Anda di halaman 1dari 35

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

Meningioma

Disusun oleh:
Frenstan - 01073170175
Hilaschya Easter Nataschya Sagotra - 01073180094
Nova Damayanti - 01073180033
Valleria Vallencia - 0107380069
Wening Dewi Hapsari - 0107380155
Gabriela Kirana Emaputri - 01073180126

Pembimbing :
dr. Petra Octavian Perdana Wahjoepramono, SpBS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE
PERIODE JUNI AGUSTUS 2019
TANGERANG
Daftar Isi

Meningioma............................................................................................................................................. 3
I. Definisi.......................................................................................................................................... 3
II. Epidemiologi............................................................................................................................... 3
III. Klasifikasi.................................................................................................................................... 3
IV. Etiologi dan Faktor Risiko...................................................................................................... 7
V. Patogenesis................................................................................................................................ 10
VI. Anatomi..................................................................................................................................... 15
VII. Manifestasi Klinis................................................................................................................... 16
VIII. Diagnosis................................................................................................................................... 21
IX. Patologi dan Biologi................................................................................................................ 24
X. Diagnosis Banding.................................................................................................................. 26
XI. Tatalaksana.............................................................................................................................. 27
XII. Komplikasi............................................................................................................................... 33
XIIi. Prognosis................................................................................................................................... 34
Daftar Pustaka..................................................................................................................................... 35
Meningioma

I. Definisi

Neoplasma yang sering terjadi pada sistem saraf pusat, dan merupakan tumor
jinak yang berasal dari sel progenitor non-neuroepithelial (arachnoid cap cell) dan
tersusun atas sel neoplastik meningothelial. Arachnoid cap cell memiliki metabolisme
yang sangat aktif berperan dalam resorpsi dari cairan serebrospinal.

II. Epidemiologi

Meningioma merupakan neoplasma primer intrakranial kedua paling sering. Dari


kasus tumor primer otak, 35% merupakan kasus meningioma. Angka kejadiannya
mencapai 2 per 100.000 individu. Estimasinya mencapai 13-26% dari semua tumor
intrakranial. Meningioma yang paling sering adalah meningioma yang jinak (grade I).
Atipikal meningioma (grade II) terdapat 5-7% dari semua kasus, sedangkan meningioma
yang ganas (grade II) yaitu 0.17/100.000/tahun. Sedangkan meningioma multipel terjadi
kurang dari 10% kasus.

Pada dewasa, meningioma lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan dengan
laki-laki, dengan rasio 3:2. Angka kejadian meningioma diestimasikan 2-7/100.000/
tahun untuk wanita dan 1-5/100.000/ tahun untuk laki-laki. Angka kejadian meningioma
meningkat seiring dengan peningkatan usia. Atipikal dan anaplastik meningioma lebih
banyak terjadi pada laki-laki. Pada anak-anak dan remaja, meningioma jarang terjadi
pada semua jenis kelamin dan lebih mengarah kepada subtipe yang agresif. Dapat terjadi
akibat sindrom herediter, seperti Neurofibromatosis tipe-2 (NF-2).
III. Klasifikasi

Lima belas varian meningioma berdasarkan histologis dan sitomorfologis dibagi


menjadi tiga kelompok menurut WHO. Sembilan varian termasuk dalam grade I (jinak),
tiga varian termasuk dalam grade II (atipikal) dan tiga varian termasuk grade III
(malignan). Insidens pada laki-laki sebesar 3.68/100,000 (grade I), 0.26/100,000 (grade
II) dan 0.08/100,000 (grade III). Insidens pada wanita sebesar 8.56/100,000 (grade I),
0.30/100,000 (grade II) dan 0.09/100,000 (grade III).

WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang telah


diketahui, termasuk meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe sel dan derajat
pada hasil biopsi yang dilihat di bawah mikroskop. Penatalaksanaannya pun berbeda-
beda di tiap derajatnya:

A. Grade I
Meningioma tumbuh dengan lambat . Jika tumor tidak menimbulkan
gejala, maka diobservasi dengan MRI secara periodik. Jika tumor semakin
berkembang, maka pada akhirnya dapat menimbulkan gejala, kemudian
penatalaksanaan bedah dapat direkomendasikan. Kebanyakan meningioma
grade I diterapi dengan tindakan bedah dan observasi lanjut.
B. Grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atipikal. Jenis ini
tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan grade I dan mempunyai angka
kekambuhan yang lebih tinggi juga. Pembedahan adalah penatalaksanaan awal
pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya membutuhkan terapi radiasi
setelah pembedahan.

C. Grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma
malignan atau meningioma anaplastik. Meningioma malignan terhitung kurang
dari 1 % dari seluruh kejadian meningioma. Pembedahan adalah penatalaksanaan
yang pertama untuk grade III diikuti dengan terapi radiasi. Jika terjadi rekurensi
tumor, dapat dilakukan kemoterapi.

Tabel 1. Insidens dari dari tipe histologi meningioma

Meningioma juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi dari tumor:

1. Meningioma falx dan parasagital (25% dari kasus meningioma). Falx

adalah selaput yang terletak antara dua sisi otak yang memisahkan
hemisfer kiri dan kanan. Falx cerebri mengandung pembuluh darah

besar. Parasagital meningioma terdapat di sekitar falx.

2. Meningioma Convexitas (20%). Tipe meningioma ini terdapat pada

permukaan atas otak.

3. Meningioma Sphenoid (20%). Daerah Sphenoidalis berlokasi pada

daerah belakang mata. Banyak terjadi pada wanita.

4. Meningioma Olfactorius (10%). Tipe ini terjadi di sepanjang nervus

yang menghubungkan otak dengan hidung.

5. Meningioma fossa posterior (10%). Tipe ini berkembang di permukaan

bawah bagian belakang otak.

6. Meningioma suprasellar (10%). Terjadi di bagian atas sella tursica,

sebuah kotak pada dasar tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitary.

7. Spinal meningioma (kurang dari 10%). Banyak terjadi pada wanita

yang berumur antara 40 dan 70 tahun. Akan selalu terjadi pada medulla

spinalis setingkat thorax dan dapat menekan spinal cord. Meningioma

spinalis dapat menyebabkan gejala seperti nyeri radikuler di sekeliling

dinding dada, gangguan kencing, dan nyeri tungkai.

8. Meningioma Intraorbital (kurang dari 10%). Tipe ini berkembang pada

atau di sekitar mata cavum orbita.

9. Meningioma Intraventrikular (2%). Terjadi pada ruangan yang berisi

cairan di seluruh bagian otak.


Gambar 1 - Lokasi Umum Meningioma

IV. Etiologi dan Faktor Risiko

A. Delesi pada gen Nurofibromatosis 2


Delesi mempengaruhi gen neurofibromatosis tipe 2, yang merupakan
kelainan autosomal dominan, biasanya berhubungan dengan delesi dari lengan
panjang kromosom 22 pada q12. Neurofibromatosis tipe 2 memiliki karakter
dengan kejadian multiple schwannoma, meningioma, dan glioma pada pasien
yang menderitanya. NF2 merupakan tumor suppressor gene yang bekerja melalui
produknya, yaitu, protein merlin (Schwannomin). Merlin berhubungan dengan
molekul protein 4.1 yang berfungsi untuk meregulasi pertumbuhan sel dengan
menghubungkan signal glikoprotein pada permukaan sel dengan jalur signal
intraselular. Diduga juga memiliki fungsi untuk membuat hubungan antara
membran sel dengan aktin sitoskeleton.
B. Ionizing Radiation
Merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya tumor otak. Terapi
radiasi dengan dosis tinggi ataupun rendah menjadi faktor risiko, terutama pada
anak-anak. Radiasi mungkin berhubungan dengan transformasi neoplasma dan
perkembangan tumor melalui produksi dari perubahan base-pair dan gangguan
DNA yang tidak diperbaiki sebelum replikasi DNA. Radiasi di dunia kesehatan
dan dental bisanya diukur dalam grays (Gy). Rendah (<10Gy), sedang (10-20
Gy), dan tinggi (> 20 Gy) dosis terapi memiliki hubungan dengan risiko
meningioma. Dosis rendah radiasi dengan 8Gy, yang digunakan untuk mengobati
tinea capitis dari kulit kepala, ditemukan bertanggung jawab terhadap
meningioma tunggal atau multipel dengan risiko 2.3% setelah periode latensi 35
tahun. Pasien yang menerima radioterapi kranial untuk glioma, leukemia, dan
limfoma atau metastasis cerebral, berkembang menjadi meningioma dalam
paparan radiasi sebelumnya setelah periode 24 tahun. Beberapa tes meningioma
menggunakan dosis tinggi radiasi kranial, ditemukan menjadi atipikal dengan
indeks proliferatif yang tinggi.

