Anda di halaman 1dari 23

GAGGING

A. PENDAHULUAN

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang melalui

pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan itu akan terjadi

dari mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya akan dapat dilihat setelah beberapa

menit, jam, dan seterusnya. Terhentinya suplai oksigen bisa menjadi penyebab kematian. Hal

ini disebabkan karena adanya hambatan masuknya oksigen ke dalam sistem respirasi.

Hambatan ini juga akan berakibat terganggunya pengeluaran karbon dioksida dari tubuh

sehingga kadarnya dalam darah meningkat. Keadaan dimana terjadi gangguan dalam

pertukaran udara pernapasan yang normal disebut asfiksia. 1,3

Secara teknis, setiap orang meninggal karena asfiksia, bisa dari penyakit, luka, toksik

obat, atau beberapa kombinasi, dimana aliran darah ke dan dari otak, jantung, dan organ lain

insufisien, sehingga bisa terjadi asfiksia sebagai titik akhir kehidupan. Walaupun demikian,

dalam banyak kasus, kematian tidak disebutkan disebabkan karena asfiksia, melainkan karena

penyakit penyebab yang menyebabkan gangguan respirasi seperi infark miokard, ruptur arteri

serebral, keracunan obat, atau luka tembak multipel. Kematian dikatakan disebabkan karena

asfiksia hanya bila asfiksia itu sendiri yang menjadi penyebab langsung kematian. 1

Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan “mati lemas”. Sesungguhnya

pemakaian kata asfiksia tidaklah tepat, sebab kata asfiksia ini berasal dari dua kata bahasa

Yunani yang berarti “tidak berdenyut”, sedangkan pada kematian karena asfiksia, nadi

sebenarnya masih berdenyut untuk beberapa menit setelah pernapasan berhenti. Istilah yang

tepat secara terminologi kedokteran ialah anoksia atau hipoksia. Secara fisiologis anoksia

adalah kegagalan oksigen mencapai sel-sel tubuh. 2,12

1
Asfiksia bisa disebabkan karena banyak keadaan. Asfiksia bisa timbul dari menghirup

udara yang tidak mengandung banyak oksigen, kompresi atau obstruksi saluran udara, dan

bahan kimia seperti karbon monoksida dan sianida. Kematian akibat asfiksia bisa

diklasifikasikan dalam kematian akibat penggantungan, stangulasi, suffokasi, dan tenggelam.

Gagging merupakan salah satu klasifikasi kematian akibat asfiksia yang tergolong

dalam suffokasi. Pada perampokan ada kalanya korban setelah diikat, agar tidak dapat

berteriak mulut disumbat dengan kain yang kemudian diikat dari mulut ke belakang kepala

(gagging). Dalam hal ini palatum molle tertekan pada farings, sehingga terjadi sumbatan pada

farings. Bila sumbatan ini terjadi secara total, maka bisa terjadi hipoksik-hipoksia atau

anoksik-anoksia. Bila terjadi sumbatan parsial pada lumen laring bisa terjadi kematian karena

spasme laring. Refleks neurogenik yang tiba-tiba yang menyebabkan kegagalan

kardiovaskular mungkin disebabkan karena refleks parasimpatik inhibisi kardiak. 1,2,9,13

Dalam Ilmu Kedokteran Forensik disebutkan bahwa pemeriksaan makroskopis, data-

data klinis, dan pemeriksaan secara mikroskopis merupakan cara identifikasi yang lebih baik

untuk meminimalisasi kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi. Ada 3 hal penting

dalam pemeriksaan otopsi kasus gagging, yaitu: mencari penyebab kematian, menemukan

tanda-tanda asfiksia, menemukan edema paru, hiperaerasi, dan sianosis pada kematian yang

lambat, serta menemukan benda penyebab yang menyumbat mulut. 3

B. DEFINISI GAGGING

Gagging merupakan salah satu jenis suffocation mekanik dengan obstruksi pada mulut

sehingga menghalangi masuknya udara ke dalam paru-paru yang mengakibatkan terjadinya

asfiksia. Pada perampokan ada kalanya korban setelah diikat, agar tidak dapat berteriak mulut

disumbat dengan kain yang kemudian diikat dari mulut ke belakang kepala (gagging). Dalam

hal ini palatum molle tertekan pada farings sehingga terjadi sumbatan. Bila sumbatan ini

