Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI Tn. T DENGAN LAMINEKTOMI


SPONDILOLITHESIS DENGAN TEKNIK ANESTESI UMUM DI RUMAH SAKIT
MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Disusun Oleh:
Nama: Amin Ghoni Ghofur
NIM: 210106332

Mengetahui,

Pembimbing Klinik

(Wilis Sukmaningtyas, SST., S.Kep., Ns., M.Kes)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2022
A. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Kata spondylolisthesis berasal dari bahsa Yunani yang terdiri atas kata
“spondylo” yang berarti tulang belakang (vertebra) dan “listhesis” yang berarti
bergeser. Maka spondilolistesis adalah suatu pergeseran korpus vertebrae
(biasanya kedepan) terhadap korpus vertebra yang terletak dibawahnya.
Umumnya terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5
bergeser (slip) diatas S1, akan tetapi hal tersebut dapat terjadi pula pada tingkat
vertebra yang lebih tinggi (Dennis, 2011).
Spondilolistesis merupakan pergeseran kedepan korpus vertebra dalam
hubungannya dengan sacrum, atau kadang dihubungan dengan vertebra lain.
Kelainan terjadi akibat hilangnya kontinuitas-pars intervertebralis sehingga
menjadi kurang kuat untuk menahan pergeseran tulang berakang. Dikenali
beberapa tipe yaitu; Spondilolistesis spondilolitik. Degenerative, congenital,
traumatic dan patologik. Biasanya juga ditemukan tanda spondilisis
(Sjamsuhidajat, 2005).

2. Etiologi
Etiologi spondylolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak
pada spondilolistesis tipe 1 dan 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan
stres/ tekanan konsentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam
terjadinya pergeseran tersebut. Terdapat 5 tipe utama spondilolistesis.
1. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik (kongenital) dan terjadi akibat
kelainan kongenital. Biasanya pada permukaan sacral superior dan permukaan
L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5. 4
2. Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus
atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna
pada individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis
tanpa adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika
satu vertebra mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan
ini disebut dengan spondilolistesis. Tipe II dibagi dalam tiga subkategori :
a. Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolistesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur rekuren
yang disebabkan oleh hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fraktur
pars interarticularis dan paling sering terjadi pada laki-laki.
b. Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru.
c. Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam
menegakkan diagnosis kelainan ini.
3. Tipe III, merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai akibat
degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan sendi
tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang.
Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III,
spondilolistesis degenerative pergeseran vertebra tidak melebihi 30 %.
4. Tipe IV, spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan
dengan fraktur pada bagian pars interartikularis.
5. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya

3. Tanda dan Gejala Klinis


Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe
pergeseran dan usia pasien. Masa awal, gambaran klinisnya berupa low back pain
yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong, terutama selama
aktivitas tinggi. Gejala jarang berhubungan dengan derajat pergeseran (slippage),
meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda
neurologis berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai system sensoris,
motoric dan perubahan reflex akibat dari pergeseran serabut saraf. Progresifitas
listesis pada individu dewasa muda biasanya terjadi bilateral dan berhubungan
dengan gambaran klinis/fisik berupa :
1. Terbatasnya pergerakan tulang belakang
2. Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh
3. Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal
4. Hiperkifosis lumbosacral junction
5. Kesulitan berjalan
6. Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis)
Pasien dengan spondilolistesis degenerative biasanya pada orang tua dan
muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio
neurogenic atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling
sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi
akibat stenosis resesus lateralis dan hipertrofi ligamen atau herniasi diskus.
Cabang akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor
halluces longus. Penyebab gejala klaudikasio neurogenic selama pergerakan
adalah bersifat multifactorial. Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang
belakang dengan duduk. Hal tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf,
sehingga mengurangi nyeri yang timbul.