Harrison dan tim menyediakan kriteria untuk membedakan meningioma spontan


dari tumor yang disebabkan oleh radiasi dari alat kesehatan.

Kriteria diagnosis untuk radiasi menyebabkan meningioma


C. Reseptor Hormonal
Hal ini didemonstrasikan dengan 2 dari 3 meningioma mengekspresikan
reseptor progesteron pada membran selnya dan lebih banyak terjadi pada pasien
wanita. Pada penelitian terbaru di Finland 88% dari meningioma primer di
Finland, 88% dari meningioma merupakan reseptor progesteron positif, 40%
positif terhadap estrogen, dan 39% pada reseptor androgen. Peran dari hormon
seksual pada pembentukan meningioma masih belum terklarifikasi, tetapi ada
bukti bahwa mungkin progesteron setidaknya berkontribusi terhadap
pertumbuhan dari meningioma dengan PR positif. Peningkatan gejala yang
reversibel dari meningioma selama periode dari peningkatan progesteron relatif,
seperti saat fase luteal dari siklus menstruasi dan selama kehamilan mendukung
hubungan progesteron. Tetapi, hanya sedikit bukti bahwa terpaparnya hormon
dari luar tubuh seperti kontrasepsi hormonal atau hormonal replacement therapy
mungkin meningkatkan perkembangan dari meningioma. Kanker payudara dan
meningioma memiliki beberapa kesamaan yang dapat diduga sebagai keterkaitan.
Kedua tumor tersebut lebih banyak terjadi di perempuan pada 6 sampai 7 dekade
kehidupan, mengekspresikan reseptor progesteron dan estrogen pada membran
selnya, kadang-kadang mengakibatkan overekspresi dari c-myc onkogen dan
menunjukan akselerasi dari perjalanan klinis selama kehamilan. Pasien dengan
kanker payudara, dimana terdapat peningkatan massa intrakranial masih memiliki
kesempatan bahwa massa ini merupakan meningioma. Wanita dengan
meningioma harus dikonsulkan untuk mendapatkan skrining kanker payudara
pada tipe R.

D. Cedera Kepala
Peran dari cedera kepala menjadi meningioma masih diduga, karena masih
belum dapat dijawab dengan tepat. Mekanisme yang potensial dimana terjadi
alterasi lokal dari sawar darah otak dari cedera kepala dengan konsekuensi influks
sitokin, histamin, dan bradikinin dalam jumlah banyak ke ruang ekstravasal.
Penulis menyimpulkan bahwa trauma kepala tidak merupakan etiologi yang
signifikan dari meningioma, dimana meningioma memiliki angka insidensi lebih
tinggi pada wanita, dimana laki-laki bertahan 2-3 kali pada trauma kepala.

V. Patogenesis
A. Growth Factor dan Reseptornya
Growth Factor merupakan protein yang berperan penting dalam
pertumbuhan seluler dan proliferasi. Pada bidang onkologi yang paling penting
adalah PDGF, yang merupakan growth factor yang diproduksi oleh onkogen yang
menstimulasi pertumbuhan. Pada meningioma, growth factor serta reseptor yang
penting adalah PDGF, EGF, VEGF, dan FGF.
1. Platelet Derived Growth Factor (PDGF)
Terdapat empat macam PDGF : PDGF-A, PDGF-B, PDGF-C,
PDGF-D, pada tumor molekul akan dimerize menjadi PDGF AA, PDGF
BB, PDGF AB untuk menjadi bentuk aktif. Semua molekul tersebut
membuat seluler respon menjadi aktif melalui dua reseptor pada
permukaan sel yaitu α dan β. Saat aktivasi oleh ligand (PDGF-BB),
reseptor PDGF-β dimerizes dan melakukan autofosforilasi, membuat
teraktivasinya jalur transduksi. Adanya mitogen-activated protein kinase
(MAPK) dan activated MAPK pada meningioma serebral menjadi
pencetus terjadinya signal mitosis PDGF, yang berkontribusi terhadap
pertumbuhan tumor. Efek dari menurunnya transduksi sinyal ini regulasi
ekspresi gen seperti c-fos protoonkogen yang berkontribusi terhadap
pembentukan tumor. Ekspresi isoform PDGF dan reseptor yang sesuai
pada beberapa meningioma menunjukkan bahwa mereka memiliki jalur
loop otomatis untuk pertumbuhan di mana ligan merangsang reseptor di
sel yang sama.
2. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
VEGF merupakan proangiogenik growth factor yang penting,
berperan tidak diatur dengan pertumbuhan tumor dengan menambahkan
pertumbuhan pembuluh darah ke tumor. Menggunakan ELISA dan PCR
ekspresi VEGF isoform dan faktor stabilitas mRNA HuR meningkat pada
meningioma. Meningkatnya VEGF pada meningioma berhubungan
dengan meningkatnya jumlah peritumoral brain edema (PTBE) dan
tingkat histologis yang lebih tinggi. PTBE dapat menjadi diffuse atau
localized. Dimana tipe diffuse dapat berhubungan dengan endotelial sel
yang pecah pada meningioma dan sangat berhubungan dengan
pertumbuhan yang agresif. Peningkatan ekspresi VEGF dan reseptornya
dapat membuat meningioma menjadi lebih agresif.
3. Epidermal Growth Factor (EGF)
EGF dan reseptornya sangat penting pada banyak tumor sistemik
seperti karsinoma paru. Beberapa studi menunjukan adanya EGF-R aktif
pada sel meningioma. EGF-R yang aktif berinteraksi dengan
phosphorylates Shc, SH2 domain-containing adapter protein yang
mencetus terjadinya signal mitos dari EGF-R ke aktivasi dari jalan signal
Ras. EGF-R meregulasi aktivitas phospholipase C gamma pada sel
meningioma yang membuat terjadinya aktivitas antiapoptosis pada sel
tumor. Studi immunihostokimia menunjukan bahwa EGF-R
immunoreactivity dapat digunakan sebagai prediktor kelangsungan hidup
jangka pendek pada pasien meningioma.

4. Fibroblast Growth Factor (FGF)


FGF memiliki sifat angiogenik dan mitogenik dan memiliki peran
dalam pertumbuhan otonom dan tumorigenesis dari sel meningioma. Studi
imunohistokimia menunjukan bahwa adanya FGF dan FGF-R pada sel
meningioma. Signal dari FGF juga penting untuk pertumbuhan dan
migrasi dari sel endothelial dan tumor.