2
terjadi secara total, akan terjadi hambatan oksigen masuk ke paru-paru dan otak. Bila otak

tidak mendapatkan oksigen selama lebih dari 4 menit, maka otak akan mengalami kerusakan

bahkan dapat terjadi kematian. Keadaan dimana terjadi kekurangan oksigen ini dinamakan

asfiksia. Asfiksia adalah suatu keadaan terjadinya kekurangan oksigen yang disebabkan

karena terganggunya saluran pernapasan atau kegagalan sel untuk menggunakan oksigen, dan

kegagalan tubuh untuk mengeleminasi karbon dioksida. 2,10,11

Gagging tergolong dalam kematian akibat pembunuhan sebagai bagian dari choking

(tersedak). Kejadian ini tidak sering terjadi. Pada anak-anak, dapat ditemui anak baru lahir

yang dibunuh dengan menyumbat mulut anak dengan tissu toilet. Dapat pula dengan

menggunakan benda padat yang lain seperti dot untuk menyumbat mulut anak. Pada orang

tua, sering dijumpai pada kasus perampokan dimana pakaian atau kaos kaki dimasukkan ke

dalam mulut untuk mendiamkan korban. Metode seperti ini seringkali diperlihatkan di

televisi tanpa adanya akibat yang berbahaya. Namun, sebenarnya dalam kehidupan nyata,

pakaian atau kaos kaki yang dimasukkan bisa menyumbat total posterior dari faring dan

menyebabkan korban mengalami asfiksia. 2,10

Gambar 1. Dot yang dimasukkan ke dalam mulut bayi oleh

ayah dapat menyebabkan asfiksia 10

3
Gambar 2. Sumbatan pada mulut oleh bandana

menyebabkan asfiksia 10

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI PERNAPASAN

Anatomi Saluran Pernapasan

Gambar 3. Gambar Traktus Respiratorius 4

4
Secara fungsional saluran pernafasan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 5,6

1. Zona Konduksi

Zona konduksi berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara pernapasan, serta

membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu udara pernapasan dengan suhu tubuh.

Disamping itu zona konduksi juga berperan pada proses pembentukan suara. Zona konduksi

terdiri dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, serta bronkioli terminalis.

a. Hidung (Cavitas nasi)

Cavitas nasi menghubungkan bagian luar dengan nasofaring yang terletak di posterior cavum

nasi. Di bagian anterior terdapat lubang yang dikenal dengan nama nares anterior (nostril)

dan di posteriornya disebut nares posterior (choanae). Rambut, zat mukus, serta silia yang

bergerak kearah faring berperan sebagai sistem pembersih pada hidung. Fungsi pembersih

udara ini juga ditunjang oleh konka nasalis yang menimbulkan turbulensi aliran udara

sehingga dapat mengendapkan partikel-partikel dari udara yang seterusnya akan diikat oleh

zat mucus. Sistem turbulensi udara ini dapat mengendapkan partikel-partikel yang berukuran

lebih besar dari 4 mikron. Selain itu struktur konka nasalis yang unik memperluas permukaan

mukosa hidung dan sistem pleksus vena yang berdinding tipis di bawah mukosa,

meningkatkan efektivitas fungsi pelembapan, serta fungsi penghangatan udara oleh hidung.

b. Faring

Faring merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernapasan bagian atas. Faring

terbagi atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, serta laringofaring. Nasofaring

merupakan bagian pertama faring yang juga berperan sebagai penangkal infeksi dan

menunjang fungsi telinga. Orofaring terletak di belakang rongga mulut dan berperan sebagai

saluran udara pernapasan serta saluran makanan. Laringofaring merupakan bagian terakhir

faring yang memiliki fungsi sama dengan orofaring.

5
c. Laring

Laring merupakan bagian pertama dari saluran pernapasan bagian bawah yang memiliki tiga

peranan utama, yaitu sebagai saluran udara, pintu pengatur perjalanan udara pernapasan dan

makanan (epiglotis), serta sebagai organ penimbul suara. Laring terletak di sebelah ventral

faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Posisi dari laring ditentukan oleh gerakan

kepala, deglutitio, dan fonasi.

d. Trakea

Trakea merupakan pipa udara yang dibentuk dari kartilago dan jaringan ikat, yang dimulai

dari tepi kaudal laring (setinggi tepi kaudal kartilago krikoidea setara vertebra cervikalis VI

sampai tepi kranial vertebra thorakalis V) hingga membentuk bifurcatio menjadi bronkus

dextra dan sinistra. Trakea dapat juga dijuluki sebagai eskalatormuko-siliaris karena silia

pada trakea dapat mendorong benda asing yang terikat zat mucus kearah faring yang

kemudian dapat ditelan atau dikeluarkan. Silia dapat dirusak oleh bahan-bahan beracun yang

terkandung dalam asap rokok.

e. Bronki atau bronkioli

Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur trakea. Akan tetapi mulai bronki

sekunder, perubahan struktur mulai terjadi. Pada bagian akhir dari bronki, cincin tulang

rawan yang utuh berubah menjadi lempengan-lempengan. Pada bronkioli terminalis struktur

tulang rawan menghilang dan saluran udara pada daerah ini hanya dilingkari oleh otot polos.

