Disusun Oleh:
Nama: Amin Ghoni Ghofur
NIM: 210106332
Mengetahui,
Pembimbing Klinik
2. Etiologi
Etiologi spondylolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak
pada spondilolistesis tipe 1 dan 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan
stres/ tekanan konsentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam
terjadinya pergeseran tersebut. Terdapat 5 tipe utama spondilolistesis.
1. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik (kongenital) dan terjadi akibat
kelainan kongenital. Biasanya pada permukaan sacral superior dan permukaan
L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5. 4
2. Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus
atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna
pada individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis
tanpa adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika
satu vertebra mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan
ini disebut dengan spondilolistesis. Tipe II dibagi dalam tiga subkategori :
a. Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolistesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur rekuren
yang disebabkan oleh hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fraktur
pars interarticularis dan paling sering terjadi pada laki-laki.
b. Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru.
c. Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam
menegakkan diagnosis kelainan ini.
3. Tipe III, merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai akibat
degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan sendi
tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang.
Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III,
spondilolistesis degenerative pergeseran vertebra tidak melebihi 30 %.
4. Tipe IV, spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan
dengan fraktur pada bagian pars interartikularis.
5. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya
5. Penatalaksanaan Medis
Terapi pada spondilolistesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu operative
dan non operative. Pemilihan terapi pada pasien tergantung dari usia pasien, tipe
subluksasi dan gejala yang dialami oleh pasien. Tujuan dari terapi adalah
menghilangkan nyeri yang dirasakan pasien dan memperkuat serta stabilisasi
vertebra. Prinsip terapi pada spondilolistesis adalah apabila spondilolistesis yang
ringan tanpa gejala, tidak diperlukan terapi tertentu. Apabila muncul gejala yang
masih ringan, terapinya biasanya diberikan latihan agar tidak terjadi kekakuan
vertebra dan penggunaan brace untuk stabilisasi vertebra. Namun, jika gejala
yang timbul berat dan lebih penting lagi apabila sampai mengganggu aktivitas
pasien, maka operasi menjadi pilihan terbaik.
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat
simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana
gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Tujuan terapi adalah untuk dekompesi
elemen neural dan immobilisasi segmen yang tidak stabil. Umumnya dilakukan
dengan eliminasi pergerakan sepanjang permukaan sendi (facet joints) dan
diskus intervertebralis melalui arthrodesis (fusi). Indikasi intervensi bedah (fusi)
pada pasien dewasa adalah :
1. Tanda neurologis - radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi
konservatif).
2. Klaudikasio neurogenik
3. Pergeseran berat (High grade slip >50 %)
4. Pergeseran tipe I dan tipe II, dengan bukti adanya instabilitas, progresifitas
listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.
5. Spondilolistesis traumatic
6. Spondilolistesis iatrogenic
7. Listesis tipe III (degenerative) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat.
8. Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan (gait).
B. Pertimbangan Anestesi
1. General Anestesi
General anesthesia atau anestesi umum merupakan suatu tindakan yang
bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan menyebabkan amnesia
yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Risiko komplikasi pada anestesi
umum minimal apabila kondisi pasien sedang optimal, namun sebaliknya jika
pasien mempunyai riwayat kebiasaan yang kurang baik misalnya riwayat
penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, alergi pada komponen obat, perokok,
mempunyai riwayat penyakit jantung, paru dan ginjal maka risiko komplikasi
anestesi umum akan lebih tinggi.
Dalam pemberian anestesi umum ada sepuluh hal yang harus diperhatikan atau
biasa disebut The Ten Golden Rules Of Anesthesia yaitu :
1. Penilaian pasien sebelum dilakukan pembedahan dan pembiusan, biasanya
dinyatakan dalam status ASA (American Society of Anesthesiologist).
2. Pengosongan lambung agar tidak terjadi aspirasi
3. Penempatan/posisi pasien di atas meja operasi guna pemantauan selama
operasi berlangsung.
4. Pengecekan mesin anestesi dan alat-alat agar sesuai dengan prosedur.
5. Selalu sediakan mesin suction/penghisap lendir apabila terjadi aspirasi atau
muntah.
6. Jaga saluran napas agar bersih dan tidak terhalang agar memudahkan
pemberian napas.
7. Ahli anestesi harus selalu siap dalam memberika bantuan pernapasan apabila
terjadi henti napas maupun napas tidak adequate.
8. Akses vena harus selalu tersedia untuk memberikan terapi obat dan atau
resusitasi cairan apabila diperlukan.
9. Monitor tanda-tanda vital pasien termasuk denyut nadi, tekanan darah,
maupun saturasi oksigen.
10. Ahli anestesi harus selalu didampingi petugas yang lain untuk membantu
menekan tulang krikoid sehingga dapat memudahkan intubasi.
Anestetik umum dapat diberikan secara parenteral (intravena dan
intramuskuler), inhalasi (melalui isapan/gas), dan rektal (melalui anus). Teknik
general anestesi dan manajemen saluran napas dibedakan menjadi tiga yaitu
menggunakan sungkup muka (face mask), laryngeal mask airway (LMA), dan
intubasi endotrakea.
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai
berikut (Latief, 2007):
1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan
mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
1. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
2. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglottitis
3. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher, atresi
laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
4. Benda asing
5. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
6. Obesitas
7. Ekstensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondylosis arkilosing,
halo traction
8. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi
moncong.
2. Tahap Intubasi :
a. Pastikan semua alat dan obat lengkap
b. Berikan ventilasi O2 100% selama 1-2 menit atau saturasi oksigen
mencapai maksimal (100%)
c. Batang laringoskop dipegang tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
hingga eksistensi dan mulut terbuka.
d. Masukkan laringoskop dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit
menyelusuri lidah kanan, dan menggeser lidah hingga ke sebelah kiri
menuju epiglottis.
e. Cari epiglotis terlebih dahulu, lalu angkat epliglotis
f. Cari rima glottis (terkadang memerlukan bantuan petugas lain untuk
menekan trakea dari luar sehingga rima glottis terlihat).
g. Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah disekitarnya yang
berwarna merah.
h. Masukkan ETT dengan tangan kanan. Dalam memasang ETT harus
diperhatikan saat mengangkat gagang laringoskop. Jangan mengungkit kea
rah gigi atas karena dapat menyebabkan gigi patah.
i. Hubungkan pangkal ETT dengan mesin anestesi atau alat bantu napas
(resusitasi)
Komplikasi Intubasi
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang
biasa terjadi adalah:
1. Saat Intubasi
a. Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon
di laring.
b. Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
c. Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan
intra okuler, laringospasme.
d. Kebocoran balon.
2. Saat ETT di tempatkan
a. Malposisi (kesalahan letak)
b. Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa
hidung.
c. Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.
3. Setelah ekstubasi
a. Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan
trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
b. Laringospasme.
2. Pathway Perioperatif & Masalah Kepenataan Anestesi
Spondylolithesis
Laminektomi
General Anestesi
Posisi
Patofisiologi Stressor Efek sisa obat Suhu OK
pembedahan
Penyakit Operasi anestesi
Hipotermi
Nyeri Ansietas -Gangguan patensi jalan -Lama bangun
napas -Risiko jatuh
-Risiko aspirasi
C. Fokus Pengkajian
1. Anamnesa : pengambilan data melalui wawancara dan observasi untuk
menegakkan diagnosa serta membuat penilaian klinis tentang perubahan status
pasien
a. Riwayat operasi, riwayat anestesi sebelumnya
b. Riwayat penyakit sistemik (DM, hipertensi, kardiovaskuler, TB, asma)
c. Pemakaian obat tertentu
d. Kebiasaan pasien
e. Riwayat penyakit keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
a. Blood : tensi, nadi, nilai syok/ pendarahan, lakukan pemeriksaan jantung
b. Breathing : periksa jalan nafas apakah ada hambatan atau tidak
c. Brain : periksa GCS dan TIK
d. Bladder : produksi urin, pemeriksaan faal ginjal
e. Bowel : pembesaran hepar, bising usus
f. Bone : periksa bentuk leher, apakah ada patah tulang atau tidak, apakah ada
kelainan tulang belakang atau tidak
3. Pemeriksaan penunjang
a. Lab : Hb.AE,AL,AT,CT/BT,APTT/PPT,SGOT/SGPT,
Albumin,Ureum/Creatinin, Bilirubin, Urine Rutin
b. Ro Thorax : Jantung, paru
c. EKG : Irama, HR, bradi, tachi, ST depresi, ST elevasi, T inverted, VES, block
d. USG : Echocardiografi
2. Intra anestesi
a. Gangguan perfusi jaringan : pastikan tidak ada gangguan perfusi jaringan
sebelum operasi dimulai
b. Gangguan patensi jalan nafas : patenkan jalan nafas sebelum pembedahan
dimulai
c. Gangguan pola nafas : selalu cek apakah ada kelainan pola nafas pasien atau
tidak
d. Gangguan keseimbangan ciran dan elektrolit : perhatikan output dan loading
cairan pasien
e. Resiko aspirasi : pasang NGT jika beresiko terjadinya aspirasi
f. Komplikasi anestesi
g. Gangguan volume darah : perhatikan pendarahan pasien
h. Nyeri : selalu pertahankan analgetik agar pasien tidak terbangun karena nyeri
pada saat operasi
i. Hipotermi : karena suhu yang dingin pasien beresiko terjadinya shivering
3. Pasca anestesi
a. Resiko penurunan perfusi jaringan
b. Resiko obstruksi jalan nafas : usahakan pasien sudah bernafas secara spontan
c. Pola nafas tidak efektif : usahakan pasien sudah bernafas spontan
d. Resiko aspirasi : pasang NGT jika beresiko terjadinya aspirasi
e. Nyeri : lakukan anamnesa pada pada pasien jika merasa nyeri lakukan
manajemen nyeri farmakologi / non farmakologi untuk mengatasi nyeri
tersebut
f. Resiko infeksi
g. Resiko perdarahan
h. Gangguan rasa nyaman
E. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Anamnesa
a. Keluhan utama :
Pasien merasakan nyeri, kesemutan, dan lemah di kedua kaki sejak beberapa hari
yang lalu.
