PENDAHULUAN
Meningioma adalah tumor yang berasal dari meningen. Meningioma dapat
timbul pada tempat manapun di bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi, umumnya
lebih sering terjadi di intrakranial dibandingkan intraspinal. Kebanyakan meningioma
bersifat jinak (benign), sedangkan meningioma ganas (maligna) jarang terjadi.1,2
Meningioma merupakan neoplasma intrakranial nomor 2 dalam urutan frekuensi
yakni mencapai angka 30% dari keseluruhan tumor intrakranial, dengan angka kejadian
4-5 dari 100,000 penduduk. Meningioma lebih sering dijumpai pada wanita daripada
pria dengan rasio 2:1, terutama pada golongan umur antara 60-70 tahun dan
memperlihatkan kecenderungan untuk ditemukan pada beberapa anggota dalam satu
keluarga. 1,2,3
Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan bagian otak yang
terganggu dan seringkali berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Gambar 1. Lapisan Kepala dan Meningen
(a) (b)
Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan faktor risiko utama terjadinya
meningioma. Radiasi dosis rendah seperti pada pengobatan tinea kapitis maupun dosis
tinggi seperti pada penanganan tumor otak lain (misalnya meduloblastoma)
3
meningkatkan risiko terjadinya meningioma. Radioterapi dosis tinggi berhubungan
dengan terjadinya meningioma dalam waktu yang relatif singkat, antara 5-10 tahun.
Sementara radiasi dosis rendah membutuhkan waktu beberapa dekade sampai timbulnya
meningioma. Tumor yang timbul akibat radiasi cenderung bersifat multipel dan secara
histologis ganas, serta memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk timbul kembali.
Trauma kepala diduga dapat menyebabkan meningioma, namun sampai saat ini belum
ada penelitian lebih lanjut yang dapat membuktikan hal tersebut. 1
Rangsangan endogen dan eksogen via hormonal memainkan peran yang cukup
penting juga dalam timbulnya meningioma. Estrogen dan progesteron diduga
merupakan salah satu penyebab timbulnya meningioma karena angka prevalensi yang
lebih tinggi pada wanita. Reseptor estrogen ditemukan pada meningioma, yakni ikatan
pada reseptor tipe 2 walaupun tingkat afinitasnya terhadap estrogen tidak sekuat
reseptor yang ditemukan pada kanker payudara. Sebagai perbandingan, reseptor
progesteron diekspresikan pada 80% wanita penderita meningioma dan 40% pada pria.
Lokasi ikatan dengan progesteron lebih jarang pada meningioma yang agresif. Cara
kerja reseptor-reseptor ini masih belum diketahui, namun inhibitor estrogen dan
progesteron telah dicoba sebagai terapi walaupun belum ada bukti keberhasilan.1
Infeksi virus seperti SV-40, termasuk dalam patogenesis meningioma, namun
data yang terkumpul hingga saat ini masih belum meyakinkan. Meningioma diduga
timbul melalui proses bertahap yang melibatkan aktivasi onkogen dan hilangnya gen
supresor tumor. Penelitian genetik molekuler telah menunjukan beberapa
penyimpangan, yang paling sering adalah hilangnya 22q pada 80% penderita
meningioma sporadik. Hal ini mengakibatkan hilangnya NF-2 gen supresor tumor yang
berlokasi di 22q11 dan berkurangnya produk protein merlin yang bertanggung jawab
terhadap interaksi sel.1 Sel yang memiliki defek pada merlin tidak dapat mengenali sel
sekitarnya dan terus menerus tumbuh. Beberapa kelainan telah dideteksi pada
kromosom lain, dan diduga beberapa onkogen dan gen supresor tumor terlibat dalam
pembentukan meningioma.2
Beberapa faktor pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor, PDGF,
insulin-like growth factors, transforming growth factor I2 dan somatostatin
diekspresikan secara berlebih dan dapat merangsang pertumbuhan meningioma.
4
Meningioma merupakan tumor yang kaya akan pembuluh darah dan mengandung
VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) dalam konsentrasi yang tinggi. 1
II.3 Klasifikasi
Meskipun pada kebanyakan kasus bersifat jinak, meningioma secara
mengejutkan memiliki karakteristik klinis yang sangat luas. Membedakannya secara
histologis berhubungan erat dengan risiko kejadian berulang yang tinggi. Pada kasus
yang jarang, meningioma dapat bersifat ganas.3
Morfologi seluler, pola pertumbuhan dan keberadaan material ekstraseluler
menjadi dasar diferensiasi dari berbagai sub tipe meningioma secara histologis. Menurut
World Health Organization (WHO) meningioma dikelompokkan menjadi tiga, typical
meningioma sebagai WHO grade I, atypical meningioma sebagai WHO grade II dan
anaplastic meningioma sebagai WHO grade III.3,5
Tabel 1. Pengelompokan meningioma menurut WHO berdasarkan jenis sel dan tingkat keganasannya 3
Grade Designation Meningioma
Grade I Typical Meningothelial, fibrous, transitional, psammomatous,
angiomatous, microcystic, secretory, lymphoplasmacyte
rich, metaplastic
Grade II Atypical Chordoid, clear cell
Grade III Anaplastic Papillary, Rhabdoid
Sekitar 80% dari seluruh meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat.
Variasi histologi yang paling sering terdiagnosa pada regimen patologis adalah
meningioma meningotelial, fibroblastik, dan transisional. Meningioma meningotelial
secara histologis tersusun oleh sel tumor uniform yang membentuk lobulus dikelilingi
oleh septa kolagen tipis. Di dalam lobulus, sel tumor epiteloid memiliki dinding sel
yang menyerupai sinsitium. Pada inti sel terdapat ruangan kosong seperti tidak terisi
karioplasma dan protrusi eosinofil sitoplasma, yang disebut juga pseudoinklusi.
Meningioma fibroblastik terutama disusun oleh sel berbentuk jarum yang menyerupai
fibroblas dan membentuk fasikula saling berpotongan yang tertanam dalam matriks
yang kaya kolagen dan retikulin. Meningioma transisional memiliki ciri-ciri gabungan
dari kedua meningioma sebelumnya dan biasanya muncul dengan gambaran seperti ulir,
5
dimana sel tumor saling membungkus satu sama lain membentuk lapisan konsentrik.
Yang terakhir memiliki kecenderungan untuk berhialinisasi dan berkalsifikasi
membentuk kalsifikasi konsentrik yang disebut badan psammoma (artinya seperti pasir
berdasarkan bentuk mereka yang seperti pasir dan kotor). Tumor yang memiliki banyak
gambaran badan psammoma disebut juga meningioma psammomatosa.3
6
kriteria berikut mengarah pada diagnosis meningioma atipikal, yakni peningkatan
selularitas, perbandingan yang tinggi antara inti dengan sitoplasma, nukleolus yang
menonjol, pertumbuhan tidak berpola, dan fokus nekrosis spontan (bukan karena
emboli). Masalah invasi otak kurang diperjelas dalam skema WHO, meskipun implikasi
klinis yang sama menunjukan bahwa hal ini dapat digunakan sebagai kriteria lain untuk
meningioma atipikal. Tipe meningioma clear-cell dan kordoid dihubungkan dengan
angka kekambuhan yang lebih besar meskipun tidak memenuhi kriteria di atas. Dengan
demikian, meningioma tipe ini digolongkan dalam grade 2 WHO berdasarkan
definisinya. Meningioma clear-cell disusun oleh lembaran sel poligonal dengan
sitoplasma jernih kaya glikogen, positif untuk asam periodat Schiff, dan perivaskular
yang padat serta kolagenisasi interstisial. Meningioma kordoid memiliki daerah yang
secara histologi mirip dengan kordoma, dengan untaian sel-sel tumor epiteloid kecil
yang mengandung sitoplasma eosinofilik atau bervakuola yang tertanam dalam matrix
basofilik kaya musin. Meningioma clear-cell sering timbul pada medula spinalis dan
fossa posterior, sementara meningioma kordoid lebih sering pada daerah supratentorial.