Struktur semacam ini menyebabkan bronkioli lebih rentan terhadap penyempitan yang dapat

disebabkan oleh beberapa faktor.

Bronkioli mempunyai silia dan zat mucus sehingga berfungsi sebagai pembersih udara.

Bahan-bahan debris di alveoli ditangkap oleh sel makrofag yang terdapat pada alveoli,

kemudian dibawa oleh lapisan mukosa dan selanjutnya dibuang.

6
2. Zona Respiratorik

Zona respiratorik terdiri dari bronkioli respiratorik, sakus alveoli, serta alveoli. Pertukaran

gas antara udara dan darah terjadi dalam alveoli.

Fungsi Pernapasan

Sistem respirasi mempunyai peran atau fungsi mengambil oksigen yang kemudian

dibawa oleh darah keseluruh tubuh (selselnya) untuk mengadakan pembakaran serta

mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa dari pembakaran, kemudian dibawa

oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak berguna lagi oleh tubuh). Fungsi

penyediaan oksigen serta pengeluaran karbon dioksida merupakan fungsi yang vital bagi

kehidupan. Oksigen merupakan sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok terus-menerus,

sedangkan karbon dioksida merupakan bahan toksik yang harus segera dikeluarkan dari

tubuh. Bila tertumpuk di dalam darah, karbon dioksida akan menurunkan pH sehingga

menimbulkan keadaan asidosis yang dapat mengganggu faal tubuh bahkan dapat

menyebabkan kematian. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara

berlangsung di alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan dan di dalamnya

aliran udara timbal balik (pernapasan), dan tergantung pada difusi oksigen dari alveoli ke

dalam darah kapiler dinding alveoli. Hal yang sama juga berlaku untuk gas dan uap yang

dihirup. Paru-paru merupakan jalur masuk terpenting dari bahan-bahan berbahaya lewat

udara pada paparan kerja. 5

Proses respirasi berlangsung beberapa tahap, yaitu: 5

1. Ventilasi, yaitu pergerakan udara ke dalam dan ke luar paru

2. Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah. Proses ini disebut pernapasan luar.

3. Transportasi gas melalui darah

4. Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan. Proses ini disebut pernapasan dalam.

7
5. Metabolisme penggunaan oksigen di dalam sel serta pembuatan karbon dioksida yang

disebut juga pernapasan seluler.

Gambar 4. Gambar Traktus Respiratorius Bagian Atas 7

D. GAGGING SEBAGAI PENYEBAB ASFIKSIA

Asfiksia bisa disebabkan karena banyak keadaan. Asfiksia bisa timbul dari menghirup

udara yang mengandung sedikit oksigen, dari kompresi saluran udara eksternal (hidung dan

mulut), dari obstruksi saluran pernapasan internal, dari kompressi eksternal pada leher atau

dada, atau dari posisi tubuh yang salah. Gagging sebagai salah satu jenis obstruksi mekanik

pada saluran udara eksternal (mulut) yang menghalangi masuknya udara ke dalam paru-paru

menjadi salah satu penyebab asfiksia. Selain itu, asfiksia bisa disebabkan karena bahan kimia

atau toksin-toksin seperti karbon monoksida dan sianida yang bekerja pada level molekular

dan sel dengan mengganggu transportasi oksigen ke jaringan. Asfiksia alamiah misalnya pada

penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis difteri, atau menimbulkan

gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru. 1,3

8
E. PATOFISIOLOGI GAGGING

Gagging menyebabkan obstruksi internal pada saluran pernapasan atas. Objek atau

substansi yang menyebabkan penekanan faring atau laring bisa menyebabkan distress

pernapasan yang berat, dengan kongesti dan sianosis, atau bisa menyebabkan kematian yang

cepat dan diam dengan henti jantung akibat vaso-vagal. Pada awal gagging, karena sumbatan

ada pada mulut, maka pernapasan bisa melalui hidung, namun seiring dengan berjalannya

waktu maka mukus dari hidung dan edema yang terjadi akan menutup nares posterior dan

menyebabkan perkembangan dari asfiksia yang progresif. 8

Pada gagging palatum molle tertekan pada farings, sehingga terjadi sumbatan pada

farings. Bila sumbatan ini terjadi secara total, maka bisa terjadi hipoksik-hipoksia atau

anoksik-anoksia. Anoksik-anoksia adalah keadaan tidak dapat masuknya oksigen ke dalam

aliran darah atau tidak bisa cukup mencapai aliran darah. Selain pada kasus gagging, anoksik-

anoksia dapat terjadi pada orang-orang yang menghisap gas inert, berada dalam tambang,

atau pada tempat yang tinggi dimana kadar oksigen berkurang. Atau dengan kata lain,

keadaan apapun yang menyebabkan defek oksigen dari darah di dalam paru-paru. Penyebab

anoksik-anoksia secara umum: 2,9

 Karena obstruksi saluran pernapasan atas – suffocation (gagging), smothering

(pembekapan), overlaying (tertindih)

 Karena obstruksi saluran pernapasan bawah – tenggelam, tersedak, tercekik,

gantung diri, dan strangulasi

 Penekanan berlebihan dada dan dinding abdominal

 Penekanan primer pergerakan respirasi yang menyebabkan kegagalan

respirasi- pada keracunan narkotik, luka listrik

 Inhalasi gas karbon dioksida dan karbon monoksida

9
Selain anoksik-anoksia, Gordon pada tahun 1944, mengklasifikasikan anoksia dengan

menekankan pada patogenesis dari berbagai bentuk kematian untuk kepentingan medikolegal.

Klasifikasinya yaitu: 2,9

1. Stagnant Circulatory Anoxia, karena gangguan dari sirkulasi darah ke jaringan,

contoh: embolisme, shok traumatik, heat stroke, iritan akut, dan keracunan bahan

korosif.

2. Anemic Anoxia. Darah tidak mampu mengangkut oksigen yang cukup. Bisa karena

volume darah yang kurang ataupun karena kadar hemoglobin yang rendah. Contohnya

intoksikasi CO, klorat, nitrit.

3. Histotoxic Tissue Anoxia. Keadaan sel-sel tidak dapat mempergunakan oksigen

dengan baik yang dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstraselluler (sistem enzim

oksigen terganggu), intraselluler (penurunan permeabilitas membran sel, seperti

terjadi pada pemberian obat-obat anasthesia yang larut dalam lemak misalnya

chloroform dan ether), metabolit dimana sisa-sisa metabolisme tidak bisa dibuang

misalnya pada kasus uremia dan keracunan karbon dioksida, dan substrat (kurang

bahan-bahan yang diperlukan untuk metabolisme kurang misalnya pada kasus

hipoglikemia).

Contoh Histotoxic Tissue Anoxia adalah keracunan asam hidrosianik.

Selain karena sumbatan yang ditempatkan sekitar wajah dan menyumbat mulut dan

hidung yang menyebabkan palatum molle tertekan pada farings, mukus dan cairan yang

terakumulasi pada kavum nasi dan saluran udara juga dapat menimbulkan sumbatan yang

berperan pada terjadinya asfiksia. Bila terjadi sumbatan parsial pada lumen laring bisa terjadi

kematian karena spasme laring. Spasme laring menyebabkan sumbatan pada jalan masuknya

udara sehingga terjadi pengurangan udara termasuk oksigen yang masuk dalam tubuh yang

10
akhirnya menyebabkan penurunan kadar oksigen dalam darah serta jaringan tubuh. Refleks

neurogenik yang tiba-tiba yang menyebabkan kegagalan kardiovaskular mungkin disebabkan

karena refleks parasimpatik inhibisi kardiak. 2,10

Hal menarik lainnya yaitu kematian pada gagging apabila sumbatan mulut masuk ke

saluran pencernaan bawah maka kematian bisa disebabkan distensi esofagus yang tiba-tiba.

Dalam hal ini, kematian disebabkan refleks vagal yang menyebabkan bradikardi, kardiak

disritmia, bronkospasme, kejang, atau mekanisme lain. Mekanismenya yaitu distensi

esofagus memediasi stimulasi tensoreseptor pada dinding esofagus, menyebabkan

terminasi/penghentian arus vagal di medulla, dimana terjadi tumpang-tindih jalan impuls

dengan jalan respirasi dan jantung, menyebabkan bradikardi, disritmia, atau bronkospasme.

Mekanisme yang melibatkan distensi esofagus yang berlebihan menyebabkan respons

kardiopulmonar yang berpotensi fatal. Refleks vagal ini tidak hanya timbul dari rangsangan

esofagus tetapi juga rangsangan pada faring dan laring. Hal ini dapat menjelaskan mengapa

pada gagging, kematian bisa muncul lebih cepat dari yang diperkirakan apabila kematian

disebabkan oleh kejadian asfiksia sendiri. 1

F. STADIUM ASFIKSIA

Mekanisme asfiksia oleh Puppo dibagi menjadi 4 stadium yaitu: 2

1. Stadium Dyspnoe

2. Stadium Konvulsi

3. Stadium Apnea

4. Stadium Final

Pembagian ini secara prinsip adalah penting karena dapat memberikan keterangan yang jelas

akan patofisiologi dari proses asfiksia. Stadium-stadium tersebut dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor yang menyebabkan keempat stadium tersebut tidak terbagi secara jelas.

