Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

THYROID-ASSOCIATED OPHTHALMOPATHY

Diajukan Sebagai Persyaratan Pendidikan Program Studi Profesi Dokter


Bagian Ilmu Kesehatan Mata

Penyusun:
Devina Nathania
0607012110045

Pembimbing:
Dr. Dima Sari Wynirito, Sp.M

KSM ILMU KESEHATAN MATA


RSUD DR. MOHAMAD SOEWANDHIE
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CIPUTRA
SURABAYA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1. A
1.1. Latar Belakang
Thyroid Eye Disease (TED), atau juga yang disebut dengan Graves’
ophthalmopathy (GO) atau Thyroid associated orbitopathy (TAO) adalah sebuah
gangguan inflamatori autoimun pada jaringan retrobulbar yang mengakibatkan terjadinya
ekspansi pada otot ekstraokular dan jaringan lemak pada orbita. TED merupakan
manifestasi ekstratiroidal yang paling sering dan paling penting pada penyakit Graves
(Graves’ hyperthyroidism). Kondisi ini paling sering terjadi pada pasien dengan penyakit
Graves namun terkadang dapat juga terjadi pada pasien dengan eutiroid atau hipotiroid
autoimun tiroiditis (Barrio, 2015).
Meskipun TAO 2,5 sampai 6 kali lebih sering terjadi pada perempuan, severe
ophthalmopathy paling umum terjadi pada laki-laki. Onset TAO terjadi pada rentang usia
30 dan 50 tahun, dan perjalanan penyakit ini lebih berat pada pasien setelah umur 50
tahun. Ophthalmopathy dilaporkan terjadi pada 25-50% pasien dengan Graves’ disease
dan 2% pasien dengan Hashimoto’s thyroiditis. Sekitar 3- 5% dari pasien tersebut
mengalami severe ophthalmopathy. Kebanyakan pasien mengalami ophthalmopathy
dalam 18 bulan setelah didiagnosis dengan Graves’ disease. Bagaimanapun juga, onset
ophthalmopathy dapat terjadi hingga 10 tahun sebelum dan paling lama 20 tahun setelah
onset dari thyroid disease (Sahli, 2017).
Penyakit ini juga seringkali timbul secara tiba-tiba, dengan manifestasi endokrin
dan gejala optalmik yang dapat mempengaruhi kehidupan normal penderita. Manifestasi
yang dapat muncul bervariasi dari yang paling ringan seperti mata kering hingga yang
mengancam penglihatan seperti ulserasi kornea dan kompresi optik neuropati. Begitu juga
dengan tatalaksananya bervariasi mulai dari simtomatik hingga tindakan bedah (Weiler,
2017).
Secara klinis, TED dapat mengakibatkan ancaman kehilangan penglihatan,
menurunkan kemampuan mata serta mengakibatkan kecacatan. Hal ini secara langsung
dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita dan juga menjadi berdampak terhadap
status ekonominya. TED mengakibatkan keterbatasan penderita dalam aktivitas sehari-
hari termasuk mengendarai, bekerja, menonton televisi dan membaca, yang dapat
berpengaruh juga terhadap kepercayaan diri dan interaksi sosial. Pengetahuan terkait
mendiagnosis dan tatalaksana yang tepat terhadap TED diperlukan untuk menghindari
komplikasi (Patel, 2019).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. A
2. A
2.1. Anatomi Orbita
Tulang orbita pada orang dewasa merupakan suatu ruangan dalam bentuk piramid
yang memiliki empat sisi dan memiliki struktur seperti buah pir. Pada bagian pintu masuk
orbita, rata-rata memiliki tinggi sekitar 35 mm dan lebar sekitar 45 mm. Kedalaman orbita
dewasa dari jalan masuk orbita ke apeks orbita bervariasi dari 40 mm sampai 45 mm.
Volume orbit dewasa adalah sekitar 30 mililiter dan bola mata hanya menempati
seperlima bagian dari ruang orbita, sebagian besarnya diisi oleh lemak dan otot.
Rongga orbita dibentuk oleh tujuh macam tulang, antara lain tulang frontal,
sfenoid, zigomatik, maksila, ethmoid, lakrimal, dan palatin. Batas orbita membentuk
spiral segiempat yang pada bagian superior dibentuk oleh tulang frontal dan bagian medial
terdapat supraorbital notch. Batas inferior dibentuk oleh tulang maksila dan zigomatik.
Batas lateral melengkapi tepi orbita yang dibentuk oleh tulang zigomatik dan sfenoid
(Chantor, 2016).
a. Dinding orbita
● Dinding superior orbita : tulang frontal dan ala minor tulang sfenoid yang
menyerupai bentuk triangular. Bagian anterior superolateral terdapat fossa
untuk kelenjar lakrimal. Kanalis optikus terletak pada bagian apeks orbita
superior yang menghubungkan antara fossa kranial medial dengan orbita.
● Dinding dasar orbita orbita : dibentuk tiga tulang yaitu tulang maksila,
zigomatik, dan palatin. Sulkus infraorbitalis dimulai dari pertengahan
fisura orbitalis superior sampai ke anterior untuk membentuk kanalis
infraorbitalis dan berakhir sebagai foramen infraorbita. Di antara dasar
orbita dan dinding lateral terdapat fisura orbitalis inferior.
● Dinding lateral orbita merupakan dinding yang paling kuat dibentuk oleh
dua tulang yaitu bagian anterior tulang zigomatik dan bagian posterior
tulang sfenoid yang dipisahkan oleh fisura orbita superior. Tuberkel orbital
lateral (Whitnall tubercle) merupakan batas orbital tulang zigomatik yang
berada 11 mm dibawah sutura fronto zigomatik, hal ini penting sebagai
penanda letak adanya struktur ligamen otot rektus lateralis, ligamen
suspensori bola mata, ligamen palpebra lateral, aponeurosis otot levator
palpebra superior, dan ligamen Whitnall.
● Dinding medial orbita : dibentuk empat tulang yaitu bagian tulang maksila,
tulang lakrimal, tulang ethmoid, dan ala minor tulang sfenoid. Fossa
lakrimalis dibentuk oleh tulang maksila dan tulang lakrimal. Struktur tipis
seperti kertas dari tulang etmoid dinding medial disebut dengan lamina
papyracea yang merupakan bagian yang sangat rapuh

