THYROID-ASSOCIATED OPHTHALMOPATHY
Penyusun:
Devina Nathania
0607012110045
Pembimbing:
Dr. Dima Sari Wynirito, Sp.M
1. A
1.1. Latar Belakang
Thyroid Eye Disease (TED), atau juga yang disebut dengan Graves’
ophthalmopathy (GO) atau Thyroid associated orbitopathy (TAO) adalah sebuah
gangguan inflamatori autoimun pada jaringan retrobulbar yang mengakibatkan terjadinya
ekspansi pada otot ekstraokular dan jaringan lemak pada orbita. TED merupakan
manifestasi ekstratiroidal yang paling sering dan paling penting pada penyakit Graves
(Graves’ hyperthyroidism). Kondisi ini paling sering terjadi pada pasien dengan penyakit
Graves namun terkadang dapat juga terjadi pada pasien dengan eutiroid atau hipotiroid
autoimun tiroiditis (Barrio, 2015).
Meskipun TAO 2,5 sampai 6 kali lebih sering terjadi pada perempuan, severe
ophthalmopathy paling umum terjadi pada laki-laki. Onset TAO terjadi pada rentang usia
30 dan 50 tahun, dan perjalanan penyakit ini lebih berat pada pasien setelah umur 50
tahun. Ophthalmopathy dilaporkan terjadi pada 25-50% pasien dengan Graves’ disease
dan 2% pasien dengan Hashimoto’s thyroiditis. Sekitar 3- 5% dari pasien tersebut
mengalami severe ophthalmopathy. Kebanyakan pasien mengalami ophthalmopathy
dalam 18 bulan setelah didiagnosis dengan Graves’ disease. Bagaimanapun juga, onset
ophthalmopathy dapat terjadi hingga 10 tahun sebelum dan paling lama 20 tahun setelah
onset dari thyroid disease (Sahli, 2017).
Penyakit ini juga seringkali timbul secara tiba-tiba, dengan manifestasi endokrin
dan gejala optalmik yang dapat mempengaruhi kehidupan normal penderita. Manifestasi
yang dapat muncul bervariasi dari yang paling ringan seperti mata kering hingga yang
mengancam penglihatan seperti ulserasi kornea dan kompresi optik neuropati. Begitu juga
dengan tatalaksananya bervariasi mulai dari simtomatik hingga tindakan bedah (Weiler,
2017).
Secara klinis, TED dapat mengakibatkan ancaman kehilangan penglihatan,
menurunkan kemampuan mata serta mengakibatkan kecacatan. Hal ini secara langsung
dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita dan juga menjadi berdampak terhadap
status ekonominya. TED mengakibatkan keterbatasan penderita dalam aktivitas sehari-
hari termasuk mengendarai, bekerja, menonton televisi dan membaca, yang dapat
berpengaruh juga terhadap kepercayaan diri dan interaksi sosial. Pengetahuan terkait
mendiagnosis dan tatalaksana yang tepat terhadap TED diperlukan untuk menghindari
komplikasi (Patel, 2019).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. A
2. A
2.1. Anatomi Orbita
Tulang orbita pada orang dewasa merupakan suatu ruangan dalam bentuk piramid
yang memiliki empat sisi dan memiliki struktur seperti buah pir. Pada bagian pintu masuk
orbita, rata-rata memiliki tinggi sekitar 35 mm dan lebar sekitar 45 mm. Kedalaman orbita
dewasa dari jalan masuk orbita ke apeks orbita bervariasi dari 40 mm sampai 45 mm.
Volume orbit dewasa adalah sekitar 30 mililiter dan bola mata hanya menempati
seperlima bagian dari ruang orbita, sebagian besarnya diisi oleh lemak dan otot.
Rongga orbita dibentuk oleh tujuh macam tulang, antara lain tulang frontal,
sfenoid, zigomatik, maksila, ethmoid, lakrimal, dan palatin. Batas orbita membentuk
spiral segiempat yang pada bagian superior dibentuk oleh tulang frontal dan bagian medial
terdapat supraorbital notch. Batas inferior dibentuk oleh tulang maksila dan zigomatik.
