Anda di halaman 1dari 69

Referat

GAMBARAN RADIOLOGI PADA KELAINAN ESOFAGUS

Preseptor:

dr. Lila Indrati, Sp.Rad

Oleh:
Fitriani Afifah 1940312129
Widia Febrina 1940312148
Indah Yelmanita Putri 2040312006
Farah Nadya Arvenila 1940312139

BAGIAN RADIOLOGI

RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS


2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan nikmatnya berupa kesehatan, ilmu, dan pikiran sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Gambaran Radiologi pada Kelainan
Esofagus” dan penulis mengucapkan terima kasih kepada preseptor ibu dr. Lila
Indrati, Sp.Rad. Referat ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian Radiologi RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam referat
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak. Penulis berharap agar referat ini bermanfaat dalam meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman mengenai Gambaran Radiologi pada Kelainan
Esofagus terutama bagi penulis dan teman-teman dokter muda yang menjalani
kepaniteraan klinik di bagian ini.

Padang, 01 Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
1. 1 Latar Belakang 1
1. 2 Batasan Masalah 2
1. 3 Tujuan Penulisan 2
1. 4 Metode Penulisan 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Esofagus 3
2.1.1 Anatomi dan Histologi Esofagus 3
2.1.2 Fisiologi Esofagus 4
2.2 Varises Esofagus 5
2.2.1 Definisi 5
2.2.2 Epidemiologi 5
2.2.3 Patofisiologi 6
2.2.4 Diagnosis 6
2.2.5 Pemeriksaan Radiologi pada Varises Esofagus 8
2.2.6 Penatalaksanaan 11
2.2.7 Prognosis 12
2.3 Esofagus Barrett 12
2.3.1 Definisi 12
2.3.2 Epidemiologi 12
2.3.3 Patofisiologi 13
2.3.4 Diagnosis 13
2.3.5 Pemeriksaan Radiologi pada Esofagus Barrett 14
2.3.6 Penatalaksanaan 16
2.4 Atresia Esofagus 17
2.4.1 Definisi 17

ii
2.4.2 Variasi Atresia Esofagus 18
2.4.3 Etiologi 18
2.4.4 Patofisiologi 19
2.4.5 Manifestasi Klinis 19
2.4.6 Diagnosis 20
2.4.7 Penatalaksanaan 26
2.4.8 Komplikasi dan Prognosis 27
2.5 Akalasia 28
2.5.1 Definisi 28
2.5.2 Epidemiologi 28
2.5.3 Etiopatologi 28
2.5.4 Manifestasi Klinis 28
2.5.5 Pemeriksaan Penunjang 29
2.5.6 Diagnosis Banding 31
2.5.7 Penatalaksanaan dan Prognosis 34
2.6 Esofagitis 34
2.6.1 Definisi dan Etiologi 34
2.6.2 Epidemiologi 35
2.6.3 Patofisiologi 35
2.6.4 Manifestasi Klinis 36
2.6.5 Diagnosis 37
2.6.6 Penatalaksanaan 39
2.7 Striktur Esofagus 40
2.7.1 Definisi 40
2.7.2 Etiologi 40
2.7.3 Klasifikasi 42
2.7.4 Patofisiologi 43
2.7.5 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 44
2.7.6 Pemeriksaan Radiologi 44
2.7.7 Penatalaksanaan 45
2.8 Tumor Jinak Esofagus 45

iii
2.8.1 Definisi 45
2.8.2 Epidemiologi Tumor Jinak Esofagus 46
2.8.3 Manifestasi Klinis Tumor Jinak Esofagus 47
2.8.4 Patofisiologi 47
2.8.5 Diagnosis 48
2.8.6 Penatalaksanaan 52
2.8.7 Komplikasi dan Prognosis 53
2.9 Tumor Ganas Esofagus 53
2.9.1 Epidemiologi 53
2.9.2 Klasifikasi 54
2.9.3 Patofisiologi 54
2.9.4 Gambaran Klinis 55
2.9.5 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 56
2.9.6 Pemeriksaan Radiologi 56
2.9.7 Penatalaksanaan 57
BAB III: KESIMPULAN 58
DAFTAR PUSTAKA 59

iv
5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Esofagus dimulai pada level kartilago cricoid dan berada di daerah belakang
bawah dan sedikit ke kiri dari trakea. Nervus laryngeal recurrent sinistra berada di
antara esofagus dan trakea. Duktus thoracis berada di sebelah kiri dari esofagus.
Esofagus berbentuk bulat dan tersusun dari otot yang menghubungkan faring dengan
lambung. Panjangnya sekitar 8 inci dan dilapisi oleh jaringan merah muda yang
disebut mukosa. Esofagus berjalan di belakang trakea dan jantung dan berada di
depan tulang belakang. Tepat sebelum memasuki lambung esofagus melewati
diafragma.1,2

Esofagus dapat mengalami beberapa kelainan baik yang bersifat kongenital


maupun didapat. Beberapa kelainan kongenital yang dapat terjadi diantaranya
Akalasia esofagus, Atresia esofagus, Kelainan esophagus yang didapat seperti Varises
esophagus, Stenosis Esofagus, Esofagitis, Barret’s Esofagus dan yang banyak
dikhawatirkan adalah tumor esofagus baik yang bersifat jinak maupun ganas.3

Dimulai dari kelainan kongenital pada esofagus seperti Atresia esofagus yang
merupakan kelaianan kongenital yang cukup sering dengan insidensi rata-rata sekitar
1 setiap 2500 hingga 3000 kelahiran hidup. Insidensi AE di Amerika Serikat 1 kasus
setiap 3000 kelahiran hidup. Di dunia, insidensi bervariasi dari 0,4 – 3,6 per 10.000
kelahiran hidup. Insidensi tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 1 kasus dalam 2500
kelahiran hidup. Untuk kelainan akibat karsinoma sendiri merupakan keganasan ke-6
yang sering terjadi yang dapat menyebabkan kematian di dunia. Secara epidemiologis
berkisar 3 per 100.000 penduduk di negara barat sampai 140 kejadian per 100.000
penduduk di Asia Tengah.3

Masalah yang ditimbulkan dari berbagai kelainan esofagus yang utama


adalah ketidakmampuan untuk menelan, makan secara normal, bahaya aspirasi
termasuk karena saliva sendiri dan sekresi dari lambung. Hal tersebut dapat
menyebabkan kurangnya intake makanan pada individu tersebut sehingga dapat
menyebabkan penurunan sistem imunitas. Pada akhirnya akan menyebabkan berbagai
komplikasi akibat kelainan esofagus tersebut.3

1
Hal tersebut sangat penting bagi klinisi untuk dapat mendiagnosis secara dini
berbagai kelainan esofagus sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat
kelainan esofagus. Salah satu yang penting dilakukan dalam menegakkan diagnosis
adalah melakukan pemeriksaan secara radiologis untuk dapat mengetahui lokasi dan
jenis kelainan yang terjadi pada esofagus. Makalah ini dibuat untuk mengenali
kelainan pada esofagus secara radiologis sehingga dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis secara dini terkait kelainan pada esofagus.

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas mengenai definisi, etiologi, variasi, patofisiologi,


manifestasi klinis, diagnosis dan pemeriksaan radiologis, penatalaksanaan, komplikasi,
dan prognosis dari kelainan esofagus.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari makalah ini adalah:

1. Mengerti mengenai definisi, etiologi, variasi, patofisiologi, manifestasi klinis,


diagnosis, gambaran radiologis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis
dari kelainan esofagus.
2. Dapat mencurigai, melakukan pemeriksaan radiologis untuk mendiagnosis,
dan memberi penatalaksanaan sementara untuk mencegah komplikasi, untuk
selanjutnya merujuk pasien dengan kelainan esofagus.
3. Menyelesaikan salah satu syarat pendidikan kepaniteraan klinik senior di
bidang Ilmu Radiologis.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka dengan


mengacu pada beberapa literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Esofagus


2.1.1 Anatomi dan Histologi Esofagus
Esofagus adalah suatu tabung otot yang terbentang dari hipofaring
(Servikal 6) sampai ke lambung (Torakal 11) dengan panjang 23-25 cm pada
dewasa. Esofagus pada awalnya berada di garis tengah kemudian berbelok ke
kiri dan kembali ke tengah setinggi mediastinum (T7) kemudian berdeviasi ke
kiri ketika melewati hiatus diafragma. Lengkungan esofagus dilihat dari sisi
anteroposterior mengikuti lengkungan dari vertebra torakal. Esofagus
menghubungkan antara faring dan gaster. Batas proksimal esofagus adalah
sfingter esofagus atas, yang berjalan ke distal sampai mediastinum posterior
seperti cekungan tabung otot hingga sfingter esofagus bawah. Esofagus
merupakan bagian fungsional yang secara anatomis berhubungan dengan
pertemuan antara muskulus konstriktor faring dengan krikofaring. Esofagus
merupakan pusat kontraksi tonik, berdinding tebal serta terdapat otot polos
sirkuler yang panjangnya 2-4 cm sampai hiatus diafragma.1
Pada esofagus normal terdapat 3 penyempitan, yaitu pada pertemuan
antara faring dan esofagus (Servikal 6 atau 15 cm dari incisivus atas), pada
persilangan arkus aorta dan bronkus kiri (Torakal 4-5 atau setinggi 25 cm dari
incisivus atas) dan pada hiatus diafragma (Torakal 10 atau 40 cm dari incisivus
atas). Lumen esofagus mempunyai diameter yang berbeda pada tiap-tiap lokasi
serta mempunyai kemampuan elastisitas yang tinggi.1,2
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapis, yaitu: mukosa, submukosa,
muskularis propria, dan adventisia. Esofagus tidak terdapat lapisan serosa
sehingga merupakan saluran cerna yang unik. Mukosa normal terdiri dari epitel
berlapis pipih. Lapisan submukosa terdapat serabut kolagen yang tebal dan
serabut elastin serta kelenjar mukus dan pleksus Meissner. Di antara muskularis
propria dan mukosa terdapat aliran limfatik yang berasal dari muskularis
propria. Muskularis propria terdiri dari otot lurik dan otot polos yaitu pada
bagian proksimal otot lurik, bagian tengah otot lurik dan otot polos serta pada
bagian distal adalah otot polos. Otot lapisan dalam tersusun sirkuler dan lapisan
luar tersusun longitudinal seperti pada gambar 2.1. Serat sirkuler pada bagian

3
bawah esofagus menebal membentuk sfingter kardia. Pleksus mienterikus
Auerbach terdapat di antara kedua lapisan otot ini.4

Gambar 2.1. Histologi Lapisan Dinding Esofagus4

Vaskularisasi esofagus mengikuti pola segmental. Pada esofagus bagian


atas disuplai oleh cabang-cabang arteri tiroidea inferior dari trunkus
tiroservikalis dan cabang arteri subklavia. Bagian tengah disuplai oleh
cabang-cabang segmental aorta torakalis desenden dan arteri bronkialis.
Sedangkan bagian subdiafragmatika disuplai oleh cabang arteri gastrika sinistra
dan arteri phrenicus inferior sinistra dari aorta abdominal. Aliran darah vena
juga mengikuti pola segmental. Vena-vena esofagus daerah leher mengalirkan
darah ke vena azigos dan hemiazigos, yang selanjutnya ke vena kava superior,
dan di bawah diafragma vena esofagus mengalirkan darah ke vena gastrika
sinistra yang selanjutnya menuju ke vena porta.1,2
Esofagus dipersarafi oleh serabut parasimpatis yang berasal dari nervus
vagus dan serabut simpatis dari trunkus simpatikus. Aliran limfe dari esofagus
segmen servikal, torakal, dan abdominal, masuk ke kelenjar servikal dalam,
kelenjar mediastinum posterior, dan kelenjar gastrikus.1,2

2.1.2 Fisiologi Esofagus


Fungsi esofagus selain sebagai saluran makanan dan minuman juga
berperan dalam proses menelan. Terdapat 3 fase proses menelan, yaitu fase oral
(bucal), fase faringeal, dan fase esophageal. Pada fase oral, makanan yang
masuk ke dalam mulut dikunyah, dilubrikasi oleh saliva, dan diubah menjadi
bolus kemudian didorong masuk ke faring dengan bantuan elevasi lidah ke
palatum. Fase faringeal dimulai bila bolus makanan ini telah berkontak dengan
mukosa faring. Adanya reflek akan mendorong bolus memasuki orofaring,

4
laringofaring, dan terus ke esofagus. Pada saat ini hubungan ke nasofaring,
rongga mulut, dan laring akan tertutup.4
Setelah makanan masuk ke esofagus, sfingter atas esofagus akan tertutup
dan dengan gerakan peristaltik akan mendorong bolus makanan ke bawah.
Sebelum peristaltik ini sampai di bagian bawah esofagus, sfingter bawah akan
berelaksasi sehingga dapat menyebabkan lewatnya cairan ke lambung. Gerakan
peristaltik pada bagian bawah esofagus akan mendorong bolus makanan ke
lambung kemudian menutup sfingter bawah esofagus. Fase ini disebut fase
esofageal. Sfingter atas esofagus berfungsi dalam proses menelan sedangkan
sfingter bawah berfungsi mencegah terjadinya refluks cairan lambung ke
esofagus.4

2.2 Varises Esofagus


2.2.1 Definisi
Varises esofagus adalah terjadinya distensi vena submukosa yang
diproyeksikan ke dalam lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi portal.
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal lebih dari 10
mmHg yang menetap, sedangkan tekanan dalam keadaan normal sekitar 5 –10
mmHg. Hipertensi portal paling sering disebabkan oleh sirosis hepatis. Sekitar
50% pasien dengan sirosis hepatis akan terbentuk varises esofagus dan
sepertiga pasien dengan varises akan terjadi perdarahan yang serius dari
varisesnya dalam hidupnya.5