B. Hormon
Pada beberapa studi menunjukan bahwa hormon seksual memegang peran
penting dalam pertumbuhan meningioma. Meningkatnya pertumbuhan
meningioma pada wanita hamil dan fase luteal dalam siklus menstruasi dengan
regresi pada periode postpartum, menunjukan bukti bahwa steroid hormon seksual
mempengaruhi pertumbuhan meningioma.
1. Reseptor Estrogen
Beberapa studi menunjukan adanya reseptor A estrogen dan
reseptor B estrogen (ER-A dan ER-B) pada meningioma. Reseptor ini
mungkin tidak berfungsi pada semua tumor, dan peran dalam
pertumbuhan meningioma masih kontroversi.
2. Reseptor Progesteron
Studi imunohistokimia menunjukan adanya reseptor progesteron
pada meningioma, reseptor ini dapat dilihat berfungsi dengan teknik kultur
yang rumit. Penggunaannya sebagai target terapi terbatas dalam kasus lesi
atipikal dan anaplastik karena kelangkaan atau tidak adanya reseptor ini,
menghambat pengembangan modalitas perawatan medis.
Ekspresi reseptor progesteron (Pg-R) dapat berhubungan dengan
prognosis pada meningioma. Berkurangnya ekspresi reseptor dapat
dipertimbangkan indikator prognosis buruk dan berhubungan dengan
tingkat kekambuhan yang tinggi dan perilaku biologis yang lebih agresif.
Hal klinis yang lebih buruk dari meningioma dengan rendah atau tidak
adanya Pg-R memiliki hubungan terbalik dengan faktor anti-apoptosis
bcl2 dan indeks proliferasi ki-67 (MIB-1 clone). Pg-R yang rendah dan
tingginya ki-67 dan bcl2 dapat dipertimbangkan sebagai prediksi untuk
terjadinya kekambuhan pada tumor grade I menurut WHO yang sudah
dilakukan reseksi lengkap.
C. Reseptor lain dan Molekul
1. Reseptor Somatostatin
Reseptor somatostatin muncul hampir disemua meningioma,
Reseptor ini menekan pertumbuhan in vitro. Reseptor somatostatin ssT2
muncul pada hampir semua meningioma dan berguna untuk melihat sisa
atau kekambuhan tumor. Analog somatostatin mempengaruhi produksi
VEGF pada meningioma, mempengaruhi edema otak peritumoral
2. Reseptor Dopamin
D1, D2, dan reseptor prolaktin ditemukan pada meningioma ,tetapi
hanya reseptor yang diaktifkan D1 yang ditemukan melalui studi PCR.
3. Endotelin
Merupakan peptida yang bertindak melalui dua jenis reseptor yaitu
ET-A dan ET-B. merupakan growth factor yang penting untuk
meningioma dengan menginduksi sintesis DNA dan angiogenesis.
4. Interferon
Interferon-α (IFN-α) menunjukan efikasi terapi pada pasien
dengan meningioma yang memiliki sisa masa postoperasi, tumor yang
berulang, dan tumor primer yang tidak bisa dioperasi. Mekanisme IFN-α
yang mungkin adalah penghambatan sintesis DNA pada sel meningioma
yang diinduksi oleh PDGF dan EGF.
5. Sitokin
Interleukin-1 (IL1), IL-6, dan onkostatik M telah di observasi
apakah mempengaruhi aktivitas dari sel meningioma. Diduga interleukin
memiliki loop autokrin yang memiliki efek penghambatan pada
pertumbuhan meningioma.

VI. Anatomi

Meningen adalah suatu selaput jaringan ikat yang membungkus enchepalon dan
medulla spinalis. Terdiri dari duramater, arachnoid dan piamater, yang letaknya berurutan
dari superficial ke profunda. Bersama-sama, araknoid dan piamater disebut leptomening.
Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri dari
lamina meningealis dan lamina endostealis. Pada medulla spinalis lamina endostealis
melekat erat pada dinding kanalis vertebralis, menjadi endosteum (periosteum), sehingga
di antara lamina meningealis dan lamina endostealis terdapat spatium ekstraduralis
(spatium epiduralis) yang berisi jaringan ikat longgar, lemak dan pleksus venosus. Pada
enchepalon lamina endostealis melekat erat pada permukaan interior kranium, terutama
pada sutura, basis krania dan tepi foramen occipitale magnum. Lamina meningealis
mempunyai permukaan yang licin dan dilapisi oleh suatu lapisan sel, dan membentuk
empat buah septa, yaitu:
1. Falx cerebri
2. Tentorium cerebella
3. Falx cerebella
4. Diaphragma sellae

Antara duramater dan arachnoid terdapat spatium subdural yang berisi cairan
limf. Arachniod adalah suatu selubung tipis, membentuk spatium subdural dengan
duramater.
Arachnoid bersama-sama dengan piamater disebut leptomeningens. Kedua
lapisan ini dihubungkan satu sama lain oleh trabekula arachnoideae. Antara arachnoid
dan piamater terdapat spatium subarachnoideum yang berisi liquor cerebrospinalis.
Arachnoid yang membungkus basis serebri berbentuk tebal sedangkan yang
membungkus facies superior cerebri tipis dan transparan. Arachnoid membentuk
tonjolan-tonjolan kecil disebut granulation arachnoidea, masuk kedalam sinus
venosus, terutama sinus sagitallis superior.
Lapisan di sebelah profunda, meluas ke dalam girus cerebri dan diantara folia
cerebri. Membentuk tela chorioidea venticuli. Dibentuk oleh serabut-serabut
retikularis dan elastis, ditutupi oleh pembuluh-pembuluh darah serebral. Piamater
terdiri dari lapisan sel mesodermal tipis seperti endothelium. Berlawanan dengan
arachnoid, membran ini ini menutupi semua permukaan otak dan medulla spinalis.

VII. Manifestasi Klinis

Gejala yang dialami tergantung dari lokasi meningioma. Sesuai dengan distribusi
anatomis meningioma dihubungan dengan lokasi arachnoid villi, Lokasi meningioma
ditemukan di semua bagian dari tulang tengkorak, paling sering pada area parasagittal,
diikuti dengan falx, sinus cavernosus, tuberculum sellae (5-10%), lamina cribosa,
foramen magnum, dan zona torcular. Meningioma parasagittal merupakan lokasi paling
banyak pada meningioma (17-20%) dan terjadi paling sering pada lobus frontalis. Dapat
bertumbuh menjadi ukuran yang besar sebelum munculnya gejala, paling sering kejang
Jaksonian pada tungkai bawah atau sakit kepala. Papilloedema dan homonymous
hemianopia merupakan karakter dari anterior parasagittal meningioma yang lanjut. Pada
meningioma falcine tanda klinis sangat bergantung pada area tempat asalnya.
Meningioma yang berasal dari falx anterior biasanya menyebabkan riwayat sakit kepala
yang lama dan atrofi optik, dan perubahan kepribadian yang bertahap dengan apatis dan
dementia. Pasien dengan meningioma pada dasar tulang frontal biasanya mengeluhkan
tentang gangguan penglihatan (54%), sakit kepala (48%), anosmia (40%), perubahan
mental (34%), dan kejang (20%). Pada meningioma yang berada pada tuberculum sellae
adalah kehilangan penglihatan pada satu mata secara tiba-tiba, diikuti dengan kelainan
skrotoma pada mata sebelahnya. Meningioma pada lateral sphenoid wing bisanya
menyebabkan eksoftalmus unilateral tanpa rasa sakit, diikuti dengan kehilangan
penglihatan dan pendengaran unilateral. Tumor yang mendistorsi lobus temporal sering
menyebabkan kejang. Pada meningioma suprasellar, hanya abnormalitas minor
hormonal. Meningioma clinoidal menyebabkan beberapa macam gangguan penglihatan,
palsi saraf kranial, dan eksoftalmus. Meningioma peritorcular ditunjukan dengan gejala
neurologis akibat kompresi dari lobus oksipital atau serebelum, seperti sakit kepala
dengan sakit lokal di daerah oksipital, papilledema, dan defisit lapang homonymous,
ataxia, dismetria, hipotonia, nystagmus. Kejang epilepsi merupakan gejala pertama
terjadi 20-50% dari pasien meningioma.

