Anda di halaman 1dari 18

PENATALAKSANAAN KELALAIAN MEDIS PADA KEJADIAN

ANESTESI SPINAL DENGAN ASAM TRANEKSAMAT

Maria Agnes Berlian Yulriyanita


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran

Abstrak

Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai kontribusi terhadap kesalahan


medis, seperti label, penampilan dan lokasi ampul. Beberapa kasus menyajikan
injeksi tidak disengaja dengan asam traneksamat bukan dengan bupivakain selama
anestesi spinal. Satu menit setelah injeksi 3 mL, menyebabkan pasien kejang
mioklonus ekstremitas bagian bawah. Injeksi intratekal yang tidak disengaja obat
yang tidak sesuai diduga karena ampul asam traneksamat dan bupivakain
hiperbarik hampir sama. Mioklonusnya berhasil diobati dengan fenitoin, natrium
valproate, thiopental sodium infus, midazolam infus dan perawatan intensif yang
mendukung hemodinamik dan sistem pernapasan.
Lavase cairan cerebrospinal (CSF) dapat membantu memperbaiki kondisi
pasien setelah mendapatkan obat yang tidak sesuai. Dari beberapa kasus
didapatkan pasien memberikan hasil yang baik dan dapat kembali normal tanpa
gejala sisa.

Kata kunci : asam traneksamat, anestesi spinal, kejang, lavase csf

MANAGEMENT OF MEDICAL ERROR SPINAL ANESTHESIA WITH


TRANEXAMIC ACID
Abstract

Several factors have been identified as contributing factors for medical


errors, such as labels, appearance and location of the ampoule. Some cases
presented with the accidental injection of tranexamic acid instead of with
bupivacaine for spinal anesthesia. One minute after injection of 3 mL, causing the
patient's lower limb myoclonus seizures. Inadvertent intrathecal injection of
drugs that do not fit allegedly because the ampoule of tranexamic acid and
hyperbaric bupivacaine is almost identical. The myoclonic seizure was
successfully treated with phenytoin, sodium valproate, sodium thiopental infusion,
midazolam infusion and intensive care support of hemodynamic and respiratory
system.
Cerebrospinal fluid (CSF) lavage can help improve the patients’ condition
after injected with wrong drug. Several cases show good results and the patients
can return to their normal condition without sequelae.

1
Key word : tranexamic acid, spinal anesthesia, seizure, CSF lavage
1. Pendahuluan

Diperkirakan bahwa kesalahan pengobatan terjadi pada 1,5 juta orang di


Amerika Serikat setiap tahunnya. Industri di negara lain, telah melaporkan bahwa
efek samping dari obat adalah penyebab utama cedera dan kematian dalam sistem
perawatan kesehatan mereka.[1] Dalam beberapa laporan kasus dilaporkan
suntikan tidak disengaja dengan asam traneksamat bukan bupivakain hiperbarik
0,5% untuk anestesi spinal karena ada kesamaan bentuk dan sediaan dari kedua
obat tersebut.
Beberapa faktor yang telah diidentifikasi sebagai kontribusi kesalahan
pengobatan termasuk label, penampilan dan lokasi ampul, jarum suntik,
kurangnya perhatian, miskin komunikasi, kecerobohan dan kelelahan pada bagian
dari ahli anestesi.[1] Dalam hal ini, kesalahan obat untuk induksi menyebabkan
terjadinya kejang polimioklonus karena injeksi asam traneksamat untuk anestesi
spinal, sebagai dua yang berbeda ampul memiliki penampilan yang sama. Hal ini
menggambarkan pentingnya double-checking untuk mengurangi seperti
kesalahan.

2. Tinjauan Pustaka
2.1. Obat Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal adalah obat yang bersifat basa lemah, biasa digunakan
pada saat anestesi spinal dan merupakan senyawa amino organik. Potensi suatu
obat anestesi lokal berhubungan dengan kelarutannya dalam lemak dan
kemampuan obat anestesi lokal untuk memasuki daerah yang hidrofobik.17,83
Secara garis besar obat anestesi lokal dibagi menjadi 2 golongan besar
yaitu golongan ester dan golongan amida. Ikatan ester memiliki sifat mudah
dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja
pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah
menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama
dan lebih banyak menembus jaringan. 1,2,3,4