Batas lateral melengkapi tepi orbita yang dibentuk oleh tulang zigomatik dan sfenoid
(Chantor, 2016).
a. Dinding orbita
● Dinding superior orbita : tulang frontal dan ala minor tulang sfenoid yang
menyerupai bentuk triangular. Bagian anterior superolateral terdapat fossa
untuk kelenjar lakrimal. Kanalis optikus terletak pada bagian apeks orbita
superior yang menghubungkan antara fossa kranial medial dengan orbita.
● Dinding dasar orbita orbita : dibentuk tiga tulang yaitu tulang maksila,
zigomatik, dan palatin. Sulkus infraorbitalis dimulai dari pertengahan
fisura orbitalis superior sampai ke anterior untuk membentuk kanalis
infraorbitalis dan berakhir sebagai foramen infraorbita. Di antara dasar
orbita dan dinding lateral terdapat fisura orbitalis inferior.
● Dinding lateral orbita merupakan dinding yang paling kuat dibentuk oleh
dua tulang yaitu bagian anterior tulang zigomatik dan bagian posterior
tulang sfenoid yang dipisahkan oleh fisura orbita superior. Tuberkel orbital
lateral (Whitnall tubercle) merupakan batas orbital tulang zigomatik yang
berada 11 mm dibawah sutura fronto zigomatik, hal ini penting sebagai
penanda letak adanya struktur ligamen otot rektus lateralis, ligamen
suspensori bola mata, ligamen palpebra lateral, aponeurosis otot levator
palpebra superior, dan ligamen Whitnall.
● Dinding medial orbita : dibentuk empat tulang yaitu bagian tulang maksila,
tulang lakrimal, tulang ethmoid, dan ala minor tulang sfenoid. Fossa
lakrimalis dibentuk oleh tulang maksila dan tulang lakrimal. Struktur tipis
seperti kertas dari tulang etmoid dinding medial disebut dengan lamina
papyracea yang merupakan bagian yang sangat rapuh
Kelas 1 Hanya terdapat tanda, tanpa ada gejala (tanda yang ditemukan terbatas pada
retraksi kelopak mata, dengan atau tanpa kelopak mata yang tertinggal dan
proptosis ringan)
Kelas 2 Keterlibatan jaringan lunak dengan tanda (sebagaimana yang terdapat pada Kelas-
1) dan gejala pada produksi air mata, fotophobia, pembengkakan kelopak mata atau
konjungtiva
Kelas 6 Penglihatan yang berkurang akibat keterlibatan saraf penglihatan dengan diskus
yang pucat atau papil edem dan defek dari lapangan pandang
2.4. Epidemiologi
Penyakit Grave (GD) adalah suatu kondisi autoimun dimana autoantibodi
menempel pada reseptor thyroid stimulating hormone (TSH-R) yang ada di sel tiroid, hal
ini akan memicu terjadinya produksi hormon tiroid yang berlebihan. Pada kondisi
hipertiroid sekitar 80% pasien dengan penyakit Grave menimbulkan manifestasi klinis
pada mata yang selanjutnya disebut dengan TED (Rajat, 2012). Dalam perjalanan
penyakitnya, 40% pasien GD mengalami TED yang biasanya timbul dalam jangka waktu
18 bulan setelah terdiagnosis GD. Dari pasien yang mengalami TED sekitar 80% adalah
hipertiroid secara klinis dan 20% adalah eutiroid secara klinis. Prevalensi TED lebih
tinggi pada perempuan (16 kasus/100.000 populasi) dibandingkan dengan laki-laki (3
kasus/100.000 populasi). TED lebih sering 2,5-6 kali terjadi pada perempuan dibanding
laki-laki, namun lebih berat jika terjadi pada laki-laki. TED biasanya terjadi pada usia 30-
50 tahun, dengan derajat keparahan yang semakin buruk pada usia di atas 50 tahun.