2.2.2 Epidemiologi
Varises paling sering terjadi beberapa sentimeter pada esofagus bagian
distal meskipun varises dapat terbentuk dimanapun di sepanjang traktus
gastrointestinal. Sekitar 50% pasien dengan sirosis akan terjadi varises
gastroesofagus dan sekitar 30–70% akan terbentuk varises esofagus. Sekitar
4–30% pasien dengan varises yang kecil akan menjadi varises yang besar setiap
tahun dan karena itu mempunyai risiko akan terjadi perdarahan. Walaupun
pengelolaan perdarahan gastrointestinal telah banyak berkembang namun
mortalitas varises esofagus relatif tidak berubah, masih berkisar 8-10%. Hal ini
dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut dan akibat dari
komorbiditas yang menyertai.5

5
2.2.3 Patofisiologi
Sirosis merupakan fase akhir dari penyakit hati kronis yang paling sering
menimbulkan hipertensi portal. Tekanan vena porta merupakan hasil dari
tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran darah pada portal bed. Pada sirosis,
tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran porta keduanya sama-sama meningkat.6
Bila ada obstruksi aliran darah vena porta, apapun penyebabnya, akan
mengakibatkan naiknya tekanan vena porta. Tekanan vena porta yang tinggi
merupakan penyebab dari terbentuknya kolateral portosistemik, meskipun
faktor lain seperti angiogenesis yang aktif dapat juga menjadi penyebab.
Walaupun demikian, adanya kolateral ini tidak dapat menurunkan hipertensi
portal karena adanya tahanan yang tinggi dan peningkatan aliran vena porta.
Kolateral portosistemik ini dibentuk oleh pembukaan dan dilatasi saluran
vaskuler yang menghubungkan sistem vena porta dan vena kava superior dan
inferior. Aliran kolateral melalui pleksus vena-vena esofagus menyebabkan
pembentukan varises esofagus.6
Beberapa penelitian menunjukkan peranan endotelin-1 (ET-1) dan nitric
oxide (NO) pada patogenesis hipertensi porta dan varises esofagus.
Endotelin-1 adalah vasokonstriksi kuat yang disintesis oleh sel endotel sinusoid
yang diimplikasikan dalam peningkatan tahanan vaskuler hepatik pada sirosis
dan fibrosis hepatis. Nitric oxide adalah vasodilator yang juga disintesis oleh sel
endotelial sinusoid. Pada sirosis hepatis, produksi NO menurun, aktivitas
endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dan produksi nitrit oleh sel endotelial
sinusoid berkurang.6

2.2.4 Diagnosis
Varises esofagus biasanya tidak memberikan gejala bila varises belum
pecah yaitu bila belum terjadi perdarahan. Oleh karena itu, bila telah ditegakkan
diagnosis sirosis hepatis hendaknya dilakukan skrining melalui pemeriksaan
esofagogastroduodenoskopi (EGD) yang merupakan standar baku emas untuk
menentukan ada tidaknya varises esofagus. Pada pasien dengan sirosis hepatis
kompensata dan tidak didapatkan varises, ulangi EGD setiap 2–3 tahun. Namun,
bila ditemukan varises kecil maka pemeriksaan EGD diulangi setiap 1–2 tahun.
Pada sirosis hepatis dekompensata, lakukan pemeriksaan EGD setiap tahun.5

6
Bila standar baku emas tidak dapat dikerjakan atau tidak tersedia, langkah
diagnostik lain yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan ultrasonografi
Doppler. Alternatif pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan radiografi dengan
menelan barium dan angiografi vena porta serta manometri. Pada
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut penting untuk menilai lokasi varises
(esofagus atau lambung) dan besar varises, tanda-tanda adanya perdarahan yang
akan terjadi, dan menilai perdarahan yang pertama atau perdarahan yang
berulang.5,6
Varises esofagus biasanya dimulai dari esofagus bagian distal dan akan
meluas sampai ke esofagus bagian proksimal bila lebih lanjut. Berikut ini
adalah derajat dari varises esofagus berdasarkan gambaran endoskopis seperti
yang terlihat pada gambar 2.2 di bawah ini.6

Gambar 2.2. Derajat Varises Esofagus Berdasarkan Gambaran


Endoskopis6

Pada pemeriksaan endoskopi didapatkan gambaran derajat 1 yaitu terjadi


dilatasi vena (<5 mm) yang masih berada pada sekitar esofagus. Pada derajat 2
terdapat dilatasi vena (>5 mm) menuju ke dalam lumen esofagus tanpa adanya
obstruksi. Sedangkan pada derajat 3 terdapat dilatasi yang besar, berkelok-kelok,
pembuluh darah menuju lumen esofagus yang cukup menimbulkan obstruksi.
Pada derajat 4 terdapat obstruksi lumen esofagus hampir lengkap dengan tanda
bahaya akan terjadinya perdarahan (cherry red spots).6

7
2.2.5 Pemeriksaan Radiologi pada Varises Esofagus
a. Gambaran Foto Polos
 Massa berlobus pada mediastinum posterior (Dapat dilihat pada foto
lateral) yang dapat terlihat pada sebagian kecil pasien dengan varises.
 Terdapat siluet aorta desendens.
 Kontur cembung abnormal pada azygoesophageal recess.
 Namun, foto polos tidak memberikan gambaran yang spesifik untuk
varises esofagus. Karena varises esofagus yang terdapat pada dinding
esofagus mungkin akan tidak terlihat karena tersembunyi di balik
bayangan esofagus. Namun, pada varises paraesofagus yang terletak di
luar esofagus akan dapat ditemukan bayangan opak pada foto polos.8

b. Gambaran Barium Meal


 Dapat bermanfaat pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki
endoskopi atau pada pasien dengan kontraindikasi pemeriksaan
endoskopi.
 Pasien diposisikan dengan posisi supine, right anterior oblique dan left
anterior oblique untuk mencegah tumpang tindih dengan vertebrae dan
meningkatkan aliran vena.
 Disarankan menggunakan suspensi barium yang kental untuk
meningkatkan perlekatan barium di mukosa esofagus. Barium yang
ditelan tidak boleh dalam jumlah yang terlalu banyak karena dapat
menyebabkan distensi esofagus sehingga varises esofagus dapat tidak
terlihat.
 Selain itu, manuver Valsava dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
aliran balik vena, mencegah peristaltik esofagus lebih lanjut, dan
menahan barium di esofagus bagian distal.
 Tanda paling awal ditemukan lipatan mukosa yang menebal dan
terputus.
 Tampak gambaran radiolusen yang berliku-liku dengan ukuran dan
lokasi yang bervariasi.
 Terdapat gambaran filling defect karena telah terjadi penonjolan varises
ke lumen esofagus.

8
 Barium meal dapat membantu mendeteksi varises esofagus pada 50%
kasus.7,8

Gambar 2.3. Gambaran Filling Defect pada Varises Esofagus8

c. Gambaran USG Endoskopi


 Pada pemeriksaan ini, varises esofagus diidentifikasi sebagai struktur
multipel, berbatas tegas, hipoekoik atau anekoik yang berbentuk
tubular atau serpiginosa, dan terletak di lapisan submukosa.
 Beberapa probe USG endoskopi memiliki kemampuan untuk USG
Doppler sehingga dapat digunakan untuk menilai aliran darah.
 Tingkat deteksi varises esofagus dengan pemeriksaan ini semakin
meningkat seiring meningkatnya derajat varises. Dimana tingkat
deteksi varises esofagus derajat 1 adalah 25%, sedangkan pada derajat
2 adalah 73%. Hal ini disebabkan karena varises derajat 1 akan lebih
mudah terkompresi dengan balon yang mengembang saat pemeriksaan
USG endoskopi.9

Gambar 2.4. Gambaran Varises Esofagus pada USG Endoskopi9

9
d. Gambaran CT-SCAN
 Merupakan modalitas pemeriksaan yang baik untuk mendeteksi varises
esofagus ukuran sedang-besar serta dapat menilai sistem vena porta.
 Dinding esofagus menebal dan kontur luar berlobus.
 Varises dapat terlihat lebih jelas dengan CT SCAN menggunakan
kontras berupa struktur berbentuk tabung yang licin, melebar, dan
berbenjol. Pemeriksaan CT-SCAN dengan kontras lebih disarankan
karena meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pada pemeriksaan
sehingga menurunkan kemungkinan positif/negatif palsu.
 Penonjolan ke lumen esofagus tergantung ukuran varises.8,10

Gambar 2.5. Gambaran Varises Esofagus pada CT-SCAN10

Gambar 2.6. Gambaran Vena Kolateral pada Hipertensi Portal10

e. Gambaran MRI
 MRI merupakan pemeriksaan non invasif terbaik untuk menilai sistem
vena porta dan varises esofagus.
 Varises esofagus tampak sebagai rongga aliran pada T1-weighted dan
T2-weighted sehingga mudah dibedakan dengan massa jaringan lunak.

10
Rongga aliran muncul sebagai struktur melingkar di dalam dinding
esofagus.
 Namun, pada hipertensi portal berat, aliran yang stagnan atau
bolak-balik dapat menghasilkan intensitas sinyal yang rendah sehingga
dapat salah diinterpretasikan sebagai oklusi pembuluh darah.
 Selain itu, pada pasien dengan asites yang banyak dapat menurunkan
kualitas gambar dari MRI karena dapat memunculkan artefak pada hasil
pemeriksaan. Sehingga dianjurkan untuk dilakukan parasentesis sebelum
pemeriksaan.10

Gambar 2.7. Gambaran Varises Esofagus pada MRI10

2.2.6 Penatalaksanaan
Deteksi varises esofagus sebelum terjadi perdarahan pertama biasanya
didapatkan pada pemeriksaan stadium hipertensi portal. Jarang varises
terdeteksi secara kebetulan. Harus diketahui bahwa selama perencanaan terapi,
prognosis lebih tergantung pada tingkat sirosis hepatis daripada keparahan
varises esofagus. Varises yang ringan tidak memerlukan tindakan endoskopi.
Varises risiko perdarahan tinggi dapat diterapi obat-obatan dengan propanolol
80-240 mg/hari yang dapat dikombinasi dengan 2 x 40 mg/hari isosorbide
mononitrate. Spironolakton dalam dosis 100-200 mg/hari dapat diberikan
sebagai alternatif pengganti beta bloker. Tidak dilakukan tindakan endoskopi,
operasi, dan transjugular intrahepatic portosystemic shunting (TIPS).5

11
2.2.7 Prognosis
Pasien dengan varises esofagus sekitar 30% akan mengalami perdarahan
pada tahun pertama setelah didiagnosis. Angka kematian akibat episode
perdarahan tergantung pada tingkat keparahan penyakit hati yang mendasari.
Kematian yang disebabkan karena perdarahan berkisar antara <10% pada
pasien sirosis dengan klasifikasi Child-Pugh A sampai >70% pada pasien
sirosis dengan Child-Pugh C. Risiko terjadinya perdarahan ulang mencapai
80% dalam 1 tahun. Apabila pasien tidak diterapi maka sekitar 60% akan terjadi
perdarahan ulang yang berlanjut dalam 1-2 tahun.5

2.3 Esofagus Barrett


2.3.1 Definisi
Esofagus Barrett (EB) didefinisikan sebagai tergantinya sel epitel
skuamous pada esofagus bagian distal dengan sel epitel kolumnar yang sama
dengan lapisan pada lambung. Menurut American College of Gastroenterology,
EB merupakan perubahan pada epitel esofagus tanpa batasan panjang tertentu
yang dapat diketahui saat endoskopi. Esofagus Barrett merupakan keadaan yang
terjadi karena gastroesofageal refluks yang kronis. Perubahan ini dikonfirmasi
dengan hasil biopsi berupa metaplasia intestinal.11

2.3.2 Epidemiologi
Diperkirakan 10-15% pasien dengan keluhan heartburn atau GERD dua
sampai tiga kali perminggu mempunyai kemungkinan terjadinya EB secara
bersamaan pada pemeriksaan endoskopi. Pasien dengan obesitas (indeks massa
tubuh lebih dari 30) mempunyai risiko 2,5 kali lebih besar untuk berkembang
menjadi EB bila dibandingkan pasien dengan berat badan normal. Berdasarkan
jenis kelamin, laki-laki empat kali lebih besar berkembang menjadi EB
dibanding wanita.12
Kejadian EB pada usia 40 tahun lebih kecil, namun pada usia ini terjadi
peningkatan risiko untuk kemungkinan menjadi EB. Banyak pasien didiagnosis
sebagai EB pada usia antara 50 – 60 tahun. Pada kepustakaan lain dinyatakan
pasien didiagnosis sebagai BE antara usia 40-50 tahun. Beberapa penelitian
tentang riwayat keluarga pada pasien EB menunjukkan 7% pasien EB

12
mempunyai hubungan keluarga dengan pasien EB yang lain. Perokok lebih
sering didiagnosis sebagai EB dibandingkan orang yang tidak merokok.12

2.3.3 Patofisiologi
Pada awalnya, epitel normal pada esofagus yang terkena asam lambung
akan mengalami kerusakan pada permukaan epitel, hal ini menyebabkan
terjadinya esofagitis kronis. Daerah epitel yang rusak ini kemudian sembuh dan
terjadi proses metaplasia yaitu terbentuknya sel kolumnar yang tidak normal
menggantikan sel skuamous. Epitel kolumnar intestinal yang abnormal ini
disebut juga specialized intestinal metaplasia yang dapat mengalami perubahan
menjadi displasia yang merupakan awal terjadinya karsinoma.12