Gambar 2.1 Tulang orbita tampak anterior


Sumber : Marieb, 2007
b. Vaskularisasi orbita
Bola mata isinya mendapat suplai darah arteri utama melalui arteri
oftalmika. Arteri oftalmika keluar melalui arteri karotis interna medial dan
melewati kanal optik bersama dengan saraf nasociliaris kemudian berjalan ke arah
medial, sehingga berada di antara otot rektus superior dan saraf optik. Cabang-
cabang terminal dari arteri ini merupakan bagian yang mudah terlihat saat
melakukan pemeriksaan oftalmoskopi. Arteri siliaris posterior longus dan brevis
akan menembus sklera dan mensuplai bagian uvea.
Arteri lakrimalis akan mensuplai kelenjar lakrimal dan kelopak mata,
memberikan cabang ke meningeal dan beranastomosis dengan arteri meningeal
medial sehingga memberikan suplai ke arteri karotid eksternal dan internal.
Percabangan lain arteri oftalmika yaitu arteri supraorbital, etmoid anterior, dan
palpebra. Vena oftalmika superior dan inferior mensuplai orbita dan memiliki
peran penting untuk mensuplai vena di wajah, pleksus pterigoid, dan sinus
kavernosus. Vena oftalmika superior terbentuk dari vena supraorbitalis dan
supratroklearis serta dari satu cabang vena angularis, ketiga vena tersebut
mengalirkan darah dari kulit di daerah supraorbital.

Gambar 2.2 Vaskularisasi arteri dan vena orbita


Sumber : Tyers, 2008
c. Inervasi orbita
● Saraf sensoris orbita berasal dari dari saraf oftalmikus yang merupakan
saraf aferen untuk mensuplai area bola mata dan konjungtiva, kelenjar
lakrimal, mukosa nasal, sinus frontalis, palpebra superior, bagian eksternal
hidung, kulit kepala, dan dahi. Saraf oftalmikus keluar melalui ganglion
trigeminal yang mengandung serabut saraf sensoris dan terbagi menjadi
tiga cabang yang keluar melalui fisura supraorbital, yaitu saraf lakrimalis,
frontalis, dan nasosiliaris. Saraf lakrimalis berjalan sepanjang rektus lateral
superior dan mempersarafi kelenjar lakrimal, konjungtiva, dan kelopak
mata bagian atas. Saraf frontalis melewati bagian anterior dari levator
palpebra superior dan saraf supratroklearis. Saraf supraorbital
meninggalkan orbita sepanjang foramen supraorbital dan mensuplai
bagian dahi, kulit kepala, palpebra superior, dan sinus frontal.
● Saraf troklearis lebih kearah medial dan bentuknya lebih kecil untuk
mempersarafi sebagian kecil bagian dahi dan palpebra superior. Saraf
nasosiliaris merupakan saraf sensoris bola mata yang berjalan bersama
arteri oftalmika dan berlanjut ke arah medial sebagai saraf etmoid anterior.
Serabut saraf simpatis ini akan diikuti oleh saraf nasosiliaris dengan arteri
oftalmika setelah memasuki rongga orbita dan akan mengikuti cabang dari
saraf siliaris ke otot dilator pupil. Sistem saraf motorik pada mata
dipersarafi oleh tiga saraf, yaitu saraf okulomotor, troklear, dan abdusen.
● Saraf okulomotor mempersarafi levator palpebra superior, rektus superior,
rektus medial, serta oblik inferior oleh divisi inferior, kecuali otot oblik
superior dan rektus lateralis. Saraf parasimpatis keluar dari percabangan
saraf menuju otot oblik superior, kemudian masuk dan bersinaps di
ganglion siliaris. Serabut saraf parasimpatis postganglion melewati
ganglion ke bola mata sepanjang saraf siliaris untuk menginervasi
muskulus sfingter pupil dan siliaris. Saraf troklearis hanya mempersarafi
muskulus oblik superior bola mata. Saraf ini keluar dari bagian dorsum
batang otak, melingkar di bagian pedunkulus serebral, melewati bagian
lateral dari sinus kavernosus, berjalan sepanjang fisura orbital superior
tepat di cincin tendon kemudian masuk ke muskulus oblik superior
● Saraf abdusen mempersarafi muskulus rektus lateral bola mata. Saraf ini
keluar dari batang otak dan menyatu di pons dan medula, masuk ke dalam
dura mater melalui dorsum selae mengikuti lekukan dari bagian tulang
anterior dan superior. Aplikasi secara klinis, saraf abdusens akan terlibat
apabila terdapat lesi pada serebral yang akan menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial (Chantor, 2016).
Gambar 2.3 Potongan orbita kanan superior
Sumber : O’Rahilly, 2004

2.2. Definisi Thyroid-Associated Ophthalmopathy


Oftalmopati Grave dapat juga disebut sebagai thyroid associated orbitopathy
(TAO) atau orbitopathy dystyroid. Penyakit ini didefinisikan sebagai suatu kondisi
autoimun yang dihubungkan dengan status kadar tiroid yang tidak normal, dimana
terdapat inflamasi berat yang menyebabkan remodelling jaringan orbita, termasuk
akumulasi makromolekul ekstraseluler dan lemak. Kondisi ini ditandai dengan retraksi
kelopak mata, proptosis (penonjolan bola mata ke luar), miopati ekstraokluler restriktif,
dan neuropati optik (Lubis, 2009).