Meskipun fitur genetik yang berkaitan dengan meningioma clear-cell masih belum
diketahui, suatu translokasi yang tidak seimbang pada der(1)t(1;3)(p12-13;q11) diduga
sebagai penanda sitogenetik spesifik untuk tipe kordoid. Namun, penemuan ini masih
harus dibuktikan karena target gen dari translokasi tersebut masih belum diketahui. 3
Meningioma anaplastik (grade 3 WHO) terhitung sebanyak 1-3% kasus dari
keseluruhan kasus meningioma. Tumor ini memiliki karakteristik klinik serupa dengan
neoplasma ganas lainnya, yang dapat menginfiltrasi jaringan sekitarnya secara luas dan
membentuk deposit metastasis. Meningioma anaplastik dikaitkan dengan angka
kekambuhan sekitar 50-80% setelah tindakan reseksi secara bedah dan nilai median
harapan hidup kurang dari 2 tahun. Secara histologis, meningioma anaplastik memiliki
gambaran keganasan dengan index mitosis sebesar 20 atau lebih mitosis per 10 lapang
pandang mikroskopis. Beberapa meningioma anaplastik sulit dikenali sebagai
neoplasma meningotelial karena mereka dapat menyerupai sarkoma, karsinoma atau
bahkan melanoma. Meningioma anaplastik biasanya memiliki daerah nekrosis yang
amat luas. Meskipun demikian, embolisasi terapeutik (iatrogenik) harus dikecualikan
sebagai penjelasan alternatif sebelum dilakukan penilaian. 3
7
Beberapa tipe meningioma secara konsisten dikaitkan dengan perilaku ganas dan
karena itu sesuai dengan grade 3 WHO. Meningioma papiler, yang biasanya menyerang
anak-anak, menunjukan invasi ke otak dan jaringan lokal pada 75% pasien,
kekambuhan sekitar 55%, dan metastasi pada 20% pasien. Meningioma papiler secara
histologi dikenal dari pertumbuhan diskohesif, yang menghasilkan bentuk perivaskuler
pseudopapiler dan struktur yang menyerupai pseudorosette yang mirip dengan
gambaran ependimoma. Meningioma agresif lainnya adalah meningioma rabdoid, yang
mengandung sel rabdoid dengan banyak sitoplasma eosinofilik, nukleus yang terletak
eksentris, dan inklusi paranuklear yang secara ultrastruktur sesuai dengan bundel ulir
dari filamen intermediat. Gambaran rabdoid dan papiler keduanya dapat terlihat sebagai
perubahan yang berprogresi, karena keduanya biasanya timbul pertama kali pada saat
kambuh dan meningkat seiring perjalanan waktu.3
II.4 Tanda dan Gejala
Pasien dengan meningioma dapat menunjukkan gejala dan tanda baik yang
bersifat umum maupun fokal. Gejala umum berarti tidak terlokalisir, dapat berupa nyeri
kepala, kejang, mual dan muntah, perubahan kepribadian serta penglihatan kabur. 5,6
Tanda dan gejala umum
Nyeri kepala
Nyeri kepala adalah gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Sekitar 50%
tumor serebri memberikan gejala ini, bahkan pada beberapa jurnal mencapai angka 60-
70%. Nyeri kepala ini muncul akibat dari peningkatan tekanan intrakranial, yang
nantinya akan menekan bangunan peka nyeri di kranium seperti pachymeninges dan
pembuluh darah di otak, parenkim otak sendiri tidak peka nyeri. Invasi lokal tumor,
inflamasi dan edema, penarikan atau penekanan bangunan peka nyeri oleh tumor juga
berperan dalam timbulnya nyeri kepala. 5
Tipe nyeri kepala yang paling sering ditemui adalah nyeri kepala yang
menyerupai tension type headache, nyeri kepala yang tumpul, seperti diikat atau
ditekan. Lokasi biasanya bifrontal, namun lebih berat pada sisi tumor. Nyeri kepala
yang disebabkan karena peningkatan tekanan intrakranial bervariasi dalam derajad
keparahannya, dapat disertai dengan nausea dan vomitus, serta resisten terhadap
pengobatan analgetik umum. 5
8
Nyeri kepala lebih sering ditemui pada tumor supratentorial bila dibandingkan
dengan tumor infratentorial, serta lebih sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa
muda bila dibandingkan dengan lansia. Hal ini mungkin disebabkan karena pada lansia
telah terjadi atrofi serebri sehingga memberikan ruang kompensasi untuk pertumbuhan
tumor. 5
Muntah
Muntah terjadi saat chemotactic trigger zone di area postrema, yang berlokasi di
dasar ventrikel 4 terstimulasi. Muntah biasanya mengindikasikan adanya peningkatan
tekanan intrakranial, tetapi dapat juga muncul sebagai akibat dari kompresi langsung
pusat muntah pada ventrikel 4. Dapat juga ditemukan pada kasus tumor di batang otak
yang melibatkan nucleus solitaries, tanpa disertai peningkatan tekanan intrakranial.
Nyeri kepala akut yang diikuti episode muntah mengindikasikan peningkatan tekanan
intrakranial. Muntah proyektil, biasanya dijumpai pada kasus tumor fossa posterior pada
anak-anak, namun jarang ditemukan pada dewasa. 5
Papil edema
Seperti halnya nyeri kepala, papil edema jarang dijumpai pada lansia. Hal ini
dapat disebabkan karena pada lansia seringkali telah terjadi atrofi serebri sehingga
memberikan ruang lebih untuk pertumbuhan tumor, namun juga mungkin disebabkan
karena telah terjadi fibrosis dari selubung nervus opticus yang menyebabkan tekanan
intrakranial tidak dapat diteruskan ke diskus. Papil edema sebagai akibat dari
peningkatan tekanan intrakranial biasanya bilateral, walau mungkin asimetris. Beberapa
kondisi seperti tumor lobus frontalis atau meningioma olfactory groove dapat
menimbulkan kondisi yang disebut sindroma Foster Kennedy, dimana terjadi papil
atrofi pada sisi tumor sebagai akibat dari kompresi lokal yang kronis, serta papil edema
pada sisi lainnya sebagai akibat dari peningkatan tekanan intrakranial. 5
Kejang
Beberapa pasien dengan tumor otak memberikan gejala berupa kejang baik pada
awal perjalanan penyakit maupun pada akhir akibat progresifitas tumor. Sekitar 38%
pasien dengan meningioma memberikan gejala berupa kejang, terutama meningioma di
konveksitas, sedangkan meningioma pada basis cranii jarang menyebabkan kejang.
Semua kejang sebagai akibat dari tumor memiliki fokus. Kejang umum pada
tumor otak pun didahului oleh kejang fokal, namun seringkali perubahan bentuk kejang
9
dari parsial menjadi umum berlangsung sangat cepat sehingga lingkungan sekitar
penderita hanya melihat pada saat penderita sudah mengalami kejang umum. 5
Gejala lain yang muncul ditentukan oleh lokasi tumor, dan biasanya disebabkan
oleh kompresi atau penekanan struktur neural penyebab.5,6
- Meningioma intraventrikular, timbul dari sel araknoid pada pleksus koroidales dan
terhitung sekitar 1% dari keseluruhan kasus meningioma. 1
Gejala meliputi
gangguan kepribadian dan gangguan ingatan, sakit kepala hebat, pusing seperti
berputar.5
- Selain itu dapat juga terjadi hidrosefalus komunikans sekunder akibat peningkatan
protein cairan otak. 1
Tabel 3. Manifestasi klinis fokal meningioma berdasarkan parenkim otak yang terlibat
(Diadaptasi dari DeAngelis) 7
Lokasi Manifestasi Klinis
Lobus frontal Hemiparesis kontralateral
Kejang, fokal (kontralateral) dan umum
Afasia (hemisfer dominan)
Gait apraxia, inkontinensia, demensia (keterlibatan
bilateral)
Perubahan perilaku
Alien limb syndrome (kortex motorik tambahan)
Lobus parietal Gangguan sensorik kontralateral
Kejang, terutama sensorik
Agnosia
Afasia
Lobus temporal Kejang, parsial kompleks, umum, olfaktori
Perubahan perilaku
Gangguan memori
Manifestasi psikiatri
Afasia (hemisfer dominan)
Defek lapangan pandang
Lobus occipital Gangguan lapangan pandang
Gangguan penglihatan
Corpus callosum Perubahan perilaku
Gangguan memori (posterior)
Demensia
Thalamus Gangguan sensorik kontralateral
Afasia
Perubahan perilaku
Ganglia basalis Hemiparesis kontalateral
Gangguan gerak
Sella turcica, hipofisis, nervus Gangguan endokrin
12
opticus Defek penglihatan, hemianopsia bitemporal (kiasma
optikum)
Oftalmoplegi (sinus cavernosus)
Mesensefalon, glandula pineal Abnormalitas pupil
Paresis gerakan bola mata vertikal
Pons, Hemiparesis
Medulla oblongata Gangguan sensorik
Ataxia
Abnormalitas Nn. craniales
Cerebellum Ataxia, Nistagmus, Vertigo
13
(a) (b) (c) (d)
Gambar 6. Gambaran MRI berbagai meningioma (a) konveksitas, (b) suprasella, (c) sphenoid wing, (d)
en plaque, (e) olfactory groove, (f) intraventrikuler, (g) falx dan para sagittal, (h) fossa posterior. 8
Pada MRI, tumor terlihat isointens pada 65% kasus dan hipointens pada sisanya
jika dibandingkan dengan jaringan otak normal.1 Kelebihan MRI adalah mampu
memberikan gambaran meningioma dalam bentuk resolusi 3 dimensi, membedakan tipe
jaringan ikat, kemampuan multiplanar dan rekonstruksi. MRI dapat memperlihatkan
vaskularisasi tumor, pembesaran arteri, invasi sinus venosus, dan hubungan antara
tumor dengan jaringan sekitarnya.