Gambar 2.8. Patofisiologi Esofagus Barrett Menjadi Adenokarsinoma12

2.3.4 Diagnosis
Diagnosis pasien dengan EB berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang yang terpenting yaitu pemeriksaan endoskopi.
Diagnosis dari EB dilakukan dengan endoskopi namun harus dikonfirmasi
dengan pemeriksan histologi dari biopsi yang menunjukkan telah terjadi
metaplasia intestinal. Esofagus Barrett dapat tidak menunjukkan gejala. Banyak
pasien didiagnosis sebagai EB mempunyai riwayat penyakit GERD dengan
gejala heartburn regurgitation dan disfagia. Keluhan disfagia harus segera
mendapat perhatian. Keluhan laring, seperti suara parau, suara berubah, banyak
terdapat lendir pada tenggorok, dan batuk juga perlu diwaspadai. Terdapat
berbagai manifestasi ekstra esofagus dari GERD. Di antaranya gejala telinga

13
(otitis media atau otalgia), gejala hidung (sinusitis kronik), dan gejala tenggorok
(erosi gigi, laringitis kronik, stenosis subglotik, atau spasme laring).11,12
Diagnosis dari EB dapat ditentukan dengan endoskopi saluran
pencernaan atas dan biopsi. Pemeriksaan ini juga dipakai untuk mendeteksi
adanya perubahan prekanker dan kanker pada EB. Displasia dan kanker
biasanya berkembang sebagai bentukan “island in the sea” pada EB. American
College of Gastroenterology memberikan rekomendasi bagi pasien dengan EB
untuk melakukan pemeriksaan dengan endoskopi dan biopsi. GERD harus
diobati sebelum dilakukan endoskopi untuk mengurangi terjadinya inflamasi
yang dapat menyulitkan interpretasi. Pasien dengan hasil endoskopi dan biopsi
negatif harus melakukan pemeriksaan ulang setiap tiga tahun.11,12

Gambar 2.9. Gambaran Endoskopi pada Esofagus Barrett12

2.3.5 Pemeriksaan Radiologi pada Esofagus Barrett


a. Gambaran Barium Meal
 Menggunakan double contrast.
 Dapat dilihat tanda-tanda esofagitis refluks pada esofagus bagian distal.
 Defek fokal pada dinding esofagus sekitar 4 cm dari proksimal
gastroesophageal junction yang menjadi tanda awal striktur
midesofagus.
 Erosi atau ulkus soliter yang dalam dan besar.
 Pola mukosa esofagus retikuler halus.
 Lipatan mukosa esofagus yang menebal dan tidak teratur.
 Mungkin dapat ditemukan striktur yang panjang pada esofagus bagian
tengah dan distal.

14
 Mungkin dapat dijumpai tanda-tanda awal adenokarsinoma berupa
kekakuan esofagus dan dinding esofagus/ striktur yang irreguler.13

Gambar 2.10. Gambaran Esofagus Barrett pada Barium Meal13

Gambar 2.11. Esofagus Barrett dengan Mukosa Retikular dan


Web-like Stricture13

Gambar 2.12. Adenokarsinoma pada Pasien Esofagus Barrett13

15
b. Gambaran CT-SCAN
 Tidak ditemukan gambaran spesifik pada pemeriksaan CT-SCAN untuk
Esofagus Barrett ini. Pada pemeriksaan pasien dengan EB yang pada
CT-SCAN ditemukan massa jaringan lunak pada esofagus, dapat
dicurigai suatu transformasi EB menjadi adenokarsinoma esofagus.
Sehingga pada pasien ini, CT-SCAN dapat digunakan untuk menentukan
stadium kanker dan menilai respon pengobatan pada pasien.
 CT-SCAN bukan merupakan modalitas untuk diagnosis yang baik
karena lesi pada mukosa akan sulit dinilai pada pemeriksaan ini.14

c. Gambaran USG Endoskopi


 Probe USG digunakan secara endoskopi untuk menilai dinding
esofagus.
 Dapat digunakan untuk menilai perubahan mukosa esofagus pada pasien
dengan EB atau pasien dengan kanker pada esofagus.
 Pada pasien dengan kecurigaan kanker dapat ditemukan massa padat
pada pemeriksaan ini. Selain itu, pada USG ini dapat dinilai perluasan
massa ke jaringan sekitar (staging).15

Gambar 2.13. Gambaran Esofagus Barrett pada USG Endoskopi15

2.3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari EB tergantung dari derajat displasia.
Penatalaksanaan terdiri dari terapi medikamentosa dan terapi operatif. Terapi
medikamentosa menggunakan obat-obatan untuk menekan produksi asam

16
lambung. Terdapat beberapa jenis obat di antaranya adalah Proton Pump
Inhibitor (PPI) dan H2 antagonist. Sehingga penekanan produksi asam lambung
yang adekuat dapat menurunkan risiko terjadinya adenokarsinoma pada
esofagus dan kardia lambung. Pemberian PPI 40 mg satu kali sehari sesuai
kebutuhan harian sehingga menghilangkan gejala, selanjutnya pemberian H2
antagonis dapat diberikan pada malam hari.12
Terapi dengan endoskopi bertujuan untuk mengambil epitelium abnormal
yang sudah berkembang, termasuk terapi mukosa reseksi dengan endoskopi dan
photodynamic therapy. Terapi endoscopic mucosal resection (EMR) dilakukan
dengan mengangkat secara luas pada area tertentu dari esofagus secara
endoskopi. Ada juga radiofrequency ablation (RFA) yang merupakan prosedur
endoskopi yang menggunakan energi radiofrekuensi untuk merusak sel EB.
Teknik ini bertujuan untuk melindungi displasia derajat berat dari
perkembangan menjadi sel kanker dan untuk melindungi displasia derajat
ringan dari kemungkinan berkembang menjadi lebih berbahaya. Sekitar 5%
pasien yang menjalani prosedur ini mengalami komplikasi, seperti penyempitan
lumen esofagus yang memerlukan perawatan ulang untuk membuka lumen
esofagus.16

2.4 Atresia Esofagus


2.4.1 Definisi

Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya
lubang atau muara (buntu), pada esofagus (+). Pada sebagian besar kasus atresia

esofagus ujung esofagus buntu, sedangkan pada 1/4 – 1/3 kasus lainnya esofagus
bagian bawah berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia
esofagus dengan fistula). Atresia esofagus adalah sekelompok kelainan congenital
yang mencangkup gangguan kontinuitas esofagus disertai atau tanpa adanya
hubungan trakea.17

Atresia esoofagus adalah esofagus (kerongkongan) yang tidak terbentuk secara


sempurna. Pada atresia esofagus, kerongkongan menyempit atau buntu; tidak
tersambung dengan lambung. Kebanyakan Bayi yang menderita atresia esofagus juga
memiliki fistula trakeoesofageal.17

17
2.4.2 Variasi Atresia Esofagus

Terdapat variasi dalam atresia esofagus berdasarkan klasifikasi anatomi. Menurut


Gross of Boston, variasi atresia esofagus beserta frekuensinya adalah sebagai berikut:

1. Tipe A – atresia esofagus tanpa fistula atau atresia esofagus murni (10%).

2. Tipe B – atresia esofagus dengan TEF proksimal (<1%).

3. Tipe C – atresia esofagus dengan TEF distal (85%).

4. Tipe D – atresia esofagus dengan TEF proksimal dan distal (<1%).

5. Tipe E – TEF tanpa atresia esofagus atau fistula tipe H (4%).

6. Tipe F – stenosis esofagus kongenital (<1%).17

Gambar 2.14. Variasi Atresia Esofagus17

2.4.3 Etiologi

Etiologi atresia esofagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui


dengan jelas. Atresia esofagus merupakan suatu kelainan bawaan pada saluran
pencernaan. Terdapat beberapa jenis atresia, tetapi yang sering ditemukan adalah
kerongkongan yang buntu dan tidak tersambung dengan kerongkongan bagian bawah
serta lambung. Atresia esofagus dan fistula ditemukan pada 2-3 dari 10.000 bayi.17

Hingga saat ini, teratogen penyebab kelainan ini masih belum diketahui.
Terdapat laporan yang menghubungkan atresia esofagus dalam keluarga.juga
dihubunterdapat 2% resiko apabila saudara telah terkena kelainan ini. Kelainan ini
juga dihubungkan dengan trisomi 21, 13, 18. Angka kejadian pada anak kembar
dinyatakan 6x lebih banyak dibanding bukan kembar.18

18
2.4.4 Patofisiologi

Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan
efektif. Pada janin dengan atresa esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan
mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian menuju usus. Akibat dari hal ini dapat
terjadi polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan kelahiran
prematur. Janin seharusnya dapat memanfaatkan cairan amnion, sehingga janin
dengan atresia esofagus lebih kecil daripada usia gestasinya.18

Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan


banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur.
Apabila terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara dari
trakea juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau menerima
ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang seringkali mematikan.
Penelitian mengenai manipulasi manometrik esofagus menunjukkan esofagus distal
seringkali dismotil, dengan peristaltik yang jelek atau anpa peristaltik. Hal ini akan
menimbulkan berbagai derajat disfagia setelah manipulasi yang berkelanjutan menuju
refluks esofagus.19

Trakea juga terpengaruh oleh gangguan embriogenesis pada atresia esofagus.


Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa.
Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder ada struktur anteroposterior trakea
atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan gejala batuk kering dan dapat
terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk dibersihkan dan dapat
menjurus ke pnemona berulang. Trakea juga dapat kolaps secara parsial ketika makan,
setelah manipulasi, atau ketika terjadi refluks gastroesofagus; yang daat menjurus ke
kegagalan nafas; hipoksia, bahkan apnea.19

2.4.5 Manifestasi Klinis

Biasanya timbul setelah bayi berumur 2-3 minggu, yaitu berupa muntah yang
proyektil beberapa saat setelah minum susu (yang dimuntahkan hanya susu), bayi
tampak selalu haus dan berat badan sukar naik.20

a. Biasanya disertai dengan hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan
kenaikan frekuensi bayi lahir prematur, sebaiknya dari anamnesis didapatkan

19
keterangan bahwa kehamilan ibu disertai hidrmnion hendaknya dilakukan kateterisasi
esofagus . bila kateter berhenti pada jarak < 10 cm, maka diduga artesia esofagus.

b. Bila pada BBL timbul sesak yang disertai dengan air liur yang meleleh keluar,
dicurigai terdapat atresia esofagus.

c. Segera setelah diberi minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena
aspirasi cairan kedalam jalan napas.

d. Pada fistula trakeaesofagus, cairan lambung juga dapat masuk kedalam paru, oleh
karena itu bayi sering sianosis.20

2.4.6 Diagnosis

Anamnesis :

1. Menyebabkan kenaikan frekuensi bayi yang lahir prematur. Sebaiknya bila dari
anamnesis didapatkan keterangan bahwa kehamilan ibu disertai hidramnion,
hendaknya dilakukan katerisasi esofagus dengan kateter no 6-10F. Bila kateter
terhenti pada jarak kurang dari 10 cm, maka harus diduga terdapat atresia esofagus.

2. Bila pada bayi baru lahir timbul sesak napas yang disertai dengan air liur yang
meleleh ke luar, harus dicurigai terdapat atresia esofagus.

3. Segera setelah diberi minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena
aspirasi cairan kedalam jalan napas.

4. Perlu dibedakan pada pemeriksaan fisis apakah lambung terisi atau kosong untuk
menunjang atau menyingkirkan terdapatnya fistula trakeo-esofagus.hal ini dapat
dilihat pada foto abdomen.20

Pemeriksaan fisik :

Ditemukan gerakan peristaltic lambung dalam usaha melewatkan makanan


melalui daerah yang sempit di pylorus. Teraba tumor pada saat gerakan peristaltik
tersebut. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sesaat setelah anak diberi minum.20

20
Pemeriksaan penunjang :

I. Gambaran Radiologi pada Atresia Esofagus


A. Foto Rontgen Thorax

Pencitraan memegang peran penting membantu diagnosis Atresia Esofagus.


Secara prenatal, temuan USG dapat membantu diagnosa dari AE atau FTE, namun
tingkat dari deteksi AE secara prenatal sangatlah rendah, dan meskipun dicurigai,
diagnosis dari AE harus dikonfirmasi pada saat setelah kelahiran. Pada neonatus yang
dicurigai AE atau FTE, foto thorax posteroanterior dan lateral harus didapatkan
terlebih dahulu. Ketidakmampuan pasien untuk melewatkan NGT dari mulut ke
lambung adalah diagnose pasti dari EA atau TEF, tapi temuan ini harus
dikonfirmasikan menggunakan gambaran radiologis dari selang NGT yang melingkar
pada daerah kantong proksimal.17

Foto polos babygram dapat menyediakan banyak informasi, termasuk konfirmasi


dari AE dan gambaran dari posisi arkus aorta juga gambaran dari kelainan pada
vertebra atau kelainan yang berhubungan dengan AE lainnya. Pencitraan
menggunakan barium dapat dilakukan setelah pemasang selang gastrotomi untuk
mengevaluasi adanya abnormalitas dari saluran cerna lainnya seperti atresia duodenal
atau malrotasi, namun foto polos tidak selalu dapat menunjukkan adanya fistula,
sehingga foto polos dengan atau tanpa kontras sangat berguna untuk
mengklasifikasikan jenis dari AE. Temuan yang biasa ditemukan antara lain adalah
isolated atresia, AE dengan fistula distal, AE dengan fistula proksimal dan isolated
TEF.17

Pencitraan menggunakan kontras jarang diindikasikan karena adanya resiko


terjadinya aspirasi, tapi kontras diperlukan untuk dapat mengidentifikasi adanya fisula.
Endoskopi dan/atau bronkoskopi mungkin perlu untuk dilakukan untuk mendiagnosis
ada atau tidaknya FTE.17

Isolated Atresia

Pada isolated atresia umumnya ditemukan gambaran radiologis sebagai berikut :

1. Adanya gambaran kantong proximal yang terdilatasi, berisi udara dan tertutp,
yang pada pada umumnya mengambil tempat pada anterior di trakea.

