraktur dan hubungan otot-otot ekstra ocular, menyediakan informasi yang bisa
digunakan untuk membantu memprediksi enophthalmus dan otot yang terjepit.
Meskipun beberapa penenitian yang telah dipublikasi menyarankan kriteria
neuroimaging untuk mengasosiasikan terjepitnya otot ekstraokular, strabismus
yang terbatas berhubungan dengan Blowout Fracture diagnosis klinis.
2.7. Tatalaksana
Umumnya Blowout Fracture dan fraktur basis orbita lainnya tidak
membutuhkan intervensi pembedahan. Blowout Fracture biasanya diobservasi
selama 5-10 hari untuk memberikan kesempatan bengkak dan pendarahan orbita
berkurang. Pemberian steroid oral sebanyak 1mg/kgbb/hari dalam 7 hari pertama
dapat membantu mengurangi edema dan membatasi resiko diplopia dari otot
rektus inferior yang kontraktur dan fibrosis.
Pengecualian untuk observasi Blowout Fracture pada pasien pediatrik,
maka observasi ketat harus dilakukan mengingat otot rektus inferiornya dapat
terjepit secara sangat erat pada patahan fraktur (trapdoor blowout fracture). Pada
pasien ini ekskursi bola mata vertikal secara jelas terbatas, dan pada CT scan
ditunjukan otot rektus inferior berada di sinus maksilaris. Pergerakan bola mata
dapat memicu reflek okulokardiak, menyebabkan nyeri, mual dan bradikardi.
Perbaikan yang segera harus dilakukan pada kasus ini. Pembebasan otot yang
terperangkap tanpa menunda dapat meningkatkan motilitas okular sebagai hasil
dari fibrosis yang terbatas.

Meski masih menjadi kontroversi, beberapa guidelines dapat membantu


menentukan dibutuhkan atau tidaknya tindakan operasi.

Diplopia dengan melirik keatas dan/atau kebawah yang terbatas sekitar 30


derajat pada posisi awal dapat memberikan hasil positif pada force duction test
pada 7-10 hari setelah trauma dan fraktur basis orbita yang dikonfirmasi
dengan radiologi. Tanda-tanda ini mengindikasikan jaringan fungsional yang
terperangkap mempengaruhi otot rektus inferior. Diplopia bisa membaik dalam
2 minggu jika edema orbita, pendarahan dan jarigan yang terjepit dibebaskan.
Bagaimanapun, tanda ini baru muncul setelah 2 minggu setelah trauma terjadi.
Dan jika jaringa yang terperangkap tidak dibebaskan diplopia vertical bisa
menjadi persisten. Seperti disebutkan sebelumnya otot rektus inferior yang
terperangkap erat yang ditandai dengan bola mata yang tidak bergerak

membutuhkan perbaikan segera.


Enophthalmos yang melebihi 2 mm dan tidak dapat diterima secara kosmetik
oleh pasien. Enopthalmus biasanya disamarkan oleh edema yang muncul
segera setelah trauma terjadi dan berkurang setelah beberapa minggu sebelum
gejalan ini muncul. Tindakan yang tepat harus dilakukan pada evaluasi awal.
Jika enophthalmus ditemukan dala 2 mingguu pertama bisa dihubungkan denga
fraktur basis orbita yang luas, bahkan enophthalmus yang lebih parah dapat

dicegah dikemudian hari.


Fraktur yang luas menlingkupi setidaknya setengah dari basis orbita, biasanya
dihubungkan dengan fraktur dinding medial orbita (dipastikan dengan CT
scan). Fraktur ini biasanya memiliki kecendrungan tinggi terjadinya
enophthalmus.
Ketika operasi diindikasikan untuk Blowout Fracture pada basis orbita, maka

proses operasi dapat dilakukan dalam 2 mingggu pertama setelah trauma biasanya
setelah bengkak berkurang. Formasi jaringan luka dan kontraktur dari jaringan
yang prolaps membuat koreksi dikemudian hari pada jaringan yang terperangkap
dan diplopia menjadi lebih sulit. Pada fraktur luas enophthalmus diharapkan bisa
lebih mudah diperbaiki dalam 2 minggu pertama setelah terjadi trauma. Sehingga

