Disusun oleh:
Pricilla Frinka 00000008148
Thea Saphira 00000005063
Pembimbing:
dr. Indah Saraswati, Sp. THT-KL
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA: ANATOMI DAN FISIOLOGI 2
2.1 Anatomi 2
2.2 Fisiologi menelan 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA: DISFAGIA PADA PASIEN STROKE 11
3.1 Definisi 11
3.2 Epidemiologi 11
3.3 Etiologi dan klasifikasi 11
3.4 Patogenesis disfagia 17
3.5 Patofisiologi disfagia pada pasien stroke 18
3.6 Manifestasi klinis 19
3.7 Diagnosis 20
3.8 Evaluasi diagnostik pada pasien dengan disfagia 21
3.8 Penatalaksanaan 26
3.9 Komplikasi 30
BAB III KESIMPULAN 32
BAB IV DAFTAR PUSTAKA 33
LAMPIRAN 37
Lampiran 1 37
Lampiran 2 38
BAB I
PENDAHULUAN
Disfagia (dysphagia) berasal dari kata Yunani, yaitu “dys” yang berarti
gangguan dan “phagia” yang berarti untuk makan. Disfagia merupakan sensasi
subyektif yang biasanya mengacu pada kesulitan untuk makan sebagai akibat dari
gangguan dalam proses menelan baik makanan cair atau padat dari rongga oral
sampai pada lambung. Disfagia dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan
seseorang karena risiko pneumonia aspirasi, malnutrisi, dehidrasi, penurunan berat
badan, dan obstruksi jalan napas. Sejumlah etiologi telah dikaitkan dengan disfagia
pada populasi dengan kondisi neurologis dan nonneurologis(1).
Gangguan yang dapat menyebabkan disfagia dapat mempengaruhi proses
menelan pada fase oral, transit, faring, atau esofagus. Anamnesis secara menyeluruh
dan pemeriksaan fisik dengan teliti sangat penting dalam diagnosis dan pengobatan
disfagia. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan leher, mulut, orofaring, dan
laring. Pada pasien terutama dengan gangguan menelan akibat adanya gangguan
neurologis, pemeriksaan neurologis juga harus dilakukan. Pemeriksaan endoskopi
pada proses menelan diperlukan untuk menilai disfungsi dari proses menelan(2).
Gangguan menelan mulut dan faring biasanya memerlukan rehabilitasi,
termasuk modifikasi diet dan pelatihan teknik dan manuver menelan. Pembedahan
jarang diindikasikan untuk pasien dengan gangguan menelan. Pada pasien dengan
gangguan berat, makanan sulit melewati rongga mulut dan faring secara keseluruhan
dan pemberian nutrisi enteral mungkin diperlukan(3).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA: ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1 Anatomi
Anatomi Orofaring
Batas-batas orofaring adalah ujung bawah dari palatum mole dan
superior tulang hyoid inferior. Batas anterior dibentuk oleh inlet orofaringeal
dan pangkal lidah, dan perbatasan posterior dibentuk oleh otot-otot konstriktor
superior dan media dan mukosa faring. Orofaring berhubungan dengan rongga
mulut melalui saluran masuk orofaringeal, yang menerima bolus makanan.
Inlet orofaringeal terbuat dari lipatan palatoglossal lateral, tepat di anterior
tonsil palatina. Lipatan itu sendiri terbuat dari otot palatoglossus, yang berasal
dari palatum mole itu sendiri dan mukosa diatasnya(3).
Di inferior, terdapat sepertiga posterior lidah, atau pangkal lidah,
meneruskan perbatasan anterior orofaring. Valekula, yang merupakan ruang
antara pangkal lidah dan epiglotis, membentuk perbatasan inferior dari
orofaring. Ini biasanya setara dengan tulang hyoid. Pada dinding-dinding
lateral orofaring terdapat sepasang tonsil palatina di fosa anterior yang
dipisahkan oleh lipatan palatoglossal dan posterior oleh lipatan
2
palatopharyngeal. Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terlibat dalam
respon imun lokal untuk patogen oral(3).
Otot-otot yang membentuk dinding posterior orofaring adalah otot
konstriktor faring superior dan menengah dan membran mukosa diatasnya
yang saling tumpang tindih. Saraf glossopharingeus dan otot faring
stylopharyngeus memasuki faring pada perbatasan antara konstriktor superior
dan tengah(3,4).
Anatomi Hipofaring
Perbatasan hipofaring adalah di bagian superior terdapat tulang hyoid
dan sfingter esofagus atas (Upper Esophagus Sphincter/UES), dan otot
krikofaringeus di bagian inferior. Batas anterior hipofaring sebagian besar
terdiri dari inlet laring, yang meliputi epiglotis dan kedua lipatan aryepiglottic
dan tulang rawan arytenoid. Permukaan posterior dari kartilago arytenoid dan
pelat posterior kartilago krikoid merupakan perbatasan anteroinferior dari
hipofaring. Lateral kartilago arytenoid, hipofaring terdiri dari kedua sinus
Piriformis, yang dibatasi oleh tulang rawan lateral tiroid(3).
Dinding posterior faring terdiri dari otot konstriktor tengah dan inferior
dan selaput lendir diatasnya. Di bawahnya, sejajar dengan kartilago krikoid,
otot cricopharyngeus membentuk UES. Otot ini kontraksi tonik selama
istirahat dan relaksasi saat menelan untuk memungkinkan bolus makanan
masuk ke esofagus(3).
Anatomi Esofagus
Esofagus adalah tabung muskular yang menghubungkan faring dengan
lambung. Esophagus berukuran panjang sekitar 8 inci dan dilapisi oleh
jaringan merah muda yang lembab disebut mukosa. Esophagus berjalan di
belakang trakea dan jantung, dan di depan tulang belakang. Tepat sebelum
memasuki lambung, esofagus melewati diafragma(3).
3
Gambar 2. Anatomi Esofagus
7
Bersamaan dengan ini pula, terjadi penutupan nasofaring sebagai
akibat kontaksi m. levator veli palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.
palatoglosus yang menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh
kontraksi m. palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke
rongga mulut(3).
2. Fase faringeal
Fase faringeal terjadi secara tidak sadar atau refleks pada akhir fase
oral, yaitu perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus. Pada fase
ini, tahap yang paling penting dari pengunyahan terjadi dimana perubahan
faring yang sebelumnya merupakan saluran lewatnya udara atau air
channel (mulai dari nares posterior sampai pintu masuknya laring) menjadi
saluran lewatnya bolus makanan atau food channel (mulai dari ismus
fausium sampai batas atas dari esofagus)(3,5).
Faring dan laring bergerak keatas oleh kontraksi m. stilofaring, m.
salpingofaring, m. tirohioid dan m. palatofaring. Aditus laring tertutup
oleh epiglotis, sedangakan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika,
plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup oleh kontraksi m.
ariepiglotika dan m. aritenoid obligus(3).
Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian udara ke laring karena
refleks yang menghambat menghambat pernapasan, sehingga bolus
makanan tidak akan masuk ke dalam saluran nafas. Selanjutnya bolus
makanan akan meluncur kearah esofagus, karena valekula dan sinus
piriformis sudah dalam keadaan lurus. Proses mekanik pada fase faringeal
dari keseluruhan proses menelan terjadi biasanya dibawah 2 detik(5).
3. Fase esofagal
Fase esofagal juga terjadi secara tidak sadar atau refleks. Fase esofagal
ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke lambung. Dalam
keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya
rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi
relaksasi m. krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus
makanan masuk ke dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka
sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus
8
pada waktu istirahat sehingga makanan tidak akan kembali ke faring
dengan demikian refluks dapat dihindari(3).
Pada esofagus biasanya terjadi 2 tipe gerakan peristaltik: peristaltik
primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer merupakan kelanjutan
dari gelombang peristaltik yang dimulai dari faring menyebar ke sepanjang
esofagus dan berakhir pada lambung. Proses ini berlangsung selama 8-10
detik. Jika gerakan peristaltik primer gagal memasukkan bolus yang
masuk ke esofagus sampai ke lambung, terdapat peristaltik sekunder
akibat distensi dari esofagus itu sendiri dari makanan yang teretensi.
Gelombang peristaltik sekunder akan bertahan sampai seluruh makanan
dikosongkan ke lambung. Peristaltik sekunder ini sebagian diinisiasikan
oleh sirkuit saraf internal dari sistem saraf mienterik dan refleks yang
dimulai dari faring. Sinyal ini kemudian akan ditransmisikan melalui jaras
aferen vagus ke medulla dan dikembalikan lagi ke esofagus melalui jaras-
jaras eferen vagus dan glosofaringeal(5).
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal, dimana
merupakan otot lurik sehingga gerakan peristaltik pada bagian ini
dikontrol oleh impuls saraf dari n. vagus (n. X) dan n. glosofaringal (n.
IX). Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke distal oleh gerakan
peristaltik esofagus sampai ke lambung, dimana merupakan otot polos
yang dikontrol oleh n. vagus melalui koneksi esofagal pada sistem saraf
mienterik(5).
Dalam keadaan istirahat, sfingter esofagus bagian bawah yang
terhubung dengan lambung selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8
mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung, sehingga tidak akan terjadi
regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofagal, sfingter ini akan terbuka
secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk
mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan
lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali(3).
9
Gambar 3. Fase-fase dari proses menelan
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA: DISFAGIA PADA PASIEN STROKE
3.1 Definisi
Disfagia merupakan sensasi subyektif yang biasanya mengacu pada
kesulitan untuk makan sebagai akibat dari gangguan dalam proses menelan
baik makanan cair atau padat dari rongga oral sampai pada lambung. Disfagia
dapat disertai dengan keluhan lainnya, seperti odinofagia yaitu rasa nyeri
waktu menelan, rasa panas di dada, rasa mual, muntah, regurgitasi,
hematemesis, melena, anoreksia, hipersalivasi, batuk, dan berat badan yang
cepat berkurang(1,3).
3.2 Epidemiologi
Disfagia memengaruhi lebih dari 50% penderita stroke yang selamat(6).
Kebanyakan dari pasien-pasien stroke mendapatkan fungsi menelan kembali
dalam waktu 7 hari, dan hanya 11-13% pasien dengan disfagia menetap lebih
dari 6 bulan. Satu studi melaporkan bahwa 80% pasien dengan disfagia
berkepanjangan membutuhkan alternatif lain dalam pemberian makanan(6,7).
Disfagia dapat memberikan dapat yang luas pada kualitas hidup pasien.
Hanya 45% pasien dengan disfagia mengatakan bahwa makan merupakan
kegiatan yang dapat dinikmati, dan 41% pasien dengan disfagia mengatakan
pernah mengalami kepanikan atau kecemasan saat makan. Lebih dari 1/3
pasien menghindar untuk makan dengan orang lain karena disfagia(8).
11
diameter 2,5 cm, gejala disfagia dapat terjadi tetapi keadaan ini selalu
terdapat kalau diameter esofagus tidak dapat berdilatasi melebihi diameter
1,3 cm. Lesi yang melingkar pada dinding esofagus lebih sering
menimbulkan gejala disfagia daripada lesi yang mengenai sebagian dari
dinding esofagus saja, mengingat segmen yang tidak terkena tetap
mempertahankan kemampuannya untuk mengadakan distensi(3,9).
Penyebab disfagia mekanik antara lain(9):
1. Luminal
- Bolus makanan yang besar
- Benda asing
2. Penyempitan Intrinsik
- Keadaan inflamasi yang menyebabkan edema :
a. Faringitis
b. Epiglotitis
c. Esofagitis
Virus
Bakteri
Fungus (kandida)
Penyakit bulosa mukokutaneus
Cedera termal dan kimia
- Selaput dan cincin
a. Faring: sindroma Plummer- Vinson
b. Esofagus: kongenital, inflamasi
c. Cincin mukosa esophagus distal: cincin Schatzki
- Striktur benigna
a. Peptic
b. Inflamasi: penyakit Chron, Candidiasis, Lesi mukokutaneus
c. Iskemia
d. Pascaoperasi
e. Kongenital
- Tumor Maligna
a. Karsinoma primer
Karsinoma sel skuamosa
Adenokarsinoma
12
Karsinosarkoma
Pseudosarkoma
Limfoma
Sarcoma Kaposi
b. Karsinoma metastatic
- Tumor Benigna
a. Leiomioma
b. Lipoma
c. Angioma
d. Polip fibroid inflamatorik
e. Papiloma epithelial
3. Kompresi Ekstrinsik
- Spondilitis servikalis
- Abses dan Massa retrofaring
- Pembesaran kelenjar tiroid
- Divertikulum Zenker
- Kompresi Vaskuler
a. A. Subklavia kanan abnormal (disfagia Lusoria)
b. Aorta sisi kanan
c. Aneurisma aorta
- Massa mediastinm posterior
- Hematoma dan fibrosis pascavagotomi
2. Disfagia esofagus
Disfagia makanan padat tidak hanya muncul apabila lumen esofagus
menyempit sampai menjadi 1,3 cm, tetapi dapat juga terjadi pada lumen
yang besar apabila makanan dikunyah kurang baik dan terdapat disfungsi
motorik. Penyebab struktural dari disfagia esofagus adalah Schatzki’s
rings, eosinofilik esophagitis, dan striktur peptikum. Kelainan pada
gerakan propulsif dari esofagus menyebabkan disfagia esofagus akibat
gangguan gerakan peristaltik dan akibat inhibisi menelan (deglutisi),
terutama esofagus pada bagian servikal dan thoraks(9).
Penyebab umum dari disfagia esofagus meliputi:
1. Akalasia
Hal ini terjadi ketika sfingter esofagus bagian bawah tidak benar-benar
rileks untuk membiarkan makanan masuk ke lambung. Otot-otot di
dinding esofagus sering lemah juga. Hal ini dapat menyebabkan
regurgitasi makanan belum tercampur dengan isi perut, kadang-kadang
menyebabkan untuk membawa makanan kembali ke dalam
tenggorokan(3).
15
2. Proses penuaan
Dengan usia, kerongkongan cenderung kehilangan beberapa kekuatan
otot dan koordinasi yang diperlukan untuk mendorong makanan ke
dalam perut(3).
3. Spasme difus
Kondisi ini menghasilkan beberapa, tekanan tinggi, kontraksi kurang
terkoordinasi kerongkongan biasanya setelah menelan. Spasme difus
pada esofagus adalah gangguan langka yang mempengaruhi otot polos
di dinding esofagus bawah secara involunter. Kontraksi sering terjadi
sesekali, dan mungkin menjadi lebih parah selama periode tahun(3).
4. Striktur esofagus
Penyempitan kerongkongan (striktur) menyebabkan potongan besar
makanan tidak dapat lewat. Persempitan lumen ini mungkin akibat dari
pembentukan jaringan parut, sering disebabkan oleh penyakit
gastroesophageal reflux (GERD), atau dari tumor(3).
5. Tumor
Kesulitan menelan cenderung untuk mendapatkan semakin buruk
ketika terdapat tumor esofagus(3).
6. Benda asing
Terkadang, makanan, seperti sepotong besar daging, atau objek lain
dapat menjadi tersangkut di tenggorokan atau kerongkongan. Orang
dewasa dengan gigi palsu dan orang-orang yang mengalami kesulitan
mengunyah makanan mereka dengan baik mungkin lebih cenderung
memiliki gangguan pada tenggorokan atau kerongkongan. Anak-anak
mungkin akan menelan benda-benda kecil, seperti peniti, koin atau
potongan mainan, yang dapat menjadi terjebak(3).
7. Cincin esofagus
Pada daerah ini terdapat penyempitan di esofagus bagian bawah yang
dapat menyebabkan kesulitan menelan makanan padat(3).
8. Gastroesophageal reflux disease (GERD)
Kerusakan jaringan esofagus dari asam lambung yang naik (refluks) ke
dalam kerongkongan dapat menyebabkan spasme atau jaringan parut
dan penyempitan kerongkongan bawah membuat sulit menelan(3).
16
9. Eosinofilik esofagitis
Kondisi ini, disebabkan oleh kelebihan populasi sel yang disebut
eosinofil di kerongkongan, dapat menyebabkan kesulitan menelan. Ini
mungkin terkait dengan alergi makanan, tetapi sering tidak ada
penyebab yang ditemukan(3).
10. Scleroderma
Penyakit ini ditandai oleh perkembangan bekas luka-seperti jaringan,
menyebabkan kekakuan dan pengerasan jaringan. Hal ini dapat
melemahkan lower esophageal sphincter, sehingga asam lambung
dapat refluks ke kerongkongan dan menyebabkan gejala dan
komplikasi mirip dengan GERD(3).
11. Terapi radiasi
Hal ini pengobatan kanker dapat menyebabkan peradangan dan
jaringan parut pada kerongkongan, yang dapat menyebabkan kesulitan
menelan(3).
17
berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari
beberapa faktor, yaitu(3):
1. Ukuran bolus makanan.
2. Diameter lumen esophagus yang dilalui bolus.
3. Kontraksi peristaltik esophagus.
4. Fungsi sfingter esophagus bagian atas dan bagian bawah.
5. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah.
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem
neuromuskular mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan
sensorik dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esophagus serta
persarafan intrinsik otot-otot esophagus bekerja dengan baik, sehingga
aktivitas motorik berjalan lancar.
19
2. Ketidaksanggupan membersihkan residu makanan di mulut dapat
disebabkan oleh defisiensi sensori pada rongga mulut dan/atau gangguan
motorik lidah.
3. Karies gigi yang mengakibatkan gangguan distribusi saliva dan
meningkatkan sensitivitas gigi terhadap panas, dingin dan rasa manis.
4. Hilangnya rasa pengecapan dan penciuman akibat keterlibatan langsung
dari saraf kranial.
5. Gangguan proses mengunyah dan ketidaksanggupan memanipulasi bolus.
6. Gangguan mendorong bolus ke faring.
7. Aspirasi cairan sebelum proses menelan dimulai yang terjadi karena
gangguan motorik dari fungsi lidah sehingga cairan akan masuk ke faring
sebelum refleks menelan muncul.
8. Rasa tersedak oleh batuk pada saat fase faring.
Sedangkan gejala yang timbul pada ketidaknormalan fase faringeal
adalah chocking, coughing dan aspirasi. Gejala disfagia orofaringeal adalah
ketidakmampuan untuk menjaga bolus dalam rongga mulut, kesulitan
mengumpulkan bolus di belakang lidah, ragu-ragu atau ketidakmampuan
untuk memulai menelan, makanan menempel di tenggorokan, regurgitasi
nasal, ketidakmampuan untuk mendorong bolus makanan ke dalam faring,
kesulitan menelan makanan padat, sering menelan berulang-ulang, sering
membersihkan tenggorokan, sensasi makanan yang tersangkut di daerah leher
atau dada ketika menelan, suara berkumur (gargly voice) setelah makan, suara
serak, suara bindeng (nasal speech) dan disartria, batuk saat menelan:
sebelum, selama, atau setelah menelan, rasa mual, muntah, menghindari
makan bersama orang lain, berat badan menurun dan pneumonia berulang(3).
3.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
evaluasi diagnostik lanjut (pemeriksaan penunjang) untuk menentukan adanya
disfagia atau tidak pada pasien secara objektif.
- Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap pertama dalam evaluasi. Hal-hal
yang perlu ditanyakan adalah mengenai data pasien terutama usia,
kondisi umum (status nutrisi, fungsionalitas pernapasan), diagnosis
20
neurologis (stabil, rekuren, atau penyakit degeneratif), riwayat
prosedur bedah atau radiasi terutama pada bagian wajah, kepala dan
leher, kondisi pernapasan, status neurologis (tingkat kesadaran, kondisi
neuropsikologis, dan tingkat komunikasi), adanya dispraksia atau
koordinasi buruk dari otot-otot, kebiasaan makan pasien (postur saat
makan, cara pemberian, durasi, jumlah, dan konsistensi makanan),
perubahan kualitas dari fonasi dan artikulasi bicara, adanya
hipersalivasi, batuk, keadaan sosial pasien, serta kualitas hidup
pasien(20).
- Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada awalnya dilakukan secara umum/generalis
seperti monitor tanda-tanda vital, kemudian difokuskan pada
pemeriksaan nervus kranialis, pemeriksaan struktural untuk melihat
kemampuan dari bibir (membuka, menutup, mencucu, pipi
menggembung), lidah (motilitas, protrusi, dan dorongan ke belakang),
rahang, palatum durum (pipi mengembung, vokalisasi kata /a/), laring
(morfologi dan gerakan dari chordae vocalis, penutupan glottis,
keterlambatan faring/elevasi laring), proses mengunyah (adanya
kebocoran, dan transit bolus), kontrol kekuatan otot kepala, refleks
muntah dan refleks batuk, serta kelainan patologis (lidah menggigit,
posisi kebelakang, dan seperti tertelan)(20).
21
keparahannya, memutuskan perubahan yang disebabkannya,
merencanakan rehabilitasi, dan melihat pekembangan hasil dari terapi(20,21).
Carnaby-Mann dan Lenius mendefinisikan pemeriksaan bedside
memasukkan riwayat klinis, dan pemeriksaan menyeluruh mengenai
anatomi oral, faring, dan laring. Pemeriksaan neurologis yang fokus
terhadap fungsi sensorik dan motorik, kognitif, perilaku, kemampuan
bahasa, dan percobaan menelan makanan dapat dilakukan jika terdapat
indikasi klinis.
Pemeriksaan bedside juga dapat menjadi alat skrining disfagia pada
pasien stroke akut. Berdasarkan rekomendasi dari pedoman klinis nutrisi
pada pasien stroke, skrining formal sebaiknya dilakukan pada seluruh
pasien stroke (Rekomendasi B). Begitupun rekomendasi dari pedoman
klinis stroke akut Skrining dilakukan pada pasien stroke akut sebagai
bagian dari pemeriksaan awal atau pada saat kedatangan pasien di rumah
sakit/unit stroke, biasanya beberapa jam setelah masuk rumah sakit.
Terdapat 3 metode yang bisa dipertimbangkan untuk digunakan untuk
evaluasi pasien stroke akut(22):
1. Water-Swallowing-Test (WST)
Beberapa protokol telah memberikan dan mempublikasikan
rekomendasi pilihan banyaknya air yang akan diminum. Bedasarkan
pedoman oleh SIGN (The Scottish Intercollegiate Guidelines Network), 50
ml air yang rutin digunakan untuk WST. Munculnya tanda-tanda klinis
akan adanya aspirasi dan penetrasi, hasil WST dianggap positif. Jika
melalui WST hasilnya negatif, maka pemberian makanan melalui oral
dapat mulai diberikan dan keadaan klinis pasien akan tetap diobservasi
untuk melihat adanya batuk atau infeksi paru-paru(22).
2. Multiple-Consistency Test/Gugging Swallowing Screen (GUSS)
Pemeriksaan ini memiliki kelebihan dibanding WST karena memiliki
rekomendasi penanganan diet yang sesuai dengan klasifikasi derajat berat
disfagia pasien. Hasilnya akan diklasifikasikan dalam kategori berat,
sedang, ringan, dan tidak terdapat disfagia(22).
Cara pemeriksaannya adalah pasien diposisikan setengah duduk
minimal 60 ̊ dan dalam kondisi sadar setidaknya 15 menit. Pemeriksaan
GUSS dibagi menjadi 2 bagian: tes menelan langsung (bagian 1) dan tes
22
menelan tidak langsung (bagian 2). Tes menelan tidak langsung dibagi
menjadi 3 subtes. Keempat subtes ini harus dikerjakan secara runtun.
Pasien harus dapat menyelesaikan seluruh subtes untuk meraih 5 poin di
setiap subtes. Jika nilai subtes < 5, pemeriksaan dihentikan dan dilanjutkan
rekomendasi diet yang sesuai atau dilakukan pemeriksaan penunjang
berikutnya. Nilai tertinggi adalah 20 yang berarti kemampuan menelan
normal tanpa adanya risiko aspirasi(23).
23
klinis untuk menentukan adanya disfagia dan risiko aspirasi dan penetrasi.
Skrining yang dilakukan pada pasien stroke untuk melihat adanya disfagia
sebenarnya bertujuan untuk mengidentifikasi pasien yang dapat menelan
secara aman atau tidak. Skrining bukan merupakan alat diagnostik(24).
Dalam usaha untuk melakukan validasi terhadap alat bantu skrining
disfagia yang spesifik, Antonios dkk. mengajukan penggunaan The Modified
Mann Assessment of Swallowing Ability (MMASA) (Lampiran 2.). Penemuan
awal memperlihatkan bahwa MMASA valid dan dapat dipercaya sebagai alat
skrining pada pasien stroke dengan disfagia yang selamat(25,26).
Selain itu, terdapat juga The Toronto Bedside Swallowing Screening
Test (TOR-BSST) yang merupakan satu-satunya alat skrining yang
mempertimbangkan penilaian dari sensasi faringeal yang dirasakan saat
mengunyah(26).
24
6. Adanya penyakit degeneratif kronik progresif atau sedang pemulihan
dari kondisi yang membutuhkan informasi lebih dalam penanganan
fungsi orofaringeal.
Kontraindikasi dari pemeriksaan menggunakan instrumen(27):
1. Pasien yang tidak stabil untuk toleransi operasi.
2. Pasien yang tidak mampu berpartisipasi dalam pemeriksaan dengan
instrument (misal. penurunan fungsi kognitif, dan ketidakmampuan
untuk mempertahankan kesadaran).
3. Pertimbangan klinis dari tenaga medis/dokter yang merawat yang
mengindikasikan bahwa penilaian dengan instrumen pun tidak akan
mengubah diagnosis.
3.8 Penatalaksanaan
Tatalaksana disfagia pada pasien stroke di Rumah Sakit (RS) pada
awalnya dapat dilakukan skrining fungsi menelan pada saat pasien masuk atau
dalam waktu 24 jam mengikuti protokol(22,29). Skrining fungsi menelan
memberikan informasi hanya untuk membedakan kemampuan menelan
dengan aman atau tidak, tetapi tidak lebih dari itu. Pada saat evaluasi objektif
dengan pemeriksaan, efektivitas dari penanganan dengan pendekatan
kompensatorik juga dilihat untuk memberikan diet yang paling aman tanpa
terlalu merestriksinya. Informasi yang diambil dari penilaian ini juga
digunakan untuk mengembangkan program rehabilitasi berbasis individual(26).
26
Pasien stroke akut masuk
ke Rumah Sakit
Grafik 1. Skrining fungsi menelan pada pasien stroke akut yang masuk
ke Rumah Sakit (RS)(24)
28
Tabel 4. Terapi-terapi yang dapat diberikan pada pasien disfagia(26)
29
Masih banyak pertanyaan berkaitan dengan nutrisi/asupan pasien
stroke dengan disfagia. Dalam 24-48 jam dari onset stroke, pasien harus tetap
terhidrasi dengan baik. Kebanyakan pedoman menyarankan menggunakan
saline intravena untuk menjaga status hidrasi pasien. Rute optimal untuk
pemberian nutrisi dan hidrasi adalah secara oral atau enteral. Jika asupan oral
tidak memungkinkan, maka rute alternatif lain dapat dipertimbangkan. Akan
tetapi, akhir-akhir ini telah berkembang diet berbasis tekstur yang sudah
dimodifikasi, sehingga energy atau usaha yang dibutuhkan pasien tidak terlalu
banyak dibanding dengan diet normal. Penggunaan nasogastric tube (NGT)
pada pasien stroke dengan disfagia masih dapat diterima walau dengan risiko
seperti infeksi/aspirasi, kerusakan bronkus bila salah penempatan. Konsensus
menyatakan bahwa pemasangan NGT harus pada waktu awal sehingga dapat
digunakan juga sebagai jalur pemberian obat(24).
3.9 Komplikasi
Disfagia sangat berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada
pasien pasca-stroke, karena disfagia timbul dengan tingkat keparahan stroke
yang lebih tinggi pula, increases the risk of pneumonia, undernutrition and
associated complications. Pasien dengan tingkat keparahan stroke yang paling
tinggi bertendensi memiliki komplikasi yang lebih banyak dan durasi
perawatan di rumah sakit yang lebih lama. Komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien pasca-stroke akut adalah sebagai berikut(32):
Komplikasi Hasil yang mungkin terjadi
Aspirasi Pneumonia, kematian
Kavum oral Pertumbuhan bakteri yang berlebihan, infeksi candida,
deteriorasi/penurunan fungsi gigi-geligi, kontrol air liur
yang buruk
Asupan oral Gizi kurang (dapat memicu infeksi lain,
ketidakseimbangan elektrolit, sindrom refeeding, dan
dehidrasi yang menyebabkan vena tromboemboli dan
konstipasi)
Feeding tube/ Selang Salah posisi, ulkus faringeal, perdarahan gastrointestinal,
makanan pneumothoraks, fistula bronchopleural, perforasi
30
gastrointestinal, diare, kontrol diabetes yang kurang baik,
perawatan jangka lama
Psikososial Isolasi dari lingkup sosial, depresi, penurunan dari
kepercayaan diri
Tabel 5. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien disfagia(32)
31
BAB III
KESIMPULAN
32
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
33
Stroke Rehabilitation [Internet]. EBRSR; 2016. p. 1–76. Available from:
www.ebrsr.com
11. Galovic M, Leisi N, Muller M, Weber J, Abela E, Kagi G, et al. Lesion
Location Predicts Transient and Extended Risk of Aspiration After
Supratentorial Ischemic Stroke. Stroke [Internet]. 2013 Oct 1 [cited 2018 Feb
27];44(10):2760–7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23887840
12. Momosaki R, Abo M, Kakuda W, Uruma G. Which Cortical Area Is Related to
the Development of Dysphagia after Stroke A Single Photon Emission
Computed Tomography Study Using Novel Analytic Methods. Eur Neurol
[Internet]. 2012 [cited 2018 Feb 27];67(2):74–80. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22189203
13. Zald DH, Pardo J V. The functional neuroanatomy of voluntary swallowing.
Ann Neurol [Internet]. 1999 Sep [cited 2018 Feb 27];46(3):281–6. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10482257
14. Daniels SK, Brailey K, Foundas AL. Lingual Discoordination and Dysphagia
following Acute Stroke: Analyses of Lesion Localization. Dysphagia
[Internet]. 1999 Feb [cited 2018 Feb 27];14(2):85–92. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10028038
15. Kim SY, Kim TU, Hyun JK, Lee SJ. Differences in Videofluoroscopic
Swallowing Study (VFSS) Findings According to the Vascular Territory
Involved in Stroke. Dysphagia [Internet]. 2014 Aug 29 [cited 2018 Feb
28];29(4):444–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24682308
16. Ertekin C, Aydogdu I, Tarlaci S, Turman AB, Kiylioglu N. Mechanisms of
dysphagia in suprabulbar palsy with lacunar infarct. Stroke [Internet]. 2000 Jun
[cited 2018 Feb 27];31(6):1370–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10835459
17. Nicosia MA, Hind JA, Roecker EB, Carnes M, Doyle J, Dengel GA, et al. Age
effects on the temporal evolution of isometric and swallowing pressure. J
Gerontol A Biol Sci Med Sci [Internet]. 2000 Nov [cited 2018 Feb
28];55(11):M634-40. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11078092
18. Li S, Zhou M, Yu B, Ma Z, Chen S, Gong Q, et al. Altered default mode and
34
affective network connectivity in stroke patients with and without dysphagia. J
Rehabil Med [Internet]. 2014 [cited 2018 Feb 28];46(2):126–31. Available
from: http://www.medicaljournals.se/jrm/content/?doi=10.2340/16501977-
1249
19. Li S, Ma Z, Tu S, Zhou M, Chen S, Guo Z, et al. Altered Resting-State
Functional and White Matter Tract Connectivity in Stroke Patients With
Dysphagia. Neurorehabil Neural Repair [Internet]. SAGE PublicationsSage
CA: Los Angeles, CA; 2014 Mar 2 [cited 2018 Feb 28];28(3):260–72.
Available from: http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1545968313508227
20. Singh S, Hamdy S. Dysphagia in stroke patients. Postgrad Med J.
2006;82(968):383–91.
21. Maccarini AR, Filippini A, Padovani D, Limarzi M, Loffredo M, Casolino D.
Clinical non-instrumental evaluation of dysphagia La valutazione clinica non
strumentale della disfagia. 2007;(Table III):299–305.
22. Wirth R, Smoliner C, Jager M, Warnecke T, Leischker AH, Dziewas R.
Guideline clinical nutrition in patients with stroke. Exp Transl Stroke Med.
2013;5(1):14.
23. Trapl M, Enderle P, Nowotny M, Teuschl Y, Matz K, Dachenhausen A, et al.
Dysphagia bedside screening for acute-stroke patients: The gugging
swallowing screen. Stroke. 2007;38(11):2948–52.
24. Smithard DG. Dysphagia Management and Stroke Units. Curr Phys Med
Rehabil Reports [Internet]. Current Physical Medicine and Rehabilitation
Reports; 2016;4(4):287–94. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/s40141-016-0137-2
25. Antonios N, Carnaby-Mann G, Crary M, Miller L, Hubbard H, Hood K, et al.
Analysis of a Physician Tool for Evaluating Dysphagia on an Inpatient Stroke
Unit: The Modified Mann Assessment of Swallowing Ability. J Stroke
Cerebrovasc Dis [Internet]. Elsevier Ltd; 2010;19(1):49–57. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jstrokecerebrovasdis.2009.03.007
26. González-Fernández M, Ottenstein L, Atanelov L, Christian AB. Dysphagia
after Stroke: an Overview. Curr Phys Med Rehabil reports [Internet].
2013;1(3):187–96. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24977109%0Ahttp://www.pubmedcentra
l.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC4066736
35
27. American Speech-Language-Hearing Association. Adult Dysphagia:
Assessment [Internet]. [cited 2018 Feb 27]. Available from:
https://www.asha.org/PRPSpecificTopic.aspx?folderid=8589942550§ion=
Assessment
28. Cecconi E, Piero D. Dysphagia – Pathophysiology , Diagnosis and Treatment.
2012;30:86–9.
29. Hinchey JA, Shephard T, Furie K, Smith D, Wang D, Tonn S, et al. Formal
Dysphagia Screening Protocols Prevent Pneumonia. Stroke [Internet]. 2005
Sep 1 [cited 2018 Feb 28];36(9):1972–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16109909
30. Barritt AW, Smithard DG. Role of Cerebral Cortex Plasticity in the Recovery
of Swallowing Function Following Dysphagic Stroke. Dysphagia [Internet].
2009 Mar 21 [cited 2018 Feb 28];24(1):83–90. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18716838
31. Ludlow CL, Humbert I, Saxon K, Poletto C, Sonies B, Crujido L. Effects of
surface electrical stimulation both at rest and during swallowing in chronic
pharyngeal Dysphagia. Dysphagia [Internet]. NIH Public Access; 2007 Jan
[cited 2018 Feb 28];22(1):1–10. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16718620
32. Beavan J. Update on management options for dysphagia after acute stroke. Int
J. 2015;(April).
33. Smithard DG, O’Neill PA, Parks C, Morris J. Complications and outcome after
acute stroke. Does dysphagia matter? Stroke [Internet]. 1996 Jul [cited 2018
Feb 28];27(7):1200–4. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8685928
36
LAMPIRAN
Lampiran 1
37
Lampiran 2
38