21
2. Adanya gambaran abdomen tanpa gas. Pada kondisi normal, gas lambung
muncul 15 menit setelah kelahiran.
3. Kantong bagian bawah dapat divisualisasikan dengan reflux barium atau udara
melalui gastrotomi.21

Gambar 2.15. Isolated EA, tampak frontal dari thoraks dan abdomen
mendemonstrasikan adanya kateter pada kantung proksimal pada pasien dengan AE
ini. Dapat dilihat ketidakhadiran dari gas lambung.21

Atresia Esofagus dengan Fistula Distal

Pada AE dengan fistula distal dapat ditemukan gambaran radiologis sebagai berikut :
1. Distensi yang diakibat oleh gas pada lambung dan usus halus (diakibatkan udara
yang melewati fistula mungkin dapat terlihat.
2. Adanya gambaran airless abdomen jika fistula tertutup atau dihilangkan.
3. Adanya gambaran udara berlebih pada esofagus.17

Gambar 2.16. Atresia Esofagus dengan Fistula Distal.

22
Tampak frontal dari thoraks dan abdomen dari neonatus menunjukkan adanya selang
pada kantong proksimal pada pasien dengan EA ini. Adanya gas pada usus
mengimplikasikan adanya fistula distal.17

Atresia Esofagus dengan Fistula Proksimal

Pada AE dengan fistula proksimal ini dapat ditemukan gambaran radiologis dapat
ditemukan gambaran seperti ini :
1. Adanya gambaran gasless abdomen.
2. Pencitraan menggunakan barium mungkin gagal menggambarkan kelainan ini.
3. Visualisasi fistula membutuhkan pencitraan videofluoroskopik selama pengisian
kontras pada kantong proksimal.22

Gambar 2.17. Atresia Esofagus dengan Fistula Proksimal.


Videofluoroskopi/Gapogram menunjukkan lokasi dari kantong proksimal (P). Lokasi
dari kantong disal (D) divisualisasikan dengan adanya refluks dari kontras melalui
selang gastrotomi.22

Isolated FTE (H-type Fistula)


Pada isolated FTE akan ditemukan gambaran radiologis sebagai berikut:
1. Pneumonia rekuren dengan gambaran pneumonia yang menyebar di lapangan paru.
2. Delinasi dari fistula mungkin akan sulit ditentukan.
3. Gambaran udara berlebih pada esofagus.22

23
Gambar 2.18. H-Type Fistula Trakeoesofageal (FTE). Esophagogram barium oblik
menunjukkan gambaran fistula yang muncul dari esofagus anterior dan memanjang
secara anterosuperior ke arah trakea.22

B. CT Scan
CT-Scan tidak biasanya digunakan dalam evaluasi atresia esofagus dan
fistula trakeoesofagus. Potongan axial pada CT-Scan dapat sulit untuk
dinilai.Teknik potongan sagital telah digunakan pada bayi baru lahir dan
secara akurat mampu mendiagnosis EA dan TEF. Metode ini memungkinkan
untuk memvisualisasi seluruh panjang esofagus disertai dengan atresia, fistula,
dan gap length.22

Gambar 2.19. CT-Scan Bayi Perempuan Berumur 1 Tahun22

Pada gambar CT-scan tampak udara mengisi bagian proksimal dari


esofagus (tanda panah). Terdapat volume yang hilang di daerah hemitoraks
kanan menyebabkan dilatasi dan terisinya cairan pada distal esofagus, yang
menyebabkan aplasia dari paru kanan.22

C. MRI
MRI tidak memiliki peran dalam mendiagnosis atresia esofagus dan TEF

24
ketika masa postnatal. Namun MRI mampu untuk melihat seluruh bagian
esofagus baik pada potongan sagital dan koroner serta resolusi kontrasnya
lebih tinggi dari CT. MRI jarang digunakan untuk menentukan lokasi arkus
aorta, tetapi akhir-akhir ini MRI digunakan untuk mendiagnosis kelainan
kongenital pada masa prenatal.22

Gambar 2.20. MRI (Sagital T2) dari Atresia Esofagus, dimana terlihat cairan
pada kantung esofagus.22

D. Ultrasonography (USG)
Meskipun ultrasonography tidak digunakan untuk pemeriksaan rutin
untuk postnatal, tetapi ultrasonography merupakan tes skrining ketika masa
prenatal dalam mendiagnosis atresia esofagus dan TEF.23

Gambar 2.21 Ultrasound (potongan axial) dari Kasus Atresia Esofagus, yang
ditandai oleh adanya polihidramnion dan tidak terlihat gambaran lambung.23

II. Pemeriksaan Laboratorium


 Darah rutin terutama untuk mengetahui apabila terjadi suatu infeksi pada

25
saluran pernapasan akibat aspirasi makanan ataupun cairan.
 Elektrolit untuk mengetahui keadaan abnormal bawaaan lain yang menyertai.
 Analisa gas darah arteri untuk mengetahui apabila ada gangguan respiratorik
terutama pada bayi.
 BUN dan serum kreatinin untuk mengetahui keadaan abnormal bawaan lain
yang menyertai.
 Kadar gula darah untuk mengetahui keadaan abnormal bawaan lain yang
menyertai.24

2.4.7 Penatalaksanaan

Pada anak yang telah dicurigai menderita atresia esofagus, bayi tersebut harus
segera segera dipindahkan ke bagian neonatal atau pediatrik yang memiliki fasilitas
medis. Tindakan bedah harus segera dijadwalkan sesegera mungkin.24

Sebagai penatalaksanaan preoperasi, perlu diberi tindakan pada bayi dengan


AE. Posisi tidur anak tergantung kepada ada tidaknya fistula, karena aspirasi cairan
lambung lebih berbahaya dari saliva. Anak dengan fistula trakeo- esofagus ditidurkan
setengah duduk. Anak tanpa fistel diletakkan dengan kepala lebih rendah (posisi
Trendelenberg). Suction 10F double lumen di gunakan untuk mengeluarkan sekret
dan mencegah aspirasi selama pemindahan. Bayi diletakan pada incubator dan tanda
vital terus di pantau. Akses vena harus tersedia untuk memberi nutrisi, cairan dan
elektrolit, dan sebagai persiapan. Antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai
profilaksis.24

Bayi dengan distress pernafasan memerlukan perhatian khusus, seperti


intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Tekanan intra abdomen yang meningkat
akibat udara juga perlu di pantau. Seluruh bayi dengan AE haus dilakukan
echocardiogram untuk mencari kelainan jantung.24

Tidak dilakukan tindakan merupakan pilihan pada bayi dengan sindroma


Potter (agenesis renal bilateral) dan trisomi 18 karena angka kematian tahun pertama
pada bayi ini lebih dari 90%. Bayi dengan kelainan jantung yang tidak bisa dikoreksi
atau perdarahan intra ventrikel grade 4 juga sebaiknya tidak di operasi.24

Anak dipersiapkan untuk operasi sesegera mungkin. Pembedahan dapat

26
dilakukan dalam satu tahap atau dua tahap tergantung pada tipe atresia dan penyulit
yang ada. Biasanya dilakukan dengan membuat stoma pada esofagus proksimal dari
gastrostomi. Penutupan fistel, anastomosis esofagus, atau interposisi kolon dilakukan
kemudian hari setelah janin berusia satu tahun.24

2.4.8 Komplikasi dan Progonosis

Resiko yang ditimbulkan pasca pembedahan adalah akibat dari pembedahan


itu sendiri, akibat obat anestesi yang digunakan, perdarahan, cedera saraf dan
pneumotoraks.25

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah pembedahan, meliputi:

 Dismotilitas esofagus, yang terjadi akibat kelemahan otot-otot dinding


esofagus. Pada keadaan ini membutuhkan tindakan khusus saat bayi akan
makan atau minum.
 Hampir 50% dari pasien akan mengalami gastroesophageal refluks disease
(GERD) pada masa kanak-kanak atau dewasa. GERD merupakan suatu
keadaan dimana terjadinya aliran balik isi lambung ke dalam esofagus.
Keadaan ini memerluka pengobatan khusus.
 Trakeoesofageal fistula yang berulang.
 Kesulitan menelan (disfagia) yang dapat disebabkan oleh tersangkutnya
makanan pada bekas pembedahan.
 Kesulitan bernafas dan batuk. Hal ini berhubungan dengan lambatnya
pengosongan makanan di esofagus oleh karena tersangkutnya makanan oleh
bekas pembedahan atau aspirasi makanan ke dalam trakea.25,26

Prognosis menjadi lebih buruk bila diagnosis terlambat akibat penyulit pada baru.
Keberhasilan pembedahan tergantung pada beberapa faktor resiko, antara lain berat
badan lahir bayi, ada atau tidaknya komplikasi pneumonia dan kelainan congenital
lainnya yang menyertai. Prognosis jangka panjang tergantung pada ada tidaknya
kelainan bawaan lain yang multipel.26

27
2.5 Akalasia
2.5.1 Definisi
Istilah akalasia dalam bahasa Yunani berarti kegagalan untuk rileks.27
Akalasia adalah gangguan motilitas langka esofagus yang terjadi sebagai
akibat dari penurunan atau tidak adanya sel ganglion inhibitory di pleksus
mienterikus sofagus dan lower esophageal sphincter (LES).28-30

2.5.2 Epidemiologi
Angka kejadian sekitar 1/100.000 per tahunnya dan termasuk kasus
yang sangat jarang terjadi. Sebanyak 0,5 - 1,6 % ditemukan di Eropa, Asia,
dan Amerika.31 Sekitar 5-10% dari semua kasus akalasia yang dilaporkan
terjadi pada anak-anak. Gangguan ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dan jarang terjadi pada anak-anak prasekolah dengan laporan hanya 6% dari
kasus yang dilaporkan selama masa bayi.32,33

2.5.3 Etiopatologi
Secara patofisiologi, akalasia disebabkan oleh penurunan atau tidak
adanya sel ganglion inhibitory di pleksus mienterikus esofagus dan lower
eshopageal sphincter (LES). Hilangnya ganglion ini diduga disebabkan oleh
peradangan yang terkait dengan proses autoimun, virus atau degeneratif yang
mendasarinya. Hal ini menyebabkan ketidak mampuan LES untuk rileks serta
dismotilitas dari esofagus. 28-30
Pada akalasia sekunder, penyebab besar kasus dikaitkan dengan
penyakit Chagas yang disebabkan oleh Trypanozoma cruzi. Parasit ini
merusak ganglia intramural esofagus.34 Penyakit Chagas terbatas pada wilayah
Amerika Selatan di mana tripanosomiasis endemik pada daerah tersebut dan
tidak ada bukti yang mendukung teori agen infektif untuk akalasia di wilayah
lain di dunia. Sekarang perhatian peneliti difokuskan pada akalasia sebagai
kelainan yang diperantarai imun dari miopati atau neuropati vagal.35

2.5.4 Manifestasi Klinis


Pada akalasia esofagus gejala dan tanda yang muncul dapat berupa:

28
1) Disfagia, merupakan gejala yang paling sering muncul, terutama pada
saat menelan makanan padat dibandingkan dengan makanan lembut
atau cairan.
2) Regurgitasi, muncul pada 95% pasien, beberapa pasien belajar untuk
menghentikan untuk mengurangi nyeri yang ditimbulkan.
3) Nyeri pada dada, muncul pada 40% pasien, terutama setelah makan
dan dirasakan seperti nyeri pada bagian retrosternal. Hal ini lebih
sering dirasakan pada fase awal penyakit muncul.
4) Penurunan berat badan.
5) Batuk malam hari, jarang dan merupakan tanda dari suatu pneumonia
inhalasi.36

2.5.5 Pemeriksaan Penunjang


1) Foto Polos Thorax
Temuan foto polos thorax meliputi opasitas cembung yang tumpang
tindih dengan mediastinum kanan. Kadang dapat ditemukan opasitas
cembung kiri jika aorta berkelok-kelok. Bisa ditemukan juga air fluid level
karena stasis di esofagus yang diisi dengan makanan yang tertahan. Udara
labung sedikit atau tidak ada. Pada pasien dapat juga ditemukan aspirasi
pneumonia kronis yang berhubungan dengan disfagia.37

Gambar 2.22. Rontgen Thorax PA-Lateral pada Akalasia.38


Pada kasus ini perempuan usia 65 tahun dengan klinis disfagia yang semakin
meningkat. Esofagus sangat melebar Dan berdiameter hingga 10 cm. Terdapat
air fluid level yang di proyeksikan setinggi tulang rusuk ketiga posterior. Ada

29
deviasi trakea ke kanan dengan penyempitan trakea yang signifikan, paling
baik jika dilihat dari lateral.37

2) Fluoroskopi dengan Barium Swallow


Dapat digunakan untuk mengkonfirmasi dilatasi esofagus, selain
menilai kelainan mukosa. Pada pemeriksaan fluoroskopi denagan barium
swallow dapat ditemukan : Bird beak sign atau rat tail sign , dilatasi
esofagus, penumpukan atau stasis barium di esofagus saat esofagus atonik
atau tidak berkontraksi, kegagalan peristaltik normal untuk membersihkan
esofagus dari barium katika pasien dalam posisi berbaring.37

Gambar 2.23. Pemeriksaan Barium Swallow39


Kasus pada pasien ini laki-laki usia 40 tahun dengan klinis disfagia
terhadap makanan padat dan cair dengan sisa makanan ditemukan di esofagus
selama endoskopi bagian atas. Pada pasien ini ditemukan dilatasi esofagus
difus karena penundaan kontras pada sfingter esofagus bagian bawah,
meruncing menyerupai parung burung.39

3) Esophageal manometry
Diagnosis dikonfirmasi oleh manometri esofagus. Temuan
karakteristik pada manometri adalah, tekanan istirahat yang tinggi pada
LES, kegagalan LES untuk relaksasi saat menelan dan pengurangan
amplitudo gelombang peristaltik sepanjang esofagus. Sebuah studi
manometrik normal akan menunjukkan gelombang tekanan tinggi (dalam