4. Pemeriksaan Diagnostik/pemeriksaan penunjang terkait


Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
radiologis.
1. Gambaran Klinis
Umunya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas
membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat
menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang
belakang merupakan ciri yang spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri pada
bokong dan otot hamstring tidak sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti
subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya baik dan masalah tulang
belakang umumnya tidak berhubungan dengan penyakit atau kondisi lainnya.
2. Pemeriksaan Fisik
Ketika pasien dalam posisi telungkup (prone) di atas meja
pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika
palpasi dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri
dan kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien,
lokalisasi nyeri disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien
diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti
posisi fetus. Defek dapat diketahui pada posisi tersebut. Pemeriksaan
neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis biasanya negative. Fungsi
berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada pasien dengan
sindrom cauda equine yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
3. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos vertebra merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam
diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan
spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP,
Lateral dan oblique adalah modalitas standard dan posisi lateral persendian
lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis.
Pasien dengan defek pada pars interartikularis sangat mudah terlihat
dengan CT scan. Bone scan (SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal
reaksi stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik
dengan foto polos.
CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan
baik, akan tetapi MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat
mengidentifikasi tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak (diskus,
kanal dan anatomi serabut saraf ) lebih baik dibandingkan dengan foto polos.

5. Penatalaksanaan Medis
Terapi pada spondilolistesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu operative
dan non operative. Pemilihan terapi pada pasien tergantung dari usia pasien, tipe
subluksasi dan gejala yang dialami oleh pasien. Tujuan dari terapi adalah
menghilangkan nyeri yang dirasakan pasien dan memperkuat serta stabilisasi
vertebra. Prinsip terapi pada spondilolistesis adalah apabila spondilolistesis yang
ringan tanpa gejala, tidak diperlukan terapi tertentu. Apabila muncul gejala yang
masih ringan, terapinya biasanya diberikan latihan agar tidak terjadi kekakuan
vertebra dan penggunaan brace untuk stabilisasi vertebra. Namun, jika gejala
yang timbul berat dan lebih penting lagi apabila sampai mengganggu aktivitas
pasien, maka operasi menjadi pilihan terbaik.
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat
simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana
gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Tujuan terapi adalah untuk dekompesi
elemen neural dan immobilisasi segmen yang tidak stabil. Umumnya dilakukan
dengan eliminasi pergerakan sepanjang permukaan sendi (facet joints) dan
diskus intervertebralis melalui arthrodesis (fusi). Indikasi intervensi bedah (fusi)
pada pasien dewasa adalah :
1. Tanda neurologis - radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi
konservatif).
2. Klaudikasio neurogenik
3. Pergeseran berat (High grade slip >50 %)
4. Pergeseran tipe I dan tipe II, dengan bukti adanya instabilitas, progresifitas
listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.
5. Spondilolistesis traumatic
6. Spondilolistesis iatrogenic
7. Listesis tipe III (degenerative) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat.
8. Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan (gait).

B. Pertimbangan Anestesi
1. General Anestesi
General anesthesia atau anestesi umum merupakan suatu tindakan yang
bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan menyebabkan amnesia
yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Risiko komplikasi pada anestesi
umum minimal apabila kondisi pasien sedang optimal, namun sebaliknya jika
pasien mempunyai riwayat kebiasaan yang kurang baik misalnya riwayat
penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, alergi pada komponen obat, perokok,
mempunyai riwayat penyakit jantung, paru dan ginjal maka risiko komplikasi
anestesi umum akan lebih tinggi.
Dalam pemberian anestesi umum ada sepuluh hal yang harus diperhatikan atau
biasa disebut The Ten Golden Rules Of Anesthesia yaitu :
1. Penilaian pasien sebelum dilakukan pembedahan dan pembiusan, biasanya
dinyatakan dalam status ASA (American Society of Anesthesiologist).
2. Pengosongan lambung agar tidak terjadi aspirasi
3. Penempatan/posisi pasien di atas meja operasi guna pemantauan selama
operasi berlangsung.
4. Pengecekan mesin anestesi dan alat-alat agar sesuai dengan prosedur.
5. Selalu sediakan mesin suction/penghisap lendir apabila terjadi aspirasi atau
muntah.
6. Jaga saluran napas agar bersih dan tidak terhalang agar memudahkan
pemberian napas.
7. Ahli anestesi harus selalu siap dalam memberika bantuan pernapasan apabila
terjadi henti napas maupun napas tidak adequate.
8. Akses vena harus selalu tersedia untuk memberikan terapi obat dan atau
resusitasi cairan apabila diperlukan.
9. Monitor tanda-tanda vital pasien termasuk denyut nadi, tekanan darah,
maupun saturasi oksigen.
10. Ahli anestesi harus selalu didampingi petugas yang lain untuk membantu
menekan tulang krikoid sehingga dapat memudahkan intubasi.
Anestetik umum dapat diberikan secara parenteral (intravena dan
intramuskuler), inhalasi (melalui isapan/gas), dan rektal (melalui anus). Teknik
general anestesi dan manajemen saluran napas dibedakan menjadi tiga yaitu
menggunakan sungkup muka (face mask), laryngeal mask airway (LMA), dan
intubasi endotrakea.
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai
berikut (Latief, 2007):
1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan
mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
1. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
2. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglottitis
3. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher, atresi
laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
4. Benda asing
5. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
6. Obesitas
7. Ekstensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondylosis arkilosing,
halo traction
8. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi
moncong.

Prosedur Intubasi Endotrakeal menurut (Pramono, 2017) yaitu :


1. Tahap Persiapan :
a. Persiapkan alat-alat yang dibutuhkan (STATICS) yaitu scope (laringoskop,
stetoskop), Tube (endotracheal tube/ ETT), Airway (Guedel/ mayo), Tape
(plester, hipafix), Introducer (stilet), Connector, Suction, dan Spuit.
b. Pemberian obat induksi anestesi (apabila diperlukan) seperti propofol atau
ketamin sesuai dosis yang ditentukan.
c. Pemberian obat muscle relaxant seperti atrakurium atau suksinil kolin.
d. Pemberian obat emergency anestesi (apabila diperlukan) seperti adrenalin
(epinefrin) apabila terjadi henti jantung dan sulfas atropine (SA) apabila
terjadi bradikardi.

2. Tahap Intubasi :
a. Pastikan semua alat dan obat lengkap
b. Berikan ventilasi O2 100% selama 1-2 menit atau saturasi oksigen
mencapai maksimal (100%)
c. Batang laringoskop dipegang tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
hingga eksistensi dan mulut terbuka.
d. Masukkan laringoskop dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit
menyelusuri lidah kanan, dan menggeser lidah hingga ke sebelah kiri
menuju epiglottis.
e. Cari epiglotis terlebih dahulu, lalu angkat epliglotis
f. Cari rima glottis (terkadang memerlukan bantuan petugas lain untuk
menekan trakea dari luar sehingga rima glottis terlihat).
g. Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah disekitarnya yang
berwarna merah.
h. Masukkan ETT dengan tangan kanan. Dalam memasang ETT harus
diperhatikan saat mengangkat gagang laringoskop. Jangan mengungkit kea
rah gigi atas karena dapat menyebabkan gigi patah.
i. Hubungkan pangkal ETT dengan mesin anestesi atau alat bantu napas
(resusitasi)
Komplikasi Intubasi
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang
biasa terjadi adalah:
1. Saat Intubasi
a. Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon
di laring.
b. Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
c. Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan
intra okuler, laringospasme.
d. Kebocoran balon.
2. Saat ETT di tempatkan
a. Malposisi (kesalahan letak)
b. Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa
hidung.
c. Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.
3. Setelah ekstubasi
a. Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan
trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
b. Laringospasme.
2. Pathway Perioperatif & Masalah Kepenataan Anestesi

Spondylolithesis

Laminektomi

General Anestesi

Pre Op Intra Op Post Op

Posisi
Patofisiologi Stressor Efek sisa obat Suhu OK
pembedahan
Penyakit Operasi anestesi

Hipotermi
Nyeri Ansietas -Gangguan patensi jalan -Lama bangun
napas -Risiko jatuh
-Risiko aspirasi
C. Fokus Pengkajian
1. Anamnesa : pengambilan data melalui wawancara dan observasi untuk
menegakkan diagnosa serta membuat penilaian klinis tentang perubahan status
pasien
a. Riwayat operasi, riwayat anestesi sebelumnya
b. Riwayat penyakit sistemik (DM, hipertensi, kardiovaskuler, TB, asma)
c. Pemakaian obat tertentu
d. Kebiasaan pasien
e. Riwayat penyakit keluarga

2. Pemeriksaan Fisik
a. Blood : tensi, nadi, nilai syok/ pendarahan, lakukan pemeriksaan jantung
b. Breathing : periksa jalan nafas apakah ada hambatan atau tidak
c. Brain : periksa GCS dan TIK
d. Bladder : produksi urin, pemeriksaan faal ginjal
e. Bowel : pembesaran hepar, bising usus
f. Bone : periksa bentuk leher, apakah ada patah tulang atau tidak, apakah ada
kelainan tulang belakang atau tidak

3. Pemeriksaan penunjang
a. Lab : Hb.AE,AL,AT,CT/BT,APTT/PPT,SGOT/SGPT,
Albumin,Ureum/Creatinin, Bilirubin, Urine Rutin
b. Ro Thorax : Jantung, paru
c. EKG : Irama, HR, bradi, tachi, ST depresi, ST elevasi, T inverted, VES, block
d. USG : Echocardiografi

4. Menentukan status fisik pasien ( ASA )


a. Asa 1 : Pasien tidak memiliki riwayat penyakit penyerta
b. Asa 2 : Pasien memiliki kelainan sistemik ringan – sedang selain yang akan
dioperasi. Co : hipertensi ringan , DM ringan
c. Asa 3 : Pasien memiliki penyakit sistemik berat selain yang dioperasi tapi
belum mengancam nyawa. Co : hipertensi tak terkontrol , asma bronkial , DM
tak terkontrol
d. Asa 4 : Pasien memiliki penyakit sistemik berat selain yang dioperasi dan
mengancam nyawa. Co : asma bronkial berat , koma diabetikum.
e. Asa 5 : Pasien dalam kondisi sangat jelek dimana tindakan anestesi mungkin
dapat menyelamatkan tetapi resiko kematian jauh lebih besar. Co : Koma
berat.
f. Asa 6 : Pasien dinyatakan mati batang otak

5. Menentukan resiko penyulit


a. Penyulit respirasi : Periksa jalan nafas pasien , periksa apakah ada penyakit
pernafasan pasien yang dapat menyulitkan pada saat operasi.
b. Penyulit kardiovaskuler : Periksa apakah ada kelainan kardiovaskuler pada
pasien.
c. Aspirasi isi lambung : Aspirasi isi lambung untuk melihat apakah ada kelainan
pada lambung atau tidak.

D. Penentuan Masalah Kesehatan


1. Pra operasi
a. Nyeri : lakukan anamnesa pada pasien jika merasa nyeri lakukan manajemen
nyeri farmakologi / non farmakologi untuk mengatasi nyeri tersebut.
b. Takut/ cemas : lakukan anamnesa pada pada pasien jika merasa cemas lakukan
manajemen cemas farmakologi / non farmakologi untuk mengatasi cemas
tersebut.

2. Intra anestesi
a. Gangguan perfusi jaringan : pastikan tidak ada gangguan perfusi jaringan
sebelum operasi dimulai
b. Gangguan patensi jalan nafas : patenkan jalan nafas sebelum pembedahan
dimulai
c. Gangguan pola nafas : selalu cek apakah ada kelainan pola nafas pasien atau
tidak
d. Gangguan keseimbangan ciran dan elektrolit : perhatikan output dan loading
cairan pasien
e. Resiko aspirasi : pasang NGT jika beresiko terjadinya aspirasi
f. Komplikasi anestesi
g. Gangguan volume darah : perhatikan pendarahan pasien
h. Nyeri : selalu pertahankan analgetik agar pasien tidak terbangun karena nyeri
pada saat operasi
i. Hipotermi : karena suhu yang dingin pasien beresiko terjadinya shivering

3. Pasca anestesi
a. Resiko penurunan perfusi jaringan
b. Resiko obstruksi jalan nafas : usahakan pasien sudah bernafas secara spontan
c. Pola nafas tidak efektif : usahakan pasien sudah bernafas spontan
d. Resiko aspirasi : pasang NGT jika beresiko terjadinya aspirasi
e. Nyeri : lakukan anamnesa pada pada pasien jika merasa nyeri lakukan
manajemen nyeri farmakologi / non farmakologi untuk mengatasi nyeri
tersebut
f. Resiko infeksi
g. Resiko perdarahan
h. Gangguan rasa nyaman
E. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Anamnesa
a. Keluhan utama :
Pasien merasakan nyeri, kesemutan, dan lemah di kedua kaki sejak beberapa hari
yang lalu.
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke Poli Bedah Syaraf diantar oleh keluarganya dengan tingkat
kesadaran pasien composmentis (GCS 15). Pasien mengatakan nyeri dari daerah
punggung ke bawah, kaki merasa kesemutan, dan terasa lemah untuk berjalan.
Pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang berupa CT Scan. Diagnosa
menunjukkan bahwa pasien menderita spondylolithesis dan harus dilakukan
tindakan operasi laminektomi
c. Riwayat penyakit dahulu : Pasien mengatakan belum pernah melakukan tindakan
operasi. Terdapat riwayat merokok. Serta tidak ada riwayat penyakit asma, sesak
napas, maag, diabetes, gangguan ginjal, jantung, hepatitis, pingsan, kejang,
demam, dan anemia.
d. Riwayat penyakit keluarga :
Pasien mengatakan keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit asma, serangan
jantung, HT, DM dan gangguan pembekuan darah.

2. Status Gizi
- BB : 50 kg
- TB : 160 cm
- IMT : 19,5 Kg/m2 (Berat badan normal)

3. Pemeriksaan Fisik
a. Airway
- Buka mulut 3 jari
- TMD 6,5 cm
- Mallampati skor 2
- Tidak ada sumbatan di jalan napas
- Gigi palsu tidak ada
b. Breath
- Napas spontan
- RR 16x/menit
- Pasien tidak mengalami sesak nafas
- Suara nafas vesikuler
- Tidak ada retraksi dada
c. Blood
- TD : 160/90 mmHg
- Nadi : 72x/menit
- Hasil EKG : NSR
d. Brain
- Kesadaran : CM
- GCS : 15 E4V5M6
e. Bladder
- Produksi urin : terkaji/ terpasang kateter
- Tidak ada retensi urine
- Tidak ada infeksi saluran kemih
f. Bowel
- Tidak ada pembesaran hepar
- Terdengar bising usus 12x/mnt
g. Bone
- Tidak ada kaku kuduk
- Tidak ada fraktur
- Tidak ada kelainan tulang belakang
4. Psikologis : Pasien tampak tegang dan gelisah
5. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium: tanggal 13 April 2022
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 13.3 10.9 – 14.9 g/dL
Leukosit 6160 479 - 11340 /mm3
Trombosit 21000 216000 - 451000 /uL
Glukosa sewaktu 149 (H) 70 – 139 mg/dL
Kalium 4.3 3.4 – 4.5 mEq/L
Kalsium 8.7 8.6 – 10.3 mg/dL
Klorida 108 96 – 108 mEq/L
Kreatinin 1.06 0.50 – 1.00 mg/dL
Natrium 142 134 – 146 mEq/L
PT 10.9 9.9 – 11.8 s
SGOT 13 <31 U/L
SGPT 8 <31 U/L
Masa Perdarahan (BT) 2’ <6 menit
Masa Penjendalan (CT) 7’ 30’’ <12 menit
HBsAg Negatif Negatif

b. CT Scan

6. Diagnosis Anestesi
Pasien berusia 54 tahun dengan diagnosa medis spondylolithesis akan dilakukan
tindakan laminektomi dengan status fisik ASA 2. Direncanakan general anestesi
dengan teknik intubasi endotrakeal. Risiko selama pembiusan antara lain dapat
terjadi gangguan patensi jalan napas dan risiko aspirasi.