2.3. Klasifikasi Thyroid-Associated Ophthalmopathy

American Thyroid Association (ATA) mengklasifikasikan TED menjadi enam


kelas. Demi kepraktisan mendiagnosis,TED dibagi menjadi dua bagian yaitu early
(meliputi kelas 1 dan 2) dan late (kelas 3 sampai 6) (Bartalena, 2009).
Kelas 0 Tidak ada gejala dan tanda

Kelas 1 Hanya terdapat tanda, tanpa ada gejala (tanda yang ditemukan terbatas pada
retraksi kelopak mata, dengan atau tanpa kelopak mata yang tertinggal dan
proptosis ringan)

Kelas 2 Keterlibatan jaringan lunak dengan tanda (sebagaimana yang terdapat pada Kelas-
1) dan gejala pada produksi air mata, fotophobia, pembengkakan kelopak mata atau
konjungtiva

Kelas 3 Proptosis yang cukup terlihat

Kelas 4 Keterlibatan otot ekstraokular (pembatasan gerak dan diplopia)

Kelas 5 Keterlibatan kornea (keratitis exposure)

Kelas 6 Penglihatan yang berkurang akibat keterlibatan saraf penglihatan dengan diskus
yang pucat atau papil edem dan defek dari lapangan pandang

Tabel 2.1 Klasifikasi TED berdasarkan American Thyroid Association (ATA)

Sumber : Bartalena, 2009

The European Group on Graves Ophthalmopathy (EUGOGO) merekomendasikan


sistem klasifikasi yang lebih sederhana. Dalam sistem ini penderita dibagi menjadi tiga
grup, yakni ringan, sedang, dan mengancam penglihatan. Seiring dengan menentukan
skor klinis, klasifikasi ini dapat digunakan untuk menentukan tatalaksana dan urgensi
pengobatan (Barrio, 2015).
Tabel 2.2 Klasifikasi TED berdasarkan EUGOGO
Sumber : Barrio, 2015

2.4. Epidemiologi
Penyakit Grave (GD) adalah suatu kondisi autoimun dimana autoantibodi
menempel pada reseptor thyroid stimulating hormone (TSH-R) yang ada di sel tiroid, hal
ini akan memicu terjadinya produksi hormon tiroid yang berlebihan. Pada kondisi
hipertiroid sekitar 80% pasien dengan penyakit Grave menimbulkan manifestasi klinis
pada mata yang selanjutnya disebut dengan TED (Rajat, 2012). Dalam perjalanan
penyakitnya, 40% pasien GD mengalami TED yang biasanya timbul dalam jangka waktu
18 bulan setelah terdiagnosis GD. Dari pasien yang mengalami TED sekitar 80% adalah
hipertiroid secara klinis dan 20% adalah eutiroid secara klinis. Prevalensi TED lebih
tinggi pada perempuan (16 kasus/100.000 populasi) dibandingkan dengan laki-laki (3
kasus/100.000 populasi). TED lebih sering 2,5-6 kali terjadi pada perempuan dibanding
laki-laki, namun lebih berat jika terjadi pada laki-laki. TED biasanya terjadi pada usia 30-
50 tahun, dengan derajat keparahan yang semakin buruk pada usia di atas 50 tahun.
Puncak usia kejadian TED pada 40-44 dan 60-64 tahun pada perempuan serta 45-49 dan
65-69 pada laki-laki (Wang, 2019). Angka kejadian oftalmopati ini lebih tinggi pada
orang orang Eropa (42%) dibandingkan dengan orang Asia (7.7%) (Wastitiarmutri, 2018)
Faktor resiko tersering yang dapat berkembang menjadi penyakit tiroid mata ialah
merokok. Semakin sering jumlah pemakaian rokok dalam sehari, semakin besar resiko
terjadinya penyakit ini. Wanita lima kali lebih sering terkena penyakit tiroid mata
dibandingkan pria (Salmon, 2019)
2.5. Etiologi
Ophthalmopathy thyroid diperkirakan merupakan suatu penyakit autoimun pada
jaringan dari dalam rongga mata, dimana jaringan tersebut menjadi hiperplasik, sehingga
bola mata terdorong keluar dan otot mata terjepit (proptosis). Pemeriksaan histologis
menunjukkan infiltrasi limfositik pada cavitas orbita. Kelainan ini sering dijumpai pada
thyroiditis autoimun (Hashimoto). Biasanya dapat ditemukan antitiroglobulin,
antimikrosom, dan antibodi lain, tetapi peran antibodi-antibodi tersebut dalam
patogenesis masih dipertanyakan (Riordan, 2014).
2.6. Patogenesis
Patofisiologi dari Thyroid Eye Disease ini terdiri dari 3 fenomena utama yang
terjadi dalam perjalanan penyakitnya, yaitu:

● Inflamasi dari jaringan lunak periorbital


● Produksi yang berlebihan (overproduksi) glikosaminoglikan oleh fibroblast
orbital
● Hiperplasia jaringan adiposa (Barrio, 2015).

Respon orbital autoimun yang terjadi pada TED disebabkan oleh cross- reactivity
melawan antigen yang ada pada kelenjar tiroid dan jaringan orbital. Produksi thyroid-
stimulating immunoglobulins (TSI) yang mirip dengan thyroid-stimulating hormone
(TSH) mengakibatkan produksi hormone tiroid yang berlebihan dan beramplifikasi pada
target jaringan yang mengekspresikan TSH-R (seperti jaringan lemak orbital, otot
ektraokular dan fibroblast orbital). Namun, investigasi lainnya mengatakan bahwa fokus
penyebab TED yaitu autoantibodi insulin-like growth factor- 1 receptor (IGF-1R) yang
terdeteksi pada pasien GD. IGF-1R ini membentuk kompleks interaktif secara fisik dan
fungsional dengan TSH-R di fibroblast orbital. Hal ini mengakibatkan reaktivitas dan
remodeling akibat produksi sitokin dan sintesis hyaluronan. IGF-1R ini terekspresi secara
berlebihan (overekspresi) pada sel T, sel B, fibroblast, myofibroblast dan fibrosit pada
pasien GD (Reith, 2015).
Proses inflamasi yang terjadi ini memicu sintesis dan deposisi dari
glikosaminoglikan (GAG) yang mengakibatkan terjadinya kongesti dan edema jaringan
orbital. Selain itu, fibroblast orbital yang berasal dari sel neural crest dapat berdiferensiasi
menjadi adiposit (sel lemak) atau myofibroblast (sel otot).
● Diferensiasi fibroblast menjadi adiposit, proses ini mengakibatkan hipertrofi
lemak pada jaringan orbital yang ditemukan pada TED dengan karakteristik
ekstensif ploriferasi dan deposisi jaringan lemak orbital, yang berujung pada optik
neuropati kompresif
● Diferensiasi fibroblast menjadi myofibroblast, proses ini mengakibatkan
pembesaran otot dan paling sering terjadi myopathy restriktif (Wang, 2018).

2.7. Manifestasi Klinis


TED biasanya berlangsung melalui :
● tahap kongestif (inflamasi) di mana mata menjadi merah dan nyeri; ini
cenderung sembuh dalam 1-3 tahun dan hanya sekitar 10% pasien yang
mengalami masalah mata jangka panjang yang serius.
● Tahap fibrotik (quiescent) terjadi di mana mata berwarna putih, meskipun
mungkin ada painless motility defect.
Gambaran klinis secara luas dapat dikategorikan menjadi keterlibatan jaringan
lunak, retraksi kelopak mata, proptosis, neuropati optik, dan miopati restriktif.

a. Keterlibatan jaringan lunak


● Symptoms : mata berpasir , mata merah, lakrimasi, fotofobia, kelopak
bengkak dan ketidaknyamanan retrobulbar.
● Sign :
- Hiperemia epibulbar. Tanda dari aktivitas inflamasi. Hiperemia fokal
yang intens meng-outline insersi horizontal recti
Gambar 2.4 Hiperemia epibulbar yang melapisi otot rektus horizontal
Sumber : Kanski, 2015
- Pembengkakan periorbital disebabkan oleh edema dan infiltrasi di
belakang septum orbita, iterkait dengan kemosis dan prolaps lemak
retroseptal ke dalam kelopak mata

Gambar 2.5 edema periorbital, kemosis dan prolaps lemak ke dalam kelopak
mata
Sumber : Kanski, 2015
- Ketidakcukupan dan ketidakstabilan jumlah air mata
- Tanda-tanda kornea diperburuk oleh retraksi kelopak mata dan dapat
mencakup punctate epithelial erosions dan superior limbic
kereatoconjungtivitis, dan terkadang keratitis bakteri, penipisan,
scarring dan jaringan parut.
Gambar 2.6 keratokonjungtivitis limbik superior
Sumber : Kanski, 2015
b. Lid Retraction
Retraksi kelopak atas dan bawah terjadi pada sekitar 50% pasien dengan
penyakit Graves. Overaction yang diinduksi secara humoral dari otot Müller
terjadi sebagai akibat dari overstimulasi simpatik sekunder akibat tingginya kadar
hormon tiroid. Kontraktur fibrotik otot levator palpebra dan otot rektus inferior
yang berhubungan dengan adhesi pada jaringan orbita di atasnya merupakan
mekanisme lain yang mungkin terjadi, bersamaan dengan overaksi sekunder
sebagai respons terhadap hipotropi atau hipertropi yang dihasilkan oleh fibrosis.
● Symptoms : Pasien mungkin mengeluhkan penampilan melotot atau melotot,
kesulitan menutup mata dan gejala permukaan okular.
● Signs :
- Margin kelopak atas biasanya terletak 2 mm di bawah limbus (mata
kanan). Retraksi kelopak mata dicurigai ketika marginnya sejajar dengan
atau di atas limbus superior, sehingga sklera dapat terlihat (mata kiri).
Gambar 2.7 mild left lid retraction
Sumber : Khanski, 2015
- Tepi kelopak mata bawah biasanya terletak di limbus inferior; retraksi
dicurigai ketika sklera terlihat di bawah limbus. Retraksi kelopak mata
dapat terjadi sendiri-sendiri atau berhubungan dengan proptosis, yang
memperparah keparahannya.
- Dalrymple sign: retraksi kelopak mata primer. Sangat melebarnya fissura
palpebra, sehingga mata menjadi melotot (overactive otot Müller) dapat
disertai keratitis. Terjadi pula retraksi palpebra superior dengan sclera
superior yang tampak hingga limbus.

Gambar 2.8 retraksi kelopak simetris bilateral moderate– Dalrymple sign


Sumber : Khanski, 2015
- Kocher Sign: kelemahan kelopak mata dan retraksi lipatan kelopak mata
akibat keterlibatan levator palpebra superioris karena sensitisasi otot
Muller yang disebabkan oleh orbitopathy dan kelainan thyroid terhadap
katekolamin yang beredar sehingga menghasilkan tampilan yang
tajam/starring look

Gambar 2.9 retraksi kelopak bilateral yang severe- Kocher sign


Sumber : Khanski, 2015

- von Graefe sign : palpebra superior tak dapat mengikuti gerak bola mata,
bila penderita melihat ke bawah. Palpebra superior tertinggal dalam
pergerakannya (lid lag)

Gambar 2.10 right lid lag pada pandangan ke bawah – von Graefe sign
Sumber : Khanski, 2015
c. Protopsis
● Symptoms : mirip dengan lid retraction
● Sign : proptosis bersifat aksial, unilateral atau bilateral, simetris atau
asimetris, dan seringkali permanen. Proptosis berat dapat mengganggu
penutupan kelopak mata dan bersamaan dengan retraksi kelopak mata dan
disfungsi robekan dapat menyebabkan keratitis, ulserasi kornea, dan
infeksi

.
Gambar 2.11 protopsis simetrtis
Sumber : Khanski, 2015

Gambar 2.12 Protopsis asimetris


Sumber : Khanski, 2015
Gambar 2.13 prottopsis dengan keratitis bakterial dikarenakan severe exposure
Sumber : Khanski, 2015
d. Restrictive myopathy
Antara 30% dan 50% pasien dengan TED mengalami ophthalmoplegia
dan dapat menjadi permanen. Motilitas okular awalnya dibatasi oleh inflamasi
edema, dan kemudian oleh fibrosis.
● Symptoms: Penglihatan ganda, dan seringkali tidak nyaman pada
beberapa posisi tatapan.
● Signs: dalam urutan perkiraan frekuensi:
- Defek elevasi: disebabkan oleh kontraktur fibrotik rektus inferior,
dapat menyerupai kelumpuhan rektus superior dan merupakan defisit
motilitas yang paling umum.

Gambar 2.14 Defek elevasi mata kiri


Sumber : Khanski, 2015
- Defek abduksi karena fibrosis rektus medial, yang dapat
mensimulasikan kelumpuhan saraf keenam.
- Defek depresi sekunder akibat fibrosis rektus superior.

Gambar 2.15 Defek depresi mata kanan


Sumber : Khanski, 2015
- Defek adduksi yang disebabkan oleh fibrosis rektus lateral.
e. Optic neuropathy
Neuropati optik adalah komplikasi serius yang cukup umum (hingga 6%)
yang disebabkan oleh kompresi saraf optik atau suplai darahnya di apeks orbita
oleh rektus yang padat dan membesar serta jaringan orbita yang bengkak.
Kompresi seperti itu, yang dapat terjadi tanpa adanya proptosis yang signifikan,
dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang parah jika pengobatan yang
memadai dan tepat waktu tidak dilakukan.
● Symptoms : Gangguan penglihatan sentral terjadi bersamaan dengan
gejala TED lainnya. Untuk mendeteksi keterlibatan dini, pasien
disarankan untuk memantau fungsi visual mereka sendiri dengan
menutup setiap mata secara bergantian, membaca cetakan kecil dan
menilai intensitas warna, misalnya di layar televisi.
● Signs : Kecurigaan yang tinggi harus dipertahankan untuk neuropati
optik, dan penting untuk tidak salah mengaitkan kehilangan penglihatan
yang tidak proporsional dengan penyakit ringan.
- Ketajaman visual biasanya berkurang, tetapi tidak selalu.
- Desaturasi warna adalah fitur sensitif.
- Diminished light brightness appreciation.
- Cacat pupil aferen relatif, jika ada, harus diperhatikan.
- Defek visual dapat bersifat sentral atau parasentral dan dapat
dikombinasikan dengan defek serabut saraf. Temuan ini, bersamaan
dengan peningkatan TIO, mungkin dibingungkan dengan glaukoma
primary open angle.
- optik disc mungkin normal, bengkak atau, atrofi (Khanski, 2015).

2.8. Penegakan diagnosis


● Anamnesis
Keluhan biasanya terdapat keluhan pada mata dan keluhan secara sistemik.
Pada keluhan mata, pasien biasa mengeluhkan rasa nyeri dan tidak nyaman pada
mata, nyeri ini dapat terjadi pada satu atau kedua mata. Rasa nyeri ini dikeluhkan
pada sekitar 30% pasien dengan oftalmopati Grave. Nyeri dapat terjadi karena
pembengkakan orbita yang menekan saraf di sekitar bola mata sehingga
menimbulkan sensasi nyeri. Gejala lain yaitu penglihatan kabur pada 75% pasien,
diplopia (penglihatan ganda) 17,5% pasien, lakrimasi dan fotofobia pada 15-20%
pasien.Selain itu pasien juga menyampaikan bahwa bola matanya lebih menonjol
keluar dibandingkan sebelumnya (mata terbelalak) dan mata terasa kering.
Keluhan lain yang terjadi pada pasien hipertiroid juga dapat dikeluhkan
oleh pasien seperti jantung berdebar-debar, mudah berkeringat, tidak tahan
terhadap panas, kelemahan otot, gemetar, penurunan berat badan, dan munculnya
gondok. Keluhan ekstraokuler ini dapat menjadi petunjuk bahwa keluhan yang
dirasakan pasien di mata adalah akibat proses sistemik
● Pemeriksaan fisik
- Vital sign
Pada pemeriksaan vital sign biasanya temuan yang didapatkan berkaitan
dengan penyakit sistemik yang diderita pasien, berupa tekanan darah, suhu
tubuh dan pernafasan yang bisa saja normal maupun meningkat.
- Pemeriksaan sistemik
Pada pemeriksaan fisik sistemik harus dipastikan dulu kecurigaan terhadap
gangguan tiroid. Jika gangguan mata pada pasien berasal dari penyakit graves
maka ditemukan tanda-tanda sistemik seperti pretibial myxedema dan
clubbing finger. Selain itu munculnya gondok pada leher juga dapat
memperkuat diagnosis.
- Pemeriksaan lokalis mata
Pemeriksaan ocular lengkap untuk menetapkan diagnosis dan menentukan
apakah pasien mengalami keratopati paparan (pemeriksaan slit-lamp dengan
pewarnaan fluorescein) atau kompresi nervus opticus (defek pupil aferen,
defisiensi color plate, edema nervus opticus). Diplopia diukur dengan prisma
dan proptosis diukur dengan Hertel exophthalmometer. Periksa TIO dan
dilatasi fundus dengan penilaian nervus optikus.
❖ Pemeriksaan segmen anterior mata : Kelainan pada permukaan okuler
mata ini sering tidak mendapatkan perhatian utama. Paparan terhadap
kornea akibat kelopak mata yang tidak dapat menutup secara sempurna
akan menyebabkan kelainan pada segmen anterior mata, yang biasanya
mendahului keluhan yang lainnya, seperti terdapat injeksi konjungtiva dan
kemosis konjungtiva terutama terdapat pada area di atas otot rektus bola
mata.
❖ Pemeriksaan visus
❖ Color vision test dan pemeriksaan kontras warna : Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menilai apakah terdapat gangguan diskromatopsia,
sebagai indikator untuk menilai apakah terjadi disfungsi nervus
optikus(Liu, 2019).
● Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan lapang pandang
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya neuropati optik.
Defek lapang pandang pada penderita TED yang paling umum ditemukan
yakni tipe skotoma parasentral, defek pada bintik buta, defek serat-serat saraf,
defek sentral, dan penyempitan secara menyeluruh.
- Laboratorium
Pemeriksaan T3 (triiodothyronine), T4 (thyroxine) dan TSH (thyroid
stimulating hormone) digunakan untuk mengetahui abnormalitas fungsi tiroid.
Pada penyakit Graves didapatkan kadar T3 dan T4 melebihi nilai normal dan
TSH rendah.
- CT-Scan Orbita
Pemeriksaan ini berguna untuk menampilkan penebalan muskulus
ekstraokuler pada apeks orbita yang menekan nervus optikus dan membantu
perencanaan dekompresi orbita apabila diperlukan. Temuan yang paling
sering didapatkan yakni pembesaran otot ekstraokular, dengan konfigurasi
bilateral, simetris, atau fusiformis, dan batas pada tendon.
Gambar 2.16 CT-scan TED dengan neuropati optik; (A) Aksial; tampak
muskulus rektus medial membesar, berkerumun dan menekan nervus optikus
pada apeks orbita, (B) Koronal; tampak tidak ada perbedaan antara otot
ekstraokuler dengan nervus optikus, mengindikasi terjadi kompresi dan kontak
antara otot dan nervus, (C) Aksial; tampak pembesaran fusiformis pada posterior
muskulus rektus medial berkerumun pada apeks orbita dan menekan nervus
optikus, (D) Koronal; tampak nervus optikus sulit dibedakan karena dikelilingi
oleh otot-otot yang membesar
Sumber : Liu, 2019
- Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini sangat baik untuk melihat gambaran muskulus
ekstraokular dan insersinya, dan gambaran anatomi apeks orbita, terutama
pada kasus neuropati optik kompresif ringan. Gambaran lemak dan nervus
optikus juga dapat dinilai. Lemak akan tampak hiperintens pada T1-weigthed
dan fast T2-weighted pulse sequences. Sedangkan pembesaran otot
ekstraokular akan tampak isointens pada T1-weighted dan isointens sampai
hiperintens minimal pada T2-weighted. Selain dapat menilai pembesaran
muskulus ekstraokuler, pemeriksaan ini juga sangat baik untuk mengetahui
neuropati optik kompresif yang masih ringan.
Gambar 2.17 MRI T1-weighted (potongan koronal); tampak pembesaran otot
ekstraokular dan infiltrasi lemak di inferior
Sumber : Liu, 2019
- Orbital Ultrasonography
Pemeriksaan ini bersifat non-invasif untuk melihat isi bola mata serta
untuk mengukur ketebalan otot ekstraokular. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan menggunakan USG A- dan B-scan. Hasil pemeriksaan akan
memperlihatkan reflektivitas tinggi bila terdapat pembesaran otot
ekstraokular. Kekurangan dari pemeriksaan ini adalah sulit untuk menjangkau
muskukus rektus inferior, sehingga yang dapat dilihat hanya muskulus rektus
superior, medial dan lateral (Liu, 2019).

Gambar 2.18 USG A- dan B-scan pada TED; (A) Gambaran normal otot
ekstraokular pada USG A- dan B-scan. Pada B-scan, lebar otot tampak
normal. Pada A-scan, lebar otot tampak kecil dengan reflekstivitas rendah
sampai sedang, (B) Pada pasien TED, Pada B-scan, massa otot tampak
membesar. Pada A-scan, tampak pembesaran otot dibandingkan normal
dengan reflektivitas tinggi
Sumber : Liu, 2019

2.9. Tatalaksana Laserasi Palpebra


Terapi harus dimulai pada saat diagnosa ditegakkan karena efektivitasnya
akan berkurang apabila sudah berada pada tahap fase stabil. Rundle’s curve
merupakan kurva yang menunjukkan bahwa terapi inisiasi awal sangat penting
untuk membatasi manifestasi penyakit yang parah. Terapi paling efektif adalah
pada bulan awal fase inflamasi aktif, dan berkurang efektivitasnya pada bulan
akhir fase inflamasi aktif. Pada fase stabil, pilihan terapi terbatas yaitu operatif.
Terapi untuk pasien TED harus dirancang sesuai dengan kondisi dan kasus dari
setiap pasien, apakah pasien dalam masa aktif ataupun masa inaktif atau tenang,
sehingga terapi yang diberikan tidak akan selalu sama pada setiap penderita. Pada
penderita yang memiliki gejala visus dan atau kontras warna yang menurun,
diplopia yang memburuk, skor inflamasi yang meningkat, maka perlu
mendapatkan rujukan dalam hitungan hari.

Gambar 2.19 Rundle’s curve


Sumber : Liaboe,2016
VISA dapat digunakan sebagai petunujuk urutan prioritas pengobatan,
gangguan visus, inflamasi yang aktif, strabismus kemudian mengoreksi
penampilan. Dalam merancang manajemen pengobatan yang diberikan didasari
oleh tingkat keparahan penyakit yang diderita, namun ada beberapa tindakan yang
perlu dilakukan untuk semua pasien apa pun tingkat keparahannya, dipaparkan
sebagai berikut ini:
1. Suportif
Pengendalian faktor risiko dan modifikasi pola hidup merupakan
hal yang penting dalam penatalaksanaan TED. Perubahan pola hidup
seperti mengonsumsi makanan yang rendah garam untuk mengurangi
retensi air dan edema orbita serta tidur dengan posisi elevasi kepala juga
berfungsi mengurangi retensi air pada orbita. Pengobatan hipertiroid
sampai mencapai eutiroid (bekerjasama dengan dokter penyakit dalam).
Sebagian besar pasien TED hanya membutuhkan perawatan suportif
seperti lubrikan lokal untuk bola mata, seperti artificial tears, lubricant,
atau cyclosporine topikal. Penggunaan lensa prisma sementara dapat
membantu menjaga binokularitas selama fase aktif penyakit.
2. Mengembalikan fungsi tiroid menjadi eutiroid
Fungsi tiroid yang tidak terkontrol merupakan faktor risiko terjadi
dan juga faktor risiko memburuknya TED. Monitor ketat dari fungsi tiroid
penting dilakukan, terutama di fase awal penyakit. Terapi yang dilakukan
untuk mengontrol fungsi tiroid antara lain dengan pemberian obat-obat
antitiroid, radioiodine (RAI), dan tiroidektomi. RAI sebagai monoterapi
tidak disarankan untuk dilakukan pada fase aktif, karena enam bulan sejak
terapi RAI dimulai dapat memperburuk kondisi penderita, sehingga
disarankan untuk memberikan oral kortikosteroid (selama tiga bulan
diberikan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB dan di-tappering off) pada saat RAI
dimulai. Bagi penderita TED yang sedang dalam fase inaktif dapat
langsung dilakukan RAI tanpa pemberian kortikostroid, namun perlu
diperhatikan agar penderita tidak menjadi hipotiroid post-radioiodine.
3. Berhenti merokok
Penderita oftalmopati Graves yang memiliki riwayat pernah
merokok atau aktif merokok memiliki risiko oftalmopati Graves yang
tingkat keparahannya severe dan progresi yang lebih buruk. Diakibatkan
respons tubuh terhadap terapi imunosupresi lebih buruk dibandingkan
dengan mereka yang tidak memiliki riwayat merokok aktif maupun pasif
Oftalmopati Ringan.
Penanganan TED sesuai status keaktifannya :
a. Oftalmopati Ringan
Tatalaksana lokal dilakukan pada pasien dengan oftalmopati
ringan, dimana kebanyakan kasus berupa proses yang akan sembuh sendiri
(self-limiting). Pada pasien ringan yang tidak mendapat terapi, 50% akan
mengalami perbaikan, 35% disertai dengan gangguan penglihatan yang
menetap, dan pada 15% menjadi perburukan. Tatalaksana lokal yang dapat
diberikan antaranya; lubrikan pada keratokonjungvitis limbik superior,
kekeringan, atau kornea yang tidak terlindungi, pemberian agen anti-
inflamasi (steroid/NSAIDs), elevasi kepala saat tidur untuk mengurangi
edema periobita dan perekatan kelopak mata saat tidur.
Studi terbaru menunjukkan bahwa terapi 6 bulan dengan selenium
oral (100μg dua kali sehari) secara signifikan memperbaiki kualitas hidup,
menurunkan risiko keterlibatan okular, memperlambat progresi penyakit
pada pasien dengan oftalmopati Graves ringan. Penggunaan kortikosteroid
oral tidak direkomendasi pada pasien dengan oftalmopati Graves ringan.
Injeksi toksin Botulinum dapat dilakukan untuk mengurangi retraksi
kelopak mata dan merupakan terapi pilihan pada fase aktif saat operasi
merupakan kontraindikasi. Operatif rehabilitative (Mullerektomi atau
blefaroplasti) dapat dilakukan pada pasien oftalmopati Graves yang stabil
dan inaktif.
b. Oftalmopati Sedang Berat Fase Aktif
Pada pasien dengan oftalmopati derajat sedang-berat, penyakit
mata telah menganggu kehidupan sehari-hari hingga perlu dilakukan
tatalaksana imunosupresi (jika aktif) atau intervensi bedah (jika inaktif).
Pasien dengan penyakit yang aktif akan berespon pada pemberian
kortikosteroid sistemik dan radiasi orbita. Prednisolone 60-80mg/hari
secara oral dapat diberikan di awal dan kemudian dikurangi sesuai dengan
respon terapi. Metilprednisolone intravena biasanya disimpan untuk
neuropati optic kompresif yang akut, namun tolerabilitas dan efeknya lebih
baik dibandingkan dengan terapi oral. Jika respon terapi inadekuat,
terdapat beberapi pilihan terapi yang lain yaitu:

1. Regimen kedua glukokortikoid intravena jika pasien menunjukkan


toleransi yang baik saat pengobatan glukokortikoid yang pertama,
namun tidak boleh melebihi dosis kumulatif 8g pada saat
administrasi yang kedua.
2. Kombinasi glukokortikoid oral dan radioterapi orbita. Radioterapi
orbital berpontensi menghasilkan efek sinergis bersamaan dengan
glukokortikoid oral. Dosis kumulatif 20 Gy per mata dibagi kepada
10 kali dosis harian selama 2 minggu, atau dosis 1 Gy per minggu
selama 20 minggu. Eksaserbasi transien sedang pada symptom
ocular mungkin terjadi dan dapat dikontrol dengan penggunaan
glukokortikoid oral dosis rendah. Namun, pada pasien dengan
Riwayat retinopati dan/atau diabetes tak terkontrol, radioterapi
menjadi kontraindikasi.
3. Kombinasi glukokortikoid oral dan siklosporin. Prednisone 100mg/
hari diberikan dan tapered-down secara berperingkat selama 3 bulan,
diberikan dalam dosis tunggal atau kombinasi dengan siklosporin
dosis awal 5mg/kg/hari selama 12 bulan. Pilihan lain adalah;
prednisone dosis awal 60mg/hari dengan/atau siklosporin dosis awal
7.5mg/kg/hari selama 12 minggu. Sebanyak 60% tidak berespon
dengan terapi tunggal.
4. Rituximab 1000mg diberikan 2 kali dalam 2 minggu, atau rituximab
100mg diikuti injeksi 500mg dalam dosis tunggal. Efek samping ubat
dapat dicegah dengan pemberian premedikasi antihistamin. Efek
samping yang bisa muncul adalah edema periorbital dan inflamasi.
5. Terapi lain:
● Injeksi triamcinolone periocular 20mg/minggu selama 4 minggu
berturut- turut terbukti dapat mengurangi diplopia dan ukuran otot
ekstraokuler pada kasus baru GO aktif tanpa efek samping lokal
atau sistemik.
● Injeksi triamcinolone subkonjungtiva efektif dalam mengurangan
pembengkakan dan retraksi sedang kelopak mata pada kasus onset
baru GO dengan peningkatan transien TIO.
● Jika gejala relaps setelah pemberian glukokortikoid di tapered
down atau tidak ada pembaikan secara klinis setelah pemberian
glukokortikoid, dapat diberikan bromocriptine 1.25-7.5mg/hari,
dinaikkan secara berperingkat selama 3-10 bulan dosis tunggal atau
bersamaan dengan glukokortikoid.
c. Oftalmopati Sedang Berat Fase Inaktif

Pembedahan rehabilitative direkomendasi pada pasien dengan


gangguan penglihatan yang signifikan atau pasien yang menunjukkan
tanda-tanda quiescent (tenang) selama setidaknya 6 bulan. Prosedur yang
tersedia antara lain dekompresi orbita untuk proptosis yang mengganggu,
operasi strabismus pada restriksi motilitas ocular yang simtomatik, serta
bedah resesi kelopak mata dan periorbital untuk tujuan kosmetik.

● Dekompresi orbital diindakasikan pada kasus proptosis berat dan


persisten, terutama jika respon terhadap terapi glukokortikoid dan
atau radioterapi orbita, serta jika terdapat keratitis dan neuropati
optik akibat supresi n. optikus. Dekompresi bertujuan untuk
menurunkan tekanan intraocular, mengurangi eksoftalmus, retraksi
kelopak mata, nyeri, strabismus serta memperbaiki penglihatan
kabur akibat mikrovaskulopati orbital dan n. Optikus.
● Operasi strabismus bertujuan untuk memperbaiki diplopia.
Pembedahan ini diperlukan karena keterlibatan otot ekstraokuler
biasanya tidak berespon dengan baik terhadap terapi farmakologis
dan dapat memburuk setelah tindakan dekompresi.
d. Oftalmopati yang Mengancam Penglihatan
Pasien dengan oftalmopati yang mengancam penglihatan akibat
neuropati optic distiroid (DON) perlu ditatalaksana secara cepat.
Glukokortikoid intravena dosis tinggi direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama (3x500mg- 1g beberapa hari dalam seminggu; jika diperlukan,
diulang pada minggu berikutnya). Jika respon yang dihasilkan kurang baik
setelah 1-2 minggu, atau dosis/durasi terapi steroid menghasilkan efek
samping yang yang signifikan, dekompresi orbita perlu dilakukan.
Dekompresi bedah sebagai terapi lini pertama tidak memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan steroid intravena diikiti
dekompresi pada pasien yang tidak memberikan respon terapi (Sitorus,
2017).

2.10. Prognosis
Prognosis dari Graves’ ophthalmopathy dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Usia salah satu faktor yang dapat mempengaruhi. Anak-anak dan remaja
umumnya memiliki penyakit yang ringan tanpa cacat yang bermakna sampai batas
waktu yang lama. Pada orang dewasa, manifestasinya sedang sampai berat dan
lebih sering menyebabkan perubahan struktur karena gangguan fungsional.
Prognosis buruk juga berkaitan dengan merokok, progresivitas penyakit TED
yang cepat dan adanya myxedema (thyroid dermatopathy). Diagnosis yang
ditegakkan secara lebih dini diikuti intervensi dini terhadap perkembangan proses
penyakit dan mengontrol perubahan jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas
penyakit dan mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu yang lama (Khurana,
2016).
BAB III
PENUTUP

Oftalmopati Graves adalah penyakit penyerta dari Grave’s hyperthyroid,


walaupun umumnya terdapat pada kondisi hipertiroid namun dapat dijumpai beberapa
pada kasus hipotiroid atau eutiroid. Yang mendasari penyakit ini adalah suatu proses
immunologis, dimana terbentuknya antitirotropin yang menghambat reseptor TSH (TSH-
R), sehingga terjadi penumpukan hormon tiroid di tubuh yang bermanisfestasi
terbentuknya fibroblas pada jaringan lunak mata.

Gejala dan tanda yang umumnya terjadi adalah retraksi palpebra superior, “lid
lag”, proptosis, restriktif miopati, dan neuropati nervus optikus akibat kompresi.
Pengobatan pada oftalmopati Graves bergantung pada fase penyakit (fase aktif atau fase
inaktif) dan juga berdasarkan tingkat keparahan penyakit (ringan, sedang, berat, atau
mengancam penglihatan). Oftalmopati Graves dapat berakhir dengan kebutaan bila tidak
dikenali dengan cepat dan tidak mendapatkan penanganan oleh ahli dalam bidang ini.
Kebutaan dapat disebabkan oleh kerusakan parah pada kornea akibat eksposur yang lama
dan juga akibat kerusakan pada nervus optikus. Manajemen pada penderita oftalmopati
Graves mulai dari terapi obat tetes mata hingga pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

Bartalena L., Tanda ML., Graves’ Ophthalmopathy. N Engl J Med. 2009;360:994-1001.


Barrio-Barrio J, Sabater AL, Bonet-Farriol E, Velázquez-Villoria Á, Galofré JC. 2015.
Graves’ ophthalmopathy: VISA versus EUGOGO classification, assessment, and
management. J Ophthalmol.
Chantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. 2016. Orbit and Ocular Adnexa. Fundamentals and
Principles of Ophthalmology. San Francisco: American Academy of Ophthalmology;.
hlm. 5-12.
Khanski, J.J. and Bowling, B. 2015. Clinical Ophthalmology. 8th ed. London:
Butterworth Heinemann Elsevier. p 115-135
Khurana AK. 2016. Comprehensive Ophthalmology Fourth Edition. New Delhi: New
Age International.
Liu G. T., Volpe N. J., Galetta S. L. 2019. Neuro-Ophthalmology Diagnosis and
Management, 3rd edition. Orbital Disease in Neuro-Ophthalmology. Elsevier.. 18: 611-
631.
Liaboe C. A., Clark T. J., Carter K., et al. 2016. Thyroid Eye Disease: An Introductory
Tutorial and Overview of Disease.. 1-32.
Lubis, Rodiah R. 2009. Graves Ophthalmopaty. Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara: Medan
Marieb E, Hoehn K. 2007. Human Anatomy and Physiology. Edisi ke-9. USA: Pearson
Education Inc;. hlm. 49.
O'Rahilly R, Müller F, Carpenter S, Swenson R. 2004. Basic Human Anatomy. Dartmouth
Medical School;
Patel A, Yang H, Douglas RS. 2019. A New Era in the Treatment of Thyroid Eye Disease.
Am J Ophthalmol:281–8.
Rajat M., Weis E. 2012. Thyroid Associated Orbitopathy. Indian J Ophtalmol.
2012;60(2): 89-93
Reith W, Yilmaz U. Orbita: 2015. Teil 1: Anatomie, bildgebende Verfahren und
retrobulbäre Läsionen. Radiologe.;55(8):701–20.
Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury. 2014. : Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Jakarta: EGC;.
Salmon J. F. Kanski’s Clinical Ophthalmology; A Systematic Approach, 9th ed. United
Kingdom: Elsevier. Pg. 118-21
Sahli E, Gündüz K. 2017. Thyroid-associated Ophthalmopathy. Turkish Journal of
Ophthalmology. 47(2):94-105.
Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP. 2017. Buku ajar oftalmologi. Badan
Penerbitan FKUI. Jakarta;. Hal 352-62
Tyers AG, Collin JRO. 2008. Anatomy. Dalam: Gabbody R, editor. Colour Atlas of
Ophthalmic Plastic Surgery. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier;. hlm. 2-4.
Wang Y, Patel A, Douglas RS. 2019. Thyroid eye disease: How a novel therapy may
change the treatment paradigm. Ther Clin Risk Manag.;15:1305–18.
Wastitiamurti RA. 2018. Patofisiologi, klasifikasi dan tatalaksana pada Grave’s
Ophtalmopathy. Jurnal Kedokteran Meditek. Dec 20.
Weiler DL. 2017. Thyroid eye disease: a review. Clin Exp Optom.(1):20–5.

Anda mungkin juga menyukai