30
kisaran 80 mm Hg) bergerak turun ke tubuh esofagus setelah menelan
dengan relaksasi lengkap dari LES.40

Gambar 2.24. Studi Manometrik, menunjukkan fitur klasik akalasia dengan


kegagalan relaksasi sfingter gastroesofageal dan peristaltik yang tidak terkoordinasi
pada esofagus.40

4) CT Scan
Pasien dengan akalasia tanpa komplikasi menunjukkan dilatasi,
esofagus berdinding tipis berisi cairan/ debris makanan. Secara keseluruhan
CT memiliki sedikit peran dalam menilai langsung pasien dengan akalasia,
tetapi berguna dalam menilai komplikasi umum. Penilaian yang cermat pada
dinding esofagus harus dilakukan untuk mengidentifikasi daerah fokal
penebalan yan dapat mengindikasikan keganasan . paru- paru harus diperiksa
untuk bukti aspirasi.41

Gambar 2.25. CT Scan Toraks, menunjukkan esofagus melebar, mengandung barium,


debris dan fluid level42

2.5.6 Diagnosis Banding


o Refluks esofagitis dengan striktur

31
o Penyempitan lebih tinggi dari gastro esophageal junction
o Peristaltik esofagus normal43

Gambar 2.26. Striktur Esofagus, yang berhubungan dengan hernia hiatus dan
penyakit refluks gastroesofageal.43
Pada kasus ini pasien perempuan berusia 12 tahun dengan keluhan
utama kesulitas menelan yang profgresif. Diskusi kasus hernia hiatus adalah
penonjolan sebagian lambung melalui hiatus esofagus diafragma. Dalam kasus
ini persimpangan gastro-esofagus asuk ke atas hiatus. Refluks gastroesofageal
umumnya terkait dan telah menyebabkan striktur peptikum yang panjang.43

o Karsinoma
o Hanya dilatasi minimal dengan peristaltik normal44

Gambar 2.27. Gambaran Filling Defect, pasien menjalani endoskopi. Evaluasi


histopatologi mengkonfirmasi karsinoma sel skuamosa esofagus.44
Ada dilatasi dan stasis di esofagus dengan lancip akut di sfingter
esofagus bagian bawah dan penyempitan di persimpangan gastroesofageal
yang menyimpulkan akalasia. Selain itu, terdapat defek pengisian yang besar
pada aspek anterior esofagus tengah yang menyebabkan penyempitan luminal
yang nyata. Diskusi kasus pasien laki-laki berusia 50 tahun dengan klinis nyeri

32
dada dan muntah menjalani endoskopi dan biopsi. Evaluasi histopatologi
mengkonfirmasi karsinoma sel skuamosa esofagus.44

o Skleroderma
o Barium harus kosong saat pasien tegak.
o Terdapat kelainan GI terkait lainnya.45

Gambar 2.28. Skleroderma GI.45


Gambaran tunggal dada bagian bawah dan perut setelah pemeriksaan
barium gastrointestinal bagian atas menunjukkan dilatasi, esofagus distal dengan
refluks (panah merah), perut yang tampak normal dan pelebaran usus kecil (panah
putih).45

o Penyakit Chagas
o Tidak dapat dibedakan dengan X-Ray.
o Harus dihubungkan dengan anamnesis dan riwayat penyakit.46

Gambar 2.29. Chagas Disease. Radiografi AP menunjukkan pelebaran mediastinum


inferior kanan (panah ungu).46

33
2.5.7 Penatalaksanaan dan Prognosis
Perawatan ditujukan untuk memungkinkan drainase yang memadai dari
kerongkongan ke dalam perut.
o Perubahan gaya hidup
 makan perlahan, tingkatkan asupan air saat makan, hindari
makan menjelang waktu tidur
 menghindari makanan yang memperburuk refluks
gastro-esofagus
o Calcium channel blockers
 tidak efektif dalam jangka panjang
 dapat digunakan saat mempersiapkan pengobatan definitif
o Dilatasi pneumatik
 efektif pada 90% pasien
 3-5% risiko perdarahan/perforasi
o Injeksi toksin botulinum
 hanya bertahan ~12 bulan per perawatan
 dapat melukai submukosa yang menyebabkan peningkatan
risiko perforasi selama miotomi berikutnya
o Miotomi (misalnya miotomi Heller)
 efektif pada hingga 96% pasien
 miotomi esofagus peroral (prosedur POEM) adalah teknik
invasif minimal yang lebih baru yang dapat digunakan pada
pasien tertentu
 10-30% pasien mengalami gastro-esophageal reflux, dan
dengan demikian sering dikombinasikan dengan
fundoplication.37

2.6 Esofagitis
2.6.1 Definisi dan Etiologi
Esofagitis adalah peradangan pada esofagus.47 Etiologi berbagai jenis
esofagitis dikaitkan dengan kondisi penyebab dan faktor risiko yang berbeda:
o Esofagitis refluks, faktor atau kondisi yang dapat meningkatkan risiko
refluks esofagitis meliputi: kehamilan, kegemukan, skleroderma,
merokok, alkohol, kopi, coklat, makanan berlemak atau pedas,

34
obat-obatan tertentu (misalnya, beta blocker, obat antiinflamasi
nonsteroid [NSAID], keadaan immunocompromised.
o Esofagitis menular, spesies candida: Candida albicans adalah patogen
penyebab paling umum, jamur nonkandida virus herpes simpleks
(HSV), Sitomegalovirus (CMV), Varicella-zoster virus (VZV), Virus
Epstein-Barr (EBV), Human immunodeficiency virus (HIV), CMV,
HSV, Mycobacterium avium-intracellulare, idiopatik, Virus papiloma
manusia (HPV) , virus polio, spesies bakteri dan infeksi parasit.
o Esofagitis yang berhubungan dengan penyakit sistemik, kelainan kulit,
termasuk epidermolisis bulosa, pemfigus vulgaris, pemfigoid bulosa,
pemfigoid sikatrik, kelainan kulit akibat obat (misalnya, eritema
multiforme, sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik).48

2.6.2 Epidemiologi
Esofagitis umumnya terlihat pada orang dewasa dan jarang terjadi pada
masa kanak-kanak. Jenis esofagitis yang paling umum adalah yang
berhubungan dengan penyakit refluks gastroesofageal (GERD) (yaitu,
esofagitis refluks). Candida esofagitis adalah jenis yang paling umum dari
infeksi esofagitis. Gejala refluks esofagus terjadi setiap bulan pada 33%-44%
populasi umum; sebanyak 7% -10% orang memiliki gejala harian.48

2.6.3 Patofisiologi
Patofisiologi esofagitis tergantung pada etiologinya:
o Refluks esofagitis berkembang ketika isi lambung dimuntahkan ke
kerongkongan. Refluks sering terjadi; dalam kebanyakan kasus, itu
tidak menyebabkan kerusakan besar, karena peristaltik alami
kerongkongan membersihkan refluks kembali ke perut. Dalam kasus
lain, di mana refluks asam dari lambung terus-menerus, hasilnya
adalah kerusakan pada kerongkongan, menyebabkan gejala dan
perubahan makroskopik. Asam lambung, pepsin, dan empedu
mengiritasi epitel skuamosa, menyebabkan peradangan, erosi, dan
ulserasi mukosa esofagus.49
o Esofagitis menular

35
Esofagitis menular paling sering diamati pada host dengan
imunosupresi, tetapi juga telah dilaporkan pada orang dewasa dan
anak-anak yang sehat. Berbagai kelainan dalam pertahanan host dapat
mempengaruhi individu untuk infeksi oportunistik, seperti neutropenia,
gangguan kemotaksis dan fagositosis, perubahan imunitas humoral,
dan gangguan fungsi limfosit T-sel.Pasien dengan penyakit sistemik
(misalnya, diabetes mellitus, disfungsi adrenal, alkoholisme) dan
mereka yang berusia lanjut dapat menjadi predisposisi untuk esofagitis
menular karena fungsi kekebalan yang berubah.49
o Esofagitis eosinofilik
Mekanisme esofagitis eosinofilik masih harus dijelaskan. Namun,
esofagus bergelombang yang ditandai dengan cincin mukosa
konsentris yang halus umumnya diamati pada pasien dan diyakini
terkait dengan pelepasan histamin dari sel mast yang tersensitisasi di
dinding esofagus. Pelepasan histamin mengaktifkan kaskade reaksi,
yang berpuncak pada pelepasan asetilkolin yang berkontraksi serat otot
di muskularis mukosa, menghasilkan pembentukan cincin esofagus
konsentris.49

2.6.4 Manifestasi Klinis


o Gejala refluks esofagitis (jenis yang paling umum) mungkin termasuk
yang berikut: mulas, atau dispepsia (gejala paling umum). Gejala
umum lainnya termasuk ketidaknyamanan perut bagian atas, mual,
kembung, dan rasa penuh. Nyeri dada tidak dapat dibedakan dari
penyakit arteri koroner (CAD).
o Pasien dengan esofagitis menular mungkin tidak menunjukkan gejala,
tetapi gejala khasnya adalah onset sulit atau nyeri menelan (yaitu,
disfagia atau odinofagia), ketidaknyamanan atau nyeri retrosternal,
mual dan muntah, demam dan sepsis, sakit perut, nyeri epigastrium,
hematemesis (kadang-kadang), anoreksia dan penurunan berat
badan,batuk.50

36
2.6.5 Diagnosis
o Tes laboratorium biasanya tidak membantu kecuali ada komplikasi
(misalnya, perdarahan gastrointestinal [GI] bagian atas). Berikut ini
dapat dipertimbangkan: Hitung darah lengkap (CBC) pada pasien
dengan neutropenia atau imunosupresi, Jumlah CD4 dan tes HIV pada
pasien dengan faktor risiko HIV, Pemeriksaan penyakit autoimun
sistemik seperti yang ditunjukkan oleh penyakit yang mendasarinya.50
o Radiografi rutin tidak diindikasikan kecuali komplikasi dicurigai.
Pertimbangan untuk penggunaan prosedur diagnostik meliputi:
 Studi barium esofagus kontras ganda direkomendasikan
sebagai studi pencitraan awal untuk disfagia, meskipun kasus
dapat dibuat untuk endoskopi saluran cerna atas (GI) awal
(esophagogastroduodenoscopy [EGD])
 Studi barium tidak dianjurkan untuk pasien dengan disfagia
absolut atau odinofagia; endoskopi GI atas direkomendasikan
dalam keadaan ini
 Studi barium dan endoskopi GI atas saling melengkapi
 Diagnosis kanker metastatik paling baik dilakukan dengan
menggunakan radiografi kontras barium dan computed
tomography (CT).50

Gambar 2.30. Esofagitis Menular (Candida).50


Dua contoh esofagitis Candida menunjukkan kerongkongan yang tidak rata. Pada
kedua gambar, esofagram kontras ganda menunjukkan kontur esofagus yang sangat
tidak teratur karena plak dan pseudomembran yang tak terhitung banyaknya, dengan

37
barium di antara lesi. Pasien dengan bentuk fulminan dari kandidiasis esofagus
hampir selalu ditemukan memiliki sindrom imunodefisiensi (AIDS).50

Gambar 2.31. Esofagitis Menular (Herpes).50


Herpes esofagitis. Esofagram kontras ganda menunjukkan ulserasi kecil yang
berlainan (panah) di tengah esofagus pada mukosa latar belakang yang normal.
Perhatikan gundukan radiolusen edema di sekitar ulkus. Dalam pengaturan klinis yang
tepat, penampilan ini sangat sugestif dari herpes esofagitis, karena ulserasi pada
kandidiasis hampir selalu terjadi dengan latar belakang pembentukan plak difus.50

Gambar 2.32. Esofagitis Menular (CMV).50


Esofagitis sitomegalovirus pada pasien dengan Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS). Esofagram kontras ganda menunjukkan profil ulkus datar besar
(panah besar) di tengah esofagus dengan sekelompok ulkus satelit kecil (panah kecil).
Karena esofagitis HIV dapat menghasilkan temuan radiografi yang identik, endoskopi
diperlukan untuk memastikan adanya cytomegalovirus sebelum pasien dirawat.50

38
Gambar 2.33. Eosinofilik esofagitis.51
Ada penyempitan terus-menerus dari kerongkongan distal dengan batas halus
dan tidak ada tepi yang menjorok. Temuan ini tidak spesifik untuk esofagitis
eosinofilik, yang memerlukan biopsi untuk diagnosis, tetapi harus dipertimbangkan
pada pasien yang lebih muda dengan riwayat alergi atau asma.51

2.6.6 Penatalaksanaan
 Pengobatan refluks esofagitis mungkin termasuk yang berikut:
 Antagonis reseptor histamin-2 (H2RA)
 Inhibitor pompa proton (PPI)
 Cisapride (agen gastroprokinetik)
 Sukralfat (zat pelapis).50
 Pengobatan esofagitis menular diarahkan pada penyebab yang
mendasarinya, sebagai berikut:
 Esofagitis jamur – antijamur topikal, oral, atau parenteral
 Esofagitis HSV – Asiklovir, foskarnet (untuk kasus yang
resistan terhadap asiklovir), atau famsiklovir
 Esofagitis CMV – Gansiklovir dan foskarnet
 Esofagitis HIV – Kortikosteroid oral dalam hubungannya
dengan terapi antiretroviral
 Varicella-zoster virus (VZV) esophagitis – Acyclovir,
famciclovir, atau foscarnet (untuk kasus yang resisten terhadap
asiklovir)
 Esofagitis virus Epstein-Barr (EBV) – Asiklovir

