Anda di halaman 1dari 29

Sindrom Horner : Tinjauan Klinis

Timothy J. Martin
Departemen Oftalmologi, Universitas Wake Forest, Wiston Salem, Carolina
Utara 27157, Amerika Serikat

ABSTRAK: Sindrom Horner terjadi akibat gangguan pada jalur okulosimpatik.


Pasien dengan Sindrom Horner datang dengan kelopak mata atas yang sedikit
turun dan pupil yang lebih kecil pada sisi yang sakit; keluhan yang kurang umum
seperti berkuangnya keringat di atas alis atau wajah di sisi yang sakit. Kondisi ini
biasanya tidak menyebabkan masalah penglihatan atau gejala signifikan lainnya,
tetapi penting sebagai peringatan bahwa jalur okulosimpatik telah terganggu,
berpotensi berkembang menjadi lebih serius dan bahkan mengancam jiwa. Jalur
okulosimpatik berjalan panjang dan memutar, dimulai di otak dan berjalan
menyusuri sumsum tulang belakang, keluar di dada, lalu naik ke leher dan ke
dalam orbit. Oleh karena itu, sindrom ini dengan temuan klinis yang tidak begitu
berkesan dan gejala yang tidak signifikan dapat menjadi tanda patologi serius area
kepala, dada, atau leher. Tinjauan klinis ini membahas bagaimana cara
mengidentifikasi tanda-tanda, konfirmasi diagnosis, dan mengevaluasi banyak
penyebab sindrom Horner.
KATA KUNCI: Sindroma Horner, Ptosis, Jalur Okulosimpatik, Anisokor

 PENDAHULUAN
Sindrom Horner menggambarkan temuan klinis (tanda dan gejala) yang
diakibatkan gangguan persarafan simpatis ke mata (paresis okulosimpatis). Trias
klasik dalam sindrom Horner adalah ptosis unilateral, miosis, dan anhidrosis,
namun ptosis (penyempitan pada fisura okular) dan miosis (pupil yang lebih kecil
pada sisi yang sakit) jauh lebih umum dikenal daripada anhidrosis (berkurangnya
keringat di dahi atau wajah). Sindrom Horner tidak mungkin menyebabkan
gangguan visual fungsional tetapi sangat penting secara klinis sebagai peringatan
"red flag" bahwa jalur okulosimpatik telah terganggu. Jalur ini adalah rantai tiga
saraf yang berasal dari hipotalamus di batang otak, berjalan menyusuri sumsum
tulang belakang setinggi servikal bawah dan atas torakal, kemudian melintasi
rongga dada bagian atas dan puncak paru, bersama dengan arteri karotid masuk ke
dalam sinus kavernosa, melintasi orbit untuk menginnervasi sfingter pupil; juga
menpercabangi inervasi otot-otot aksesori untuk retraksi kelopak mata. Rute yang
panjang dan melingkar ini mencakup banyak anatomi, dan pasien dengan lesi di
mana saja di sepanjang jalurnya dapat menunjukkan sindrom Horner. Oleh karena
itu, sindrom ini dengan gejala minimal dan temuan yang sering tak tegas sangat
penting dalam diagnosis lesi yang berpotensi membahayakan jiwa pada kepala,
leher, dan dada.1
Sindrom Horner berasal dari nama Johann Friedrich Horner (1831−1886),
seorang dokter mata di Swiss yang menerbitkan laporan kasus pada tahun 1869
menggambarkan seorang wanita berusia 40 tahun dengan miosis unilateral, ptosis,
dan anhidrosis wajah. Namun, ada laporan kasus sindrom yang mendahului miik
Horner selama bertahun-tahun: laporan oleh Edward Selleck Hare pada tahun
1838 dan yang lain oleh Silas Weir Mitchell pada tahun 1864. Dokter mata
Prancis Claude Bernard adalah yang pertama mengidentifikasi tiga temuan
sebagai manifestasi dari paresis okulosimpatik dalam penelitian pada hewan
1852.2 Oleh karena itu, kondisi ini kadang-kadang disebut sindrom Claude
Bernard − Horner, terutama dalam literatur Perancis.
Tanda dan gejala. Pasien dengan sindrom Horner biasanya hadir dengan
ptosis kelopak mata atas (1−2 mm) dan anisokoria dengan pupil yang lebih kecil
pada sisi yang sakit. Anhidrosis ipsilateral pada dahi atau wajah adalah tanda yang
kurang dapat diandalkan, karena tidak terbukti secara klinis (atau tidak ada sama
sekali) hampir sepanjang waktu. Mirip dengan kelopak mata atas, kelopak mata
bawah juga bisa sedikit lebih tertutup, mempersempit celah palpebral, yang
membuat mata terlihat enophthalmos meskipun enophthalmos sejati tidak ada.
Injeksi konjungtiva transien dan hipotonis relatif telah dilaporkan pada kasus
akut.5
Miosis. Pada sindrom Horner, pupil pada mata yang terkena lebih kecil dari
pada mata yang berlawanan karena hilangnya tonus simpatis dari dilator pupil.
Perbedaan ukuran satu pupil dibandingkan dengan yang lain disebut anisokoria.
Dalam keadaan normal, kedua pupil itu berukuran sama. Ukuran lubang pupil iris
dikendalikan oleh persarafan otonom kedua pasang otot yang berlawanan di iris.
Sfingter pupil adalah otot melingkar di iris yang membingkai pupil; itu dipersarafi
oleh sistem otonom parasimpatik, dan aktivasinya membuat pupil menjadi lebih
kecil. Dilator pupil terdiri dari serat otot radial yang melebarkan pupil ketika
diaktifkan dan dipersarafi oleh sistem otonom simpatik; pupil menjadi besar
dengan respon simpatik "fight or flight”. Pada akhirnya, ukuran pupil ditentukan
oleh keseimbangan dari sistem yang berlawanan ini. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi input simpatis dan parasimpatis pada pupil, termasuk jumlah
cahaya yang masuk ke mata, keadaan tonus akomodasi (melihat sesuatu yang
dekat versus jauh), tetapi juga faktor emosional, obat sistemik, dan status
penyakit. Secara umum, persarafan otonom mengendalikan pupil seimbang di
kedua mata, sehingga kedua pupil biasanya berukuran sama satu sama lain,
bahkan ketika mereka berubah secara dinamis sepanjang hari. Dalam kasus
sindrom Horner, terjadi kehilangan tonus simpatik dilator pupil pada satu mata.
Oleh karena itu, pupil pada mata yang terkena lebih kecil dari pupil di mata yang
berlawanan, karena tonus parasimpatik pada sfingter pupil relatif tidak dilawan.
Derajat anisokor pada sindrom Horner lebih besar dalam kegelapan daripada
cahaya terang; sebenarnya, anisokor dapat terlewatkan sama sekali jika pupil
hanya diamati dalam cahaya terang.6 Ini karena tonus parasimpatik (ke konstriksi
pupil) dimaksimalkan dan tonus simpatetik diminimalkan dalam cahaya terang;
dengan demikian, perbedaan dalam ukuran pupil tidak begitu nyata. Namun,
dalam kegelapan, dilator pupil diaktifkan, dan anisokor menjadi lebih besar
karena sisi yang terkena gagal membesar begitu juga pada sisi yang berlawanan.
Penting untuk dicatat bahwa pupil akan melebar dalam keadaan gelap, bahkan
pada sindrom Horner, karena banyak dilatasi dalam kegelapan diakibatkan dari
relaksasi otot sfingter pupil yang kuat, memungkinkan kekuatan elastis mekanik
iris membuka pupil. Pelebaran pasif pupil ini jauh lebih lambat daripada pelebaran
pupil ketika sistem simpatis mengaktifkan otot dilator. Inilah sebabnya mengapa
pupil pada sindrom Horner dikatakan memiliki “dilation lag”: anisokor minimal
dalam cahaya terang, tingkat anisocor yang meningkat ketika lampu dimatikan
pada 5 detik pertama dan kemudian berkurang setelah 10−15 detik sebagai dilatasi
pasif pada mata yang sakit secara bertahap menyesuaikan ukuran pupil pada mata
normal. Hal ini paling baik diamati dengan mengevaluasi ukuran pupil pertama
pada keadaan terang dan kemudian dalam kegelapan ketika lampu ruangan tiba-
tiba dimatikan (pupil diamati dalam keadaan relatif gelap dengan menerangi mata
pasien menggunakan senter secara tangensial dari bawah).7 Kelambanan dapat
juga direkam dengan mengambil foto pupil dalam kegelapan setelah lima detik
dan kemudian pada detik ke 15.8 Pupilografi digital juga dapat digunakan untuk
mengatur dilatasi pupil dalam kegelapan, menghasilkan karakteristik pola
perlambatan dilatasi pupil.9 Sifat dinamis dari pola perlambatan dilatasi pupil
perlu dipahami oleh dokter, karena sangat penting bahwa pupil diamati saat dalam
proses dilatasi, terutama di detik ke 5−15 pertama setelah lampu dimatikan
(Gambar 1). Kelemahan dilatasi sangat khas dari sindrom Horner10 tetapi
mungkin tidak selalu ada.6,11
Gambar 1. Seorang berusia 22 tahun dengan sindrom Horner mata kanan. Foto
dalam ruangan terang menunjukkan anisokor dengan pupil kanan yang lebih kecil
dan ptosis kiri ringan pada kelopak atas kanan; juga perhatikan kelopak bawah
letak lebih tinggi (“ptosis terbalik”) (A). Dalam cahaya terang, anisokor minimal
(B) dan paling besar setelah detik ke 5 detik saat gelap (C) berkurangnya anisokor
pada detik ke 15 karena pupil kanan menyesuaikan pupil kiri yang normal (D).
Empat puluh lima menit setelah tetes mata apraclonidine diteteskan di kedua
mata, anisokor membalik karena supersensitivitas dilator pupil pada mata kanan
dengan sindrom Horner (E). Perhatikan bahwa ptosis juga membalik dalam kasus
ini karena supersensitivitas serupa dari inervasi simpatis retraktor kelopak mata;
Namun, pembalikan ptosis saja tidak cukup andal untuk bertindak sebagai
indikator tes positif.
Anisokor dapat diperbesar dengan ‘menakut-nakuti’ pasien beberapa detik
setelah lampu dimatikan. Bunyi keras atau rangsangan lain yang menyebabkan
efek simpatis sistemik akan memperbesar dilatasi pada mata yang tidak
terpengaruh, memaksimalkan tampilan anisokor. Mencubit pasien (tidak
disarankan!) Memiliki efek yang sama.12 Teknik rangsangan berbahaya tersebut
lebih merupakan pilihan sampingan yang unik daripada sebagai praktis secara
klinis.
Singkatnya, kelainan pupil sindrom Horner adalah anisokor dengan pupil
yang lebih kecil pada sisi yang sakit. Hal ini paling baik diidentifikasi dengan
membandingkan derajat anisokor dalam keadaan terang dan gelap dengan derajat
anisokor terbesar diperkirakan pada 5−7 detik setelah lampu dimatikan karena
berkurangnya tonus simpatik pada otot dilator mata yang terkena. Perhatikan
bahwa anisokor yang lebih besar pada cahaya terang daripada gelap
mengimplikasikan bahwa semakin besar abnormalitas berupa perbedaan antara
kedua pupil, menunjukkan defisiensi parasimpatik, seperti yang terjadi pada
kelumpuhan saraf kranial iii atau Adie tonic pupil.
Ptosis. Tonus simpatis yang meningkat pada kelopak mata menyebabkan
sedikit retraksi dari kelopak mata hingga fisura palpebra lebih lebar (seperti yang
diharapkan karena mata terbuka lebar adalah bagian dari respon simpatik "fight or
flight"). Dengan kurangnya tonus oculosimpatis pada sindrom Horner, terdapat
efek yang sebaliknya, yaitu penyempitan celah palpebra pada sisi yang terkena.
Pengangkat utama kelopak mata adalah otot levator palpebra, yang dipersarafi
oleh saraf kranial III. Akan tetapi, sedikit peningkatan kelopak mata dihasilkan
oleh otot Mueller, retraktor kecil kelopak mata yang dipersarafi secara simpatis,
menyumbang 1−2 mm pengangkatan kelopak mata bagian atas.13 Oleh karena itu,
dengan paresis oculosimpatis, terdapat ptosis 1−2 mm kelopak mata bagian atas,
sehingga menyempitkan fisura okular. Sebuah ptosis lebih besar dari 1−2 mm
tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh sindrom Horner.
Terdapat otot rudimental yang sama pada kelopak mata bagian bawah;
dengan demikian, kelopak bawah mungkin sedikit lebih tinggi pada sindrom
Horner (kadang-kadang disebut “ptosis terbalik”) .14 Ini mungkin hanya terbukti
dengan membandingkan posisi kelopak bawah ke limbus antara kedua mata. Hasil
akhir dari hilangnya tonus simpatik pada mata adalah penyempitan fisura okular.
Celah yang menyempit dapat memberikan penampilan enophthalmos, meskipun
tidak ada enophthalmos terukur dalam sindrom Horner.15
Ptosis pada sindrom Horner dapat bervariasi dan ringan; satu studi mencatat
bahwa ptosis tidak terjadii pada 12% pasien.16
Defisiensi Sudomotor dan Vasomotor. Sistem oculosimpatik juga
membawa serabut sudomotor (untuk keringat) ke area wajah. Gangguan jalur ini
dapat menyebabkan berkurangnya produksi keringat (anhidrosis) pada sisi yang
terkena. Sebagian besar wajah dipersarafi oleh serabut sudomotor yang berjalan
dengan karotis komunis melalui karotis eksternal; Namun, serabut yang berjalan
bersama dengan karotis internal mensuplai area kecil di dahi dan sisi hidung. Oleh
karena itu, lesi yang melibatkan ganglion servikal superior atau jalur proksimal
lebih banyak dapat menyebabkan anhidrosis wajah ipsilateral (Gambar 2), tetapi
lesi yang lebih distal sepanjang saraf ketiga hanya akan menghasilkan anhidrosis
pada area kecil pada dahi di atas alis. Secara teoritis, sindrom Horner dari lesi di
batang otak atau sumsum tulang belakang bahkan bisa menghasilkan anhidrosis
satu sisi tubuh. Namun, anhidrosis hampir tidak pernah ditemukan dalam kasus
klinis dan jarang diakui oleh pasien. Oleh karena perbedaan dalam keringat pada
wajah, wanita kadang-kadang dapat menyadari melalui perbedaan ketika riasan
diterapkan pada satu sisi wajah dibandingkan sisi yang lain. Di masa lalu, metode
yang rumit telah disarankan untuk mengidentifikasi temuan ini secara klinis,
seperti menggeser bar prisma plastik pada kulit melewati alis pada satu sisi
dibandingkan sisi yang lain (akan meluncur lebih lancar di mana tidak ada
keringat),17 atau menerapkan bedak ke wajah atau tubuh yang akan berubah warna
tergantung pada tingkat kelembaban kulit.1
Gambar 2. Seorang pria berusia 45 tahun dengan sindrom Horner kanan.
Mengalami abses servikal paraspinal kanan sebagai komplikasi akhir dari operasi
tulang belakang sebelumnya yang menghasilkan sindrom Horner preganglionik
kanan. Foto klinis ini diambil pada saat pasien mengalami demam dan diaporesis,
menunjukkan anhidrosis hemifasial kanan.
Dalam kasus akut, kehilangan kontrol vasomotor dari denervasi simpatik
dapat menyebabkan kemerahan pada wajah, hiperemia konjungtiva, tetesan air
mata, dan bahkan hidung tersumbat dengan dilatasi akibat vaskulatur. Kemudian,
kulit mungkin lebih pucat dari sisi normal dengan vasokonstriksi yang disebabkan
oleh supersensitivitas denervasi pembuluh darah ke unsur adrenergik yang beredar
normal.7
Tanda Harlequin adalah manifestasi yang mencolok akibat hilangnya
persarafan vasomotor simpatis dengan flushing hemifasial yang mengenai garis
tengah vertikal, biasanya pada bayi dengan paresis okulosimpatis.19
Neuroanatomy dan Implikasi Klinis. Sebagaimana tertera dalam
pendahuluan, "rantai" okulosimpatis adalah jalur tiga-neuron: Neuron pertama
berada di hipotalamus dengan akson yang berjalan melalui batang otak dan
sumsum tulang belakang ke sinaps pada medula spinalis serviks bagian bawah.
Akson urutan kedua berasal dari inti tulang belakang ini dan berjalan melalui
rongga dada bagian atas untuk bersinaps di ganglion servikal superior; Kemudian,
akson ketiga yang berasal dari ganglion servikal superior berjalan di sepanjang
sistem arteri karotis untuk mencapai orbita. Sindrom Horner dapat dihasilkan dari
lesi di mana saja di sepanjang jalur ini, yang secara logis dibagi menjadi pusat
atau orde pertama, preganglionik (proksimal ke superior ganglion servikal) atau
orde kedua, dan postganglionik atau orde ketiga (Gambar 3). Satu penelitian
menunjukkan bahwa 65% dari pasien yang mengalami sindrom Horner ditemukan
memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi dimana 13% diantara mereka
memiliki lesi sentral, 44% dengan lesi preganglionik, dan 43% dengan lesi
postganglionik.16
Gambar 3. Jalur Okulosimpatis oleh Martin, T.J .; Corbett, J.J. Praktik
Neuroophthalmology; McGraw Hill, 2013. Ilustrasi ini awalnya digambar ulang
dengan izin dari Weinstein, J.M .; The Pupil. dalam Slamovits, T.L., Burde, R.,
eds asosiasi .; Neuroophthalmology, vol. 6. dalam Podos, S.M., Yanoff, M., eds .;
Buku teks ophthalmology, St. Louis, 1991, Mosby.
First-Order (Central) Horner Syndrome. Badan sel neuron orde pertama
berada di hipotalamus. Dari sana, akson turun melalui batang otak dan menyusuri
sumsum tulang belakang untuk bersinergi di pusat ciliospinal dari Budge − Waller
yang terletak di level C8 hingga T2. Oleh karena itu, lesi di batang otak dan korda
servikalis dapat hadir dengan sindrom neuron Horner orde pertama yang sering
disebut sindrom Horner “sentral” (Tabel 1).20 Hal ini jarang menjadi penyebab
sindrom Horner jenis terisolasi mengingat dekatnya jalur ini dengan struktur-
struktur penting berupa struktur batang otak, meskipun terdapat pengecualian.21
Lesi hipotalamus/ talamus (tumor, infark, perdarahan) dapat menyebabkan
sindrom Horner ipsilateral berupa hemiparesis kontralateral dan hipestesia22−24
Lesi pada otak tengah dorsal dapat menyebabkan kombinasi sindrom Horner
ipsilateral dengan kelumpuhan saraf kranial IV kontralateral karena serabut saraf
kranial IV menyeberang ke sisi kontralateral ketika mereka keluar dari batang
otak.25 Lesi yang menyerang pons dapat menghasilkan sindrom Horner lumpuh
saraf VI ipsilateral atau bilateral.26
Sindrom Horner sentral yang dikenali paling sering terjadi berupa sindrom
plat medula lateral akibat infark (jarang demielinasi), menghasilkan konstelasi
gejala yang disebut sindrom Wallenberg: sindrom Horner, ataksia ipsilateral, dan
hipalgesia kontralateral; nystagmus, kelemahan wajah, disfagia, dan vertigo juga
dapat terjadi.
Terakhir, lesi sumsum tulang belakang servikal atau torakal atas (trauma,
demielinasi, tumor, syrinx, atau penyebab vaskular) dapat menyebabkan sindrom
Horner terisolasi28 tetapi paling sering dikaitkan dengan tanda-tanda jaras panjang
atau sindrom saraf tulang belakang seperti sindrom Brown − Séquard.
Sindrom Horner Orde Kedua (Preganglionik). Lesi neuron urutan kedua
kadang-kadang disebut sebagai "preganglionik" karena letaknya proksimal ke
ganglion orbital superior. Dalam satu penelitian, hampir 25% sindrom Horner
preganglionik merupakan akibat keganasan. Penelitian lain menunjukkan bahwa
28% sindrom Horner preganglionik mungkin bukan disebabkan etiologi yang
dapat diidentifikasi. Neuron orde kedua berasal dari pusat ciliospinal dari Budge −
Waller, inti tulang belakang memanjang dari level C8 ke T2. Saraf keluar dari
sumsum tulang belakang sebagai bagian dari pleksus paraspinal simpatik. Akson
membentuk saraf simpatetik, berjalan di bawah aorta, mengelilingi apeks paru
sebelum melewati ganglion stellata dan naik ke atas karotis, bersinaps di ganglion
servikal superior setinggi bifurkasio karotis. Karena alasan ini, lesi di rongga dada
bagian atas dapat menyebabkan sindrom Horner (Gambar 4). Contoh klasik
adalah tumor Pancoast, tumor paru-paru apikal yang menghasilkan sindrom
Horner dan kadang-kadang juga menghasilkan nyeri bahu ipsilateral dan tanda-
tanda dan gejala yang terkait dengan sindrom thoracic outlet.
Trauma, termasuk cedera pada pleksus brakialis atau jaringan lunak leher,
atau pneumotoraks juga dapat menyebabkan sindrom Horner. Prosedur bedah
yang melibatkan dada bagian atas (termasuk sisi tengah dan prosedural anestesi)
atau melibatkan leher, seperti operasi tulang belakang atau operasi tiroid, dapat
menjadi penyebab iatrogenik sindrom Horner.
Sindrom Horner Orde Ketiga (Postganglionik). Saraf ketiga memiliki
badan sel di ganglion servikal superior yang terletak di bifurkasio arteri karotis
dekat sudut rahang. Akson berjalan ke tujuan akhir bukan sebagai saraf tunggal
tetapi sebagai jaring atau pleksus (rete) yang mengelilingi arteri karotis komunis
dan kemudian arteri karotis internal untuk mencapai orbita (atau arteri karotis
eksternal untuk area wajah). Pleksus saraf okulosimpatik ini berjalan dengan arteri
karotis ke sinus kavernosa. Dalam sinus kavernosus, pleksus bergabung
membentuk saraf yang terlihat jelas berjalan bersama saraf kranial keenam
melalui bagian tengah sinus kavernosus (tidak seperti saraf kranial III, IV, dan VI
yang perjalanannya relatif terlindungi di dalam dinding sinus kavernosa). Serat
simpatik kemudian berjalan bersama cabang pertama saraf kranial kelima melalui
fisura orbital superior ke dalam orbit. Serat simpatik yang menginervasi dilator
pupil melalui ganglion siliaris (tanpa sinaps), melalui nervus siliris longus yang
menembus sklera dekat saraf optik, dan kemudian melalui ruang suprachoroidal
untuk mensarafi segmen otot dilator iris. Oleh karena itu, patologi di leher, dasar
tengkorak, dan orbita dapat menyebabkan sindrom Horner “postganglionik” (third
order). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, serat sudomotor yang
memasok sebagian besar area wajah dengan karotis eksternal hanya sebagian kecil
yang berjalan bersama karotis internal untuk mensuplai ‘sepetak’ area kulit di atas
alis (dan sisi hidung). Oleh karena itu, ketika anhidrosis dapat diidentifikasi dalam
sindrom Horner postganglionik, satu-satunya daerah yang terkena adalah area
kecil di atas alis tersebut. Di sisi lain, patologi yang mempengaruhi ganglion
servikal superior atau lebih proksimal dapat menyebabkan anhidrosis hemifasial,
meskipun hal ini jarang diakui secara klinis (lihat Gambar 2).
Salah satu penyebab paling umum sindrom Horner postganglionik adalah
diseksi karotis dengan sindrom Horner terjadi pada 20-30% pasien dengan kondisi
ini.31,32 Diseksi karotis dapat terjadi sebagai akibat trauma (termasuk manipulasi
33,34
chiropractic) tetapi dapat juga terjadi secara spontan. Pada diseksi karotis,
robekan dinding intima memungkinkan darah masuk ke dinding arteri karotis.35
Hal tersebut menyebabkan penyempitan lumen dan oklusi cabang karotis, juga
peningkatan diameter arteri karotis, peregangan dan patahnya pleksus saraf
simpatik. Sindrom Horner yang diakibatkan biasanya disertai dengan rasa sakit (di
leher, mata, telinga, gigi, atau kepala) dan temuan neurologis lainnya.31,36
Penyebab lain sindrom Horner postganglionik termasuk sakit kepala klaster
(keduanya sementara dengan episode dan kronis setelah episode berulang )37 atau
lebih jarang tumor dari dasar tengkorak (sering disertai dengan nyeri wajah atau
anestesi dari keterlibatan trigeminal).38 Lesi sinus kavernosus, seperti aneurisma
karotis sinus kavernosus, secara klasik menyebabkan sindrom Horner ipsilateral
terkait dengan kelumpuhan saraf VI karena penutupan hubungan serat
okulosimpatik dengan saraf kranial VI yang mengalir melalui sinus
kavernosus.39,40
Sindrom Horner pada Anak-anak. Meskipun sindrom Horner hasil
identifikasi selama tahun pertama kehidupan yang paling sering adalah idiopatik
(70% dalam satu penelitian),41 fakta bahwa itu dapat dikaitkan dengan
neuroblastoma yang berpotensi fatal, artinya sindrom Horner pada anak-anak
adalah masalah yang serius. Penting untuk membedakan antara sindrom Horner
kongenital dan didapat. Lebih dari separuh bayi dengan sindrom Horner yang
didapat selama tahun pertama kehidupan memiliki gangguan mendasar yang
berpotensi fatal dalam suatu penelitian.42 Sindrom Horner saat lahir sering
idiopatik atau terkait dengan trauma lahir (sering disertai dengan cedera pleksus
42
brakialis); Sindrom Horner bawaan juga bisa menjadi tanda neuroblastoma
intrauterin. Diagnosis dini penting karena ketahanan hidup menurun jika diagnosis
dilakukan setelah tahun pertama kehidupan.44
Selain ptosis dan anisokor, pasien yang memiliki sindrom Horner saat lahir
(atau diperoleh selama anak usia dini) bisa memiliki iris mata berwarna lebih
terang pada sisi yang terkena (iris heterochromia) karena persarafan simpatik
memainkan peran penting dalam perkembangan melanosit iris, yang pada
akhirnya menentukan warna iris.42 Tanda Harlequin adalah presentasi yang
mencolok dari sindrom Horner pada masa bayi dengan flushing wajah
kontralateral mutlak dimulai dari garis tengah vertikal.19
Satu studi menunjukkan bahwa dalam kelompok pasien anak dengan
sindrom Horner, 40% adalah bawaan, 42% diperoleh setelah prosedur bedah di
thorax, leher, atau sistem saraf pusat, dan 15% diperoleh dari sebab tertentu ,
diantaranya neuroblastoma, tumor spinal cord tulang belakang,
rhabdomyosarcoma karsinoma sel embrional, malformasi vaskular, aneurisma
intratoraks, dan trauma.42
Anak-anak dengan sindrom Horner tanpa sebab bedah atau trauma yang
jelas membutuhkan pemeriksaan menyeluruh untuk lesi, termasuk dengan MRI
otak, leher, dan dada dengan dan tanpa kontras dan tes catecholamine urin.45
Gambar 4. Pasien berusia 65 tahun dengan sindrom Horner kiri akibat
massa mediastinum kiri atas (panah, A) dinyatakan schwannoma setelah reseksi.
Sindrom Horner menetap setelah dilakukan reseksi. Perhatikan ptosis 2 mm dari
kelopak atas kiri dan anisokor dengan pupil yang lebih kecil di sisi kiri (B). Empat
puluh lima menit setelah meneteskan tetes mata apraclonidine, anisokor reversed
dengan pelebaran cepat pupil kiri, mengkonfirmasi adanya paresis okulosimpatis
(sindrom Horner) (C). Pengujian hidroksiampetamin tidak dilakukan, tetapi
diyakini bahwa kedua pupil akan membesar dengan baik karena persarafan ketiga
utuh dalam contoh sindrom Horner preganglionik ini.
Diagnosis Diferensial. Ada banyak penyebab anisokor dan banyak
penyebab ptosis. Kadang-kadang, dua temuan ini terjadi bersamaan karena alasan
lain (pseudo-Horner syndrome). Oleh karena itu, pengetahuan tentang diagnosis
banding penting untuk mencapai diagnosis yang benar.
Ketika ukuran pupil berbeda (anisokoria), langkah pertama adalah
menentukan pupil mana yang abnormal: Apakah pupil yang lebih besar terlalu
besar atau pupil yang lebih kecil terlalu kecil? Ini ditentukan dengan melihat
tingkat anisokoria dalam cahaya terang dan dalam kegelapan. Jelas, jika pupil
besar terlihat sebagai yang abnormal (anisocoria terbesar dalam cahaya terang),
maka sindrom Horner tidak menjadi pertimbangan dan perhatian harus beralih ke
gangguan sistem parasimpatik, seperti pupil tonik Adie atau kelumpuhan saraf
kranial ketiga.
Sindrom Horner dipertimbangkan ketika pupil yang lebih kecil
diidentifikasi sebagai yang abnormal (anisocoria terbesar dalam ruang gelap jika
dibandingkan dengan terang). Namun, ada kemungkinan lain yang menyingkirkan
haltersebut. Anisokoria esensial adalah anisocoria kecil (biasanya kurang dari 0,5
mm) yang tidak terkait dengan penyakit yang dapat diidentifikasi pada 15−30%
populasi normal; Anisocoria biasanya hampir sama dalam gelap dan terang, tidak
seperti keadaan patologis.5 Beberapa tetes mata topikal, kontaminasi film air mata
dengan obat sistemik, dan penyakit okular lokal seperti uveitis, trauma mata, dan
penyakit mata diabetik juga dapat menyebabkan pupil kecil dalam kasus
anisokoria. Banyak dari kemungkinan ini dapat diidentifikasi pada pemeriksaan
slit lamp atau riwayat pasien.
Sindrom Horner sebenarnya merupakan penyebab ptosis yang tidak umum;
Perubahan penuaan pada kelopak mata menyebabkan pemberatan mekanis
(levator dehiscence) adalah penyebab paling umum dari ptosis pada pasien yang
lebih tua. Ini juga dapat terjadi pada pasien muda yang memakai lensa kontak,
terutama lensa kontak keras. Miastenia gravis mata dan kondisi neuromuskular
lainnya juga dapat menyebabkan ptosis.
Evaluasi Klinis Sindrom Horner. Aspek pertama, dan mungkin yang
paling penting, mengevaluasi dugaan sindrom Horner adalah riwayat yang cermat.
Riwayat pasien sering mengungkapkan penyebab yang jelas, seperti trauma atau
operasi leher/ dada, atau akan menunjukkan bahwa sindrom Horner telah terjadi
selama bertahun-tahun dan karena itu mungkin tidak memerlukan penyelidikan
yang ekstensif. Riwayat juga dapat mengungkapkan gejala lain yang akan
membantu melokalisasi lesi yang menyebabkan sindrom Horner. Pemeriksaan
yang teliti jelas juga penting, karena penyebab lain dari anisokoria atau ptosis
mungkin perlu dipertimbangkan daripada sindrom Horner, dan tanda-tanda
bersamaan (misalnya, paresis saraf VI) dapat membantu melokalisasi lesi yang
potensial. Setelah ini, uji farmakologis dapat membantu untuk mengkonfirmasi
sindrom Horner, seperti yang dibahas secara luas di bawah ini. Selanjutnya,
semua informasi ini perlu dikombinasikan untuk memutuskan apakah
pemeriksaan tambahan diperlukan, dan jika demikian putuskan strategi pencitraan
terbaik untuk mengevaluasi dugaan penyebab sindrom Horner.
Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang interval yang tepat,
banyak dokter akan memilih untuk tidak mengevaluasi sindrom Horner jika telah
terjadi selama lebih dari dua tahun. Untuk alasan ini, mengevaluasi foto-foto
lama, khususnya yang memiliki resolusi yang cukup untuk melihat pupil dengan
jelas, dapat mencegah pemeriksaan yang berlebihan dan mahal. Yang disebut
"FAT scan" (album keluarga tomography) dapat sangat bermanfaat dan lebih
mudah diperoleh di era digital ini. Biasanya, SIM tidak cukup untuk melihat
pupil, meskipun sangat membantu dalam menunjukkan ptosis. Foto-foto terbaik
biasanya adalah foto kelulusan atau foto sekolah.
Uji Farmakologis. Diagnosis sindrom Horner mungkin meyakinkan
berdasarkan pemeriksaan klinis dan riwayat saja, tetapi sering, diagnosis tidak
pasti. Tes farmakologis dapat dilakukan di klinik dengan meneteskan tetes mata
untuk mengkonfirmasi adanya sindrom Horner. Apraclonidine saat ini adalah
agen yang paling umum digunakan, sebagian besar menggantikan tetes mata
kokain untuk uji farmakologis pada orang dewasa. Tetes hidroksiamphetamine
dapat digunakan untuk membedakan lesi saraf orde ketiga dari lesi pertama dan
kedua tetapi jarang digunakan karena seluruh jalur okulosimpatik biasanya
dicitrakan ketika sindrom Horner sedang dievaluasi.
Aktivasi ujung persarafan okulosimpatik di mata (dilator pupil dan otot
Mueller di kelopak mata) terjadi ketika norepinefrin dilepaskan oleh akson
terminal ke celah sinaptik, yang kemudian berikatan dengan reseptor pada
membran sel postsinaps untuk memulai aktivasi otot, (dilator pupil atau retraktor
palpebra). Jumlah norepinefrin dalam sinaps meningkat dengan pelepasan dari
presynaptic sebagai respons terhadap aktivasi saraf. Norepinefrin juga terus
diserap dan didaur ulang oleh sumbatan presinaptik. Pada sindrom Horner, ketika
tidak ada aktivasi okulosimpatik, tidak ada pelepasan norepinefrin ke celah sinaps.
Membran postsynaptic merespon kurangnya rangsangan dengan upregulation,
yang sebenarnya meningkatkan reseptor postsynaptic untuk norepinefrin (reseptor
α-1). Agen farmakologis digunakan dalam uji sindrom Horner menerapkan
mekanisme ini untuk menghasilkan uji klinis yang dapat mengkonfirmasi adanya
paresis okulosimpatik atau melokalisasi lesi dalam rantai oculosimpatik.1
Kotak 1. Uji Farmakologis untuk Horner Syndrome
Apraclonidine (Iopidine) 0,5% sudah tersedia secara komersial dan sering
digunakan dokter mata sebagai agen penurun tekanan sebelum prosedur laser
seperti kapsulotomi YAG. Obat ini telah muncul sebagai agen pilihan untuk
mengkonfirmasikan sindrom Horner tetapi tidak boleh digunakan pada bayi dan
anak-anak karena adanya laporan kejadian depresi nafas. Karena itu tergantung
pada pengembangan supersensitivitas denervasi, tes ini dapat menghasilkan
negatif palsu jika dilakukan dalam 2 minggu setelah onset sindrom Horner. Tes
positif ditunjukkan dengan reversed anisocoria, memberikan hasil akhir yang
tidak ambigu.
Kokain hidroklorida 10% tetes mata mata adalah standar untuk
mengkonfirmasikan sindrom Horner sebelum apraclonidine dan tetap menjadi
agen pilihan pada bayi dan anak-anak. Tes ini berlaku bahkan dalam fase akut
sindrom Horner. Namun, karena agen ini adalah zat yang dikendalikan, ada
banyak kendala dalam peracikan dan penyimpanan. Pasien harus diberitahu
bahwa obat tetes mata kokain dapat menyebabkan skrining obat dalam urin yang
positif. Tes kokain positif untuk sindrom Horner diindikasikan oleh kegagalan
pupil yang terkena dilatasi dengan anisokoria sedikitnya 1 mm yang bertahan
hingga akhir tes.
Larutan Hydroxyamphetamine 1% tidak lagi tersedia secara komersial dan
oleh karenanya harus dibuat oleh apotek. Setelah sindrom Horner telah
dikonfirmasi, agen ini dapat digunakan untuk membedakan sindrom Horner pre-
dengan postganglionik, karena dapat melebarkan pupil dengan neuron ketiga utuh
(bahkan pupil sindrom horner preganglionik) tetapi tidak akan melebarkan pupil
yang kehilangan neuron urutan ketiga. Jika tes ini harus dilakukan setelah tes
apraclonidine atau kokain, seseorang harus menunggu setidaknya 48 jam. Oleh
karena itu, kegagalan pupil dengan sindrom Horner melebar oleh zat
hydroxyamphetamine menunjukkan adanya sindrom Horner postganglionik.
Tes farmakologis topikal ini paling akurat jika dilakukan di mata yang
belum pernah dilakukan instrumentasi (seperti tonometri applanasi) atau tetes
mata lainnya pada saat evaluasi. Tes ini dilakukan dengan memberikan satu tetes
agen farmakologis di cul-desac inferior di setiap mata dengan hati-hati untuk
meneteskan jumlah yang sama pada masing-masing mata. Aplikasi kedua
dilakukan setelah beberapa menit. Penyerapan sistemik dapat diminimalisir
dengan membiarkan pasien menutup mata selama beberapa menit. Setelah 45
menit, dievaluasi.
Fotografi eksternal yang menunjukkan pupil dan kelopak mata adalah cara
terbaik untuk mendokumentasikan baseline pretest dan hasil tes; berfungsi
sebagai catatan untuk interpretasi dan dokumentasi medis.

Apraclonidine
Apraclonidine adalah agonis adrenergik α-2 dengan aktivitas α-1 lemah.
Secara klinis, merupakan agen yang digunakan untuk menurunkan tekanan
intraokular karena sifat agonis α-2 nya. Biasanya, memiliki efek yang dapat
diabaikan terhadap ukuran pupil; Namun, pada pasien dengan sindrom Horner, ia
dapat melebarkan pupil karena supersensitivitas otot dilator iris dari peningkatan
regulasi reseptor pasca-sinaptik α-1. Sifat yang berguna secara klinis ini
ditemukan secara kebetulan ketika pasien dengan sindrom Horner diminta untuk
mengevaluasi sifat penurun tekanan intraokular berupa apraclonidine. Pasien
dengan sindrom Horner secara khusus dipilih karena efek penurun tekanan akan
maksimal dari efek lokal obat penyerapan sistemik sekunder dan efek mediasi
simpatik. Dengan cepat disadari bahwa efek dilatasi yang tak terduga ini pada
mata dengan sindrom Horner dapat memberikan tes diagnostik farmakologis yang
berguna,47 dan memang, ini telah terbukti menjadi kasusnya. Sejumlah studi klinis
menunjukkan bahwa apraclonidine sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis
sindrom Horner,48−51 sebagian besar menggantikan kokain, yang secara historis
merupakan pilihan diagnostik (lihat Gambar 4). Apraclonidine memiliki banyak
kelebihan dibandingkan tetes mata kokain: endpoint jelas karena menciptakan
reversed dari anisocoria (tidak seperti kokain di mana tes positif adalah ketika
kokain gagal untuk melebarkan pupil yang terkena); apraclonidine siap tersedia
secara komersial dan tidak terdapat aturan penyimpanan dan penggunaan sepeprti
kokain yang ketat.
Tes dilakukan dengan menempatkan 0,5% apraclonidine di kedua mata. Tes
ini dianggap positif untuk kehadiran sindrom Horner jika anisocoria reversed:
pupil yang lebih kecil di mata yang diduga terdapat paresis oculosimpatik menjadi
lebih besar dari mata lainnya pada akhir 45 menit (Kotak 1).
Salah satu kelemahan potensial untuk tes ini adalah membutuhkan
supersensitivitas, yang berarti bahwa paresis oculosimpatik yang terjadi dalam
waktu yang cukup untuk regulasi reseptor postsinaptik. Oleh karena itu, tes ini
tidak berguna pada suspek sindrom Horner akut yang tetapi umumnya dianggap
dapat diandalkan setelah 2 minggu sejak timbulnya gejala.52 Karena ada beberapa
21, 53
kasus yang dilaporkan di mana tes positif bahkan dalam beberapa hari, wajar
untuk mencoba pengujian apraclonidine pada periode akut. Tes positif harus
dianggap diagnostik, tetapi tes negatif pada periode akut tidak memiliki arti dan
pengujian kokain harus dilakukan.
Ada masalah keamanan berkaitan dengan penggunaan tetes mata
apraclonidine pada bayi, termasuk mengantuk dan bahkan tidak responsif,54
konsisten dengan efek yang diketahui dari agonis reseptor adrenergik lainnya.55
Meskipun dengan jumlah terbatas, laporan lain menunjukkan apraclonidine 0,5%
aman pada anak-anak di bawah 10 tahun.22 Namun, laporan saat ini dalam
literatur, terdapat konsensus umum bahwa kokain adalah pilihan yang lebih
disukai untuk pengujian farmakologis sindrom Horner pada bayi dan anak-
anak.45,56
Kokain
Hingga dekade terakhir, obat tetes mata kokain adalah agen pilihan untuk
57,58
mendiagnosis sindrom Horner. Kokain menghambat ambilan norepinefrin
oleh membran presinaptik. Oleh karena itu, peningkatan konsentrasi norepinefrin
di celah sinaptik menyebabkan dilatasi pupil pada mata normal. Hal ini karena
pada mata normal selalu ada tonus simpatis dasar dan oleh karena itu beberapa
pelepasan norepinefrin dari celah presinaptik, diseimbangkan oleh reuptake
norepinefrin. Oleh karena itu, memblokir reuptake meningkatkan jumlah
norepinefrin di celah sinaptik, mengaktifkan organ akhir (pupil membesar,
mengangkat kelopak mata).
Namun, pada pasien dengan sindrom Horner tanpa aliran keluar
okulosimpatis, tidak ada (atau jauh lebih sedikit) norepinefrin pada celah sinaptik.
Oleh karena itu, menghalangi penyerapan norepinephrine dengan kokain tidak
akan berpengaruh pada ukuran pupil. Oleh karena itu, tes ini bergantung pada
perbandingan respon dilatasi terhadap tetes mata kokain pada mata yang terkena
dibandingkan mata normal. Kokain 10% ditempatkan di kedua mata, dan tes
dianggap positif untuk sindrom Horner jika mata yang terkena tidak membesar
serta mata normal. Uji klinis menunjukkan bahwa ambang batas praktis untuk
mempertimbangkan tes positif adalah anisocoria yang tersisa setidaknya 0,8 mm
setelah 45 menit atau negatif jika pupil yang dicurigai melebar lebih dari 2 mm.6
Beberapa masalah potensial segera terbukti. Pertama, endpoint positif tidak jauh
berbeda dari titik awal; misalnya, masalah mekanis yang membuat pupil dilatasi
(seperti sinekia posterior atau neovaskularisasi iris), atau tetes mata tanpa kokain
aktif untuk alasan apa pun, dapat menghasilkan tes positif palsu. Selain itu,
peracikan, penyimpanan, dan penggunaan zat yang dikendalikan seperti kokain
sulit dari perspektif praktis. Ini juga memiliki umur simpan pendek, dan metabolit
dapat tetap terkandung dalam urin hingga 2 hari menyebabkan masalah potensial
bagi pasien yang mungkin harus menjalani tes60 skrining obat. Oleh karena itu,
mengingat keterbatasan disebutkan di atas, tidak mengherankan bahwa
apraclonidine pada dasarnya telah menggantikan tes ini pada orang dewasa (tetapi
bukan bayi, di mana kokain dianggap lebih aman).
Hydroxyamphetamine.
Hydroxyamphetamine melebarkan pupil normal karena mendorong
norepinefrin presinaptik ke dalam celah sinaptik tanpa menghiraukan aktivasi
simpatetik.61 Hydroxyamphetamine bahkan akan melebarkan pupil pasien dengan
sindrom Horner tetapi hanya jika saraf orde ketiga masih utuh. Pelebaran pupil
yang dipengaruhi oleh paresis okulosimpatik dengan hydroxyamphetamine 0,5%
menunjukkan bahwa lesi pada neuron orde pertama atau kedua karena neuron
ketiga terbukti masih utuh. Kegagalan untuk dilatasi dengan hydroxyamphetamine
menunjukkan bahwa neuron orde ketiga tidak utuh, karena tidak ada norepinefrin
pada sinaps terminal, dan karena itu diagnostik menjadi sindrom Horner
postganglionik.62,63 Penting untuk dicatat bahwa hasil false-negatif dapat terjadi
jika tes hidroksihampetamin dilakukan terlalu cepat setelah neuron urutan ketiga
terpengaruh (dalam waktu 2−3 minggu onset gejala), sebelum atrofi presinaptik
telah terjadi.64 Selanjutnya, degenerasi transinaptik dari neuron orde ketiga dapat
terjadi. bahkan dari lesi preganglionik di sindrom Horner kongenital (atau jika
diperoleh pada tahun pertama kehidupan), yang mungkin salah mengimplikasikan
lesi ketiga (postganglionik) pada bayi.65 Uji hidroksampampetamin tidak boleh
dilakukan dalam waktu 48 jam apraclonidine atau kokain tes tetes mata.
Tidak ada keraguan bahwa tes hydroxyamphetamine adalah metode elegan
untuk memperbaiki lokasi lesi yang menyebabkan sindrom Horner. Namun,
sebagian besar dokter bersikeras pencitraan seluruh jalur okulosimpatis ketika
pemeriksaan diindikasikan pada sindrom Horner, sehingga pengujian
hidroksihampetamin tidak secara rutin dilakukan.
Selain hydroxyamphetamine, ada beberapa diskusi dalam literatur bahwa
sindrom Horner orde pertama (pusat) tidak akan mengembangkan
supersensitivitas pupil ke tingkat yang sama seperti lesi urutan kedua dan ketiga.
Para penulis menganjurkan penggunaan tetes mata yang sangat encer
phenylephrine (1%) atau epinefrin (2%) untuk memisahkan kelompok-kelompok
ini67 tetapi metode ini belum terbukti secara klinis reliabel.7,68
Gambaran Uji Farmakologis. Semua hal dipertimbangkan, menggunakan
tes apraclonidine untuk menguji sindrom Horner sejauh ini adalah yang paling
mudah dan paling dapat diandalkan pada orang dewasa. Seperti disebutkan di
atas, tak berlaku pada sindrom Horner akut, karena membutuhkan beberapa
minggu untuk supersensitivitas untuk berkembang. Jika diagnosis diperlukan
secara akut, pengujian kokain mungkin masih bermanfaat meskipun ada potensi
kelemahan yang dibahas di atas. Selanjutnya, kokain lebih disukai daripada
apraclonidine untuk mendiagnosis sindrom Horner pada bayi dan anak kecil
karena efek samping dari apraclonidine. Setelah sindrom Horner dikonfirmasi,
tetes mata hydroxyamphetamine dapat digunakan untuk membedakan antara lesi
pra dan postganglionik. Pengujian hidroksiampetamin biasanya terkait
kepentingan akademik tetapi biasanya tidak mengubah indikasi umum untuk
mengevaluasi seluruh jalur oculosimpatik dengan pencitraan; dengan demikian,
langkah ini sering dihilangkan.
Investigasi radiologis Sindrom Horner. Imaging adalah alat investigasi
utama dalam sindrom Horner. Pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh dokter
adalah apakah hasil pemeriksaan lebih lanjut dengan pencitraan dijamin. Pasien
dengan sindrom Horner terisolasi lama (lebih dari dua tahun), atau pasien dengan
penyebab yang jelas sindrom Horner, mungkin tidak memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut.69 Ketika pencitraan diindikasikan, pertanyaan berikutnya adalah
imaging apa yang harus dipesan, terutama yang diberikan daerah anatomis besar
yang bisa menampung lesi. Rekomendasi imaging untuk mengevaluasi sindrom
Horner dalam literatur berkisar dari "satu ukuran cocok untuk semua" untuk
mengelaborasi keputusan yang secara tepat menyesuaikan penelitian. Dalam
prakteknya, metode pencitraan tergantung pada tanda-tanda dan gejala lokalisasi
tambahan dan jika presentasi sindrom Horner akut atau kronis.70−72
Kadang-kadang pasien memiliki gejala atau tanda tambahan yang
melokalisasi penyebab sindrom Horner dengan tingkat kepastian yang wajar.
Sebagai contoh, seorang pasien dengan sindrom Horner dan gejala neurologis
sindrom Wallenberg perlu MRI kepala dengan dan tanpa kontras. Seorang pasien
dengan sindrom Horner akut dan nyeri di leher dan wajah harus segera CTA atau
MRA / MRI leher dan kepala untuk kecurigaan dari pembedahan karotis. Seorang
pasien dengan nyeri lengan dan riwayat merokok harus memiliki CT dada atau
penelitian lain yang diarahkan pada tumor apeks paru yang dicurigai. Jika
penelitian yang diarahkan negatif, maka setiap bagian yang tersisa dari jalur
oculosimpatis yang tidak ditangani secara memadai harus dicitrakan.
Namun, paling sering pasien datang dengan sindrom Horner yang terisolasi
tanpa tanda atau gejala lokalisasi lain yang meyakinkan. Dalam kasus ini,
sebagian besar dokter menganjurkan pencitraan seluruh jalur okulosimpatik
(terlepas dari lokalisasi hidroksiamphetamine, jika dilakukan). Dalam satu
penelitian terhadap 88 pasien dengan sindrom Horner terisolasi, 20% memiliki
lesi penyebab pada neuroimaging dengan diseksi karotis yang paling umum.32
Pilihan pencitraan tergantung pada apakah gejalanya masih akut atau kronis.
Dalam kasus akut, studi CTA segera yang mencakup lingkar Willisi dan memutar
ke setinggi arkus aorta dianjurkan. Studi ini memungkinkan pencitraan yang
sangat baik dari struktur vaskular untuk kemungkinan adanya diseksi karotis atau
gangguan pembuluh darah lainnya tetapi juga memungkinkan untuk visualisasi
apeks paru dan jaringan lunak leher dan orbit. Protokol ini memiliki sejumlah
keunggulan, termasuk mencakup seluruh jalur dan waktu pencitraan yang minimal
untuk mengurangi pergerakan artefak.7
Pasien yang datang dengan sindrom Horner nonakut, tanpa nyeri, tidak ada
tanda lokalisasi, dan tanpa riwayat trauma, mungkin tidak memerlukan pencitraan
yang mendesak.73 Dalam pengaturan ini, telah dianjurkan MRI kontras atau tanpa
MRA termasuk otak dan leher dari hipotalamus ke tingkat T2 di dada.66,70 MRI
menawarkan pencitraan yang lebih baik untuk batang otak, hipotalamus, corda
servikal, dan pleksus brakialis dibandingkan dengan pencitraan CT.
Anak-anak dengan sindrom Horner memerlukan MRI untuk
memvisualisasikan rantai simpatis dengan baik, beberapa ahli yang mengatakan
bahwa pemindaian MRI juga harus meluas ke area perut dan pelvis73 untuk
sepenuhnya menyelidiki kemungkinan neuroblastoma. Studi tambahan
direkomendasikan termasuk spot katekolamin urin, VMA, dan asam
homovanillic.45
Manajemen/ Perawatan. Sindrom Horner biasanya tidak mengakibatkan
hilangnya fungsi. Memiliki pupil yang lebih kecil biasanya tidak menciptakan
gejala, meskipun mungkin ada beberapa pengecualian; misalnya, pasien dengan
katarak sentral mungkin jadi mengalami silau yang lebih berat dan penurunan
penglihatan saat pupil istirahat lebih kecil. Menurut definisi, ptosis pada sindrom
Horner hanya 1−2 mm, dan dengan demikian tidak mungkin mempengaruhi
penglihatan. Oleh karena itu, pasien dengan sindrom Horner biasanya
asimtomatik dan terutama mengeluhkan tentang penampilan mereka daripada
mengeluhkan fungsi.
Hal ini mudah terbukti dengan uji diagnostik bahwa apraclonidine tidak
hanya berlaku pada pupil mata dengan sindrom Horner tetapi juga dapat
mengangkat kelopak mata pada mata yang sakit karena reseptor postsinaptik dan
otot Mueller juga diregulasi dan menjadi supersensitif terhadap apraclonidine.
Oleh karena itu apraclonidine tetes mata mungkin memiliki utilitas sebagai agen
terapeutik untuk pembalikan kosmetik sementara dari ptosis pada sindrom
Horner.74 Obat tetes mata yang mengandung naphazoline (agen simpatomimetik
yang digunakan sebagai vasokonstriktor untuk mata merah) dapat memiliki efek
yang serupa.75,76 Intervensi bedah dengan reseksi levator atau metode perbaikan
ptosis lainnya memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi karena ptosis yang terjadi
kecil dan stabil.

 KESIMPULAN
Meskipun ptosis dan miosis sindrom Horner mungkin tidak menyebabkan
gejala yang signifikan, mengenali sindrom Horner sangat penting, karena temuan
ini mengarah pada lesi di jalur okulosimpatis. Meskipun sering jinak atau
idiopatik, penyebab sindrom Horner dapat sangat mengancam atau bahkan
mematikan, sehingga paham bagaimana mengenali, mendiagnosis, dan
mengevaluasi sindrom Horner secara tepat penting bagi semua dokter.

 INFORMASI PENULIS
Penulis korsponden
*E-mail: tmmartin@wakehealth.edu.
ORCID
Timothy J. Martin: 0000-0001-7194-5560
Catatan
Penulis menyatakan tidak terdapat kepentingan kompetisi finansial
Tabe1 1. Lokasi Anatomis dan Proses Patologis pada Sindrom Horner
Lokasi Anatomi Tipe Lesi Gejala Terkait
Sentral Hipotalamus Infark, perdarahan, tumor Hemiparesis dan atau hipestesi
Mesensepalon kontralateral Nervus troklear palsy
kontralateral
Pons Seperti di atas, demielinasi Nervus VI palsy ipsilateral atau
bilateral
Medulla Seperti di atas, , terutama infark, diseksi arteri, Sindrom Wallenberg
emboli jantung, jarang demielinasi
Spinal cord Trauma, infark, malformasi vaskular, demielinasi, Tanda radikuler, sindrom Brown-
tumor, inflamasi/infeksi mielitis, syrinx, Sequard, alternating sindrom Horner
siringomelia, herniasi diskus servikalis
Pre-ganglion Rongga toraks Kanker payudara dan paru, masa mediastinum,
operasi dinding dada, aneurisme aorta, trauma
Lesi apeks paru, NSCC paru, tumor lain, penyakit Sindrom Pancoast
metastasis, infeksi
Rantai simpatis Neuroblastoma, schwannoma, tumor
servikal neuroektodermal, paraganglioma vagal, tumor
mediastinum, kista
Leher Trauma, absesm tumor, limfadenopati, neoplasma
tiroid, tiroidektomi, operasi radikal leher, cervical rib
Post-ganglion Ganglion servikal Trauma, ektasia vena jugularis, operasi diseksi leher
superior
Luka penetrasi ntraoral, operasi intraoral,
tonsilektomi
Arteri karotis Diseksi trauma atau spontan, aneurisme, displasia Nyeri wajah, stroke, iskemi mata,
fibromuskular, sindrom Ehlers Danlos, sindrom gejala iskemi otak
Marfan, arteritis
Sinus kavernosus Aneurisme kavernosa karotis, tumor, trombosis Nervus abdusen dan motorik okular
palsy
Basal tengkorak Lesi masa, frkatur basal tengkorak Defisit nervus kranial, nyeri
trigerminal, hilang sensorik
Orbita/ fisura Herpes zoster, ca nasofaring
orbita superior
Lainnya, Sakit kepala cluster Sakit kepala berat transien unilateral,
unknown injeksi konjungtiva, kaku nasal
Cefalgia trigeminall otonom Neuralgia trigerminal ipsilateral
Iskemi mikrovaskuler, arteritis giant cell, neuropati Neuralgia trigeminal ipsilateral
otonom
DAFTAR PUSTAKA

1. Martin, T. J., and Corbett, J. J. (2013) The Pupil. In Practical


Neuroophthalmology, pp 261− 286, McGraw-Hill Education/Medical.
2. Abbas, A. et al. Johann Friedrich Horner and the Repeated Discovery of
Oculosympathoparesis: Whose Syndrome Is It? Neurosurgery 2015, 77, 486
− 491; discussion 491.
3. van der Wiel, H. L. (2002) Johann Friedrich Horner (1831− 1886). J. Neurol.
249, 636− 637.
4. Thompson, H. S. (1986) Johann Friedrich Horner (1831 − 1886). Am. J.
Ophthalmol. 102, 792− 795.
5. Martin, T. J. (2007) Horner’s syndrome, Pseudo-Horner’s syndrome, and
simple anisocoria. Curr. Neurol. Neurosci. Rep. 7, 397− 406.
6. Wilhelm, H., et al. (1992) Horner’s syndrome: a retrospective analysis of 90
cases and recommendations for clinical handling. Ger. J. Ophthalmol. 1, 96−
102.
7. Kanagalingam, S., and Miller, N. R. (2015) Horner syndrome: clinical
perspectives. Eye Brain 7, 35− 46.
8. Czarnecki, J. S., Pilley, S. F., and Thompson, H. S. (1979) The analysis of
anisocoria. The use of photography in the clinical evaluation of unequal
pupils. Can. J. Ophthalmol. J. Can. Ophtalmol. 14, 297− 302.
9. Yoo, Y. J., Yang, H. K., and Hwang, J.-M. (2017) Efficacy of digital
pupillometry for diagnosis of Horner syndrome. PLoS One 12, e0178361.
10. Pilley, S. F., and Thompson, H. S. (1975) Pupillary ‘dilatation lag’ in
Horner’s syndrome. Br. J. Ophthalmol. 59, 731− 735.
11. Crippa, S. V., Borruat, F.-X., and Kawasaki, A. (2007) Pupillary dilation lag
is intermittently present in patients with a stable oculosympathetic defect
(Horner syndrome). Am. J. Ophthalmol. 143, 712− 715.
12. Reeves, A. G., and Posner, J. B. (1969) The ciliospinal response in man.
Neurology 19, 1145− 1152.
13. Beard, C. (1985) Muller’s superior tarsal muscle: anatomy, physiology, and
clinical significance. Ann. Plast. Surg. 14, 324− 333.
14. Nielsen, P. J. (1983) Upside down ptosis in patients with Horner’s syndrome.
Acta Ophthalmol. 61, 952− 957.
15. van der Wiel, H. L., and van Gijn, J. (1987) No enophthalmos in Horner’s
syndrome. J. Neurol., Neurosurg. Psychiatry 50, 498− 499.
16. Maloney, W. F., Younge, B. R., and Moyer, N. J. (1980) Evaluation of the
causes and accuracy of pharmacologic localization in Horner’s syndrome.
Am. J. Ophthalmol. 90, 394− 402.
17. Rosenberg, M. L. (1989) The friction sweat test as a new method for
detecting facial anhidrosis in patients with Horner’s syndrome. Am. J.
Ophthalmol. 108, 443− 447.
18. Wolfe, G. I., Galetta, S. L., Teener, J. W., Katz, J. S., and Bird, S. J. (1995)
Site of autonomic dysfunction in a patient with Ross’ syndrome and
postganglionic Horner’s syndrome. Neurology 45, 2094− 2096.
19. Abe, M., et al. (2006) Harlequin sign (hemifacial flushing and contralateral
hypohidrosis) in a. Pediatr. Dermatol. 23, 358− 360.
20. Nagy, A. N., Hayman, L. A., Diaz-Marchan, P. J., and Lee, A. G. (1997)
Horner’s syndrome due to first-order neuron lesions of the oculosympathetic
pathway. AJR, Am. J. Roentgenol. 169, 581− 584.
21. de Seze, J., et al. (2006) Unusual ocular motor findings in multiple sclerosis.
J. Neurol. Sci. 243, 91− 95.
22. Stone, W. M., de Toledo, J., and Romanul, F. C. (1986) Horner’s syndrome
due to hypothalamic infarction. Clinical, radiologic, and pathologic
correlations. Arch. Neurol. 43, 199− 200.
23. Austin, C. P., and Lessell, S. (1991) Horner’s syndrome from hypothalamic
infarction. Arch. Neurol. 48, 332− 334.
24. Rossetti, A. O., Reichhart, M. D., and Bogousslavsky, J. (2003) Central
Horner’s syndrome with contralateral ataxic hemiparesis: a diencephalic
alternate syndrome. Neurology 61, 334− 338.
25. Guy, J., Day, A. L., Mickle, J. P., and Schatz, N. J. (1989) Contralateral
trochlear nerve paresis and ipsilateral Horner’s syndrome. Am. J. Ophthalmol.
107, 73− 76.
26. Kellen, R. I., Burde, R. M., Hodges, F. J., 3rd, and Roper-Hall, G. (1988)
Central bilateral sixth nerve palsy associated with a unilateral preganglionic
Horner’s syndrome. J. Clin. Neuroophthalmol. 8, 179− 184
27. Sacco, R. L., et al. (1993) Wallenberg’s lateral medullary syndrome. Clinical-
magnetic resonance imaging correlations. Arch. Neurol. 50, 609− 614.
28. Pomeranz, H. (2002) Isolated Horner syndrome and syrinx of the cervical
spinal cord. Am. J. Ophthalmol. 133, 702− 704.
29. Thompson, H., Maxner, C., and Corbett, J. (1991) Horner syndrome due to
damage to the preganglionic neuron of the oculosympathetic pathway. Eye 5,
36.
30. Herbut, P., and Watson, J. (1946) Tumor of the thoracic inlet producing the
Pancoast syndrome: Report of 17 cases and a review of the literature. Arch.
Path. 42, 88− 103.
31. Baumgartner, R. W., and Bogousslavsky, J. (2005) Clinical manifestations of
carotid dissection. Front. Neurol. Neurosci. 20, 70− 76.
32. Beebe, J. D., Kardon, R. H., and Thurtell, M. J. (2017) The Yield of
Diagnostic Imaging in Patients with Isolated Horner Syndrome. Neurol. Clin.
35, 145− 151.
33. Khan, A. M., Ahmad, N., Li, X., Korsten, M. A., and Rosman, A. (2005)
Chiropractic sympathectomy: carotid artery dissection with oculosympathetic
palsy after chiropractic manipulation of the neck. Mt. Sinai J. Med. N. Y. 72,
207− 210.
34. Parwar, B. L., Fawzi, A. A., Arnold, A. C., and Schwartz, S. D. (2001)
Horner’s syndrome and dissection of the internal carotid artery after
chiropractic manipulation of the neck. Am. J. Ophthalmol. 131, 523− 524.
35. Patel, R. R., et al. (2012) Cervical carotid artery dissection: current review of
diagnosis and treatment. Cardiol. Rev. 20, 145− 152.
36. Yang, S.-T., Huang, Y.-C., Chuang, C.-C., and Hsu, P.-W. (2006) Traumatic
internal carotid artery dissection. J. Clin. Neurosci. 13, 123− 128.
37. Riley, F. C. J., and Moyer, N. J. (1971) Oculosympathetic paresis associated
with cluster headaches. Am. J. Ophthalmol. 72, 763− 768.
38. Jimenez-Caballero, P. E., Marsal-Alonso, C., and Alvarez-Tejerina, A. (2005)
[Horner syndrome as the first symptom of nasopharyngeal cancer. Two case
reports]. Rev. Neurol. 40, 541− 543.
39. Kurihara, T. (2006) Abducens nerve palsy and ipsilateral incomplete Horner
syndrome: a significant sign of locating the lesion in the posterior cavernous
sinus. Intern. Med. 45, 993− 994.
40. Tsuda, H., et al. (2009) Combination of abducens nerve palsy and ipsilateral
postganglionic Horner syndrome as an initial manifestation of uterine cervical
cancer. Intern. Med. 48, 1457− 1460.
41. George, N. D., Gonzalez, G., and Hoyt, C. S. (1998) Does Horner’s syndrome
in infancy require investigation? Br. J. Ophthalmol. 82, 51− 54.
42. Jeffery, A. R., Ellis, F. J., Repka, M. X., and Buncic, J. R. (1998) Pediatric
Horner syndrome. J. AAPOS Off. Publ. Am. Assoc. Pediatr. Ophthalmol.
Strabismus 2, 159− 167.
43. Zafeiriou, D. I., et al. (2006) Congenital Horner’s syndrome associated with
cervical neuroblastoma. Eur. J. Paediatr. Neurol. EJPN Off. J. Eur. Paediatr.
Neurol. Soc. 10, 90− 92.
44. Nitschke, R., et al. (1991) Postoperative treatment of nonmetastatic visible
residual neuroblastoma: a Pediatric Oncology Group study. J. Clin. Oncol. 9,
1181− 1188.
45. Mahoney, N. R., et al. (2006) Pediatric horner syndrome: etiologies and roles
of imaging and urine studies to detect neuroblastoma and other responsible
mass lesions. Am. J. Ophthalmol. 142, 651− 659.
46. Lam, B. L., Thompson, H. S., and Corbett, J. J. (1987) The prevalence of
simple anisocoria. Am. J. Ophthalmol. 104, 69− 73.
47. Morales, J., Brown, S. M., Abdul-Rahim, A. S., and Crosson, C. E. (2000)
Ocular effects of apraclonidine in Horner syndrome. Arch. Ophthalmol. 1960
(118), 951− 954.
48. Brown, S. M. The utility of 0.5% apraclonidine in the diagnosis of horner
syndrome. Arch. Ophthalmol., 2005, 1960, 123, 578; author reply 578.
49. Freedman, K. A., and Brown, S. M. (2005) Topical apraclonidine in the
diagnosis of suspected Horner syndrome. J. Neuro-Ophthalmol. Off. J. North
Am. Neuro-Ophthalmol. Soc. 25, 83− 85.
50. Koc, F., Kavuncu, S., Kansu, T., Acaroglu, G., and Firat, E. (2005) The
sensitivity and specificity of 0.5% apraclonidine in the diagnosis of
oculosympathetic paresis. Br. J. Ophthalmol. 89, 1442− 1444.
51. Chen, P.-L., Chen, J.-T., Lu, D.-W., Chen, Y.-C., and Hsiao, C.- H. (2006)
Comparing efficacies of 0.5% apraclonidine with 4% cocaine in the diagnosis
of horner syndrome in pediatric patients. J. Ocul. Pharmacol. Ther. 22, 182−
187.
52. Kardon, R. (2005) Are we ready to replace cocaine with apraclonidine in the
pharmacologic diagnosis of Horner syndrome? J. Neuro-Ophthalmol. Off. J.
North Am. Neuro-Ophthalmol. Soc. 25, 69− 70.
53. Lebas, M., Seror, J., and Debroucker, T. (2010) Positive apraclonidine test 36
h after acute onset of horner syndrome in dorsolateral pontomedullary stroke.
J. Neuro-Ophthalmol. Off. J. North Am. Neuro-Ophthalmol. Soc. 30, 12− 17.
54. Watts, P., Satterfield, D., and Lim, M. K. (2007) Adverse effects of
apraclonidine used in the diagnosis of Horner syndrome in infants. J. AAPOS
Off. Publ. Am. Assoc. Pediatr. Ophthalmol. Strabismus 11, 282− 283.
55. Enyedi, L. B., and Freedman, S. F. (2001) Safety and efficacy of brimonidine
in children with glaucoma. J. AAPOS Off. Publ. Am. Assoc. Pediatr.
Ophthalmol. Strabismus 5, 281− 284.
56. Liu, G. T. (2011) Pediatric horner syndrome. Arch. Ophthalmol. 1960 (129),
1108− 1109.
57. Thompson, H. S. (1977) Diagnosing Horner’s syndrome. Trans. Sect.
Ophthalmol. Am. Acad. Ophthalmol. Otolaryngol. 83, 840− 842.
58. Van der Wiel, H. L., and Van Gijn, J. (1986) The diagnosis of Horner’s
syndrome. Use and limitations of the cocaine test. J. Neurol. Sci. 73, 311−
316.
59. Kardon, R. H., Denison, C. E., Brown, C. K., and Thompson, H. S. (1990)
Critical evaluation of the cocaine test in the diagnosis of Horner’s syndrome.
Arch. Ophthalmol. 1960 (108), 384− 387.
60. Jacobson, D. M., Berg, R., Grinstead, G. F., and Kruse, J. R. (2001) Duration
of positive urine for cocaine metabolite after ophthalmic administration:
implications for testing patients with suspected Horner syndrome using
ophthalmic cocaine. Am. J. Ophthalmol. 131, 742− 747.
61. Cremer, S. A., Thompson, H. S., Digre, K. B., and Kardon, R. H. (1990)
Hydroxyamphetamine mydriasis in normal subjects. Am. J. Ophthalmol. 110,
66− 70.
62. Thompson, H. S., and Mensher, J. H. (1971) Adrenergic mydriasis in
Horner’s syndrome. Hydroxyamphetamine test for diagnosis of
postganglionic defects. Am. J. Ophthalmol. 72, 472− 480.
63. Cremer, S. A., Thompson, H. S., Digre, K. B., and Kardon, R. H. (1990)
Hydroxyamphetamine mydriasis in Horner’s syndrome. Am. J. Ophthalmol.
110, 71− 76.
64. Donahue, S. P., Lavin, P. J., and Digre, K. (1996) False-negative
hydroxyamphetamine (Paredrine) test in acute Horner’s syndrome. Am. J.
Ophthalmol. 122, 900− 901.
65. Weinstein, J. M., Zweifel, T. J., and Thompson, H. S. (1980) Congenital
Horner’s syndrome. Arch. Ophthalmol. 1960 (98), 1074− 1078.
66. Gross, J. R., McClelland, C. M., and Lee, M. S. (2016) An approach to
anisocoria. Curr. Opin. Ophthalmol. 27, 486− 492.
67. Danesh-Meyer, H. V., Savino, P., and Sergott, R. (2004) The correlation of
phenylephrine 1% with hydroxyamphetamine 1% in Horner’s syndrome. Br.
J. Ophthalmol. 88, 592− 593.
68. Smit, D. P. (2010) Pharmacologic testing in Horner’s syndrome - a new
paradigm. South Afr. Med. J. Suid-Afr. Tydskr. Vir Geneeskd. 100, 738−
740.
69. Al-Moosa, A., and Eggenberger, E. (2011) Neuroimaging yield in isolated
Horner syndrome. Curr. Opin. Ophthalmol. 22, 468− 471.
70. Chen, Y., Morgan, M. L., Barros Palau, A. E., Yalamanchili, S., and Lee, A.
G. (2015) Evaluation and neuroimaging of the Horner syndrome. Can. J.
Ophthalmol. 50, 107− 111.
71. George, A., Haydar, A. A., and Adams, W. M. (2008) Imaging of Horner’s
syndrome. Clin. Radiol. 63, 499− 505.
72. Lee, J. H., et al. (2007) Neuroimaging strategies for three typesof Horner
syndrome with emphasis on anatomic location. AJR, Am. J. Roentgenol. 188,
W74− 81.
73. Davagnanam, I., Fraser, C. L., Miszkiel, K., Daniel, C. S., and Plant, G. T.
(2013) Adult Horner’s syndrome: a combined clinical, pharmacological, and
imaging algorithm. Eye 27, 291− 298.
74. Garibaldi, D. C., Hindman, H. B., Grant, M. P., Iliff, N. T., and Merbs, S. L.
(2006) Effect of 0.5% apraclonidine on ptosis in Horner syndrome. Ophthal.
Plast. Reconstr. Surg. 22, 53− 55.
75. Pemberton, J. D., MacIntosh, P. W., Zeglam, A., and Fay, A. (2015)
Naphazoline as a confounder in the diagnosis of carotid artery dissection.
Ophthal. Plast. Reconstr. Surg. 31, e33− 35.
76. Tomelleri, G., Vattemi, G., Filosto, M., and Tonin, P. (2007) Eyelid ptosis
from sympathetic nerve dysfunction mistaken as myopathy: a simple test to
identify this condition. J. Neurol., Neurosurg. Psychiatry 78, 632− 634.

Anda mungkin juga menyukai