Meningioma merupakan tumor yang berasal dari sel meningothelial yang


menginvestasikan membran arachnoid. Oleh karena itu, meningioma yang terjadi di luar
parenkim otak adalah tumor ekstra aksial. Pada meningioma malignan, sangat destruktif
dan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan meningioma jinak yang membuat
perbedaan pada perilaku klinis. Paresis tungkai dan sakit kepala merupakan tanda klinis
yang paling sering terjadi. Meningioma menghasilkan berbagai macam gejala neurologis
dari beberapa mekanisme tergantung dari lokasi, ukuran, dan fungsi dari area tersebut.
Tanda dan gejala yang dapat dialami seperti sakit kepala, kejang, perubahan perilaku,
parkinsonism, defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan lapang pandang,
gangguan saraf kranial. Karena meningioma merupakan tumor yang sangat lambat
pertumbuhannya, pasien mungkin memiliki gejala minimal untuk waktu yang lama
sebelum diagnosis dibuat.

Defisit Neurologis Fokal


Terjadi akibat efek masa secara langsung pada struktur sekitarnya, yang
dihancurkan atau mengalami gangguan fungsi. Lokasi dari tumor berhubungan dengan
gejala neurologis yang spesifik seperti sakit kepala, kelemahan otot, kebingungan,
gangguan saraf kranial. Defisit neurologis fokal yang disebabkan meningioma
berhubungan dengan tekanan (saraf kranial, otak, spinal cord) dan dapat diprediksi lokasi
dari meningioma. Banyak meningioma yang timbul dari dasar tengkorak anterior sangat
terlihat pada presentasi dan gejala psikomotorik dan gangguan perilaku terutama
disintegrasi kepribadian. Ketika tumor dekat dengan tengkorak, seringkali mengikis
tulang tengkorak. Kadang-kadang dapat menimbulkan eksostosis pada permukaan luar
tengkorak. Meningioma parasagital dan falcian merupakan lokasi paling sering untuk
meningioma. Meningioma yang timbul dari sepertiga tengah sinus sagital dan falx adalah
yang paling umum dan tampak dengan kejang fokal atau kehilangan fungsi motorik dan
sensorik secara bertahap yang biasanya dimulai pada ekstremitas bawah. Meningioma
yang timbul dari sepertiga anterior cenderung memiliki onset yang lebih berbahaya dan
sering menjadi besar sebelum diagnosis dibuat. Mungkin ada perubahan bertahap dalam
fungsi kepribadian dan mental. Sakit kepala sering terjadi. Convexity meningioma dapat
timbul dari area dura mana pun di atas convexity tetapi lebih sering terjadi di sepanjang
coronal suture dan dekat daerah parasagital. Dapat tumbuh di permukaan dan mungkin
tidak menghasilkan gejala sampai mereka mencapai ukuran besar. Meningioma yang
berada pada lobus parietal pada hemisphere yang dominan menyebabkan sindrom
Gerstmann (acalculia, agraphia, finger agnosia, dan disorientasi kanan dan kiri), pada
lobus parietal yang tidak dominan dapat menyebabkan taktil dan kehilangan penglihatan,
pada tumor lobus oksipital dapat menyebabkan gangguan lapang pandang seperti
homonymous hemianopia.

Meningioma pada jalur penciuman yang berasal dari sel arachnoidal sepanjang
plate cribriform dan frontosphenoid suture dapat secara lambat melebar bilateral dan
menekan lobus frontalis. Gangguan lapang pandang inferior merupakan tanda paling
sering. Meningioma jalur olfaktori menyebabkan sindrom Foster Kennedy dari atrofi
optik unilateral dan kontralateral papilledema. Gejala lain yang dapat dialami seperti
gangguan kepribadian, penurunan fungsi kognitif, gangguan psikiatrik. Meningioma
suprasellar termasuk kehilangan penglihatan, kehilangan penciuman, gangguan mental,
epilepsi, dan sakit kepala. Gejala lain pusing, inkontinensia, tinitus, somnolence, defisit
motorik, mengantuk, dan gangguan endokrinologis juga banyak dialami. Meningioma
tuberculum sellae juga sering terjadi, dan menyebabkan bitemporal hemianopia.
Meningioma sphenoid wing berlokasi diatas lesser wing of sphenoid bone. Ketika
meningioma yang terletak di sphenoid wing tumbuh, mereka dapat berkembang secara
medial ke dinding sinus kavernosa, anterior ke dalam orbit, dan lateral ke dalam tulang
temporal. Pertumbuhan tumor di wing bagian dalam dan orbit paling sering menyebabkan
kerusakan langsung pada saraf optik, yang menyebabkan penurunan ketajaman visual
secara progresif, kehilangan penglihatan warna, terutama cacat sentral pada lapang
pandang, dan cacat pupil aferen. Jika meningioma terus tumbuh dan menekan saraf optik
sepenuhnya, pertama terjadi atrofi optik pada satu mata, kemudian kebutaan terjadi.
Tumor yang tumbuh ke sinus cavernous menyebabkan kerusakan pada saraf kranial
(okulomotor, trochlear, abducens, opthalmic, dan maxilary dari saraf trigeminal), saraf
simpatetik, dan sirkulasi vena. Gejala yang paling terlihat adalah berkembangnya
eksoftalmus unilateral secara lambat. Meningioma klinoidal juga disebut meningioma
sphenoidal medial atau inner wing, muncul dari penutup meningeal dari proses clinoid
anterior. Gejala dan tanda termasuk gangguan visual, keterlibatan saraf kranial (III, IV,
V, VI, dan VII), sakit kepala, dan kejang. Gejala meningioma pada selubung saraf optik
bergantung pada lokasinya di orbit, kanal optik, atau intrakranial, dan biasanya unilateral.
Meskipun pasien biasanya merasakan penglihatan awal yang menurun atau kabur di mata
yang terkena, pada pemeriksaan ketajaman penglihatan bisa normal. Pada tumor dengan
ukuran yang besar, kebutaan berkembang dan diskus optik bengkak atau atrofi optik dan
optociliary shunt vessel pada pemeriksaan funduskopi. Gejala utama dari tumor ini
adalah kehilangan penglihatan dini. Neurofibromatosis tipe II dikaitkan dengan
meningioma, terutama meningioma selubung saraf optik.

Meningioma intraventrikular biasanya terletak pada trigonum ventrikel lateral.


Meningioma ventrikel lateral merupakan silent tumor dengan papilledema, sakit kepala,
kelemahan, perubahan mental, dan gangguan lapang pandang.

Gejala dan tanda meningioma foramen magnum meliputi nyeri leher unilateral,
Lhermitte sign, keterlibatan saraf kranial (glossofaringeal, vagus, dan aksesori), disestesia
dingin, perkembangan defisit motorik dan sensorik dimulai pada satu lengan dan
menyebar ke anggota tubuh lainnya; dan atrofi otot-otot tangan. Pasien juga dapat
menunjukkan gerakan lambat seperti athetosis pada lengan, tangan, dan khususnya jari
karena gangguan dalam pengertian posisi.

Meningioma fossa posterior melibatkan foramen jugularis lebih sering berasal


daritempat lain. Presentasi klinis meningioma foramen jugularis merupakan kombinasi
dari keterlibatan saraf kranial yang lebih rendah (IX, X, XI, dan XII). Pasien-pasien
dengan tumor-tumor ini mungkin juga mengeluh tentang kehilangan pendengaran, tinitus
pulsatil, dan massa telinga tengah.

