Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI Tn. T DENGAN CRANIOTOMY


MENINGIOMA DENGAN TEKNIK ANESTESI UMUM DI RUMAH SAKIT
MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Disusun Oleh:
Nama: Amin Ghoni Ghofur
NIM: 210106332

Mengetahui,

Pembimbing Klinik

(Wilis Sukmaningtyas, SST., S.Kep., Ns., M.Kes)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2022
A. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Meningioma adalah tumor primer pada susunan saraf pusat (SSP) yang berasal
dari sel-sel meningothelial (arachnoidal cap).(1) Meningioma adalah tumor pada
meningen, yang merupakan selaput pelindung yang melindungi otak dan medulla
spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat manapun di bagian otak maupun
medulla spinalis, tetapi, umumnya terjadi di hemisphere otak di semua lobusnya.

2. Epidemiologi
Meningioma merupakan 20% hingga 26% dari seluruh neoplasma intrakranial
dan 25% dari seluruh tumor intraspinal. Insidensi meningioma pada populasi
umum bervariasi antara 2 dan 15 per 100.000 penduduk, dan meningkat seiring
dengan pertambahan usia; prevalensi meningioma diperkirakan sekitar 97.5 dari
100.000 penduduk di Amerika Serikat. Lebih kurang 94% meningioma
merupakan meningioma yang benigna, 4% atipikal dan 1% malignan.
Meningioma benigna lebih sering dijumpai pada wanita, namun bentuk yang
atipikal dan anaplastik tampaknya lebih sering dijumpai pada laki-laki. Hingga
2% meningioma benigna akan berubah menjadi bentuk yang malignan dan sekitar
28.5% dari seluruh meningioma benigna yang rekuren akan menjadi atipikal atau
anaplastik.(4)

3. Etiologi
1. Genetik
Abnormalitas pada lokus kromosom 22q telah diidentifikasi sebagai kelainan
kromosom yang paling sering dijumpai pada meningioma.(5)
2. Trauma
Beberapa studi menunjukkan peningkatan insidensi meningioma pada pasien
dengan riwayat cedera kepala. Hubungan antara cedera kepala dengan
meningioma dapat dijelaskan dengan adanya perubahan neoplastik pada
jaringan meningeal yang disebabkan oleh keadaan inflamasi pada proses
penyembuhan dan pelepasan prostaglandin dan faktor pertumbuhan lainnya.(6)
3. Kaskade Eicosanoid
Asam arakidonat (AA) adalah ω-6 polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang
diubah mejadi komponen lipid yang aktif secara biologis, disebut eicosanoid.
Komponen lipid ini memodulasi berbagai proses fisiologis dan patologis
termasuk karsinogenesis. Beberapa eicosanoid terbukti dapat mempengaruhi
survival sel, menstimulasi proliferasi sel, memodulasi perlekatan dan motilitas
sel, angiogenesis, meningkatkan permeabilitas vaskular, dan inflamasi,
sehingga memegang peranan penting pada pertumbuhan tumor.
4. Radiasi ion
Bukti terkuat adanya hubungan antara radiasi dosis tinggi dengan
perkembangan meningioma berasal dari individu yang menjalani terapi radiasi
pada kepala dan leher untuk kondisi neoplastik, sedangkan bukti adanya
hubungan antara paparan radiasi dosis rendah berasal dari studi tentang tinea
capitis.(7)

4. Patologi
Secara makroskopis, meningioma tampak berbatas halus dan lobulated dengan
pola vaskular yang jelas pada permukaannya. Secara mikroskopis, meningioma
memiliki gambaran histopatologi yang khas dan bervariasi, keragaman ini menjadi
dasar klasifikasi patologi meningioma.
1. Meningothelial (Syncytial) Meningioma
Sel-sel pada meningothelial meningioma berbatas tidak tegas, berbentuk
poligonal dengan inti berukuran besar, spheroidal dan terletak di tengah. Hal
yang sering dijumpai pada tumor jenis ini adalah nuclear vacuolization, yang
disebabkan invaginasi sitoplasma.
2. Fibrous (Fibroblastic Meningioma)
3. Meningioma Atipikal
Disamping invasi otak dan penyebaran metastatik, yang menunjukkan
malignansi, beberapa gambaran tertentu dapat meramalkan peningkatan
agresivitas tumor dan kecenderungan rekurensi yaitu hilangnya pola
arsitektural, selularitas yang tinggi, peningkatan mitotic figures, nekrosis,
nucleoli yang menonjol dan nuclear pleomorphism. Hipervaskularitas dan
deposisi hemosiderin juga telah diidentifikasi sebagai parameter histologis
yang mempengaruhi prognosis.
4. Meningioma Maligna (Anaplastik)
Meningioma anaplastik menunjukkan gambaran yang sesuai dengan
malignansi,mencakup tingkat mitotik yang tinggi, advanced cytological atypia,
nuclear pleomorphism dan nekrosis. Invasi terhadap jaringan otak di
bawahnya juga sering dijumpai pada meningioma grade III.

5. Gambaran klinis
Gambaran klinis meningioma, seperti halnya lesi massa intrakranial lainnya,
bergantung pada lokasi tumor. Beberapa gejala klinis yang umum dijumpai pada
penderita meningioma terlihat pada tabel di bawah. Meningioma seringkali
tumbuh lambat, dan gejala sering muncul secara perlahan-lahan.

Sebagian besar meningioma tidak menginvasi otak namun menimbulkan


gejala dengan : (1) menekan struktur susunan saraf pusat, (2) pergeseran struktur
SSP dengan atau tanpa peningkatan tekanan intrakranial, (3) hidrosefalus, (4)
edema otak.
Meningioma juga dapat menimbulkan gejala dengan mengiritasi korteks,
menekan jaringan otak atau saraf kranial, menyebabkan hiperostosis, dan/atau
menginvasi jaringan lunak sekitarnya atau memicu cedera vaskular pada otak.
Dengan mengiritasi korteks, meningioma dapat menyebabkan seizure. Nyeri
kepala lokal maupun yang non spesifik dapat dijumpai. Kompresi terhadap
struktur di bawahnya dapat menyebabkan disfungsi serebral fokal atau umum,
seperti kelemahan fokal, disfasia, apati dan/atau somnolens.

6. Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos
2. CT Scan
CT Scan bermanfaat dalam mendiagnosis meningioma karena dapat
menyediakan informasi mengenai ukuran, konsistensi, keterlibatan tulang, dan
adanya efek massa pada jaringan otak di dekatnya. Pada nonenhanced scans,
meningioma hampir selalu terlihat hiperdense atau isodense terhadap jaringan
otak di sekitarnya. Dengan pemberian kontras, tumor ini sering menunjukkan
intense enhancement. Meningioma tampak well encapsulated dengan batas
yang jelas antara tumor dan otak.
3. MRI
MRI adalah modalitas yang paling sensitif untuk mendeteksi
meningioma dan paling penting untuk menentukan ukuran dan lokasi tumor
ini. Sebagai tambahan, MRI menyediakan informasi tentang anatomi tentang
jaringan otak sekitarnya, saraf kranialis, dan struktur vascular.
4. Angiografi
5. MRS
Penggunaan MRS memiliki potensial diagnostik spesifik karena dapat
digunakan untuk mengukur konsentrasi metabolit-metabolit utama pada tumor
otak secara in vivo, memungkinkan pengukuran kuantitatif dari parameter
metabolit yang dapat berkorelasi terhadap parameter klinis. Creatine,
glycine,alanine, lactat, choline, glutamine, glutamate dan kompleks
glutamine/glutamate merupakan metabolit yang paling sering dianggap
bermanfaat dalam membedakan meningioma dengan tumor lainnya dan dari
jaringan otak normal

7. Penatalaksanaan
1. Observasi
Karena sebagian besar meningioma bersifat jinak dan tumbuh lambat,
observasi harus selalu dipertimbangkan sebagai pilihan terapi meningioma.
Kasus-kasus dimana dipertimbangkan observasi, direkomendasikan suatu
follow up MRI tiga bulan setelah diagnostik pertama untuk mengeksklusikan
tumor dural-based lainnya yang lebih agresif dan kemudian pada enam bulan
berikutnya untuk menilai tingkat pertumbuhan tumor.
2. Tindakan bedah
Pada pasien-pasien dengan meningioma yang lebih besar dan
simptomatis, direkomendasikan reseksi bedah. Luasnya reseksi bedah adalah
faktor yang paling penting dalam rekurensi tumor dan dideskripsikan
berdasarkan sistem grading Simpson. Walaupun tindakan bedah adalah pilihan
terapi utama, tujuan pembedahan dapat berbeda bergantung pada lokasi tumor
dan kondisi pasien. Kapan tumor ditinggalkan adalah kunci pada pembedahan
meningioma. Oleh sebab itu, pengangkatan total tumor pada
konveksitas,olfactory groove, dan meningioma yang melibatkan sepertiga
anterior dari sinus sagital tampaknya memungkinkan dan menguntungkan
pasien, sedangkan tumor pada sphenoid wing, klivus dan sinus kavernosus,
pengangkatan subtotal tampaknya lebih sesuai. Terapi ajuvan harus
dipertimbangkan untuk meningioma atipikal atau malignan atau pada kasus-
kasus dimana pengangkatan total tumor tidak memungkinkan dan
progresivitas penyakit akan menyebabkan disabilitas.
3. Terapi Radiasi
Terapi radiasi harus dipertimbangkan setelah reseksi parsial
meningioma dan setelah reseksi meningioma atipikal atau meningioma
maligna. Keputusan untuk melakukan radioterapi harus mempertimbangkan
kemungkinan akan terjadinya kekambuhan yang simpomatis (mengingat
tingkat pertumbuhan yang lambat pada sebagian besar meningioma) pada
masa hidup pasien, dengan efek samping yang mungkin timbul akibat radiasi
(misalnya, leukoensefalopati dan gejala kognitif, nekrosis dan cedera
neurologis fokal).
4. Kemoterapi
Kemoterapi diberikan pada lesi-lesi yang tidak dapat dioperasi,
terutama pada saat terjadinya progresi tumor atau rekurensi setelah radioterapi.
Berbagai pendekatan telah dilakukan, mencakup penggunaan obat sitotoksik,
agen molekuler, immunomodulator, dan obat yang memanipulasi hormone.

B. Pertimbangan Anestesi
1. General Anestesi
General anesthesia atau anestesi umum merupakan suatu tindakan yang
bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan menyebabkan amnesia
yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Risiko komplikasi pada anestesi
umum minimal apabila kondisi pasien sedang optimal, namun sebaliknya jika
pasien mempunyai riwayat kebiasaan yang kurang baik misalnya riwayat
penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, alergi pada komponen obat, perokok,
mempunyai riwayat penyakit jantung, paru dan ginjal maka risiko komplikasi
anestesi umum akan lebih tinggi.
Dalam pemberian anestesi umum ada sepuluh hal yang harus diperhatikan atau
biasa disebut The Ten Golden Rules Of Anesthesia yaitu :
1. Penilaian pasien sebelum dilakukan pembedahan dan pembiusan, biasanya
dinyatakan dalam status ASA (American Society of Anesthesiologist).
2. Pengosongan lambung agar tidak terjadi aspirasi
3. Penempatan/posisi pasien di atas meja operasi guna pemantauan selama
operasi berlangsung.
4. Pengecekan mesin anestesi dan alat-alat agar sesuai dengan prosedur.
5. Selalu sediakan mesin suction/penghisap lendir apabila terjadi aspirasi atau
muntah.
6. Jaga saluran napas agar bersih dan tidak terhalang agar memudahkan
pemberian napas.
7. Ahli anestesi harus selalu siap dalam memberika bantuan pernapasan apabila
terjadi henti napas maupun napas tidak adequate.
8. Akses vena harus selalu tersedia untuk memberikan terapi obat dan atau
resusitasi cairan apabila diperlukan.
9. Monitor tanda-tanda vital pasien termasuk denyut nadi, tekanan darah,
maupun saturasi oksigen.
10. Ahli anestesi harus selalu didampingi petugas yang lain untuk membantu
menekan tulang krikoid sehingga dapat memudahkan intubasi.
Anestetik umum dapat diberikan secara parenteral (intravena dan
intramuskuler), inhalasi (melalui isapan/gas), dan rektal (melalui anus). Teknik
general anestesi dan manajemen saluran napas dibedakan menjadi tiga yaitu
menggunakan sungkup muka (face mask), laryngeal mask airway (LMA), dan
intubasi endotrakea.
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai
berikut (Latief, 2007):
1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan
mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
1. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
2. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglottitis
3. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher, atresi
laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
4. Benda asing
5. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
6. Obesitas
7. Ekstensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondylosis arkilosing,
halo traction
8. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi
moncong.

Prosedur Intubasi Endotrakeal menurut (Pramono, 2017) yaitu :


1. Tahap Persiapan :
a. Persiapkan alat-alat yang dibutuhkan (STATICS) yaitu scope (laringoskop,
stetoskop), Tube (endotracheal tube/ ETT), Airway (Guedel/ mayo), Tape
(plester, hipafix), Introducer (stilet), Connector, Suction, dan Spuit.
b. Pemberian obat induksi anestesi (apabila diperlukan) seperti propofol atau
ketamin sesuai dosis yang ditentukan.
c. Pemberian obat muscle relaxant seperti atrakurium atau suksinil kolin.
d. Pemberian obat emergency anestesi (apabila diperlukan) seperti adrenalin
(epinefrin) apabila terjadi henti jantung dan sulfas atropine (SA) apabila
terjadi bradikardi.

2. Tahap Intubasi :
a. Pastikan semua alat dan obat lengkap
b. Berikan ventilasi O2 100% selama 1-2 menit atau saturasi oksigen
mencapai maksimal (100%)
c. Batang laringoskop dipegang tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
hingga eksistensi dan mulut terbuka.
d. Masukkan laringoskop dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit
menyelusuri lidah kanan, dan menggeser lidah hingga ke sebelah kiri
menuju epiglottis.
e. Cari epiglotis terlebih dahulu, lalu angkat epliglotis
f. Cari rima glottis (terkadang memerlukan bantuan petugas lain untuk
menekan trakea dari luar sehingga rima glottis terlihat).
g. Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah disekitarnya yang
berwarna merah.
h. Masukkan ETT dengan tangan kanan. Dalam memasang ETT harus
diperhatikan saat mengangkat gagang laringoskop. Jangan mengungkit kea
rah gigi atas karena dapat menyebabkan gigi patah.
i. Hubungkan pangkal ETT dengan mesin anestesi atau alat bantu napas
(resusitasi)

Komplikasi Intubasi
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang
biasa terjadi adalah:
1. Saat Intubasi
a. Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon
di laring.
b. Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
c. Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan
intra okuler, laringospasme.
d. Kebocoran balon.
2. Saat ETT di tempatkan
a. Malposisi (kesalahan letak)
b. Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa
hidung.
c. Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.
3. Setelah ekstubasi
a. Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan
trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
b. Laringospasme.
2. Pathway Perioperatif & Masalah Kepenataan Anestesi

Meningioma

Kraniotomi

General Anestesi

Pre Op Intra Op Post Op

Patofisiologi Stressor Efek Obat anestesi Tindakan Efek sisa obat Suhu OK
Penyakit Operasi Pembedahan anestesi

Hipotermi
Risiko gangguan Risiko jatuh
Nyeri Ansietas haemodinamik Risiko
perdarahan
C. Woc (Web Of Cause) Meningioma
D. Fokus Pengkajian
1. Anamnesa : pengambilan data melalui wawancara dan observasi untuk
menegakkan diagnosa serta membuat penilaian klinis tentang perubahan status
pasien
a. Riwayat operasi, riwayat anestesi sebelumnya
b. Riwayat penyakit sistemik (DM, hipertensi, kardiovaskuler, TB, asma)
c. Pemakaian obat tertentu
d. Kebiasaan pasien
e. Riwayat penyakit keluarga

2. Pemeriksaan Fisik
a. Blood : tensi, nadi, nilai syok/ pendarahan, lakukan pemeriksaan jantung
b. Breathing : periksa jalan nafas apakah ada hambatan atau tidak
c. Brain : periksa GCS dan TIK
d. Bladder : produksi urin, pemeriksaan faal ginjal
e. Bowel : pembesaran hepar, bising usus
f. Bone : periksa bentuk leher, apakah ada patah tulang atau tidak, apakah ada
kelainan tulang belakang atau tidak

3. Pemeriksaan penunjang
a. Lab : Hb.AE,AL,AT,CT/BT,APTT/PPT,SGOT/SGPT,
Albumin,Ureum/Creatinin, Bilirubin, Urine Rutin
b. Ro Thorax : Jantung, paru
c. EKG : Irama, HR, bradi, tachi, ST depresi, ST elevasi, T inverted, VES, block
d. USG : Echocardiografi

4. Menentukan status fisik pasien ( ASA )


a. Asa 1 : Pasien tidak memiliki riwayat penyakit penyerta
b. Asa 2 : Pasien memiliki kelainan sistemik ringan – sedang selain yang akan
dioperasi. Co : hipertensi ringan , DM ringan
c. Asa 3 : Pasien memiliki penyakit sistemik berat selain yang dioperasi tapi
belum mengancam nyawa. Co : hipertensi tak terkontrol , asma bronkial , DM
tak terkontrol
d. Asa 4 : Pasien memiliki penyakit sistemik berat selain yang dioperasi dan
mengancam nyawa. Co : asma bronkial berat , koma diabetikum.
e. Asa 5 : Pasien dalam kondisi sangat jelek dimana tindakan anestesi mungkin
dapat menyelamatkan tetapi resiko kematian jauh lebih besar. Co : Koma
berat.
f. Asa 6 : Pasien dinyatakan mati batang otak

5. Menentukan resiko penyulit


a. Penyulit respirasi : Periksa jalan nafas pasien , periksa apakah ada penyakit
pernafasan pasien yang dapat menyulitkan pada saat operasi.
b. Penyulit kardiovaskuler : Periksa apakah ada kelainan kardiovaskuler pada
pasien.
c. Aspirasi isi lambung : Aspirasi isi lambung untuk melihat apakah ada kelainan
pada lambung atau tidak.

E. Masalah Kepenataan Anestesi


1. Pra operasi
a. Nyeri : lakukan anamnesa pada pasien jika merasa nyeri lakukan manajemen
nyeri farmakologi / non farmakologi untuk mengatasi nyeri tersebut.
b. Takut/ cemas : lakukan anamnesa pada pada pasien jika merasa cemas lakukan
manajemen cemas farmakologi / non farmakologi untuk mengatasi cemas
tersebut.

2. Intra anestesi
a. Gangguan perfusi jaringan : pastikan tidak ada gangguan perfusi jaringan
sebelum operasi dimulai
b. Gangguan patensi jalan nafas : patenkan jalan nafas sebelum pembedahan
dimulai
c. Gangguan pola nafas : selalu cek apakah ada kelainan pola nafas pasien atau
tidak
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : perhatikan output dan loading
cairan pasien
e. Resiko aspirasi : pasang NGT jika beresiko terjadinya aspirasi
f. Komplikasi anestesi
g. Gangguan volume darah : perhatikan pendarahan pasien
h. Nyeri : selalu pertahankan analgetik agar pasien tidak terbangun karena nyeri
pada saat operasi
i. Hipotermi : karena suhu yang dingin pasien beresiko terjadinya shivering

3. Pasca anestesi
a. Resiko penurunan perfusi jaringan
b. Resiko obstruksi jalan nafas : usahakan pasien sudah bernafas secara spontan
c. Pola nafas tidak efektif : usahakan pasien sudah bernafas spontan
d. Resiko aspirasi : pasang NGT jika beresiko terjadinya aspirasi
e. Nyeri : lakukan anamnesa pada pada pasien jika merasa nyeri lakukan
manajemen nyeri farmakologi / non farmakologi untuk mengatasi nyeri
tersebut
f. Resiko infeksi
g. Resiko perdarahan
h. Gangguan rasa nyaman
F. Pengkajian Pre Anestesi
1. Anamnesa
a. Keluhan utama :
Pasien merasakan nyeri pada bagian kepala sejak lama dan memberat sejak
seminggu yang lalu. Kemarin mual dan muntah 1x.
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD diantar oleh keluarganya dengan tingkat kesadaran pasien
composmentis (GCS 15). Pasien mengatakan nyeri kepala sejak lama, memberat
sejak seminggu yang lalu disertai mual muntah 1x kemarin. Tidak ada kelemahan
anggota gerak dan tidak ada kejang. Pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan CT
Scan kepala. Diagnosa menunjukan bahwa pasien menderita meningioma dan
harus dilakukan tindakan operasi kraniotomi.
c. Riwayat penyakit dahulu : Pasien mengatakan memiliki riwayat merokok. Tidak
ada riwayat penyakit asma, sesak napas, maag, diabetes, gangguan ginjal, jantung,
HT, hepatitis, pingsan, kejang, demam, dan anemia.
d. Riwayat penyakit keluarga :
Pasien mengatakan keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit asma, serangan
jantung, HT, DM dan gangguan pembekuan darah.

2. Status Gizi
- BB : 70 kg
- TB : 170 cm
- IMT : 24,22 Kg/m2 (Berat badan normal)

3. Pemeriksaan Fisik
a. Airway
- Buka mulut 3 jari
- TMD 6,5 cm
- Mallampati skor 2
- Tidak ada sumbatan di jalan napas
- Gigi palsu tidak ada
b. Breath
- Napas spontan
- RR 16x/menit
- Tidak ada sumbatan jalan nafas
- Pasien tidak mengalami sesak nafas
- Suara nafas vesikuler
- Tidak ada cuping hidung
- Tidak ada retraksi dada
c. Blood
- TD : 128/81 mmHg
- Nadi : 72x/menit
- Hasil EKG : NSR
d. Brain
- Kesadaran : CM
- GCS : 15 E4V5M6
e. Bladder
Produksi urin : 1500 cc/hari
f. Bowel
- Tidak ada pembesaran hepar
- Terdengar bising usus 12x/mnt
g. Bone
- Tidak ada kaku kuduk
- Tidak ada fraktur
- Tidak ada kelainan tulang belakang
4. Psikologis : Pasien tampak tegang dan gelisah
5. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium: tanggal 2 April 2022
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 13.0 10.9 – 14.9 g/dL
Leukosit 9100 479 – 11340 /mm3
Trombosit 258000 216000 – 451000 /Ul
Glukosa sewaktu 151 70 – 139 mg/Dl
Kalium 3.5 3.4 – 4.5 mEq/L
Kalsium 9.7 8.6 – 10.3 mg/Dl
Klorida 104 96 – 108 mEq/L
Kreatinin 0.61 0.50 – 1.00 mg/Dl
Natrium 141 134 – 146 mEq/L
PT 9.7 9.9 – 11.8 s
SGOT 7 <31 U/L
SGPT 11 <31 U/L
Masa Perdarahan (BT) 2’ <6 menit
Masa Penjendalan (CT) 7’ 30’’ <12 menit
HbsAg Negatif Negatif
HIV Negatif Negatif
Catatan : Sedia darah PRC 2 kolf
b. CT Scan

6. Diagnosis Anestesi
Pasien berusia 51 tahun dengan diagnosa meningioma akan dilakukan tindakan
kraniotomi dengan status fisik ASA 3. Direncanakan general anestesi dengan teknik
intubasi endotrakeal. Risiko selama pembiusan antara lain dapat terjadi gangguan
perfusi jaringan dan perdarahan.
7. Analisa Data
Data Masalah Penyebab
PRE ANESTESI
Ds : Nyeri Akut Agen Cedera
- Pasien merasakan nyeri pada bagian Biologis
kepala
Do :
- Pasien terdiagnosis meningioma
- TD 129/80 mmHg
- HR 80x/mnt