Gambar 7. Rekonstruksi 3D
meningioma suprasella (a) potongan
axial, (b) potongan sagittal.9
14
Gambar 8. Arteriografi
meningioma pre dan post
embolisasi
(a) MRI T2 meningioma
konveksitas potongan
sagittal,
(b) angiografi,
menunjukan
meningioma memiliki
vaskularisasi yang sangat
kaya,
(c) mikrokateter
dimasukkan (tanda panah
hitam) untuk mencapai a.
meningea media yang
memvaskularisasi tumor,
(d) setelah embolisasi tak
tampak lagi vaskularisasi
pada tumor. 10
II.6 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis meningioma dapat ditegakan, permasalahan berikutnya adalah
memutuskan diperlukan tindakan pembedahan atau tidak. Beberapa meningioma sering
timbul tanpa gejala, hadir tiba-tiba dengan kejang, atau melibatkan struktur tertentu
sehingga reseksi hampir mustahil dilakukan. Tumor jenis ini tidak memerlukan
intervensi segera dan dapat dipantau bertahun-tahun tanpa menunjukan pertumbuhan
yang berarti. Jika pasien menunjukan gejala yang signifikan seperti hemiparesis, atau
ada progresi yang jelas terlihat melalui pencitraan radiologi, maka diperlukan intervensi
segera. Sampai saat ini, penatalaksanaan yang paling penting adalah dengan
pembedahan. 1,11
15
STATUS KAPABILITAS FUNGSIONAL
PERFORMANS
100 Normal, tidak ada keluhan
90 Dapat melakukan aktivitas normal, gejala minimal
80 Aktivitas normal dengan upaya, tampak gejala atau tanda penyakit
70 Dapat melakukan perawatan diri, tidak bisa melakukan aktivitas
normal, atau kerja aktif
60 Kadang perlu bantuan
50 Memerlukan bantuan dan perawatan medis
40 Disabilitas, perlu perawatan dan bantuan khusus
30 Disabilitas berat, perlu perawatan rumah sakit, tidak ada ancaman
kematian
20 Sakit berat, perlu perawatan rumah sakit dan perawatan suportif
10 Proses progresif, perburukan cepat
0 Meninggal
Diambil dari : Harrison Neurology in Clinical Medicine
II.6.1 Pembedahan
Tumor ini jinak dan tumbuh lambat dengan angka pertumbuhan tumor kurang
dari 1 cm3 per tahun. Terapi hanya dengan mengangkat tumor secara total, beserta
duramater tempat perlekatannya. Pada dasar tengkorak, duramater tak mungkin
diangkat dan hanya dapat dilakukan elektro-koagulasi. Pada lokasi tertentu seperti
klivus dan regio parasella, pengangkatan total sulit meskipun dengan bantuan
mikroskop, karena adanya perlekatan tumor dengan struktur pembuluh darah dan saraf-
saraf kranial di sekitarnya. Demikian pula pada lokasi parasagital, karena perlekatan
atau invasi tumor pada sinus sagitalis superior. Kesulitan pada operasi meningioma
dipengaruhi oleh lokasi, ukuran, dan konsistensi tumor, adanya perlekatan tumor pada
struktur saraf dan vasa di sekitarnya, dan pada tumor yang sebelumnya pernah dioperasi
dan/atau memperoleh radioterapi. 11
Pemeriksaan arteriografi karotis eksterna dapat membantu mengetahui
pembuluh nadi yang memasok tumor, memberikan gambaran pendarahan/vaskularisasi
tumor, serta menentukan patensi sinus-sinus duramater yang diinfiltrasi oleh tumor.
16
Untuk meningioma dengan vaskularisasi yang amat berlebihan, tindakan embolisasi
pra-operasi dapat membantu mengurangi perdarahan saat operasi. Embolisasi sangat
diperlukan pada tumor-tumor yang lokasinya sedemikian sehingga pembuluh darah
pemasok tumor hanya dapat dijangkau pada fase akhir tindakan operasi. Dan operasinya
harus dikerjakan segera setelah embolisasi agar tidak terjadi rekanalisasi ataupun
neovaskularisasi. Untuk meningioma di supratentorial, persiapan operasi harus
mencakup pemberian kortikosteroid beberapa hari sebelum operasi guna mengurangi
edema perifokal, dan segera setelah operasi diberikan terapi antikonvulsan dan H2
antagonis. 11
Morbiditas dan mortalitas pada operasi meningioma pada umumnya berkaitan
dengan retraksi jaringan otak selama operasi. Dan cara terbaik untuk mengurangi
retraksi adalah dengan menghindarinya. Hal ini dapat dicapai dengan mengangkat
tumor melalui pendekatan dari dasar tengkorak, misalnya pendekatan “fronto-orbito-
zigomatic” pada meningioma di krista sphenoidalis sampai ke regio parasella. Dengan
teknik operasi skull base atau basis kranii ini, jaringan tulang dikurangi untuk
menghindari retraksi pada jaringan otak (Jane, Sen-sekhar, Al Mefty, De Monte-Al
Mefty). 11
Penatalaksanaan Post Operasi
Penatalaksanaan post operasi setelah eksisi meningioma melibatkan manajemen
rutin setelah kraniotomi dengan perhatian utama untuk meminimalkan edema serebral.
Terapi steroid diberikan segera dan secara bertahap dosis diturunkan. Penanganan
diarahkan untuk mencegah hidrasi berlebihan dan perawatan pasien dengan elevasi
kepala untuk mengatur venous return. Defisit neurologis yang terjadi harus ditangani
sesegera mungkin dan CT scan dapat menemukan penyebab patologisnya, misalnya
perdarahan post operasi dan edema serebri.11
II.6.2 Radioterapi
Indikasi dilakukannya terapi radiasi adalah tumor residual / sisa setelah tindakan
pembedahan, tumor berulang, dan riwayat atipikal atau maligna. Radioterapi digunakan
sebagai terapi primer jika tumor tidak dapat dicapai melalui pembedahan atau ada
kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan. Regresi total terlihat pada 95% pasien
dalam 5 tahun pertama dan 92% dalam 10 dan 15 tahun setelah dilakukan radioterapi
dengan atau tanpa eksisi subtotal. Angka regresi tumor untuk 10 tahun pada pasien yang
17
dilakukan kombinasi reseksi subtotal dan radiasi adalah 82%, sementara pada pasien
yang hanya dilakukan reseksi subtotal adalah 18%. Waktu kekambuhan sekitar 125
bulan pada pasien yang mendapat terapi kombinasi dan 66 bulan pada pasien yang
menjalani reseksi subtotal saja. Pada tumor malignan, angka harapan hidup 5 tahun
setelah pembedahan dan radiasi adalah 28%. Angka kekambuhan tumor maligna adalah
90% setelah reseksi subtotal dan 41% setelah terapi kombinasi.1
II.6.3 Terapi Medis
Interferon saat ini sedang diteliti sebagai inhibitor angiogenesis. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah yang mensuplai
tumor. Interferon dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kekambuhan dan
meningioma maligna. Hidroxyurea dan obat-obat kemoterapi lain diyakini dapat
memulai proses kematian sel atau apoptosis pada sebagian meningioma. Namun pada
uji coba klinis, obat ini dianggap gagal karena meningioma bersifat kemoresisten.
Inhibitor dari receptor progesteron seperti RU-486 juga sedang dievaluasi sebagai
pengobatan untuk meningioma. Namun percobaan klinik terbaru, RU-486 tidak
menunjukan perbaikan apapun. Begitu juga dengan terapi antiestrogen yang tidak
menunjukan perbaikan nyata ssecara klinis pada percobaan. Beberapa agen molekular
seperti penghambat receptor faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth Factor
Receptor / EGFR), inhibitor receptor faktor pertumbuhan derivat platelet (Platelet
Derived Growth Factor Receptor / PDGFR), dan penghambat tirosin kinase masih diuji
coba secara klinis. Kebanyakan uji coba ini terbuka untuk pasien dengan meningioma
yang tidak dapat dioperasi atau yang mengalami kekambuhan.
Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengontrol edema sekitar tumor namun
tidak dapat digunakan dalam jangka panjang karena efek sampingnya yang
merugikan.1,14,15,16
II.7. Prognosis
Prognosis meningioma pada umumnya didasarkan pada grading meningioma
menurut WHO dan klasifikasi reseksi meningioma menurut Simpson.
Tabel 4. Prognosis meningioma berdasarkan grading WHO 11
Tumor 3-year 5-year 10-year
Subtype survival rate survival rate survival rate
18
Benign 86.6% 74.5% 67.2%
Atypical 66.6% 58.3% 33.3%
Malignant 33.3% 8.3% 0%
19
perlekatannya dengan dura , atau perluasan ekstra dural lainnya
Derajat IV Reseksi parsial
Derajat V Dekompresi ringan (biopsi)
LAPORAN KASUS
20
Meningioma
Moderator : dr. Rahmi Ardhini, Sp.S(K)
Oleh Anugraheni Putri Sujiwa
I. IDENTITAS PENDERITA
• Nama : Ny. K
• Umur : 45 tahun
• Status : Kawin
• Alamat : Semarang
• Pendidikan : Tamat SMP
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• No. Rekam Medik : C925709
• Masuk RS : 04 April 2022
• Keluar RS : 24 April 2022
MASALAH
NO MASALAH AKTIF TGL TGL
INAKTIF
21
9. Hipoalbuminemia (3.3) 20-4-22
• Kronologis :
+/- 3 bulan SMRS pasien mengeluh nyeri kepala, nyeri cekot-cekot hilang
timbul di kepala sisi kanan, pasien mengatakan keluhan nyeri kepala hilang jika
pasien minum obat anti nyeri yang di beli dari apotek tetapi pasien lupa nama
obatnya. Kelemahan anggota gerak (-), mual (-) muntah (-), bicara pelo (-),
merot (-), kejang (-), pandangan kabur/ganda (-), kesemutan (-), tebal sesisi
tubuh (-). Pasien masih dapat melakukan aktivitas seperti biasa. Makan dan
minum dbn. BAB dan BAK dbn.
+/- 2 bulan SMRS nyeri kepala dirasakan bertambah sering muncul, nyeri
diraskaan cekot-cekot terus menerus di seluruh kepala, pasien mengatakan
keluhan nyeri kepala tidak berkurang jika pasien minum obat anti nyeri yang di
beli dari apotek, keluhan disertai kelemahan anggota gerak sisi kiri, masih
mampu melawan tahanan ringan, mual (-) muntah (-), bicara pelo (-), pandangan
kabur (-), kejang (-), kesemutan (-), tebal sesisi tubuh (-). Menurut keluarga,
pasien beraktifitas terbatas dan mudah lupa, seperti menanyakan apakah sudah
minum obat, makan, lupa menaruh benda, dan menggunakan baju sering terbalik
- balik. Pasien lalu berobat ke poli saraf RS Panti Wilasa dan mendapatkan obat
anti nyeri (parasetamol 500 mg/8jam, vit b complex 1tab/12jam), setelah minum
22
obat keluhan nyeri kepala membaik. Pasien dapat beraktivitas kembali berjualan
ayam. Makan dan minum dbn. BAB dan BAK dbn.
+/- 2 minggu SMRS pasien masih mengeluh nyeri kepala semakin memberat,
cekot-cekot terus menerus di seluruh kepala, pasien mengatakan keluhan nyeri
kepala tidak berkurang meskipun minum obat dari RS Panti Wilasa namun
keluhan tidak membaik, pasien juga mengeluh kelemahan anggota gerak sisi
kanan, masih bisa melawan tahanan, sisi kiri kurang tangkas, mual (+) muntah
(-), demam (-), bicara pelo (-), pandangan kabur (-), kejang (-), kesemutan (-),
tebal sesisi tubuh (-), pasien sudah tidak dapat mengerjakan aktivitas seperti
biasa. Makan dan minum dbn. BAB dan BAK dbn.
+/- 1 minggu SMRS pasien masih mengeluh nyeri kepala cekot-cekot di seluruh
bagian kepala, kelemahan anggota gerak masih dirasakan namun lebih berat sisi
kanan, tangan kanan hanya mampu diangkat tapi tidak dapat melawan tahanan
ringan, sedangkan kaki kanan mampu diangkat tapi tidak lama, masih sering
lupa, memakai baju sering kebalik-balik, sering bingung, mual (+) muntah (-),
mulai bicara pelo (+) masih nyambung, pandangan kabur (-), pandangan ganda
(-) kejang (-), kesemutan (-), terasa tebal sesisi tubuh (-). BAK dbn dan BAB
kadang sulit. Pasien kontrol kembali ke RS Pantiwilasa dan dilakukan MSCT
Kepala dikatakan terdapat tumor di kepala, lalu pasien dirujuk ke RSDK untuk
penanganan lebih lanjut.
• Faktor memperingan : -
• Faktor memperberat : -
• Gejala penyerta : Mual (+), Nyeri kepala, mudah lupa
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Tumor / benjolan (-)
Riwayat Trauma Kepala (-)
Riwayat penggunaan KB suntik 3 bulan selama 15 tahun (+)
3. Riwayat Penyakit Keluarga
• Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan seperti pasien
4. Riwayat Sosial Ekonomi
23
• Pasien seorang pedagang ayam, suami bekerja serabutan, anak dua masih belum
mandiri. Pembiayaan menggunakan BPJS
• Kesan : sosial ekonomi kurang
24
Paru
• Inspeksi : simetris statis dinamis.
• Palpasi : stem fremitus kanan = kiri.
• Perkusi : sonor seluruh lapangan paru.
• Auskultasi : vesikuler, ronkhi basah halus (-), wheezing (-)
• Perut : supel, peristaltik (+) normal, hepar dan lien tidak teraba membesar.
• Status gizi :
• TB : 155 cm
• BB : 55 Kg
• BMI : 22.89 (normoweight)
3. Status Psikikus
• Cara berpikir : realistis
• Perasaan hati : euthyme
• Tingkah laku : aktif
• Ingatan : baik
• Kecerdasan : cukup
4. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4M6V5 VAS : 2-3
• Kepala : simetris, mesosefal
• Mata : pupil bulat, isokor ø 3/3 mm, refleks cahaya (+/+), visus ODS >
3/60
• Leher : kaku kuduk (-), pembesaran Nn. Li (-)
• Nn. Craniales : Paresis N.VII dan N. XII dextra sentral
• Motorik
Superior Inferior
Gerak Menurun/ Menurun/menurun
menurun
Kekuatan 333/444 333/444
Tonus n/n n/n
Trofi e/e e/e
Refleks fisiologis +++/+++ +++/+++
Refleks patologis +HT/+HT +BC/+BC
25
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : BAB dan BAK (+) dalam batas normal
• Gerakan abnormal
• Tremor : (-)
• Athetose : (-)
• Mioklonik : (-)
• Khorea : (-)
• Koordinasi, gait dan keseimbangan
• Cara berjalan : sulit dinilai
• Tes Romberg : sulit dinilai
• Disdiadokinesis : sulit dinilai
• Ataksia : sulit dinilai
• Rebound phenomen : sulit dinilai
• Dismetri : sulit dinilai
26
Glukosa Sewaktu 96 mg/dL 74 – 106
Ureum 9 mg/dL 15 – 39
Creatinin 0.82 mg/dL 0.60 – 1.30
Elektrolit
Natrium 142 mmol/L 136 – 145
Kalium 4.0 mmol/L 3.5 – 5.1
Chlorida 102 mmol/L 98 – 107
Calsium 2.4 mmol/L 2.12-2.52
Magnesium 0.94 mmol/L 0.74-0.99
Osmolaritas : 293,6 mOsm Fluid Deficit : -
Kesan:
- Cor tidak membesar
- Pulmo tak tampak kelainan
V. RESUME
Seorang perempuan usia 45 tahun dengan nyeri kepala ± 3 bulan SMRS terutama pada
kepala sisi kanan, nyeri kepala masih dapat hilang dengan obat pereda nyeri dan nyeri
kepala memberat bila pasien aktivitas berlebihan (kelelahan).
± 3 bulan SMRS pasien mengeluh Nyeri kepala masih dirasakan pasien di kepala sisi
kanan, pasien hanya minum obat pereda nyeri kepala dan keluhan membaik.
± 2 bulan SMRS pasien mengeluhkan nyeri kepala cekot-cekot semakin berat di seluruh
bagian kepala dan tidak mereda dengan minum obat. Nyeri kepala semakin memberat
ketika pasien melakukan aktivitas. Pasien berobat ke poli saraf RS Siloam, diberikan
obat dan keluhan membaik. Keluarga mengatakan sejak itu pasien mudah lupa.
+ 2 minggu SMRS, pasien mengeluh nyeri kepala cekot-cekot terus menerus di seluruh
bagian kepala, nyeri kepala tidak berkurang dengan minum obat, pasien berobat
kembali ke RS Panti Wilasa. Kelemahan anggota gerak sisi kiri (+) diikuti dengan
kelemahan anggota gerak sisi kanan (+).
Pemeriksaan fisik :
KU : tampak sakit sedang
TTV : TD:119/76 mmHg, N: 94 x/menit, RR: 20x/menit, t : 36,3° C
Status neurologis :
28
Kesadaran : GCS E4M6V5 VAS : 2-3
• Kepala : simetris, mesosefal
• Mata : pupil bulat, isokor ø 3/3 mm, refleks cahaya (+/+), visus OD >
3/60, OS 2/60
• Nn. Craniales : Paresis N. VII dan N. XII dekstra sentral
• Leher : kaku kuduk (-)
• Motorik : dalam batas normal
• Sensibilitas : dalam batas normal
• Vegetatif : BAB dan BAK (+) dalam batas normal
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium : kesan : dalam batas normal
- MSCT Scan Kepala Kontras : Lesi solid bentuk bulat batas sebagian tegas tepi
ireguler pada intraventrikel lateral kanan. (UK +/- AP 7.77x LL 5.05 x CC 5.84 cm)
disertai midline shifting ke kiri cenderung massa intraventrikuler, DD/
ependimoma, plexus choroid papiloma, protusi massa intraksial.
X-foto Thoraks AP : Cor dan Pulmo dalam batas normal
EKG : Kesan: Normo sinus rythm
VI. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinis : Cephalgia kronik progresif
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan N. XII dextra sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : SOL intrakranial dd/ meningioma dd/ ependymoma
29
Rawat R1A
• IP Tx :
Head up 30
IVFD RL 20 tpm
Inj. Dexametasone 10mg/8jam (iv) (H1)
Inj. Omeprazole 40mg/12jam iv
Drip B12 1amp/12jam iv
Parasetamol 500mg/8jam (po)
IP Mx
Keluhan, GCS, Vital sign, defisit neurologis, tanda peningkatan TIK
IP Ex :
Menjelaskan kepada penderita tentang penyakit yang diderita, pemeriksaan
lanjutan yang akan dilakukan serta penatalaksanaan selanjutnya
30
Superior Inferior
Gerak Menurun/ Menurun/menurun
menurun
Kekuatan 333/444 333/444
Tonus n/n n/n
Trofi e/e e/e
Refleks fisiologis +3/+3 +3/+3
Refleks patologis +HT/+HT +B,C/+B,C
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : BAB dan BAK (+) dalam batas normal
Pemeriksaan TS Mata :
VOD : 6/15 VOS : 6/24
TIO OD : 16.5 TIO OS : 14.2
GBM : bebas
Konfrontasi : dalam batas normal
Status Ofthalmologis
OD :
Palpebra : spasme (-), edema (-)
Konjungtiva : injeksi (-)
Kornea : jernih
Iris : Kripte (+)
Pupil : bulat, sentral, reguler, diameter 4 mm, RP (+), RAPD (-)
Lensa : Keruh tak rata
FC : retina kuning kemerahan, papil bulat, warna kuning, batas tegas, CDR
0.3
OS :
Palpebra : spasme (-), edema (-)
Konjungtiva : injeksi (-)
Kornea : jernih
31
Iris : Kripte (+)
Pupil : bulat, sentral, reguler, diameter 4 mm, RP (+), RAPD (-)
Lensa : Keruh tak rata
FC : retina kuning kemerahan, papil bulat, warna kuning, batas tegas, CDR
0.3
Pada Saat ini tidak kami dapatkan gambaran Papilledema pada Mata kanan dan kiri
sebagai tanda peningkatan TIK
Assessment :
1. Diagnosis Klinis :
Cephalgia kronik progresif
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : SOL intrakranial dd/ meningioma, ependymoma
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
Tx Neuro :
IVFD RL 20 tts / mnt
Inj. Dexamethason 10 mg/8 jam (iv) (H2)
Inj. Omeprazole 40 mg/12jam ( iv)
Drip B12 1amp/12jam iv
Fenitoin 200mg/24jam po
Parasetamol 500mg/8jam (po)
Px Neuro :
MRI, MRA, MRV Kepala Kontras dan Konsul TS Bedah Saraf
Konsul TS Mata
Pindah perawatan R1A
Px Mata :
Pemeriksaan OCT Papil, RNFL, Macula, GCL-IPL dan FFC (bila kondisi
pasien memungkinkan)
Lain-lain sesuai TS Neuro
32
Mx : KU, GCS, TTV, defisit neurologis
Ex : menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang diagnosis, rencana tindakan
selanjutnya, serta prognosis.
33
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : Intraventrikular meningioma
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
3. Obs Hematuria
4. Obs Hematemesis
5. ISK
Tx Neuro :
IVFD RL 20 tts / mnt
Inj. Dexamethason 10 mg/8 jam (iv) (H3)
Inj. Omeprazole 40 mg/12jam iv – ganti Lansoprazole SP 8mg/jam iv
Inj. Asam traneksamat 500mg/8jam iv
Inf. Levofloksasin 750mg/24jam iv (H-1)
Drip B12 1amp/12jam iv
Fenitoin 200mg/24jam po – ganti Inj Fenitoin 200mg/24jam iv
Sukralfat 15cc/8jam po
Parasetamol 500mg/8jam (po) – ganti Inj Parasetamol 1gr/8jam iv
Tx TS Bedah Saraf :
Inf Manitol loading 250 cc dilanjutkan maintenance 125 cc/8 jam iv (H-1)
Px Neuro :
NGT dialirkan, puasa sampai 8 jam setelah NGT jernih
Cek DR, eleketrolit, Ur, Cr, PTT/PTTK, urin rutin
MSCT kepala polos cito, konfirmasi TS Bedah Saraf
MRI, MRA, MRV Kepala kontras – tunggu jadwal
Px TS Bedah Saraf :
MRI, MRA, MRV Kepala kontras seusai jadwal
Mx : KU, GCS, TTV, defisit neurologis
34
Ex : menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang diagnosis, rencana tindakan
selanjutnya, serta prognosis.
35
Hasil Lab 6/4/2022
36
Motorik
Superior Inferior
Gerak Menurun/ Menurun/menurun
menurun
Kekuatan 333/444 333/444
Tonus n/n n/n
Trofi e/e e/e
Refleks fisiologis +3/+3 +3/+3
Refleks patologis +HT/+HT +B,C/+B,C
Klonus -/-
Sensibilitas : sulit dinilai
Vegetatif : BAB dbn, BAK terpasang DC kuning jernih (+), NGT jernih
(+), residu (-)
Traktus urinarius :
Input : 3425cc/24jam
Output : 2500cc/24jam
BC : + 925cc/24jam
Urin Output : 1600cc/24jam
Diuresis : 1.1cc/jam
Assessment :
1. Diagnosis Klinis :
Obs Penurunan kesadaran
Cephalgia kronik progresif
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : Meningioma os petrosa kanan dengan intratumoral
hemorrhage
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
3. ISK (bacteriuria)
37
Tx :
IVFD RL 20 tts / mnt
Inj. Dexamethason 10 mg/8 jam (iv) (H6)
Inf. Manitol 125cc/8jam iv (H-4)
Inj. Lansoprazole 30mg/12jam iv
Inj. Asam traneksamat 500mg/8jam iv -- Stop
Inf. Levofloksasin 750mg/24jam iv (H-3)
Drip B12 1amp/12jam iv
Inj Fenitoin 200mg/24jam iv
Inj Parasetamol 1gr/8jam iv
Sukralfat 15cc/8jam po
Px Neuro : -
Px TS Bedah Saraf : Pro Kraniotomi eksisi tumor, 15/4/2022
Mx : KU, GCS, TTV, defisit neurologis
Ex : menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang diagnosis, rencana tindakan
selanjutnya, serta prognosis.
38
39
MRI, MRA, MRV Kepala kontras (9/4/2022) :
Kesan :
- Massa solid ekstraaksial lobulated disertai dural tail, intratumoral hemorrhage
dan kalsifikasi (ukuran ± AP 7.3 x CC 7.0 x LL 5.6 cm) yang broadbase pada
os petrosa kanan, disertai CSF cleft sign, yang meluas ke fossa media-posterior
sisi kanan, mendesak lobus temporal kanan, hemisfer cerebellum kanan,
mesensefalon-pons sisi kanan, R-MCA segmen M2,M3,M4, ventrikel lateral
kanan menyebabkan midline shifting ke kiri (± 1.2 cm)
- Pada difusi didapatkan ADC value 2.528 x 10-3mm2/sec, pada perfusi
didapatkan peningkatan rCBV 3.732, pada spectroscopy didapatkan
peningkatan nilai ratio Ch/NAA 1.39, peningkatan Choline dan Lipid Lactat,
serta penurunan NAA Cenderung gambaran meningioma
- Tampak tanda peningkatan tekanan intracranial
- 3D TOF : R-PCA tampak tipis
- MRV : sinus transversus, sinus sigmoid dan vena jugularis kiri tak
tervisualisasi, cenderung agenesis
- Sinusitis maksilaris dan ethmoiditis kanan kiri
- Sphenoiditis kanan
40
15 April 2022 (Hari perawatan ke 11, HP-9 di Unit Stroke)
S : Pasien pro operasi kraniotomi hari ini, saat ini membuka mata spontan, kontak (+)
minimal, komunikasi (+) minimal, muntah (-), kejang (-)
O : KU: tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
TV: TD: 115/82 (93) mmHg, N: 82 x/mnt, RR: 20 x/mnt, T : 36.8°C
SaO2 : 100% NK 3 lpm
Status neurologis : GCS E4 M6V4,
• Mata : pupil bulat, isokor ø 2 mm/2 mm, refleks cahaya (+/+) lambat
Leher : kaku kuduk (-)
Nn. Craniales : sulit dinilai, kesan Paresis N VII dan Paresis N. XII dekstra
central
Motorik
Superior Inferior
Gerak Menurun/ Menurun/menurun
menurun
Kekuatan 333/444 333/444
Tonus n/n n/n
Trofi e/e e/e
Refleks fisiologis +3/+3 +3/+3
Refleks patologis +HT/+HT +B,C/+B,C
Klonus -/-
Sensibilitas : sulit dinilai
Vegetatif : BAB dbn, BAK terpasang DC kuning jernih (+)
Traktus urinarius :
Input : 3100cc/24jam
Output : 2900cc/24jam
BC : + 200cc/24jam
Urin Output : 1450cc/24jam
Diuresis : 1.2cc/jam
41
Assessment :
1. Diagnosis Klinis :
Obs Penurunan kesadaran perbaikan
Cephalgia kronik progresif
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : Meningioma os petrosa kanan dengan intratumoral
hemorrhage
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
3. ISK (bacteriuria)
Tx :
O2 NK 3 lpm
IVFD RL 20 tp
Inj. Deksametason 10 mg / 8 jam IV (H-12)
Inf Manitol 125 cc/12 jam iv (H-10)
Inj Levofloxacine 750 mg/24 jam iv (H-11)
Inj Vit B12 drip 1 ampul/12 jam
Inj Lansoprazole 30mg/12jam iv
Inj. Fenitoin 200 mg/24 jam iv
Inj. Parasetamol 1 g/8 jam iv
Sucralfat syr 15 mg/8 jam PO
Px Neuro : -
Px TS Bedah Saraf : Pro Kraniotomi eksisi tumor hari ini 15/4/2022 pukul 13.00
Mx : KU, GCS, TTV, defisit neurologis
Ex : menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang diagnosis, rencana tindakan
selanjutnya, serta prognosis.
42
Laporan Operasi
43
Refleks fisiologis +3/+3 +3/+3
Refleks patologis +HT/+HT +B,C/+B,C
Klonus -/-
Sensibilitas : sulit dinilai
Vegetatif : BAB dbn, BAK terpasang DC kuning jernih (+)
Cairan masuk
gelofusin 1500cc
NaCl 0,9% 1000cc
RL 1000cc
PRC 415cc
WB 720cc
Obat masuk
propofol 100mg
fentanyl 350mcg
rocuronium 50mg
asam tranexamat 1000mg
cefazolin 4gr
deksametason 10mg
ondansetron 4mg
ketorolac 30mg
SP vascon jalan 0,1 mcg/kgbb/menit
Cairan keluar
Urin 1300cc
Darah 3500cc
44
Assessment :
1. Diagnosis Klinis :
Obs Penurunan kesadaran perbaikan
Cephalgia kronik progresif
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : Meningioma os petrosa kanan dengan intratumoral
Hemorrhage, post kraniotomi dasar tengkorak H+0
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
3. Anemia (6,9)
4. Trombositopenia (75)
5. Leukositosis (16.7)
Tx :
O2 NK 3 lpm
IVFD RL 20 tp
Inj. Deksametason 10 mg / 8 jam IV (H-12)
Inf Manitol 125 cc/12 jam iv (H-10)
Inj Vit B12 drip 1 ampul/12 jam
Inj Lansoprazole 30mg/12jam iv
Inj. Fenitoin 200 mg/24 jam iv
Inj. Parasetamol 1 g/8 jam iv
Sucralfat syr 15 mg/8 jam PO
Px Neuro : -
Px TS Bedah Saraf :
Perbaikan kondisi pasca operasi
Cek DR, elektrolit, studi koagulasi, Ur/Cr, GDS post operasi
Post operasi pasien rawat ICU
Mx : KU, GCS, TTV, defisit neurologis
45
Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang diagnosis, rencana tindakan
selanjutnya, serta prognosis.
PFR : 440
17 April 2022 (Perawatan ICU H+2)
S : Post kraniotomi dasar tengkorak 15/4/2022 dengan meningioma petrous kanan
pasien membuka mata spontan, masih terpasang ett, demam (-), kejang (-)
46
O : KU: tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Hemodinamik : TD: 124/72 (89) mmHg, N: 94 x/mnt, t : 36.5°C, drain +
100cc
Respiratorik : Resp : 12 x/mnt, SpO2 : 100 % terpasang ETT dengan VM
mode PSIMV FiO2 : 60%, PSV : 8, PEEP : 5, RR : 12, TRIGGER 2
Digestivus : soepel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), NGT (+) jernih
Urinarius : UO 900 ml/ 9 jam, D 1.8 ml/kgbb/ jam, B -225 ml/ 9 jam
Status neurologis : GCS E4 M5Vett,
• Mata : pupil bulat, anisokor ø 3 mm/3 mm, refleks cahaya ( +/+)
Leher : kaku kuduk (-)
Nn. Craniales : sulit dinilai
Motorik
Superior Inferior
Gerak Menurun/ Menurun/menurun
menurun
Kekuatan 333/444 333/444
Tonus n/n n/n
Trofi e/e e/e
Refleks fisiologis +3/+3 +3/+3
Refleks patologis +HT/+HT +B,C/+B,C
Klonus -/-
Sensibilitas : sulit dinilai
Vegetatif : DC (+) kuning jernih, NGT (+) jernih
Assessment :
1. Diagnosis Klinis :
Obs Penurunan kesadaran perbaikan
Cephalgia kronik progresif
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : Meningioma os petrosa kanan dengan intratumoral
47
Hemorrhage, post kraniotomi dasar tengkorak H+2
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
3. Anemia (6,9)
4. Trombositopenia (75)
5. Leukositosis (16.7)
Tx :
O2 NK 3 lpm
IVFD RL 20 tpm
Inj. Deksametason 10 mg / 8 jam IV (H-13)
Inf Manitol 125 cc/24 jam iv (H-11)
Inf Levofloksasin 750mg/24jam iv (H-12)
Inj Ca Glukonas 1gr/8jam iv
Inj Vit B12 drip 1 ampul/12 jam
Inj Lansoprazole 30mg/12jam iv
Inj. Fenitoin 200 mg/24 jam iv
Inj. Parasetamol 1 g/8 jam iv
Sucralfat syr 15 mg/8 jam PO
Terapi TS Anastesi
- Inj asam traneksamat 1gr/ 12 jam
- Inj vit K 10 mg/ 12 jam
- Inj omeprazole 40mg/ 12 jam
- Inj metoclopramid 10 mg/ 12 jam
- Inj ca glukonas 1 gr/ 12 jam
- Sp midazolam 1 mg/ jam
- Sp morfin 1 mg/ jam
Px Neuro : -
Px TS Bedah Saraf :
Perbaikan kondisi pasca operasi
Stop sedasi
Usaha WB 2 kolf, PRC 2 kolf
48
Segera ekstubasi
Motorik
Superior Inferior
Gerak Menurun/ Menurun/menurun
menurun
Kekuatan 333/444 333/444
Tonus n/n n/n
Trofi e/e e/e
Refleks fisiologis +3/+3 +3/+3
Refleks patologis +HT/+HT +B,C/+B,C
49
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : DC (+) kuning jernih, NGT (+) jernih
Assessment :
1. Diagnosis Klinis :
Obs Penurunan kesadaran perbaikan
Cephalgia kronik progresif
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : Meningioma os petrosa kanan dengan intratumoral
Hemorrhage, post kraniotomi dasar tengkorak H+2
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
3. Anemia (6,9 – 8.7)
4. Trombositopenia (75 -- 146)
5. Leukositosis (16.7 -- 26.2)
6. Hipoalbuminemia (3.3)
7. Hipokalemia (3.1)
Tx :
O2 NK 3 lpm
IVFD RL 20 tp
Inj. Deksametason 10 mg / 8 jam IV (H-13)
Inf Manitol 125 cc/24 jam iv (H-11)
Inf Levofloksasin 750mg/24jam iv (H-12)
Inj Ca Glukonas 1gr/8jam iv
Inj Vit B12 drip 1 ampul/12 jam
Inj Lansoprazole 30mg/12jam iv
Inj. Fenitoin 200 mg/24 jam iv
Inj. Parasetamol 1 g/8 jam iv
Sucralfat syr 15 mg/8 jam PO
KSR 600mg/8jam po
50
Terapi TS Anestesi
- Inj Asam traneksamat 1gr/ 12 jam
- Inj Vit K 10 mg/ 12 jam
- Inj metoclopramid 10 mg/ 12 jam
- Sp midazolam 1 mg/ jam
- Sp morfin 1 mg/ jam
- Koreksi Albumin ---- 25 % 100 ml 2 siklus
51
20 April 2022 (Perawatan R1A H+16, Post Craniotomy H+5)
S : Pasien membuka mata spontan dan sadar, kontak (+), komunikasi minimal
(+), dapat mengikuti perintah sederhana (+), terkadang tidak sambung
O : KU: tampak sakit sedang VAS : 2-3
Kesadaran : Composmentis
TV: TD: 153/94 (111) mmHg, N: 88x/mnt, RR : 20 x/mnt, t : 36.7°C
SaO2 : 98% NK 3 lpm
Status neurologis : GCS E4 M6V4,
• Mata : pupil bulat, isokor ø 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+ /+)
• Leher : kaku kuduk (-)
• Nn. Craniales : sulit dinilai, kesan peresis N.VII dan N. XII dextra sentral
Motorik
Superior Inferior
Gerak Menurun/ Menurun/menurun
menurun
Kekuatan 333/444 333/444
Tonus n/n n/n
Trofi e/e e/e
Refleks fisiologis +3/+3 +3/+3
Refleks patologis +HT/+HT +B,C/+B,C
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
52
Vegetatif : BAB (+) dalam batas normal dan BAK terpasang DC warna
kuning jernih
Assessment :
1. Diagnosis Klinis :
Obs Penurunan kesadaran perbaikan
Cephalgia kronik progresif
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : Meningioma os petrosa kanan dengan intratumoral
Hemorrhage, post kraniotomi dasar tengkorak H+5
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
3. Leukositosis (16.7 -- 26.2)
4. Hipoalbuminemia (3.3)
5. Hipokalemia (3.1 – 2.7)
Tx :
O2 NK 3 lpm
IVFD RL 20 tpm
Inj. Deksametason tap off menjadi 5 mg / 8 jam IV (H-16)
Inf Manitol tap off menjadi 62,5 cc/12 jam iv (H-13)
Inj Ca Glukonas 1gr/8jam iv – stop
Koreksi Hipokalemia (4,5 – 2,7) x 0.4 x 55kg = 39,6 -- 2 flash KCL 7,46%
diencerkan dalam RL, kecepatan 2mEq/jam
Inj Vit B12 drip 1 ampul/12 jam
Inj Lansoprazole 30mg/12jam iv
Inj. Fenitoin 200 mg/24 jam iv
Inj. Parasetamol 1 g/8 jam iv
Sucralfat syr 15 mg/8 jam PO
Px Neuro : -
Px TS Bedah Saraf :
Perbaikan kondisi pasca operasi
53
Usaha WB 2 kolf, PRC 2 kolf
54
Tonus n/n n/n
Trofi e/e e/e
Refleks fisiologis +3/+3 +3/+3
Refleks patologis +HT/+HT +B,C/+B,C
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : BAB (+) dan BAK (+) dbn
Assessment :
1. Diagnosis Klinis :
Obs Penurunan kesadaran perbaikan
Cephalgia kronik progresif
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : Meningioma os petrosa kanan dengan intratumoral
Hemorrhage, post kraniotomi dasar tengkorak H+5
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
3. Leukositosis (16.7 -- 26.2)
4. Hipoalbuminemia (3.3)
5. Hipokalemia (3.1 – 2.7)
Tx :
IVFD RL 20 tpm
Inj Vit B12 drip 1 ampul/12 jam
Inj Lansoprazole 30mg/12jam iv
Fenitoin 200 mg/24 jam po
Parasetamol 500 mg/8 jam po
Sucralfat syr 15 mg/8 jam po
55
Mx : KU, GCS, TTV, defisit neurologis
Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang diagnosis, rencana tindakan
selanjutnya, serta prognosis.