2
Obat anestesi lokal yang termasuk ke dalam golongan amida antara lain :
bupivacaine, lidocaine, mepivacaine, ropivacaine, dan etidocaine. Sedangkan
yang termasuk ke dalam golongan ester adalah : procaine, chlorprocaine dan
tetracaine, yang telah jarang digunakan lagi karena dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik dapat menimbulkan Transien Neurologikal Simptom (TNS).15-17,55
Semua obat anestesi lokal bersifat stabilisasi membran yang menghambat tansmisi
nyeri. Mempunyai kemampuan yang reversibel untuk membuka dan menutup
volgated gated sodium channel dari dalam, dengan demikian mencegah
depolarisasi membran saraf dan perbedaan potensial aksi pada tempat suntikan
obat (pertama kali dilaporkan pada tahun 1950), sehingga membran akson tidak
akan dapat bereaksi dengan asetil kholin dan membran akan tetap dalam keadaan
semipermiabel dan tidak tejadi perubahan potensial.
Keadaan ini menyebabkan aliran implus yang melewati saraf tersebut
terhenti, sehingga segala macam rangsang ataupun sensasi tidak akan sampai ke
susunan saraf pusat, keadaan ini menyebabkan timbulnya parastesia sampai
analgesia, paresis sampai paralisis dan vasodilatasi pembuluh darah pada daerah
yang terblok. 1,2,3,4
Obat anestesi lokal memperlihatkan affinitasnya terhadap sodium channel
pada keadaan aktif dan tidak aktif, seperti yang diilustrasikan pada gambar 1. 1,2,3,4

Gambar 1. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal1


Voltaged gated sodium channels yang berada dalam 3 (tiga) kondisi : istirahat, aktif (terbuka) dan
Inaktif. Obat anestesi Lokal berikatan dengan voltaged gated sodium channel dari dalam sel
sehingga mengurangi masuknya sejumlah besar sodium yang berhubungan dengan depolarisasi
membran.

3
Bila konsentrasi yang meningkat dari suatu anestesi lokal diterapkan pada
suatu serabut saraf, maka nilai ambang eksitasi akan meningkat, konduksi impuls
lambat, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, amplitudo potensial
berkurang, dan akhirnya kemampuan untuk membangkitkan potensial aksi akan
hilang. 1,2,3,4
Efek progresif ini diakibatkan oleh adanya ikatan antara anestesi lokal
dengan saluran ion natrium yang semangkin meningkat. Pada setiap saluran ion,
ikatan menghasilkan penghambatan arus ion Na+. Apabila arus ion Na+ dihambat
disepanjang serabut saraf maka impuls yang melewati daerah yang dihambat tidak
terjadi. Pada dosis minimum yang diperlukan untuk menghambat impuls,
potensial aksi tidak dipengaruhi secara berarti. 1,2,3,4
Aktifitas obat anestesi lokal tidak terbatas hanya pada sodium channel.
Obat anestesi lokal juga bekerja menghambat potassium dan calcium channel,
reseptor transien yang potensial terhadap reseptor ligan gated lainnya. Selain itu
obat anestesi lokal dapat mengganggu ikatan antara protein G tertentu dengan
reseptor lainnya dan menghasilkan efek anti inflamasi yang poten terutama pada
reaksi awal neutrophil. Akibatnya terjadi penurunan pelepasan mediator-mediator
inflamasi dari neutrophil, mengurangi adhesi antara neutrophil dan endothelium,
menurunkan produksi oksigen radikal bebas dan mengurangi pembentukan edema
sehingga mencegah terjadinya sensitisasi dan hiperalgesia.1,2,3,4
Dengan menghentikan transmisi stimuli nyeri dan menghilangkan tonus
otot skelet, blokade neuroaksial dapat memberikan kondisi pembedahan yang
baik. Blokade sensoris menghambat nyeri somatik dan visceral, sedangkan
blokade motoris menyebabkan relaksasi otot skelet. Efek obat anestesi lokal pada
serabut saraf bervariasi bergantung pada ukuran serabut saraf, bermielin,
konsentrasi obat anetesi lokal serta lamanya kontak. Akar serabut saraf spinalis
terdiri dari gabungan bermacam serabut saraf. Serabut yang lebih kecil dan
bermielin umumnya lebih mudah diblok daripada serabut saraf yang lebih besar
dan tidak bermielin. Pada kenyataannya bahwa konsentrasi obat anestesi lokal
akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari level penyuntikan, hal ini
menerangkan fenomena perbedaan blokade. Perbedaan blokade berakibat blok