11
Stadium Dyspnoe

Defisiensi oksigen pada sel-sel darah merah dan akumulasi karbon dioksida dalam plasma

akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata. Hal ini akan mengakibatkan gerak

pernapasan yang cepat dan kuat, peningkatan denyut nadi, dan sianosis terutama dapat

diamati pada wajah dan tangan.

Stadium Konvulsi

Pertama adalah kejang klonik, setelah itu kejang tonik, terakhir terjadi spasme epistotonik.

Pupil menjadi lebar dan denyut jantung menjadi pelan. Hal ini terjadi dimungkinkan karena

meningkatnya kerusakan dari nukleus-nukleus pada otak karena defisiensi oksigen.

Stadium Apnea

Depresi pada pusat pernapasan semakin dalam sehingga pernapasan menjadi semakin lemah

dan dapat berhenti. Timbullah keadaan tidak sadar dan keluarnya cairan sperma secara tidak

disadari (involunter). Dapat juga terjadi keluarnya urine dan feces secara tidak disadari

meskipun jarang.

Stadium Final

Pada stadium ini terjadi kelumpuhan pernapasan secara lengkap. Setelah beberapa kontraksi

otomatis dari otot-otot aksesoris pernapasan di leher, kemudian pernapasan berhenti. Jantung

mungkin masih berdenyut setelah beberapa waktu setelah respirasi berhenti.

G. PEMERIKSAAN OTOPSI PADA GAGGING

Penemuan pada pemeriksaan autopsi pada gagging umumnya sama dengan penemuan

pada penyebab asfiksia yang lain, tidak spesifik, bisa terdapat peteki dan sianosis. Untuk

menggantikan istilah asfiksia yang diakibatkan gagging, sering digunakan istilah anoksia

yang secara fisiologis merupakan kegagalan oksigen mancapai sel-sel tubuh. Kematian oleh

12
karena anoksia terjadi bila persediaan oksigen pada jaringan tubuh berkurang sampai di

bawah batas minimum keperluan untuk hidup. 2

Ketika jalan napas tersumbat, sejumlah gejala klinik dan tanda berkembang hingga

akhirnya henti jantung mengakhiri proses. Pada banyak kasus, bila proses terjadi segera atau

dalam jangka waktu yang singkat, maka ‘tanda klasik’ dari asfiksia tidak bisa

berkembang.’Tanda klasik’ ini tidak bisa menjadi bukti dari hipoksia atau asfiksia kecuali

bila ada bukti yang mendukung proses mekanikal kausatif. ‘Tanda klasik’ tersebut meliputi: 8

1. Kongesti di muka, karena sumbatan aliran vena karena kompressi vena leher atau

obstruksi aliran balik vena ke jantung.

2. Edema dari muka, karena transudasi plasma yang disebabkan meningkatnya

tekanan vena.

3. Sianosis atau kebiruan pada kulit, khususnya di kepala dan leher. Warna

bergantung pada kegagalan oksigenasi oleh peradaran darah vena, sehingga

terjadi penurunan hemoglobin berlebihan.

4. Perdarahan peteki di kulit dan mata, terutama jaringan luar kelopak mata,

konjungtiva, sklera, kulit wajah, bibir, dan area belakang telinga. Ini hampir

semua disebabkan aliran balik vena yang terganggu dan bukan karena hipoksia

dinding pembuluh darah. Peteki pada permukaan paru-paru, epikardium, dan

timus bisa terbentuk setelah kematian.

Secara fungsional, seseorang dengan sumbatan jalan udara akan menunjukkan banyak

fase distress dan tanda fisik, yang berkembang seiring dengan: 8

1. Meningkatnya usaha untuk bernapas, dengan kongesti wajah dan sianosis

2. Respirasi yang dalam, sulit, dan dada seperti tertekan bila dada bebas bergerak,

sianosis yang lebih dalam dan kongesti, dengan gambaran peteki apabila aliran balik

vena tidak lancar

13
3. Kehilangan kesadaran, konvulsi, evakuasi kandung kemih, muntah. Bila hal ini

berlangsung terus, pernapasan akan menjadi dangkal, pupil dilatasi, dan bisa terjadi

kematian.

1. PEMERIKSAAN LUAR

1. Sianosis

Sianosis dapat dengan mudah terlihat pada daerah ujung-ujung jari dan bibir dimana

terdapat pembuluh darah kapiler. Sianosis ini mempunyai arti bila keadaan mayat

masih baru. Sianosis bergantung pada jumlah absolut dari oksihemoglobin dan

penurunan hemoglobin pada sel darah merah. Warna pink yang normal dapat berubah

menjadi ungu atau biru ketika oksigen kurang. Sianosis kutaneus bergantung pada

jumlah absolut dari hemoglobin terreduksi daripada jumlah penurunan oksi-

hemoglobin. Harus terdapat minimal 5 gram% hemoglobin tereduksi sebelum

sianosis muncul. Ketika terjadi sumbatan jalan napas (seperti pada kasus gagging),

oksigenasi yang terhambat di paru akan menyebabkan pengurangan oksigen pada

jaringan, yang bisa menyebabkan organ dan jaringan berwarna gelap dan

menyebabkan sianosis wajah. Hal ini sangat bergantung apakah obstruksi menyeluruh

atau substansial. Kehilangan oksigen pada darah mayat sangat bervariasi, tetapi

pastinya setelah 24 jam tampakan sianosis akan terlihat karena perubahan

postmortem menyeluruh. Tidak adanya sianosis selama beberapa jam pertama

kematian tidak boleh dikatakan bahwa tidak terjadi sianosis. Sianosis terminal sering

terjadi pada banyak bentuk kematian dan bila terminal sianosis terjadi sendiri bisa

didiagnosis kematian akibat obstruksi respirasi. 2,9

2. Perdarahan berbintik (petechiae haemorrhages, Tardiu’s spot)

14
Keadaan ini mudah dilihat pada tempat dimana struktur jaringan yang longgar, seperti

pada selaput biji mata dan kelopak mata serta pada kulit kepala. Pada kasus yang

hebat, perdarahan tersebut dapat dilihat pada kulit khususnya di daerah wajah.

Terjadinya keadaan ini akibat perubahan permeabilitas kapiler sebagai akibat

langsung dari hipoksia dan peningkatan tekanan intrakapiler sehingga kapiler pecah

dan terjadilah perdarahan berbintik-bintik (petechiae). Tadiu’s spot biasanya seukuran

ujung jarum, tetapi bisa bervariasi dalam ukuran dan bentuk. 2,9

Gambar 3. Perdarahan peteki pada jantung 9

3. Pembuluh darah kecil pada conjunctiva melebar (injected)

2. PEMERIKSAAN DALAM

1. Kongesti organ

Kongesti atau pembendungan yang sistemik dan kongesti pada paru-paru yang

disertai dengan dilatasi jantung kanan, merupakan ciri klasik kematian karena

asfiksia. Jantung sebelah kanan membesar dan banyak terisi darah. Sebaliknya,

jantung sebelah kiri sering menjadi contracted atau kosong. Kongesti viseral terjadi

karena kongesti kapiler dan vena sebagai hasil adaptasi kapiler terhadap hipoksia. Hal

ini akan menyebabkan dilatasi kapiler dengan stasis darah pada kapiler dan venula

yang berdilatasi. Adanya kongesti pulmonar dan sistemik serta dilatasi dari jantung

kanan merupakan tanda asfiksia yang lebih penting dari sianosis. Redistribusi darah

15
pada kadaver bergantung pada gaya gravitasi dan rigor mortis, juga bergantung pada

tingkat kecairan darah setelah kematian.

2. Darah menjadi lebih encer

Pada setiap kematian yang cepat, darah akan tetap cair, salah satu keadaan tersebut

terdapat pada asfiksia. Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan:

 Aktifitas fibrinolisin. Jumlah fibrinolisin bergantung pada kecepatan

kematian.

 Faktor-faktor pembekuan yang ada di ekstravaskuler atau tidak sempat masuk

ke dalam pembuluh darah oleh karena cepatnya proses kematian.

3. Edema pulmonum

Edema pulmonum atau pembengkakan paru tidak banyak berarti di dalam kaitannya

dengan kematian karena obstruksi saluran napas, oleh karena keadaan ini dapat

terjadi pada beberapa macam keadaan, sehingga tidak khas.

4. Perdarahan berbintik mungkin dapat ditemukan pada thymus, pericard, larynx, paru,

pleura, epiglotis, permukaan serosa organ dalam, galea dari scalp pada kepala

5. Hiperemia dari lambung, hati, dan ginjal

6. Ginjal kadang-kadang contracted, sehingga timbul “wrinkle capsule” akibat adanya

pengerutan. Hal ini terjadi jika proses asfiksia sangat berat. 2,9

Peteki

Penemuan autopsi pada asfiksia termasuk peteki (perdarahan pinpoint) dari bulbar

dan/atau konjungtiva palpebra dan jarang di kelopak mata atau area lain dari wajah, leher,

atau area lain dari tubuh. Bila peteki terlihat pada kulit wajah atau kelopak mata, peteki pada

konjungtiva biasanya didapatkan. Peteki merupakan hasil ruptur dari venula dan kapiler

ketika peredaran balik vena dari kepala terobstruksi, sedangkan aliran darah arteri ke kepala

