Anda di halaman 1dari 24

ANESTESI REGIONAL PADA BEDAH MATA

Oleh :
Fityan Aulia Rahman
130121180510

REFERAT
Untuk memenuhi salah satu kewajiban akademik pada Program Pendidikan Dokter
Spesialis 1 Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Pembimbing :
dr. M. Adli Boesoirie, SpAn, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Operasi mata memberikan beberapa tantangan yang unik bagi ahli anestesi,
Pemilihan teknik anestesi berperan dalam berhasil atau gagalnya suatu operasi
mata. Pengetahuan dasar mengenai anatomi dan fisiologi orbita penting untuk
melakukan anestesi regional yang berhasil pada operasi mata. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang anestesi pada mata
memungkinkan operasi mata dapat berjalan dengan baik dengan minimal
komplikasi. Koordinasi dan pemahaman yang baik antara dokter bedah dan
anestesi bersifat sangat esensial. Risiko dan manfaat harus dipertimbangkan
dengan cermat dan teknik anestesi harus dipilih dengan tepat. Operasi mata dapat
diklasifikasikan ke dalam sebuah subspesialisasi, dan dapat meliputi prosedur
intraokular atau ekstraokuler yang mana masing-masing memiliki kebutuhan
anestesi yang berbeda. Berbagai teknik anestesi regional pada mata
memungkinkan waktu lamanya rawat inap menjadi berkurang dan berkorelasi
positif dengan tingkat kepuasan pasien.
Referat ini akan membahas mengenai teknik anestesi regional pada bedah
mata, termasuk aspek anatomi yang relevan, agen anestesi dan adjuvan yang
digunakan, serta potensi komplikasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Anatomi Mata
1.1 Orbita
Orbita memiliki bentuk seperti piramid dengan 4 sisi yang irregular dengan
bagian apeksnya berada pada bagian tengah dari fossa cranii. Orbita ini
merupakan struktur yang berperan untuk melindungi organ didalammnya.
Kedalaman orbita ke foramen optik ialah 24-54 mm. Pada setiap orbita, dinding
lateral dan medial membentuk sudut 45 derajat. Lima tulang pembentuk orbita,
ialah Os. frontal, Os. Spenoidal, Os. zygomaticus, Os. palatinum Os. maxila Os.
ethmoidales, Os. Lakrimalis.1-4
Pada bagian anterior, terdapat septum orbitae (pemisah antara palpebra dan
orbita). Orbita berhubungan dengan sinus frontalis di atas, sinus maksilaris di
bawah, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoid di medial. 1-4
1.1.1 Dinding Orbita
Atap orbita, terdiri dari facies orbitalis osis frontalis. Di bagian anterior lateral
atas, terdapat fosa lakrimalis yang berisi kelenjar lakrimal. Di posterior atap,
terdapat ala parva osis sphenoid yang mengandung kanalis optikus. 1-4
Dinding lateral, dipisahkan dari bagian atap oleh fisura orbitalis superior yang
memisahkan ala parva dan ala magna osis sphenoidalis. Bagian anterior dinding
lateral dibentuk oleh facies orbitalis osis zygomatici (malar), merupakan bagian
terkuat orbita. 1-4
Dasar orbita, dipisahkan dari dinding lateral oleh fisura orbitalis inferior.
Bagian dasar yang luas terbentuk dari pars orbitalis osis maksilaris (merupakan
tempat yang paling sering terjadinya fraktur). Processus orbitalis osis platini
membentuk daerah segitiga kecil pada dasar posterior. 1,2,5

1
3

1.1.2 Apeks Orbita


Merupakan tempat masuknya semua saraf dan pembuluh darah ke mata serta
merupakan tempat asal semua otot ekstraokuler kecuali obliqus inferior.
 Fisura orbitalis superior 
- Vena ophthalmika superior, nervus lakrimalis, frontalis, dan
trabekularis, berjalan di bagian lateral fisura (di luar anulus Zinn)
- Ramus superior dan inferior nervus okulomotorius, nervus abducens
dan nasosiliaris, berjalan di bagian medial fisura (di dalam anulus
Zinn).
- Vena ophthalmika superior sering bergabung dengan vena
ophthalmika inferior sebelum keluar dari orbita.
 Kanalis Optikus (di dalam anulus Zinn), dilalui nervus optikus dan arteri
ophthalmika. Bagian dinding medial dari setiap orbit bertempat paralel terhadap
bagian contralateral dinding medial orbital. Dinding lateral dari setiap orbit
membentuk sudut 90° terhadap bagian contralateralnnya sehingga membentuk
aksis orbita. Bagian dinding medial dipisahkan oleh sinus ethoid oleh bagian tipis
dari tulang ethmoid atau lamina papyracea. Perforasi dari bagian dinding medial
akibat jarum saat dilakukan anestesi akan menyebabkan selulitis orbital ataupun
abses.1,3,6

2
4

Gambar 1. Anatomi orbit3

Gambar 2. Skematik Anulus of Zinn

1.2. Bola Mata


Bagian bola mata berada pada bagian anterior dari rongga orbital dekat dengan
bagian atas dan dekat dengan bagian dinding lateral. Panjang garis axial 26 mm
atau lebih menunjukkan mata miopi dan memiliki resiko perforasi yang lebih
tinggi.

1.2.1 Hubungan Orbital-Bola mata


Aksis orbital (OX) merupakan pembagian atas dua garis diantara medial dan
lateral dari dinding orbital, dimana aksis visual (VX) merupakan sosisi dari mata.
Kedua aksis ini menyimpang pada sudut 23°. Dalam keadaan normal garis tengah
dari bola mata berada pada anterior terhadap lateral orbital rim dan hubungan
spasial diantaranya akan diukur dengan jauhnnya jarak bola mata (bagian atas dari
kornea kearah infraorbital rim dan jaraknnya kurang lebih 8mm. Bola mata yang
lebih condong ke depan menjauhi infra orbial atau lebih dari 8mm da berhubngan
5

deng kelopak mata dan pelebaran fisura palpebra akan menyebabkan resiko yang
tinggi terluka akibat blok anatesi yang dilakukan.

Gambar 1.2. Hubungan antara Orbita dan bola mata 2

1.3 Kapsul Tenon

Kapsul tenon atau fasia bulbar merupakan membran yang membungkus


bola mata mulai dari saraf optikus sampai junction sklerokornea, memisahkannya
dari lemak orbita. Kapsul tersebut memilki origo pada limbus dan memanjang ke
posterior hingga mencapai saraf optikus. Kapsul Tenon dibagi oleh ekuator bola
mata menjadi bagian anterior dan posterior. Kapsul Tenon anterior melekat pada
jaringan episkleral dari limbus ke posterior sekitar 5-10 mm, dan menyatu dengan
septum intermuskular otot ekstraokular dan konjungtiva bulbar di atasnya. Bagian
posterior kapsul bersifat lebih tipis, melewati sekeliling saraf optikus,
memisahkan bola mata dari isi ruang retrobulbar.5,7
6

Gambar 1.3. Potongan sagital orbita menunjukkan kapsul Tenon dan ruang sub-
Tenon.4

1.4. Otot Ekstraokular


Pergerakan Bola mata di kontrol oleh otot rectus inferior, lateral, medial dan
superior dan otot oblik superior dan inferior. Otot rektus berasal dari annulus Zinn
yang berada dekat dengan bagian apeks dari orbita dan anterior terhadap galis
tengah bola mata sehingga akan membentuk kerucut.

Gambar 1.4. Otot Ekstraokular 7


7

1.5. Saraf Mata


Didalam kerucut otot terdapat saraf optik (II), saraf okulomotor (III), saraf
abducen (VI), dan saraf nasosiliari (percabangan dari saraf ke V), gangglion siliari
dan pembuluh darah. Saraf okulomotor mensuplai otot levator palpebra, otot oblik
inferior, dan otot rectus seuperior, inferior, serta medial. Saraf trochlear mensuplai
otot oblik superior. Otot-otot ini umumnya tidak akan mengalami paralisis bila
terjadi kesalahan blok anestesi pada saraf ke IV, yang berada diluar dari kerucut
otot. Kornea dan konjungtiva perilimbus serta kuadran superonasal dari sensai
periferal konjungtiva di mediasi oleh saraf nasociliary.
8

Arteri ophtalmica memasuki mata melalui canalis opticus dan memperdarahi


otot-otot ekstraokuler dan bola mata, berjalan ke arah kuadran nasal superior.
Oleh karena itu daerah ini tidak boleh digunakan untuk infiltrasi anestesi lokal.
1.6. Aparatus Lakrimalis

Aparatus lakrimalis memiliki komponen orbital dan palpebral. Bagian


orbital terletak pada fossa lakrimalis pada aspek anterolateral atap orbita, dan
bagian palpebra terletal di bawah aponeurosis levator palpebra superioris dan
memanjang hingga kelopak mata atas yang mensekresikan air mata menuju
forniks konjungtiva superior.3
Drainase lakrimal terjadi melalui puncta superior dan inferior lakrimalis
dekat ujung medial pada pinggir kelopak yang masuk ke dalam kanalikuli
lakrimalis sepanjang 10 mm yang melintas ke arah medial melalui fascia
lakrimalis untuk memasuki kantung lakrimalis. Duktus nasolakrimalis
menghubungkan ujung inferior kantung lakrimalis dengan meatus inferior
hidung.3
Fitur anatomis orbita yang telah dijelaskan di atas memungkinkan
lewatnya jarum menuju kompartemen fibro-adiposa ke dalam orbit untuk
menghindari kontak dekat dengan bola mata, pembuluh darah besar, otot
ekstraokuler dan aparatus lakrimalis.3

2. Blok Regional
Teknik blok diberi nama sesuai dengan tempat dimana ujung jarum berada
pada saat penyuntikan dilakukan. Pemberian tetes mata anestesi lokal pada
konjungtiva dapat memberi rasa nyaman pada pasien untuk persiapan awal
sebelum dilakukan blok regional. Bila menggunakan jarum tajam untuk
melakukan blok, pasien diinstruksikan untuk melihat lurus ke depan (primary
gaze position). Tujuannya untuk melindungi nervus opticus posterior dan arteri
ophtalmica dari jarum.4
Sebelum obat anestesi lokal disuntikkan, harus dilakukan aspirasi untuk
mencegah penyuntikan intravaskuler. Penyuntikan anestesi lokal dilakukan
9

dengan perlahan untuk mencegah reflex vagal oculo-cardiac yang dapat terjadi
dengan meningkatnya tekanan intra orbita.3,4
Tanda bahwa blok berhasil adalah hilangnya kemampuan membuka mata,
menutup mata dan menggerakkan bola mata. Jika masih terdapat pergerakan
ringan, pemberian top up dapat dipertimbangkan menurut fungsinya. Jika
pergerakan ke bawah dan lateral dapat dilakukan top up infero-temporal, dan jika
pergerakan ke atas dan medial dapat dilakukan top up dengan pendekatan nasal.4

2.1 Retrobulbar (Intraconal)


Anestesi retrobulbar merupakan standar emas teknik blok mata sejak awal
abad 20 sampai diperkenalkan teknik peribulbar dan sub tenon pada kisaran tahun
1990-an. Blok ini dicapai dengan menyuntikkan obat anestesi lokal dalam jumlah
kecil, 3-5 ml ke dalam konus muscular. Indikasi blok yaitu pada prosedur yang
memerlukan anestesi dan akinesia yang komplit.1,6,8
Landmark berada di sisi lateral hubungan antara 1/3 lateral dan 2/3 medial tepi
orbita inferior. Bila dilakukan secara perkutaneous, maka dilakukan penekanan
jari di atas tepi mata untuk mendorong bola mata ke atas, dan dirasakan celah
antara orbita dan tulang infraorbita untuk mendapatkan jalan masuk jarum dan
mengurangi resiko perforasi bola mata. Jika menggunakan cara transconjungtiva,
penekanan jari digunakan untuk menarik kelopak mata bawah turun.1,6,8
Jarum yang digunakan ukuran 25-27G dengan panjang tidak melebihi 31 mm.
Hindarkan penggunaan jarum tumpul atau semi tumpul karena meningkatkan
resiko trauma. Insersikan jarum di bawah bola mata dengan sudut 10° dari
transversus dan tangensial terhadap globe, ketika jarum sudah melewati equator
dari globe jarum diarahkan ke arah medial dan superior sebanyak 45° dan
melewati posterior untuk memasuki ruangan intra-conal.1,6,9
10

Blok retrobulbar relatif beresiko tinggi terjadi kerusakan struktur lokal dan
komplikasi sistemik dibandingkan dengan blok peribulbar dan sub-tenon.
Komplikasi blok retrobulbar yaitu: penyebaran anestesi lokal sampai ke ruang
subarachnoid, perdarahan retrobulbar, perforasi bola mata, diplopia, refleks oculo-
cardiac, cedera dinding medial, kompresi nervus opticus dan penutupan arteri
centralis akibat peningkatan tekanan intraorbita dari anestesi lokal.3

2.2 Peribulbar (Extraconal)


Blok peribulbar mempunyai kecenderungan untuk menggantikan blok
retrobulbar karena lebih aman digunakan. Jarum masuk ke ruang ekstraconal
untuk menghindari resiko cedera struktur yang terdapat di dalam ruang intraconal.
Anestesi lokal disuntikkan sebanyak 12 ml dan kemudian menyebar ke seluruh
corpus adiposa orbita, termasuk ke ruang intraconal. Anestesi lokal dalam volume
besar ini juga menyebar ke anterior kelopak mata yang akan memblok otot
orbicularis kelopak mata. Blok peribulbar klasik meliputi 2 teknik suntikan di
11

inferior-temporal dan superior-nasal. Blok ini diindikasikan pada prosedur yang


membutuhkan akinesia, anestesi relatif komplit, dan tidak memungkinkan
dilakukan blok sub tenon.3,4
Pendekatan infero-temporal (landmark seperti pada blok retrobulbar) bertujuan
untuk memblok nervus V1 (nasociliary, lacrimal, frontal, supraorbita dan supra-
trochlearis) dan nervus V2 (infraorbita). Pendekatan medial (bersifat suplemen
terhadap infero-temporal) bertujuan memblok cabang medial nervus nasociliary,
supra-trochlearis, supraorbita, infra-trochlearis dan ciliaris yang panjang.4
Pada teknik blok peribulbar, mata pasien diberikan anestesi topikal, kemudian
pasien diminta melihat lurus ke depan dan dimasukkan jarum 25G, 16 mm di
inferotemporal, lateral terhadap limbus lateral baik melalui refleksi conjungtiva
atau perkutan. Jarum diarahkan vertikal ke belakang, pararel dengan lantai orbita.
Jika bertemu tulang, jarum diarahkan kembali ke atas sedikit. Ujung jarum harus
berada di ekstraconal, dekat dengan dinding orbita di bawah equator bola mata,
dalam ruang peribulbar. Setelah dilakukan aspirasi, disuntikkan anestesi lokal 5-
10 ml. 3,4

Gambar 5 Blok peribulbar 7

Komplikasi blok peribulbar yaitu: chemosis akibat penyebaran anestesi lokal


ke subconjungtiva yang sering terjadi setelah penyuntikan anestesi lokal dalam
jumlah besar, resiko peningkatan tekanan intraocular yang dapat diatasi dengan
kompresi mata dengan kassa atau Honan`s balloon selama 10-15 menit.
12

2.3 Supplementary Blocks


Teknik penyuntikan ini merupakan teknik peribulbar dan ujung jarum tidak
perlu diinsersikan dalam ke posterior bola mata. Volume anestesi lokal yang
disuntikkan cukup sampai 5 ml.
 Superonasal
Penyuntikan melalui kelopak mata atas vertikal di atas limbus medial
diarahkan tangensial menjauhi bola mata.
 Kantus medial (nasal injection)

Gambar 6 Blok kantus medial 7


Jarum melintasi ligamen kantus medial yang keras, sehingga mungkin
memerlukan penekanan yang cukup keras. Hal ini dapat menyebabkan mata
tertarik ke medial. Penyuntikan kompartemen medial dapat dilakukan dengan
menginsersikan jarum melalui konjungtiva di sisi nasal, sebelah medial caruncula
dan arahkan lurus, pararel dinding orbita media, sedikit sefalad (20°) sampai
akhirnya jarum sejajar iris. Setelah dilakukan aspirasi, injeksikan 5 ml anestesi
lokal, kemudian tutup mata dengan plester.
Letakkan gauze, pad atau kassa di atas kelopak mata dan lakukan penekanan
dengan Macintyre oculopressor atau Honan balloon selama 10 menit
menggunakan tekanan 30 mmHg. Jika tidak tersedia oculopressor atau Honan
balloon dapat ditekan dengan jari tangan. Hal ini dilakukan untuk menurunkan
tekanan intraokuler dengan cara mengurangi produksi aqueous humor dan
13

meningkatkan reabsorbsinya. Penilaian blok biasanya dilakukan setelah interval


10 menit.
Tanda blok berhasil yaitu: ptosis (kelopak mata atas jatuh dengan
ketidakmampuan membuka mata), gerak bola mata minimal atau tidak ada ke
seluruh arah (akinesia), dan ketidakmampuan menutup mata.
Penilaian keberhasilan blok mata dapat dinilai menggunakan skoring
akinesia yang sederhana dengan Brahma score. Pergerakan bola mata diperiksa ke
4 arah: inferior, superior, medial dan lateral. Pergerakan yang normal dinilai 3,
pergerakan parsial dinilai 2, pergerakan sedikit dinilai 1, dan bila tidak terdapat
pergerakan bola mata dinilai 0. Skor diharapkan kurang dari 2.

2.4 Blok Sub-Tenon (Episclera)


Blok Sub-Tenon memberikan anestesi dan akinesia yang baik tanpa
memerlukan jarum tajam. Blok ini dapat digunakan untuk pasien yang beresiko
tinggi menggunakan jarum tajam untuk blok seperti pada myopia tinggi, explant
sclera, dan pengguna anti koagulan. Namun blok ini kurang cocok digunakan
untuk pembedahan yang memerlukan konjungtiva intak seperti pada glaucoma.
Anestesi lokal topikal dapat diteteskan di fornix inferior. Untuk meminimalkan
perdarahan subconjungtiva dapat diberikan beberapa tetes epinefrin 1:10.000.
Untuk sterilitas dapat diteteskan aqueous iodine 5% ke dalam conjungtiva.
Kemudian dipasangkan speculum kecil (Barrequer) untuk menyangga kelopak
mata. Pasien diminta untuk melihat ke atas dan keluar, atau dapat dilakukan
dengan meminta pasien melihat dagu kita.
Di kuadran inferonasal, 5-7 mm dari limbus, ambil konjungtiva dan kapsul
tenon menggunakan forceps, kemudian dibuka sedikit dan dilakukan diseksi pada
posisi horisontal dengan gunting tumpul tidak lebih dari 2 mm di pertengahan
jalan antara forceps dan bola mata akan terlihat celah yang menghilang ke dalam
fornix. Kemudian kanul sub tenon tumpul 19G, panjang 25 mm dimasukkan
melalui celah tadi, mendekati bola mata, melintasi ekuator (loss of resistance akan
terasa seperti ada lipatan di dalam kapsul) dan diinjeksikan anestesi lokal.
Blokade sensoris cepat dicapai karena semua nervus melintasi ruang sub tenon,
14

kemudian akinesia akan terjadi seiring anestesi lokal berdifusi ke posterior ke


dalam ruang intraconal. Dosis lidocain 2% sebanyak 4 ml memberikan anestesia
yang cukup dengan akinesia subtotal, sedangkan dosis 6 ml akan memberikan
akinesia yang memadai.

Gambar 7 Blok sub tenon 7

Komplikasi blok sub tenon yaitu: blok tidak jalan karena aliran balik dari
anestesi lokal, perdarahan subconjungtiva, peningkatan tekanan intra orbita,
trauma bola mata terutama pada pembedahan vitreo-retina, perdarahan
retrobulbar, diseksi yang dalam di posterior beresiko penyebaran sentral dari
anestesi lokal.
Tanda tanda bila blok regional telah berjalan:
- Ptosis (kelopak mata atas jatuh dengan tidak bisa membuka mata kembali)
- Pergerakan mata pada berbagai arah minimal atau tidak bisa (akinesia)
- Tidak bisa menutup mata secara sempurna saat mata dibuka.3
-
3. Agen Anestesi Lokal dan adjuvan
Agen anestesi lokal yang ideal harus bersifat aman dan tidak menimbulkan
nyeri saat diinjeksikan, dapat memblokir saraf motorik dan sensorik dengan
cepat, serta memiliki durasi aksi yang sesuai, yaitu cukup lama untuk operasi
tetapi juga tidak terlalu lama hingga menyebabkan diplopia pasca operasi
yang persisten. . Bupivacaine sebagian besar telah digantikan oleh
isomernya levobupivacaine, yang memiliki risiko lebih kecil untuk
15

menyebabkan efek samping kardiovaskular. Bentuk yang dapat digunakan


tersedia dalam konsentrasi 0,5% atau 0,75%. Onset kerjanya lebih lambat
dibandingkan lidokain tetapi memiliki durasi aksi yang lebih lama, sehingga
biasa dipilih pada operasi vitreoretinal. Bupivacaine dapat menyebabkan
diplopia berkepanjangan atau miopati jika secara tidak sengaja diinjeksikan
ke salah satu otot ekstraokuler. Prilocaine 2-4% memiliki onset kerja yang
cepat, sedikit efek samping dan durasi kerja yang sebanding dengan
bupivacaine. Ropivacaine 1% juga telah terbukti efektif sebagai agen anestesi
lokal pada blok regonal mata. Larutan paling umum yang biasa digunakan
adalah campuran lidokain 2% 1:1 dengan bupivakain 0,5% (atau
levobupivacaine 0,75%).6

Gambar 2.7 Karakteristik dua agen anestesi lokal yang umum digunakan4

Vasokonstriktor seperti adrenalin biasanya dapat ditambahkan ke larutan


anestesi lokal guna meningkatkan intensitas dan durasi blok serta
meminimalkan perdarahan dari pembuluh kecil. Absorpsi anestesi lokal juga
akan berkurang, sehingga membantu menghindari lonjakan konsentrasi
plasma. Walaupun demikian, adrenalin dapat menyebabkan vasokonstriksi
arteri oftalmikus, mengganggu sirkulasi retinal, dan juga terasosiasi dengan
komplikasi pada populasi lansia yang memiliki komorbiditas kardiovaskular
dan serebrovaskular.4,6
Sediaan komersial lidokain dan bupivakain pada umumnya bersifat larutan
asam dan anestesi lokal basa sebagian besar berada dalam dalam bentuk
ionik. Alkalinisasi pH levobupivacaine dan lidocaine dengan penambahan
16

natrium bikarbonat memungkinkan lebih banyak larutan anestesi lokal berada


dalam bentuk yang tidak bermuatan dan hal ini memungkinkan influks yang
lebih cepat ke dalam neuron. Alkalinisasi telah terbukti mengurangi waktu
onset dan memperpanjang durasi aksi setelah blok jarum.1,7 Selain itu,
penghangatan anestesi lokal (hingga 37 C) juga diketahui dapat mengurangi
periode latensi dan mengurangi nyeri saat injeksi.4

3. Komplikasi
Komplikasi terdiri dari komplikasi sistemik dan lokal yang saat ini dapat
dipelajari dengan nomenklatur OPTHalmology
 Optic nerve
 P Perforation and Penetration (kerusakan bola mata)
 H Haemorrhage (perdarahan)
 T Toxicity of muscles (pharmacologically or needle trauma) akibat
penetrasi saraf optik

3.1 Perdarahan
Keadaan ini disebabkan oleh penetrasi dari jarum ke dalam vena atau arteri
pada daerah orbita. Perdarahan vena akan terlihat lebih lambat dan menyebabkan
kemosis serta tidak membahayakan pengelihatan. Penggunaan tekanan
mengunakan jari secara intermiten dengan kain kasa pada daerah kelopak mata
digunakan untuk menurunkan kenaikan tekanan intraokular. 4,5
Perdarahan arteri, akan menyebabkan gejala seperti proptosis, kelopak mata
kaku, ekimosis, pembengkakan dari kelopak mata dan peningkatan drastis dari
tekanan intraokular. Penekanan dengan jari dan kain kasa dapat menghentikan
perdarahan. Perdarahan arteri ini dapat menyebabkan gangguan perfusi pada
retina sehingga menganggu peneglihatan.3

3.2 Kerusakan Bola Mata


Penetrasi pada bola mata dapat terjadi apabila pentrasi jarum melebihi kedalam
26 mm. Sehingga akan menyebabkan perforasi dari bola mata. Adapun tanda dan
17

gejala dari perforasi bolah mata ialah seperti peningkatan rasa sakit pada daerah
okular kehilangan pengelihatan secara tiba-tiba dan terjadi hypotonus.

3.3 Penetrasi pada Saraf Optik


Bagian ujung dari jarum dapat menyentuh dari saraf sehingga menyebabkan
kerusakan saraf secara langsung, yang membuat atropi optik. Resiko faktor
terjadinnya penetrasi pada saraf ialah pasien melihat keatas dan dilakukannya blok
retrolobular, orbita yang sempit dan jarum yang panjang yang mencapai dasar dari
orbita.4

3.4 Inadvertent Brain Stem Anesthesia


Injeksi kedalam cairan serebrospinal dapat terjadi saat melakukan blok akibat
perforasi dari lapisan meningeal yang meliputi saraf optik. Pasien akan
menunjukkan gejala seperti disorientasi, aphasia, hemiplagia, tidak sadar, kejang,
henti napas dan henti jantung dalam beberapa menit setelah injeksi dilakukan.4

3.5 Toksisitas Epinephrine


Pada pasien dengan hipertensi, angina, dan aritmia penggunaan epinephrine
harus dihindari. Injeksi 0.05mg (10cc dari 1:200.000) epinephrine tidak akan
mempengaruhi pasien dengan kondisi bawaan. Meskipun demikian harus tetap
dilakukan pemantauan. 5

4. Kontraindikasi
Kontrainidikasi untuk regional anestesi dibagi menjadi dua bagian, yaitu
absolut dan relatif. Untuk kontraindikasi absolut sendiri diantaranya:
- Alergi terhadap agen anestesi lokal
- Inflamasi orbita akibat infeksi
Sedangkan untuk kontrainidikasi relatif yang terdapat pada pasien
diantaranya:
- Pasien myopia
- Tidak dapat berbaring datar untuk waktu yang lama
- Anak-anak
19 18

- Pasien dengan keterbatasan bahasa atau gangguan pendengaran


- Riwayat SOL pada orbita
- Pasien yagn mengkonsumsi obat antikoagulan (clopidogrel agen
antiplatelet generasi baru)
- Riwayat refleks oculo-cardiac3

5. Lokal Anesthesia dan Adjuvan


Agen anestesi pada operasi mata dipilih berdasarkan onset dan durasi kerja
obat. Penggunaan bupivacaine 0,75% sering menyebabkan ekstraokular
toksisitas, sehingga konsentrasi lebih rendah menjadi pilihan.
Tradisi mencampur local anestetik yang berbeda sudah menjadi paradigm
di anestesi mata dengan harapan didapatkan onset yang cepat dan durasi yang
lebih lama. Adjuvant yang sering digunakan adalah hyaluronidase yang akan
meningkatkan permeabilitas jaringan dengan cara menghidrolisis asam
hyaluronic sehingga mempercepat penyebaran agen anestesi ke jaringan mata,
mengurangi peningkatan tekanan orbita dan meningkatkan kualitas blockade
orbita6. Untuk dosis yang digunakan beberapa literatur menyebutkan 5-
150iu/Ml namun baiknya dibatasi hinggal 15iu/mL. Efek samping pada
penggunaan hyaluronidase sangat jarang, namun meliputi, reaksi alergi,
selulitis orbital, dan pembentukan dari pseudotumor.1,5,7
Adjuvan lainya yang digunakan diantaranya adalah epinephrine,
digunakan untuk menambah intensitas dan durasi dari blok, dapat juga
digunakan untuk mengurangi perdarahan dari pembuluh darah kecil. Absorpsi
dari anestesi lokal dikurangi, yang akan menghindari penambahan dari
konsentrasi plasma. Dosis yang biasa digunakan adalah 1:100.000.7,10.
Beberapa jurnal menyebutkan bahwa penggunaan dexamethason dengan dosis
4mg dapat menambah durasi dari blok dan respon inflamasi.11
6. Konsiderasi Terhadap Antiplatelet dan Antikoagulan
Guideline terbaru dari Royal College of Anaesthetists and Royal College
of Ophthalmologists, menyarankan bahwa antikoagulan dan antiplatelen harus
di lanjutkan selama perioperative untuk pasien yang menjalani operasi katarak.
Target normal terapetik harus dipertahankan karena risiko kejadian perdarahan
akan tertutupi dengan meningkatnya risiko kejadian trombotik yang meningkat
secara signifikan. Kisaran angka INR dimulai dari 2.5 pada pasien dengan
thromboemboli, atrial fibrilasi, antifosfolipid sindrome dan kardiomiopati,
sampai dengan 3.5 pada pasien dengan mitral valve mekanik yang berisiko
tinggi terhadap trombogenisitas. Pada operasi yang lebih kompleks, seperti
vitreoretinal, glaukoma, atau operasi okuloplastik, masi kurang guideline yang
jelas untuk manajemen perioperatif, namun salah satu literatur menyebutkan
bahwa pada pasien yang menjalani operasi glaukoma terdapat komplikasi
perdarahan pada pasien yang menjalani glaukoma. Bagaimanapun ketika
perdarahan bisa membahayakan hasil dari pembedahan, pendekatan
multidisiplin harus dilakukan.6,12

7. Regional Anestesi Guiding Ultrasound


Tidak ada teknik ideal untuk melakukan blok mata dengan guiding usg,
karena tidak ada satu pendekan yang langsung memperlihatkan orbita, globe,
nervus optik. otot ekstra okular, jarum, dan anestesi lokal. Secara umum, mata
dapat dilihat dari axis panjang (longitudinal) atau pendek (transversus). Untuk
mengoptimalisasi penglihatan dari badan jarum dan ujungnya, seringkali
dibutuhkan untuk memposisikan orientasi transduser menjadi oblique
transverse plane, kerugian dari pendekatan ini gambar dari nervus optikus
tidak terlihat dengan baik.
Pemindaian pra-blok globe dan adneksa mungkin bermanfaat, terutama
pada pasien rabun dekat. Risiko perforasi bola mata hingga 30 kali lebih besar
pada miopia parah karena pemanjangan globe. Selain itu, risiko perforasi
meningkat oleh staphyloma, sebuah kantung luar dari globe akibat penipisan
sklera, koroid, dan retina yang parah. Visualisasi real-time dari blok akan
memberikan informasi baru dari penyebaran lokal anestesi dan mekanisme dari
anestesi.
Laporan terbaru menyebutkan bahwa anestesi lokal yang diinjeksi diantara
konus otot dan dibelakang mata dapat memasuki komponen posterior dari
ruang tenon dan mengikuti arah anterograde yang akan menghasilkan kemosis
dari ruang subkonjuntival. Winder et al menggunakan ultrasonography untuk
mempelajari penyebaran anestesi lokal saat retrobulbar(intraconal), peribulbar
(extraconal) blok, dan Subtenon Blok. Dengan menggunkan evaluasi sonik
pada saat dan 10 menit setelah injeksi dari anestesi lokal. Gambar yang
dihasilkan merupakan lokal anestesi diantara otot dan konus saat blok
retrobulbar dan diluar dari konus apabila menggunakan, Namun, pada 10
menit, ia menunjukkan bahwa LA ekstrasonal melintasi kerucut otot dan
memasuki ruang intrakonal. Lebih lanjut, dia menunjukkan bahwa echo-void
LA membentuk tanda “T” yang menguraikan saraf optik.13,14
BAB III
KESIMPULAN

Teknik anestesi regional pada praktik bedah mata dapat memberikan


berbagai keuntungan, seperti penurunan konsumsi opioid, pelemahan refleks
okulokardiak, pencegahan mual dan muntah pasca operasi, serta perbaikan
analgesia perioperatif. Blok regional mata telah dilaporkan memberikan
anestesi yang sangat baik untuk operasi mata dengan tingkat keberhasilannya
tinggi. Anestesi dan akinesia yang memuaskan dapat diperoleh dengan blok
berbasis jarum ataupun kanula.
Meskipun jarang, injeksi orbital dapat menyebabkan beberapa komplikasi
lokal dan sistemik yang berat. Oleh karena itu, pengetahuan terkait anatomi
orbita dan pelatihan yang sesuai penting bagi dokter anestesi untuk dapat
melakukan praktik anestesi regional orbita yang aman. Di masa yang akan
datang, penerapan teknik anestesi regional kemungkinan besar akan semakin
meningkat.
Pemilihan teknik yang akan digunakan akan selalu bergantung pada
konsiderasi dari preferensi pasien, kebutuhan operasi dokter bedah,
keterampilan dokter anestesi dan juga lokasi di mana operasi tersebut
dilakukan. Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan praktik mana
yang merupakan opsi terbaik dan juga guna mengoptimalkan hasil operasi
terbaik pada pasien.  
DAFTAR PUSTAKA

1. Jaichandran V V. Ophthalmic regional anaesthesia: A review and update.


Indian J Anaesth. 2013;57(1):7–13.

2. Tighe R, Burgess PI, Msukwa G. Teaching Corner: Regional anaesthesia


for ophthalmic surgery. Malawi Med J. 2012;24(4):89–94.

3. Prineas S. Local and Regional Anesthesia for Ophthalmic Surgery


[Internet]. NYSORA. 2018 [cited 2020 Nov 24]. Available from:
https://www.nysora.com/regional-anesthesia-for-specific-surgical-
procedures/head-and-neck/ophthalmic/local-regional-anesthesia-
ophthalmic-surgery/

4. Barash GP, Cullen FB, Stoelting KR, Cahalan KM, Stock MC, Ortega R.
Barash 7Th Ed.Pdf. Philadelphia Baltimore New York London Buenos
Aires Hongkong Sydney Tokyo: Wolters Kluwer; 2013.

5. Kumar CM, Dodds C. Ophthalmic regional block. Ann Acad Med


Singapore. 2006;35(3):158–67.

6. Anker R, Kaur N. Regional anaesthesia for ophthalmic surgery. BJA Educ.


2017;17(7):221–7.

7. Kumar CM, Williamson S. Ophthalmic Anaesthesia. 6th ed. Aitkenhead


AR, Moppett IK, Jonathan P. Thompson, editors. Textbook of Anaesthesia
for Postgraduates. Elsevier; 2011. 1021–1021 p.

8. Agasti T, Agasti T. Ophthalmic Anaesthesia [Internet]. Sixth Edit. Elsevier.


� 2013, Elsevier Limited. All rights reserved� 2013, Elsevier Limited.
All rights reserved.; 2013. 1021–1021 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-7020-4192-1.00030-5

9. Gupta M, Rhee DJ. Ophthalmic Anesthesia [Internet]. Second Edi. Vol. 2,

20
Glaucoma: Second Edition. Elsevier Ltd; 2015. 734–748 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-7020-5193-7.00076-5

10. Fahmi A, Bowman R. Administering an eye anaesthetic: Anaesthetic:


Principles, techniques, and complications. Community Eye Heal J.
2008;21(65):14–7.

11. Mahmoud MS, Abd Al Alim AA, Hefni AF. Dexamethasone bupivacaine
versus bupivacaine for peribulbar block in posterior segment eye surgery.
Egypt J Anaesth [Internet]. 2013;29(4):407–11. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.egja.2013.07.003

12. Mather SJ, Kong KL, Vohra SB. Loco-regional anaesthesia for ocular
surgery: Anticoagulant and antiplatelet drugs. Curr Anaesth Crit Care
[Internet]. 2010;21(4):158–63. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.cacc.2010.02.011

13. Palte HD. Ophthalmic regional blocks: Management, challenges, and


solutions. Local Reg Anesth. 2015;8:57–70.

14. Gayer S, Palte HD. Ultrasound-guided ophthalmic regional anesthesia.


Curr Opin Anaesthesiol. 2016;29(6):655–61.

Anda mungkin juga menyukai