4
simpatis (yang ditentukan oleh sensitivitas temperatur) menjadi 2 segmen lebih
tinggi daripada blok sensoris (nyeri, raba halus) yang 2 segmen lebih tinggi
daripada blok motoris. 1,2,3,4
Respon serabut saraf terhadap obat anestesi lokal berbeda-beda.
Sensitifitas bloknya tergantung pada besarnya diameter aksonal saraf, derajat
mielinisasi dan kecepatan konduksi saraf. Walaupun serabut saraf mempunyai
ukuran yang lebih kecil dan tidak bermielin tetapi kecepatan hantaran sarafnya
dapat meningkatkan affinitasnya terhadap obat anestesi lokal. Pada saraf spinal,
obat anestesi lokal menghambat fungsi otonomik > sensorik > motoric.1,2,3,4
Anestesi lokal khususnya memblokir serabut saraf kecil. Hal ini karena
jarak pasif propagasi impuls dalam saraf kecil yang lebih pendek. Secara umum,
saraf C yang tidak bermielin (sinyal rasa sakit) dan saraf Aδ mielin (nyeri dan
suhu) yang diblokir sebelum serabut saraf besar yang bermielin Aγ, Aβ dan Aα
(postural, sentuhan, tekanan dan sinyal motorik). 1,2,3,4

Tabel 1 Jenis Serabut Saraf Dan Sensitivitas Blokade1

Potensi obat anestesi lokal dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak,


semakin larut dalam lemak maka makin poten obat anestesi lokal tersebut. Ikatan

5
dengan protein (protein binding) akan mempengaruhi lama kerja dan konstanta
disosiasi (pKa) menentukan mula kerja. 1,2,3,4
Konsentrasi minimal anestesi lokal dipengaruhi oleh :
1. pH (asidosis menghambat blokade saraf)
2. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf
3. Frekuensi stimulasi saraf
Mula kerja obat bergantung pada beberapa faktor antara lain :
1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian yang tidak
terionisasi (bermuatan) meningkat dan dapat menembus membran sel saraf
sehingga menghasilkan mula kerja yang cepat.
2. Alkalinisasi anestesi lokal membuat mula kerja cepat
3. Konsentrasi obat anestesi lokal
Lama kerja obat dipengaruhi oleh :
1. Ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestesi lokal adalah protein
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi
3. Dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah perifer di daerah pemberian
Obat anestesi lokal mempengaruhi volgated sodium channel di dalam
tubuh sehingga potensial untuk terjadi toksisitas sistemik. Awalnya toksisitas
mempengaruhi sistem saraf pusat kemudian diikuti dengan sistem kardiovaskuler.
Toksisitas berhubungan langsung dengan potensi obat anestesi lokal. Beberapa
obatyang lebih poten (cth. Bupivakain, LevoBupivakain, Ropivakain)
menyebabkan efek kardiotoksik pada konsentrasi dan dosis yang lebih kecil bila
dibandingkan obat yang kurang poten (contoh : Lignokain).1,2,3,4
Sistem saraf pusat (SSP) paling rentan mengalami toksisitas obat anestesi
lokal. Overdosis obat anestesi lokal jelas terlihat pada pasien yang sadar. Gejala
awal seperti bibir kebas, lidah terasa seperti logam, parastesia lidah, bingung serta
gangguan pada mulut dan penglihatan. Kejadian tersebut diikuti dengan tanda-
tanda eksitatori (cth. rasa lelah, agitasi, cemas, dan paranoid) yang dengan sangat
cepat menjadi depresi pada SSP (contoh: bicara pelo, tidak sadar, kejang, henti
nafas, kolap kardiovaskuler). Neurotoksisitas seperti sindroma cauda equina

6
pernah dilaporkan terjadi setelah penyuntikan lignokain 5% dan tetrakain 0,5%
intratekal yang berulang-ulang.1,2,3,4
Toksisitas lokal pada saraf tergantung pada konsentrasi obat anestesi lokal.
Lignokain mempunyai potensial neurotoksik yang paling besar. Insiden terjadinya
Transient Radicular Iritation (TRI) pertama kali dilaporkan pada tahun 1993. TRI
adalah gejala neurologis yang berlangsung singkat (cth. dysesthesia, nyeri
terbakar, nyeri yang terus menerus pada tungkai dan bokong) dan secara spontan
membaik dalam waktu 5 (lima) hari tanpa disertai gejala sisa yang bersifat jangka
panjang.1,2,3,4
Dalam tindakan anestesi spinal penyebaran obat anestesi lokal ke dalam
cairan serebrospinalis dipengaruhi beberapa faktor (dapat dilihat pada tabel 3).
Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal ke dalam
cairan serebrospinalis, antara lain: 1,2,3,4