39
 Human papillomavirus (HPV) esofagitis – Tidak ada
pengobatan, dalam banyak kasus; interferon alfa sistemik,
bleomisin, atau etoposida
 Esofagitis tuberkulosis – Terapi antituberkulosis standar
 Esofagitis bakterial – Antibiotik beta-laktam spektrum luas,
biasanya dengan aminoglikosida, disesuaikan sesuai
kebutuhan.50
 Pengobatan esofagitis nonrefluks dan tidak menular tergantung pada
kondisi yang mendasarinya, sebagai berikut:
 Penyakit Behçet esofagitis – Kortikosteroid; klorambusil atau
azathioprine (terapi jangka panjang)
 Penyakit graft-versus-host esophagitis – Dilatasi dan tindakan
antirefluks; prednison, siklosporin, azatioprin, dan thalidomide
 Penyakit radang usus (penyakit Crohn) esofagitis –
Kortikosteroid; pelebaran; kadang-kadang operasi

Esofagitis eosinofilik – Modifikasi diet, kortikosteroid
 Esofagitis kanker metastatik – Terapi radiasi; stenting paliatif.50

2.7 STRIKTUR ESOFAGUS


2.7.1 DEFINISI
Striktur esofagus adalah kondisi yang menimbulkan obstruksi pada esofagus.
Striktur esofagus dapat ditimbulkan oleh etiologi jinak atau ganas. Striktur dengan
etiologi jinak biasanya memiliki batasan yang licin dan melibatkan segmen panjang
esofagus. Sedangkan striktur dengan etiologi ganas melibatkan segmen yang lebih
pendek.52

2.7.2 ETIOLOGI
- Jinak
o GERD
o Radiasi
o Pengobatan kronis yang menginduksi esophagitis
o Intubasi nasogastrik
o Epidermolysis bulosa
o Esophagitis eosinofilik

40
o Sindroma Zollinger – Ellison
o Barrett esofagus
o Stenosis esofagus kongenital52

Gambar 2.34. Stenosis Esofagus Kongenital52


o Pseudodivertikulosis intramural
o Crohn disease
o Candida esophagitis
o Graft versus host disease
o Behcet disease
o Skleroterapi endoskopi untuk varises esofagus
o Kontaminasi glutaraldehid pada endoskopi esofagus.52,53
- Ganas52,53

Selain pengelompokan diatas, etiologi terjadinya striktur esofagus juga dapat


diklasifikasikan berdasarkan lokasi striktur yang ditimbulkan.53
a. Etiologi Striktur Esofagus Segmen Bawah:
- GERD (sebab tersering)
- Scleroderma
- Intubasi nasogastric
- ZES
- Alkaline reflux esophagitis53
b. Etiologi Striktur Esofagus Segmen Atas dan Tengah:
- Barrett esofagus
- Radiasi area mediastinum
- Ingesti bahan kaustik
- Ingesti obat

41
- Stenosis esofagus kongenintal
- Penyakit kulit (epidermolysis bulosa, pemfigoid membran jinak, eritema
multiforme mayor).53

2.7.3 KLASIFIKASI

Gambar 2.35. Klasifikasi Striktur Esofagus53


Klasifikasi striktur esofagus:
A. Striktur Peptik (berkaitan dengan refluks)

Gambar 2.36. Striktura Peptik


B. Tortuous dilated oesophagus (dengan gambaran rat’s tail)
C. Irregular shouldered stricture of carcinoma54
Selain klasifikasi diatas, striktur esofagus juga diklasifikasikan berdasarkan
bentuk striktur yang ditimbulkan, licin atau ireguler. Striktura licin dapat disebabkan
oleh inflamasi, neoplasma maupun kondisi lain seperti akalasia, dan penyakit kulit.
Striktura ireguler terutama disebabkan oleh etiologi neoplasia, dapat juga disebabkan

42
oleh inflamasi seperti refluks, namun refluks jarang memberikan gambaran striktura
ireguler.54

Gambar 2.37. Striktur Ireguler54

2.7.4 PATOFISIOLOGI
Striktur Inflamasi
o Dapat muncul sebagai dampak dari refluks asam lama yang disertai
esofagitis. Refluks muncul melalui sfingter esofagus bawah yang tidak
kompeten. Kondisi ini sering diikuti dengan adanya hernia hiatus.
Sebab lain dari esophagitis dapat berupa muntah lama, intubasi
nasogastrik lama, Tindakan operatif yang merusak area
kardioesofageal sepertik pada anastomosis gastroesofageal, dan
kardiomiotomi pada akalasia. Sebagai akibat dari refluks yang terjadi
lama, esofagus bawah akan dilapisi oleh mukosa kolumnar, yaitu suatu
tampilan yang dikenal dengan barrett esofagus.52
Ingesti Bahan Kaustik
o Dapat terjadi karena menelan bahan kaustik secara tidak sengaja pada
anak, ataupun usaha bunuh diri pada dewasa. Agen kaustik alkali
natrium dan kalium hidroksida menyebabkan nekrosis melalui difusi
agen ke lapisan esofagus. Perusakan esofagus timbul bersama
thrombosis vascular dan invasi bakteri sekunder. Penimbunan jaringan
granulasi berikutnya menyebabkan terbentuknya striktura fibrotik.
Sedangkan agen asam menyebabkan luka superfisialis yang tidak
disertai striktur yang parah.52

43
2.7.5 ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Pada striktur inflamasi yang disertai hernia hiatus, pasien akan mengeluhkan
adanya rasa nyeri yang memburuk dengan posisi bending, stooping, dan berbaring.
Adanya rasa terbakar di dada, dan regurgitasi asam yang mencapai mulut. Nyeri yang
dirasakan dapat menjalar ke rahang atau lengan kiri dan menyerupai angina. Ulserasi
yang ditimbulkan dapat menyebabkan ulserasi dan pendarahan yang berikutnya dapat
menyebabkan terjadinya anemia.55
Pada ingesti bahan kaustik gejala yang ditimbulkan terbagi menjadi gejala fase
akut dan kronik. Pada fase akut dapat ditemukan gejala odinofagia, sulit bernapas,
serak, nyeri leher dan nyeri dada. Pada fase kronik dapat ditemukan disfagia
progresif.56

2.7.6 PEMERIKSAAN RADIOLOGI


Pemeriksaan terbaik untuk gambaran striktur esofagus adalah pemeriksaan
esofagografi bifasik baik dengan spot images kontras tunggal maupun ganda. Ketika
ditemukan striktur pada pemeriksaan barium, penyebab dasar terjadinya sering dapat
ditentukan dengan pola pendekatan gambaran klinis, bentuk dan lokasi striktur, serta
adanya temuan lain pada temuan radiologis.53

Gambar 2.38. Esofagogram Kontras Tunggal.53

Gambar 2.39. Esofagogram Kontras Ganda.53

44
Pemeriksaan kontras tunggal dapat mengoptimalkan distensi esofagus
sehingga meningkatkan kemampuan deteksi striktur pada esofagus. Gambaran kontras
tunggal didapatkan dengan cara menginstruksikan pasien untuk menelan suspensi
barium densitas tinggi, dengan pengambilan gambar pada posisi prone right anterior
oblique.53
Pemeriksaan kontras ganda mengoptimalkan visualisasi mukosa untuk
menemukan gambaran nodul, ulkus, dan temuan lainnya yang berkaitan dengan
striktur. Gambaran kontras ganda didapatkan dengan cara menginstruksikan pasien
untuk menelan suspensi barium densitas tinggi dengan pengambilan gambar pada
posisi upright left posterior oblique.53
Selain pemeriksaan rutin spot image, pemeriksaan fluoroskopi digital rapid
sequence dapat bermanfaat untuk menggambarkan striktur esofagus servikal atau
esofagus torakal atas yang sulit ditemukan dengan pemeriksaan pemeriksaan rutin
spot image.53

2.7.7 PENATALAKSANAAN
Striktur akibat ingesti bahan kaustik ditemukan pada fase kronik dari ingesti
bahan kaustik. Tatalaksana ditujukan untuk menangani striktura yang sudah terbentuk.
Salah satu modalitas tatalaksananya adalah dilatasi periodic dengan menggunakan
bougie Maloney atau Savary. Pintas bedah diindikasikan pada pasien dengan stenosis
komplit.55
Pada striktur yang disebabkan oleh GERD diindikasikan untuk dilakukan
tindakan bedah antirefluks untuk membentuk kembali segmen esofagus intraabdomen
yang adekuat. Terapi awalnya berupa paduan dilatasi progresif untuk mendapatkan
lumen esofagus yang adekuat.55

2.8 Tumor Jinak Esofagus


2.8.1 Definisi
Tumor esofagus merupakan jenis tumor yang paling sering terjadi di dalam sel
yang melewati dinding kerongkongan. Tumor esofagus ada yang bersifat jinak dan
ada yang bersifat ganas. Tumor jinak yang paling sering terdapat pada esofagus
adalah tumor yang berasal dari lapisan otot, yang disebut dengan leiomioma.
Sedangkan tumor yang bersifat ganas sering dikenal dengan kanker esofagus.3,57

45
Tabel 2.1. Klasifikasi Histologi Tumor Esofagus3
Tumor Epitel
Jinak :Papiloma skuamosa, polip
Ganas: Karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma, karsinoma kistika adenoid,
karsinoma mukoepkiemoid, karsinoma adenoskuamosa, karsinoma tidak
berdiferensiasi
Tumor Non-Epitel
Jinak : Leiomioma
Ganas: Leiosarkoma
Tumor Lain
Karsinosarkoma, melanoma maligna, mioblastoma
Tumor Metastatik ke Esofagus
Payudara, rongga mulut, lambung, ginjal, prostat, testis

2.8.2 Epidemiologi
Tumor jinak esofagus biasanya jarang ditemukan. Umumnya ditemukan pada
usia dewasa muda dan gejala – gejala yang ditimbulkannya terjadi secara perlahan,
jika dibandingkan dengan tumor ganas esofagus. Tumor jinak esofagus yang sering
ditemukan adalah leiomyoma. Lokasi tumor jinak mungkin intraluminal, intramural,
atau periesofagus.57
Pembagian tumor jinak esofagus dapat dibagi dalam 2 ( dua ) golongan, yaitu:
(1) Berasal dari epitel, misalnya :
- Papilloma
- Polip
- Adenoma
- Kista3
(2) Berasal bukan dari epitel ( non-epitel ), misalnya :
- Leiomyoma
- Fibromyoma
- Lipomyoma
- Fibroma
- Hemangioma
- Limphangioma
- Lipoma

46
- Mixofibroma
- Neurofibroma: Tumor yang non – epitel dapat : bertangkai (pedunculated tumor)
atau tidak bertangkai (sessile tumor).3

2.8.3 Manifestasi Klinis Tumor Jinak


Tumor ini sering tidak menyebabkan gejala (gejala sumbatan) hingga
mencapai ukuran yang bermakna dan kemudian akan menyebabkan disfagia (terjadi
secara lambat tergantung dari besarnya tumor), stenosis, nyeri, tekanan (rasa tidak
enak) epigastrium dan substernal (di belakang sternum), perdarahan, rasa penuh dan
sakit yang menjalar ke punggung dan bahu, muntah dan mual, serta regurgitasi.58

2.8.4 Patofisiologi
Esofagus, seperti jaringan – jaringan tubuh lainnya, terbuat dari sel – sel
individual. Normalnya, sel – sel yang membentuk esofagus terbagi dan tumbuh sangat
cepat dalam kandungan, pada masa awal kanak – kanak, dan selama pubertas. Pada
masa dewasa, sel – sel baru hanya terbentuk untuk menggantikan sel – sel yang mati
akibat trauma, usia tua, atau penyakit. Pembagian sel – sel untuk memproduksi sel –
sel baru dikontrol secara ketat oleh gen yang terdapat dalam tiap sel. Gen – gen ini
terbentuk dari DNA, dan jika ini mengalami kerusakan, maka sel mungkin akan
terbagi secara tidak terkontrol.59
Tipe benign tumor esofagus yang paling sering ditemukan adalah yang
tumbuh dari lapisan muscular, dan disebut dengan leiomyoma. Sayangnya, sebuah
pertumbuhan tumor yang cepat dalam esofagus sebagian besar akan menjadi
karsinoma. Leiomioma menunjukkan suatu hiperproliferasi dari interlacing bundles
sel-sel otot polos dimana yang dapat dibedakan dengan baik (well- demarcated) oleh
jaringan yang berdekatan ataupun kapsul smooth connective tissue. Biasanya mereka
bermula dari suatu pertumbuhan intramural, dan yang paling sering di sepanjang dua
per tiga distal dari esofagus. Mereka bersifat multipel pada 5% dari penderita.59
Kebanyakan kasus leiomioma ditemukan secara tidak sengaja ketika
mengevaluasi suatu disfagia ataupun autopsi. Leiomioma pada bagian distal esofagus
dapat mencapai proporsi yang besar dan mungkin dapat tumbuh sampai ke cardia of
the stomach.59

47
2.8.5 Diagnosis
Tumor esofagus biasanya dapat diketahui dari gejala dan tanda dari pasien.
Jika kita mencurigai adanya tumor esofagus, beberapa test perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosa tumor esofagus tersebut. Gejala dan tanda yang dikeluhkan
pasien sangat bervariasi. Diagnosa pada orang yang tidak mengeluhkan gejala sangat
jarang terjadi dan biasanya insidentil (saat melakukan pemeriksaan kesehatan
lain/ckeck up). Sayangnya, sebagian besar tumor esofagus tidak memberikan gejala
sebelum mencapai tahap yang berat.60 Adapun gejala yang sering ditemukan pada
pasien dengan tumor esofagus adalah :
a. Disfagia (sulit menelan/nyeri saat menelan).
Gejala ini merupakan gejala tersering dari tumor esofagus, seperti
perasaan adanya makanan yang tersangkut di kerongkongan atau di dada.
Gejala ini awalnya ringan, dan semakin memburuk dari waktu kewaktu seiring
dengan semakin menyempitnya lumen esofagus. Dysphagia biasanya gejala
dari tumor yang memiliki ukuran besar.
b. Nyeri dada.
Pasien bisa mengeluh nyeri dada atau merasa tidak nyaman di bagian
tengah dari dinding dada. Nyeri dirasakan seperti ditekan atau ada perasaan
seperti panas dan terbakar. Nyeri dada biasanya dirasakan beberapa detik
setelah menelan.60
Gejala-gejala lain yang mungkin muncul antara lain : suara serak, batuk kronik,
cegukan, pneumonia, nyeri tulang atau perdarahan dari esofagus.60

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Pada anamnesis, informasi yang perlu digali adalah faktor resiko yang ada
pada pasien atau riwayat penyakit yang berhubungan dengan tumor esofagus. Untuk
pemeriksaan fisik, yang perlu diperhatikan dan diutamakan adalah pemeriksaan leher
dan pemeriksaan rongga thoraks.60

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada tumor esofagus selain untuk menegakkan
diagnosa, juga memiliki beberapa tujuan dan manfaat khusus, yaitu:
 Untuk menentukan area yang terdapat tumor.
 Untuk mengetahui sejauh mana tumor telah menjalar.

48
 Untuk mengetahui atau mengevaluasi keberhasilan terapi.
 Untuk melihat kemungkiman tanda-tanda kekambuhan setelah terapi.61
Teknik pencitraan modern yang dapat dilakukan antara lain, X-ray thorax,
barium esophagography, Computed Tomography Scanning (CT- Scan) dengan
menggunakan kontras, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Ultrasonografi
Endoskopik (EUS), dan tomografi emisi positron (PET).62
1. X-Ray Thorax
Pada beberapa kasus, pemeriksaan imaging dengan thorax x-ray
menunjukkan adanya tumor jinak atau kanker esofagus, namun pada sebagian kasus
hasilnya normal. Pada foto tumor jinak akan tampak gambaran cacat isi yang licin
(smooth filling defect). Jika tumornya besar akan tampak gambaran mucosa yang
irreguler dan cacat isi berlobus (lobulated filling defect) disertai dengan dilatasi
esofagus. Adanya air-fluid level pada mediastinum menunjukkan adanya retensi
cairan di esofagus yang dilatasi. Selain itu x-ray thorax digunakan untuk mencari
adanya metastasis ke paru, tulang, infeksi pneumonia, dilatasi trakea,
pneumopericardium, efusi pleura, dan limfadenopati.61

2. Oesophagografi
Oesophagografi adalah pemeriksaan radiologi yang digunakan pada esofagus
untuk melihat struktur anatomi dan jenis kelainan yang terdapat pada esofagus
tersebut. Oespophagografi dilakukan dengan menggunakan sinar-X untuk melihat
gambaran secara radiologi oesofagus, teknik pemeriksaan terdiri dari :
a. Kontras tunggal
Pada pemeriksaan ini pasien diminta minum suspensi barium sulfat kental dan
diikuti dengan fluoroskopi sewaktu menyelusuri esofagus sampai tercapai
persambungan esofagogastrik dan dibuat potret isi penuh. Pada potret isi penuh
terdapat indentasi di dua tempat, yaitu arkus aorta dan cabang-cabang bronkus besar.
Setelah menunggu kontras sudah hamper habis, pasien dilakukan foto ulang dan akan
memberikan gambaran sisa barium sulfat pada selaput lendir esofagus yang sejajar
jalannya dalam keadaan normal.2,62
b. Kontras ganda
Pemeriksaan ini dilakukan dengan penegukan udara sebanyak mungkin
bersamaan dengan suspensi barium sulfat maka akan diperoleh foto kontras ganda dan
baik dilakukan pada ulkus atau tumor yang kecil. Penggunaan modalitas barium

49
oesofagografi dan dengan kontras barium ganda merupakan teknik sensitif untuk
mendeteksi karsinoma esofagus dan persimpangan esofagogastrik dengan nilai
prediksi positif 42%. Penentuan jenis tumor yang bersifat ganas dan jinak dapat
diidentifikasi berdasarkan penyempitan esofagus. Gambaran tumor jinak biasanya
memiliki area simetris penyempitan dengan kontur halus dan margin proksimal dan
distal meruncing, sedangkan pada tumor ganas biasanya menyebabkan penyempitan
asimetris, rak-seperti margin dan kontur tidak teratur dengan permukaan mukosa
nodular atau ulserasi.62

Gambar 2.40. Barium Esofagografi62

Gambar 2.41. Gambaran Radiologi Barium Esophagogram, terlihat penyempitan


lumen esofagus dengan dilatasi pada bagian proksimal.62

3.Gambaran CT-Scan
CT Scan dapat memperlihatkan lokasi tumor di esofagus dan menyingkirkan
adanya limfadenopati mediastinal atau kelainan patologis lainnya.61

50
Gambar 2.42. Gambaran CT Scan Toraks Tumor Esofagus. Tampak massa dalam
lumen esofagus.61

Gambar 2.43. Gambaran CT Scan Toraks Pasien dengan Tumor Esofagus. Tampak
massa yang sangat besar dalam lumen esofagus.61

4. Gambaran MRI

Gambar 2.44. Gambaran MRI Potongan Sagital Pasien dengan Tumor Esofagus di
Daerah Distal Esofagus.61

5.Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi esofagus bisa membantu dalam diagnosis dengan gambaran massa
yang licin dan tipikalnya berbentuk bulat, massa berada di dalam muskularis tanpa
ada invasif ke lapisan mukosa ataupun lapisan adventitia.63

51
Gambar 2.45. Gambaran USG Tumor Esofagus63

Pemeriksaan Penunjang Lain


Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis tumor esofagus antara lain:
 Endoskopi (upper endoskopi, Endoskopik ultrasound).
 Bronkoskopi.
 Torakoskopi dan laparoskopi.
 Tes laboratorium dari jaringan biopsi.63
Pemeriksaan esofagoskopi
Dengan esofagoskopi dapat ditentukan lokasi tumor serta melihat apakah tumor
bertangkai atau tidak. Selain itu, esofagoskopi diperlukan untuk melihat asal tumor
yang bertangkai. Hal ini diperlukan untuk tindakan bedah.57
Jika suatu leiomioma tersangka pada pemeriksaan esofagoskopi maka biopsi
tidak harus dilakukan kalau ia akan menimbulkan scarring pada lokasi biopsi.
Scarring akibat dari biopsi dapat menghambat prosedur reseksi ekstramukosal
definitif dalam pembedahan. Brush cytology mungkin dapat dilakukan.57

2.8.6 Penatalaksanaan
Terapi tumor jinak esofagus adalah dengan pembedahan. Teknik operasi
(pengangkatan tumor) tergantung dari ukuran tumor, lokasi tumor, fiksasi mukosa dan
apakah lambung sudah terkena. Jika tumor terletak di daerah sepertiga tengah
esofagus dilakukan operasi torakotomi dari sisi sebelah kanan, jika tumor terletak di
daerah sepertiga distal esofagus dilakukan operasi torokotomi dari sebelah kiri.64
Tindakan pembedahan eksisi direkomendasi pada kasus tumor jinak esofagus
yang simtomatik dan dengan diameter ebih besar dari 5 cm. pada kasus yang
asimtomatik atau lesi yang kecil harus diobservasi secara berkala dengan esofagogram.

52
Reseksi merupakan satu-satunya cara untuk konfirmasi tumor tersebut tidak bersifat
ganas. Tumor jinak esofaggus dengan pemeriksaan esofagram yang berkala dapat
ditemukan karakteristk tumor yang tumbuh secara lambat dan resiko yang rendah
untuk malignant degeneration.64
Teknik operasi (pengangkatan tumor) tergantung dari ukuran tumor, lokasi tumor,
fixasi mucosa, dan apakah lambung sudah terkena. Jika tumor terletak di daerah 1⁄3
tengah esofagus dilakukan operasi thoracotomy dari sisi sebelah kanan, jika tumor
terletak di daerah 1⁄3 distal esofagus dilakukan operasi thoracotomy dari sisi sebelah
kiri.64

2.8.7 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi bisa terjadi akibat jaringan dan efek kompresi oleh tumor.
Komplikasi sering terjadi pertumbuhan tumor sampai ke struktur di sekitar
mediastinum, invasi ke aorta dapat perdarahan masif, invasi ke perikardium terjadi
tamponade jantung atau sindrom vena superior, invasi ke serabut saraf menyebabkan
suara serak atau disfagia, invasi ke saluran napas mengakibatkan fistula
trakeoesofageal dan esofagopulmonal, yang merupakan komplikasi serius. Obstruksi
esofagus dan menimbulkan komplikasi yang paling sering terjadi yaitu pneumonia
aspirasi yang ada giliranya menyebabkan abses paru dan empiema. Selain itu juga
dapat terjadi gagal napas yang disebabkan oleh obstruksi mekanik atau perdarahan.
Perdarahan yang terjadi pada tumornya sendiri dapat menyebabkan anemia defisiensi
besi sampai perdarahan akut masif. Pasien juga sering tampak malnutrisi, lemah dan
gangguan sistem imun yang kemudian akan menyulitkan terapi.65
Pada kasus tumor jinak esofagus setelah pembedahan reseksi, tidak ada
laporan yang menyatakan terjadi rekuren. Untuk kualitas hidup pada penderita tumor
jinak esofagus setelah dilakukan tindakan pembedahan adalah baik dengan
memperhatikan beberapa pengobatan yang dilakukan setelah dilakukan terapi pada
pasien tersebut.65

2.9 TUMOR GANAS ESOFAGUS


2.9.1 EPIDEMIOLOGI
Dalam dua dekade terakhir keganasan esofagus sering dilporkan, dengan
keganasan yang paling sering adalah karsinoma epidermoid. Selain itu terjadi
penigkatan dari kasus adenokarsinoma. Keganasan bagian distal esofagus sering

53
berupa adenokarsinoma karena mukosa esofagus yang berasal dari lambung.5
Karsinoma lebih banyak diderita pria dibanding wanita.55 Lebih banyak pada usia
lanjut dan lebih banyak ditemukan di negara tertentu seperti Tiongkok, Jepang, Russia,
dan Skandinavia.56 Area tersering dikenai karsinoma esofagus adalah area 1/3 bawah
diikuti 1/3 tengah dan 1/3 atas. SCC muncul di 1/3 atas atau tengah sedangkan
adenokarsinoma dapat muncul di 1/3 bawah berhubungan dengan area mukosa gaster
atau dengan pertumbuhan karsinoma gaster ke esofagus.55

2.9.2 KLASIFIKASI
Secara patologi, tumor ganas esofagus terbagi menjadi:
1. Karsinoma esofagus (90%)
2. Tumor neuroendokrin esofagus
3. Limfoma esofagus
4. Leiomyosarcoma esofagus
5. GIST esofagus
6. Metastasis66

2.9.3 PATOFISIOLOGI
Timbulnya karsinoma pada esofagus dihubungkan dengan faktor diet,
konsumsi alkohol, dan kebiasaan merokok. Selain itu, keganansan pada esofagus ini
juga berkaitan dengan esofagitis menahun yang disebabkan oleh rangsangan zat kimia.
Tumor yang tumbuh kedalam lumen dapat secara langsung menimbulkan sumbatan di
esofagus, namun tumor tipe lainnya menimbulkan tukak yang mudah menyebar.
Secara langsung tidak menimbulkan sumbatan pada esofagus, namun invasi tumor ini
sering ke dinding esofagus, yang berikutnya juga menimbulkan fibrosis dan pada
akhirnya menimbulkan penyempitan lumen.56

54
Gambar 2.46. Staging TNM Tumor Esofagus56

Gambar 2.47. Ilustrasi Menunjukkan Stadium Tumor Ganas Esofagus56

2.9.4 GAMBARAN KLINIS


Gejala utama yang ditimbulkan berupa disfagia progresif yang terjadi secara
progresif dan berangsur menjadi berat.56 Disfagia yang dikeluhkan pasien dengan
karsinoma esofagus biasanya onset cepat.55 Awalnya berupa disfagia makanan padat
diikuti makanan cair, bahkan air liur pun dapat mengganggu. Kondisi ini
menyebabkan penderita menjadi kurus. Selain itu juga dapat ditemukan regurgitasi,
muntah, aspirasi, dan anemia akibat perdarahan.56 Akibat dari tumor ganans esofagus
juga ditemukan penurunan berat badan, perburukan refluks gastroesofagus, suara yang

55
serak, batuk, paralisis pita suara, disertai tanda dan gejala lain dari invasi
mediastinum.66

2.9.5 ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik umumnya tidak menunjukkan kelainan kecuali akibat
sumbatan esofagus dan infiltrasi tumor ke nervus rekurens yang menyebabkan
keluhan serak pada pasien.56 Pada pemeriksaan fisik juga dapat ditemukan nodus
supraklavikuler yang teraba.55

2.9.6 PEMERIKSAAN RADIOLOGI


Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia dan hipoalbuminemia.
Diagnosis ditegakkan dengan esofagogastrografi yang menunjukkan gambaran
mukosa tidak teratur dengan permukaan kasar yang ulseratif atau polypoid disertai
penyempitan lumen di area timor. Ultrasonografi endoskopi berguna untuk
menentukan kemungkinan operasi dan prognosis, CT-Scan atau MRI bermanfaat
untuk membantu menegakkan diagnosis utama terutama metastasis jauh.56,68

Gambar 2.48. Endoscopic-Ultrasound pada Tumor Esofagus56


Untuk menentukan stadium penyakitnya dapat dilakukan kombinasi
pemeriksaan CT scan, ultrasonografi transesofagus, dan PET/CT. CT scan merupakan
pemeriksaan yang paling baik untuk mendeteksi metastasis jauh, invasi langsung, dan
pembesaran kelenjar getah bening. Ultrasound merupakan modalitas paling baik
untuk menentukan kedalam invasi tumor dan pembesaran kelenjar getah bening
regional. Selain itu PET scan dapat bermanfaat sebagai Re-staging tumor paska terapi
neo-adjuvant.66

56
Gambar 2.49. SCC Esofagus pada Esofagogram66,68

Gambar 2.50. Adenokarsinoma Esofagus Distal pada Esofagogram dan CT Scan66

2.9.7 PENATALAKSANAAN
Pemilihan tatalaksana sangat bergantung pada stadium dan letak tumornya.
Modalitas terapi yang bisa diberikan dapat berupa terapi reseksi dan pembedahan.56
Pada tumor ganas esofagus fase awal, esofagektomi radikal diperlukan. Teknik
terapi endoskopi telah mengalami kemajuan dan dapat digunakan sebagai alternatif
terapi pada tumor ganas esofagus. Terapi endoskopi dapat berupa reseksi endoskopi
mukosa, reseksi endoskopi submukosa, atau ablasi mukosa.67

57
BAB III
KESIMPULAN

Esofagus merupakan bagian dari traktus digestivus atas yang terdiri dari faring,
esofagus, lambung dan duodenum. Pemeriksaan esofagus biasanya dilakukan
bersamaan dengan evaluasi lambung, dan duodenum. Beragam teknik radiografi
digunakan untuk pemeriksaannya seperti penilaian motilitas esofagus, pemeriksaan
organ dengan menggunakan suspensi barium, udara, dan gas untuk menilai
permukaan mukosanya. Traktus digestivus atas paling baik dinilai dengan studi
kontras luminal atau endoskopi. CT dan MRI juga dapat mengevaluasi esofagus untuk
deteksi massa, penebalan dinding esofagus, dan lainnya. Modalitas tersebut juga bisa
digunakan untuk menilai stadium keganasan terutama pada esofagus.