Puncak usia kejadian TED pada 40-44 dan 60-64 tahun pada perempuan serta 45-49 dan
65-69 pada laki-laki (Wang, 2019). Angka kejadian oftalmopati ini lebih tinggi pada
orang orang Eropa (42%) dibandingkan dengan orang Asia (7.7%) (Wastitiarmutri, 2018)
Faktor resiko tersering yang dapat berkembang menjadi penyakit tiroid mata ialah
merokok. Semakin sering jumlah pemakaian rokok dalam sehari, semakin besar resiko
terjadinya penyakit ini. Wanita lima kali lebih sering terkena penyakit tiroid mata
dibandingkan pria (Salmon, 2019)
2.5. Etiologi
Ophthalmopathy thyroid diperkirakan merupakan suatu penyakit autoimun pada
jaringan dari dalam rongga mata, dimana jaringan tersebut menjadi hiperplasik, sehingga
bola mata terdorong keluar dan otot mata terjepit (proptosis). Pemeriksaan histologis
menunjukkan infiltrasi limfositik pada cavitas orbita. Kelainan ini sering dijumpai pada
thyroiditis autoimun (Hashimoto). Biasanya dapat ditemukan antitiroglobulin,
antimikrosom, dan antibodi lain, tetapi peran antibodi-antibodi tersebut dalam
patogenesis masih dipertanyakan (Riordan, 2014).
2.6. Patogenesis
Patofisiologi dari Thyroid Eye Disease ini terdiri dari 3 fenomena utama yang
terjadi dalam perjalanan penyakitnya, yaitu:
Respon orbital autoimun yang terjadi pada TED disebabkan oleh cross- reactivity
melawan antigen yang ada pada kelenjar tiroid dan jaringan orbital. Produksi thyroid-
stimulating immunoglobulins (TSI) yang mirip dengan thyroid-stimulating hormone
(TSH) mengakibatkan produksi hormone tiroid yang berlebihan dan beramplifikasi pada
target jaringan yang mengekspresikan TSH-R (seperti jaringan lemak orbital, otot
ektraokular dan fibroblast orbital). Namun, investigasi lainnya mengatakan bahwa fokus
penyebab TED yaitu autoantibodi insulin-like growth factor- 1 receptor (IGF-1R) yang
terdeteksi pada pasien GD. IGF-1R ini membentuk kompleks interaktif secara fisik dan
fungsional dengan TSH-R di fibroblast orbital. Hal ini mengakibatkan reaktivitas dan
remodeling akibat produksi sitokin dan sintesis hyaluronan. IGF-1R ini terekspresi secara
berlebihan (overekspresi) pada sel T, sel B, fibroblast, myofibroblast dan fibrosit pada
pasien GD (Reith, 2015).
Proses inflamasi yang terjadi ini memicu sintesis dan deposisi dari
glikosaminoglikan (GAG) yang mengakibatkan terjadinya kongesti dan edema jaringan
orbital. Selain itu, fibroblast orbital yang berasal dari sel neural crest dapat berdiferensiasi
menjadi adiposit (sel lemak) atau myofibroblast (sel otot).
● Diferensiasi fibroblast menjadi adiposit, proses ini mengakibatkan hipertrofi
lemak pada jaringan orbital yang ditemukan pada TED dengan karakteristik
ekstensif ploriferasi dan deposisi jaringan lemak orbital, yang berujung pada optik
neuropati kompresif
● Diferensiasi fibroblast menjadi myofibroblast, proses ini mengakibatkan
pembesaran otot dan paling sering terjadi myopathy restriktif (Wang, 2018).
Gambar 2.5 edema periorbital, kemosis dan prolaps lemak ke dalam kelopak
mata
Sumber : Kanski, 2015
- Ketidakcukupan dan ketidakstabilan jumlah air mata
- Tanda-tanda kornea diperburuk oleh retraksi kelopak mata dan dapat
mencakup punctate epithelial erosions dan superior limbic
kereatoconjungtivitis, dan terkadang keratitis bakteri, penipisan,
scarring dan jaringan parut.
Gambar 2.6 keratokonjungtivitis limbik superior
Sumber : Kanski, 2015
b. Lid Retraction
Retraksi kelopak atas dan bawah terjadi pada sekitar 50% pasien dengan
penyakit Graves. Overaction yang diinduksi secara humoral dari otot Müller
terjadi sebagai akibat dari overstimulasi simpatik sekunder akibat tingginya kadar
hormon tiroid. Kontraktur fibrotik otot levator palpebra dan otot rektus inferior
yang berhubungan dengan adhesi pada jaringan orbita di atasnya merupakan
mekanisme lain yang mungkin terjadi, bersamaan dengan overaksi sekunder
sebagai respons terhadap hipotropi atau hipertropi yang dihasilkan oleh fibrosis.