 Umur : Umur berpengaruh terhadap level analgesi spinal dan terjadi


penurunan yang progresif dari cairan serebrospinalis. Dengan semakin
bertambahnya umur maka ruang arahnoid dan epidural akan menjadi lebih
kecil sehingga menyebabkan penyebaran obat anestesi lokal menjadi lebih
luas/ besar, akibatnya penyebaran obat anestesi lokal ke arah sefalad akan
lebih banyak dan level analgesia yang dicapai lebih tinggi dengan dosis
sama dan tinggi badan yang sama. Oleh karena itu sebaiknya pada usia tua
dosis obat anestesi lokal dikurangi.
 Tinggi Badan : Dengan semakin tingginya pasien, maka makin panjang
medula spinalisnya dan makin banyak volume cairan serebrospinal di
bawah L2, sehingga pasien yang tinggi memerlukan dosis yang lebih besar
daripada pasien yang lebih pendek.
 Berat Badan : Pada pasien yang gemuk terjadi penurunan volume cairan
serebrospinal yang berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga
epidural, sehingga mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal ke dalam
ruang subarakhnoid.

7
 Jenis Kelamin : Jenis kelamin tidak berpengaruh langsung terhadap
penyebaran obat anestesi lokal dalam cairan serebrospinal. Hanya bila
dalam posisi miring lateral akan tampak kepala sedikit lebih rendah
daripada pinggul oleh karena lebar pinggang relatif lebih lebar dari bahu
pada wanita dan sebaliknya pada laki-laki.
 Tekanan Intra Abdominal : Peningkatan tekanan intra abdominal sering
dikaitkan dengan peningkatan penyebaran obat anestesi lokal ke dalam
ruang subarakhnoid.
 Anatomi Kolumna Vertebralis : Lekukan kolumna vertebralis
mempengaruhi penyebaran anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal.
 Tempat Penyuntikan : Penyuntikan obat pada L2-3 atau L3-4
memudahkan penyebaran obat ke arah kranial, sedangkan penyuntikan
pada L4-L5 memudahkan obat berkumpul di daerah sakral.
 Kecepatan Suntikan : Makin cepat penyuntikan obat makin tinggi tingkat
analgesi yang tercapai.
 Dosis : Makin besar dosis, makin besar intensitas blokade
 Berat Jenis : Penyebaran obat hiperbarik dan hipobarik dalam cairan
serebrospinal dipengaruhi oleh posisi pasien. Penyebaran obat isobarik
selama dan setelah penyuntikan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien.
 Konsentrasi Larutan : Pada umumnya, tinggi analgesia meningkat
dengan bertambah pekatnya larutan anestesi lokal.
 Manuver valsava : Mengejan akan meningkatkan tekanan cairan
serebrospinalis, sehingga analgesia yang dicapai lebih tinggi, terutama bila
dilakukan oleh pasien segera setelah obat disuntikkan ke dalam ruang
subarakhnoid.
 Barbotage : teknik stirring up untuk meningkatkan turbulensi sehingga
obat anestesi lokal tercampur dan meningkatkan distribusinya ke dalam
rongga subarakhnoid.Atau bisa juga didefinisikan sebagai aspirasi volume
CSF baik sebelum atau sesudah injeksi lokal anestesi,diikuti dengan re
injeksi CSF yang kadang – kadang bisa dilakukan berulang. Biasanya

8
volume CSF sama dengan jumlah volume obat anestesi lokal. Pada obat
anestesi lokal yang hiperbarik metode ini bisa memperpendek waktu untuk
mencapai analgesinya.
 Kehamilan : beberapa proses fisiologis kehamilan secara tidak langsung
akan meningkatkan dan mempengaruhi kerja obat anestesi
lokal.penyebaran ke sefalad dipercepat karena progesteron yang
meningkatkan sensitivitas neuronal. Mekanisme dapat secara langsung
pada eksitabilitas membran aksi tidak langsung pada neurotransmitter,
kemudian peningkatan permeabilitas dari sarung neural, potensiasi dengan
opioid endogen dan potensiasi GABA yang meningkatkan konduksi
klorida.
 Posisi pasca penyuntikan : segera setelah disuntikkan anestesi lokal
hiperbarik pada posisi lateral, pada daerah setinggi L 2-4 pasien segera
diposisikan telentang dengan left lateral tilt . Dengan demikian obat
anestesi akan terbagi menjadi 2 bagian yaitu mengarah ke sefalad dan
berkumpul di midthoracic lalu bagian lain akan berkumpul ke caudal.
Keuntungan dari distribusi ini adalah kita dapat menentukan sampai
setinggi mana level blokade yang kita kehendaki.

9
Tabel 2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Anestesi Lokal1
2.2. Bupivakain

Bupivakain merupakan obat lokal anestesi yang pertama dengan mula


kerja yang dapat diterima,lama kerja yang panjang dan ada tendensi untuk
terjadinya blok sensorik yang lebih besar dibanding dengan blok motoriknya.
Bupivakain adalah obat anestetik lokal golongan amida sintesis, yang
pertama kali dibuat oleh A.F. Ekenstam pada tahun 1957 dan dipergunakan secara
klinis pada tahun 1963 dengan nama Marcain ®. Secara struktur kimia,
Bupivakain mirip dengan Mepivakain. Penamaan Bupivakain menurut IUPAC
(International Union of Pure and Applied Chemistry) adalah 1-butyl-N- (2,6-
dimethylphenyi) piperidine-2-carboxamide yang rumus bangunnya dapat dilihat
pada gambar 2.
Perbedaan Bupivakain dengan Mepivakain secara struktur molekul
kimiawi adalah adalah butyl group yang disubstitusikan dalam methyl grup pada
nitrogen piperidine. Bupivakain adalah formula yang homolog denga Mepivakain
dengan formula molekulernya C18. N2 O.H28 .HCl. 17,55,83
Bupivakain apabila dibandingkan dengan lidokain atau Mepivakain
potensinya 4x lebih besar dan bila dibandingkan dengan prokain potensinya 8x
lebih besar. Lama kerjanya 2 – 3x lebih panjang dibanding dengan Mepivakain
atau lidokain dan 20 sampai 25% lebih panjang dibanding tetrakain. .[1,2,3,4]

Gambar 2 Struktur Molekul Bupivakain83

Bupivakain berikatan dengan natrium intraselular dan menghambat influx


natrium ke dalam sel saraf sehingga mencegah timbulnya depolarisasi. Serabut-

10
serabut saraf yang dilalui oleh impuls nyeri merupakan serabut saraf yang tipis
dan tidak bermyelin atau lightly myelinated, oleh karena itu anestetika lokal dapat
berdifusi lebih cepat daripada serabut-serabut saraf yang lebih tebal atau
bermyelin. Secara klinis, secara berurutan hilangnya fungsi saraf yaitu nyeri,
suhu, sentuh, proprioseptif dan tonus otot.[1,2,3,4]
Seperti halnya obat anestesi lokal yang lain, Bupivakain dapat
menyebabkan terjadinya toksisitas sistemik, dalam hal ini yang berkaitan dengan
sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Toksisitas tersebut biasanya
disebabkan oleh penyuntikan obat anestesia lokal ke dalam intravaskuler atau
intratekal dengan dosis yang berlebihan. Pada umumnya toksisitas sistem saraf
pusat lebih rentan terjadi dibandingkan sistem kardiovaskuler, sehingga dosis
yang diperlukan untuk timbulnya toksisitas sistem syaraf pusat lebih kecil
dibandingkan dengan toksisitas yang menyebabkan kolaps sirkulasi.[1,2,3,4]

2.2.1 Farmakologi.[8]
Bupivakain memiliki mula kerja yang cepat dan lama kerja kerja yang
panjang. Mula kerja Bupivakain timbul dalam waktu 5 – 10 menit dan masa kerja
90 -120 menit. Dosis maksimal Bupivakain adalah 2,5 mg/kg berat badan.
Konsentrasi Bupivakain yang digunakan bekisar 0,125-0,75% dengan maupun
tanpa penambahan epinefrin 1:200000 atau 1:400000.
Laju absorbsi anstesi lokal bergantung pada dosis dan konsentrasi obat yang
diberikan, rute pemberian, vaskulariasi pada tempat penyuntikan dan penambahan
epinefrin. Penambahan epinefrin 1: 200000 atau 5 mcg/ml akan menurunkan
absorpsi dan kadar puncak dalam plasma sehingga dapat digunakan dosis total
yang lebih besar dan memperpanjang masa kerja obat, namun penambahan
epinefrin pada Bupivakain tidak memperpanjang masa kerja tetapi mengurangi
risiko toksisitas Bupivakain itu sendiri.
Obat anestesi lokal melewati plasenta dengan cara difusi pasif. Difusi
ditentukan oleh ikatan dengan protein plasma, daya ionisasi dan kelarutannya
dalam lemak. Obat anestesi lokal bebas yang tidak terikat dengan protein plasma
yang dapat melewati sawar plasenta. Bupivakain, 95% berikatan dengan protein

11
plasma dan memiliki rasio fetal/maternal yang rendah (0,2 – 0,4) sehingga
Bupivakain yang dapat melewati sawar plasenta adalah minimal. Daya larut dalam
lemak yang tinggi dan sifat non-ionisasi menyebabkan Bupivakain dapat masuk
ke dalam sirkulasi fetus.
Ginosar dkk, melakukan penelitian untuk mencari dosis efektif ED50 dan
ED95 Bupivakain dan hasil yang didapatkan adalah 7,6 mg dan 11,2 mg. Dosis
ideal obat anestesi lokal untuk bedah sesar adalah untuk mencapai keseimbangan
antara kenyamanan pasien dan menghindari efek samping maternal, yaitu
hipotensi dan mual. Banyak peneliti yang mengatakan bahwa meningkatkan dosis
obat analgesi lokal akan meningkatkan hipotensi maternal dan mual dengan hasil
akhir penurunan kepuasan pasien.
Vercaunteren dkk mendemonstrasikan dalam penelitiannya dengan dosis
Bupivakain 6,6 mg hiperbarik menghasilkan anestesi yang superior dan sedikit
hipotensi yang terjadi dibandingkan dengan dosis yang sama pada Bupivakain
yang isobarik.
Untuk memperkuat pernyataan dari Vercauteren mengenai penggunaan dosis
rendah Bupivakain, maka Ben David dkk melakukan penelitian tentang 5mg
Bupivakain isobarik mengurangi insiden hipotensi, mual dan penggunaan
vasopresor.
Bupivakain memiliki kadar puncak dalam plasma yang tercapai setelah
30–45 menit turun dalam waktu 3–6 jam. Waktu paruh Bupivakain pada orang
dewasa adalah 2,7 jam sedangkan pada neonatus 8,1 jam.

2.3. Asam traneksamat


Asam tranexamat adalah obat golongan antifibrinolitik yang bekerja
mengurangi perdarahan dengan cara menghambat aktivasi plasminogen menjadi
plasmin pada cascade pembekuan darah. Karena plasmin berfungsi mendegradasi
fibrin, maka asam tranexamat bekerja menghambat degradasi fibrin, yang
berujung pada meingkatnya aktivitas pembekuan darah.

12
2.3.1 Farmakologi
Asam traneksamat merupakan inhibitor fibrinolitik sintetik bentuk trans
dari asam karboksilat sikloheksana aminometil. Secara in vitro, asam traneksamat
10 kali lebih poten dari asam aminokaproat. Asam traneksamat
merupakan competitive inhibitor dari aktivator plasminogen dan penghambat
plasmin.Plasmin sendiri berperan menghancurkan fibrinogen, fibrin dari faktor
pembekuan darah lain, oleh karena itu asam traneksamat dapat digunakan untuk
membantu mengatasi perdarahan akibat fibrinolisis yang berlebihan.

2.3.2. Indikasi
 Fibrinolisis pada menoragia, epistaksis, traumatic
hyphaemia, neoplasma tertentu, komplikasi pada persalinan (obstetric
complications) dan berbagai prosedur operasi termasuk operasi
kandung kemih, prostatektomi atau konisasi serviks.
 Hemofilia pada pencabutan gigi dan profilaksis pada angioedema
herediter.

2.3.3 Kontraindikasi
 Penderita yang hipersensitif terhadap asam traneksamat.
 Penderita perdarahan subarakhnoid.
 Penderita dengan riwayat tromboembolik.
 Tidak diberikan pada pasien dengan pembekuan intravaskular aktif.
 Penderita buta warna.

2.3.4 Dosis
 Fibrinolisis lokal: angioneuritik edema herediter, dosis yang
dianjurkan adalah 500-1000 mg (IV) dengan injeksi lambat (1
ml/menit) 3 x sehari. Untuk pengobatan lebih dari 3 hari dapat
dipertimbangkan pemberian oral.

13
 Perdarahan abdominal setelah operasi: 1 gram, 3 x sehari (injeksi IV
pelan-pelan) pada 3 hari pertama, dilanjutkan pemberian oral 1 gram,
3-4 x sehari (mulai pada hari ke-4 setelah operasi sampai tidak tampak
hematuria secara makroskopis).
 Perdarahan setelah operasi gigi pada penderita hemofilia:
o Sesaat sebelum operasi: 10 mg/kg BB (IV)
o Setelah operasi: 25 mg/kg BB (oral) 3-4 x sehari selama 2-8
hari.
(pada penderita yang tidak dapat diberikan terapi oral dapat
dilakukan terapi parenteral 10 mg/kgBB/hari dalam dosis bagi 3-4
kali)
 Khusus penderita gangguan fungsi ginjal:
Kreatinin serum (μmol/l) Dosis IV
120 - 250 (1,36 - 2,83 mg/dl) 10g/kg 2 x sehari

250 - 500 (2,83 - 5,66 mg/dl) 10g/kg 1 x sehari

>500 (>5,66 mg/dl) 10g/kg setiap 48 jam atau

5 mg/kg setiap 24 jam

2.3.5 Efek samping


 Gangguan pada saluran pencernaan (mual, muntah, diare) gejala ini
akan hilang bila dosis dikurangi.
 Reaksi hipotensi dan pusing dapat terjadi pada pemberian intravena
yang cepat. Untuk menghindari hal tersebut, maka pemberian dapat
dilakukan dengan kecepatan tidak lebih dari 1 ml/menit.

2.4. Kelalaian medis injeksi intratekal dengan asam traneksamat


Sedikit yang diketahui tentang efek intratekal langsung pemberian asam
traneksamat pada manusia. Wong et al.[2] melaporkan kasus pertama intratekal
tidak disengaja injeksi 75 mg asam traneksamat dalam berusia 18-tahun, pria
tersebut dijadwalkan untuk apendiktomi, timbul kejang klonik yang berkembang
ke kejang umum, yang diobati dengan diazepam intravena,dan pasien sembuh

14
tanpa gejala sisa apapun. De Leede et al. [3] telah melaporkan kasus laki-laki 68
tahun, tidak sengaja menerima intratekal injeksi 50 mg asam traneksamat. Segera
setelah injeksi, timbul status epilepticus dengan paresis hipotonik dari keempat
anggota badan, yang dapat diterapi namun terdapat gejala sisa yaitu residual
bilateral peroneal palsy. Yeh et al. dilaporkan bahwa kejang dan refrakter fibrilasi
ventrikel setelah pemberian intratekal tidak disengaja 500 mg asam traneksamat
berhubungan dengan hasil akhir yang fatal. [4] Mekanisme yang tepat bahwa asam
traneksamat dapat mengakibatkan kejang atau ventrikel fibrilasi masih belum
diketahui.
Namun demikian, laporan dari neurotoksisitas dalam studi eksperimental,
dan ketika dioleskan ke korteks serebral pada hewan percobaan, obat ini dikenal
untuk menghasilkan kejang mioklonus bisa timbul dari korteks serebral, batang
otak, sumsum tulang belakang, saraf perifer dan akar tulang belakang. Beberapa
penulis menghubungkan dengan adanya disfungsi cerebellar. Ada dua jenis
mioklonus yang timbul dari medulla spinalis yaitu mioklonus segmental spinal
dan mioklonus proprispinal. Pada mioklonus propriospinal otot pertama yang
teraktivasi biasanya dimulai dari level spinal torakal kemudian menyebar ke atas
dan ke bawah sehingga menyebabkan mioklonus umum. Dalam suatu studi
ekperimental, asam traneksamat dapat menyebabkan tekanan intrakranial dan
hipertensi sistemik serta epilepsy.[5] Dosis obat yang sangat tinggi akan
menyebabkan munculnya rangsangan simpatis yang berlebihan, yang ditandai
dengan respon hipertensi, kemudian aritmia ventricular seperti yang sudah
dilaporkan pada beberapa pasien.[4]
Dalam kasus kami, pasien mengeluhkan nyeri hebat di punggung
kemudian dilanjutkan dengan mioklonus setelah pemberian intratekal yang injeksi
300 mg asam traneksamat, yang merupakan dosis yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan beberapa kasus yang sudah pernah dilaporkan. Yamamura
et al. melaporkan bahwa intracisternal injeksi asam traneksamat dengan dosis 5
mg / kg pada kucing menyebabkan aktivitas kejang dalam 45-60 s. [5] Dalam kasus
ini, pasien menerima dosis asam traneksamat yang sama. Asam traneksamat yang
diinjeksi intratekal merangsang kejang yang merupakan akibat dari iskemik

15
sekunder otak secara langsung sehingga menyebabkan penurunan aliran darah
otak regional atau global dan dapat disebabkan oleh blokade reseptor cortical-
amino butyric acid (GABA)-A inhibitor . Karena reseptor GABA-A mengatur
terbukanya channel klorida yang menghasilkan hiperpolarisasi neuronal dan
mengurangi eksitabilitas, blokade oleh asam traneksamat menyebabkan
penurunan ambang depolarisasi dan meningkatkan excitotoxicity.[6,7]
Fenitoin tidak dapat menghilangkan kejang polimioklonus berat yang
muncul, namun pemberian sodium valproat cukup efektif.[1] Ventrikel fibrilasi
refrakter yang disebabkan oleh injeksi asam traneksamat intratekal yang tidak
berrespon terhadap tindakan resusitasi juga dilaporkan[5]. Pasien yang mengalami
kejadian fatal setelah injeksi intratekal penisilin, galamin dan vincristine dapat
ditangani dengan pemberian antikonvulsan dan lavase cairan spinal.[7]
Beberapa ahli berpendapat bahwa pengobatan pada kasus tersebut harus
meliputi pemberian obat antikonvulsan, pemantauan hemodinamik di ruang
intensif dan melakukan lavase cairan serebrospinal (CSF). Keuntungan
melakukan tindakan lavase CSF adalah membuang dan mengencerkan obat yang
sudah diinjeksikan sehingga mencegah kerusakan saraf yang berat.[8]

Kesimpulan
Beberapa laporan kasus menyimpulkan bahwa kesalahan dalam
penyuntikkan obat dikarenakan bentuk ampul asam traneksamat dan bupivakain
0,5% hampir sama seperti terlihat pada Gambar 2,

Gambar 2. Ampul Bupivakain hiperbarik dan asam traneksamat 100mg/ml menunjukkan


kesamaan dalam penampilan1

Akibat dari beberapa kejadian tersebut menyebabkan produsen obat


mengubah tampilan ampul bupivakain hiperbarik sehingga komplikasi seperti

16
beberapa kasus tidak terjadi lagi. Dalam sebagian besar laporan dilakukan anestesi
umum setelah anestesi spinal karena tidak terjadi blokade sensorik dan motorik
dengan anestesi spinal.
Dalam beberapa pasien, kejang muncul setelah diberikan penetralisir dari
pelumpuh otot. Oleh karena itu, obat intratekal tetap berada di dalam CSF selama
2-3 jam dan pengobatan dimulai setelahnya. Beberapa kasus, bila pengobatan
kejang dan lavase CSF dilakukan sebelumnya, maka akan memberikan hasil yang
lebih baik.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Mohseni K, Jafari A, Nobahar MR, Arami A. Polymyoclonus seizures


resulting from accidental injection of tranexamic acid in spinal
anesthesia. Anaesth Anal 2009:108:1984-6.
2. Wong J, Yang S, Tsai M, Accidental injection of tranexamic acid
during spinal anaesthesia (in Chinese). Ma Zui Xue Za Zhi
1988;26:249-52.
3. De Leede-van der, Maarl MG, Hilkens P, Bosch F. The epileptogenic
effect of tranexamic acid. J Neurol 1999;246:843.
4. Sabzi F, Teimouri H, Zokai A. Myoclonus, seizure and ventricular
fibrillation after intrathecal injection of tranexamic acid. J Tehran Univ
Heart Center 2009;4:253-5.
5. Yeh HM, Lau HP, Lin PL, Sun WZ, Mok MS. Convulsions and
refractory ventricular fibrillation after intrathecal injection of a
massive dose of tranexamic acid. Anesthesiology 2003;98:270-2.
6. Kaabachi O, Eddhif M, Rais K, Zaabar MA. Inadvertent intrathecal
injection of tranexamic acid. Saudi J Anaesth 2011;5:90-2.
7. Garcha PS, Mohan CV, Sharma RM. Death after an inadvertent
intrathecal injection of tranexamic acid. Anesth Analg 2007;104:241-
2.
8. Tsui BC, Malherbe S, Koller J, Aronyk K. Reversal of an unintentional
spinal anesthetic by cerebrospinal lavage.Anesth Analg 2004;98:434-6.

18

Anda mungkin juga menyukai