apabila diindikasikan untuk operasi, maka lebih baik jika dilakukan dalam 2
minggu pertama setelah trauma.
Pendekatan pembedahan pada Blowout Fracture pada basis orbita bisa
dilakukan melalui insisi infrasiliaris atau insisi konjungtiva (fornik inferior)
digabungan dengan atau tanpa kantolisis lateral. Elevasi periorbital dari basis
orbita, pembebasan jaringan dari fraktur dan biasanya peletakan implant pada
fraktur mencegah perlekatan yang rekuren dan prolaps pada jaringa orbita.
Perkembangan sistem miniplating atau microplating dan berbagai implant
orbita lainya telah meningkatkan perbaikan yang signifikan pada penatalaksaan
fraktur basis orbita yang luas dan tidak stabil. Pengambilan autogenous graft
membutuhkan tindakan operasi tambahan dan bone graft jarang diindikasikan.
2.8. Komplikasi
Komplikasi dari blowout fracture termasuk:
-

Menurunnya kemampuan akuisitas visual


Diplopia
Underkoreksi atau overkoreksi enophthalmos
Retraksi kelopak mata bawah
Hipoestesi saraf intra orbital
Infeksi
Ekstrusi implant
Lymphedema
Kerusakan saluran lakrimal

2.9. Prognosis
Prognosis pada blowout fracture tergantung dari tingkat keparahannya dan
jaringan yang terlibat. Biasanya prognosis akan menjadi baik dan visus kembali
normal setelah dilakukan penatalaksaan yang tepat dan cepat.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Blowout fracture adalah fraktur yang terjadi akibat trauma dengan benda
tumpul, dimana biasanya berukuran lebih besar dari orbita itu sendiri. Akibatnya
isi orbita dapat tertekan dan tulang-tulang orbita mengalami retakan dibagian yang
terlemah. Bola mata yang tertekan itu sendiri dapat masuk ke retakan tersebut
sehingga prolaps dan jaringan yang prolaps itu dapat terperangkap, tergantung
kekuatan dari trauma tersebut. Blowout fracture sendiri dapat ditegakkan
diagnosis

berdasarakan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik, dan

pemeriksaan

penunjang. Tatalaksana dari blowout fracture ini tidak selalu tindakan operasi,
tetapi bisa observasi dengan pemberian steroid 1mg/kgbb/hari selama 7 hari
pertama untuk mengurangi edema dan juga dapat dilakukan pemberian antibiotik.
Tindakan operasi dilakukan jika ada indikasi seperti diplopia dengan gangguan
melihat ke atas dan bawah sebanyak 30 derajat, enophthalmus lebih dari 2mm dan
menggangu kosmetik, fraktur lebih dari setengah basis orbita. Prognosisnya
tergantung tingkat keparahan dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh sebab itu kita
sebagai dokter umum minimal mengatahui mengenai blowout fracture ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophtalmology, Basic and Clinical Science Course,
Orbit, Eyelids and Lacrimal sistem, Section 7, 2014 2015. p. 5-19.
2. American Academy of Ophtalmology, Basic and Clinical Science Course,
Orbit, Eyelids and Lacrimal sistem, Section 7, 2014 2015. p. 98-104.
3. Yano H, Nakano M, Anraku K, Suzuki Y, Ishida H, Murakami R, Hirano
A. A consecutive case review of orbital blowout fractures and

recommendations for comprehensive management. Plast Reconstr Surg


2009;124:602-11.
4. Harris GJ. Orbital blow-out fractures: Surgical timing and technique. Eye
2006;20:1207-12.
5. Egbert JE, May K, Kersten RC, Kulwin DR. Pediatric orbital floor
fracture:

direct

extraocular

2000;107(10):1875- 1879.

muscle

involvement.

Ophthalmology.

Anda mungkin juga menyukai