Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Spondylolisthesis
2.2.1 Definisi
Spondylolisthesis adalah suatu pergeseran corpus vertebra ke anterior terhadap
korpus vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya terjadi pada pertemuan
lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser di atas S1, akan tetapi hal tersebut
dapat terjadi pula pada tingkat vertebra yang lebih tinggi. Degeneratif spondilolysthesis
terjadi lebih sering seiring bertambahnya usia. Vertebra L4-L5 terkena 6-10 kali lebih
sering dibanding lokasi lainnya. Kira- kira 82 % kasus isthmic spondilolistesis terjadi di
L5-S1, 11,3 % terjadi di L4- L5. (1)

2.2.2 Etiologi dan Klasifikasi


Penyebab spondylolysthesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak
pada spondylolysthesis tipe 1 dan 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan stres/
tekanan konsentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam terjadinya
pergeseran tersebut. Terdapat 5 tipe utama spondiylolisthesis: (1)
Tipe I: spondylolisthesis displastik (kongenital) dan terjadi akibat kelainan kongenital.
Biasanya pada permukaan sacral superior dan permukaan L5 inferior atau keduanya
dengan pergeseran vertebra L513.
b. Tipe II: istmhik atau spondilolitik dimana lesi terletak pada bagian isthmus atau pars
interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna pada individu di
bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa adanya pergeseran tulang,
keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran
kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan spondilolysthesis.
c. Tipe III: merupakan spondilolistesis degeneratif dan terjadi sebagai akibat degenerasi
permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan sendi tersebut akan
mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe spondilolistesis ini
sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III, spondilolistesis degenerative pergeseran
vertebra tidak melebihi 30 %.
d. Tipe IV: spondilolistesis traumatic berhubungan dengan fraktur akut pada elemen
posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan dengan fraktur pada
bagian pars interartikularis.
e. Tipe V: spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang sekunder
akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya. (1)

2.2. 3 Patofisiologi
Proses degeneratif dan inflamasi pada tulang belakang melibatkan ruang antar
diskus, sendi facet, dan ligament intraspinal dan paraspinal. Perubahan degenerative dari
diskus intervertebral biasanya digambarkan oleh satu atau kombinasi dari empat keadaan
patologi dibawah ini:(2)
1. Berkurangnya tinggi ruang antar diskus
2. Pergeseran (slippage) end plate
3. Sclerosis di end plate
4. Pembentukan osteofit

2.4 Manifestasi Klinik


Gejala yang paling umum dari spondylolisthesis adalah:
1. Nyeri punggung bawah.
Hal ini sering lebih memberat dengan latihan terutama dengan ekstensi tulang belakang
lumbal.
2. Beberapa pasien dapat mengeluhkan nyeri, mati rasa, kesemutan, atau kelemahan pada
kaki karena kompresi saraf. Kompresi dari saraf dapat menyebabkan hilangnya kontrol
dari usus atau fungsi kandung kemih
3. Keketatan dari paha belakang dan penurunan jangkauan gerak dari punggung bawah.
Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya lebih tua dan datang dengan nyeri
punggung, radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau kombinasi dari gejala-gejala
tersebut. Pergeseran yang paling umum adalah di L4-5 dan kurang umum di L3-4.
Gejala-gejala radikuler sering hasil dari stenosis recessus lateral dari facet dan ligamen
hipertrofi dan/ atau disk herniasi. Akar saraf L5 dipengaruhi paling sering dan
menyebabkan kelemahan ekstensor halusis longus. Stenosis pusat dan klaudikasio
neurogenik bersamaan mungkin atau mungkin tidak ada.
Penyebab gejala klaudikasio selama ambulasi adalah multifaktorial. Rasa
sakit ini berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk atau
bersandar. Fleksi memperbesar ukuran kanal oleh peregangan ligamentum
flavum menonjol, pengurangan lamina utama dan aspek, dan pembesaran foramen
tersebut. Hal ini mengurangi tekanan pada akar saraf keluar dan, dengan demikian,
mengurangi rasa sakit.(3)

2.2.5 Diagnosis
Pada kebanyakan kasus, jarang ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik pasien
spondilolistesis. Pasien biasanya mengeluh nyeri di bagian punggung yang disertai
dengan nyeri intermitten pada tungkai. Spondilolistesis sering
menyebabkan spasme otot, atau kekakuan pada betis. (4)
Spondilolistesis mudah didiagnosis dengan menggunakan foto polos tulang
belakang. X-ray lateral akan menunjukkan kelainan apabila terdapat vertebra yang
bergeser ke depan dibandingkan dengan vertebra di dekatnya.(3)
Spondilolistesis dibagi berdasarkan derajatnya berdasarkan persentase pergeseran
vertebra dibandingkan dengan vertebra di dekatnya, yaitu:
1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25% 2. Derajat II: diantara 25-50%
3. Derajat III: diantara 50-75%
4. Derajat IV: diantara 75-100%
5. Derajat V atau spondiloptosis: >100% terjadi ketika vertebra telah terlepas dari
tempatnya.
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang diagnosis
spondylolisthesis:(5)
a. X-ray
Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral, dan spot view
radiografi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto oblik dapat memberikan Informasi
tambahan, namun tidak rutin dilakukan. Foto lumbal dapat memberikan gambaran dan
derajat spondilolistesis tetapi tidak selalu membuktikan adanya isolated spondilolistesis.

Gambar Grade I Spondylisthesis

2. Gambar. Grade II Spondylisthesis


Syair
 Kelengkungan dan kedudukan vertebra lumbosacral baik, tidak tampak
listesis.
 Struktur dan bentuk vertebra lumbosacral baik. Densitas vertebra
lumbosacral baik. Pedikel intak. Tidak tampak tanda-tanda fraktur,
destruksi, lesi litik/blastik.
 Tidak tampak pembentukan spur.
 Tidak tampak penyempitan celah diskus intervertebralis ataupun foramen
intervertebralis. Sendi-sendi vertebra lumbosacral dan sacroiliaca bilateral
terlihat baik.
 Jaringan lunak paravertebra lumbal kesan baik.

b. Computed tomography (CT) scan


CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat memberikan gambaran
yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan juga dapat membantu menegakka penyebab
spondilolistesis yang lebih serius.

Gambar Grade I dan II Spondylisthesis


c. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut. MRI juga dapat
menentukan adanya kompresi saraf spinal akibat stenosis dadri kanalis sentralis.

Gambar. Grade I dan II Spondylisthesis

2.2.7 Tatalaksana Nonoperatif


Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservatif. Pengobatan non operatif
diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit neurologis yang
stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan, stretching exercise, pemakaian
brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam manajemen pengobatan
spondilolistesis adalah motivasi pasien. (5)

Operatif
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas, yang gagal
dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila radiologis tidak stabil
atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray disarankan untuk operasi stabilisasi.
Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini
indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun tanpa gejala, fusi tetap
harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan simptom oleh
karena neural kompresi. Bila manajemen operative dilakukan pada dewasa muda maka
fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila dilakukan
operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda, progresivitas slip lebih besar
25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi
tidak dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis,
habitual tobacco abuse. (5)

2.3 HERNIA NUCLEUS PULPOSUS

2.3.1. DEFINISI
Hernia adalah protrusi atau penonjolan dari sebuah organ atau jaringan melalui
lubang yang abnormal. Nukleus pulposus adalah massa setengah cair yang terbuat dari
serat elastis putih yang membentuk bagian tengah dari diskus intervertebralis. Hernia
Nukleus Pulposus (HNP) merupakan suatu gangguan yang melibatkan ruptur annulus
fibrosus sehingga nukleus pulposus menonjol (bulging) kearah kanalis spinalis dan
menekan medulla spinalis atau mengarah ke dorsolateral menekan radiks spinalis
sehingga menimbulkan gangguan/keluhan. HNP mempunyai banyak sinonim antara lain :
Hernia Diskus Intervertebralis, Ruptur Disc, Slipped Disc, Prolapsed Disc dan
sebagainya. (6)

2.3.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi HNP berkisar antara 1 – 2 % dari populasi. Usia yang paling sering
adalah usia 30 – 50 tahun. Pada penelitian HNP paling sering dijumpai pada tingkat L4-
L5, titik tumpuan tubuh di L4-L5-S1. HNP merupakan salah satu penyebab dari nyeri
punggung bawah yang penting. dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama.
Insiden HNP di Amerika Serikat adalah sekitar 5% orang dewasa. HNP dapat dilihat
dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) di 10% individu yang asimptomatis yang
lebih muda dari 40 tahun dan 5% dari mereka yang lebih tua dari 40 tahun. HNP lebih
banyak terjadi pada individu dengan pekerjaan membungkuk dan mengangkat.(6)

2.3.3 ETIOLOGI
Penyebab dari herniasi nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan
degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam
diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang
menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. HNP kebanyakan
oleh karena adanya trauma derajat sedang berulang yang mengenai diskus intervertebralis
sehingga menimbulkan sobeknya anulus fibrosus. Kemudian kapsulnya terdorong ke arah
medulla spinalis, atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong
terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.(7)

Faktor risiko terjadinya HNP:


1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a. Umur: semakin umur bertambah, risiko makin tinggi.
b. Jenis kelamin: laki-laki lebih banyak daripada wanita.
c. Riwayat akibat cedera punggung atau HNP sebelumnya.

2.Faktor risiko yang dapat diubah


a. Aktivitas dan pekerjaan, misalnya duduk dalam waktu lama, mengangkat ataupun
menarik beban yang berat, terlalu sering memutar punggung ataupun membungkuk,
latihan fisik terlalu berat dan berlebihan, paparan pada vibrasi yang konstan.
b. Olahraga tidak menentu, misalnya memulai aktivitas fisik yang sudah sekian lama
tidak dilakukan dengan berlatih berlebih dan berat dalam jangka waktu yang cukup lama.
c. Merokok, dimana nikotin dalam rokok dapat mengganggu kemampuan diskus
menyerap nutrisi yang diperlukan dari darah.
d. Berat badan yang berlebihan, terutama beban ekstra di perut yang menyebabkan strain
pada punggung bawah.
e. Batuk dalam waktu yang lama dan berulang-ulang.(7)

2.3.4. KLASIFIKASI
Hernia nukleus pulposus paling sering terjadi pada daerah sambungan bagian
yang bergerak (mobile) dengan bagian yang relatif tidak bergerak (immobile), misalnya
junctura cervicothoracalis dan junctura lumbosacralis. Klasifikasi hernia nukleus
pulposus, yaitu:
1. Diskus servikal
Diskus yang sering terjadi herniasi adalah vertebra servikalis kelima, keenam, dan
ketujuh (C5, C6, C7). Hernia diskus servikal terjadi di leher, belakang kranium, bahu,
skapula, lengan, dan tangan.
2. Diskus torakal
Herniasi diskus biasanya terjadi pada spina torakalis bawah dan cenderung
menghasilkan defisit neurologis. Lesi diduga berdasarkan riwayat trauma pada tulang
torakalis. Diagnosa dapat dilakukan dengan menggunakan X- ray dan ditemukan
penyempitan di sela vertebra.
3. Diskus lumbal
Herniasi diskus lumbalis lebih sering terjadi dibandingkan dengan herniasi pada diskus
lainnya dan biasanya terjadi pada diskus L4 dan L5. Herniasi diskus lumbal terjadi di
bagian punggung bawah, paling sering pada vertebra L4, L5 dan S1 serta biasanya
unilateral. Gejala yang timbul bisa melibatkan punggung bawah, bokong, paha, dan bisa
menjalar ke kaki dan/atau jari-jari kaki karena melibatkan nervus skiatik. Nervus femoral
juga bisa terkena dan menyebabkan kebas pada satu atau kedua kaki serta rasa terbakar di
pinggang dan kaki.
Menurut gradasinya, hernia ini dapat dibagi atas:
1. Protruded intervertebral disc
Nukleus terlihat menonjol ke satu arah tanpa kerusakan anulus fibrosus.
2. Prolapsed intervertebral disc
Nukleus berpindah, tetapi masih dalam lingkaran anulus fibrosus.
3. Extruded intervertebral disc
Nukleus keluar dan anulus fibrosus berada di bawah ligamentum, longitudinalis posterior.
4. Sequestrated intervertebral disc
Nukleus telah menembus ligamentum longitudinal posterior.(6)

Gambar 2.9 Gradasi Hernia Nukleus Pulposus

2.3.5 PATOFISIOLOGI
Sebagian besar HNP terjadi di daerah lumbal antara ruang lumbal IV ke V (L4 ke
L5) atau lumbal kelima ke sakral pertama (L5 ke S1). Herniasi diskus antara L5 ke S1
menekan ke akar saraf S1, sedangkan herniasi diskus antara L4 dan L5 menekan akar
saraf L5. Herniasi diskus servikalis biasanya mengenai satu dari tiga akar servikalis
bawah yang berpotensi menimbulkan kelainan serius, dan dapat terjadi kompresi medula
spinalis, bergantung pada arah penonjolan. Herniasi lateral diskus servikalis biasanya
menekan akar di bawah ketinggian diskus, misalnya pada diskus C5 ke C6 menekan akar
saraf C6, dan diskus C6 ke C7 mengenai akar C7. Kandungan air diskus berkurang
seiring bertambahnya usia (dari 90% pada masa bayi menjadi 70% pada lanjut usia) dan
jumlah kolagen bertambah menjadi lebih kasar serta mengalami hialinisasi.
Mukopolisakarida juga berkurang bersama dengan rasio jumlah karatan sulfat yang
dibandingkan dengan kondroitin sulfat yang meningkat. Ukuran molekular proteoglikan
menjadi lebih kecil dan lebih dapat menempel pada serabut kolagen. Elastisitas,
viskositas, dan kapasitas untuk berikatan dengan air pada proteoglikan berkurang serta
berperan menyebabkan HNP yang disertai penekanan akar saraf spinalis. Secara
molekuler, degenerasi terjadi apabila terproduksinya komponen-komponen matriks yang
abnormal atau meningkatnya mediator-mediator yang bertugas mendegradasi matriks,
seperti Interleukin-1 (IL1), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), Matrix Metalloproteinases
(MMPs), dan menurunnya Tissue Inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs). Pada
umumnya HNP didahului oleh gaya traumatik seperti mengangkat benda berat, aktivitas
berlebihan, menegakkan badan waktu terpeleset, dan sebagainya yang mengakibatkan
sobekan pada anulus fibrosus yang bersifat sirkumferensial. Sobekan tersebut ditandai
dengan terbentuknya nodus Schmorl yang dapat menyebabkan inflamasi dan nekrosis
tulang vertebra, sehingga terjadinya low back pain subkronis atau kronis, kemudian
disusul oleh nyeri sepanjang tungkai yang dikenal sebagai ischialgia. Menjebolnya
nukleus pulposus secara vertikal ke kanalis vertebralis berarti nukleus pulposus menekan
radiks dan arteri radikularis yang berada pada lapisan dura. Hal ini terjadi apabila
penjebolan berada pada sisi lateral, sedangkan tidak ada radiks yang terkena jika tempat
herniasinya berada di tengah karena tidak adanya kompresi pada kolumna anterior.
Prolapsus secara horizontal memiliki dua bentuk yang disebut dengan nuclear herniation
yang mengarah ke bagian posterior dan annular protrusion dengan pembengkakan serabut
anulus. Herniasi diskus hampir selalu terjadi ke arah posterior atau posterolateral karena
ligamentum longitudinalis anterior lebih kuat dibandingkan ligamentum longitudinalis
posterior. Herniasi tersebut biasanya menggelembung berupa massa padat dan tetap
menyatu pada badan diskus, walaupun fragmen-fragmennya kadang dapat menekan
keluar dan masuk menembus ligamentum longitudinalis posterior lalu berada bebas ke
dalam kanalis spinalis. Perubahan morfologi pertama yang terjadi pada diskus adalah
memisahnya lempeng tulang rawan dari korpus vertebra di dekatnya, sedangkan saat
kronis akan memberikan gambaran sisa diskus intervertebral mengalami lisis, sehingga
dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.(7)
2.3.6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik bervariasi tergantung pada derajatnya dan radiks yang terkena. Pada
stadium awal, gejala asimtomatik. Gejala klinis muncul ketika nucleus pulposus menekan
saraf. Gejala klinis yang paling sering adalah iskialgia (nyeri radikuler). Nyeri biasanya
bersifat tajam, seperti terbakar dan berdenyut menjalar sampai bawah lutut. Bila saraf
sensoris kena maka akan memberikan gejala kesemutan atau rasa baal sesuai
dermatomnya. Bila mengenai conus atau cauda ekuina dapat terjadi gangguan miksi,
defekasi dan disfungsi seksual. Nyeri yang timbul sesuai dengan distribusi dermatom
(nyeri radikuler) dan kelemahan otot sesuai dengan miotom yang terkena.(6)
2.3.7. DIAGNOSIS
Pada umumnya, diagnosis hernia nukleus pulposus didasarkan pada :
1. Anamnesis
Anamnesis HNP dapat berupa letak atau lokasi nyeri, penyebaran nyeri, sifat nyeri,
pengaruh aktivitas atau posisi tubuh terhadap nyeri, riwayat trauma, proses terjadinya
nyeri dan perkembangannya, obat-obat analgetika yang pernah diminum, kemungkinan
adanya proses keganasan, riwayat menstruasi, kondisi mental/emosional.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada inspeksi antara lain:
i. Observasi apakah ada hambatan pada leher, bahu, punggung, pelvis, dan tungkai
selama bergerak.
ii. Adakah gerakan yang tidak wajar atau terbatas ketika penderita menanggalkan atau
mengenakan pakaian.
iii. Observasi penderita saat berdiri, duduk, bersandar maupun berbaring, dan bangun dari
berbaring.
iv. Perlu dicari kemungkinan adanya atropi otot, fasikulasi, pembengkakan dan
perubahan warna kulit
b. Palpasi
Palpasi dimulai dari daerah yang paling ringan rasa nyerinya, kemudian ke arah yang
terasa paling nyeri dan ingatlah struktur apa yang diperiksa. Ketika meraba kolumna
vertebralis, seyogyanya dicari kemungkinan adanya deviasi ke lateral atau antero-
posterior. Nyeri dapat bertambah dengan pemberian tekanan pada kepala (tes kompresi
servikal) dan berkurang dengan traksi (tes distraksi servikal). Dengan adanya tes
kompresi dan distraksi dapat membantu menyingkirkan nyeri pada diskus dan nyeri
karena penyebab lain.
c. Pemeriksaan range of movement (ROM)
Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara aktif oleh penderita sendiri maupun secara pasif
oleh pemeriksa. Pemeriksaan ROM ini memperkirakan derajat nyeri, function laesa, atau
untuk memeriksa ada/ tidaknya penyebaran rasa nyeri. Pemeriksaan ROM pada segmen
lumbal yang terlibat didapatkan adanya penurunan rentang gerak.
3. Pemeriksaan neurologis
Pada posisi
a. Tes i.
terlentang, dilakukan tes provokasi sebagai berikut: untuk meregangkan saraf
iskhiadikus.
Tes Laseque (straight leg raising = SLR)
Fleksikan tungkai yang sakit dalam posisi lutut ekstensi. Tes normal apabila tungkai
dapat difleksikan hingga 80-90%, dan positif apabila tungkai timbul rasa nyeri di
sepanjang perjalanan saraf iskhiadikus sebelum tungkai mencapai kecuraman 70%. Tes
ini meregangkan saraf spinal L5 dan S1, sedangkan yang lain kurang diregangkan.
Tes Laseque menyilang/crossed straight leg raising test
(Test O’Conell).
Tes positif apabila timbul nyeri radikuler pada tungkai yang sakit (biasanya perlu sudut
yang lebih besar untuk menimbulkan nyeri radikuler dari tungkai yang sakit). Tanda
Kerning
Pada pemeriksaan ini penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada
persendian panggung sampai membuat sudut 90 derajat. Selain itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai
sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan tungkai atas, bila terdapat tahanan dan rasa
nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan tanda kerning positif.
Ankle Jerk Reflex
Dilakukan pengetukan pada tendon Achilles. Jika tidak terjadi dorsofleksi pada kaki, hal
ini mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra L5-S1
Knee-Jerk Reflex
Dilakukan pengetukan pada tendon lutut. Jika tidak terjadi ekstensi pada lutut, hal ini
mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra L2-L3-L4
b. Tes untuk menaikkan tekanan intratekal.

i. Tes Naffziger
Dengan menekan kedua vena jugularis selama 2 menit atau dengan melakukan kompresi
pada ikatan sfigmomanometer selama 10 menit tekanan sebesar 40mmHg sampai pasien
merasakan penuh di kepala. Dengan penekanan tersebut mengakibatkan tekanan
intrakanial meningkat yang akan diteruskan ke ruang intratekal sehingga akan
memprovokasi nyeri radikuler bila ada HNP.
ii. Tes Valsava
Dalam sikap berbaring atau duduk, pasien disuruh mengejan. Nyeri akan bangkit di
tempat lesi yang menekan radiks spinalis daerah lumbal. (7)

4. Radiodiagnostik
a. Foto polos
Foto polos posisi AP dan lateral dari vertebra lumbal dan panggul (sendi
skroiliaka), foto polos bertujuan untuk melihat adanya penyempitan diskus, penyakit
degeneratif, kelainan bawaan dan vertebra yang tidak stabil.
Pada kasus disk bulging, radiografi polos memperlihatkan gambaran tidak langsung dari
degenerasi diskus seperti kehilangan ketinggian diskus intervertebralis, “vacuum
phenomen” dalam bentuk gas di disk, dan osteofit endplate.
Dapat ditemukan berkurangnya tinggi diskus intervertebralis pada HNP fase
lanjut, sehingga ruang antar vertebralis tampak menyempit. Pemeriksaan ini dapat
menyingkirkan kemungkinan kelainan patologis seperti proses metastasis dan fraktur
kompresi.
Dalam kebanyakan kasus hernia nucleus pulposus (HNP), foto polos tulang
belakang lumbosakral atau tulang belakang leher tidak diperlukan. Foto polos tidak dapat
memperlihatkan herniasi, tetapi digunakan untuk menyingkirkan kondisi lainnya
misalnya, fraktur, kanker, dan infeksi. (6)
Gambar Foto polos lumbosacral normal

Syair

 Kelengkungan dan kedudukan vertebra lumbosacral baik, tidak tampak listesis.


 Struktur dan bentuk vertebra lumbosacral baik. Densitas vertebra lumbosacral
baik. Pedikel intak. Tidak tampak tanda-tanda fraktur, destruksi, lesi litik/blastik.
 Tidak tampak pembentukan spur.
 Tidak tampak penyempitan celah diskus intervertebralis ataupun foramen
intervertebralis. Sendi-sendi vertebra lumbosacral dan sacroiliaca bilateral terlihat
baik.
 Jaringan lunak paravertebra lumbal kesan baik.

b. Kaudiografi, Mielografi, CT (Computerized Tomography)


Pada pemeriksaan kaudio/mielografi adalah pemeriksaan invasif yang hanya dikerjakan
dengan indikasi ketat dan tidak dikerjakan secara rutin. Berguna untuk melihat kelainan
radiks spinal, terutama pada pasien yang sebelumnya dilakukan operasi vertebra atau
dengan alat fiksasi metal. CT scan mungkin diperlukan untuk evaluasi lebih lanjut .
(7).struktur tulang yang terkena.
Gambar CT-Scan HNP
Gambar 2.13 Myelografi HNP
c. Diskografi
Discography adalah pemeriksaan radiografi dari diskus intervertebralis dengan bantuan
sinar-x dan bahan media kontras positif yang diinjeksikan ke dalam nukleus pulposus
untuk menentukan adanya suatu annulus fibrosus yang rusak, dimana kontras hanya bisa
penetrasi/menembus bila ada suatu lesi dengan cara memasukkan jarum ganda untuk
menegakkan diagnosa. Dengan adanya MRI maka pemeriksaan ini sudah tidak
begitupopuler lagi karena invasive.

Gambar 2.14 Diskografi HNP

d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Merupakan pemeriksaan non invasif dan merupakan baku emas pemeriksaan
penunjang HNP serta dapat memberikan gambaran secara seksional pada lapisan
melintang dan longitudinal. Biasanya sangat sensitif pada HNP dan akan menunjukkan
berbagai prolaps. Namun para ahli bedah syaraf dan ahli bedah ortopedi tetap
memerlukan suatu EMG untuk menentukan diskus mana yang paling terkena. MRI
sangat berguna bila: vertebra dan level neurologis belum jelas, kecurigaan kelainan
patologis pada medulla spinal atau jaringan lunak untuk menentukan kemungkinan
herniasi diskus post operasi, kecurigaan karena infeksi atau neoplasma. Pada MRI, HNP
muncul sebagai fokus, tonjolan simteris bahan diskus melampaui btas-batas dari anulus.
HNP sendiri biasanya hipointense. Selain itu, fragmen bebas dari diskus dengan mudah
terdeteksi pada MRI.
Pada MRI dapat terlihat gambaran bulging diskus (anulus intak), herniasi diskus
(anulus robek), dan dapat mendeteksi dengan baikadanya kompresi akar-akar saraf atau
medulla spinalis oleh fragmen diskus.
Gambar MRI HNP

e. Electromyography
Dari pemeriksaan EMG, dapat ditentukan akar saraf mana yang terkena dan
sejauh mana gangguannya, masih dalam taraf iritasi atau sudah ada kompresi.

2.3.8 DIAGNOSIS BANDING


1. Herniasi diskus servikal
Beberapa kondisi yang menyerupai manifestasi klinis hernia diskus servikalis,
yaitu:
a. Akibat trauma dan inflamasi, seperti bursitis subdeltoid atau
subakromial dan bahu terkilir.
b. Gangguan neurologis: Entrapment neuropathy di ekstremitas atas,
scanelus anticus syndrome, carpal tunnel syndrome, tardy ulnar palsy primary
peripheral atau tumor sistem saraf pusat dari pleksus brakialis, korda servikalis,
atau sambungan servikomedularis.
c. Gangguan paru : coronary insufficiency dan angina pektoris; neoplasma pada
apeks paru.
d. Gangguan pada tulang : fraktur, dislokasi, atau subluksasi dari spina servikal .
2. Herniasi diskus lumbal
Karakteristik herniasi diskus lumbal adalah nyeri punggung yang menyebar
sampai ke kaki dan mempunyai banyak penyebab, seperti:
a. Kelainan tulang, misalnya spondilolistesis, spondilosis, atau Paget’s
disease.
b. Tumor primer dan metastatis dari cauda equina atau area panggul.
c. Inflamasi, meliputi abses di ruang epidural atau pleksus retreoperitonea
lumbosakral, postinfeksius atau posttrauma araknoiditis, dan rheumatoid
spondilitis.
d. Lesi degeneratif dari medulla spinalis dan neuropati perifer. e. Penyakit oklusi
vaskular perifer.
f. Cauda Equina Syndrome (CES)
CES merupakan penekanan pada cauda equina dengan gejala klinis dapat berupa
nyeri punggung bawah, skiatika unilateral atau bilateral, kelemahan otot
ekstremitas bawah dan gangguan sensoris.
g. Lumbar Degenerative Disc Disease (LDDD)
LDDD juga sering disebut spondilosis yang dapat menyebabkan diskus
berdegenerasi atau kehilangan fleksibilitas dan kurangnya bantalan medula
spinalis, sehingga medula spinalis tidak mendapatkan aliran darah dan tidak dapat
memperbaiki diri apabila ada kerusakan.
h. Lumbar Stenosis
Gejala klinis yang paling sering muncul adalah nyeri pada punggung bawah dan
ekstremitas bawah, gangguan berjalan dan disabilitas lainnya.
i. Rematik biasanya nyeri dirasakan lebih berat pada pagi hari dan berangsur-
angsur berkurang pada siang dan sore hari. (6)

2.3.9 TERAPI
Penatalaksanaan hernia nukleus pulposus adalah sebagai berikut:
1. Konservatif
Mengurangi iritasi saraf, memperbaiki kondisi fisik, dan melindungi serta meningkatkan
fungsi tulang belakang adalah tujuan terapi konservatif. Sebagian besar (90%) pasien
HNP akan membaik dalam waktu enam minggu dengan atau tanpa terapi, dan hanya
sebagian kecil saja yang memerlukan tindakan bedah.
i. Tirah baring
Tirah baring merupakan cara paling umum dilakukan yang berguna mengurangi rasa
nyeri mekanik dan tekanan intradiskal, serta direkomendasikan selama 2 sampai 4 hari.
Pasien dapat kembali ke aktivitas normal secara bertahap, dan pada umumnya pasien
tidak memerlukan istirahat total.
ii. Terapi farmaka
Analgetik dan NSAID (Non Steroid Anti Inflamation Drug) Tujuan diberikan obat ini
adalah untuk mengurangi nyeri dan inflamasi.
a. Kortikosteroid oral: dipakai pada kasus HNP berat untuk mengurangi inflamasi, tetapi
pemakaiannya masih kontroversial.
b. Analgetik ajuvan: Dipakai pada penderita HNP kronis.
c. Suntikan pada titik picu: Caranya adalah dengan menyuntikan campuran anastesi lokal
dan kortikosteroid ke dalam jaringan lunak/otot pada daerah sekitar tulang punggung.
Terapi fisik
a. Traksi pelvis: Dengan memberikan beban tarikan tertentu di sepanjang sumbu panjang
kolumna vertebralis.
b. Ultra Sound Wave (USW) diaterni, kompres panas/ dingin:
Tujuannya adalah mengurangi nyeri dengan mengurangi peradangan dan spasme otot.
c. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS):
Dilakukan dengan memakai alat yang dijalankan dengan baterai kecil yang dipasang pada
kulit untuk memberi rangsangan listrik terus-menerus lewat elektroda. Diharapkan terjadi
aliran stimulasi yang melawan (counter stimulation)
terhadap susunan saraf sehingga mengurangi persepsi nyeri.
d. Korset lumbal dan penopang lumbal lain: Pemakaian kedua alat
ini tidak mengurangi nyeri dengan HNP akut, tetapi bermanfaat untuk mencegah
timbulnya HNP dan mengurangi nyeri pada HNP kronis.
e. Latihan dan modifikasi gaya hidup: Menurunkan berat badan yang berlebihan karena
dapat memperberat tekanan. Direkomendasikan untuk memulai latihan ringan tanpa
stress secepat mungkin. Endurance exercise dimulai pada minggu
kedua setelah awitan dan conditioning exercise yang bertujuan memperkuat otot dimulai
sesudah 2 minggu. (7)

2. Bedah
Terapi bedah dipertimbangkan ketika terapi konservatif selama sebulan tidak ada
kemajuan, iskhialgia yang berat/menetap, adanya gangguan miksi/defekasi dan seksual,
serta adanya paresis otot tungkai bawah. Pasien hernia diskus intervertebralis dengan
penanganan bedah menunjukkan perbaikan yang lebih besar dari segi nyeri, fungsi,
kepuasan dan kesembuhan yang dinilai pasien dibandingkan dengan pasien dengan
penanganan non- bedah, tetapi tidak dapat mengembalikan kekuatan otot.
a. Microdiscectomy adalah gold-standard penanganan bedah pada HNP.
Microdiscectomy adalah pembedahan pada diskus yang terkena yang telah dikonfirmasi
dengan radiografi.
b. Open Discectomy Open disectomy mempunyai prosedur yang sama dengan
microdiscectomy.
c. Minimal access/ Minimally Invasive Discectomy
Discectomy dilakukan melalui sebuah insisi yang sangat kecil pada gangguan dari
jaringan di dekatnya. Hal ini sering dilakukan pada pasien rawat jalan atau rawat inap 23
jam. (6)

2.3.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi dari HNP adalah nyeri punggung untuk jangka
waktu yang lama, kehilangan sensasi di tungkai yang diikuti penurunan fungsi kandung
kemih dan usus. Selain itu, kerusakan permanen pada akar saraf dan medula spinalis
dapat terjadi bersamaan dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik. Hal ini dapat
terjadi pada servikal stenosis dan spondilosis yang menekan medulla spinalis dan
pembuluh darah, sehingga dapat menimbulkan mielopati dengan spastik paraplegia atau
kuadriplegia. (7)

2.3.10 PROGNOSIS
Pada HNP servikalis 75% pasien akan pulih dengan penanganan terapi medis yang
memadai (10-14 hari), walaupun pada beberapa kasus berlanjut dengan ketidaknyamanan
dan parestesis ringan. Pada beberapa pasien, gejala radikular atau mielopati kambuh
setelah kembali beraktivitas penuh. Untuk 25% pasien yang tidak respon terhadap terapi
konservatif, dibutuhkan operasi. Perbaikan tampak pada sekitar 80% pasien yang
melakukan terapi operatif pada diskus servikalis. Pada hernia diskus lumbalis sekitar 10-
20% kasus membutuhkan penangan terapi bedah dan 85% pasien akan pulih sepenuhnya
setelah penanganan bedah. (6)
2.4 Spondylosis
2.4.1 Definisi dan Epidemiologi
Spondylosis adalah sejenis penyakit rematik yang menyerang tulang belakang
(spine osteoarhtiritis) yang disebabkan oleh proses degenerasi yang progresif pada diskus
intervertebralis yang mengakibatkan makin meyempitnya jarak antara vertebra sehingga
mengakibatkan terjadinya osteofit, penyempitan kanalis spinalis dan foramen
intervertebralis dan iritasi persendian posterior.
Spondylosis sebagai penyakit degeneratif yang mengenai tulang belakang yang
paling sering ditemukan mempengaruhi sekitar 95% pasien pada usia 65 tahun. Hal ini
disebabkan karena pada saat melakukan aktivitas seperti bangun dari duduk, mengangkat
barang) tekanan terutama bertumpu pada tulang belakang sehingga tempat ini
menanggung beban yang paling besar. (4)

2.4.2 Patofisiologi Spondylosis


Beragam mekanisme, termasuk kurangnya nutrisi dan gangguan mekanisme
transport produk (seperti hilangnya kartilago end plate dan penurunan hidrasi jaringan),
proses penuaan yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim, faktor genetik
- Gangguan Transport Nutrisi
Penurunan transport nutrisi menjadi hal yang paling bertanggung jawab terhadap
terjadinya perubahan pada sel diskus dan matriksnya. Diskus intervertebralis bergantung
pada difusi dan konveksi dari produk sisa nutrient melalui matriks menuju pembuluh
darah yang terdapat di annulus fibrosus di perifer di dalam corpus vertebra. Peningkatan
volume diskus sepanjang pertumbuhan, dikombinasikan dengan perubahan seiring
pertambahan usia menyebabkan penurunan jumlah arteri yang menyuplai bagian perifer
dari diskus, menyebabkan gangguan penyaluran nutrisi dan pembuangan zat-zat sisa
metabolisme, sehingga mengakibatkan penumpukan zat sisa metabolisme di dalam sel
diskus. Di waktu yang bersamaan, akumulasi dari makromolekul matriks yang telah mati
dan penurunan konsentrasi air pada matriks di dalam diskus sentral menyebabkan
terganggunya proses difusi dan konveksi melalui matriks yang selanjutnya menyebabkan
gangguan nutrisi pada sel.
- Proses Penuaan
Saat mengalami degenerasi, diskus mulai menipis karena kemampuannya menyerap air
berkurang sehingga terjadi penurunan kandungan air dan matriks dalam diskus.
Degenerasi yang terjadi pada diskus menyebabkan fungsi diskus sebagai shock absorber
menghilang, yang kemudian akan timbul osteofit yangmenyebabkan penekanan pada
radiks, medulla spinalis dan ligamen yang pada akhirnya timbul nyeri dan menyebabkan
penurunan mobilitas/toleransi jaringan terhadap suatu regangan yang diterima menurun
sehingga tekanan selanjutnya akan diterima oleh facet joint. Degenerasi pada facet joint
akan diikuti oleh timbulnya penebalan subchondral yang kemudian terjadi osteofit yang
dapat mengakibatkan terjadinya penyempitan pada foramen intervertebralis. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya kompresi/penekanan pada isi foramen intervertebral ketika
gerakan ekstensi, sehingga timbul nyeri yang pada akhirnya akan menyebabkan
penurunan mobilitas/toleransi jaringan terhadap suatu regangan yang diterima menurun.
Pada uncinate joint yang memang sebagai sendi palsu yang terus mengalami friksi dan
iritasi secara terus-menerus akan timbul osteofit juga yang kemudian akan menekan
kanalis spinalis sehingga timbul nyeri dan menurunkan mobilitas/toleransi jaringan
terhadap suatu regangan.
Berkurangnya tinggi diskus akan diikuti dengan pengenduran ligamen yang
mengakibatkan fungsinya berkurang dan instabilitas. Akibatnya nucleus pulposus dapat
berpindah kearah posterior, sehingga menekan ligamentum longitudinal posterior,
menimbulkan nyeri dan menurunkan mobilitas/toleransi jaringan terhadap suatu
regangan. Spasme otot-otot cervical dan lumbal juga dapat menyebabkan nyeri karena
iskemia dari otot tersebut menekan pembuluh
darah sehinggga aliran darah akan melambat dan juga terjadi penurunan
mobilitas/toleransi jaringan terhadap suatu regangan. Dari kesemua faktor diatas
akan menimbulkan penurunan lingkup gerak sendi pada cervical.
Proses degenerasi juga dapat menimbulkan penipisan tulang rawan dan penonjolan tulang
yang disebut osteophyte atau biasa disebut pengapuran. Akibatnya otot dan jaringan
penunjang sekitarnya dapat teriritasi oleh tonjolan tulang tersebut dan penderita akan
merasakan nyeri dan kaku. (5)
2.4.3 Manifestasi klinis spondylosis
Gejala spondylosis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Spodylosis Cervical
- Rasa sakit yang hilang timbul
- Nyeri yang menyebar ke bahu, lengan, tangan, atau jari
- Kekakuan sendi pada bahu atau leher sehingga membatasi pergerakan setelah bangun
tidur
- Mati rasa pada daerah leher atau bahu
- Kelemahan atau kesemutan di leher, bahu, lengan, tangan, atau jari
- Sakit kepala di bagian belakang kepala
- Kehilangan keseimbangan
b. Spondylosis thoracal:
- Nyeri di bagian atas dan pertengahan punggung
- Kaku punggung setelah bangun tidur
- Terbatasnya gerak tulang punggung
c. Spondylosis Lumbal:
- Rasa sakit yang hilang timbul
- Kaku tulang punggung bagian bawah
- Rasa sakit yang berkurang dengan istirahat atau setelah berolahraga
- Mati rasa daerah sekitar pinggang atau punggung bawah
- Kelemahan pada punggung bawah
- Sering terjadi kesemutan pada kaki
- Kesulitan berjalan. (5)

2.4.4 Diagnosis
- Anamnesis
Penilaian klinis terhadap pasien dimulai dengan anamnesis. Anamnesis meliputi
lokasi, durasi, dan kualitas nyeri. Faktor-faktor yang memperingan dan memperberat
keluhan nyeri dapat membantu pemeriksa untuk memperkirakan diagnosis banding yang
mungkin cocok untuk pasien tersebut. Distribusi nyeri diperoleh dengan memastikan sifat
nyerinya apakah nyeri tersebut berupa nyeri aksial, nyeri radikular, atau nyeri myelopati.
Misalnya, nyeri aksial pada leher yang sifatnya tumpul dan terjadinya berkepanjangan,
kemungkinan besar diakibatkan oleh degenerasi diskus atau facet di beberapa tempat di
leher. Sifat nyeri seperti ini kurang spesifik dibandingkan dengan sifat nyeri akut seperti
rasa terbakar di bahu kanan/deltoid yang merupakan nyeri yang berasal dari herniasi
diskus di C4/5. Pada pemeriksaan klinis, gangguan gaya berjalan, gangguan fungsi dan
koordinasi serta progresifitas gejala perlu didokumentasi. (8)

- Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan melakukan inspeksi pada tulang belakang
cervical dan daerah bahu. Palpasi pada tulang belakang dapat dijumpai pembengkakan
pada ujung- ujung penonjolan tulang, spasme otot, dan trigger point yang sangat nyeri.
Luas pergerakan aktif maupun pasif juga perlu dinilai. Spurling’s manuver dapat
dilakukan dengan melakukan gerakan rotasi dan ekstensi leher pada masing-masing sisi,
dengan demikian menutup neuroforamen ipsilateral ke arah rotasi dan menimbulkan rasa
nyeri akibat radikulopati
Spurling test atau neck compression test dilakukan dengan pasien dalam posisi
duduk. Leher diekstensikan dan dirotasikan pada sisi leher yang sakit. Kemudian
pemeriksa memberikan tekanan aksial yang berhati hati pada kepala; jika positif, pasien
akan mengeluhkan nyeri yang menjalar sepanjang radiks yang tertekan.
L’hermittes sign dapat dilihat selama melakukan pemeriksaan luas pergerakan.
Pasien akan merasakan sensasi seperti tersengat listrik ketika melakukan gerakan fleksi
dan ekstensi leher pada pasien yang mengalami myelopati. Penilaian refleks tendon dapat
menilai adanya radikulopati apabila dijumpai kelemahan otot unilateral. Sedangkan pada
pemeriksaan refleks pada pasien yang mengalami myelopati akan dijumpai hiperefleksia
atau penyebaran refleks (misalnya inverted radial reflex).
Hoffman’s test dilakukan dengan fleksi distal interphalangeal joint pada jari
tengah dengan cepat. Tindakan ini akan menghasilkan fleksi spontan pada ibu jari dan
jari telunjuk.
Pemeriksaan ini dilakukan bersama-sama dengan pemeriksaan refleks Babinski
dan klonus untuk menyingkirkan adanya myelopati. Kekuatan motorik pada ekstremitas
atas dan ekstremitas bawah dinilai dengan skala 0 sampai 5. Pemeriksaan sensorik dinilai
berdasarkan pola dermatom mengikuti rasa kebas, nyeri, dan dysesthesia lainnya.
Gangguan gaya berjalan juga dapat ditimbulkan oleh kelainan pada tulang belakang
cervical. Pasien yang mengalami myelopati akan berjalan dengan gaya berjalan tandem,
yaitu gaya berjalan seperti menggunting dan langkah yang lebar ketika pasien dibiarkan
berusaha untuk berjalan tanpa bantuan.(9)

- Pemeriksaan Penunjang
a. X-Ray
Minimal evaluasi terdiri dari AP, lateral (posisi netral), dan open-mouth odontoid. Jika
perlu, dilakukan posisi fleksi-ekstensi dan/atau oblique sesuai dengan dengan kebutuhan.
Dalam kondisi ini, X- rays terbaik untuk:
1. Memperlihatkan ketidakstabilan dinamis dengan posisi fleksi-ekstensi.
2. Posisi sagital pada X-rays cervical posisi berdiri dapat menentukan prognosis.
3. X-rays dapat digunakan untuk menutupi kekurangan MRI, CT cervical jauh lebih baik.
a) Membedakan kalsifikasi diskus atau osteofit dari “soft discs”.
b) Membedakan OPLL (Ossification of Posterior Longitudinal Ligament) bentuk
penebalan ligamentum longitudinal posterior.
c) Abnormalitas tulang: Fraktur, lesi litik tulang.

Gambaran yang mungkin didapatkan pada pemeriksaan Radiologi adalah


sebagai berikut:
1. Penyempitan ruang diskus intervertebralis
2. Perubahan kelengkuangan vertebrae dan penekanan saraf
3. Osteofit/Spur formation di anterior ataupun posterior vertebrae
4. Pemadatan corpus vertebrae
5. Porotik (lubang) pada tulang
6. Vertebrae tampak seperti bambu (Bamboo Spine)
7. Sendi sacroiliaca tidak tampak atau kabur
8. Celah sendi menghilang. (9)
Gambar 5. Penyempitan DIV dan Osteofit

Gambar 6. Osteofit pada spondylosis lumbal


Gambar 7. Pandangan lateral (A) terdapat osteofit kecil di anterior pada C3-4, C4-5 dan
C5-6, adanya penyempitan sendi pada C4-5 dan sclerosis ringan pada endplate. Hipertrofi
uncovertebral joint pada C4-5 dan C5-6. (B) Hilangnya kurva lordotik normal, terdapat
penyempitan antar vertebrae, sklerosis end- plate, dan pembentukan osteofit pada C4-C5
dan C5-C6, serta hipertropi uncovertebral joint pada level yang sama.

b. CT Scan
CT scan bisa menggambarkan penebalan kanalis, tapi tidak memberikan informasi yang
adekuat untuk jaringan lunak (diskus, ligament, medulla spinalis dan serabut saraf).
Cervical myelography diikuti dengan CT scan resolusi tinggi memberikan informasi pada
potongan sagital dan aksial (termasuk atrofi medulla spinalis) dan menggambarkan
struktur tulang secara detail dibandingan dengan MRI. Berbeda dengan MRI,
CT/myelography bersifat invasif (membutuhkan LP) dan melibatkan radiasi pengion
serta tidak memberikan informasi tentang perubahan dalam parenkim tulang belakang.
Gambar 8. CT Scan Cervical (A) Gambaran Sagital. Lordosis normal. Penyempitan
minimal pada ruang antar vertebrae pada C5-6 dan C6-7, sclerosis end plate dan
pembentukan osteofit anterior. (B) Gambaran Aksial. Pembentukan osteofit yang
extensive dan hipertropi uncovertebral joint kanan. Kompresi pada aspek anterior thecal
sac dan cervical cord, terdapat spinal stenosis.

c. MRI
MRI memberikan informasi tentang kanalis spinalis, dan abnormalitas intrinsic medulla
(demyelinisasi, syringomyelia, atrofi medulla spinalis, edema). MRI juga memberikan
gambaran kemungkinan diagnosis lain (Chiari malformasi, tumor medulla spinalis).
Struktur tulang dan ligament kalsifikasi merupakan gambaran yang buruk. Kekurangan
dan kesulitan dalam membedakan osteophyt dengan herniasi diskus pada MRI diatas
dengan melakukan foto polos cervical atau dengan CT scan potongan tipis fokus pada
tulang.
Pemeriksaan Radiologi (MRI maupun Xray) dapat menentukan Grading menurut
Kellgren, adapun kunci parameter grading ini berupa osteofit, tinggi diskus
intervertebralis dan sclerosis dari end plate vertebrae.
1. Grade 0 (normal)
a. Tidak ada perubahan degeneratif
2. Grade 1 (minimal/awal)
a. Pembentukan osteofit minimal di anterior
b. Tidak ada pengurangan dari tinggi diskus intervertebralis c. Tidak ada sklerosis pada
end plate
3. Grade 2 (ringan)
a. Pembentukan osteofit anterior yang jelas
b. Sedikit pengurangan tinggi diskus intervertebralis (<25%)
c. Tampak sedikit sklerosis pada end plate
4. Grade 3 (sedang)
a. Pembentukan osteofit anterior yang jelas
b. Penyempitan sedang pada ruang diskus intervertebralis (25-75%) c. Sklerosis pada end
plate dan sklerosis pada osteofit terlihat jelas.
5. Grade 4 (berat)
a. Pembentukan osteofit yang besar dan multipel
b. Penyempitan yang berat pada ruang diskus intervertebralis (>75%) c. Sklerosis pada
end plate yang ireguler

Gambar. 9 A dan B: Pasien dengan cervical spondilosis myelopati dengan autofusion


pada C5-C6 dan hilangnya diskus intervertebralis pada level ini. A: Midsagital T2
menunjukkan autofusi (A) dan cara kuantitatif untuk mengukur protrusi horizontal diskus
posterior. B: Radiografi lateral menunjukkan autofusi (A) antara C5-C6. C: Sagittal T2
menggambarkan perubahan nucleus pulposus menjadi jaringan fibrosa, dimana hal ini
merupakan hal natural dalam proses penuaan. Perubahan ini tampak pada MRI dan
ditandari dengan tanda panah. Dan perhatikan degeneratif grade 1 retrolistesis dari C4-5
yang berhubungan dengan kompresi saraf spinal.

Gambar 10. (A) MRI Aksial T2 memperlihatkan kompresi akar saraf ventral (ASV) pada
foramen intervertebral foramen C6-7. (B) MRI aksial T2 menggambarkan kompresi horn
anterior (HA) pada daerah paramedial dari kanalis spinalis pada level C6-7. (C) MRI
aksial T2 menggambarkan kompresi pada baik HA maupun ASV setentang level
intervertebra C5-6.

2.4.5 Tatalaksana
Penanganan bervariasi tergantung penilaian dokter akan kondisi dan gejala pasiennya.
Secara umum ada penanganan bedah dan non-bedah. Penanganan bedah baru disarankan
apabila penderita menampilkan gejala gangguan neurologis yang mengganggu kualitas
hidup penderita. Selain itu, dokter juga memperhatikan riwayat kesehatan umum pasien
dalam menyarankan tindakan bedah. Apabila tidak perlu, maka dokter akan menyarankan
penanganan non bedah yang meliputi pemberian obat antiradang (NSAID), analgesik,
dan obat pelemas otot. Fisioterapi berupa pemberian panas dan stimulasi listrik juga
dapat membantu melemaskan otot. (9)
DAFTAR PUSTAKA
1. RB. S. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System. USA;
2019.
2. Suyase Ketut MR. Penyakit Degeneratif Lumbal. Udayana Press; 2018.
3. Nicrovic PA. Back pain in children and adolescents. Overv causes UpToDate Syst
Rev ver. 2009;
4. MS G. Handbook of Neurosurgery. New York; 2016.
5. Mattei TA, Carlos RG, Jeronimo BM et al. Cervical Spondylotic Myelopathy:
Pathophysiology, Diagnosis, and Surgical Techniques. New York: International
Scholarly Research Network; 2011.
6. Harris, Wiratman Z. NYERI PUNGGUNG BAWAH dalam Buku Ajar Neurologi
Departemen Neurologi FKUI RSCM Buku 2. Tanggerang: Penerbit Kedokteran
Indonesia; 2017.
7. Rasad S. Radiologi Doagnostik Edisi Kedua Cetakan ke-10. Jakarta: Balai Penerbit
FK Universitas Indonesia; 2016.
8. GS A. Degenerative Disorder of the Cervical Spine in: Neurosurgery Lecture
Note. Medan: USU Press; 2012.
9. Darren RL, Alex H, Frank PC PF. Cervical Spondylotic Myelopathy:
Pathophysiology, Clinical Presentation, and Treatment. HSSJ; 2011.

Anda mungkin juga menyukai