Anda di halaman 1dari 13

PR LAPSUS

SPONDYLITIS

a) Definisi
Spondylosis adalah penyakit degeneratif tulang belakang. Spondylosis ini disebabkan oleh proses
degenerasi yang progresif pada diskus intervertebralis, yang mengakibatkan makin
menyempitnya jarak antar vertebra sehingga mengakibatkan terjadinya osteofit, penyempitan
kanalis spinalis dan foramen intervertebralis dan iritasi persendian posterior. Rasa nyeri pada
spondylosis ini disebabkan oleh terjadinya osteoartritis dan tertekan radiks oleh kantong
durameter yang mengakibatkan iskemik dan radang (Harsono dan Soeharso, 2005). Spondylosis
lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau diskus intervertebralis. Kondisi
ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan
kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami
oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan
perkembangan spondylosis lumbar. Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari
osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi.
Proses degenerasi umumnya terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen
vertebra yang seringkali mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus
vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum) (Regan, 2010).
b) Tanda dan Gejala
Spondylosis lumbal merupakan suatu kelainan dengan ketidakstabilan lumbal, sering mempunyai
riwayat robekan dari diskusnya dan serangan nyeri yang berulang – ulang dalam beberapa tahun.
Nyeri pada kasus spondylosis berhubungan erat dengan aktivitas yang dijalani oleh penderita,
dimana aktivitas yang dijalani terlalu lama dengan rentang perjalanan yang panjang.
Pasien biasanya berusia di atas 40 tahun dan memiliki tubuh yang sehat. Nyeri sering timbul di
daerah punggung dan pantat. Hal ini akan menimbulkan keterbatasan gerak pada regio lumbal
dan dapat menimbulkan nyeri pada area ini. Pemeriksaan neurologis dapat memperlihatkan tanda
– tanda sisa dari prolaps diskus yang lama (misalnya tiadanya reflek fisiologis). Pada tahap sangat
lanjut, gejala dan tanda – tanda stenosis spinal atau stenosis saluran akar unilateral dapat timbul
(Appley, 2013).
c) Patofisiologi
Bila usia bertambah maka akan terjadi perubahan degeneratif pada tulang belakang, yang terdiri
dari dehidrasi dan kolaps nukleus pulposus serta penonjolan ke semua arah dari anulus fibrosus.
Anulus mengalami klasifikasi dan perubahan hipertrofik terjadi pada pinggir tulang korpus
vertebra, membentuk osteofit atau spur atau taji. Dengan penyempitan rongga intervertebra, sendi
intervertebra dapat mengalami subluksasi dan menyempitkan foramina intervertebra, yang dapat
juga ditimbulkan oleh osteofit (Mansjoer dkk, 2005). Perubahan patologi yang terjadi pada diskus
intervertebralis antara lain: (a) annulus fibrosus menjadi kasar, collagen fiber cenderung
melonggar dan muncul retak pada berbagai sisi, (b) nucleus pulposus kehilangan cairan, (c) tinggi
diskus berkurang, (d) perubahan ini terjadi sebagai bagian dari proses degenerasi pada diskus dan
dapat hadir tanpa menyebabkan adanya tanda-tanda dan gejala (Yulianza, 2013). Sedangkan pada
corpus vertebra, terjadi perubahan patologis berupa adanya lipping yang disebabkan oleh adanya
perubahan mekanisme diskus yang menghasilkan penarikan dari periosteum dari annulus
fibrosus. Dapat terjadi dekalsifikasi pada corpus yang dapat menjadi factor predisposisi terjadinya
brush fracture. Pada ligamentum intervertebralis dapat menjadi memendek dan menebal terutama
pada daerah yang sangat mengalami perubahan. Pada selaput meningeal, durameter dari spinal
cord membentuk suatu selongsong mengelilingi akar saraf dan ini menimbulkan inflamasi karena
jarak diskus membatasi canalis intervertebralis. Terjadi perubahan patologis pada sendi
apophysial yang terkait dengan perubahan pada osteoarthritis. Osteofit terbentuk pada margin
permukaan articular dan bersama-sama dengan penebalan kapsular, dapat menyebabkan
penekanan pada akar saraf dan mengurangi lumen pada foramen intervertebralis.
d) Problematika
Spondylosis lumbal menggambarkan adanya osteofit yang timbul dari vertebra lumbalis. Osteofit
biasanya terlihat pada sisi anterior, superior, dan sisi lateral vertebra. Pembentukan osteofit
timbul karena terdapat tekanan pada ligamen. Apabila hal ini mengenai saraf, maka akan terjadi
kompresi pada saraf tersebut, dan dari hal itu dapat menimbulkan rasa nyeri, baik lokal maupun
menjalar, parastesia atau mati rasa, dan kelemahan otot (Woolfson, 2008)
e) Prognosis
Spondylosis merupakan penyakit degeneratif tulang belakang, dimana hal ini sulit untuk
diketahui perkembangannya. Dalam kasus ini, tidak menimbulkan kecacatan yang nyata, namun
perlu diperhatikan juga penyebab dan faktor yang mempengaruhinya, seperti adanya kompresi
dan penyempitan saraf yang nantinya dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan gangguan
perkemihan. Pada pasien yang sudah mengalami degeneratif pada lumbalnya, namun sudah tidak
merasakan adanya nyeri pada daerah punggung bawah dalam waktu satu minggu, maka kondisi
pasien akan membaik dalam waktu 3 bulan (Woolfson, 2008).
MEKANISME KERJA EPERISONE

Eperisone HCl bekerja pada sistem saraf pusat, terutama pada tingkat medulla spinalis untuk
merelaksasi otot-otot skelet yang seharusnya meningkat dengan cara menghambat reflex spinal
dan dengan menurunkan sensitivitas (vasodilatasi) spindle otot melalui penurunan substansi yang
dikeluarkan oleh gamma-motor neuron eferen.

Eperisone HCl menghambat reflex spinal dan kontraktur eksperimental tanpa menimbulakn efek
sedative maupun hipotik. Eperisone HCl diketahui menimbulkan efek yang tergantung dosis
pada rigiditas akibat deserebrasi yang diinduksi oleh pemotongan interkolikular dan pada
rigiditas deserebrasi iskemik. Eperisone HCl juga dapat menimbulakn efek penghambatan pada
reflex spinal yang tergantung dosis, baik pada reflex potensial monosinaptik maupun polisipnatik
dengan cara merangsang radiks posterior saraf spinal.
MEKANISME KERJA TIZANIDINE

Tizanidine (Zanaflex®) digunakan untuk pengobatan spastisitas, dan juga digunakan secara
klinis untuk mengobati nyeri dan spasme yang berhubungan dengan kondisi mukuloskeletal. Ini
adalah agonis di situs reseptor alfa2 -adrenergik dan mungkin mengurangi spastisitas dengan
meningkatkan penghambatan presinaptik dari neuron motorik tanpa secara langsung
mempengaruhi otot rangka, sambungan neuromuskuler, atau refleks tulang belakang
monosinaptik. Efeknya paling besar pada jalur polisinaptik, dan efek keseluruhan dari tindakan
ini dianggap mengurangi fasilitasi neuron motorik tulang belakang, yang mengakibatkan
relaksasi otot.

Setidaknya lima penelitian telah menunjukkan kegunaan tizanidine untuk pasien dengan nyeri
punggung muskuloskeletal dan kejang otot paravertebral. Efek samping serupa dengan yang
terlihat pada relaksan otot rangka lainnya. Mengantuk adalah alasan paling umum untuk
menghentikan pengobatan. Tizanidine telah dikaitkan dengan peningkatan aminotransaminase
hati yang biasanya asimtomatik dan reversibel dengan penghentian terapi.

Struktur imidazolin tizanidin terkait dengan obat antihipertensi clonidine dan agonis alfa2-
adrenergik lainnya, tetapi tizanidin memiliki sepersepuluh atau kurang dari potensi klonidin
dalam menurunkan tekanan darah. Namun, kasus hipotensi yang disebabkan oleh interaksi antara
angiotensinconverting enzyme-inhibitor lisinopril (misalnya, Zestril®, AstraZeneca; Prinivil®,
Merck) dan tizanidine telah didokumentasikan, menyarankan bahwa kehati-hatian mungkin
disarankan untuk pasien yang menggunakan tizanidine dan antihipertensi pengobatan serentak.

Tizanidine tersedia sebagai tablet 2 dan 4 mg. Dosis dimulai dengan 4 mg, yang dapat diulang
dengan interval enam hingga delapan jam. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap dalam 2-4
mg langkah untuk efek yang optimal. Pengalaman dengan dosis tunggal lebih besar dari 8 mg
dan dengan dosis harian melebihi 24 mg dibatasi.
RED FLAG HNP
STAGE HNP DARI MRI
SINDROM PIRIFORMIS

1. DEFINISI
Sindrom piriformis ditandai dengan adanya nyeri pada lokasi seperti pinggul, daerah sakrum, daerah
bokong, selangkangan, dan daerah bawah sesuai persarafan dari tungkai. Piriformis berasal dari 2
kata ‘pirum’ yang berarti buah pir dan ‘forma’ yang artinya bentuk.
2. ETIOLOGI
Etiologi sindrom piriformis masih belum jelas namun gejalanya mungkin akibat neuritis bagian
proksimal nervus iskiadikus. Muskulus piriformis selain mengiritasi, dapat pula menekan nervus
iskiadikus, terkait dengan spasme dan/atau kontrakturnya, masalah ini menyerupai iskialgia
diskogenik (pseudoiskialgia).

3. GEJALA KLINIS

Keluhan yang khas adalah kram atau nyeri di pantat atau di area hamstring, nyeri iskialgia di kaki
tanpa nyeri punggung, dan gangguan sensorik maupun motorik sesuai distribusi nervus iskiadikus.
Keluhan pasien dapat pula berupa nyeri yang semakin menjadi saat membungkuk, berlama-lama
duduk, bangun dari duduk, atau saat melakukan rotasi internal paha, begitu pula rasa nyeri saat
miksi/defekasi dan dispareunia.

Penegakan diagnosis sindrom piriformis sering dibuat setelah mengeksklusi penyebab iskialgia lain.
Robinson pertama kali menyusun penegakan diagnosis berdasar 6 ciri: (1) riwayat jatuh pada bokong;
(2) nyeri pada area: sendi sacroiliaca, foramen ischiadicum majus, dan otot piriformis; (3) nyeri akut
yang kambuh saat membungkuk atau mengangkat; (4) adanya massa yang teraba di atas piriformis;
(5) tanda laseque positif; dan (6) atrofi gluteus.
Hampir 50% pasien sindrom piriformis pernah mengalami cedera langsung pada pantat ataupun
trauma torsional pada panggul atau punggung bagian bawah, sisanya terjadi spontan tanpa
penyebab yang dapat diidentifikasi.

4. PEMERIKSAAN FISIK

Beberapa pemeriksaan fisik dapat mendukung diagnosis sindrom piriformis. Pada posisi terlentang,
pasien bertendensi menjaga posisi tungkainya sedikit terangkat dan berotasi eksternal (tanda
piriformis positif) (Gambar 2). Spasme muskulus piriformis dapat dideteksi dengan palpasi dalam
yang cermat di lokasi otot ini melintasi nervus iskiadikus (Gambar 3) dengan melokalisir titik tengah
antara coccyx dan trochanter major. Pemeriksaan colok dubur menunjukkan area yang lebih lunak di
dinding lateral sisi pelvis yang terkait. Nyeri iskialgia dan turunnya tahanan otot ditunjukkan dengan
cara menahan gerakan abduksi/rotasi eksternal pasien (tes Pace) (Gambar 4).

Pada posisi telungkup, tes Freiberg (Gambar 5) memicu nyeri dengan merotasi internal tungkai
bawah saat panggul ekstensi dan lutut fleksi 900 . Beatty mendeskripsikan teknik yang membedakan
antara radikulopati lumbal, penyakit panggul primer, dan nyeri akibat sindrom piriformis. Tes Beatty
dapat pula memberi hasil positif pada kasus herniasi lumbal dan osteoartritis panggul. Pasien tidur
miring dengan tungkai diangkat beberapa menit, maka di sisi tungkai yang mengalami sindrom
piriformis akan terasa nyeri pada pantat bagian dalam (Gambar 6). Tak satupun pemeriksaan fisik
tersebut bersifat patognomonis, kombinasi riwayat dan beberapa pemeriksaan fisik akan menunjang
penegakan diagnosis sindrom piriformis.
5. PENATALAKSANAAN

Penatalaksaan dalam menanggulangi sindrom piriformis ini dapat menggunakan intervensi farmakologis,
non farmakologis dan pembedahan. Namum memang tatalaksana yang digunakan pada penyakit ini
biasanya dikombinasikan antara farmakologis seperti NSAID dan nonfarmako logis seperti fisioterapi
atau rehabilitasi.
Farmakologis

Penanganan konservatif pertama yang dapat digunakan adalah pemberian NSAID. NSAID dan
Paracetamol (Acetaminophen) telah menjadi pilihan dalam penatalaksaan dari banyak kondisi yang
bermanifestasi seperti LBP, termasuk didalamnya sindrom Piriformis. Dari penelitian diketahui pasien
dengan NSAID lebih cepat mengalami perbaikan gejala dalam 1 minggu dibandingkan dengan yang
menggunakan placebo. Selain itu injeksi steroid (Triamcinolone 80 mg) dan/atau anestesi lokal (Lidokain
1%) menggunakan jarum spinal 3,5 inci (8.9 cm) atau lebih panjang pada pasien gemuk, dapat
digunakan. Hindari injeksi langsung pada nervus ischiadicus dengan meminta pasien melaporkan setiap
perubahan sensasi selama prosedur. Beberapa peneliti meyakini hanya sedikit atau bahkan tidak ada
komponen inflamasi yang terkait, maka disarankan hanya menggunakan lidokain 1% diikuti peregangan
piriformis segera. Injeksi tanpa steroid ini dapat setiap minggu selama periode 4-5 minggu sembari
dinilai keefektifannya dan kemungkinan perlunya tindakan bedah. Ada studi yang menggunakan 12.500
unit neurotoksin botulinum B atau toksin botulinum A disertai fisioterapi, menunjukkan perbaikan
setelah lebih dari 3 bulan.17- 19 Hampir 50% pasiennya mengalami efek samping berupa mulut kering
dan disfagia.

Non-Farmakologis

Pendekatan tatalaksana yang pertama dan utama ialah rehabilitasi, dimulai dari aktifitas dan terapi fisis,
penekanannya pada komponen-komponen yang melibatkan otot piriformis. Tujuannya selain
meregangkan dan menguatkan otot-otot abduktor/ adduktor panggul juga mengurangi efek nyeri dan
spasme. Peregangan mandiri dapat dibantu dengan diatermi, ultrasound, stimulasi elektrik, ataupun
teknikteknik manual lainnya. Bila teknik tersebut diaplikasikan sebelum peregangan otot piriformis,
maka akan memudahkan pergerakan kapsul sendi panggul ke anterior dan posterior dan otot-otot
abdomen untuk meregang sehingga tendon piriformis akan mengalami relaksasi dan peregangan yang
efektif.

Pasien sebaiknya tetap menjalani program peregangan mandiri di rumah, karena repetisi peregangan
secara intensif sepanjang hari merupakan komponen esensial program. Saat fase awal, peregangan
sangat dianjurkan dilakukan minimal tiap 6 jam. Peregangan musculus piriformis dapat dikerjakan di
posisi telentang ataupun tegak dengan tungkai yang terkait difleksikan dan dirotasi internal/adduksi
(Gambar 9).20 Terapi injeksi dapat disertakan bila keluhan menetap. Arah injeksi ditujukan ke sendi
sacroiliaca atau ke insersi musculus piriformis, dilakukan dengan panduan pencitraan atau secara
manual melalui palpasi titik yang paling lunak atau dengan colok dubur.
TANDA UMN DAN LMN

Upper Motor Neuron, Tanda-tanda kelumpuhan UMN :

1. Hipertonia atau Tonus otot meninggi


Akibat hilangnya pengaruh inhibisi korteks motoric tambahan terhadap inti-inti intriksik
medulla spinalis.
2. Hiperfleksia
Merupakan keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan pyramidal dan ekstrapiramidal
tidak dapat disampaikan kepada motor neuron.
3. Klonus
Hiperfleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot refelktorik, yang
bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung.
4. Refleks Patologis (+)
5. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh
6. Reflex automatisme spinal

Lower Motor Neuron, Tanda-tanda kelumpuhan LMN:

1. Seluruh gerakan, baik voluntary maupun yang reflektorik tidak dapat dibangkitkan. Ini
bahwa kelumpuhan disertai oleh:
a. Hilangnya reflex tendon
b. Refleks patologis (-)
2. Karena lesi LMN, maka bagian eferen lengkung reflex, berikut gamma loop tidak berfungsi
lagi, sehingga:
c. Tonus otot hilang
3. Musnahnya motor neuron berikut dengan aksonnya berarti pula bahwa kesatuan motoric
runtuh, sehingga:
d. Atrofi otot cepat terjadi.

Anda mungkin juga menyukai