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke Poli Bedah Syaraf diantar oleh keluarganya dengan tingkat
kesadaran pasien composmentis (GCS 15). Pasien mengatakan nyeri dari daerah
punggung ke bawah, kaki merasa kesemutan, dan terasa lemah untuk berjalan.
Pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang berupa CT Scan. Diagnosa
menunjukkan bahwa pasien menderita spondylolithesis dan harus dilakukan
tindakan operasi laminektomi
c. Riwayat penyakit dahulu : Pasien mengatakan belum pernah melakukan tindakan
operasi. Terdapat riwayat merokok. Serta tidak ada riwayat penyakit asma, sesak
napas, maag, diabetes, gangguan ginjal, jantung, hepatitis, pingsan, kejang,
demam, dan anemia.
d. Riwayat penyakit keluarga :
Pasien mengatakan keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit asma, serangan
jantung, HT, DM dan gangguan pembekuan darah.
2. Status Gizi
- BB : 50 kg
- TB : 160 cm
- IMT : 19,5 Kg/m2 (Berat badan normal)
3. Pemeriksaan Fisik
a. Airway
- Buka mulut 3 jari
- TMD 6,5 cm
- Mallampati skor 2
- Tidak ada sumbatan di jalan napas
- Gigi palsu tidak ada
b. Breath
- Napas spontan
- RR 16x/menit
- Pasien tidak mengalami sesak nafas
- Suara nafas vesikuler
- Tidak ada retraksi dada
c. Blood
- TD : 160/90 mmHg
- Nadi : 72x/menit
- Hasil EKG : NSR
d. Brain
- Kesadaran : CM
- GCS : 15 E4V5M6
e. Bladder
- Produksi urin : terkaji/ terpasang kateter
- Tidak ada retensi urine
- Tidak ada infeksi saluran kemih
f. Bowel
- Tidak ada pembesaran hepar
- Terdengar bising usus 12x/mnt
g. Bone
- Tidak ada kaku kuduk
- Tidak ada fraktur
- Tidak ada kelainan tulang belakang
4. Psikologis : Pasien tampak tegang dan gelisah
5. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium: tanggal 13 April 2022
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 13.3 10.9 – 14.9 g/dL
Leukosit 6160 479 - 11340 /mm3
Trombosit 21000 216000 - 451000 /uL
Glukosa sewaktu 149 (H) 70 – 139 mg/dL
Kalium 4.3 3.4 – 4.5 mEq/L
Kalsium 8.7 8.6 – 10.3 mg/dL
Klorida 108 96 – 108 mEq/L
Kreatinin 1.06 0.50 – 1.00 mg/dL
Natrium 142 134 – 146 mEq/L
PT 10.9 9.9 – 11.8 s
SGOT 13 <31 U/L
SGPT 8 <31 U/L
Masa Perdarahan (BT) 2’ <6 menit
Masa Penjendalan (CT) 7’ 30’’ <12 menit
HBsAg Negatif Negatif
b. CT Scan
6. Diagnosis Anestesi
Pasien berusia 54 tahun dengan diagnosa medis spondylolithesis akan dilakukan
tindakan laminektomi dengan status fisik ASA 2. Direncanakan general anestesi
dengan teknik intubasi endotrakeal. Risiko selama pembiusan antara lain dapat
terjadi gangguan patensi jalan napas dan risiko aspirasi.
7. Analisa Data
Data Masalah Penyebab
PRE ANESTESI
Ds : Nyeri akut Agen cedera biologis
- Pasien merasakan nyeri dan kesemutan
dibagian kedua anggota gerak bawah
Do :
- Pasien terdiagnosis spondylolithesis
- Skala nyeri NRS 5
- TD 160/70 mmHg
- HR 89x/mnt
INTRA ANESTESI
Ds : Gangguan patensi Posisi pembedahan
Do : jalan napas
- Posisi pasien saat pembedahan adalah
pronasi sehingga bagian dada tertekan.
- SpO2 99%
POST ANESTESI
Ds : - Pasien lama Efek obat anestesi
Do : bangun
- Pada saat intra anestesi analgesik
fentanyl masuk 200 mcg,
dexmedetomidine dan roculax syringe
pump, dan sevoflurane 1.5 vol% sehingga
pasien tersedasi dalam.
Ansietas b.d. Stressor Setelah dilakukan asuhan a. Evaluasi tingkat ansietas, a. Evaluasi tingkat ansietas, S: Pasien merasa lebih
Operasi keperawatan anestesi, catat verbal dan non verbal catat verbal dan non tenang.
diharapkan kecemasan pasien. verbal pasien. O:
pasien berkurang dengan b. Jelaskan dan persiapkan b. Menjelaskan dan - Pasien bisa
kriteria hasil: prosedur tindakan operasi. mempersiapkan prosedur menerapkan teknik
a. Melaporkan ansietas c. Ajarkan teknik distraksi tindakan operasi distraksi nafas dalam
menurun sampai cemas dengan nafas dalam. c. Mengajarkan teknik - Pasien dapat
tingkat teratasi d. Anjurkan keluarga untuk distraksi cemas dengan menenangkan
b. Tampak rileks menemani disamping nafas dalam. dirinya sendiri
pasien. d. Mengizinkan keluarga A: Ansietas teratasi.
untuk menemani P : Hentikan
disamping pasien. intervensi.
Intra Anestesi
Gangguan patensi Setelah dilakukan Monitoring oksigenasi pasien Monitoring oksigenasi pasien S: -
jalan napas b. d posisi intervensi diharapkan O:
pembedahan gangguan patensi jalan - Posisi pasien pada saat
napas teratasi dengan pembedahan adalah
kriteria berhasil adalah pronasi
SpO2 dgn xyaitu diantara - SpO2 99%
95- 100% A: gangguan patensi
jalan napas teratasi
P: Lanjutkan monitor
oksigenasi pasien.
Risiko aspirasi b. d Setelah dilakukan tindakan Pemasangan tampon pada Memasang tampon di S:-
posisi pembedahan keperawatan anestesi, mulut mulut O : tampon terpasang
risiko aspirasi tidak terjadi. satu di mulut.
A : risiko aspirasi tidak
terjadi
P : Lanjutkan monitor
hemodinamik dan
cairan.
Post Anestesi
Resiko Jatuh b/d efek Setelah di lakukan a. Pastikan pengaman a. Memastikan pengaman S: -
general anestesi tindakan keperawatan tempat tidur terpasang tempat tidur terpasang O:
pasien tidak mengalami b. Monitor keadaan pasien b. Memonitor keadaan - Aldrete score 8
kejadian jatuh dengan pasien - KU lemah
kriteria: A: Resiko jatuh tidak
a. Pasien tidak jatuh terjadi.
dari tempat tidur P: Monitor kondisi
b. Pasien tidak pasien.
mengalami cidera
Hipotermi b.d. Setelah dilakukan a. Observasi keadaan pasien a. Observasi keadaan pasien S:-
Paparan Suhu ruangan intervensi diharapkan menggigil atau tidak menggigil atau tidak O : Pasien menggigil,
operasi pasien tidak merasa b. Tanyakan apakah pasien b. Tanyakan apakah pasien akral dingin.
kedinginan/menggigil merasa kedinginan atau merasa kedinginan atau A : Hipotermi teratasi.
tidak tidak P : Selimut dipakai
c. Pakaikan selimut ke pasien c. Pakaikan selimut ke sampai dipindah ke
pasien bangsal.
DAFTAR PUSTAKA
Afia, F.N dan Bambang E.S. 2020. Manajemen Anastesi pada Laminektomi pada Cedera
Vertebra Servikal V-VI di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, Bandar Lampung. Bagian Ilmu
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK : Universitas Lampung.
Brunner & Suddarth. (2014). Keperawatan medikal Bedah Brunner & Suddarth. EGC.
Departemen Kesehatan RI.
Latief, Said A, dkk. (2010). Petunjuk Praktik Anestesiologi: Edisi Kedua. Jakarta: FKUI
Mangku Gde & Senephati, Tjokorda GA. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia Reanimasi.
Jakarta: indeksAstuti, D. I. Y. (2016). Asuhan Keperawatan pada Ibu S yang Mengalami
Tumor Otak (Astrocytoma) di Ruang Angsoka Rumah Sakit Umum Daerah Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9),
1689–1699.
Syaifuddin, A.H. (2011). Buku Anfis (S. K. Monica Ester, Ed.). Penerbit Buku Kedokteran.