● Symptoms : Pasien mungkin mengeluhkan penampilan melotot atau melotot,
kesulitan menutup mata dan gejala permukaan okular.
● Signs :
- Margin kelopak atas biasanya terletak 2 mm di bawah limbus (mata
kanan). Retraksi kelopak mata dicurigai ketika marginnya sejajar dengan
atau di atas limbus superior, sehingga sklera dapat terlihat (mata kiri).
Gambar 2.7 mild left lid retraction
Sumber : Khanski, 2015
- Tepi kelopak mata bawah biasanya terletak di limbus inferior; retraksi
dicurigai ketika sklera terlihat di bawah limbus. Retraksi kelopak mata
dapat terjadi sendiri-sendiri atau berhubungan dengan proptosis, yang
memperparah keparahannya.
- Dalrymple sign: retraksi kelopak mata primer. Sangat melebarnya fissura
palpebra, sehingga mata menjadi melotot (overactive otot Müller) dapat
disertai keratitis. Terjadi pula retraksi palpebra superior dengan sclera
superior yang tampak hingga limbus.
- von Graefe sign : palpebra superior tak dapat mengikuti gerak bola mata,
bila penderita melihat ke bawah. Palpebra superior tertinggal dalam
pergerakannya (lid lag)
Gambar 2.10 right lid lag pada pandangan ke bawah – von Graefe sign
Sumber : Khanski, 2015
c. Protopsis
● Symptoms : mirip dengan lid retraction
● Sign : proptosis bersifat aksial, unilateral atau bilateral, simetris atau
asimetris, dan seringkali permanen. Proptosis berat dapat mengganggu
penutupan kelopak mata dan bersamaan dengan retraksi kelopak mata dan
disfungsi robekan dapat menyebabkan keratitis, ulserasi kornea, dan
infeksi
.
Gambar 2.11 protopsis simetrtis
Sumber : Khanski, 2015
Gambar 2.18 USG A- dan B-scan pada TED; (A) Gambaran normal otot
ekstraokular pada USG A- dan B-scan. Pada B-scan, lebar otot tampak
normal. Pada A-scan, lebar otot tampak kecil dengan reflekstivitas rendah
sampai sedang, (B) Pada pasien TED, Pada B-scan, massa otot tampak
membesar. Pada A-scan, tampak pembesaran otot dibandingkan normal
dengan reflektivitas tinggi
Sumber : Liu, 2019
2.10. Prognosis
Prognosis dari Graves’ ophthalmopathy dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Usia salah satu faktor yang dapat mempengaruhi. Anak-anak dan remaja
umumnya memiliki penyakit yang ringan tanpa cacat yang bermakna sampai batas
waktu yang lama. Pada orang dewasa, manifestasinya sedang sampai berat dan
lebih sering menyebabkan perubahan struktur karena gangguan fungsional.
Prognosis buruk juga berkaitan dengan merokok, progresivitas penyakit TED
yang cepat dan adanya myxedema (thyroid dermatopathy). Diagnosis yang
ditegakkan secara lebih dini diikuti intervensi dini terhadap perkembangan proses
penyakit dan mengontrol perubahan jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas
penyakit dan mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu yang lama (Khurana,
2016).
BAB III
PENUTUP
Gejala dan tanda yang umumnya terjadi adalah retraksi palpebra superior, “lid
lag”, proptosis, restriktif miopati, dan neuropati nervus optikus akibat kompresi.
Pengobatan pada oftalmopati Graves bergantung pada fase penyakit (fase aktif atau fase
inaktif) dan juga berdasarkan tingkat keparahan penyakit (ringan, sedang, berat, atau
mengancam penglihatan). Oftalmopati Graves dapat berakhir dengan kebutaan bila tidak
dikenali dengan cepat dan tidak mendapatkan penanganan oleh ahli dalam bidang ini.
Kebutaan dapat disebabkan oleh kerusakan parah pada kornea akibat eksposur yang lama
dan juga akibat kerusakan pada nervus optikus. Manajemen pada penderita oftalmopati
Graves mulai dari terapi obat tetes mata hingga pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA