Oleh :
Fityan Aulia Rahman
130121180510
REFERAT
Untuk memenuhi salah satu kewajiban akademik pada Program Pendidikan Dokter
Spesialis 1 Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Pembimbing :
dr. M. Adli Boesoirie, SpAn, M.Kes
Operasi mata memberikan beberapa tantangan yang unik bagi ahli anestesi,
Pemilihan teknik anestesi berperan dalam berhasil atau gagalnya suatu operasi
mata. Pengetahuan dasar mengenai anatomi dan fisiologi orbita penting untuk
melakukan anestesi regional yang berhasil pada operasi mata. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang anestesi pada mata
memungkinkan operasi mata dapat berjalan dengan baik dengan minimal
komplikasi. Koordinasi dan pemahaman yang baik antara dokter bedah dan
anestesi bersifat sangat esensial. Risiko dan manfaat harus dipertimbangkan
dengan cermat dan teknik anestesi harus dipilih dengan tepat. Operasi mata dapat
diklasifikasikan ke dalam sebuah subspesialisasi, dan dapat meliputi prosedur
intraokular atau ekstraokuler yang mana masing-masing memiliki kebutuhan
anestesi yang berbeda. Berbagai teknik anestesi regional pada mata
memungkinkan waktu lamanya rawat inap menjadi berkurang dan berkorelasi
positif dengan tingkat kepuasan pasien.
Referat ini akan membahas mengenai teknik anestesi regional pada bedah
mata, termasuk aspek anatomi yang relevan, agen anestesi dan adjuvan yang
digunakan, serta potensi komplikasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Anatomi Mata
1.1 Orbita
Orbita memiliki bentuk seperti piramid dengan 4 sisi yang irregular dengan
bagian apeksnya berada pada bagian tengah dari fossa cranii. Orbita ini
merupakan struktur yang berperan untuk melindungi organ didalammnya.
Kedalaman orbita ke foramen optik ialah 24-54 mm. Pada setiap orbita, dinding
lateral dan medial membentuk sudut 45 derajat. Lima tulang pembentuk orbita,
ialah Os. frontal, Os. Spenoidal, Os. zygomaticus, Os. palatinum Os. maxila Os.
ethmoidales, Os. Lakrimalis.1-4
Pada bagian anterior, terdapat septum orbitae (pemisah antara palpebra dan
orbita). Orbita berhubungan dengan sinus frontalis di atas, sinus maksilaris di
bawah, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoid di medial. 1-4
1.1.1 Dinding Orbita
Atap orbita, terdiri dari facies orbitalis osis frontalis. Di bagian anterior lateral
atas, terdapat fosa lakrimalis yang berisi kelenjar lakrimal. Di posterior atap,
terdapat ala parva osis sphenoid yang mengandung kanalis optikus. 1-4
Dinding lateral, dipisahkan dari bagian atap oleh fisura orbitalis superior yang
memisahkan ala parva dan ala magna osis sphenoidalis. Bagian anterior dinding
lateral dibentuk oleh facies orbitalis osis zygomatici (malar), merupakan bagian
terkuat orbita. 1-4
Dasar orbita, dipisahkan dari dinding lateral oleh fisura orbitalis inferior.
Bagian dasar yang luas terbentuk dari pars orbitalis osis maksilaris (merupakan
tempat yang paling sering terjadinya fraktur). Processus orbitalis osis platini
membentuk daerah segitiga kecil pada dasar posterior. 1,2,5
1
3
2
4
deng kelopak mata dan pelebaran fisura palpebra akan menyebabkan resiko yang
tinggi terluka akibat blok anatesi yang dilakukan.
Gambar 1.3. Potongan sagital orbita menunjukkan kapsul Tenon dan ruang sub-
Tenon.4
2. Blok Regional
Teknik blok diberi nama sesuai dengan tempat dimana ujung jarum berada
pada saat penyuntikan dilakukan. Pemberian tetes mata anestesi lokal pada
konjungtiva dapat memberi rasa nyaman pada pasien untuk persiapan awal
sebelum dilakukan blok regional. Bila menggunakan jarum tajam untuk
melakukan blok, pasien diinstruksikan untuk melihat lurus ke depan (primary
gaze position). Tujuannya untuk melindungi nervus opticus posterior dan arteri
ophtalmica dari jarum.4
Sebelum obat anestesi lokal disuntikkan, harus dilakukan aspirasi untuk
mencegah penyuntikan intravaskuler. Penyuntikan anestesi lokal dilakukan
9
dengan perlahan untuk mencegah reflex vagal oculo-cardiac yang dapat terjadi
dengan meningkatnya tekanan intra orbita.3,4
Tanda bahwa blok berhasil adalah hilangnya kemampuan membuka mata,
menutup mata dan menggerakkan bola mata. Jika masih terdapat pergerakan
ringan, pemberian top up dapat dipertimbangkan menurut fungsinya. Jika
pergerakan ke bawah dan lateral dapat dilakukan top up infero-temporal, dan jika
pergerakan ke atas dan medial dapat dilakukan top up dengan pendekatan nasal.4
Blok retrobulbar relatif beresiko tinggi terjadi kerusakan struktur lokal dan
komplikasi sistemik dibandingkan dengan blok peribulbar dan sub-tenon.
Komplikasi blok retrobulbar yaitu: penyebaran anestesi lokal sampai ke ruang
subarachnoid, perdarahan retrobulbar, perforasi bola mata, diplopia, refleks oculo-
cardiac, cedera dinding medial, kompresi nervus opticus dan penutupan arteri
centralis akibat peningkatan tekanan intraorbita dari anestesi lokal.3
Komplikasi blok sub tenon yaitu: blok tidak jalan karena aliran balik dari
anestesi lokal, perdarahan subconjungtiva, peningkatan tekanan intra orbita,
trauma bola mata terutama pada pembedahan vitreo-retina, perdarahan
retrobulbar, diseksi yang dalam di posterior beresiko penyebaran sentral dari
anestesi lokal.
Tanda tanda bila blok regional telah berjalan:
- Ptosis (kelopak mata atas jatuh dengan tidak bisa membuka mata kembali)
- Pergerakan mata pada berbagai arah minimal atau tidak bisa (akinesia)
- Tidak bisa menutup mata secara sempurna saat mata dibuka.3
-
3. Agen Anestesi Lokal dan adjuvan
Agen anestesi lokal yang ideal harus bersifat aman dan tidak menimbulkan
nyeri saat diinjeksikan, dapat memblokir saraf motorik dan sensorik dengan
cepat, serta memiliki durasi aksi yang sesuai, yaitu cukup lama untuk operasi
tetapi juga tidak terlalu lama hingga menyebabkan diplopia pasca operasi
yang persisten. . Bupivacaine sebagian besar telah digantikan oleh
isomernya levobupivacaine, yang memiliki risiko lebih kecil untuk
15
Gambar 2.7 Karakteristik dua agen anestesi lokal yang umum digunakan4
3. Komplikasi
Komplikasi terdiri dari komplikasi sistemik dan lokal yang saat ini dapat
dipelajari dengan nomenklatur OPTHalmology
Optic nerve
P Perforation and Penetration (kerusakan bola mata)
H Haemorrhage (perdarahan)
T Toxicity of muscles (pharmacologically or needle trauma) akibat
penetrasi saraf optik
3.1 Perdarahan
Keadaan ini disebabkan oleh penetrasi dari jarum ke dalam vena atau arteri
pada daerah orbita. Perdarahan vena akan terlihat lebih lambat dan menyebabkan
kemosis serta tidak membahayakan pengelihatan. Penggunaan tekanan
mengunakan jari secara intermiten dengan kain kasa pada daerah kelopak mata
digunakan untuk menurunkan kenaikan tekanan intraokular. 4,5
Perdarahan arteri, akan menyebabkan gejala seperti proptosis, kelopak mata
kaku, ekimosis, pembengkakan dari kelopak mata dan peningkatan drastis dari
tekanan intraokular. Penekanan dengan jari dan kain kasa dapat menghentikan
perdarahan. Perdarahan arteri ini dapat menyebabkan gangguan perfusi pada
retina sehingga menganggu peneglihatan.3
gejala dari perforasi bolah mata ialah seperti peningkatan rasa sakit pada daerah
okular kehilangan pengelihatan secara tiba-tiba dan terjadi hypotonus.
4. Kontraindikasi
Kontrainidikasi untuk regional anestesi dibagi menjadi dua bagian, yaitu
absolut dan relatif. Untuk kontraindikasi absolut sendiri diantaranya:
- Alergi terhadap agen anestesi lokal
- Inflamasi orbita akibat infeksi
Sedangkan untuk kontrainidikasi relatif yang terdapat pada pasien
diantaranya:
- Pasien myopia
- Tidak dapat berbaring datar untuk waktu yang lama
- Anak-anak
19 18
4. Barash GP, Cullen FB, Stoelting KR, Cahalan KM, Stock MC, Ortega R.
Barash 7Th Ed.Pdf. Philadelphia Baltimore New York London Buenos
Aires Hongkong Sydney Tokyo: Wolters Kluwer; 2013.
20
Glaucoma: Second Edition. Elsevier Ltd; 2015. 734–748 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-7020-5193-7.00076-5
11. Mahmoud MS, Abd Al Alim AA, Hefni AF. Dexamethasone bupivacaine
versus bupivacaine for peribulbar block in posterior segment eye surgery.
Egypt J Anaesth [Internet]. 2013;29(4):407–11. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.egja.2013.07.003
12. Mather SJ, Kong KL, Vohra SB. Loco-regional anaesthesia for ocular
surgery: Anticoagulant and antiplatelet drugs. Curr Anaesth Crit Care
[Internet]. 2010;21(4):158–63. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.cacc.2010.02.011