Ds : Ansietas Stressor Operasi


- Pasien mengatakan khawatir dengan
prosedur operasi
Do :
- Wajah pasien tampak tegang

INTRA ANESTESI
Ds : - Risiko gangguan Hipovolemi
Do : perfusi jaringan
- Pasien puasa 8 jam
- Masuk RL 500 ml dan Nacl 500 ml
- Input 2700 ml
- Output 1800 ml
- Balance cairan 900 ml

Ds : - Risiko Perdarahan Prosedur


Do : Pembedahan
- Perdarahan ±300 cc
- EBV 4.900
- EBL 927

POST ANESTESI
Ds : - Risiko Jatuh Efek Obat Anestesi
Do :
- Aldrete score 4
- Pasien masih dalam keadaan terbius
Ds : - Hipotermi Paparan Suhu
Do : Ruangan Operasi
- Kulit teraba dingin

8. Diagnosa Keperawatan Dan Prioritas Masalah


1. Pre Anestesi
a. Nyeri akut b.d. agen cedera biologis
b. Ansietas b.d. stressor operasi
2. Durante Anestesi
a. Risiko gangguan perfusi jaringan b.d hipovolemi
b. Risiko perdarahan b.d. prosedur pembedahan
3. Post Anestesi
a. Risiko jatuh b.d. efek obat anestesi
b. Hipotermi b.d. paparan suhu ruangan operasi
9. Perencanaan, Pelaksanaan Dan Evaluasi

Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Implementasi Evaluasi


Keperawatan
Pre Anestesi
Nyeri Akut b.d. Agen Setelah diberikan asuhan a. Identifikasi lokasi, a. Berikan teknik non S: Pasien masih
Cedera Biologis keperawatan anestesi karakteristik, durasi, farmakologis untuk merasakan nyeri pada
selama 1 jam, tingkat nyeri frekuensi, kualitas, mengurangi rasa nyeri bagian kepala.
pasien berkurang dengan intensitas nyeri. (iagno: TENS, iagnose, O: TD 161/99mmHg, HR
kriteria hasil: b. Identifikasi skala nyeri, terapi iagn). 69x/mnt
a. Keluhan nyeri nyeri non verbal, faktor b. Kontrol lingkungan yang A: Nyeri teratasi
menurun yang memperberat dan memperberat nyeri (iagno sebagian.
b. Meringis menurun memperingan nyeri. : suhu ruangan, P: Lanjutkan intervensi.
c. Sikap protektif c. Identifikasi pengetahuan pencahayaan, kebisingan).
menurun dan keyakinan tentang c. Fasilitasi istirahat dan
d. Gelisah menurun nyeri. tidur
e. Kesulitan tidur d. Identifikasi pengaruh d. Pertimbangkan jenis dan
menurun budaya terhadap respon sumber nyeri dalam
nyeri. pemilihan strategi
e. Identifikasi pengaruh nyeri meredakan nyeri.
pada kualitas hidup.
f. Monitor efek samping
penggunaan analgetik.

Ansietas b.d. Stressor Setelah dilakukan asuhan a. Evaluasi tingkat ansietas, a. Evaluasi tingkat ansietas, S: Pasien merasa lebih
Operasi keperawatan anestesi, catat verbal dan non verbal catat verbal dan non tenang.
diharapkan kecemasan pasien. verbal pasien. O:
pasien berkurang dengan b. Jelaskan dan persiapkan b. Menjelaskan dan - Pasien bisa
kriteria hasil: prosedur tindakan operasi. mempersiapkan prosedur menerapkan teknik
a. Melaporkan ansietas c. Ajarkan teknik distraksi tindakan operasi distraksi nafas dalam
menurun sampai cemas dengan nafas dalam. c. Mengajarkan teknik - Pasien dapat
tingkat teratasi d. Anjurkan keluarga untuk distraksi cemas dengan menenangkan
b. Tampak rileks menemani disamping nafas dalam. dirinya sendiri
pasien. d. Mengizinkan keluarga A: Ansietas teratasi.
untuk menemani P : Hentikan
disamping pasien. intervensi.

Intra Anestesi
Risiko gangguan Setelah dilakukan Monitoring intake dan output Monitoring intake dan output S: -
perfusi jaringan b.d intervensi diharapkan cairan cairan O:
hipovolemi gangguan perfusi jaringan Haemodinamik pasien
terpenuhi dengan kriteria stabil
berhasil : - Input cairan 2700 ml
Balance cairan (intake dan - Output cairan 1800 ml
output) terpenuhi - Balance cairan 900 ml
A: Gangguan perfusi
jaringan teratasi
P: Lanjutkan monitor
hemodinamik pasien.

Risiko Perdarahan Setelah dilakukan tindakan a. Monitor haemodinamik a. Monitor haemodinamik S:-
b.d. prosedur keperawatan anestesi, b.Monitor jumlah b. Monitor jumlah O:
pembedahan risiko perdarahan teratasi perdarahan perdarahan - Perdarahan ±300 cc
c. Kolaborasi pemberian - EBV 4.900
dengan kriteria perdarahan c. Kolaborasi pemberian obat
obat ketorolac 30 mg - EBL 927
tidak bertambah banyak. ketorolac 30 mg
A : risiko perdarahan
teratasi.
P : Lanjutkan monitor
hemodinamik dan
cairan.

Post Anestesi
Resiko Jatuh b/d efek Setelah di lakukan a. Pastikan pengaman a. Memastikan pengaman S: -
general anestesi tindakan keperawatan tempat tidur terpasang tempat tidur terpasang O:
pasien tidak mengalami b. Monitor keadaan pasien b. Memonitor keadaan - Pasien tidak jatuh
kejadian jatuh dengan pasien - Pasien tidak
kriteria: mengalami cidera
a. Pasien tidak jatuh A: Resiko jatuh tidak
dari tempat tidur terjadi.
b. Pasien tidak P: Monitor kondisi
mengalami cidera pasien.

Hipotermi b.d. Setelah dilakukan a. Observasi keadaan pasien a. Observasi keadaan pasien S:-
Paparan Suhu ruangan intervensi diharapkan menggigil atau tidak menggigil atau tidak O : Pasien tidak
operasi pasien tidak merasa b. Tanyakan apakah pasien b. Tanyakan apakah pasien menggigil tetapi akral
kedinginan/menggigil merasa kedinginan atau merasa kedinginan atau dingin.
tidak tidak A : Hipotermi teratasi
c. Pakaikan selimut ke pasien c. Pakaikan selimut ke sebagian.
pasien P : Selimut dipakai
sampai dipindah ke ICU.
DAFTAR PUSTAKA

1. Norden AD, Drappatz J, Wen PY. Targeted Drug Therapy For Meningiomas.
Neurosurg Focus 2007 : 23 (4) : E12
2. Rockhill J, Mrugaka M,Chamberlain MC. Intracranial Meningioma An Overview of
Diagnosis and Treatment. Neurosurg Focus. 2007 : 23(4):E1
3. Haddad G.Meningioma.2009. Available from : http://www.emedicine.com
4. Ware ML, lal A, McDermott MW. Meningiomas. In : Baehring JM, Piepmeier JM,
ed. Brain Tumors Practical Guide to Diagnosis. New York. 2007. p 307- 321.
5. Ragei BT, JensenRL. Molecular Genetics of Meningiomas. Neurosurg Focus. 2005 :
19 (5): E9.
6. Ragel BT, Jensen RL, Couldwell WT. Inflammatory Response And Meningioma
Tumorigenesis and The Effect of Cyclooxygenase-2 Inhibitors. Neurosurg Focus.
2007 : 23 (4) E7.
7. Barnholtz JS, kruchko C. Meningiomas Causes and Risk Factors. Neurosurg Focus
2007 : 23(4) : E2

Anda mungkin juga menyukai