Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

SPONDYLOLISTHESIS

Di Buat Untuk Melengkapi Tugas Stase Praktik Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh:
Desi Tri Hastuti
D0018011

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
SPONDYLOLISTHESIS

A. Definisi
Kata spondylolisthesis berasal dari bahsa Yunani yang terdiri atas kata
“spondylo” yang berarti tulang belakang (vertebra) dan “listhesis” yang
berarti bergeser. Maka spondilolistesis adalah suatu pergeseran korpus
vertebrae (biasanya kedepan) terhadap korpus vertebra yang terletak
dibawahnya. Umumnya terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral
joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan tetapi hal tersebut dapat
terjadi pula pada tingkat vertebra yang lebih tinggi (Dennis, 2011)
Spondilolistesis merupakan pergeseran kedepan korpus vertebra dalam
hubungannya dengan sacrum, atau kadang dihubungan dengan vertebra lain.
Kelainan terjadi akibat hilangnya kontinuitas-pars intervertebralis sehingga
menjadi kurang kuat untuk menahan pergeseran tulang berakang. Dikenali
beberapa tipe yaitu; Spondilolistesis spondilolitik. Degenerative, congenital,
traumatic dan patologik. Biasanya juga ditemukan tanda spondilisis
(Sjamsuhidajat, 2005)

B. Etiologi
Etiologi spondylolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital
tampak pada spondilolistesis tipe 1 dan 2, dan postur, gravitasi, tekanan
rotasional dan stres/ tekanan konsentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan
penting dalam terjadinya pergeseran tersebut. Terdapat 5 tipe utama
spondilolistesis.
1. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik (kongenital) dan terjadi
akibat kelainan kongenital. Biasanya pada permukaan sacral superior dan
permukaan L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5. 4
2. Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian
isthmus atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis
yang bermakna pada individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars
interartikularis tanpa adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan
spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran kedepan dari
vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan spondilolistesis. Tipe II
dibagi dalam tiga subkategori :
a. Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolistesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur rekuren
yang disebabkan oleh hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fraktur
pars interarticularis dan paling sering terjadi pada laki-laki.
b. Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru. 4
c. Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam
menegakkan diagnosis kelainan ini.

3. Tipe III, merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai


akibat degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan
sendi tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke
belakang. Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada
tipe III, spondilolistesis degenerative pergeseran vertebra tidak melebihi
30 %.
4. Tipe IV, spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan
dengan fraktur pada bagian pars interartikularis.
5. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur
tulang sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang
lainnya.

C. Patofisiologi
Sekitar 5-6% pria dan 2-3% wanita mengalami spondylolisthesis. Pertama
sekali tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktivitas fisik yang
berat seperti angkat besi, senam dan sepak bola. Pria lebih sering
menunjukkan gejala dibandingkan dengan wanita, terutama diakibatkan oleh
tingginya aktivitas fisik pada pria. Meskipun beberapa anak-anak dibawah
usia 5 tahun dapat mengalami spondylolisthesis, sangat jarang anak-anak
tersebut didiagnosis dengan spondylolisthesis. Spondylolisthesis sering terjadi
pada anak usia 7-10 tahun.

Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sepanjang aktivitas
sehari-hari mengakibatkan spondylolisthesis sering dijumpai pada remaja dan
dewasa.

Spondylolisthesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana masing-


masing mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe
displastik, isthmik, degeneratif, traumatik, dan patologik. Spondylolisthesis
displatik merupakan kelainan kongenital yang terjadi karena malformasi
lumbosacral joints dengan permukaan persendian yang kecil dan inkompeten.
Spondylolisthesis displastik sangat jarang terjadi, akan tetapi cenderung
berkembang secara progresif, dan sering berhubungan dengan defisit
neurologis berat. Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior dan
prosesus transversus cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area
permukaan kecil untuk fusi pada bagian posterolateral.
Spondylolisthesis displatik terjadi akibat defek arkus neural pada sacrum
bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95% kasus berhubungan dengan spina
bifida occulta. Terjadi kompresi serabut saraf pada foramen S1, meskipun
pergeserannya (slip) minimal. Spondylolisthesis isthmic merupakan bentuk
spondylolisthesis yang paling sering. Spondylolisthesis isthmic (juga disebut
dengan spondylolisthesis spondilolitik) merupakan kondisi yang paling sering
dijumpai dengan angka prevalensi 5-7%. Fredericson et al menunjukkan
bahwa defek spondylolistesis biasanya didapatkan pada usia 6 - 16 tahun, dan
pergeseran tersebut sering terjadi lebih cepat. Ketika pergeseran terjadi,
jarang berkembang progresif, meskipun suatu penelitian tidak mendapatkan
hubungan antara progresifitas pergeseran dengan terjadinya gangguan diskus
intervertebralis pada usia pertengahan. Telah dianggap bahwa kebanyakan
spondylolisthesis isthmik tidak bergejala, akan tetapi insidensi timbulnya
gejala tidak diketahui. Suatu studi/penelitian jangka panjang yang dilakukan
oleh Fredericson et al yang mempelajari 22 pasien dengan mempelajari
perkembangan pergeseran tulang vertebra pada usia pertengahan,
mendapatkan bahwa banyak diantara pasien tersebut mengalami nyeri
punggung, akan tetapi kebanyakan diantaranya tidak mengalami/tanpa
spondylolisthesis isthmik. Secara kasar 90% pergeseran ishmus merupakan
pergeseran tingkat rendah(low grade: kurang dari 50% yang mengalami
pergeseran) dan sekitar 10% bersifat high grade ( lebih dari 50% yang
mengalami pergeseran).

Sistem pembagian/grading untuk spondylolisthesis yang umum dipakai


adalah sistem grading Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran.
Kategori tersebut didasarkan pengukuran jarak dari pinggir posterior dari
korpus vertebra superior hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior
yang terletak berdekatan dengannya pada foto x ray lateral. Jarak tersebut
kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus vertebra superior total:

1. Grade 1 adalah 0-25 %


2. Grade 2 adalah 25-50 %
3. Grade 3 adalah 50-75 %
4. Grade 4 adalah 75-100 %
5. Spondiloptosis  lebih dari 100 %

Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan


spondilolisis menjadi spondilolistesis. Tekanan / kekuatan gravitasional dan
postural akan menyebabkan tekanan yang besar pada pars interartikularis.
Lordosis lumbal dan tekanan rotasional dipercaya berperan penting dalam
perkembangan defek litik pada pars interartikularis dan kelemahan pars
interartikularis pada pasien muda. Terdapat hubungan antara tingginya
aktivitas selama masa kanak-kanak dengan timbulnya defek pada pars
interartikularis.

Pada Tipe degenerative, instabilitas intersegmental terjadi akibat penyakit


diskus degenerative atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan
spondilosis. Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3
kompleks persendian tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan wanita usia
tua yang umumnya terkena. Cabang saraf L5 biasanya terkena akibat stenosis
resesus lateralis sebagai akibat hipertrofi ligament atau permukaan sendi.

Pada Tipe traumatic, banyak bagian arkus neural yang terkena / mengalami
fraktur, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra yang tidak stabil.
Spondilolistesis patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai tulang,
atau berasal dari metastasis atau penyakit metabolic tulang, yang
menyebabkan mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta penipisan
bagian posterior sehingga menyebabkan pergeseran (slippage). Kelainan ini
dilaporkan terjadi pada penyakit Pagets, tuberculosis tulang, Giant cell Tumor
dan metastasis tumor.

D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe
pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran
klinisnya berupa low back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian
dalam dan bokong, terutama selama aktivitas tinggi. Gejala jarang
berhubungan dengan derajat pergeseran (slippage), meskipun sangat
berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda neurologis
berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai system sensoris,
motoric dan perubahan reflex akibat dari pergeseran serabut saraf.
Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya terjadi bilateral dan
berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa :
1. Terbatasnya pergerakan tulang belakang
2. Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh
3. Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal
4. Hiperkifosis lumbosacral junction
5. Kesulitan berjalan
6. Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis)
Pasien dengan spondilolistesis degenerative biasanya pada orang tua dan
muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio
neurogenic atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut
paling sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler
sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis dan hipertrofi ligamen atau
herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan
kelemahan otot ekstensor halluces longus. Penyebab gejala klaudikasio
neurogenic selama pergerakan adalah bersifat multifactorial. Nyeri berkurang
ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk. Hal tersebut
mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri yang
timbul.

E. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologis.
1. Gambaran Klinis
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala
khas. Umunya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas
membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat
menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang
belakang merupakan ciri yang spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri
pada bokong dan otot hamstring tidak sering terjadi kecuali jika
terdapatnya bukti subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya
baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak berhubungan dengan
penyakit atau kondisi lainnya.
2. Pemeriksaan Fisik
Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi bersifat
ringan. Dengan subluksasio berat, terdapat gangguan bentuk postur.
Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya
spasme otot. Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri
pada pasien, dan nyeri umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya
pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa segmen distal
dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul.
Ketika pasien dalam posisi telungkup (prone) di atas meja pemeriksaan,
perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi
dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan
kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien,
lokalisasi nyeri disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien
diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti
posisi fetus. Defek dapat diketahui pada posisi tersebut.
Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis biasanya
negative. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada
pasien dengan sindrom cauda equine yang berhubungan dengan lesi
derajat tinggi.
3. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos vertebra merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam
diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan
spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP,
Lateral dan oblique adalah modalitas standard dan posisi lateral persendian
lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral
pada lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal,
membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena
defek lebih terbuka pad aposisi tersebut dibandingkan bila pasien berada
dalam posisi berdiri. Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti
bone scan atau CT scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien
dengan defek pada pars interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT
scan. Bone scan (SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi
stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik
dengan foto polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan
tulang telah dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa
penyembuhan yang definitive akan terjadi. CT scan dapat menggambarkan
abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi MRI sekarang lebih
sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang juga dapat
mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal dan anatomi serabut saraf )
lebih baik dibandingkan dengan foto polos.
F. Penatalaksanaan
Terapi pada spondilolistesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu operative
dan non operative. Pemilihan terapi pada pasien tergantung dari usia pasien,
tipe subluksasi dan gejala yang dialami oleh pasien. Tujuan dari terapi adalah
menghilangkan nyeri yang dirasakan pasien dan memperkuat serta stabilisasi
vertebra. Prinsip terapi pada spondilolistesis adalah apabila spondilolistesis
yang ringan tanpa gejala, tidak diperlukan terapi tertentu. Apabila muncul
gejala yang masih ringan, terapinya biasanya diberikan latihan agar tidak
terjadi kekakuan vertebra dan penggunaan brace untuk stabilisasi vertebra.
Namun, jika gejala yang timbul berat dan lebih penting lagi apabila sampai
mengganggu aktivitas pasien, maka operasi menjadi pilihan terbaik.
1. Konservatif (Non operatif)
Terapi konservatif terdiri dari istirahat (rest), penyangga eksternal ke
bagian vertebra yang terkena defek, terapi medikamentosa dan fisioterapi.
Penyangga eksternal biasanya menggunakan brace.
a. Modifikasi gaya hidup
Sangatlah penting untuk mengedukasi pasien dengan spondilolistesis
mengenai kondisi mereka dan bagaimana untuk meminimalisasi gejala
yang dialami serta mencegah terjadinya progresi dari subluksasi
tersebut. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1) Mengurangi atau tidak melakukan aktifitas yang menyebabkan nyeri
2) Bed rest selama episode nyeri akut
3) Menjaga berat badan agar tidak overweight
4) Membatasi gerakan lumbar
b. Penyangga eksternal (bracing)
Brace merupakan hal yang penting dalam terapi konservatif. Tujuan
penggunaan brace adalah untuk stabilisasi vertebra, mencegah
terjadinya progresifitas dari subluksasi yang telah terjadi. Dalam
beberapa kasus brace juga terbukti mengurangi nyeri dan spasme otot.
c. Terapi medikamentosa
Medikasi diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, proses inflamasi dan
spasme otot. Analgesik digunakan untuk mengurangi nyeri, muscle
relaxants digunakan untuk mengurangi spasme otot serta NSAID atau
steroid untuk mengurangi proses inflamasi.
d. Fisioterapi
Fisioterapi menggunakan variasi modalitas seperti ultrasound, stimulasi
elektrik, pemijatan dan termal terapi untuk membantu mengurangi
spasme otot. Latihan stabilitas vertebra juga bisa dilakukan untuk
membantu meningkatkan fleksibilitas. Perlu diingat bahwa latihan ini
apabila dilakukan pada fase akut dapat semakin merusak bagian yang
sedang mengalami inflamasi.
1) Ultrasound
Ultrasound adalah sebuah cara yang sangat efektif untuk
menstimulasi penyembuhan jaringan. Gelombang suara dapat
meningkatkan sirkulasi ke area yang mengalami kerusakan, dan
membantu merilekskan otot sekitarnya. Cara ini sangat
mendatangkan keuntungan bagi pasien dengan spondilolistesis yang
telah menyebabkan iritasi pada jaringan disekitarnya.
2) Terapi termal hangat
Terapi termal hangat berguna untuk meningkatkan sirkulasi dan
merilekskan jaringan otot sekitar.
3) Kompres es
Kompres es biasanya digunakan pada 72 jam inisal dari terjadinya
injuri untuk mengurangi inflamasi dan menghilangkan nyeri.
4) TENS
Transcutaneous electrical nerve stimulation membantu
menghilangkan nyeri. Biasanya digunakan terutama untuk nyeri
yang teradiasi.
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada pasien
muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low grade
slip) yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat digunakan
dengan beberapa tingkat keberhasilan. Salah satu tantangan adalah dalam
terapi pasien dengan nyeri punggung hebat dan menunjukkan gambaran
radiografi abnormal. Pasien tersebut mungkin memiliki penyakit
degenerative pada diskus atau bahkan pergeseran ringan (low grade slip,
<25%), dan biasanya nyeri yang terjadi tidak sesuai dengan pemeriksaan
fisik dan gambaran radiografi. Nyeri punggung merupakan masalah
kesehatan utama dan penyebab disabilitas yang paling sering. Adalah
sangat penting untuk mempertimbangkan factor tingkah laku dan
psikososial yang berperan dalam timbulnya disabilitas pada pasien
tersebut.
2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat
simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana
gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Tujuan terapi adalah untuk
dekompesi elemen neural dan immobilisasi segmen yang tidak stabil.
Umumnya dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang permukaan
sendi (facet joints) dan diskus intervertebralis melalui arthrodesis (fusi).
Indikasi intervensi bedah (fusi) pada pasien dewasa adalah :
a. Tanda neurologis - radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi
konservatif).
b. Klaudikasio neurogenik.
c. Pergeseran berat ( High grade slip >50 %)
d. Pergeseran tipe I dan tipe II, dengan bukti adanya instabilitas,
progresifitas listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.
e. Spondilolistesis traumatic.
f. Spondilolistesis iatrogenic.
g. Listesis tipe III (degenerative) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat.
h. Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan (gait).

G. Komplikasi
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun penarikan
pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang
membutuhkan penanganan dengan pembedahanuntuk menstabilkan
spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root injury (<1%),
kebocoran LCS (2-10 %), kegagalan melakukan fusi (5-25 %), infeksi dan
perdarahan dari prosedur pembedahan (1-5 %). Pada pasien yang perokok,
kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat fusi ialah (>50%). Pasien
yang berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita
spondilolistesis isthmic atau kongenital yang lebih progresif. Radiografi serial
dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui
perkembangan pasien ini.

H. Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan
akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan
perubahan vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan akan
mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya
spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila
pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat
dan menyebabkan penekanan pada saraf (nerve compression) atau sciatica hal
ini akan membutuhkan pembedahan dekompresi.

I. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis), kerusakan jaringan.
2. Hambatan Mobilitas Fisik Berhubungan dengan Kerusakan
Muskuloskletal
3. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan pertahanan
primer yang tidak adekuat (kerusakan kulit, trauma jaringan)
J. Intervensi Keperawatan
Perencanaan
No. Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) NIC
1. Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Pain Management
agen cidera fisik keperawatan, Pasien tidak mengalami 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
nyeri, dengan kriteria hasil: komperhensif termasuk lokasi,
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
prnyebab nyeri, mampu dan faktor presipitasi
menggunakan tekhnik 2. Observasi reaksi nonverbal dari
nonfarmakologi untuk mencari ketidaknyamanan
nyeri, mencari bantuan) 3. Bantu pasien dan keluarga untuk
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang mencari dan menemukan dukungan
dengan menggunakan manajemen 4. Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri mempengaruhi nyeri seperti suhu
3. Mampu mengenali nyeri (skala, ruangan, pencahayaan dan kebisingan
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
4. Menyatakan rasa nyaman setelah 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
nyeri berkurang menentukan intervensi
5. Tanda vital dalam rentang normal 7. Ajarkan tentang teknik non
6. Tidak mengalami gangguan tidur farmakologi: napas dalam, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/dingin
8. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
9. Monitoring vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
Analgetic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
2. Cek intruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan
sesudah pemberian obat
2. Hambatan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan tindakan keperaw 1. Kaji kemampuan pasien dalam
Berhubungan dengan Gangguan atan gangguan mobilitas fisik teratasi mobilisasi
Muskuloskletal dengan kriteria hasil: 2. Latih pasien dalam pemenuhan
1. Klien meningkat dalam aktivitas kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
fisik kemampuan
2. Mengerti tujuan dari peningkatan 3. Dampingi dan Bantu pasien saat
mobilitas mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
3. Memverbalisasikan perasaan dalam ADLs ps.
meningkatkan kekuatan dan 4. Berikan alat Bantu jika klien
kemampuan berpindah memerlukan.
4. Memperagakan penggunaan alat 5. Ajarkan pasien bagaimana merubah
Bantu untuk mobilisasi posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan
6. Bantu pasien makan dan minum
(menyuapi, mendekatkan alat-alat dan
makanan/minuman)
7. Pertahankan kesehatan dan kebersihan
mulut pasien
8. Bantu pasien mamakai pakaiannya
9. Libatkan keluarga dan ajarkan cara
memakaikan pakaian pada pasien
10. Memandikan pasien
11. Libatkan keluarga untuk membantu
memandikan pasien
12. Lakukan perawatan mata, rambut,
kaki, mulut, kuku dan perineum
13. Bantu pasien bak/bab
14. Lakukan perawatan inkontinensia usus
15. Manajemen nutrisi
16. Libatkan keluarga dalam perawatan
3. Resiko infeksi berhubungan 1. Immune status Infection Control (kontrol infeksi)
dengan kerusakan jaringan dan 2. Knowledge : infection control 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
pertahanan primer yang tidak 3. Risk control sistemik dan lokal
adekuat (kerusakan kulit, trauma Kriteria hasil 2. Bersihkan luka
jaringan) a. Klien bebas dari tanda dan gejala 3. Ajarkan cara menghindari infeksi
infeksi 4. Instruksikan pasien untuk minum obat
b. Menunjukkan kemampuan untuk antibiotik sesuai resep
mencegah timbulnya infeksi 5. Berikan terapi antibiotik IV bila perlu
c. Jumlah leukosit dalam batas normal
DAFTAR PUSTAKA

Lee, Dennis, 2011. Spondylolisthesis Symptoms. Diunduh dari


http://www.medicinenet.com/spondylolisthesis/page2.htm#symptoms
[Diakses tanggal 7 Desember 2011]

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan NANDA : Masalah Yang Lazim Muncul.

Sjamsuhidajat R, Jong Wd.2005. Spondilolistesis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah


Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 835

Anda mungkin juga menyukai