16
masih terjaga. Hal ini disebabkan dibutuhkan tekanan yang lebih sedikit untuk menekan

dinding vena jugular yang tipis dan bertekanan rendah dibandingkan arteri karotis yang

berdinding muskular dan memiliki tekanan tinggi. Penekanan selektif hanya pada vena

jugularis menghasilkan peningkatan tekanan pada pembuluh-pembuluh darah kecil di kepala,

yang bisa menyebabkan ruptur. Mekanisme yang sama dalam pembentukan peteki

bertanggung jawab dalam pembentukan peteki di tangan dan perglangan tangan. Peteki juga

dapat terlihat pada mukosa yang membatasi sinus sphenoidalis.

Harus diingat bahwa walaupun peteki sering terlihat pada kasus asfiksia, namun

peteki bukan merupakan tanda diagnostik kematian akibat asfiksia. Peteki bisa ditemukan

pada kematian bukan karena asfiksia seperti pada penyakit jantung yang fatal, beberapa kasus

luka bakar, dan korban dengan koagulopati. Peteki juga bisa tidak ditemukan pada kematian

akibat asfiksia. Peteki bisa muncul sebagai tanda postmortem pada tubuh yang ditemukan

pada posisi telungkup (prone). Ini disebabkan karena ketika tubuh telungkup, darah

berkumpul pada jaringan muka dan bisa menyebabkan pembuluh darah kecil meregang dan

akhirnya ruptur membentuk peteki. Bila perdarahan/peteki meluas pada wajah, periorbital,

dan konjungtiva ditemukan pada wanita tua bisa disebabkan karena penyakit kardiovaskular

ateroslerotik. 1,9

17
Gambar 4. Peteki pada bulbar konjungtiva 1

Gambar 5. Peteki pada palpebra konjungtiva 1

18
Gambar 6. Peteki pada Pergelangan Tangan 1

Gambar 7. Peteki pada Mukosa yang Melapisi Sinus Sphenoidalis 1

19
Gambar 8. Penekanan pada leher menyebabkan perdarahan impresif pada mata pasien.

Perdarahan bukanlah peteki tipikal seperti yang terlihat pada strangulasi manual 11

Pada gagging, apabila sumbatan pada mulut dipaksakan masuk saat korban masih

sadar, maka dapat ditemukan tanda-tanda perlawanan. Bisa ditemukan luka-luka defensif

pada tangan korban. Luka pada ekstremitas atas dan bawah bila pasien diikat. Tanda atau

luka pada kepala korban karena dipegang bisa dilihat. Dapat ditemukan pula luka perioral,

gigi, lidah, dan luka intraoral lainnya. Adanya benda asing pada saluran pernapasan dan

saluran pencernaan sangat mendukung gagging sebagai penyebab asfiksia.14

Pada orang tua, dapat ditemukan kongesti wajah dengan peteki pada sklera,

konjungtiva, dan kulit wajah. Pada korban yang lebih muda, peteki jarang ditemukan.

Penemuan sumbatan yang mengobstruksi saluran napas membuat kita bisa menegakkan

diagnosis, bukan hanya dari tanda asfiksia, sehingga penting untuk mencari bahan-bahan

yang diduga menjadi penyebab dalam rongga mulut pada pemeriksaan otopsi. Adapun akibat

fisiologis dari sumbatan jalan napas: 2,10

 Bradikardi (penurunan denyut jantung)

 Penurunan respirasi karena agonal gasp dengan penghentian respirasi eventual

20
 Penurunan dan akhirnya pendataran elektroensefalogram (EEG). Jantung akan

tetap berdetak bahkan setelah pendataran dari EEG.

Secara patologi, apa yang ditemukan pada postmortem dari kematian karena anoksia

(ternasuk akibat gagging) dari segala tipe di atas dapat dibagi atas: 2

1. Perubahan primer (primary change): sebagai akibat langsung dari anoksia

2. Perubahan sekunder (secondary changes): meskipun tidak berhubungan langsung

anoksia, tetapi ada hubungan penyebabnya dan tubuh mengadakan kompensasi

terhadap anoksia.

Perubahan Primer

Perubahan ini terdapat di seluruh tubuh tanpa membedakan tipe anoksia. Karena otak

adalah organ tubuh yang paling peka terhadap anoksia, maka perubahan primernya penting.

Ini ada hubungan dengan keadaan biokimianya. Apa yang terjadi pada sel yang anoksia

belum dapat diketahui, tetapi yang diketahui adanya perubahan elektrolit dimana kalium

meninggalkan sel dan diganti. Natrium yang mengakibatkan retensi air dan gangguan

metabolisme sehingga sel-sel otak mati dan menjadi jaringan gliai.

Bila orang yang mengalami anoksia itu dapat hidup beberapa hari sebelum meninggal,

maka perubahan seperti di atas sangat khas pada otak besar, otak kecil, dan basal ganglia.

Bila orangnya meninggal cepat (acute anoxia), maka perubahannya tidak spesifik dan dapat

dikaburkan dengan gambaran post mortem autolysis dan post mortem damage.

Dari sudut pandang Ilmu Kedokteran Forensik, anoksia dapat dibuktikan hanya

apabila ada reaksi sel-sel otak seperti di atas. Organ tubuh yang lain metabolik rasionya lebih

rendah daripada otak, sehingga perubahan primernya tidak jelas.2

Perubahan Sekunder

Perubahan tergantung dari proses kejadiannya. Pada anoxic-anoxia jantung

mengkompensasi dengan memperbesar outputnya, pada saat yang sama tekanan arterial dan

21
vena meningkat. Akhirnya lama-lama jantung mengalami kegagalan. Post mortem darah akan

berwarna gelap dan terjadilah kongesti vena dan pulmonar. Kadang-kadang tidak ada

perubahan sekunder karena kegagalan jantung terjadi begitu cepat. 2

Dalam konteks forensik, asfiksia yang sebenarnya biasanya disebabkan murni oleh

obstruksi, dimana terdapat halangan yang mencegah akses udara ke paru-paru. Walaupun

demikian, beberapa keadaan lain selain hipoksia bisa menjadi mekanisme kematian pada

asfiksia. Dalam beberapa tahun terakhir, peran tambahan dari substansi katekolamin yang

diproduksi sebagai respon adrenal terhadap ketakutan, stress, atau kemarahan bisa menjadi

penyebab kematian, karena bisa menyebabkan aritmia kardiak dan fibrilasi ventrikel. 8

Gambaran Mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis sangat penting dilakukan untuk melihat reaksi intravitalitas

yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka. Reaksi ini penting untuk

membedakan apakah luka terjadi pada saat seseorang masih hidup atau sudah mati. Reaksi

vital yang umum berupa perdarahan yaitu ekimosis, peteki, dan emboli.

Untuk mendiagnosa dan membedakan tipe-tipe yang berbeda dari asfiksia bisa

dilakukan pemeriksaan mikroskopik dari jaringan paru. 14

 Asfiksia karena aspirasi – kongesti, perdarahan septal, benda asing

 Suffokasi – overinsuflasi duktus, edema interstitial

 Tenggelam – edema intraalveolar, dilatasi ruang alveolar, dengan kompressi kapiler

septal

 Strangulasi (termasuk penggantungan) – edema hemoragik alveolar dengan kolaps,

edema interstitial, dan emfisema atau emfisema fokal berhubungan dengan dilatasi

bronkiolar/konstriksi.

22
Gangguan jalan napas pada gagging akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen

dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Pemeriksaan

secara histopatologi pada parenkim paru dapat meminimalisir diagnosis banding dari

beberapa kasus kematian yang disebabkan karena asfiksia. Gambaran mikroskopis parenkim

paru karena asfiksia dapat diperoleh antara lain sebagai berikut:

Gambar 9. Gambaran

Mikroskopis Parenkim Paru

pada Asfiksia 3

Pada gambaran di atas terdapat hiperinflasi duktus (ov), kolapsnya alveolus (col), dan edema

interstitiel (ed). Hiperinflasi duktus yang terjadi akibat emfisema yang akut merupakan tanda

khas akut dari suffocation. 3

Dalam penerapan ilmu forensik, untuk mengetahui penyebab kematian karena asfiksia

dapat menimbulkan berbagai pertanyaan apabila tidak disertai tanda-tanda luka luar maupun

di dalam tubuh atau sumbatan pada saluran pernapasan, dan kondisi saat kematian tidak

diketahui secara pasti. Ditambah pemeriksaan secara makroskopis dan histopatologis

kerusakan umum pada hipoksia seperti edema, perdarahan, emfisema, kongesti pasif, dan

degenerasi sel yang biasanya bervariasi dan tidak mengarah pada penemuan tunggal. 3

Ada 3 hal penting dalam pemeriksaan otopsi kasus gagging, yaitu: mencari penyebab

kematian, menemukan tanda-tanda asfiksia, menemukan edema paru, hiperaerasi, dan

sianosis pada kematian yang lambat, serta menemukan benda penyebab yang menyumbat

mulut.3

23

Anda mungkin juga menyukai