56
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : Meningioma os petrosa kanan dengan intratumoral
Hemorrhage, post kraniotomi dasar tengkorak H+5
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
Tx :
O2 NK 3 lpm
IVFD RL 20 tpm
Inj. Deksametason tap off menjadi 5 mg / 8 jam IV (H-16)
Inf Manitol tap off menjadi 62,5 cc/12 jam iv (H-13)
Inj Ca Glukonas 1gr/8jam iv
Inj Vit B12 drip 1 ampul/12 jam
Inj Lansoprazole 30mg/12jam iv
Inj. Fenitoin 200 mg/24 jam iv
Inj. Parasetamol 1 g/8 jam iv
Sucralfat syr 15 mg/8 jam PO
Px Neuro : -
Px TS Bedah Saraf :
Perbaikan kondisi pasca operasi
Usaha WB 2 kolf, PRC 2 kolf
57
S : Pasien persiapan rawat jalan hari ini, saat ini pasien sadar, kontak (+),
komunikasi (+), demam (-), batuk (-), sesak (-), BAK dan BAB dbn (-)
O : KU: tampak sakit sedang VAS : 2-3
Kesadaran : Composmentis
TV: TD: 153/94 (111) mmHg, N: 88x/mnt, RR : 20 x/mnt, t : 36.7°C
SaO2 : 98% NK 3 lpm
Status neurologis : GCS E4 M6V4,
• Mata : pupil bulat, isokor ø 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+ /+)
• Leher : kaku kuduk (-)
• Nn. Craniales : sulit dinilai, kesan peresis N.VII dan N. XII dextra sentral
Motorik
Superior Inferior
Gerak Menurun/ Menurun/menurun
menurun
Kekuatan 333/444 333/444
Tonus n/n n/n
Trofi e/e e/e
Refleks fisiologis +3/+3 +3/+3
Refleks patologis +HT/+HT +B,C/+B,C
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : BAB (+) dan BAK (+) dbn
Assessment :
1. Diagnosis Klinis :
Obs Penurunan kesadaran perbaikan
Cephalgia kronik progresif
Hemiparesis bilateral spastik lebih berat dextra
Parese N. VII dan XII. Dekstra Sentral
Diagnosis Topis : Intraventrikel kanan mendesak hemisfer kiri
Diagnosis Etiologis : Meningioma os petrosa kanan dengan intratumoral
Hemorrhage, post kraniotomi dasar tengkorak H+9
2. OS Papil Atrofi e.c Susp. Compressive Optic Neuropathy e.c SOL Intracranial
58
Tx :
Lansoprazole 30mg/24jam po
Fenitoin 200 mg/24 jam po
Parasetamol 500 mg/8 jam po
Vit B12 1 tab/12 jam
Sucralfat syr 15 mg/8 jam po
59
HARI 2 (5 APRIL 2022) HARI 7 (10 April 2022) HARI 12 (15 APRIL 2022)
S: Pasien cenderung mengantuk, nyeri kepala (+) cekot-cekot, S: Pasien membuka mata dengan rangsang suara, S: Post kraniotomi dasar tengkorak H+0
muntah 2x sebelumnya pasien cenderung tidur, kontak (+) minimal, O: GCS on sedasi
O: GCS E4M6V5; TD: 133/81, HR: 74, RR: 20, S: 36.7, SpO2: 98, VAS komunikasi (-), muntah (+) 1x +/- 100 cc residu NGT(-) TD: 113/76 (93), HR: 92, RR: 20, S: 36.4, SpO2: 98% on ett,
2-3 Hb : 6,9; Leukosit : 16,7; Trombosit : 75. BGA dbn
A: Meningioma post kraniotomi H+0
CT Scan Kepala: Lesi solid bentuk bulat batas sebagian tegas tepi
O: GCS E3M5V2; TD: 130/82, HR: 84, RR: 20, S: 36.7, P: Perbaikan kondisi post OP, rawat ICU
ireguler pada intraventrikel lateral kanan disertai midline shifting ke
SpO2: 98 Terapi: inj. Dexametason 10mg/8jam iv, inj. Phenytoin 200mg/24 jam iv, inj.
kiri cenderung massa intraventrikuler Lansoprazole 30mg/12 jam iv, Inf Manitol 125cc/24jam, Inj Ca Glukonas
A: SOL Intrakranial dd/ meningioma MRI Kepala kontras: Massa solid ekstraaksial lobulated
disertai dural tail, intratumoral hemorrhage dan kalsifikasi 1gr/8jam
P: MRI, MRA, MRV kepala kontras dan Konsul TS BS, pindah 1A Terapi TS Anastesi : Inj asam traneksamat 1gr/ 12 jam, Inj vit K 10 mg/ 12
yang broadbase pada os petrosa kanan, disertai CSF cleft
Tx: Inf RL 20 tpm, Inj Dexametason 10mg/8jam iv, Parasetamol jam, Inj omeprazole 40mg/ 12 jam, Inj. metoclopramid 10 mg/ 12 jam, Inj ca
sign, yang meluas ke fossa media-posterior sisi kanan,
500mg/8jam po, inj. Omeprazole 40mg/12 jam iv, fenitoin mendesak lobus temporal kanan, hemisfer cerebellum glukonas 1 gr/ 12 jam, Sp midazolam 1 mg/ jam, Sp morfin 1 mg/ jam
200mg/24jam kanan, mesensefalon-pons sisi kanan, menyebabkan Terapi Bedah Saraf : Perbaikan kondisi pasca operasi, rawat ICU, Cek DR,
midline shifting ke kiri elektrolit, studi koagulasi, Ur/Cr, GDS post operasi, Usaha WB 2 kolf, PRC 2
A: Meningioma kolf
P: Pro Eksisi tumor 15/4/2022
Tx: Inf RL 20 tpm, Inj Dexametason 10mg/8jam iv, Inf
Manitol 125cc/6jam iv Parasetamol 500mg/8jam po, inj.
Lansoprazole 30mg/12 jam iv, fenitoin 200mg/24jam,
sukralfat 15cc/8jam po
30
BAB IV
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Rowland, Lewis P, ed. 2005. Merritt’s Neurology. 11th ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.
2. Black, Peter, et al. 2007. Meningiomas: Science and Surgery. Clinical
Neurosurgery. 54(16):91-9.
3. Riemenschneider, Markus J. Histological Classification and Molecular
Genetics of Meningiomas. The Lancet Neurology. 2006;5:1045-1054.
4. Baehr M, Frotscher M. Duus Topical Diagnosis In Neurology. 4th ed. New
York: Thieme. 2005: 402-6.
5. Anthoni H.V Schapira, Martin A Samuel. Neuro Oncology. In: Blue Books of
Neurology. Editor: Jeremy Rees, Patrick Y.Wen. Elsevier: Philladelphia.2010.
6. Kalamarides M, Kawakita MN, Leblois H. NF2 gene inactivation in
arachnoidal cell is rate-limiting for meningioma development in the mouse.
Genes Dev. 2012;16:1060-5.
7. DeAngelis LM. Tumors of the central nervous system and intracranial
hypertension and hypotension. In: Goldman L, Ausiello D, editors. Cecil
Textbook of Medicine. 23rd ed. Philladephia: Saunders;2008. P. 1437-49
8. Available at http://www.virtualmedstudent.com, cited March 14th 2014.
9. Han X, Chen J, Shi K. Application of three dimensional angiography in
elderly patients with meningioma. Electronic Presentation online System.
2012. Available at
http://posterng.netkey.at/esr/viewing/index.php?
module=viewimage&task=&maxheight=150&maxwidth=150&mediafile_id=
380140&201112211449.gif, cited March 14th 2014.
10. Available at http://www.esnr.com/img/art/case-studies/meningioma1.jpg, cited
March 14th 2014.
11. Violaris K, Katsarides V, Sakellariou P. The Reccurence Rate in
Meningiomas: Analysis of Tumor Location, Histological Grading, and Extent
of Resection. Open Journal of Modern Neurosurgery. 2013; 2:6-10.
12. Louis D. Meningeal tumours. In: WHO Classification of Tumor of The
Central Nervous System. 4th ed. 2007: 164-9.
13. Schiff D, O’Neill BP. Primary Meningeal Neoplasma. In: Principles of Neuro
Oncology. New York: Mc Graw Hill. 2005: 369.
14. Ryan R, Booth S, Price S. Corticosteroid-use in primary and secondary brain
tumour patients: a review. J Neurooncol. 2012; 106:449-459.
15. Kaal CA, Vecht CJ. The management of brain edema in brain tumors. Current
Opinion in Oncology. 2004; 16:593-600.
16. Roost DV, Hartmann A, Quade G. Changes of Cerebral Blood Flow
Following Dexamethasone Treatment in Brain Tumour Patients. A Xe/CT
Study. Acta Neurochir. 2001;143:35-44.