7. Analisa Data
Data Masalah Penyebab
PRE ANESTESI
Ds : Nyeri akut Agen cedera biologis
- Pasien merasakan nyeri dan kesemutan
dibagian kedua anggota gerak bawah
Do :
- Pasien terdiagnosis spondylolithesis
- Skala nyeri NRS 5
- TD 160/70 mmHg
- HR 89x/mnt

Ds : Ansietas Stressor operasi


- Pasien mengatakan khawatir dengan
prosedur operasi
Do :
- Wajah pasien tampak tegang

INTRA ANESTESI
Ds : Gangguan patensi Posisi pembedahan
Do : jalan napas
- Posisi pasien saat pembedahan adalah
pronasi sehingga bagian dada tertekan.
- SpO2 99%

Ds : - Risiko aspirasi Posisi pembedahan


Do :
- Dipasang tampon di mulut untuk
mengurangi sekret

POST ANESTESI
Ds : - Pasien lama Efek obat anestesi
Do : bangun
- Pada saat intra anestesi analgesik
fentanyl masuk 200 mcg,
dexmedetomidine dan roculax syringe
pump, dan sevoflurane 1.5 vol% sehingga
pasien tersedasi dalam.

Ds : - Risiko jatuh Efek obat anestesi


Do :
- Aldrete score 8
- KU lemah
- Pasien masih disorientasi
Ds : - Hipotermi Paparan suhu
Do :
ruangan operasi
Kulit teraba dingin

8. Diagnosa Keperawatan Dan Prioritas Masalah


1. Pre Anestesi
a. Nyeri akut b.d. agen cedera biologis
b. Ansietas b.d. stressor operasi
2. Durante Anestesi
a. Gangguan patensi jalan napas b.d posisi pembedahan
b. Risiko aspirasi b.d. posisi pembedahan
3. Post Anestesi
a. Pasien lama bangun b.d efek obat anestesi
b. Risiko jatuh b.d. efek obat anestesi
c. Hipotermi b.d. paparan suhu ruangan operasi
9. Evaluasi

Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Implementasi Evaluasi


Keperawatan
Pre Anestesi
Nyeri Akut b.d. Agen Setelah diberikan asuhan a. Identifikasi lokasi, a. Berikan teknik non S: Pasien masih
Cedera Biologis keperawatan anestesi karakteristik, durasi, farmakologis untuk merasakan nyeri pada
selama 1 jam, tingkat nyeri frekuensi, kualitas, mengurangi rasa nyeri bagian kepala.
pasien berkurang dengan intensitas nyeri. (misal: TENS, hipnosis, O: TD 161/99mmHg, HR
kriteria hasil: b. Identifikasi skala nyeri, terapi musik). 69x/mnt
a. Keluhan nyeri nyeri non verbal, faktor b. Kontrol lingkungan yang A: Nyeri teratasi
menurun yang memperberat dan memperberat nyeri sebagian.
b. Meringis menurun memperingan nyeri. (misal : suhu ruangan, P: Lanjutkan intervensi.
c. Sikap protektif c. Identifikasi pengetahuan pencahayaan, kebisingan).
menurun dan keyakinan tentang c. Fasilitasi istirahat dan
d. Gelisah menurun nyeri. tidur
e. Kesulitan tidur d. Identifikasi pengaruh d. Pertimbangkan jenis dan
menurun budaya terhadap respon sumber nyeri dalam
nyeri. pemilihan strategi
e. Identifikasi pengaruh nyeri meredakan nyeri.
pada kualitas hidup.
f. Monitor efek samping
penggunaan analgetik.

Ansietas b.d. Stressor Setelah dilakukan asuhan a. Evaluasi tingkat ansietas, a. Evaluasi tingkat ansietas, S: Pasien merasa lebih
Operasi keperawatan anestesi, catat verbal dan non verbal catat verbal dan non tenang.
diharapkan kecemasan pasien. verbal pasien. O:
pasien berkurang dengan b. Jelaskan dan persiapkan b. Menjelaskan dan - Pasien bisa
kriteria hasil: prosedur tindakan operasi. mempersiapkan prosedur menerapkan teknik
a. Melaporkan ansietas c. Ajarkan teknik distraksi tindakan operasi distraksi nafas dalam
menurun sampai cemas dengan nafas dalam. c. Mengajarkan teknik - Pasien dapat
tingkat teratasi d. Anjurkan keluarga untuk distraksi cemas dengan menenangkan
b. Tampak rileks menemani disamping nafas dalam. dirinya sendiri
pasien. d. Mengizinkan keluarga A: Ansietas teratasi.
untuk menemani P : Hentikan
disamping pasien. intervensi.

Intra Anestesi
Gangguan patensi Setelah dilakukan Monitoring oksigenasi pasien Monitoring oksigenasi pasien S: -
jalan napas b. d posisi intervensi diharapkan O:
pembedahan gangguan patensi jalan - Posisi pasien pada saat
napas teratasi dengan pembedahan adalah
kriteria berhasil adalah pronasi
SpO2 dgn xyaitu diantara - SpO2 99%
95- 100% A: gangguan patensi
jalan napas teratasi
P: Lanjutkan monitor
oksigenasi pasien.

Risiko aspirasi b. d Setelah dilakukan tindakan Pemasangan tampon pada Memasang tampon di S:-
posisi pembedahan keperawatan anestesi, mulut mulut O : tampon terpasang
risiko aspirasi tidak terjadi. satu di mulut.
A : risiko aspirasi tidak
terjadi
P : Lanjutkan monitor
hemodinamik dan
cairan.

Post Anestesi
Resiko Jatuh b/d efek Setelah di lakukan a. Pastikan pengaman a. Memastikan pengaman S: -
general anestesi tindakan keperawatan tempat tidur terpasang tempat tidur terpasang O:
pasien tidak mengalami b. Monitor keadaan pasien b. Memonitor keadaan - Aldrete score 8
kejadian jatuh dengan pasien - KU lemah
kriteria: A: Resiko jatuh tidak
a. Pasien tidak jatuh terjadi.
dari tempat tidur P: Monitor kondisi
b. Pasien tidak pasien.
mengalami cidera

Hipotermi b.d. Setelah dilakukan a. Observasi keadaan pasien a. Observasi keadaan pasien S:-
Paparan Suhu ruangan intervensi diharapkan menggigil atau tidak menggigil atau tidak O : Pasien menggigil,
operasi pasien tidak merasa b. Tanyakan apakah pasien b. Tanyakan apakah pasien akral dingin.
kedinginan/menggigil merasa kedinginan atau merasa kedinginan atau A : Hipotermi teratasi.
tidak tidak P : Selimut dipakai
c. Pakaikan selimut ke pasien c. Pakaikan selimut ke sampai dipindah ke
pasien bangsal.
DAFTAR PUSTAKA

Afia, F.N dan Bambang E.S. 2020. Manajemen Anastesi pada Laminektomi pada Cedera
Vertebra Servikal V-VI di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, Bandar Lampung. Bagian Ilmu
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK : Universitas Lampung.

Brunner & Suddarth. (2014). Keperawatan medikal Bedah Brunner & Suddarth. EGC.
Departemen Kesehatan RI.

Bisri, H. Tatang. (1996). Neuroanestesi. Unpad : Bandung

Carpenito,L.J.(2013). Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktek Klinik (Terjemahan).


Edisi 6. Jakarta: EGC

Latief, Said A, dkk. (2010). Petunjuk Praktik Anestesiologi: Edisi Kedua. Jakarta: FKUI

Mangku Gde & Senephati, Tjokorda GA. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia Reanimasi.
Jakarta: indeksAstuti, D. I. Y. (2016). Asuhan Keperawatan pada Ibu S yang Mengalami
Tumor Otak (Astrocytoma) di Ruang Angsoka Rumah Sakit Umum Daerah Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9),
1689–1699.
Syaifuddin, A.H. (2011). Buku Anfis (S. K. Monica Ester, Ed.). Penerbit Buku Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai