Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

Sella tursica merupakan bagian dari fossa cranii media bentuknya yang mirip pelana
kuda yang di dalamnya terdapat hipofisis. Di atas sella terdapat chiasma opticum, (bagian dari
hipotalamus yang berperan dalam transmisi impuls optik) Bagian lateral kanan dan kiri sella
turcica dibatasi dengan sinus cavernosus. Beberapa struktur penting terdapat di lateral dan dalam
sinus cavernosus yaitu arteri karotis interna, nervus occulomotorius (N. III), nervus trochlearis
(N. IV), rami opthalmica (N. V1) et maxillare (N. V2) nervus trigeminus; dan nervus abducens
(N. VI)1,2.
Hipofise berperan penting dalam sistem endokrin karena menghasilkan hormon-hormon
penting antara lain hormon pertumbuhan (growth hormon), kortikotropin (ACTH), tirotropin,
prolaktin, gonadotropin yang terdiri atas hormon luteinisasi (LH) dan hormon perangsang folikel
(FSH). Terdapat dua jenis hormon penting yang disekresikan neurohipofisis, yaitu: vasopresin
atau antidiuretic hormon (ADH) dan oksitosin3.
Massa di daerah sella tursica umum terjadi dan merupakan 10-15% dari kasus tumor
intracranial. Tumor sella tursica terdiri dari primary neoplasma tumor dan non neoplasma tumor.
Dimana adenoma hipofise merupakan jenis tumor sella tursica tersering dengan prevalensi 35-
50% dari semua jenis tumor di daerah sella. Kemudia disusul oleh meningioma, optic nerve
astrocytoma, dan kraniofaringioma4.

Tumor berukuran besar, umumnya diameter lebih dari 10 milimeter dapat menekan
struktur yang berada di sekitarnya. Sehingga menyebabkan timbulnya efek masa lokal dengan
manifestasi klinis berupa sakit kepala, gangguan lapangan pandang dan penekanan sinus
cavernosus5.

Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Pemeriksaan


laboratorium dibutuhkan oleh semua orang yang mengalami tumor di daerah sella tursica. Akibat
tumor di daerah sella dapat menyebabkan terjadinya hipersekresi maupun hiposekresi dari
hormone-hormon hipofise. Pemeriksaan radiologis Magnetic Resonance Imaging (MRI)
merupakan modalitas utama dalam menilai massa di daerah sella tursica4,6.

1
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI SELLA TURCICA DAN STRUKTUR SEKITARNYA

2.1.1 Sella Turcica

Sella tursica merupakan bagian dari fossa cranii media, yaitu bagian dari struktur tulang
dasar tengkorak yang terutama dibentuk oleh bagian-bagian dari os sphenoidalis, os temporalis,
dan os parietalis. Di fossa cranii media, sella turcica berada di bagian medial fosa tersebut1,2.

Gambar 1. Sella turcica dan struktur di sekitarnya.


Baehr, Frotscher 2005

Nama sella turcica (pelana Turki) didapat dari bentuknya yang mirip pelana kuda tradisional
Turki. Sebenarnya sella turcica merupakan bagian dari corpus ossis sphenoidales, berupa suatu
depresi dalam di atas sinus sphenoidalis. Depresi ini diisi oleh hipofisis 7,8.

2
Terdapat suatu peninggian di bagian anterior sella turcica yang disebut tuberculum sellae.
Tuberculum sellae membatasi sella turcica dari dua sulci prechiasmatica di depannya yang
berjalan ke lateral menuju canalis opticus masing-masing sisi 1,2,8.

Di bagian posterior, sella turcica dibatasi oleh suatu lempeng tulang persegi yang disebut
dorsum sellae. Angulus superior dorsum sellae memiliki penonjolan, disebut proccesus
clinoideus posterior yang menjadi tempat perlengkatan tentorium cerebelli. Ke inferoposterior,
dorsum sellae berhubungan dengan clivus. Arteri basilaris dan pons dibatasi di anterior oleh
dorsum sellae dan clivus1,9.

Bagian superior sella turcica tidak dibatasi oleh struktur tulang tetapi oleh dura mater yang
disebut diaphragma sellae. Bagian tengah diaphragma sellae berlubang dan menjadi tempat
lewatnya infundibulum hypophysealis (tangkai hipofisis). Di atas sella terdapat chiasma opticum,
(bagian dari hipotalamus yang berperan dalam transmisi impuls optik), yang dipisahkan dengan
hipofisis anterior oleh diaphragma sellae. Tangkai hipofisis menghubungkan lobus posterior
hipofisis dengan struktur di atasnya yaitu tuber cinereum hipotalamus sisi kiri dan kanan. Di atas
chiasma opticum dan tangkai hipofisis terdapat rongga ventrikel ke tiga1,9.

Bagian lateral kanan dan kiri sella turcica dibatasi dengan sinus cavernosus masing-masing
sisi beserta isinya. Bagian inferior sella dipisahkan oleh tulang dengan sinus sphenoidalis 1,9.

2.1.2 Sinus Cavernosus

Sinus cavernosus merupakan bagian dari sistem sinus venosus otak. Nama cavernosus
didapat karena di bagian dalam sinus ini terdapat sejumlah trabekula yang melintas sehingga
struktur dalamnya mirip spons. Sinus ini terletak di fossa cranii media di kiri dan kanan os
sphenoidalis. Saat melewati sella turcica di bagian medialnya, kedua sinus cavernosus
berhubungan dengan hipofisis. Setiap sinus meluas dari fissura orbitalis superior ke apex pars
petrosa ossi temporales. Sinus ini mengalir ke posterior ke dalam sinus petrosi superior et
inferior, serta ke inferior ke dalam plexus venosus pterygoidei. Sinus cavernosi dextra et sinistra
saling berhubungan melalui sinus intercavernosi anterior et posterior yang berjalan di dalam
diaphragma sellae di depan dan belakang tangkai hipofisis. Tiap sinus mempunyai hubungan
penting dengan vena fasialis melalui vena oftalmika superior1,2,9.

3
Beberapa struktur penting terdapat di lateral dan dalam sinus cavernosus masing-masing
sisi, yaitu: 1) arteri karotis interna beserta pleksus saraf simpatikus yang mengelilinginya; 2)
nervus occulomotorius (N. III); 3) nervus trochlearis (N. IV); 4) rami opthalmica (N. V1) et
maxillare (N. V2) nervus trigeminus; dan 5) nervus abducens (N. VI) 1,2,9.

Gambar 2. Sinus cavernosus dan struktur-struktur di sekitarnya.


Baehr, Frotscher 2005

Arteri karotis interna beserta pleksus saraf simpatikus yang mengelilinginya berjalan di
tengah sinus cavernosus tetapi dipisahkan dari darah oleh suatu lapisan endotel. Di lateral arteri
karotis interna terdapat rami opthalmica et maxillare nervus trigeminus yang berjalan ke anterior
dan di bawahnya terdapat nervus abducens. Arteri karotis interna lalu membelok tajam ke arah
balik di bawah proseccus clinoideus anterior sehingga arahnya menjadi ke belakang. Bentuk ini
disebut “carotid siphon”. Di sini arteri karotis interna memberi cabang yang segera membelok ke
anterior, yaitu arteri oftalmika. Setelah keluar dari sinus cavernosus, arteri ini akan menembus
dura mater. Selanjutnya arteri karotis interna menanjak ke atas di dalam ruang subaraknoid
hingga mencapai sirkulus Willisi 2.

Nervus occulomotorius keluar dari sisi anterior mesensefalon, medial dari pedunculus
cerebri, menembus dura mater untuk selanjutnya menuju ke anterior ke arah orbita. Dalam
perjalanannya, nervus ini melewati sisi lateral sinus cavernosus dari arah posterior ke anterior di
atas nervus trochlearis. Setelah melewati sinus cavernosus, sebelum memasuki orbita lewat
fissura orbitalis superior, nervus occulomotorius terbagi menjadi ramus superior dan ramus
inferior. Nervus occulomotorius melewati fissura orbitalis superior ke dalam kavum orbita

4
bersama-sama dengan nervus trochlearis, rami opthalmica nervus trigeminus, nervus abducens
2,9,10
.

Nervus trochlearis merupakan saraf otak yang paling halus. Saraf ini keluar dari sisi
posterior mesensefalon tepat di bawah colliculus inferior. Ia kemudian melengkung ke depan
mengitari pedunculus cerebri, menembus dura mater, lalu berjalan ke anterior melewati sisi
lateral sinus cavernosus di bawah nervus occulomotorius 2,9,10.

Rami opthalmica et maxillare nervus trigeminus melewati sisi lateral sinus cavernosus di
bawah nervus trochlearis dan lateral arteri karotis interna. Ramus opthalmicus selanjutnya akan
memasuki fissura orbitalis superior sedang ramus maxillaris memasuki foramen rotundum 2,9,10.

Nervus abducens merupakan saraf otak yang perjalanannya paling panjang. Saraf ini keluar
dari hubungan pontomedular tepat di atas pyramis medula oblongata lalu berjalan ke atas di
samping arteri basilaris, kemudian menembus dura mater di samping clivus. Dari sini, nervus
abducens membelok tajam ke anterior dan masuk ke sinus cavernosus. Di dalam sinus
cavernosus, nervus abducens lalu berjalan ke anterior menuju fissura orbitalis superior di bagian
lateral bawah arteri karotis interna 2,8,9.

2.1.3 Anatomi Hipofise

Hipofisis atau glandula pituitaria adalah struktur lonjong kecil yang menggantung pada
permukaan bawah diensefalon lewat infundibulum. Diameternya sekitar 1 cm dan beratnya 0,5 –
1. Kelenjar ini terlindung dengan baik karena terletak dalam sella turcica 3,7.

Hipofisis berperan penting dalam sistem endokrin karena menghasilkan hormon-hormon


yang mempengaruhi aktivitas berbagai kelenjar endokrin lain di tubuh. Hal inilah yang
menyebabkan hipofisis juga disebut kelenjar utama (the master gland) 7.

Hipofisis dibagi menjadi lobus anterior atau adenohipofisis dan lobus posterior atau
neurohipofisis (pada beberapa literatur dikatakan bahwa neurohipofisis bukan hanya terdiri dari
lobus posterior tetapi juga tangkai hipofisis, nukleus supraoptik, dan nukleus paraventrikular.).
Lobus anterior kemudian dibagi lagi menjadi pars anterior (kadang-kadang disebut pars distalis)
dan pars intermedia. Keduanya dipisahkan oleh suatu celah, sisa kantong embrional. Juluran dari

5
pars anterior, pars tuberalis, meluas ke atas, sepanjang permukaan anterior dan lateral tangkai
hipofisis 3,9,11.

2.2 FISIOLOGI HIPOFISE

Ada enam jenis hormon penting dan beberapa hormon yang kurang penting yang
disekresikan oleh lobus anterior hipofisis. Hormon-hormon tersebut yaitu: 1) hormon
pertumbuhan; 2) kortikotropin; 3) tirotropin; 4) prolaktin; 5) gonadotropin yang terdiri atas
hormon luteinisasi (LH) dan hormon perangsang folikel (FSH). Terdapat dua jenis hormon
penting yang disekresikan neurohipofisis, yaitu: 1) vasopresin atau (ADH) dan 2) oksitosin 3,8.

Secara histologik, sedikitnya ada lima jenis sel di hipofisis anterior yang fungsi sekresinya
berbeda-beda, yaitu: 1) sel somatotropik: mensekresi hormon pertumbuhan; 2) sel kortikotropik:
mensekresi ACTH; 3) Sel tirotropik: mensekresi hormon perangsang tiroid; 4) sel gonadotropik:
mensekresi gonadotropin, yaitu LH dan FSH ; 5) sel laktotropik: mensekresi prolaktin 3,8.

2.3 KLASIFIKASI TUMOR SELLA TURSICA

Massa di daerah sella tursica umum terjadi dan merupakan 10-15% dari kasus tumor
intracranial. Klasifikasi dari tumor di daerah sella tursika antara lain 4 :

A. Primary Neoplasma, terdiri dari :

1. Adenoma hipofise
2. Kranifaringioma
3. Meningioma
4. Chondroma
5. Chondrosarcoma
6. Schawanoma
7. Optic nerve (glioma) astrocytoma
8. Germ cell tumor

B. Lesi non neoplasma (kongenital) terdiri dari :

1. Rathke cleft kista

2. Arachnoid kista

6
3. Hipotalamik hemartroma

2.4 EPIDEMOLOGI TUMOR SELLA TURSICA

Tumor di daerah sella tursica menempati 10-15 % dari tumor intrakranial. Makroadenoma
Tumor di daerah sella tursica dapat terjadi pada berbagai usia dan jenis kelamin. Meskipun
demikian tumor tertentu dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, antara lain 6 :

1. Pada anak dengan massa di daerah sella tursica yang paling sering terjadi
kranifaringioma. Risiko timbulnya kraniofaringioma akan muncul kembali pada dekade
ke enam dari kehidupan.
2. Massa di daerah sella tursica yang paling sering terjadi pada orang dewasa adalah
adenoma hipofise. Dimana dengan semakin meningkatnya usia adenoma hipofise non
fungsional lebih sering terjadi.
3. Meningioma jarang terjadi pada masa kanak-kanak, insidensinya akan meningkat pada
usia dewasa. Meningioma lebih sering terjadi pada wanita. Dimana prevalensi antara
wanita dan pria adalah 2 : 1.

2.5 MANIFESTASI KLINIS TUMOR SELLA TURSICA

Lesi berukuran besar, umumnya diameter lebih dari 10 milimeter dapat menekan struktur
yang berada di sekitarnya dan menyebabkan timbulnya efek masa lokal, dengan manifestasi
klinis antara lain 5:
1. Nyeri kepala terjadi pada sebagian besar pasien dengan pembesaran di fossa hipofisis.
Namun bukan merupakan suatu penanda spesifik.
2. Gangguan lapangan pandang. Penekanan pada aspek inferior khiasma optikus
menyebabkan superior temporal quadrantanopia, yang akan mengalami progresi menjadi
hemianopsia bitemporal.
3. Kompresi sinus cavernosus. Pada beberapa tumor hipofise, ekpansi lateral dapat
menyebabkan terjadinya kompresi saraf yang melewati sinus cavernosus meliputi nervus
oculomotor (N.III), nervus trochlear (N.IV), nervus abducens (N.VI).

7
2. 6 PEMERIKSAAN PENUNJANG TUMOR DI DAERAH SELLA TURSICA

2.6.1 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis sangat esensial untuk menilai karakteristik masa di daerah sella
tursica dan dapat menyediakan informasi diagnostik secara non invasif. Pemeriksaan MRI
merupakan modalitas untuk melihat massa di daerah sella tursica. Citra pada MRI dihasilkan
oleh sinyal atau echo yang berasal dari adanya pemberian energi yang disebut dengan Radio
Frekuensi (RF). Energi yang dibebaskan proton - proton hidrogen akan menyebabkan
magnetisasi bidang longitudinal akan semakin lama semakin menguat dengan
waktu recovery dimana hal ini disebut dengan waktu relaksasi T1. Potongan T1-weighted sendiri
didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan suatu jaringan untuk mencapai pemulihan
magnetisasi longitudinal. Selain itu adanya pertukaran energi antara inti atom hidrogen dengan
inti atom di sekitarnya dikenal dengan spin-spin relaxation dan akan menghasilkan decay atau
peluruhan  pada magnetisasi transversal. Potongan T2-weighted adalah waktu yang diperlukan
suatu jaringan untuk kehilangan energinya.

Protokol pemeriksaan MRI pada hipofise, meliputi fokus pada sella dengan potongan
koronal dan sagital T1-Weighted sebelum dan setelah pemberian kontras gadolinium dibutuhkan
untuk visualisasi daerah sella secara adekuat. Selain itu potongan T2-Weighted dapat
memberiksan informasi diagnosis tambahan. Pada pemeriksaan MRI non kontras T1-WI lesi
hiperdens mengindikasikan adanya darah, massa kistik yang mengandung protein, atau lemak.
Lesi hiperdens pada potongan T2-WI menunjukan suatu masa kistik 6.
Pemeriksaan CT-scan sella tursica dapat berguna pada situasi spesifik tertentu, meliputi
menunjukan adanya erosi tulang, kalsifikasi masa di sella (umumnya pada kraniofaringioma),
dan perdarahan pada lesi di sella tursica 6.

2.6.2 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan pada setiap pasien dengan massa di daerah sella
untuk mengevaluasi kelebihan produksi hormone di hipofise. Pasien dengan lesi yang besar
(diameter > 10 mm) atau lesi yang meliputi infundibulum harus dievaluasi untuk defesiensi
hormone hipofise. Evaluasi kelebihan hormone hipofise meliputi pemeriksaan seru prolaktin,

8
IGF-1 (untuk pemeriksaan kemungkinan kelebihan growth hormone), TSH dan FT4. Beberapa
jenis pemeriksaan dapat dilakukan untuk mengetahui adanya hiperkortisolisme, meliputi late
night salivary cortisol assay, free-urine cortisol 24 jam, serta tes supresi overnight dexametason
(1 mg)6.
Evaluasi defesiensi hormone hipofise meliputi pemeriksaan serum kortisol (stimulasi
serum kortisol dengan consytropin atau insulin induced hipoglikemia), FT4, serum testoteron
(pada pria), riwayat menstruasi (pada wanita). Serum IGF-1 dan IGF BP-3 sangat membantu
dalam mendeteksi defesiensi growth hormon pada anak dan remaja tetapi memiliki fungsi
diagnostic yang terbatas pada orang dewasa 6.
Evaluasi fungsi hipofise posterior meliputi pemeriksaan serum sodium dan osmolalitas
serta osmolalitas urin. Jika hasil tes tidak dapat memberiksan hasil diagnostic sesuai baseline,
dapat dilakukan pemeriksaan respon terhadap derivat air, untuk memastikan diagnostik diabetes
insipidus 6.

2.7 BEBERAPA TUMOR OTAK YANG SERING DIJUMPAI DI DAERAH SELLA


TURCICA

Tumor di daerah sella tursica menempati 10-15 % dari tumor intrakranial.


Makroadenoma merupakan tumor di daerah sella yang paling sering terjadi dengan angka
insidensi 35-50%. Selain itu beberapa tumor yang sering terjadi di daerah sella tursica adalah
meningioma, optic nerve astrocytoma, dan kraniofaringioma. Berikut akan dibahas tumor
tersebut 4.

2.7.1 ADENOMA HIPOFISIS

2.7.1. 1 Defenisi

Adenoma hipofisis adalah salah satu neoplasma tipe jinak pada hipofisis yang umum terjadi5.

2.7.1. 2 Epidemologi
Merupakan suatu neoplasma tipe jinak dengan prevalensi 35-50% dari semua jenis masa di
daerah sella tursica12.

9
2.7.1.3 Klasifikasi
Dengan demikian adenoma hipofisis memiliki beberapa subtipe yaitu: 1) adenoma
nonfungsional; 2) prolaktinoma; 3) adenoma hormon pertumbuhan; 4) adenoma kortikotropin;
dan 5) adenoma tiroropin.1 Tumor juga diklasifikasikan berdasarkan ukurannya. Jika tumor
berukuran 10mm atau lebih maka disebut microadenoma. Jika kurang dari 10 mm makan disebut
microadenoma. Microadenoma lebihi sering terjadi dibandingakan makroadenoma12.

2.7.1.3.4 Patofisologi
Sampai saat ini, asal adenoma hipofisis masih diperdebatkan apakah terjadi akibat
respons yang tidak normal terhadap stimulasi hipotalamus atau berasal dari abnormalitas
intrinsik di hipofisis. Aspek genetik tumor ini berkembang setelah ditemukan beberapa onkogen
dan gen supresor tumor yang berperan dalam tumorigenesis adenoma hipofisis. Mutasi subunit
alfa gen stimulator “guanine nucleotide-binding protein” (gsp) yang terletak di kromosom 20
menghasilkan suatu sistem sinyal adenilat siklase yang aktif secara independen sehingga
meningkatkan “cyclic adenosine monophospate” (cAMP) yang kemudian mempercepat progresi
siklus sel. Mutasi gen supresor tumor seperti gen p53 ditemukan pada banyak kasus adenoma
nonfungsional invasif dan adenoma ACTH 7,13.

2.7.1.5 Manifestasi Klinis

Makroadenoma menyebabkan efek masa local sehingga terjadi kompresi pada struktur
yang berada di sekitarnya. Makroadenoma dan mikroadenoma dapat menyebabkan terjadi
kompresi pada hipofisis sehingga hormonal output berkurang dan terjadi panhipopituarism.
Mikroadenoma sendiri juga dapat menyababkan terjadinya pengeluaran hormone spesifik yang
berlebihan seperti prolactin, hormone pertumbuhan, kortikotropin, biasanya lebih dari 1 hormon
yang disekresikan) 5.
Efek Masa Lokal antara lain 5:
1. Nyeri kepala terjadi pada sebagian besar pasien dengan pembesaran di fossa hipofisis.
Namun bukan merupakan suatu penanda spesifik.
2. Gangguan lapangan pandang. Penekanan pada aspek inferior chiasma opticus
menyebabkan superior temporal quadrantanopia, yang akan mengalami progresi menjadi
hemianopsia bitemporal.

