Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

NEKROSIS AVESKULAR (AVN) HIP


DI RUANG 18 ( BEDAH )
RSUD SAIFUL ANWAR MALANG
PERIODE TANGGAL 04 NOVEMBER 2019 – 10 NOVEMBER
2019

Oleh :

NAMA : KITFATUL ISLAMIYAH

NIM : 172303101056

PRODI D3 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

TAHUN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN NEKROSIS AVESKULAR (AVN)

I. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Definisi
Nekrosis Avaskular (AVN) yang juga dikenal Osteonekrosis,
aseptic nekrosis, ischemic nekrosis, adalah suatu kondisi dimana tulang
kehilangan suplay darah. Karena tulang membutuhkan darah agar sel-
selnya dapat hidup, gangguan suplai darah ke tulang dapat membuat sel-
sel pada tulang mati. Jika berlangsung terus menerus maka proses ini
menyebabkan tulang kolaps.
Nekrosis Avaskular (AVN) adalah penyebab lain degenerasi sendi
pinggul. Pada kondisi ini, kepala tulang paha (bagian bola femur, atau
tulang paha) kehilangan porsi penting asupan darahnya dan mulai mati
(Osteonekrosis). Kepala tulang paha yang mati tidak dapat menahan
tekanan besar yang ditransmisikan melalui sendi pinggul saat aktivitas
normal seperti jalan kaki, naik tangga dan secara meningkat cacat. AVN
dihubungkan dengan alkohol, keretkan dan dislokasi pinggul, serta
perawatan steroid jangka panjang untuk penyakit lainnya.
a. Nekrosis pasca traumatik muncul segera setelah cedera pinggul yang
biasanya parah, tetapi gejala dan tanda-tanda nekrosis biasanya
memerlukan beberapa bulan untuk timbul.
b. Nekrosis idiopatik lebih lambat terjadinya. Pasien biasanya pria
berusia 20-50 tahun yang mengeluhkan nyeri pinggul (atau, diatas
50% kasus, pada kedua pinggul), yang berkembang selama periode
2-3 tahun sampai menjadi cukup parah.
Semua suplai darah masuk ke dalam bola yang membentuk sendi
panggul melalui leher femur (leher femoralis), daerah yang lebih tipis dari
tulang yang menghubungkan bola ke poros. Jika suplai darah rusak, tidak
ada cadangan. Kerusakan pada pasokan darah dapat menyebabkan
kematian tulang yang membentuk bola bagian tulang paha. Setelah ini
terjadi, tulang tidak lagi mampu mempertahankan dirinya.
Dalam stadium 1 pasien tidak atau sedikit nyeri dan sinar-X polos
tidak menunjukkan abnormalitas. Dalam stadium 2 ada tanda-tanda sinar-
X dini tetapi caput femoris secara struktural utuh. Stadium 3 lebih parah,
disertai tanda-tanda peningkatan distorsi caput femoris atau fragmentasi.
Stadium 4 ditandai dengan hancurnya permukaan sendi dan osteoarthritis
sekunder.
Stadium Osteonekrosis Traumatik Osteonekrosis
Osteonekrosis Nontraumatik
I Reduksi dan fiksasi Dekompresi
II Pencangkokan tulang Dekompresi
III Muda Osteotomi danOsteotomi dan
pencangkokan pencangkokan

Tua Penggantian sendi Pencangkokan


IV Penggantian sendi Penggantian sendi

B. Etiologi
a. Cedera langsung pada hip dapat merusak pembuluh darah.
b. Beberapa etiologi (seperti fraktur) yang menyebabkan penurunan
suplai darah ke tulang
c. Fraktur. Vertikal oblique fraktur pada collum femoris (70° atau lebih)
dapat merusak pembuluh darah sehingga aliran darah terputus.
d. Hip dislocation
e. Iskemia pada tulang, terjadi jika aliran darah ke tulang cukup rendah
f. Infark pada tulang, terjadi jika aliran darah ke tulang masih rendah
beberapa kondisi kesehatan yang dapat mempengaruhi
perkembangan penyakit ini.
a. Kortikosteroid
Selain cedera, salah satu penyebab paling umum dari osteonekrosis
adalah penggunaan obat kortikosteroid seperti prednison.
Kortikosteroid umumnya digunakan untuk mengobati penyakit radang
Seperti Systemic Lupus eritomatosus, rheumatoid arthritis, penyakit
radang usus, asma berat, dan vaskulitis. Dari sebuah penelitian,
dijelaskan bahwa penggunaan jangka panjang kortikosteroid melalui
oral atau intravena dapat menyebabkan osteonekrosis nontraumatic.
b. Alkohol
Penyebab umum lain yang dapat menyebabkan osteonecrosis
adalah konsumsi alcohol yang berlebihan. Seseorang yang
mengkonsumsi alcohol secara berlebihan dapat menyebabkan
terbentuknya substansi lemak dan dapat menyumbat aliran pembuluh
darah yang menyebabkan aliran darah ketulang menurun.
c. Trauma
Ketika terjadi fraktur tulang, dislokasi, atau cedera sendi lainnya
dapat menyebabkan pembuluh darah rusak. Hal ini dapat membuat
terganggunya sirkulasi darah ketulang, dan menyebabkan
osteonecrosis karena trauma.
d. Faktor resiko lainnya
Faktor risiko lain untuk osteonekrosis yaitu terapi radiasi,
kemoterapi dan transplantasi organ (terutama transplantasi ginjal).
Osteonekrosis juga berkaitan dengan beberapa kondisi medis,
termasuk kanker, systemic lupus erythematosus (SLE), penyakit
hematologi peperti penyakit sel sabit, infeksi HIV, penyakit Gaucher,
penyakit Caisson, gout, vaskulitis, osteoarthritis, dan osteoporosis.
C. Patofisiologi
Tulang yang mati strukturnya sukar dibedakan dengan tulang yang
masih hidup.perubahan dimulai dalam seminggu setelah periode iskemik
sampai 2-4 tahun; hal ini sama untuk semua tipe osteonekrosis, walaupun
kelainan dasarnya dapat juga dijumpai.
Sel tulang mati seletah 12-48 jam mengalami anoksia, bisa
beberapa hari atau minggu. Pada saat ini perubahan histologi yang paling
jelas terlihat pada sumsum tulang: hilangnya lapisan lemak sel, infiltrasi
oleh sekumpulan sek disekitarnya, tampak histiosit jaringan, dan sumsum
tulang nekrosis digantikan oleh jaringan mesenkim undifferentiated. pada
stadium awal ini bisa terlihat proliferasi osteoblastik yang menandakan
perbaikan tulang. Maka batas jaringan yang nekrotik menjadi jelas, lalu
granulasi jaringan pembuluh darah tumbuh dari jaringan yang masih
hidup. Dan tulang baru tumbuh di atas yang mati. Hal ini membentuk
gambaran: lapisan (1) pecahan halus pada bagian subkondral tulang, (2)
fraktur tangensial linier berdekatan dengan permukaan sendi, dan (3)
fraktur shearing pada permukaan dalam antara tulang yang mati dan hidup.
Perkembangan osteonekrosis awalnya asimptomatik lalu lesi
berkembang seiring dengan waktu. Nyeri merupakan keluhan utama,
kadang-kadang pasien merasakan klik pada sendinya. Selanjutnya sendi
menjadi kaku dan mengalami deformitas. Nyeri tekan lokal bisa dijumpai
bila yang terkena bagian tulang yang superficial.
D. Pathway

E. Manifestasi Klinis
a. Pada pemeriksaan, pasien berjalan pincang.
b. Mungkin menunjukkan tanda trendelen burg positif.
c. Paha mengecil dan anggota tubuh dapat memendek 1-2 cm
d. Gerakan terbatas, terutama abduksi dan rotasi internal.
e. Nyeri pada paha bagian depan
f. Kekakuan dan keterbatasan gerak

F. Pemeriksaan Penunjang
 X-ray: X-ray dapat mengungkapkan perubahan tulang yang terjadi
pada tahap akhir dari penyakit.
 Scan tulang: Dalam tes scan tulang, sedikit zat radioaktif akan
disuntikkan ke pembuluh darah Anda. Zat ini kemudian berjalan ke
bagian tulang yang terluka dan muncul sebagai bintik-bintik terang
pada pelat pencitraan.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI scan dapat menunjukkan perubahan awal pada tulang yang
dapat menunjukkan avascular necrosis.
G. Penataklaksaaan
a. Tanpa Pembedahan.
1) Fisioterapi dapat sangat efektif dalam mengobati AVN caput
femoris jika terdeteksi dini.
2) Ice adalah modalitas yang sangat berguna untuk mengurangi rasa
sakit. Juga dapat menggunakan modalitas listrik seperti ultrasound
atau arus interferential untuk mengurangi rasa sakit dan
peradangan.
3) Massage, terutama untuk pantat, punggung, atau anterior dan
lateral otot pinggul, juga dapat membantu.
4) Penurunan beban pada sendi panggul dapat sangat efektif dalam
memungkinkan tulang untuk penyembuhan serta mengelola rasa
sakit. Beban ini menurun dicapai dengan menggunakan kruk atau
walker. Fisioterapis anda akan mengajarkan cara aman
menggunakan kruk atau walker. Jika memiliki tangga di rumah,
fisioterapis juga akan menunjukkan bagaimana menggunakan kruk
di tangga untuk memastikan mobilisasi selama menggunakan alat
bantu tersebut. Jumlah optimal waktu untuk menggunakan alat
bantu berjalan positif mempengaruhi penyembuhan AVN akan
ditentukan oleh fisioterapis yang tentunya dalam kaitannya dengan
saran dari dokter atau ahli bedah.
5) Memobilisasi sendi pinggul. Mobilisasi pinggul dapat
dikombinasikan dengan dibantu peregangan setiap otot-otot di
sekitar sendi.
6) Streghtening exercise. Latihan-latihan ini akan fokus pada otot-otot
pinggul dan paha.

2. Setelah Pembedahan.
Bebereapa dokter bedah menginginkan untuk segera dilakukan fisioterapi setelah
dilakukan pembedahan.
a. Setelah operasi pasien menggunakan alat bantu berjalan seperti walker
atau kruk selama enam minggu atau lebih. Pasien yang memiliki
pencangkokan pembuluh darah tulang diperlukan untuk membatasi
penumpuan berat badan pada hip selama enam bulan.
b. Pada pertemuan pertama fisioterapi akan memastikan penggunaan alat
bantu jalan dengan aman, benar, dan percaya diri, serta mengetahui
pembatasan bantalan berat badan. Dengan kruk kami akan memastikan
bahwa Anda dapat dengan aman menggunakannya di tangga. Anda untuk
ambulating tanpa bantuan berjalan sama sekali.
c. Menggunakan modalitas seperti ice, heat, ultrasound, atau electrical
stimulation untuk membantu mengurangi rasa sakit atau bengkak di sekitar
lokasi bedah. Selain itu, dapat diberikan massage untuk meningkatkan
sirkulasi dan membantu mengurangi rasa sakit.
d. Mobilisasi sendi pinggul. Dapat dikombinasikan dengan peregangan.
e. Strengthening. Ini adalah komponen penting dari rehabilitasi pasca-
operasi. Latihan akan berfokus terutama pada otot-otot pinggul dan paha.
f. Pemberian electrical stimulation untuk membantu kontraksi otot-otot hip,
ini akan membantu lebih cepat untuk mengembalikan kekuatan otot
kembali.

II. ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN NEKROSIS AVESKULAR


A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-
masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.

3) Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
b) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan
pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau,
dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
c) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

e) Pola Hubungan dan Peran


Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
f) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image).
g) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
h) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan
gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji
status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
i) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
(Ignatavicius, Donna D, 2000).
2. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
b. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
f. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
g. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
- Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
- Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
- Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
- Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k. Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
- Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
- Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
- Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
- Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
- Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
b) Cape au lait spot (birth mark).
c) Fistulae
d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

c. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral.
Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar
indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca
sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik


khususnya seperti:

a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur


yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
d) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase
yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

B. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan
dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk
mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data
objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.

C. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik
aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam
mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi
keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah
kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
2. Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
D. Intervensi
Dx.Keperawatan &
No Rencana Tindakan Rasional
Kriteria Hasil
1 Nyeri akut a. Tinggikan posisi ekstremitas yang mengalami a. Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi
fraktur edema/ nyeri.
b. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif b. Mempertahankan kekuat-an otot dan
sesuai keadaan klien meningkatkan sirkulasi vaskuler.
c. Lakukan tindakan untuk meningkatkan c. Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area
kenyamanan (masase, perubahan posisi) tekanan lokal dan kelelahan otot.
d. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri d. Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,
(latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang
dipersional) mungkin berlangsung lama.
e. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24- e. Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
48 jam pertama) sesuai keperluan. f. Menurunkan nyeri melalui mekanisme
f. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi. penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral
g. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal maupun perifer.
dan non verval, perubahan tanda-tanda vital) g. Menilai perkembangan masalah klien.
2 Resiko Cidera a. Pertahankan tirah baring dan imobilisasi a. Meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan
sesuai indikasi. antara fragmen tulang dengan jaringan lunak di
b. Rawat luka setiap hari atau setiap kali bila sekitarnya.
pembalut basah atau kotor. b. Mempercepat penyembuh-an luka dan mencegah
c. Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan infeksi lokal/sistemik.
bantal atau gulungan selimut untuk c. Mencegah perubahan posisi dengan tetap
mempertahankan posisi yang netral. mempertahankan kenyamanan dan keamanan.
d. Evaluasi pembebat terhadap resolusi edema. d. Bila fase edema telah lewat, kemungkinan bebat
e. Kolaborasi pemasangan skeletal traksi. menjadi longgar dapat terjadi.
f. Kolaborasi pemberian obat antibiotika. e. Skeletal traksi menghasil-kan efek fiksasi yang
g. Evaluasi tanda/gejala perluasan cedera lebih stabil sehingga dapat meminimalkan resiko
jaringan (peradangan lokal/sistemik, seperti perluasan cedera.
peningkatan nyeri, edema, demam f. Antibiotik bersifat bakte-riosida/baktiostatika
untuk membunuh / menghambat perkembangan
kuman.
g. Menilai perkembangan masalah klien
3 Gangguan Mobilitas a. Pertahankan pelaksanaan akti-vitas rekreasi a. Memfokuskan perhatian, meningkatkan rasa
Fisik terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/ kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan
keluarga) sesuai keadaan klien. isolasi sosial.
b. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada b. Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal,
ekstremitas yang sakit maupun yang sehat mempertahankan tonus otot, mempertahakan ge-
sesuai keadaan klien. rak sendi, mencegah kon-traktur/atrofi dan
c. Bantu dan dorong perawatan diri mence-gah reabsorbsi kalsium karena
(kebersihan/makan/eliminasi) se- suai imobilisasi.
keadaan klien. c. Meningkatkan kemandiri-an klien dalam
d. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien.
klien. d. Menurunkan insiden komplikasi kulit dan
e. Dorong/pertahankan asupan ca-iran 2000- pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)
3000 ml/hari. e. Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah
f. Berikan diet TKTP. komplikasi urinarius dan konstipasi.
g. Kolaborasi pelaksanaan fisio-terapi sesuai f. Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk
indikasi. proses penyembuhan dan mem-pertahankan
h. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan fungsi fisiologis tubuh.
program imobilisasi. g. Kerjasama dengan fisio-terapis perlu untuk me-
nyusun program aktivitas fisik secara individual.
h. Menilai perkembangan masalah klien.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer C. Suzannne, (2002 ), Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah, Alih Bahasa Andry Hartono, dkk., Jakarta, EGC.
Judith M. Wilkinson. & Nancy R. Ahern,(2012), Diagnosa Keperawatan
Nanda NIC NOC, Jakarta, EGC
Mansjoer, Arif, 2000., Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
Prince, Sylvia Anderson, 2000., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit., Ed. 4, EGC, Jakarta.
Apley, A Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley.
Jakarta: Penerbit Widya Medika.

Anda mungkin juga menyukai