Meningioma tulang belakang biasanya terletak di daerah thoracic. Gejala yang


dominan adalah nyeri pada pasien dengan meningioma ini. Meningioma spinal dapat
menimbulkan sindrom Brown-Sequard (sensasi nyeri kontralateral yang menurun,
kelemahan ipsilateral, penurunan indra posisi), kelemahan sfingterik, dan akhirnya
quadriparesis atau paraparesis.

Menigkatkan Tekanan Intrakranial


Merupakan efek sekunder dari meningioma dengan ukuran yang besar, terutama
pada meningioma ganas, meningkatnya tekanan intrakranial dapat menyebabkan 3 gejala
yaitu sakit kepala, muntah, dan papilledema. Meningioma yang berasal dari sepertiga
bagian posterior dari parasagittal dan falcian meningioma muncul dengan gejala sakit
kepala atau tanda dan gejala lain dari peningkatan tekanan intrakranial. Memiliki gejala
visual seperti gangguan lapang pandang.

Parkinsonisme
Dapat terjadi di banyak tipe tumor otak, tetapi paling sering berhubungan dengan
meningioma yang berlokasi di sphenoid ridge, parasagittal, dan bagian frontal. Gangguan
fungsional pada sistem nigrostriatal akibat kompresi mekanik kronis oleh sistem pada
tumor otak yang cukup besar merupakan patogenesis dari parkinsonisme. Perluasan
meningioma dan edema peritumoral dapat memainkan peran penting dalam menekan dan
akibatnya mengganggu perfusi daerah ganglia basal. Pengangkatan meningioma secara
keseluruhan secara medis sebagian besar memperbaiki parkinsonisme.

Kejang
Kejang secara signifikan lebih sering terjadi pada pasien dengan neoplasma
primer sistem saraf pusat. Tipe kejang berhubungan dengan bagian otak yang terkena
tumor. Lesi pada lobus temporal sering menyebabkan complex partial seizure, absence,
dan gustarory dan olfaktori aura. Kejang parsial juga sering terjadi pada tumor di daerah
kortikal motorik tambahan dan daerah sensorik somatik kedua.

VIII. Diagnosis

Menigioma sering terlihat pada CT-scan kontras dan CT-scan tanpa kontras Pada
CT-scan tanpa kontras, gambaran meningioma 75% hiperdens dan 14,4% isodens.
Gambaran spesifik dari meningioma berupa enchancement dari tumor dengan pemberian
kontras. Meningioma tampak sebagai masa yang homogen dengan densitas tinggi, tepi
bulat dan tegas. Dapat terlihat juga adanya hiperostosis kranialis, destruksi tulang, udem
otak yang terjadi sekitar tumor, dan adanya dilatasi ventrikel.
Pemeriksaan foto polos kepala sebagai penunjang penyakit meningioma masih
memiliki derajat kepercayaan yang tinggi. Gambaran yang sering terlihat plak yang
hyperostosis, dan bentuk sphenoid , dan pterion.
Kalsifikasi tanpa adanya tumor pada foto polos kepala dapat menunjukkan hasil
false-negatif pada meningioma. Banyak pasien dengan meningioma otak dapat
ditegakkan secara langsung dengan menggunakan CT atau MRI.

A. Computed Tomography (CT Scan)


Pada gambaran CT Scan dapat ditemukan gambaran tumor isodense
hingga hiperdense yang berbatas jelas pada CT Scan tanpa kontras, dan dapat
ditemukan gambaran massa berlobus yang secara homogen terlihat
peningkatan densitas pada CT Scan dengan kontras. Tumor juga memberikan
gambaran komponen kistik dan kalsifikasi pada beberapa kasus. Edema
peritumoral dapat terlihat dengan jelas. Perdarahan dan cairan intratumoral
sampai akumulasi cairan dapat terlihat.Selain itu, bisa juga tampak kalsifikasi,
terlihat melekat pada meninges, perubahan pada tulang di sekitarnya seperti
erosi atau hiperostosis.
Invasi sepanjang dura serebri sering muncul akibat provokasi dari
respon osteoblas, yang menyebabkan hyperostosis.Penelitian histologi
membuktikan bahwa proses kalsifikasi > 45% adalah meningioma.
Gambar 4- Fibrous Meningioma, wanita berusia 69 tahun. Aksial T2-weighted menunjukkan massa
yang relatif hypointense pada falx cerebri, mencerminkan kolagen yang terakumulasi.

Gambar 5– Transitional meningioma pada pria berusia 71 tahun. Gambar aksial T2-weighted
menunjukkan massa dengan iso dan hiperintensitas campuran pada cembung serebral yang tepat,
dengan koeksistensi tipikal dari pola histologi dari meningothelial dan fibrosa
B. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memperlihatkan lesi berupa massa, dengan gejala
tergantung pada lokasi tumor berada. Kelebihan MRI dalam memberikan
gambaran meningioma adalah resolusi 3 dimensi. MRI dapat membedakan
tipe dari jaringan ikat, kemampuan multiplanar, dan rekonstruksi 3D. Pada
MRI dapat ditemukan gambaran terang dan seragam dengan penggunaan
kontras, rongga yang terisi oleh CSF di antara tumor dan jaringan saraf dan
juga edema pada jaringan otak di sekitarnya yang menunjukan invasi melalui
pia mater.

Gambar 6 - Karakteristik MRI Preoperatif Meningioma


a) T-2- weighted MRI memperlihatkan cincin arachnoid lengkap (tanda
panah) dan tanpa udem peritumoral
b) T2-weighted MRI menunjukan cincin arachoid yang menghilang dan
udem peritumoral.
c) T1-weighted gadolinium MRI menunjukkan peningkatan heterogen dan
bentuk tumor yang tidak teratur;
d) T1-weighted gadolinium MRI menunjukan peningkatan homogen dan
bentuk tumor yang teratur
e) Diffusion weighted MRI menunjukan lesi yang hiperintense
f) Diffusion weighted MRI menunjukan lesi yang isotense
Gambar 3 - Meningioma Atipikal dengan Edema Berat
(Kiri) meningioma atipikal dengan edema berat, adanya vena yang mengering dan nekrosis
di sepanjang falx anterior.
(Tengah) meningioma grade I, dengan edema bera dan adanya vena yang mengering dan
tidak adanya nekrosis.
(Kanan) meningioma grade I dengan edema peritumoral ringan dan tanpa adanya
pengeringan vena dan nekrosis.

IX. Patologi dan Biologi

Mayoritas meningioma merupakan neoplasma yang jinak dan tumbuh secara


perlahan yang berasal dari arachnoid cap cells. Ini merupakan kelompok dari WHO
grade I. Pada kelompok WHO II dan III, beberapa subtipe diasosiasikan dengan
proliferasi yang lebih tinggi.

Definisi atipikal meningioma mencakup aktivitas mitotis yang meningkat,


selularitas meningkat, sel kecil dengan ratio nukleus : sitoplasma, nukleoli prominen.
Meningioma anaplastik adalah suatu gambaran histologis keganansan yang melebihi
kelainan yang ditemukan meningioma atipikal yang mencakup penampakan sitologi
keganasan atau tinggi indeks mitosis (20 atau lebih 10 HPF).
Peningkatan ekspresi dari vascular endothelial growth factor (VEGF)
berkolerasi dengan vaskularitas, peritumoral edema dan proliferasi. Peningkatan
ekspresi VEGF dan faktor permeabilitas berkolerasi dengan peningkatan densitas
mikrovessel dan morfologi mikrositik meningioma. Endothelin-1 menstimulasi
neoangiogenesis pada meningioma. Meningioma juga mengekspresikan survivin yang
merupakan inhibitor dari apoptosis. Survivin jarang ditemukan pada jaringan normal
namun overekspresi pada jaringan fetus dan kanker manusia. Ekspresi dari anti-
apoptosis bcl-2 berkurang dengan meningkatnya tumor grade. Aktivasi telomerase
merupakan langkah penting dalam pathogenesis atpikal dan malignan meningioma.
Meningioma mengkespresikan platelet-derived growth factor beta (PDGF-BB) yang
menstimulasi proliferasi sel meningioma via aktivasi jalur
RAF-1-MEK-1-MAPK/ERK. Pada kejadian relaps, terjadi peningkatan dari ki-67,
proliferating cell nuclear antigen (PCNA) dan human telomerase reverse
transcriptase (hTERT). Faktor yang ditemukan pada kasus relaps adalah HER2 dan
cholecystokinin (CKK). Pada meningioma atipikal, protein level cathepsin B dan L
ditemukan lebih tinggi dibandingkan pada meningioma jinak sedangkan protein dan
level mRNA inhibitor stefin dan cystatin C rendah

X. Diagnosis Banding
Meningioma memiliki berbagai diagnosis banding antara lain solitary fibrous
tumor, hemangiopericytoma, gliosarcoma dan metastasis dural. Ini dikarenakan berbagai
lesi neoplastik maupun non-neoplastik dapat secara klinis maupun radiologis mirip
dengan meningioma.

Solitary fibrous tumors adalah neoplasma mesenkimal berbasis dural. Tumor ini
ditemukan pada segala usia dan memiliki predileksi untuk terjadi pada wanita. Lokasi
tumor bisa supratentorial atau infratentorial. Secara histologis ditemukan sel spindel
yang tersusun tanpa pola atau jalinan fasikel, pita kolagen yang jelas dan cabang saluran
pembuluh darah dengan dinding yang tipis. Selain itu, tumor ini menunjukan reaktivitas
CD34 yang difus. Pada CT ditemukan massa hiperdens dan mengandung kalsifikasi.
Pada MRI, massa isointens pada T1 dan T2. pada kebanyakan kasus, ditemukan
peningkatan homogen post-contrast T1.

Hemangiopericytoma merupakan neoplasma pericyte yang berasal dari meninges


yang jarang ditemukan. Neoplasma ini agresif, cenderung terjadi pada rata-rata usia 38-
42 tahun dibandingkan pada meningioma yang biasanya terjadi pada usia 50 tahun,
tingkat kekambuhan yang tinggi dan bermetastasis ekstrakranial. Lokasi
hemangiopericytoma sama dengan lokasi meningioma. Gejala klinis tergantung pada
lokasi dari lesi namun biasanya ditemukan gejala seperti sakit kepala, kejang, gangguan
penglihatan dan kelemahan motorik. Secara histologis ditemukan selularitas tinggi, tumor
vaskular yang terdiri dari pericyte yang mengelilingi kapiler dengan pola bercabang
(staghorn vascularity). Pada CT scan ditemukan lesi dural yang heterogen dan hiperdens
yang tidak berasosiasi dengan kalsifikasi dan hiperostosis seperti pada meningioma. Pada
setengah kasus, ditemukan erosi tulang. Pada MRI, ditemukan gambaran heterogen,
massa isosintense pada T1 dan T2, pembuluh darah internal yang kosong dan secara
heterogen meningkat pada gambar yang ditingkatkan kontras.

Gliosarcoma adalah tumor langka yang mengandung elemen glioma dam


sarcoma. Tumor ini ditemukan pada dewasa paruh baya. Gliosarcoma biasanya
bermetastasis ke lokasi neuroaksis. Gliosarkoma yang diinduksi radiasi muncul pada
tempat paparan radiasi. Pada CT, ditemukan massa padat isodense atau hiperdens yang
terletak perifer, berbatas tegas dan berbentuk bulat atau berlobus dengan peningkatan
heterogen atau cincin dikarenakan komponen berserat. Pada MRI, ditemukan tumor
berbatas tegas dengan penampilan tidak homogen atau kistik yang dikelilingi oleh edema
vasogenik.

Metastasis dural dapat muncul dengan cara ekstensi langsung dari metastasis
tengkorak atau dengan penyebaran hematogen. Metastasis yang sering ditemukan berasal
dari kanker payudara, prostat, adenokarsinoma paru dan karsinoma sel ginjal. Pada MRI
dengan sinyal yang ditingkatkan pada T2, ditemukan dural tail seperti meningioma.
Metastasis dural sering bermanifestasi sebagai lesi soliter yang menunjukan penebalan
dural linear atau lesi nodular, dengan keterlibatan fokal atau difus.

XI. Tatalaksana

Ukuran meningioma yang kecil dan asimptomatik tidak memerlukan intervensi


dan diobservasi melalui MRI rutin. Reseksi dilakukan apabila terdapat meningioma yang
berukuran lebih besar dan menimbulkan gejala. Jika reseksi dilakukan secara komplit
maka pasien dianggap sembuh namun jika tidak, ada kemungkinan untuk berulang.
External-beam RT atau stereotactic radiosurgery (SRS) dapat digunakan pada kasus
dimana tumor tidak dapat direseksi atau hanya sebagian tumor yang dapat dihilangkan.

A. Operasi
Operasi pilihan terapi standart pilihan. Operasi eksisi menyembuhkan
hamper seluruh pasien meningioma. Semakin bersih dari penghilangan tumor,
semakin sedikit kemungkinan untuk terjadinya kekambuhan dan semakin besar
kesempatan untuk sembuh. Tujuan utama dari operasi adalah untuk melakukan
pengangkatan lengkap dari meningioma, termasuk keterlibatan dura dan tulang
yang infiltrate. Tetapi, keputusan untuk dilakukan tindakan operasi diarahkan
dengan riwayat klinis dari pasien, keparahan dari gejala, riwayat natural dari
meningioma, asesibilitas dari tumor dan estimasi keuntungan yang didapatkan
setelah operasi. Teknik microsurgikal dan penggunaan anti edema, obat
antikonvulsi telah memungkinkan banyak kemajuan pada operasi meningioma.
Meningioma harus diambil sangat hati-hati dari otak, dengan menemukan
arachnoid plane dari lipatan dan mencegah tekanan atau traksi apapun ke korteks
dan perdarahan apapun. Menurut Simpson (1957), evaluasi dari operasi reseksi,
dalam ketentuan bedah mengestimasi grade dari reseksi.
Radikal :
Stage 1 : eksisi lengkap, termasuk dura dan tulang, sedangkan eksisi sebagian dari
sinus dilakukan pada kasus invasi sinus
Stage 2 : eksisi lengkap ditambah koagulasi perlekatan dural yang tampaknya
Berulang
Non-radikal :
Stage 3 : eksisi lengkap (tumor solid), tetapi insufisiensi koagulasi dura atau
Eksisi tulang, cth : kasus invasi ke sinus atau dasar tulang tengkorak
Stage 4 : reseksi tidak lengkap, sisa tumor secara makroskopik terlihat
Stage 5 : hanya biopsi

Terdapat reseksi simpson grade 0 yaitu eksisi margin dura sebesar 2-4 cm
sekitar tumor untuk mengurangi kemungkinan kambuh dengan menganggap
pertumbuhan meningioma tunggal merepresentasikan satu-satunya pertumbuhan
pra-dominan yang terlihat di tengah-tengan bidang neoplastik yang luas di dura
mater. Cara lain untuk menggambarkan meningioma adalah dengan mengevaluasi
jaringan autofloresns dengan spektroskopi fluorosensi yang diinduksi laser. Pada
intraoperatif, dapat digunakan sononavigasi dan MRI intraoperatif. Dua belas
persen dari semua meningioma kambuh dalam 5 tahun gross total resection, 19%
kambuh dalam 20 tahun. Seperempat meningioma yang muncul dari dasar
tengkorak tidak dapat secara lengkap direseksi. Tumor yang menginvasi sinus
dural, tulang, struktur vaskular vital seperti sinus kavernous atau saraf kranial
juga dapat dioperasi dengan risiko morbiditas yang signifikan. Meningioma WHO
grade II memiliki tingkat kekambuhan sebesar 29-40% setelah gross total
resection.