58
DAFTAR PUSTAKA

1. David, Levine MS. Motility Disorders of the Esophagus. In: Gore, Levine, editors.
Textbook of Gastrointestinal Radiology. Philadelphia: Elsevier; 2021. p. 81-83.
2. Kendrick LE. Biliary Tract and Upper Gastrointestinal System. In: Bontrager KL,
Lampignano JP, editors. Textbook of Radiographic Positioning and Related Anatomy.
Missouri: Elsevier; 2014. p. 450-4.
3. De Jong, Sjamsuhidajat R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
4. Yazaki E, Sifrim D. Anatomy and physiology of the esophageal body. Diseases of
the Esophagus. 2011; 25(4): 292–298.
5. LaBrecque D, Khan AG, Sarin SK, Mair AW. Esophageal varices. World
Gastroenterology Organization Global Guideline. 2013: 1-12.
6. Nurdjanah S. Sirosis Hati. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiasi S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
7. Levine MS, Laufer I. Barium Studies of the Upper Gastrointestinal Tract. In: Gore,
Levine, editors. Textbook of Gastrointestinal Radiology. Philadelphia: Elsevier; 2021.
p. 78.
8. Worsley C, Sharma R. Esophageal varix [Internet]. Radiopaedia. 2019 [Cited 27
July 2021]
9. Wang AJ, Li Bm, Zheng XL, Shu X, Zhu X. Utility of endoscopic ultrasound in
diagnosis and management of esophagogastric varices. Endoscopic Ultrasound. 2016;
5(4): 218-22.
10. Franchis R, Dell'Era A. Invasive and noninvasive methods to diagnose portal
hypertension and esophageal varices. Clin Liver Dis. 2014; 18(2): 293-302.
11. Fitzgerald RC, Pietro M, Ragunath K. British society of gastroenterology
guidelines on the diagnosis and management of the barrett’s oesophagus. Gut.
2013;0:1-20.
12. Levine MS, Carucci LR, DiSantis DJ, Einstein D. Consensus statement of society
of abdominal radiology disease- focused panel on barium esophagography in GERD.
American Journal of Roentgenology. 2016; 207: 1009-14.
13. Bickle I, Morgan MA. Barrett esophagus [Internet]. Radiopaedia. 2016 [Cited 30
July 2021].
14. Levine MS. Gastroesophageal Reflux Disease. In: Gore, Levine, editors.
Textbook of Gastrointestinal Radiology. Philadelphia: Elsevier; 2021. p. 99-101.

59
15. Bulsiewicz WJ, Dellon ES, Rogers AJ, Pasricha S, Madanick RD. The impact of
endoscopic ultrasound findings on clinical decision making in barrett’s esophagus.
Dis Esophagus. 2014; 27(5): 409–17.
16. Shaheen NJ, Falk GW, Iyer PG, Gerson LB. ACG Clinical Guideline: Diagnosis
and Management of Barrett's Esophagus. Am J Gastroenterol. 2016; 111(1): 30-50.
17. Savale S. Pediatric Abdomen. In: Singh H, Savale S, editors. Textbook of
Radiology: Abdomen and Pelvis. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd;
2017. p. 50.
18. Munden MM, Young DW. Pediatric gastrointestinal tract. Radiology. USA:
McGraw-Hill; 2010. p.838.
19. Medline Plus. Esophageal atresia[online]. 2019. Available from:
URL:www.in.gov/isdh/files/esophageal_atresia.pdf.
20. WebMD. Digestive disorder (esofagus)[online]. 2018. Available from:
URL:http://www.webmd.com/digestive- disorders/picture- of-the-esofagus.
21. Saxena AK. Esophageal atresia with or without tracheoesophageal fistula[online].
2011. Available from: URL:http://www.dshs.state.tx.us/birthdefects/risk/risk16-
esoph_atr.shtm.
22. Kronemer KA. Imaging in esophageal atresia and tracheoesophageal
fistula[online]. 2018. Available from: URL:http://emedicine.medscape.com/article
/414368-overview#a01.
23. Haller JO, Slovis TL, Joshi A. Abdominal imaging. Pediatric radiology. 3rd
Edition. New York: Springer; 2015. p.105.
24. Scott DA. Esophageal atresia/tracheoesophageal fistula overview [online]. 2011.
Available from: URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/booksNBK5192
/?report=printable.
25. Demos TC, Posniak HV, Nagamine W et al. esofagus I : anatomy, function,
hiatus hernia, esophagitis[online]. 2011. Available from: URL:http://www.
radiologyassistant.nl/en/472458f15c55a#a473c026321a0a.
26. Young CA, Menias CO, Bhalla S et al. CT features of esophageal
emergencies[online]. 2014. Available from: URL:http://radiographics.rsna.org/
content/28/6/1541/F22.expansion.
27. Pressman A, Behar J. Etiology and Pathogenesis of Idiopathic Achalasia. J Clin
Gastroenterol. 2017;51(3):195–202.

60
28. Lisle DA. Gastrointestinal system. In: Lisle DA, editor. Imaging for Students.
London: Hodder Arnold; 2012. p. 82-5.
29. Allaix ME, Patti M. Endoscopic dilation, heller myotomy, and peroral endoscopic
myotomy: treatment modalities for achalasia. Surg Clin North Am 2015;95:567-578.
30. Boeckxstaens GE, Zaninotto G, Richter J. Achalasia. Lancet. 2014;383:83-93.
31. Duffield JA, Hamer PW, Heddle R, Holloway RHh. Incidens of Achalasia in
South Australia Based on Esophageal Manometry Findings. J Clin Gastroenterol
Hepatol, 2017; 15 (3): 360-5.
32. Poornachand V, Kumarasamy K, Karamath S, Seenivasan V, Bavanandam S,
Dheivamani N. Achalasia Cardia in a Young Infant. Indian J Pediatr.
2018;85(8):673–5.
33. Costello CL, Gellatly M, Daniel J, Justo RN, Weir K. Growth Restriction in
Infants and Young Children with Congenital Heart Disease. Congenit Heart Dis.
2015;10(5):447–56.
34. Pavia P, Rodr E, Lasso P, Orozco LA, Cuellar A, Puerta J, et al. Trypanosoma
cruzi Detection in Colombian Patients with a Diagnosis of Esophageal Achalasia. Am
J Trop Med Hyg. 2018;98(3):717–23.
35. Stanaway J, Roth G. The burden of Chagas disease: estimates and challenges.
Glob Hear. 2015;10(3):139– 44.
36. Ramirez M, Patti MG. Changes in the Diagnosis and Treatment of Achalasia. J
Clin Transl Gastroenterol, 2015; 6 (5): e87.
37. Niknejad TM, Gaillard FPA, et al. Achalasia. 2015. Di akses dari:
https://radiopaedia.org/articles/achalasia?lang=us (diakses 31 Juli 2021).
38. Hennessy O. Achalasia. 2015. Di akses dari : https://radiopaedia.org/cases/
achalasia-14?lang=us (diakses 31 Juli 2021).
39. Syauqi A. Achalasia. 2020. Diakses dari: https://radiopaedia.org/cases/
achalasia-42?lang=us (diakses 31 Juli 2021)
40. Menezes M, Andolfi C, Herbella F, Patti M. High-resolution manometry findings
in patients with achalasia and massive dilated megaesophagus. Dis Esophagus.
2017;30(5):1–4.
41. Sakai M, Saito H, Kuriyama K, Yoshida T, Kumakura Y, Hara K, et al.
High-resolution Manometry for Esophageal Motility Disorders. Kyobu Geka.
2018;71(10):894– 9.

61
42. Achalasia. 2015. Diakses dari: http://learningradiology.com/archives04/
COW%20100-Achalasia/achalasiacorrect.htm (Diakses 31 Juli 2021).
43. Vandenplas Y. Management of Benign Esophageal Strictures in Children. (2017)
Pediatric gastroenterology, hepatology & nutrition. 20 (4): 211-215.
44. Niknejad TM. Large esophageal cancer in a patient with achalasia. Diakses dari:
https://radiopaedia.org/cases/large-esophageal-cancer-in-a-patient-with-achalasia
(pada 31 juli 2021)
45. Rahim R, Khan AN. Scleroderma of the Gastrointestinal Tract. Diakses dari:
http://learningradiology.com/notes/ginotes/sclerodermabowel.htm (diakses pada 31
Juli 2021).
46. Abud TG, Abud LG, Vilar VS, Szejnfeld D, Reibscheid S. Radiological findings
in megaesophagus secondary to Chagas disease: chest X-ray and esophagogram.
(2016) Radiologia brasileira. 49 (6): 358-362.
47. Iqbal S, Weerakkody Y, et al. Esophagitis. Diakses dari: https://radiopaedia.org/
articles/oesophagitis?lang=us (pada 31 Juli 2021).
48. Devuni D. Esophagitis. 2020. Diakses dari: https://emedicine.medscape.com/
article/174223-overview#a4 (diakses 31 Juli 2021).
49. Devuni D. Esophagitis. 2020. Diakses dari: https://emedicine.medscape.com
/article/174223-overview#a3 (diakses 31 Juli 2021).
50. Levine MS. Infectious Esophagitis. In: Gore, Levine, editors. Textbook of
Gastrointestinal Radiology. Philadelphia: Elsevier; 2021. p. 104-10.
51. Nurko S, Furuta GT. Eosinophilic Esophagitis. 2006. Diakses dari:
http://learningradiology.com/archives2010/COW%20426-Eosinophilic%20esophagiti
s/eecorrect.htm (Diakses 31 Juli 2021).
52. Currie S, Menias CO, Mellnick V. Imaging of esophageal emergencies. Appl
Radiol. 2016;45(10): 16-22.
53. Luedtke P, Levine MS, Rubesin SE, et al. Radiologic diagnosis of benign
esophageal strictures: a pattern approach. RadioGraphics 2003; 23:897-909.
54. Chapman S, Nakienly R. Oesophageal strictures. In Aids to radiological
differential diagnosis 4th ed. China 2008, p 230-4.
55. Raftery TA, Delbridge MS, Wagstagg MJD. Oesophagus. In Surgery 4th ed.
Edinburgh 2011, p 217-224.
56. Subroto H, Rachmad KB, Ruchiyat Y. Esofagus dan diafragma. In Buku Ajar
Ilmu Bedah 3rd ed. Jakarta 2012, p 592-614.

62
57. Eastman, George W. 2013. Belajar dari Awal Radiologi Klinis. EGC. Jakarta.
58. Guyton, Athur C. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.
59. Yunizaf M. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke – 5.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010
60. Dudek, Ronald W. System Gastrointestinal Tract. Philadelphia. Waters Kluwer.
Lippicont Williams and Wilkins. 2010.
61. Mukherjee S., Katz J. Sept 27, 2012. Esophageal Leiomyoma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/174599-overview.
62. Dhingra PL., Dhingra S. 2010. Disease of Ear, Nose & Throat. (5th ediotion).
Elsevier, India. Pg: 374-356.
63. Sabiston DC. 2010. Buku Ajar Bedah. (Edisi 2). Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta. Hal: 484.
64. Facktor MA., Katlic MR. 2009. Benign Tumors, Cysts, and Duplication of the
esofagus. Dalam: Shields TW., dkk. General Thoracic Surgery. (7th edition).
Lippincott Williams & Wilkins. Hal: 1973.
65. Soepardi EA., Tamin S. 2014. Kesulitan Menelan. Dalam: Soepardi EA., dkk.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (edisi 6).
Balai Penerbit FK UI. Jakarta, Indonesia, Hal: 276-295.
66. Werakkody Y, Knipe H. Malignant esophageal neoplasm. Radiopaedia. 2021.
67. Bird-Lieberman EL, Fitzgerald RC. Early diagnosis of oesophageal cancer. Britis
Journal of Cancer. 2009; 101: 1-6.
68. Herring W. Recognizing gastrointestinal, hepatobiliary, and urinary tract
abnormalities. In: Herring W, editor. Learning Radiology Recognizing the Basics.
Philadelphia: Elsevier; 2020. p. 168-70.

63

Anda mungkin juga menyukai