10
3. Kompresi sinus cavernosus. Pada beberapa tumor hipofise, ekpansi lateral dapat
menyebabkan terjadinya kompresi saraf yang melewati sinus cavernosus meliputi nervus
oculomotor (N.III), nervus trochlear (N.IV), nervus abducens (N.VI).
Efek endokrin

1. Hipersekresi

Manifestasi klinis bergantung pada hormone yang diekskresi. Hipersekresi hormone yang sering
terjadi antara lain 5 :

a. Growth Hormon (GH)


Berperan untuk stimulasi pertumbuhan dan mengontrol metabolisme protein, karbohidrat,
dan lemak. Growth hormone yang berlebihan pada orang dewasa menyebabkan terjadi
akromegali. Pada akromegali terjadi pembesaran jaringan tissue, kartilago dan tulang pada
wajah, tangan dan kaki. Terjadinya pembesaran pulpa jari tangan, dan bantalan tumit (heel pads).
Pada anak-anak akibat terjadinya fusi sutura tulang, kelebihan hormone pertumbuhan dapat
menyebabkan gigantisme.
b. Prolactin.
Hormon ini berperan dalam eksresi prolactin. Prolaktinemia merupakan tipe tumor hipofise
yang sering terjadi dan merupakan penanda awal prolaktin mikroadenoma. Tumor ini disertai
oleh gejala infertilitas, amenore, dan galaktore. Pada pria tumor dapat terjadi dengan impitensi
atau tidak terdiagnosis hingga terjadi efek penekana lokal.
c. Adenokortikotroipin hormone (ACTH)
ACTH menstimulasi sekresi kortisol dan androgen. Hipersekresi menyebabkan adrenal
hyperplasia sehingga timbul gejala cushing syndrome. Gejala ini dapat terjadi pada tumor
adrenal atau sekresi ektopik dari karsinoma bronkus, tapi penggunaan steroid merupakan
penyebab utama. Gejala yang timbul berupa moon face, buffalo hump, obesitas sentral, striae
pada pundak dan perut, kelemahan otot dan wasting, osteoporosis, diabetes mellitus, hipertensi,
jerawat, serta hirsutisme dan kebotakan. Gejala ditegakan dari penemuan peningkatan kortisol
plasma dan urin yang tidak disebabkan oleh pengobatan deksametason.

11
2. Hiposekresi
Makroadenoma dapat mneyebabkan ketidakseimbangan sekresi hormon. Hormon
pertumbuhan dan gonadotropin yang paling sering terjadi, diikuti TSH dab ACTH.
Panhipopituarism hanya terjadi jika > 80% hipofise anterior mengalami kerusakan 5.

Tabel 1. Manifestasi klinis hiposekresi hormon hipofise


Linsay KW, Bone I, et al. Sellar and suprasellar mass: Neurology and neurosurgery illustrated

Gangguna sekresi Dewasa Anak-anak


GH - Pituitary dwarfisme
Gonadotropin Amenore, infertilitas, Retardasi pertumbuhan
kehilangan libido seksual
ACTH Defesiensi glukokortikoid Hypoglikemi
dan androgen, kelemahan otot
dan fatigue
TSH Secondary hipotiroidism, Intelegensi normal
BMR rendah, sensitive
terhadapa dingin, fisik dan
mental yang lambat,, rambut
yang kasar
Prolaktin Kegagalan laktasi

2.7.1.6 Penegakan Diagnosis

MRI merupakan teknik pencitraan terpilih untuk tumor hipofisis. Gambaran MRI suatu
adenoma hipofisis biasanya berupa massa hipofisis yang hipointens di T 1WI. Penampakan di
T2WI bervariasi tetapi sering hiperintens. Makroadenoma secara khas menyangat dengan
pemberian kontras dan terlihat berekspansi ke luar sella turcica (ke sinus cavernosus, ruang
suprasella, atau ruang infrasella) 2,7,14.

12
Gambar 3. Suatu tumor hipófisis besar (prolaktinoma) pada seorang laki-laki 40 tahun, terlihat
pada potongan koronal (a,b) dan sagital (c) T1WI MRI. Gambar b dan c diambil setelah
pemberian bahan kontras. Tumor intrasellar dan suprasellar yang besar menekan chiasma
optikuk dari bawah dan meregangkannya (a) terdapat penyengatan kontras yang jelas (b,c) Sella
tursica terlihat jelas membesar.
Baehr, Frotschner (2005)

2.7.1.7 Penatalaksanaan

Terapi adenoma hipofisis sangat bergantung pada jenis tumor dan sejauh mana tumor
tersebut mengganggu kualitas hidup pasien. Sering kali pemeriksaan radiologi yang ditujukan
untuk hal lain justru menemukan tumor di hipofisis tanpa gejala klinis. Pada semua pasien
dengan kasus seperti ini, tetap harus dilakukan pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
hormon. Bila hasilnya normal maka dilakukan observasi. Bila terdapat kelainan, segera diterapi.
Tujuan terapi adalah meningkatkan kualitas hidup dan kesintasan (“survival”), menghilangkan
efek massa dan gejala serta tanda yang ditimbulkannya, normalisasi hipersekresi hormon,
mempertahankan atau memulihkan fungsi hipofisis, dan mencegah rekurensi. Modalitas terapi
berupa terapi bedah, medikamentosis, dan radioterapi. Terapi bedah merupakan terapi lini
pertama untuk adenoma hipofisis kecuali prolaktinoma karena prolaktinoma sangat responsif
terhadap terapi dengan Bromocriptine. Radioterapi dengan iradiasi dan Gamma Knife telah
dibuktikan merupakan terapi adjuvan yang efektif untuk mencegah rekurensi tumor 7,15,16.

13
2.7.2. Kraniofaringioma

2.7.2 1 Defenisi

Kraniofaringioma adalah neoplasma jinak yang berkembang dari sel-sel epitel kantong
Rathke di daerah sella turcica atau suprasellar 7.

2.7.2.2. Epidemologi

Insiden tumor ini adalah sekitar 0,5 sampai 2 kasus per 2.000.000 orang. Tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tumor sering terdiagnosis pada masa kanak-kanak
usia 5 – 10 tahun atau di usia 50 – 60 tahun 7,17.

2.7.2.3 Klasifikasi

Secara histologis kraniofaringioma merupakan tumor jinak tetapi tumor ini menyebabkan
konsekuensi klinis yang serius. Berdasarkan lokasinya, tumor bisa meluas ke daerah pre-
chiasmatic, retro-chiasmatic, sub-chiasmatic, atau berekspansi ke lateral. Secara histopatologi,
tumor ini diklasifikasikan setidaknya menjadi tiga tipe, yaitu tipe adamantinomatosa, papilar, dan
campuran. Tumor tipe adamantinomatosa merupakan tipe yang paling sering ditemui. Sel-sel
epitelnya menyerupai tumor odontogenik adamantinoma, yang menjadi asal penamaan tipe
kraniofaringioma ini. Sel-sel tumor dapat membentuk pola seperti lembaran, nodular, trabekular,
mirip daun semanggi, atau kistik. Struktur kistik diisi dengan cairan kecoklatan mirip oli mesin.
Cairan tersebut bisa merupakan debris nekrotik, jaringan ikat, kalsifikasi, atau partikel kolesterol
7,17,18
.

Kraniofaringioma tipe papilar adalah tumor pseudopapilar skuamosa berdiferensiasi baik


yang timbul pada daerah suprasellar ventrikel ke tiga. Varian ini hampir eksklusif terjadi pada
orang dewasa. Kraniofaringioma tipe papilar bersifat solid dengan papil-papil tapi bisa
mengandung komponen kista kecil. Kandungan cairan kaya kolesterol dan kalsifikasinya lebih
sedikit daripada tipe adamantinomatosa. Secara mikroskopis terlihat epitel skuamosa
berdiferensiasi baik dengan stroma fibrovaskular. Epitel terlihat terpisah-pisah hingga
membentuk struktur mirip papil. Ciri mikroskopik tumor adamantinomatosa seperti bentuk
palisade dan keratin basah tidak ada pada tumor tipe papilar7,17,18.

14
Tumor tipe campuran memiliki karakter histopatologi dan lokalisasi yang menyerupai
gabungan tipe adamantinomatosa dan papilar 7,17.

2.7.2.4 Manifestasi klinis

Kraniofaringioma umumnya berkembang lambat dan interval antara munculnya tumor


dengan timbulnya gejala adalah sekitar satu sampai dua tahun. Gejala klinis tergantung lokasi
awal pertumbuhan, arah pertumbuhan, dan struktur di sekitar tumor yang terganggu. Gejala
klinis yang timbul antara lain 5 :

1. Penekanan masa dan atau obstruksi pada foramen monro menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial sehingga menimbulkan gejala sakit kepala, muntah dan papiloedema
(gangguan penglihatan).
2. Perluasan ke frontal dan ventrikel 3 menyebabkan dementia ringan hingga berat.
3. Penekanan pada nervus opticus/chiasma opticus menyebabkan atrofi optic dan
hemianopsia bitemporal. Karena tekanan chiasma sering berasal dari atas, quadrantanopia
temoral inferior muncul terlebih dahulu.
4. Kerusakan pada hipofise menyebabkan panhipopituarism, pituitary dwarfism, dan
diabetes insipidus.

15
Gambar 4. Penekanan kraniofaringoma pada struktur sekitar
Linsay KW, Bone I, et al. Sellar and suprasellar mass: Neurology and neurosurgery illustrated

2.7.2.5 Penegakan diagnosis

Pada MRI, komponen kistik kraniofaringioma memberikan gambaran yang bervariasi.


Komponen kistik ini paling sering terlihat hipointens di T 1WI dan hiperintens di T2WI.
Peningkatan sinyal di T1WI jarang dijumpai dan mungkin menandakan adanya konsentrasi
protein yang tinggi atau produk degradasi darah. Struktur solid dan dinding kista tumor ini
menyangat dengan pemberian kontras 7,14.

2.7.2.6 Penatalaksanaan

Penanganan membutuhkan pendekatan multidisiplin. Terutama dibutuhkan evaluasi


neurologik, neuroftalmologik, neuropsikologik, dan endokrinologik. Penanganan berupa terapi
bedah, radioterapi, kemoterapi, dan medikamentosis 7.

16
Gambar 5. Kraniofaringioma
Baehr, Frotschner (2005)

2.7.3. OPTIC NERVE (GLIOMA) ASTROCYTOMA

2.7.3.1 Defenisi

Merupakan tumor yang jarang dijumpai, tumor tumbuh dan berekspansi dalam bentuk
fusiform. Beberapa mengalami ekspansi ke anterior ke orbita, maupun ke posterior sehingga
melibatkan chiasma opticus. Semuanya merupakan tipe pilocytic dan pertumbuhan bersifat
lambat5.

2.7.3.2 Epidemologi

Merupakan tumor yang jarang dijumpai, biasana terjadi pada anak di bawah 10 tahun. 1
dari 3 kasus berhubungan dengan Von zecklinghausen’s disease 5.

2.7.3.3 Klasifikasi

Terdapat 2 tipe optic nerve glioma yaitu optic pathway glioma dan sporadic optic pathway
glioma. Optic nerve glioma yang berkaitan dengan penyakit neurofibromatosis tipe 1 dan
mengivasi di daerah nervus optikus. Sporadic optic pathway glioma bisanya menyerang daerah
chiasma optikus atau postchiasmatikus 4.

17
2.7.3.4. Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang timbul antara lain 5 :

1. Gangguan lapangan pandang scotoma berkembang menjadi kehilangan penglihatan


komplit.
2. Perluasan ke orbita menyebabkan proptosis
3. Pada beberapa pasien perluasan ke chiasma opticus menyebabkan kemrusakan
hipotalamus dan atau hidrocefalus

2.7.3.5 Penegakan Diagnosis

MRI adalah modalitas terbaik untuk menunjukan masa di hipofise, chiasma optikus, dan
infundibulum serta introrbital dan interkanlikular komponenen dari masa. Tumor berukuran
besar merupakan tipikal heterogen dengan kistik dan komponen solid. Pada T1 didapatkan
pembesaran sering iso hingga hipointens dibandingkan sisi kontralateral. T1 C + terdapat
enhancement. Pada T2 didapatkan hiperintens central, serta thin low signal pada perifer yang
menunjukan dura 19.

a) b)
Gambar 6. glioma nervus opticus pada potongan koronal T2 (a) dan potongan sagital T1 C (b)
Case courtesy of A.Prof Frank Gaillard, Radiopaedia.org, rID: 5676

18
2.7.3.6 Penatalaksanaan

Pilihan terapi bergantung pada klinis serta lokasi tumor. Jika tumor terisolasi pada salah
satu nervus optikus dan tidak meluas ke chiasma, reseksi merupakan tindakan kuratif (meskipun
dengan kehilangan penglihatan pada mata yang terkait). Jika tumor meluas hingga ke chiasma
atau lebih ke posterior, reseksi kuratif tidak mungkin dilakukan, dengan reseksi dibutuhkan
untuk penanganan efek masa (proptosis, efek masa intracranial)20.

2.7.4. SUPRASELLAR MENINGIOMA

2.7.4. 1 Defenisi

Suprasellar meningioma merupakan tumor jinak meningen yang timbul dari tuberculum
sellae. Tumor menginvasi sella tursika, diafragma sella, kanalis optikus dan aspek medial dari
sinus kavernosus 21.
2.7.4.2 Epidemologi
Suprasellar meningioma merupakan 5-10% dari semua intrakranial meningioma.
Prevalensi pada wanita lebin sering dibandingkan laki-laki. Meningioma dapat menyerang pasien
pada berbagai usia, namun biasanya mulai muncul pada usia 30 hingga 60 tahun21.
2.7.4.3 Manifestasi Klinis
Tanda oftalmogis dari suprasellar meningioma merupakan hal penting yang harus
diperhatikan karena tidak terdapat manifestasi klinis yang bermakna pada perkembangan awal
penyakit. Akibat kompresi chiasma optikus meyebakan terjadi deficit lapangan pandang berupa
hemianopsia bitemporal 21.

2.7.4.4 Penegakan Diagnosis


Meningioma tampak sebagai area yang mengalami peningkatan densitas karena tumor
umumnya mengandung kalsifikasi. Meningioma Nampak jelas setelah dilakukan pemeriksaan
dengan kontras. Non-enhancement MRI tidak sensitive tidak sensitive seperti CT scan untuk
mendeteksi meningioma karena tidak Nampak kontras yang signifikan antara tumor dan jaringan
tissue otak. Penggunaan kontras gadolinium dapat menunjukan meningioma dengan jelas pada
pemeriksaan MRI 21.

19
Gambar 7. MRI T1 mid-sagital menunjukan komponen homogen superior (anak panah hitam) dengan
enhancing inhomogen komponen inferior (anak panah putih)
MG Kgoro, A Speelman. Suprasella meningioma : case report. The south African Radiographer.

2.7.4.5 Penatalaksanaan
Surgical removal merupakan metode penanganan untuk simptomatik meningioma. Namun
jika operasi tidak dapat dilakukan, stereotaktik radiosurgery menggunakan gamma knife dapat
dilakukan. Radiosurgery bukan merupakan suatu pilihan karena kedekatannya dengan struktur
nervus optikus dan chiasma. Apabila sebab kondisi medis pasien, tidak dapat dilakukan surgical
removal metode shielding nervus optikus dan radioterapi fraksionasi dapat dilakukan21.

20
BAB 3

PENUTUP

Sella tursica merupakan bagian dari fossa cranii media berupa suatu cekungan yang di
dalamnya terdapat hipofisis. Di atas sella terdapat chiasma opticum. Bagian lateral kanan dan
kiri sella turcica dibatasi dengan sinus cavernosus masing-masing sisi beserta isinya. Beberapa
struktur penting terdapat di lateral dan dalam sinus cavernosus yaitu arteri karotis interna, nervus
occulomotorius (N. III), nervus trochlearis (N. IV), rami opthalmica (N. V1) et maxillare (N.
V2) nervus trigeminus; dan nervus abducens (N. VI). Hipofise berperan penting dalam sistem
endokrin karena menghasilkan hormon-hormon 1,2,3.

Tumor daerah sella turcica dapat mengalami perluasan dan menekan struktur yang
berada di sekitarnya dan menimbulkan defisit neurologi, selain itu tumor daerah sella turcica
dapat menyebabkan manifestasi gangguan endokrinologik yang beragam akibat peningkatan atau
penurunan sekresi hormon karena gangguan hipofisis. Tumor daerah sella turcica yang paling
banyak adalah adenoma hipofisis. Selain itu tumor daerah sella juga bisa berupa
kraniofaringioma,optic nerve astrocytoma, serta suprasellar meningioma. Defisit neurologis
terjadi apabila telah menekan struktur-struktur di sekitar sella. Gejala yang timbul paling banyak
adalah gangguan penglihatan dan lapangan pandang, nyeri kepala, dan kelumpuhan mata 4,5.

MRI merupakan teknik pencitraan terpilih untuk tumor-tumor daerah sella. MRI mampu
memperlihatkan tumor dan hubungannya dengan struktur-struktur sekitar secara lebih mendetil
4,6
.

Pengelolaan kasus-kasus onkologi termasuk neuroonkologi membutuhkan suatu


pendekatan multidisiplin. Dalam penanganan tumor daerah sella harus diingat untuk melakukan
pendekatan neurologik dan endokrinologik dalam mendiagnosis dan menterapi pasien 4,6,7.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran bagian 3. Edisi 3. Kepala dan leher.
Alih bahasa: Tambajong J. Editor edisi bahasa Indonesia: Wijaya C. Jakarta: EGC, 1991.
hal. 1-216.

2. Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology: anatomy-physiology-signs-


symptoms. 4-th completely revised edition. Diencephalon and autonomic nervous system:
hypothalamus. Taub E: English translation. New York: Thieme, 2005. p. 274-434.

3. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-9. Hormon dan pengaturannya
oleh hipotalamus. Alih bahasa: Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A. Editor edisi bahasa
Indonesia: Setiawan I. Jakarta: EGC, 1996. hal. 1171 – 85.

4. Zamora C, Castillo M. Neuroradiology review series : Sellar and parasellar imaging.


Neurosurgery. 2017 Jan: 80 (1):17-38.

5. Linsay KW, Bone I, Callander R. Neurology and neurosurgery illustrated. Hongkong :


Churchill Livingstone, 1986. P 321-327.

6. Aron, DC, Howlett, TA. "Pituitary incidentalomas". Endocrinol Metab Clin North Am. vol.
29. 2006. pp. 205-21.

7. Jane JA, Dumont AS, Vance ML, Laws EP. Pituitary adenomas and sellar lesions:
multidisciplinary management. In: Schiff D, O’Neill BP, editors. Principles of neuro-
oncology. New York: McGraw-Hill, 2005. p. 381-414.

8. Brazis PW, Masdeu JC, Biller J. Localization in clinical neurology. 5-th edition.The
localizations of lesions affecting the hypothalamus and pituitary gland. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2007. p. 383-98.

9. Snell RS. Clinical neuroanatomy. 6-th edition. The cerebrum: diencephalon. Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins, 2006. p. 242 – 8.

10. Brazis PW, Masdeu JC, Biller J. Localization in clinical neurology. 5-th edition.The
localizations of lesions affecting the ocular motor system. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2007. p. 169-270.

11. Kahle W, Frotscher M. Color atlas & textbook of human anatomy volume 3: nervous system
and sensory organs. Diencephalon. Stuttgart: Georg Thieme Verlag, 2003. p. 169 – 206.

22
12. Duff JM, Dietrich PI, de Tribolet N. Current therapy for primary brain tumor. In: Liau LM,
Becker DP, Cloughesy TI, Bigner DD. Brain tumor immunotherapy. Totowa, New
Jersey: Humana Press, 2001. p.73 – 90.

13. Kobayashi T, Kida Y, Mori Y, Hasagawa T. Long-term results of gamma knife surgery for
the treatment of craniopharyngioma in 98 consecutive cases. J Neurosurg (6 Suppl
Pediatrics). 2005:103:482-8

14. Nabors LB. Neuroimaging. In: Schiff D, O’Neill BP, editors. Principles of neuro-oncology.
New York: McGraw-Hill, 2005. p.53-80.

15. Schlechte JA. Prolactinoma. N Engl J Med. 2003:349:2035-41.

16. Leung AKC, Pacaud D. Diagnosis and management of galactorrhea. Am Fam Physician.
2004:70:543-50,553-4.

17. Bobustuc GC, Groves MD. Craniopharyngioma. Available from:


http://www.emedicine.com. Cited: Desember 08 2018. 24 of 24 screens.

18. Kennedy HB, Smith RJS. Eye signs in craniopharyngioma. Brit J Ophtal. 1975:59:689-95.

19. Muller-Forrel WS, Boltshauser E. Imaging of orbital and visual pathway pathology.
Springer Verlag. 2005.

20. Rush JL, Kusske JA, de Fed DR, Pribram HW. Intraventricular craniopharyngioma.
Neurology. November 1975:25:1094-6.

21. MG Kgoro, A Speelman. Suprasella meningioma : case report. The south African
Radiographer. 2013 : 51 : 26-28.

23
24

Anda mungkin juga menyukai