Setelah dilakukan reseksi inkomplit, progresnya adalah 30% untuk 5


tahun, 60% untuk 10 tahun dan 90% untuk 15 tahun. Operasi kedua untuk
perkembangan tumor adalah tanda prognostik yang tidak menguntungkan untuk
bertahan hidup.

Suatu sistem penilaian prediktif dibentuk untuk menilai peluang pada


pasien. Ini mempertimbangkan tingkat morbiditas dan rekurensi yang signifikan
setelah reseksi meningioma “di lokasi yang sulit”
Grade 1: meningioma dasar otak yang tidak membungkus atau hanya
membungkus satu nervus kranial atau arteri
Grade 2: meningioma dasar otak yang membungkus satu nervus kranial dan
hingga dua arteri utama
Grade 3: meningioma dasar otak yang membungkus lebih banyak arteri dan saraf.

Tingkat reseksi lengkap pada grade 1 adalah 98.5 dan 96% pasien
mencapai karnofsky performance score (KPS) setidaknya 70. Tingkat reseksi
lengkap pada grade 2 adalah 83% dan kemungkinan untuk mencapai KPS 70
adalah 70%. Tingkat reseksi lengkap pada grade 3 adalah 43% dan kemungkinan
mencapai KPS 70 adalah 60%.
Pengangkatan meningioma secara operatif membutuhkan pemisahan
meningioma dengan jaringan yang sangat tervaskularisasi seperti tulang, dura dan
jaringan otak. Sebagian besar meningioma sangat tinggi akan vaskularisasi.
Dengan demikian, embolisasi pra operasi untuk memfasilitasi pengangkatan
dengan memungkinkan nekrosis intratumoral, mengurangi vaskularisasi dan
kehilangan darah dapat sangat membantu meningkatkan hasil operasi. Origin
arteri meningioma adalah arteri karotid eksternal namun juga dapat berorigin dari
pial. “Anastomoses berbahaya” yang dapat menyebabkan defisit neurologis atau
necroses ekstrakranial harus dipelajari terlebih dahulu sebelum upaya
devaskularisasi pada tumor dilakukan. Tujuan dari pendekatan endovaskular
adalah untuk mencapai lapisan kapilaer tumor, untuk mendearterisasi, sambil
mempertahankan arteri yang yang mensuplai struktur normal dan memastikan
penyembuhan selama periode pasca operasi. Embolisasi juga dapat dijadikan
pengobatan paliatif. Meskipun demikian, terdapat risiko komplikasi iskemik dan
hemoragik yaitu sebesar 3.2% untuk masing-masing komplikasi.

B. Radioterapi
Penanganan meningioma menggunakan radioterapi masih kontroversial
namun dianggap standar pada meningioma atipikal, malignan atau meningioma
berulang. Dosis harian tunggal sebesar 1,8-2,0 Gy hingga dosis total 45 atau lebih
dari 60Gy terbukti efektif pada pasien meningioma reseksi inkomplit dengan
meningkatkan 5 tahun bebas rekuren.

Teknik perencanaan 3D individual dan stereotactically guided conformal


radiotherapy (SCRT) dapat menurunkan volume jaringan yang diradiasi
dibandingkan dengan radiasi konvensional dengan teknik dua dimensi. Selain iut,
teknik ini juga dapat mengurangi toksisitas jangka panjang.
Teknik perencanaan 3D individual dan SCRT memungkinkan
pengurangan volume jaringan normal yang diiradiasi dibandingkan dengan dua
teknik lapangan konvensional yang diiradiasi dan dapat menyebabkan
pengurangan toksisitas jangka panjang. Untuk menentukan area target radiasi
digunakan CT, MRI dan PET. Planning target volume (PTV) adalah clinical
target volume (CTV) ditambah dengan safety margin. Safety margin bergantung
pada tingkat keganasan dan reseksi tumor biasanya 0.5-1cm.

Penggunaan terapi radiasi setelah reseksi pertama meningioma jinak masih


kontroversial namun digunakan dalam kasus reseksi inkomplit atau pada kasus
progresi tumor. Walaupun digunakan secara luas, pedoman penggunaan radiasi
pada kasus tumor WHO grade II dan III, atau kehadiran mutasi NF2 masih
kurang. Kemungkinan neurotoksitas masih tidak jelas seperti dapat
mempengaruhi kualitas hidup, misalnya oleh efek pada hipofisis, saraf kranial dan
fungsi kognitif.

Meningioma yang sudah kambuh sekali, cenderung kambuh lagi dalam


interval yang lebih pendek. Reseksi kedua lebih sulit dibandingkan reseksi yang
pertama. Penggunaan radiasi eksternal dengan total dosis 54Gy (45-70Gy) pada
kasus berulang atau meningioma anaplastik primer menunjukan efektifitas dan
memperlambat proses rekuren. Keuntungan dari penggunaan radiasi untuk
mencegah rekuren dapat dilihat dari laporan tentang radiasi tambahan setelah
reseksi inkomplit pada operasi pertama yang meningkatkan 5-year progression
free survival dari 63% menjadi 78-98% dan dari serangkaian pasien dengan
meningioma yang tidak dapat dioperasi.

Baru-baru ini juga diterbitkan meningioma yang diobati dengan


radioterapi fraksionasi yang menunjukan tingkat kontrol lokal lebih dari 90%
bahkan dalam seri dengan lebih dari 5 tahun masa tindak lanjut. Toksisitas jangka
panjang terjadi kurang dari 10%. Pasien dengan melanoma atipikal dan maligna
yang diobati dengan 1.5 Gy dosis tunggal diberikan dua kali sehari mencapai
60Gy dapat mengakibatkan tingkat toksisitas tinggi (55% grade 3-5 toksisitas).
Pada kondisi seperti meningioma selubung saraf optik, radioterapi stereotaktik
fraksionasi dapat memberikan stabilitas dan terkadang meningkatkan fungsi
penglihatan.

Radioterapi stereotaktik dianggap standar untuk meningioma atipikal,


malignan atau rekuren. Terapi ini dapat diberikan dalam beberapa sesi
menggunakan akselerator linier atau satu sesi sebagai radiosurgery dengan
menggunakan gamma-knife atau akselerator linier. Dikarenakan lokasi dari
tumor, dosis marginal yang diberikan adalah 14Gy. Pada radiosurgery ada
penurunan dosis yang pesat di dekat batas target yang memungkinkan pengobatan
tumor yang terletak dekat dengan organ yang berisiko. Sebagai contoh adalah
jalur optik yang biasanya memiliki dosis toleransi lebih rendah daripada dosis
terapi tumor. Selain itu, radiosurgery juga meminimalisir volume tumor yang
harus diatasi dikarenakan letaknya dekat dengan jaringan kritis. Dengan
demikian, radiosurgery dipilih sebagagi pengobatan dari meningioma berbatas
jelas, kecil, jinak, intrakranial, lebih kecil dari 3 cm dan atau tidak dapat diakses
secara operatif.

Efek samping neurologis pasca radiosurgery pada pengobatan


meningioma pada dasar otak adalah edema disertai sakit kepala, gejala yang
sudah ada sebelumnya memburuk sementara yang biasanya responsif terhadap
korticosteroid, masalah nervus trigeminal, defisit lapang pandang sementara atau
permanen.

C. Terapi medikal
1. Terapi Hormonal
Ekspresi dari reseptor progesteron oleh sel meningioma adalah
tanda prognostik yang menguntungkan dan tidak adanya ekspresi ini
biasanya didampingi dengan perilaku yang lebih agresif. Mifepristone
menginhibisi aktivitas transkripsional reseptor progesteron dengan
mekanisme kompleks pada konsentrasi yang lebih rendah dari progestins.
Efek antiproliferatif mifepristone akan muncul pada pasien dengan
meningioma meningothelial yang sangat berdiferensiasi namun bukan
untuk pasien yang mengalami meningioma multipel rekuren atau atipikal
atau malignan. Efek samping yang ditimbulkan pada pasien oleh pada
penggunaan mifepristone antara lain adalah kelelahan, sakit kepala, dan
hot flushes lebih tinggi dibandingkan yang menggunakan plasebo.
2. Kemoterapi
Data penggunaan kemoterapi untuk meningioma terbatas dan tidak
ditemukan kemoterapi yang efektif. Selain itu, efek samping dari
kemoterapi tidak dapat ditoleransi untuk periode pengobatan yang lama.
Penggunaan hydroxyurea (HU) dapat menghambat pertumbuhan sel
meningioma in vitro dan mencetuskan apoptosis. Ditemukan gambaran
penyusutan meningioma yang bergantung pada dosis pada meningioma
berulang setelah radioterapi termasuk stabilisasi selama 2 tahun pada
pasien denga meningioma ganas. 18/20 pasien dapat merespon terhadapy
hydroxyurea dengan median lebih dari 3 tahun, 2 diantaranya memiliki
respon parsial untuk durasi media 80 minggu. Efek samping yang
ditimbulkan antara lain toksisitas hematologik terutama neutropenia dan
mielosupresi ringan. 11/15 pasien yang diobatin dengan hydroxyurea
memiliki penyakit yang stabil dengan median 11 bulan, 2 diantaranya
berhenti dikarenakan ruam kulit. Pengobatan konkomitan dengan radiasi
55.8-59.4 Gy selama 3 bulan menghasilkan kestabilang penyakit pada
14/21 pasien dengan respon minor radiologi oada 3 pasien. Waktu respon
median adalah 13 bulan. Hydroxyurea dapat digunakan sebagai obat yang
sesuai dan aktif dalam pengobatan meningioma berulang yang
memberikan manfaat klinis dengan menunda perkembangan penyakit.
3. Terapi Angiogenik
Interferon (IFN) aktif melawan proliferasi dari sel meningioma
dengan cara menginhibisi angiogenesis. Efek tercepat dari respon IFN
adalah secepat 7 hari setelah pengobatan atau perubahan dosis yang
ditunjukan dengan pengurangan serapan C-11 methionine oleh
meningioma pada PET scan. Kombinasi IPN dan 5-fluorouracil in vitro
menunjukan hasil yang menjanjikan pada sel meningioma yang dikultur.
Efek samping IFN seperti demam, sindrom seperti flu, kelelahan,
leukopenia, gejala psikiatri dapat ditoleransi untuk periode pengobatan
yang lama. Pada pasien dengan meningioma progresif, IFN alfa dalam
dosis rendah ke sedang dapat menjadi suatu pilihan pengobatan.
Penurunan TGF-beta dalam serum dapat digunakan sebagai penanda
pengganti untuk respon tumor selama terapi IFN.

XII. Komplikasi

Komplikasi operasi termasuk kerusakan jaringan otak di sekitarnya yang normal,


perdarahan, dan infeksi. Tumor akan dapat datang kembali. Risiko ini tergantung
pada seberapa banyak tumor yang telah dioperasi dan apakah itu jinak, atipikal, atau
ganas. Jika tumor tidak dihilangkan sepenuhnya dengan operasi, terapi radiasi sering
direkomendasikan setelah operasi untuk mengurangi risiko itu datang kembali.
XIII. Prognosis

Hampir semua meningioma memiliki prognosis jangka panjang yang baik. Secara
garis besar 5 year survival rate mencapai 80%, 10 tahun mencapai 74-79%, dan 15
tahun setelah diagnosis sekitar 70%. Pada pasien muda, tingkat pertumbuhan
meningioma akan lebih tinggi. Asimptomatik meningioma menunjukan tingkat
pertumbuhan yang lebih rendah, sekitar 60% tidak menunjukan pertumbuhan tumor.
Meningioma malignan dan atipikal memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan meningioma yang klasik. Grading dari histopatologi dan morfologi
papillary, dan hemangioperisitik, ukuran tumor yang besar, indeks mitosis yang
tinggi berhubungan dengan tingkat kekambuhan. Tidak adanya reseptor progesteron
berhubungan dengan indeks mitosis yang tinggi, meningkatkan apoptosis, dan
kekambuhan awal. Kelainan kromosom seperti delesi pada variasi kromosom dan
hilangnya heterogenisitas, berhubungan dengan memendeknya survival dan tingkat
kekambuhan yang tinggi.

Mayoritas, hampir 80% meningioma dapat disembuhkan dengan operasi. 5 year


survival rate secara keseluruhan 69%, 81% untuk pasien yang berusia kurang dari 65
tahun dan 56% untuk pasien dengan usia lebih dari 65 tahun. Mengacu pada tingkat
histologis, estimasi 5 years survival rate mendekati 90%. 5 tahun setelah reseksi
komplit, angka kekambuhan mencapai 3% pada tumor jinak, 38% pada atipikal, dan
78% pada meningioma anaplastik. Pada meningioma yang diobati dengan
radioterapi, dengan atau tanpa operasi sebelumnya memiliki hasil yang lebih baik
meskipun dengan lokasi meningioma yang sulit.
Daftar Pustaka

1. Akira K, Natsuko K, Kouhei K, Kouhei K, Masaki K. Variants of meningiomas : a review of


imaging findings and clinical features. Jpn J Radiol 2016;34:459-469.
2. Black PM. Chapter 7 - Biology of Meningiomas [Internet]. 1st ed. Meningiomas. Elsevier
Inc.; 121-126 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-1-4160-5654-6.00007-6
3. Chourmouzi D. Dural lesions mimicking meningiomas: A pictorial essay. World Journal of
Radiology. 2012;4(3):75.
4. Calvocoressi L, Claus EB. Chapter 4 - Epidemiology and Natural History of Meningiomas
[Internet]. 1st ed. Meningiomas. Elsevier Inc.; 2008. 61-77 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/B978-1-4160-5654-6.00004-0
5. Fyann E, Khan N, Ojo A. Meningioma. In: SA Journal of Article Radiology. SA: Medical
University of Southern Africa; 2004. p. 3-5)
6. Hale AT, Wang L, Strother MK, et al. Differentiationg meningioma grade by imaging
features on magnetic resonance imaging. Jounal of clinical neuroscience. (2017)
https://doi.org/10.1016/j.jocn.2017.11.013
7. Harter P, Braun Y, Plate K. Classification of meningiomas—advances and controversies.
Chinese Clinical Oncology. 2017;6(S1):S2-S2.
8. Lang I, Jackson A, Strang F.A. Intraventricular Hemorrhage Caused by Intraventricular
Meningioma: CT Appearance. Manchester University Medical School. 1995; 30:1378 -1381.
9. Marosi C, Hassler M, Roessler K, Reni M, Sant M, Mazza E et al. Meningioma. Critical
Reviews in Oncology/Hematology. 2008;67(2):153-171.
10. Smith A, Horkanyne-Szakaly I, Schroeder J, Rushing E. From the Radiologic Pathology
Archives: Mass Lesions of the Dura: Beyond Meningioma—Radiologic-Pathologic
Correlation. RadioGraphics. 2014;34(2):295-312.
11. Us O, Kaya D. Chapter 11 - Clinical Presentation of Meningiomas [Internet]. 1st ed.
Meningiomas. Elsevier Inc.; 165-175 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-1-
4160-5654-6.00011-8.

Anda mungkin juga menyukai